Anda di halaman 1dari 36

EVALUASI PEMBELAJARAN QUR’AN HADITS PADA JENJANG

SMA/MA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :
Pembelajaran Qur’an Hadits
Dosen Pengampu :
Try Heni Aprilia, M.Pd. I

Disusun Oleh :

1. Khoirur Roziqin (932139017)


2. Husnul Alifah (932141618)
3. Alya Aulia Syifa (932141818)
4. Farah Amelina (932142118)

Kelas C

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI


2020

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan segala Rahmat,
Taufiq, dan Hidayah-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga penulis
bisa menyelesaikan makalah dengan waktunya.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Try Heni Aprilia,
selaku dosen pengampuh mata kuliah Pembelajaran Qur’an Hadits, terimakasih
juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Selanjutnya demi kesempurnaan penulis dalam menyelesaikan makalah.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga dapat
menyelesaikan dengan baik dan sempurna. Mudah-mudahan dengan adanya
makalah ini dapat menambah wawasan bagi semua pihak sehingga dapat memetic
isi yang terkandung di dalamnya.

Kediri, 14 Oktober 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 1

C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Penyusunan Kisi-Kisi 3

B. Pembuatan Soal dan Penentuan Bobot Nilai 16

C. Penilaian Kognitif 22
D. Peniliain Psikomotorik 23
E. Penilaian Afektif 24
F. Pengisian E-Raport.......................................................................................26

BAB III PENUTUP 29

A. Kesimpulan 29

DAFTAR PUSTAKA 30
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar antara guru
dan siswa dengan pendekatan antar manusia. Pendidikan dapat
merubah manusia sehingga mampu menaklukkan masa depan dan
dirinya sendiri (my self) dengan daya pikir, dzikir, dan daya ciptanya.
Dengan pendidikan manusia dapat mengerti dan faham mana yang
baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri. Perubahan yang terjadi
pada seseorang yang berpendidikan akan memberi keuntungan bagi
negara karena mereka adalah penerus bangsa Indonesia.
Pendidikan Islam adalah perjalanan mengubah tingkah laku atau
perilaku setiap individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam
sekitarnya. Pendidikan Islam ini akan membentuk kepribadian muslim
pada seseorang, atau merubah perilaku seseorang sesuai dengan kaidah
ajaran agama Islam. Pendidikan Islam merupakan kegiatan yang
lakukan dengan terencana dan sistematis untuk mengembangkan
potensi seseorang baik jasmani maupun rohani.
Sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa, maka
Pnacasila adalah pedoman yang menunjukkan arah, cita-cita dan tujuan
bangsa. Pansila juga menjadi dasar sistem pendidikan nasional dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana termaktub
dalam pembukaan UUD 1945. Juga dapat dilihat dari konteks agama
(pendidikan agama) dala UU Sisdiknas 2003, menerangkan bahwa
pendidikan agama sebagai sumber nilai dan bagian dari pendidikan
nasional. Semua pasti tahu bahwa pendidikan agama memiliki peran
yang sangat penting bagi kehidupan manusia, untuk mengembangkan
potensi untuk menguatkan spiritual keagamaan, akhlak mulai dan
kepribadian yang baik dan muslim. Tujuan pendidikan nasional pada
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa
bertujuan untuk megembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 1
Pada pengembangan potensi peserta didik yang baik tergantung
pada guru dan lingkungan sekolah. Sehingga lembaga sekolah harus
memberikan hal-hal yang positif bagi masyarakat disekolah terutama
peserta didik. Juga pada proses pembelajarannya yang baik maka akan
menghasilkan potensi yang baik bagi peserta didik. Terkait dengan
proses pembelajaran, maka ada evaluasi belajar mengajar. Program-
program yang mendukung pada peserta didik juga perlu diperbaiki
sehingga menghasilkan semangat pada belajar anak.
Dengan evaluasi pembelajaran ini merupakan suatu proses untuk
menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran. Melakukan
evaluasi maka akan mendapatkan informasi yang menjadi landasan
dalam mengukur tingkat kemajuan, perkembangan dan pencapaian
pada peserta didik. Sehingga dengan melakukan evaluasi ini sangat
berpengaruh besar bagi lembaga pendidikan. Disini akan membahas
tentang evalusai pada pembelajaran Al-Qur’an Hadits pada jengjang
Sekolah Menegah ke Atas atau Madrasah Aliyah dengan meliputi
penilaian kognitif, psikomotorik, Afektif dan lain-lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian penyusunan kisi-kisi dan kartu soal dalam
pembelajaran Al-Qur’an Hadits pada jenjang SMA/MA?
2. Bagaimana soal dan penentuan bobot nilai dalam pembelajaran Al-
Qur’an Hadits pada jenjang SMA/MA?
3. Apa itu penilaian kognitif dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadits
pada jenjang SMA/MA?

1
Robi’atul Awwaliyah dan Hasan Baharun, PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM
PENDIDIKAN NASIONAL (TELAAH EPISTEMOLOGI TERHADAP PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN ISLAM), Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA, Vol. 19, No. 1, Agustus 2018, hal 35-40.
4. Apa itu penilaian psikomotorik dalam pembelajaran Al-Qur’an
Hadits pada jenjang SMA/MA?
5. Apa itu penilaian afektif dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadits
pada jenjang SMA/MA?
6. Bagaimana pengisian E-Raport dalam pembelajaran Al-Qur’an
Hadits pada jenjang SMA/MA?

C. Tujuan
1. Agar mengerti penyusunan kisi-kisi dan kartu soal dalam
pembelajaran Al-Qur’an Hadits pada jenjang SMA/MA.
2. Untuk mengetahui soal dan penentuan bobot nilai dalam
pembelajaran Al-Qur’an Hadits pada jenjang SMA/MA.
3. Untuk mengetahui penilaian kognitif dalam pembelajaran Al-
Qur’an Hadits pada jenjang SMA/MA.
4. Untuk mengetahui penilaian psikomotorik dalam pembelajaran Al-
Qur’an Hadits pada jenjang SMA/MA.
5. Untuk mengetahui penilaian Afektif dalam pembelajaran Al-
Qur’an Hadits pada jenjang SMA/MA.
6. Untuk mengetahui pengisian e-raport dalam pemelajaran Al-
Qur’an Hadits pada jenjang SMA/MA.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyusunan Kisi-kisi

Kisi-kisi adalah peta distribusi soal berbagai topik/pokok bahasan atau


bahan pengajaran, disebut juga blue print, atau table of specification.

Dalam kisi-kisi yang lengkap sepatutnya memuat hal-hal yang akan


menjadi pegangan dalam penyusunan soal2 : a) Pokok bahasan atau bahan
pengajaran yang akan diujikan. b) Jenjang kemampuan yang akan diukur. c)
Persentase tiap pokok bahasan/bahan pelajaran dan jenjang kemampuan. d)
Bentuk soal yang paling patut untuk tiap soal. e) Perkiraan waktu yang
dipergunakan untuk mengerjakan tes itu. f) Jumlah semua soal yang akan disusun.

Ketika menentukan berapa lama untuk mengerjakan sebuah mata tes


sebaiknya diperhatikan : 1) waktu dimana siswa dapat sepenuhnya berkonsentrasi.
2) Perkiraan untuk mengerjakan tiap-tiap butir soal. Sudah barang tentu dalam
judul kisi-kisi itu tidak dilupakan mata tes, sekolah/perguruan, kelas/tingkat.

Cara Mengisi : Kolom 1, diisi dengan bahan pengajaran sesuai dengan


bahan pengajaran yang akan diujikan sebagai hasil-hasil analisis bahan (hasil
gambar 3 kolom terakhir). Kolom 2 s.d. 7, pada tiap sel (baris kolom) diisi dengan
lambang bentuk soal serta banyak soal. Agar bentuk soal juga termasuk dalam tiap
sel yang sesuai maka terlebih dahulu kita harus mengkodofokasikan lambang tiap
bentuk soal. Misalnya : a. Bentuk uraian = A b. Bentuk pilihan ganda = B c.
Bentuk menjodohkan = C d. Bentuk isian = D e. Bantuk Benar-Salah = E dengan
demikian isi tiap kisi-kisi ini dapat terdiri atas huruf dan angka. Contoh : B3 =
artinya bentuk soal pilihan ganda sebanyak 3 butir soal. C2 = artinya bentuk soal
menjodohkan sebanyak 2 butir soal. Kolom 8, diisi dengan jumlah soal untuk tiap

2
Balitbang Depdiknas, Panduan Penilaian Berbasis Kelas, (Jakarta: Depdiknas, 2006) 56
baris/bahan pengajaran. Kolom 9, diisi dengan persentase untuk tiap baris/bahan
pengajaran sebagai hasil perhitungan dari kolom 8.3

1. Penulisan Butir-Butir Soal

Tiap kita menulis sebuah soal sudah sepatutnya terlebih dahulu kita
menentukan tujuan (terminal objective) apa yang kita ukur itu. Tujuan yang harus
kita ukur itu adalah tujuan yang telah dirumuskan dalam rumusan TIK. Penulisan
TIK, serta soal untuk mengukur pencapaian target kita dalam TIK itu ada baiknya
dibuat dalam format khusus, yaitu kartu soal yang memuat TIK dan butir soal.

Hal ini bermanfaat untuk menimbang apakah rumusan TIK sudah baik
atau belum, serta apakah sudah konsisten antara TIK dengan butir (butir-butir)
soal untuk mengukur TIK tersebut.

Halaman pertama berisi identitas soal, jenjang kemampuan yang diukur,


bentuk soal, edisi, rumusan TIK, rumusan soal, kunci jawaban dan skor, serta
sumber pengambilan.

Halaman kedua berisi informasi tingkat kesukaran, daya pembeda, serta


mutu pengumpan (distractor) bagi soal pilihan ganda.

2. Meninjau Butir Butir Soal


a. Dasar-dasar Penilaian

Sebelum butir-butir soal dirakit menjadi suatu perangkat tes, ada baiknya
tiap butir soal itu ditinjau kembali, maksudnya agar butir-butir soal itu lebih
mantap sebelum diujicobakan (di “try out”). Apalagi jika soal itu akan langsung
dipergunakan sebagai alat tanpa melalui prosedur uji coba.

Waktu meninjau/menilai butir-butir soal dapat dipergunakan sebagai


kriteria penilaian stidak-tidaknya ada 7 macam (atau disesuaikan dengan
kebutuhan). a. Apakah rumusan Tujuan Pembelajaran sudah tepat ? b. Apakah
3
Depdiknas, Panduan Analsis Penilaian Hasil Belajar, (Jakarta: Depdiknas, 2004) 78
hubungan antara Tujuan Pembelajaran dengan butir-butir soal yang bersangkutan
sudah sesuai ? c. Apakah soal ini benar ? d. Apakah susunan bahasanya baik dan
benar ? e. Apakah maksud soal mudah dipahami ? f. Apakah bentuk soal
memenuhi syarat ? g. Apakah hubungan antara “stem” dan “option” mulus ?

Agar hasil penilaian objektif sebaiknya penilai dari satu orang. Jika
mungkin 3 orang atau 5 orang, tergantung kepada tingkat ketelitian penilain yang
bantinya akan menghasilkan tingkat ketelitian daya ukur tiap butir soal yang
diharapkan serta tergantung kepada jumlah penilai yang tersedia.

Untuk mencapai penilaian yang lebih teliti ada baiknya tiap aspek yang
dinilai tersebut di atas diberi bobot penilaian yang berbeda-beda. Misalnya : a.
Rumusan Tujuan Pembelajaran , bobot : 1 b. Hubungan Tujuan Pemb dengan soal
, bobot : 1 c. Isi soal , bobot : 3 d. Susunan bahasa , bobot : 1 e. Pemahaman
maksud soal , bobot : 2 f. Bentuk soal , bobot : 1 g. Hubungan “stem” dengan
“option” , bobot : 1

Dasar penilaian tiap aspek tersebut di atas semata-mata berdasarkan


pertimbangan (“judment”). Agar hasil penilaian tetap maka penilaiannya itu harus
ahli dalam bidang/materi yang diteskan, ahli dalam penyusunan (kontruksi) soal.4

b. Model Penialain

Salah satu model penilaian butir-butir soal yang dihendaki seperti


diuraikan pada pasal 7.1 di atas dapat dikerjakan dalam format-format seperti
berikut ini.

Adapun huruf-huruf di atas nomor 3 s.d. 10 sebagai lambang aspek yang


dinilai. Lambang tersebut sesuai dengan lambang seperti pada bagian 7.1 di atas..
a = Rumusan Tujuan Pembelajaran b = Hubungan Tujuan Pembelajaran dengan
soal dan seterusnya.5

4
Depdiknas, Panduan Analsis Penilaian Hasil Belajar, (Jakarta: Depdiknas, 2004) 88
3. Teknik Pemberian Skor

Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan


jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari
suatu jawaban terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil penilaian
selanjutnya diproses menjadi nilai-nilai (grade). Skor adalah hasil pekerjaan
menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari angka-angka dar setiap butir
soal yang telah di jawab oleh testee dengan benar, dengan mempertimbangkan
bobot jawaban betulnya

Membuat pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk


uraian dalam tes domain kognitif supaya subjektivitas Anda dalam memberikan
skor dapat diperkecil. Pedoman menyusun skor juga akan sangat penting ketika
Anda melakukan tes domain afektif dan psikomotor peserta didik. Karena sejak
tes belum dimulai, Anda harus dapat menentukan ukuran-ukuran sikap dan pilihan
tindakan dari peserta didik dalam menguasai kompetensi yang dipersyaratkan.

1. Pemberian Skor Tes pada Domain Kognitif


a. Penskoran Soal Bentuk Pilihan Ganda
Cara penskoran tes bentuk pilihan ganda ada tiga macam, yaitu:
pertama penskoran tanpa ada koreksi jawaban, penskoran ada
koreksi jawaban, dan penskoran dengan butir beda bobot.6
1) Penskoran tanpa koreksi, yaitu penskoran dengan cara
setiap butir soal yang dijawab benar mendapat nilai satu
(tergantung dari bobot butir soal), sehingga jumlah skor
yang diperoleh peserta didik adalah dengan menghitung

5
Ibrahim Muslimin, Asesmen Alternatif. Bahan Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru
Mata Pelajaran Biologi. Direktorat PendidikanLanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah, (Jakarta: Depdiknas, 2003) 113

6
Majid Abdul, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya) 155
banyaknya butir soal yang dijawab benar. Rumusnya
sebagai berikut.

Skor =  x 100 (skala 0-100)

B = banyaknya butir yang dijawab benar

N = adalah banyaknya butir soal

Contohnya adalah sebagai berikut :

Pada suatu soal tes ada 50 butir, Budi menjawab benar 25 butir, maka skor yang
dicapai Budi adalah:

Skor =  x 100  = 50

1) Penskoran ada koreksi jawaban yaitu pemberian skor dengan memberikan


pertimbangan pada butir soal yang dijawab salah dan tidak dijawab,
adapun rumusnya sebagai berikut.

Skor =  x 100

B = banyaknya butir soal yang dijawab benar

S = banyaknya butir yang dijawab salah

P = banyaknya pilihan jawaban tiap butir

N = banyaknya butir soal

Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0

Contoh :

Pada soal bentuk pilihan ganda yang terdiri dari 40 butir soal dengan 4 pilihan tiap
butir dan banyaknya 40 butir, Amir dapat menjawab benar 20 butir, mejawab
salah 12 butir, dan tidak dijawab ada 8 butir, maka skor yang diperoleh Amir
adalah:

Skor =  x 100

         = 40

2) Penskoran dengan butir beda bobot yaitu pemberian skor dengan


memberikan bobot berbeda pada sekelompok butir soal. Biasanya bobot
butir soal menyesuaikan dengan tingkatan kognitif (pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) yang telah
dikontrak guru. Anda juga dapat membedakan bobot butir soal dengan
cara lain, misalnya ada sekelompok butir soal yang dikembangkan dari
buku pegangan guru dan sekelompok yang lain dari luar buku pegangan
diberi bobot berbeda, yang pertama satu, yang lain dua. Adapun rumusnya
sebagai berikut.

Skor =  x 100

Bi = banyaknya butir soal yang dijawab benar peserta tes

bi = bobot setiap butir soal

St = skor teoritis (skor bila menjawab benar semua butir soal)

Contoh:

Pada suatu soal tes matapelajaran IPA berjumlah 40 butir yang terdiri dari enam
tingkat domain kognitif diberi bobot sebagai berikut: pengetahuan bobot 1,
pemahaman 2, penerapan 3, analisis 4, sintesis 5, dan evaluasi 6.

Yoyok dapat menjawab benar 8 butir soal domain pengetahuan dari 12 butir, 12
butir dari 20 butir soal pehamanan, 2 butir soal penerapan dari 4 butir, 1 butir soal
analisis dari 2 butir, dan 1 butir soal sintesis dan evaluasi masing-masing 1butir.
Berapakah skor yang diperoleh Yoyok?
Untuk mempermudah memberi skor disusun Tabel 6.1. sebagai berikut.

Tabel 6.1. Contoh Pemberian Skor

Domain butir soal Jumlah butir bi Jumlah butir x Bi


bi

Pengetahuan 12 1 12 8

Pemahaman 20 2 40 12

Penerapan 4 3 12 2

Analisis 2 4 8 1

Sintesis 1 5 5 1

Evaluasi 1 6 6 1

Jumlah = 40 - St = 83 25

Skor = x 100

         = 63.9

Jadi, skor yang diperoleh Yoyok adalah 63,9%, artinya Yoyok dapat menguasai
tes matapelajaran IPA sebesar 63,9%

a. Penskoran Soal Bentuk Uraian Objektif

Pada bentuk soal uraian objektif, biasanya langkah-langkah


mengerjakan dianggap sebagai indikator kompetensi para peserta
didik. Oleh sebab itu, sebagai pedoman penskoran dalam soal
bentuk uraian objektif adalah bagaimana langkahlangkah
mengerjakan dapat dimunculkan atau dikuasai oleh peserta didik
dalam lembar jawabannya. Untuk membuat pedoman penskoran,
sebaiknya Anda melihat kembali rencana kegiatan pembelajaran
untuk mengidentifikasi indikator-indikator tersebut.7

Perhatikan contoh berikut.

Indikator : peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan
mengubah satuan ukurannya.

Butir soal:Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80
cm, dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi bak mandi tersebut? (untuk
menjawabnya tuliskan langkah-langkahnya!)

Tabel 6.2. Pedoman penskoran uraian objektif

Langkah Kunci jawaban Skor

1 Isi balok = panjang x lebar x tinggi 1

2                = 150cm x 80cm x 75cm 1

3                = 900.000 cm3 1

Isi bak mandi dalam liter

4                =  liter 1

5                = 900 liter 1

Skor maksimum 5

b. Penskoran Soal Bentuk Uraian Non-Objektif

Prinsip penskoran soal bentuk uraian non-objektif sama dengan


bentuk uraian objektif yaitu menentukan indikator kompetensinya.
Perhatikan contoh berikut.

7
Poerwanti Endang, Evaluasi Pembelajaran, Modul Akta Mengajar, UMM Press. 2001. 69
Indikator: peserta didik dapat mendeskripsikan alasan Warga
Negara Indonesia bangga menjadi Bangsa Indonesia.

Butir soal: tuliskan alasan-alasan yang membuat Anda berbangga sebagai Bangsa
Indonesia!

Pedoman penskoran:

Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi dapat


dikelompokkan sebagai berikut.

Tabel 6.3. Contoh Pedoman Penskoran

Kriteria jawaban Rentang skor

Kebanggaan yang berkaitan dengan kekayaan alam Indonesia 0-2

Kebanggaan yang berkaitan dengan keindahan tanah air 0 - 2


Indonesia

(pemandangan alamnya, geografisnya, dll)

Kebanggaan yang berkaitan dengan keanekaragaman budaya, 0 - 2


suku, adat, istiadat tetapi tetap bersatu.

Kebanggaan yang berkaitan dengan keramahtamahan 0 - 2


masyarakat Indonesia

Skor tertinggi 8

c. Pembobotan Soal Bentuk Campuran

Dalam beberapa situasi bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu


bentuk pilihan dan bentuk uraian. Pembobotan soal bagian soal
bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan oleh cakupan
materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat
dalam mengerjakan soal.

Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih


banyak, sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan
soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan lebih tinggi. Suatu
ulangan terdiri dari n1 soal pilihan ganda dan n2 soal uraian. Bobot
untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian
adalah w2. Jika seorang peserta didik menjawab benar n1 pilihan
ganda, dan n2 soal uraian, maka peserta didik itu mendapat skor:

Skor = b1 + b2

b1 = bobot soal 1

b2 = bobot soal 2

Contoh:

Suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan, dan 4 buah
soal bentuk uraian. Titi dapat menjawab benar soal pilihan ganda 16 butir dan
salah 4 butir, sedang bentuk uraian bisa dijawab benar 20 dari skor maksimum 40.
Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, maka skor yang
diperoleh Titi dapat dihitung sebagai berikut.

a. skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan : (16/20)x100 =


80
b. skor bentuk uraian adalah : (20/40)x100 = 50
c. skor akhir adalah : 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62

3) Pemberian Skor Tes pada Domain Afektif


Domain afektif ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
Paling tidak ada dua komponen dalam domain afektif yang penting untuk
diukur, yaitu sikap dan minat terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik
terhadap pelajaran bisa positif bisa negatif atau netral. Tentu diharapkan
sikap peserta didik terhadap semua mata pelajaran positif sehingga akan
timbul minat untuk belajar atau mempelajarinya. Peserta didik yang
memiliki minat pada pelajaran tertentu bisa diharapkan prestasi belajarnya
akan meningkat secara optimal, bagi yang tidak berminat sulit untuk
meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena itu, Anda memiliki tugas
untuk membangkitkan minat kemudian meningkatkan minat peserta didik
terhadap mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian akan terjadi
usaha yang sinergi untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
Langkah pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap dan
minat adalah sebagai berikut:
a) Pilih ranah afektif yang akan dinilai, misalnya sikap atau minat.
b) Tentukan indikator minat: misalnya kehadiran di kelas, banyak bertanya,
tepat waktu mengumpulkan tugas, catatan di buku rapi, dan sebagainya.
Hal ini selanjutnya ditanyakan pada peserta didik.
c) Pilih tipe skala yang digunakan, misalnya Likert dengan 5 skala: sangat
berminat, berminat, sama saja, kurang berminat, dan tidak berminat.
d) Telaah instrumen oleh sejawat.
e) Perbaiki instrumen.
f) Siapkan kuesioner atau inventori laporan diri.
g) Skor inventori.
h) Analisis hasil inventori skala minat dan skala sikap.8

Contoh:

Instrumen untuk mengukur minat peserta didik yang telah berhasil dibuat ada 10
butir. Jika rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor terendah seorang
8
Sudjana, Metode Statistika, (Bandung: Penerbit Tarsito, 1996) 188
peserta didik adalah 10, yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi sebesar 50, yakni dari
10 x 5. Dengan demikian, mediannya adalah (10 + 50)/2 atau sebesar 30. jika
dibagi menjadi 4 kategori, maka skala 10-20 termasuk tidak berminat, 21 sampai
30 kurang berminat, 31 – 40 berminat, dan skala 41 – 50 sangat berminat.

4) Pemberian Skor Tes pada Domain Psikomotor


a. Penyusunan Tes Psikomotor

Kinerja (performance) yang telah dikuasai peserta didik. Tes


tersebut menurut Lunetta dkk. (1981) dalam Majid (2007) dapat
berupa tes paper and pencil, tes dentifikasi, tesimulasi, dan tes unjuk
kerja. Skala penilaian cocok untuk menghadapi subjek yang jumlahnya
sedikit.

Perbuatan yang diukur menggunakan alat ukur berupa skala


penilaian terentang dari sangat tidak sempurna sampai sangat
sempurna. Jika dibuat skala 5, maka skala 1paling tidak sempurna
dan skala 5 paling sempurna.Misal dilakukan pengukuran terhadap
keterampilan peserta didik menggunakan thermometer badan.
Untuk itu dicari indikator-indikator apa saja yang menunjukkan
peserta didik terampil menggunakan thermometer tersebut, misal
indikator-indikator sebagai berikut:

1. Cara mengeluarkan termometer dari tempatnya.


2. Cara menurunkan posisi air raksa serendah-rendahnya.
3. Cara memasang termometer pada tubuh orang yang
diukur suhunya.
4. Lama waktu pemasangan termometer pada tubuh orang
yang diukur suhunya.
5. Cara mengambil termometer dari tubuh orang yang
diukur suhunya.
6. Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler
termometer.

Dari contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian,


ada 6 butir soal yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik
jika untuk butir 1 peserta didik yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti
sempurna/benar, butir 2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi kurang sempurna,
butir 3 memperoleh skor 4 berarti juga benar tetapi kurang sempurna, butir 4
memperoleh skor 3 berarti kurang benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti
kurang benar, dan butir 6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang benar, maka
total skor yang dicapai peserta didik tersebut adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 + 3) atau
22. Seorang peserta didik yang gagalakan memperoleh skor 6, dan yang berhasil
melakukan dengan sempurna memperoleh skor 30; maka median skornya adalah
(6 + 30)/2 = 18.

Jika dibagimenjadi 4 kategori, maka yang memperoleh skor 6 – 12


dinyatakan gagal, skor 13 – 18 berarti kurang berhasil, skor 19 – 24 dinyatakan
berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan demikian peserta
didik dengan skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi belum
sempurna/belum sepenuhnya baik jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka
setiap butir harus dicapai dengan sempurna (skala 5). Dengan demikian hanya
peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan berhasil dan dengan
kategori sempurna.

B. Pembuatan Soal dan Penentuan Bobot Nilai


a) Pembuatan Soal
Tes akan menjadi berarti apabila tes tersebut terdiri dari butir-butir
soal yang menguji tujuan yang penting dan mewakili ranah pengetahuan,
kemampuan, dan ketrampilan secara representatif. Oleh karenanya,
perencanaan dalam pengujian memegang peranan yang penting. Tanpa
perencanaan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan tes tersebut
dapat menjadi sia-sia, bahkan mungkin akan mengganggu proses
pencapaian tujuan.
Setidaknya ada 6 (enam) hal yang harus diperhatikan dalam
perencanaan tes:
1. Pengambilan sampel dan pemilihan butir soal
Pemilihan butir soal dilakukan berdasarkan pentingnya konsep,
generalisasi, dalil, atau teori yang diuji dalam hubungannya dengan
perannya dalam bidang studi tersebut secara keseluruhan. Biasanya
bidang studi dibagi menjadi beberapa pokok bahasan dan sub
pokok bahasan. Tidak ada batasan jumlah butir soal untuk satu
pokok bahasan/sub pokok bahasan, namun hendaknya jumlah butir
soal sebanding dengan luas dan pentingnya pokok bahsan/sub
pokok bahasan tersebut.
2. Tipe tes yang akan digunakan

Ada 3 macam tes yang biasa digunakan, yaitu: (1) esei, (2)
objektif, dan (3) problem matematik. Anggapan yang muncul
terkait bahwa suatu tipe tes lebih baik daripada tipe tes lainnya
dalam mengukur ranah kognitif tertentu adalah sutau
kesalahpahaman. Soal esei yang baik akan dapat mengukur ranah
kognitif yang manapun seperti yang dapat diukur oleh soal
obyektif yang baik, demikian juga 5 sebaliknya. Pemilihan tipe tes
yang akan digunakan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan
dan waktu yang tersedia pada penyusun tes daripada kemampuan
peserta tes atau aspek yang ingin diukur.

3. Aspek yang akan diuji


Ada enam tingkatan kemampuan yang ingin diuji, yaitu
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi,
atau yang lazim diberi simbol C1, C2, C3, C4, C5, dan C6.
Mengingat bahwa hasil tes saat ini lebih berorientasi pada
pengetahuan, pemahaman dan aplikasi, maka jumlah soal yang
mewakili tiga level pertama diharapkan lebih banyak dibandingkan
jumlah soal untuk tiga level berikutnya yang bersifat
pengembangan lebih lanjut.
4. Format butir soal
Ada berbagai format untuk tes objektif maupun esei:
a. Tes objektif: (1) benar salah (true false), (2) menjodohkan
(matching), dan (3) pilihan ganda (multiple choice)
b. Tes esei: (1) pertanyaan uraian terbuka dan uraian tertutup,
(2) jawaban singkat (short answer), dan (3) isian
(completion/fill in) Perbedaan antara format butir soal
tersebut tidak terletak pada efektivitasnya mengukur level
kemampuan, tetapi lebih banyak pada aspek penerkaannya
(dalam hal peserta tes kurang menguasai materi yang
diteskan).
5. Jumlah butir soal
Jumlah butir soal berhubungan dengan reliabilitas tes dan
representasi isi bidang studi yang diteskan; semakin besar jumlah
butir soal yang digunakan maka kemungkinan semakin tinggi
reliabilitasnya. Dari segi jumlah, tes objektif memiliki kekuatan
lebih dibanding tes esei karena waktu yang diperlukan untuk
mengerjakan tes objektif lebih singkat sehingga memungkinkan
jumlah butir soal yang lebih banyak.
Jumlah butir soal harus direncanakan:
(a) jumlah keseluruhan, (b) jumlah untuk setiap pokok
bahasan/topik, (c) jumlah 6 untuk setiap format, (d) jumlah untuk
setiap kategori tingkat kesulitan, (e) jumlah untuk setiap aspek
pada ranah kognitif. Pertimbangan lain dalam penetuan jumlah soal
adalah waktu yang tersedia, biaya yang ada, kompleksitas yang
dituntut dalam tes, serta waktu ujian diadakan.9
6. Distribusi tingkat kesukaran butir soal
Tes yang terbaik adalah tes yang mampu membedakan antara
kelompok yang baik dan kelompok yang kurang belajar. Salah
satunya diindikasikan dengan tingkat kesukaran di titik sekitar
0,50. Selain itu, tingkat kesukaran soal ditentukan oleh tujuan tes
(untuk seleksi, diagnostik,formatif, sumatif). Perlu diperhatikan
bahwa soal yang memiliki tingkat kesukaran rendah hendaknya
diletakkan di awal tes, sedangkan soal dengan tingkat kesukaran
tinggi pada akhir tes. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
notivasi agar peserta tes lebih terdorong untuk mengerjakan
seluruh butir soal.

Selain dari poin-poin yang disebutkan di atas, dalam perencanaan


tes, kita juga memerlukan beberapa pertimbangan lain: (1) apakah akan
menggunakan open book atau closed book, (2) apakah frekuensi
pelaksanaan tes sering atau jarang, (3) apakah pelaksanaan tes diumumkan
sebelumnya atau mendadak, dan (4) bagaimana mode penyajian tes.
b) Penentuan Bobot Nilai
1. Pengertian Bobot
Bobot butir tes adalah besarnya angka yang ditetapkan untuk suatu
butir tes dalam perbandingan (ratio) dengan butir tes lainnya dalam
suatu perangkat tes. Penentuan besar kecilnya bobot butir tes
didasarkan atas tingkat kedalaman dan keluasan materi yang di-
tanyakan atau tingkat kerumitan atau kompleksitas jawaban yang
dituntut oleh suatu butir tes4 , sedangkan dasar penentuan skor butir
9
Thoha, M. Chabib, Teknik Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 1991) 162
tes adalah berdasarkan tingkat 3 Zainal, Asmawi Dan Noehi Nasution,
Penilaian Hasil Belajar, Budi Pekerti, (Depdiknas, 2005) 4 Depdiknas,
Penyusunan Butir Soal Dan Instrument Penelitian, (Jakarta:
Depdiknas, Dirjen Dikdasmen, 2002), 87 7 kesukaran butir tes
(mudah, sedang, dan sukar). Pada umumnya hanyalah bentuk soal
subjektif esei tes yang perlu ditentukan bobot atas dasar pertimbangan
tingkat kedalaman tes, keluasan materi tes, dan tingkat kerumitan tes,
sedangkan bentuk soal objektif tes, bobot dan skor dianggap sama.
2. Pengertian Nilai
Nilai pada dasarnya angka atau huruf yang melambangkan
seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan
oleh testee terhadap materi atau ubahan yang diteskan sesuai dengan
tujuan indikator yang telah ditentukan. Nilai pada dasarnya juga
melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee
atas jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar.
Artinya makin banyak jumlah butir soal dapat dijawab dengan betul,
maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan
semakin tinggi, dan sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat
dijawab dengan betul itu hanya sedikit, maka penghargaan yang
diberikan kepada testee juga kecil atau rendah.5
3. Pengolahan dan Pengubahan Skor Mentah Tes Hasil Belajar Menjadi
Nilai Standar (Standar Score)
Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai, ada dua cara
yang dapat ditempuh, yaitu:
1. Penilaian Beracuan Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Patokan (Criterion Referenced Evaluation)
yang dikenal juga dengan standar mutlak berusaha menafsirkan
hasil tes yang diperoleh siswa dengan membandingkannya dengan
patokan yang telah ditetapkan. Sebelum hasil tes diperoleh atau
bahkan sebelum kegiatan pengajaran dilakukan, patokan yang akan
dipergunakan untuk menentukan kelulusan harus sudah ditetapkan.
Standar atau patokan tersebut memuat ketentuan-ketentuan
yang dipergunakan sebagai batas-batas penentuan kelulusan testee
atau batas pemberian nilai pada testee. Jika skor yang diperoleh
oleh testee memenuhi batas minimal maka testee dinyatakan telah
memenuhi tingkat penguasaan minimal terhadap materi yang
disampaikan dan sebaliknya jika testee belum bisa memenuhi batas
minimal yang ditentukan maka testee dianggap belum “lulus” atau
belum menguasai materi. Karena batasan-batasan tersebut bersifat
mutlak/ pasti maka hasil yang diperoleh tidak dapat di tawar lagi.
Berhubung standar penilaian ditentukan secara mutlak,
banyaknya testee yang memperoleh nilai tinggi atau jumlah
kelulusan testee banyak akan mencerminkan penguasaannya
terhadap materi yang disampaikan. Pengolahan skor mentah
menjadi nilai dilakukan dengan menempuh langkah-langkah
sebagai berikut : a) Menggabungkan skor dari berbagai sumber
penilaian untuk memperolah skor akhir. b) Menghitung skor
minimum penguasaan tuntas dengan menerapkan prosentase Batas
Minimal Penguasaan (BMP). c) Menentukan tabel konversi.

2. Penilaian Acuan Normative (PAN)


Penilaian Acuan Norma (Norm Referenced Evaluation)
dikenal pula dengan Standar Relatif atau Norma Kelompok.
Pendekatan penilaian ini menafsirkan hasil tes yang diperoleh
testee dengan membandingkan dengan hasil tes dari testee lain
dalam kelompoknya. Alat pembanding tersebut yang menjadi dasar
standar kelulusan dan pemberian nilai ditentukan berdasarkan skor
yang diperoleh testee dalam satu kelompok. Dengan demikian,
standar kelulusan baru dapat ditentukan setelah diperoleh skor dari
para peserta testee. Hal ini berarti setiap kelompok mempunyai
standar masing-masing dan standar satu kelompok tidak dapat
dipergunakan sebagai standar kelompok yang lain. Standar dari
hasil tes sebelumnya pun tidak dapat dipergunakan 9 sebagai
standar sehingga setiap memperoleh hasil tes harus dibuat norma
yang baru. Dasar pemikiran dari penggunaan standar PAN adalah
adanya asumsi bahwa di setiap populasi yang heterogen terdapat
siswa dengan kelompok baik, kelompok sedang dan kelompok
kurang.
Pengolahan skor dengan Penilaian Acuan Norma (PAN)
mengharuskan kita menghitung dengan statistik. Perhitungan
dilakukan atas skor akhir (penggabungan berbagai sumber skor),
Kelemahan sistem PAN adalah dengan tes apapun dalam kelompok
apapun dan dengan dasar prestasi yang bagaimanapun, pemberian
nilai dengan sistem ini selalu dapat dilakukan. Karena itu
penggunaan sistem PAN dapat dilakukan dengan baik apabila
memenuhi syarat yang mendasari kurva normal, yaitu: a) Skor nilai
terpencar atau dapat dianggap terpencar sesuai dengan pencaran
kurva normal b) Jumlah yang dinilai minimal 50 orang atau
sebaiknya 100 orang ke atas.10

C. Penilaian Kognitif
Keberhasilan dalam proses pembelajaran peserta didik dapat
diukur melalui penilaian. Permendikbud Nomor 104 Tahun 2014,
menyatakan bahwa penilaian hasil belajar peserta didik merupakan proses
pengumpulan informasi temtang pencapian pembelajaran peserta didik
dalam kompetensi sikap spiritual, social, pengetahuan, dan keterampilan
yang sudah dilakukan secara terencana dan sistematis. Pada saat proses
pembelajaran terdapat tujuan yang baik yaitu memantau kemajuan belajar,
10
Sudijono Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006) 87
hasil belajar, dan mendeteksi kebutuhan perbaikan hasil belajar peserta
didik. Anderson dan Kwathwohl menyebutkan bahwa ranah kognitif
menurut Taksonomi Bloom ada enam jenjang proses berpikir yaitu
dimulai dari jenjang terendah sampai jenjang paling tinggi. Kemampuan
berpikir tingkat tinggi artinya peserta didik mampu menafsirkan,
menganalisis atau memanipulasi informasi yang ada, dan
mentransformasikan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya.
Wardana mengemukakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah
proses berpikir yang melibatkan aktivitas mental dalam usaha
mengeksplorasi pengalaman yang dilakukan secara tidak sadar untuk
mencapai suatu tujuan. 11
Pada ranah kognitif ini merupakan ranah yang berkaitan dengan
aspek-aspek intelektual atau berpikir/nalar. Didalamnya mencakup
pengetahuan, pemahaman, penerapan, penguraian, pemanduan, dan
penilaian. Dengan ini proses pendidikan member peserta didik
pengetahuan atau kecerdasan. Melakukan penerapan juga memberi nilai
yang baik bagi peserta didik, mereka mampu memahami pada saat
pembelajaran. Dalam ranah kognitif, sejauh mana peserta didik dan pada
level yang lebih atas seorang kemudian memadukannya dengan
pemahaman yang sudah ia peroleh untuk kemudian diberi penilaian atau
12
pertimbangan. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan
berpikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, mengsintesis, dan
mengevaluasi.

D. Penilaian Psikomotorik

11
Rintan Rahmana Sari, Lufri, Ganda Hijrah Selaras, dan Rahmawati Darussyamsu, ANALISIS
KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI PESERTA DIDIK KELAS XI SMA PADA
MATERI SISTEM EKSKRESI, Vol. 5, No. 2, Desember 2019, hal 92-93.
12
Lorenzo M. Kasenda, Steven R. Sentinuwo, dan Virginia Tulenan, Sistem Monotoring, Afektif
dan Psikomotorik Siswa Berbasis Android, E-Journal Teknik Informatika, Vol. 9, No. 1, 2016, hal
1-2.
Ranah psikomotorik adalah ranah yang berhubungan dengan
aktifitas fisik, berkaitan dengan psikomotor berhubungan dengan hasil
belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang
melibatkan kekuatan fisik. Menurut Istiyono dan kawan-kawan bahwa
keterampilan psikomotor ada enam tahap, yaitu gerakan reflex, dasar,
keterampilan, dan komunikasi. Sehingga untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dapat dimulai dengan menyusun tujuan pembelajaran yang
tepat. Salah satu tujuan mata pelajaran adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir. 13
Ranah psikomotorik adalah taksonomi belajar yang terfokus pada
keterampilan yang berkaitan dengan tugas motorik. Pada dasarnya adalah
standar pembelajaran sesuai kebutuhan industry. Leighbody dan Kidds,
menjelaskan baha keterampilan dilatih melalui praktik secara berulang-
ulang akan menjadi kebiasaan yang otomatis. Dalam proses pembelajaran
keterampilan, keselamatan kerja sangat penting atau tidak boleh diabaikan.
Keselamatan tersebut mencakup: peserta, bahan, dan alat. Keselamatan
kerja dan proses pembelajaran psikomotor tidak dapat dipisahkan,
keduanya merupakan bagian dari penilaian keterampilan. Hasil penilaian
meliputi: penggunaan alat dan sikap kerja, kemampuan menganalisis suatu
pekerjaan serta menyusun urutan-urutan pekerjaan, kecepatan
mengerjakan tugas, kemampuan membaca gambar dan symbol, dan
keserasian bentuk dengan yang diharapkan. 14

E. Penilaian Afektif
a) Pengertian Penilaian Afektif

13
Fitri Agustina Lubis, Putoro Dongoran, dan Jalilah Azizah Lubis, “PENGEMINITOR”
PELATIHAN PENYUSUNAN INSTRUMENT PENILAIAN KOGNITIF DAN
PSIKOMOTORIK PADA GURU-GURU MUHAMMADIYAH KOTA PADANGSIDIMPUAN,
Vol. 1, No. 3, 2018, hal 165-160.
14
Muhammad Nurtanto, dan Herminarto Sofyan, Implementasi Problem-Based Learning Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif, Psikomotor, Dan Afektif Siswa DI SMK, Jurnal Pendidikan
Vokasi, Vol. 5, No. 3, November 2015, hal 355.
Ranah afektif pada umumnya meerupakan ranah yang berkaitan
dengan nilai dan sikap. Ranah afektif mecakup watak perilaku seperti
perasaaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Selanjutnya, penilaian ranah
afektif adalah interkasi sikap yang menuju kearah batiniah dan terjadi bila
siswa menjadi sadar tentang nilai yang diterimanya, kemudian mengambil
sikap sehingga menjadi bagian dirinya dalam membentuk nilaidan
menentukan tingkah laku. Misalnya karakter jujur yang merujuk kepada
suatu karakter yang menpunyai sifat-sifat positif yang ulia seperti
integritas, penuh kebenaran, dan lurus sekaligus tiada bohong, curang
ataupun mencuri.
Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada siswa dalam
berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap mata pelajaran di
sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai
pelajaran yang diterimanya, penghargaan atau rrasa hormat terhadap guru
dan sebagainya.
b) Tujuan Penilaian Afektif
Tujuan penilaian afektif yaitu:
1. Mendapatkan umpan balik atau feedback baik bagi guru maupun siswa
sebagai dasar untuk memperbaiki proses kegiatan belajar mengajar dan
mengadakan program perbaikan (remedial program)
2. Untuk mengetahu tingkat perubahan tingkah laku anak didik yang
diperlukan sebagai bagian dari perbaikan tingkah laku anak didik,
pemberian laporan kepada orangv tua, dan penentuan lulus tidaknya
anak didik.
3. Untuk menempatkan anak didik dalam situasi belajar-mengajar yang
tepat, sesuai deng tingkat pencapaian dan kemampuan serta
karakteristik anak didik.
4. Untuk mengenal latar belakang kegiatan belajar dan kelainan tingkah
laku anak didik.
c) Domain Penilaian Afektif
Kawasan afektif dapat dirinci kedalam 5 (lima) jenis perilaku peserta yang
terdiri atas beberapa kategori:
1. Kemampuan menerima (Receiving)
Kemampuan menerima adalah jenjang kemampuan yang menuntut
siswa untuk belajar terhadap eksistensi fenomena atau rangsanag
tertentu. Kepekaan diawali dengan pnnyandaran kemampuan untuk
menerima dan memperhatikan. Kata kerja operasionalnya adalah
menanyakan, memilih, menggambarkan, mengikuti, memberikan,
berpegang teguh dan menggunakan.
2. Kemampuan menanggapi atau menjawab (Responding)
Kemapuan menanggapi atau enjawab adalah jenjang kemampuan yang
menuntu siswa untuk tidak hanya peka terhadap salah satu cara.
Penekanannya pada kemampuan siswa untuk menjawab secara
sukarela. Kata kerja operasionalnya adalah menjawab, embatu,
memperbincangkan, memberi nama, menunjukan, mempraktikan
membaca, melaporkan, menuliskan, meberitahu, dan mendiskusikan.
3. Menilai (Valuing)
Menilai adalah jenjang kemampuan yang menuntut siswa menilai
suatu objek, fenomen atau tingkah laku secara konsisten. Kata kerja
operasionalnya adalah melengkapi, menerangkangkan, membentuk,
mengusulkan, mengambil bagian, memilih , dan mengikuti.
Indikatornya juga meliputi mengorganisasikan suatu sistem nilai dan
bersedia untuk menanggapi.
4. Organisasi (Organisation)
Organisasi adalah jenjang kemapuan yang menuntut siswa untuk
mnyatukan nilainilai yang berbeda, memecahkan masalah, membentuk
suatu nilail. Kata kerja operasionalnya adalah mengubah, mengatur,
menggabungkan, membandingkan, mempertahankan,
menggeneraliasikan, dan emdoifikasi.
5. Karakterisasi dengan Suati Nilai atau Kompleks Nilai
Karakterisasi dengan Suati Nilai atau Kompleks Nilai merupakan
keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimilikin oleh seseorang
yang memperngaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Jenjang
ini merupakan tingkat afektif yang tinggi, karena sikap batin siswa
telah benar-benar bijaksana.15

F. Pengisian E-Raport
Raport adalah salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari
instansi yang bergerak di bidang pendidikan. Untuk proses pembuatan atau
pengerjaan raport bermacam-macam, mulai dari proses yang manual
sampai dengan proses yang menggunakan perangkat lunak.
Dibutuhkan suatu sarana yang dapat mengimbangi dan
meningkatkan kinerja para guru dan karyawan pada instansi pendidikan
khususnya sekolah. Untuk itu sebuah Aplikasi raport elektronik (e-raport)
diharapkan dapat menjawab kebutuhan ini.
Aplikasi e-raport, adalah aplikasi yang dirancang sebagai alat bantu
yang di pergunakan oleh user. User yang menggunakan adalah : Guru
pengampu mata pelajaran, Guru wali kelas, Tata usaha (admin), Siswa /
Orang tua. Aplikasi ini hanya dapat mengolah data rata-rata nilai tugas,
ulangan harian, dan nilai ulangan tengah serta akhir semester.16

Aplikasi bersifat multiuser dengan hak akses sebagai berikut :

a. Admin : input data siswa dan guru, edit data siswa dan guru,
olah data siswa, wali kelas, dan guru pengajar.
b. Guru pengajar : hanya dapat memasukan nilai untuk mata
pelajaran yang diampu dan melihat nilai yang telah dimasukan.
Nilai yang di masukan berupa ratarata tugas, ulangan harian,
dan ujian.

15
Ahmad Suryadi S. Pd., Evaluasi Pembelajaran jilid II, CV jejak, anggota IKAPI, 2020. 48-51
16
Kristianto, Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya, Yogyakarta : Gaya Media,2003) 49
c. Guru walikelas : hanya dapat menambahkan beberapa data pada
bagian raport seperti : ketidakhadiran, kepribadian, keterangan
naik, kegiatan ekstrakulikuler. Walikelas juga dapat melihat
hasil nilai siswa, dan mencetak raport yang ada.
d. Siswa / Orang Tua: hanya dapat melihat data nilai yang telah
dimasukan. Orang tua dapat melakukan konsultasi via e-mail.

DFD adalah suatu model logika data atau proses yang dibuat untuk
menggambarkan dari mana asal data dan kemana tujuan data yang
keluaran dari sistem, dimana data disimpan, proses apa yang menghasilkan
data tersebut, dan interaksi antara data yang tersimpan dan proses yang
dikenakan pada data tersebut.

Data penelitian digunakan dalam pembuatan sistem informasi


raport online adalah model waterfall. Waterfall dipilih karena pembuatan
sistem informasi tersebut melalui tahapan-tahapan yang berurutan.
Penggunaan waterfall disini setiap tahap harus diselesaikan terlebih dahulu
sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya, hal itu dilakukan supaya dapat
menghidari terjadinya pengulangan tahapan.

1. Desain Sistem
Sistem yang baik adalah sistem yang memiliki desain rancangan awal
sebelum pembuatan program dimulai. Desain perancangan sistem itu meliputi :
System Flow, Conceptual Data Model, Physical Data Model, Data Flow Diagram.

System Flow Diagram

Merupakan diagram System flowchart proses raport pada Sistem Informasi


Pengelolaan raport Berbasis Web. Diagram ini dibuat untuk menunjukkan alur
proses atau apa yang sedang dikerjakan di dalam sistem dan menjelaskan urutan
dari prosedur-prosedur yang ada di dalam sistem.

2. CDM (Conceptual Data Model)

Terdapat 9 tabel dalam CDM Sistem Informasi Pelayanan Administrasi


Kependudukan. Dan setiap tabel memiliki atribut, primary key dan relasi sendiri-
sendiri seperti pada gambar 2 berikut ini :
3. DFD (Contect Diagram)

Diagram konteks merupakan proses utama yang mewakili seluruh proses


yang terdapat didalam suatu sistem. Sistem ini memiliki 3 entitas, yaitu Admin,
Guru dan Siswa serta memiliki satu proses yaitu Aplikasi raport online. DFD
(Context Diagram) Aplikasi raport online dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini :

4. Penulisan Kode Program

Setelah pembuatan desain sistem, langkah selanjutnya adalah pembuatan


program Sistem Informasi Pelayanan Administrasi Kependudukan dengan acuan
dari desain rancangan sistem. Pembuatan program menggunakan bahasa
pemrograman PHP versi 5.6.20, dan database MySql.

5. Pengujian Program

Tahap pengujian program adalah tahap dimana dilakukannya sebuah tes


pada setiap bagian dari sistem. Pengujian program ini dilakukan menggunakan
model Black Box, yaitu dilakukannya sebuah pengujian pada setiap bagian dari
sistem, mulai dari proses login user hingga laporan akhir. Setiap proses
pengujiannya harus sukses dan apabila dalam pengujian ada bagian yang gagal
maka sistem dapat dinyatakan belum sukses dan harus diperbaiki.17

17
Binarso, A. Y., Sarwoko, E. A. Pembangunan Aplikasi Alumni Berbasis Web Pada Program
Studi Teknik Informatika Universitas Diponegoro. “Journal of Informatics and Technology, Vol.1
No. 1. Universitas Diponegoro”. 2012.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari materi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

a. Kisi-kisi adalah peta distribusi soal berbagai topik/pokok bahasan atau bahan
pengajaran, disebut juga blue print, atau table of specification.

b. Dalam kisi-kisi yang lengkap sepatutnya memuat hal-hal yang akan menjadi
pegangan dalam penyusunan soal : a) Pokok bahasan atau bahan pengajaran yang
akan diujikan. b) Jenjang kemampuan yang akan diukur. c) Persentase tiap pokok
bahasan/bahan pelajaran dan jenjang kemampuan. d) Bentuk soal yang paling
patut untuk tiap soal. e) Perkiraan waktu yang dipergunakan untuk mengerjakan
tes itu. f) Jumlah semua soal yang akan disusun.

c. Penilaian kognitif ini merupakan ranah yang berkaitan dengan aspek-aspek


intelektual atau berpikir/nalar. Didalamnya mencakup pengetahuan, pemahaman,
penerapan, penguraian, pemanduan, dan penilaian.

d. Penilaian Psikomotorik adalah ranah yang berhubungan dengan aktifitas fisik,


berkaitan dengan psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang
pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan kekuatan fisik.

e. Penilaian Afektif Merupakan ranah yang berkaitan dengan nilai dan sikap.
Ranah afektif mecakup watak perilaku seperti perasaaan, minat, sikap, emosi, dan
nilai.

f. Aplikasi e-raport adalah aplikasi yang dirancang sebagai alat bantu yang di
pergunakan oleh user. User yang menggunakan adalah : Guru pengampu mata
pelajaran, Guru wali kelas, Tata usaha (admin), Siswa / Orang tua.
DAFTAR PUSTAKA

Balitbang Depdiknas. (2006). Panduan Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta:


Depdiknas.
Depdiknas. (2004). Panduan Analsis Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Depdiknas.
Ibrahim Muslimin. (2003). Asesmen Alternatif. Bahan Pelatihan Terintegrasi
Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Biologi. Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: Depdiknas.
Majid, Abdul. (2007). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT.
RemajaRosdakarya.
Poerwanti, Endang. (2001). Evaluasi Pembelajaran, Modul Akta Mengajar. UMM
Press.
Rofiq Ainur. (2002). Analisis Statistik. UMM Press
Sudjana. (1996). Metode Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito
Sudijono Anas. (2006). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Thoha, M. Chabib. (1991). Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Ahmad Suryadi S. Pd. (2020) Evaluasi Pembelajaran jilid II, CV jejak, anggota
IKAPI.
Binarso, A. Y., Sarwoko, E. A. (2012) Pembangunan Aplikasi Alumni Berbasis
Web Pada Program Studi Teknik Informatika Universitas Diponegoro.
“Journal of Informatics and Technology, Vol.1 No. 1. Universitas
Diponegoro”.
Kristianto, (2013) Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya, Yogyakarta :
Gaya Media.
Nurtanto, Muhamad. Herminarto, (2015). Implementasi Problem-Based Learning
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif, Psikomotor, Dan Afektif
Siswa DI SMK, Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol. 5, No. 3.
Lorenzo M. Kasenda, Steven R. Sentinuwo, dan Virginia Tulenan, Sistem
Monotoring, Afektif dan Psikomotorik Siswa Berbasis Android, E-Journal
Teknik Informatika, Vol. 9, No. 1, 2016, hal 1-2.
Fitri Agustina Lubis, Putoro Dongoran, dan Jalilah Azizah Lubis,
“PENGEMINITOR” PELATIHAN PENYUSUNAN INSTRUMENT
PENILAIAN KOGNITIF DAN PSIKOMOTORIK PADA GURU-GURU
MUHAMMADIYAH KOTA PADANGSIDIMPUAN, Vol. 1, No. 3.
Rahmana Sari, Rintan, dkk. 2019. ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR
TINGKAT TINGGI PESERTA DIDIK KELAS XI SMA PADA MATERI
SISTEM EKSKRESI, Vol. 5, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai