Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memiliki peranan sangat
penting dalam sektor perhubungan darat, yang mendukung kesinambungan
distribusi barang dan jasa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi disuatu daerah.
Pembangunan di perkotaan adalah salah satu cermin dari pertumbuhan ekonomi
yang didukung oleh infrastruktur jalan yang memadai, sehingga pembangunan
dapat dilaksanakan dengan aman, efisien dan tepat waktu. Kondisi jalan yang
dilalui oleh volume lalu lintas yang tinggi dan berulang-ulang, dapat menurunkan
kualitas dari permukaan jalan tersebut, sehingga menjadi tidak nyaman dan tidak
aman untuk dilalui. Menurut Bina Marga No. 03/MN/B/1983 tentang Manual
Pemeliharaan Jalan. Jenis Kerusakan jalan dibedakan atas :
1. Retak (cracking)
2. Distorsi
3. Cacat permukaan (disintegration)
4. Pengausan (polished aggregate)
5. Kegemukan (bleeding or flushing)
6. Penurunan pada bekas penanaman utilitas.
Untuk dapat menentukan derajat kerusakan dan jenis perbaikan yang harus
dilakukan terhadap suatu ruas jalan yang ditinjau, maka diperlukan suatu
metode yang memberikan pedoman dalam melakukan survei/inspeksi
kerusakan, analisis terhadap kerusakan, mengklasifikasikan kondisi perkerasan
dan memberikan solusi penanganan kerusakan jalan.
Beberapa metode yang memberikan pedoman seperti demikian adalah
ASTM D6433-07 (American Society of Testing and Material D6433-07), metode
PCI (Pavement Condition Index), dan Metode yang dipergunakan dalam
mengindentifikasi kerusakan jalan dan jenis penanganannya yaitu metode RCI
(Road Condition Index) berdasarkan Permen PU No.13/PRT/M/2011. Road
Condition Index (RCI), disebut juga Indeks kondisi jalan, merupakan salah satu
kinerja fungsional perkerasan yang dikembangkan oleh American Association of

1
State Highway Officials (AASHO) pada tahun 1960an. RCI merupakan indeks
numerik yang bernilai antara 0 untuk kondisi perkerasan sangat rusak sampai 10
untuk kondisi sangat baik.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang tertuang pada latar belakang di atas, ada beberapa
permasalahan pokok yang akan dijadikan sebagai fokus penulis, seperti:
1. Bagaimana cara mendapatkan perencanaan jalan yang nyaman sehingga
memudahkan untuk mencapai suatu lokasi dengan aman?

I.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dari pekerjaan Perencanaan Rehabilitasi Jembatan dan Jalan
Akses Universitas Padjadjaran Jatinangor adalah melakukan suatu kegiatan
perencanaan teknis sehingga didapatkan hasil perencanaan yang paling optimum
yang dapat menjawab permasalahan permasalahan yang terdapat pada lokasi
tersebut dengan
mempertimbangkan kondisi yang ada.
Tujuan pekerjaan ini adalah melakukan perencanaan teknis guna
pembangunan di lingkungan Universitas Padjadjaran Jatinangor yang mencakup
rehabilitasi jembatan dan jalan akses. Tujuan lain dari pekerjaan ini adalah
tersedianya keluaran yang terdiri dari gambar rencana serta dokumen tender yang
mencakup segala persyaratan yang ditetapkan dan dapat dipertanggung jawabkan
guna pelaksanaan pekerjaan tersebut, serta mengusahakan seminimal mungkin
adanya perubahan-perubahan atau perencanaan tambahan di kemudian hari.

I.4 Batasan Masalah


Agar penelitian yang penulis lakukan dapat dilakukan secara tertata dan
teratur, tentunya diperlukan batasan-batasan yang diambil pada saat melakukan
penelitian. Beberapa batasan tersebut seperti :
1. Memperbaiki Settlement di bagian abutment dan oprit yang mengalami
keretakan pada joint antara abutment dan oprit yang menerus sampai dengan
pagar pengaman yang duduk di atas wingwall.

2
2. Memperbaiki Jalan Akses yang menghubungkan antara Jalan Karatas (Bagian
atas) dengan Jalan Cilayung (bagian bawah).

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengukuran Topografi


Tujuan dilaksanakannya pengukuran topografi adalah untuk mengumpulkan
data koordinat dan ketinggian permukaan lahan dengan skala 1 : 1000 yang akan
digunakan dalam perencanaan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat
pengukuran teodolit atau total station dan waterpass. Hasil pengukuran topografi
disajikan pada Gambar 2.1
Berikut ini adalah gambaran hasil pengukuran tofografi di lokasi Jembatan
Universitas Padjadjaran Jatinangor :
 Berdasarkan klasifikasi kemiringan medan adalah pebukitan
 Panjang bentang jembatan adalah 13.5 m
 Lebar jembatan adalah 25 m
 Kondisi daerah aliran sungai yang berada di bawah jembatan adalah berupa
alur kontur yang mana tataguna lahannya berupa kebun palawija, semak dan
pada bagian hilir adalah berupa sawah
Adapun untuk gambaran hasil survey topografi dapat dilihat berikut.

4
Gambar 2.1 Gambaran Hasil Survey Topografi pada Lokasi Jembatan UNPAD
Adapun gambaran hasil inventarisasi di lokasi jalan akses Universitas Padjadjaran
Jatinangor adalah sebagai berikut :
 Berdasarkan klasifikasi kemiringan medan adalah pebukitan
 Panjang jalan yang diukur adalah 2.062 km
 Lebar jalan bervariasi antara 4.0 m – 4.5 m
 Lebar bahu bervariasi antara 0.5 m – 1 m
 Radius minimumpada tikungan adalah 5 m
 Grade pada tanjakan/turunan maksimum adalah 17%
Adapun untuk gambaran hasil survei inventarisasi dapat dilihat berikut.

Gambar 2.2 Kondisi Alinyemen Horizontal pada Lokasi Jalan Akses UNPAD

5
Gambar 2.3 Kondisi Alinyemen Vertikal pada lokasi Jalan Akses UNPAD

2.2 Hidrologi dan Hidrolika


2.2.1 Curah Hujan
2.2.1.1 Penetapan Periode Ulang
Pada perencanaan saluran ini, ukuran dari bangunan tersebut akan
diperhitungkan cukup untuk mengalirkan debit banjir yang terjadi dalam waktu
tertentu, sehingga ukuran yang dipilih tidak akan terlalu kecil sehingga air banjir
akan selalu meluap ditempat tersebut atau terlalu besar sehingga menyebabkan
bangunan menjadi mahal dan tidak ekonomis. Oleh karena itu dalam pemilihan
debit banjir rencana, dipilih berdasarkan tinggi hujan dengan Periode ulang
tertentu yang ekonomis dan aman. Dari pengalaman yang lalu dan dari hasil

6
tinjauan lapangan dapat ditetapkan beberapa macam kala ulang tergantung dari
jenis bangunan yang akan dibuat seperti terlihat pada tabel 2.1 dibawah ini,

Tabel 2.1 Kata Ulang Rencana


No Jenis Bangunan Minimal Kata Ulang (tahun)
1 Saluran 10
2 Gorong-gorong 10
3 Saluran alam 25
**Sumber : Permen PU No.19/PRT/M/2011
Dari criteria tersebut diatas untuk perencanaan saluran, direncanakan dengan
Periode Ulang Banjir 10 tahunan.

2.2.1.2 Tinggi Hujan Rencana


Perkiraan tinggi hujan rencana dengan periode ulang yang tertentu dilakukan
dengan analisis frekwensi terhadap data curah hujan maksimum harian dalam satu
tahun ( annual series ) . Untuk menentukan distribusi yang cocok terhadap data
curah hujan tersebut ada beberapa distribusi frekwensi yang dikenal dan biasa
dipakai dalam statistik, yaitu :
a. Distribusi Gumbel
b. Distribusi log Pearson tipe III

Masing-masing distribusi mempunyai sifat statistik yang khas. Dengan


menghitung parameter statistik dari rangkaian data yang dianalisis dapat
diperkirakan distribusi mana yang sesuai untuk rangkaian data tersebut.
Dari kriteria diatas, maka dilakukan analisis terhadap data curah hujan yang
ada. Dari hasil analisis terhadap data curah hujan dari Stasiun Pengamatan Hujan
di Jatiroke, distribusi yang paling cocok adalah metode Gumbel; Tinggi hujan
yang dipakai dalam perencanaan saluran ini dengan periode ulang selama 10
tahun, dari hasil hitungan hidrologi didapatkan tinggi hujan sebesar 85.71 mm.

7
Analisis curah hujan dengan beberapa periode ulang tertentu disajikan pada
Tabel 2.2. berikut ini.

Tabel 2.2 Analisa Tinggi Hujan Rencana

8
2.2.2 Debit Banjir
Dalam menentukan dimensi saluran / tali air, digunakan metode Rational untuk
menentukan besarnya debit, sedangkan untuk menentukan kecepatan aliran
digunakan rumus Manning.
Asumsi dasar yang digunakan dalam metode ini ialah; Intensitas curah hujan
( I ) adalah intensitas curah hujan rata-rata pada suatu daerah aliran untuk periode
yang sama dengan waktu konsentrasi tc. Bentuk persamaan metode rasional dalam
satuan metrik adalah :

Dimana : Qr = Debit rencana puncak banjir (m3/det)


C = Koefisien aliran limpasan
I = Intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
A = Luas daerah aliran/catchment area (km2)

Koefisien Pengaliran ( Koefisien C )


Besarnya nilai koefisien pengaliran tergantung dari kemiringan lahan, jenis tanah
dan penggunaan lahan. Secara umum besarnya nilai C ini dapat diambil dari table
2.3. dibawah ini.
Tabel 2.3. Nilai Koefisien Pengaliran (Koefisien C)

9
Perencanaan besarnya intensitas curah hujan umumnya dihubungkan dengan
kemungkinan berapa tahun terjadinya banjir yang maksimum ( Return Periode )
dan lamanya/durasi curah hujan yang turun dan biasanya disebut dengan Intensitas
Durasi Frekuensi. ( Intensity Duration Frequency ).
Besarnya Intensitas Durasi Frekuensi ini berdasarkan formula dari Mononobe :

Dimana :
I = Intensitas curah hujan maksimum pada periode ulang tertentu (mm/jam)
R = Data curah hujan maksimum setempat pada periode tertentu (mm)
tc = Waktu konsentrasi (jam)

Waktu kosentrasi (tc) adalah waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari
suatu titik terjauh pada suatu daerah aliran sampai dengan titik yang ditinjau.
Waktu kosentrasi (tc) terdiri dari dua bagian yaitu waktu yang dibutuhkan oleh
aliran untuk mengalir diatas permukaan tanah ke saluran yang terdekat (to) dan
waktu dari jalannya aliran disaluran pada satu titik ke titik lain yang ditinjau (td).

Besarnya waktu aliran permukaan / “inlet time” (to) tergantung dari panjang jarak
dan kemiringan lahan, dan dapat diperkirakan dari rumus Kirpich dibawah ini :

10
dimana,
Lo = Panjang overland flow ( meter )
s = kemiringan permukaan lahan
nd = koefisien kekasaran permukaan (coef. of retardation ),
dimana nilai nd untuk sirtu = 0,050; bahu jalan = 0,035 dan tanah = 0,020.

sedangkan td = Ls / V (detik) nilai :

dimana :
Ls = Panjang saluran dari titik terjauh sampai dengan titik yang diamati ( meter)
V = Kecepatan aliran air dalam saluran tersebut ( meter / detik )
Perhitungan besarnya nilai intensitas hujan dan grafik IDF nya, dari Stasiun
pengamat hujan Jatiroke disajikan pada tabel 2.4 dan gambar 2.4.

Tabel 2.4 Nilai Intensitas Curah Hujan ( I )

11
12
Gambar 2.4 Lengkung IDF Curah Hujan Stasiun Jatiroke

Hasil Perhitungan debit Banjir untuk periode ulang 10 tahun disajikan dalam
Tabel 2.5 berikut.

Tabel 2.5 Perhitungan Debit Banjir Periode Ulang 10 Tahun

13
2.2.3 Hidrolika Saluran
2.2.3.1 Kapasitas Saluran

Untuk menghitung besarnya dimensi saluran yang diperlukan, metode yang


biasa digunakan adalah metode kombinasi dari rumus Rational untuk
menghitung debit banjirnya dan Rumus Manning untuk menghitung kapasitas
salurannya, data data untuk perencanaan disesuaikan dengan kondisi lapangan
dan data yang tersedia. Sedangkan rumus perhitungan kapasitas saluran dari
Manning adalah sebagai berikut :

Dimana ,
Qs = Kapasitas Debit air dalam saluran ( m3/det )
V = Kecepatan pengaliran ( m/det )
A = Luas penampang basah gorong-gorong diambil ( m2 )
n = Nilai kekasaran dinding saluran ( Koefisien kekasaran Manning )
R = jari-jari hidraulis (m) =A/P
A = Luas basah saluran (m2)
P = Keliling basah (m)
S = Nilai kemiringan dasar saluran

Kemiringan saluran diambil dari rata-rata pada pengukuran cross section


atau dari peta topografi yang ada, dan untuk rencana gorong-gorong
kemiringannya tergantung dari yang akan direncanakan.
Sedangkan besarnya koefisien kekasaran manning (koefisien n ) tergantung
dari jenis, kondisi dan bahan dari saluran tersebut; Untuk berbagai jenis saluran,
nilai kekasaran manning adalah seperti tabel 2.6. berikut:

14
Tabel 2.6 Nilai Koefisien KekasaranManning ( koefisien n )

Hasil perhitungan hidrolis saluran tersebut disajikan pada tabel 2.7 berikut.
Tabel 2.7 Perhitungan Hidrolis Saluran

2.3 Penyelidikan Tanah

Salah satu input dalam desain perkerasan yaitu data kondisi subgrade, data ini
didapatkan dari survei penyelidikan tanah. Survei ini diperlukan untuk
mengetahui karakteristik tanah bawah permukaan dimana suatu ruas jalan akan
dibangun di lokasi tersebut. Data tanah yang diperoleh dari pekerjaan ini
kemudian dipakai dalam pekerjaan analisis dan desain khususnya pondasi
rencana bangunan infrastruktur tersebut.
Maksud dari pelaksanaan kegiatan penyelidikan dan investigasi ini adalah untuk
mendapatkan contoh tanah pada areal lokasi pembangunan ruas jalan dan
melakukan pengujian-pengujian baik di lapangan maupun di labaoratorium.
Untuk mengetahui sifat karakteristik dan mekanik tanah dasar di area
perencanaan pembangunan ruas jalan. Pekerjaan survei penyelidikan tanah/
survei geoteknik dilapangan ini meliputi :

15
a. Pengujian Bor Dalam
Pengeboran adalah suatu proses pembuatan lubang
vertikal/miring/horizontal pada tanah/batuan dengan atau tanpa
menggunakan alat/mesin untuk keperluan deskripsi tanah/batuan, biasanya
dapat dilakukan bersama-sama dengan uji lapangan dan pengambilan contoh
tanah/batuan. Pemboran dilakukan dengan acuan SNI 03-2436-1991
sedangkan cara mendeskripsikan contoh tanah mengacu pada SNI 03-4148-
1996. Metode pemboran kering diterapkan dalam pekerjaan ini untuk
mendapat deskripsi tanah yang tepat. Pemboran antara pekerjaan ini
menggunakan Single Tube Core Barrels berdiameter 76 mm dan panjang
100 cm, dan Double Tube Core Barrels dengan diameter core dalam. Thin
Walled digunakan dalam pengambilan contoh tanah tak terganggu. Dalam
pekerjaan ini juga dilakukan Standard Penetration Test (SPT) yang mengacu
pada SNI 03-4153-1996. Pemboran inti dimaksudkan untuk memperoleh
informasi tentang jenis tanah/ batuan serta pelapisannya berdasarkan
deskripsi visual terhadap inti bor. Dengan demikian dapat diketahui susunan
pelapisannya.
Peralatan yang digunakan adalah mesin hidrolis (Hydrolic type drilling
machine) yang dilengkapi dengan tabung penginti (core barrel) berdiameter
NX (76 mm) berdasarkan DCDMA.
Pembuatan lubang bor dilakukan dengan pemboran inti bermesin untuk
memperoleh contoh dan inti. Pusaran air lumpur tidak boleh terjadi selama
pemboran berlangsung guna mencegah agar dinding lubang bor tidak runtuh,
dipakai pipa pelindung (casing).
Pelaksanaan pekerjaan harus memuat catatan kemajuan pemboran
dalam buku lapangan dengan format seperti yang telah disetujui oleh
pengawas pekerjaan. Catatan tersebut akan ditunjukkan antara lain type dan
ukuran mata bor, tabung penginti dan alat pengambil contoh, air tanah,
elevasi dimana dijumpai air dengan tekanan sangat besar, tebal lapisan,
kedalaman pemboran pengujian yang dilakukan.

16
Pada waktu memberi formasi batuan, harus dipakai reaming shell guna
mencegah menyempitnya diameter lubang. Untuk lapisan endapan, harus
dipakai pipa pelindung baja guna mencegah agar dinding lubang tidak
runtuh.
Hanya bahan yang diambil dari tabung penginti saja yang boleh
dianggap sebagai contoh inti. Bahan-bahan lain seperti lender (slime),
potongan-potongan tanah atau bahan yang jatuh dari dinding lubang tidak
boleh dianggap sebagai contoh. Untuk mengatasi hal ini harus diambil
contoh menerus (continous core) pelaksanaan pekerjaan harus berusaha
keras untuk memperbanyak rasio perolehan inti.
Setiap kali pemboran selesai, lubang bor harus ditandai dan tanda ini
harus diplot pada gambar. Lokasi dan elevasi lubang bor yang telah selesai
harus diukur oleh pelaksana pekerjaan.
Hasil pengeboran berupa inti berbentuk batang (core), disyaratkan
menggunakan tabung penginti rangkap (double tube core barrel) atau untuk
hal-hal khusus dapat dipergunakan tabung penginti rangkap tiga (Triple tube
core barrel) dimasukkan ke dalam peti kayu serta disusun sesuai dengan
urutan kemajuan pemboran.

b. Uji Penetrasi Standard (Spt)


Uji penetrasi standar (SPT = Standard penetration test) adalah Suatu
metode uji yang dilaksanakan bersamaan dengan pengeboran untuk
mengetahui, baik perlawanan dinamik tanah maupun pengambilan contoh
terganggu dengan teknik penumbukan. Uji SPT terdiri atas uji pemukulan
tabung belah dinding tebal ke dalam tanah, disertai pengukuran jumlah
pukulan untuk memasukkan tabung belah sedalam 300 mm vertikal. Dalam
sistem beban jatuh ini digunakan palu dengan berat 63,5 kg, yang dijatuhkan
secara berulang dengan tinggi jatuh 0,76 m. Pelaksanaan pengujian dibagi
dalam tiga tahap, yaitu berturut-turut setebal 150 mm untuk masing-masing
tahap. Tahap pertama dicatat sebagai dudukan, sementara jumlah pukulan

17
untuk memasukkan tahap ke-dua dan ke-tiga dijumlahkan untuk memperoleh
nilai pukulan N atau perlawanan SPT (dinyatakan dalam pukulan/0,3 m).
1. Peralatan yang diperlukan dalam uji penetrasi dengan SPT adalah
sebagai berikut:
 Mesin bor yang dilengkapi dengan peralatannya
 Mesin pompa yang dilengkapi dengan peralatannya
 Split barrel sampler yang dilengkapi dengan dimensi (ASTM D
1586-84)
 Palu dengan berat 63,5 kg dengan toleransi meleset ± 1%
 Alat penahan (tripod)
 Rol meter
 Alat penyipat datar
 Kerekan
 Kunci-kunci pipa
 Tali yang cukup kuat untuk menarik palu dan Perlengkapan lain.
 Catat jumlah pukulan setiap penetrasi 5 cm untuk jenis tanah batuan.

18
Gambar 2.5 Alat Pengambilan Contoh Tabung Belah

2. Pengujian
Lakukan pengujian dengan tahapan sebagai berikut:
 Lakukan pengujian pada setiap perubahan lapisan tanah atau pada
interval sekitar 1,50 msampai dengan 2,00 m atau sesuai keperluan
 Tarik tali pengikat palu (hammer) sampai pada tanda yang telah
dibuat sebelumnya (kira-kira 75 cm)
 Lepaskan tali sehingga palu jatuh bebas menimpa penahan
 Ulangi tahap 2 dan tahap 3 berkali-kali hingga penetrasi 15 cm
 Hitung jumlah pukulan atau tumbukan N pada penetrasi 15 cm yang
pertama
 Ulangi tahap 2, 3, 4 dan tahap 5 sampai pada penetrasi 15 cm yang
ke-dua dan ke-tiga
 Catat jumlah pukulan N pada setiap penetrasi 15 cm:
 15 cmpertama dicatat N1
 15 cmke-dua dicatat N2
 15 cmke-tiga dicatat N3.
 Jumlah pukulan yang dihitung adalah N2 + N3. Nilai N1 tidak
diperhitungkan karena dianggap masih kotor bekas pengeboran
 Bila nilai N lebih besar daripada 50 pukulan, hentikan pengujian
dan tambah pengujian sampai minimum 6 meter
 Catat jumlah pukulan setiap penetrasi 5 cm untuk jenis tanah
batuan.

19
Gambar 2.6 Penetrasi dengan SPT

3. Koreksi Hasil Uji SPT


Dalam pelaksanaan uji SPT di berbagai negara, digunakan tiga
jenis palu (donut) hammer, safety hammer, dan otomatic, dan empat
jenis batang bor (N, NW, A, dan AW), lihat Pedoman penyelidikan
geoteknik untuk fondasi bangunan air”, Vol.1 (Pd.T-03.1-2005-
A).Ternyata uji ini sangat bergantung pada alat yang digunakan dan
operator pelaksana uji. Faktor yang terpenting adalah efisiensi tenaga
dari sistem yang digunakan. Secara teoritis tenaga system jatuh bebas
dengan massa dan tinggi jatuh tertentu adalah 48 kg-m (350 ft-lb), tetapi
besar tenaga sebenarnya lebih kecil karena pengaruh friksi dan
eksentrisitas beban. Adapun koreksi hasil uji SPT adalah sebagai berikut:

20
Gambar 2.7 Skema urutan uji penetrasi standar (SPT)

Gambar 2.8 Contoh palu yang biasa digunakan dalamuji SPT


Menurut ASTM D-4633 setiap alat uji SPT yang digunakan harus
dikalibrasi tingkat efisiensi tenaganya dengan menggunakan alat ukur
strain gauges dan aselerometer, untuk memperoleh standar efisiensi
tenaga yang lebih teliti. Di dalam praktek, efisiensi tenaga sistem balok
derek dengan palu donat (donut hammer) dan palu pengaman (safety
hammer) berkisar antara 35% sampai 85%, sementara efisiensi tenaga
palu otomatik (automatic hammer) berkisar antara 80% sampai 100%.
Jika efisiensi yang diukur (Ef) diperoleh dari kalibrasi alat, nilai N
terukur harus dikoreksi terhadap efisiensi sebesar 60%, dan dinyatakan
dalam rumus :

21
dengan :
N60 : efisiensi 60%
Ef : efisiensi yang terukur ; NM : nilai N terukur yang harus dikoreksi.

Nilai N terukur harus dikoreksi pada N60 untuk semua jenis


tanah. Besaran koreksi pengaruh efisiensi tenaga biasanya bergantung
pada lining tabung, panjang batang, dan diameter lubang bor (Skempton
(1986) dan Kulhawy & Mayne (1990)). Oleh karena itu, untuk
mendapatkan koreksi yang lebih teliti dan memadai terhadap N60, harus
dilakukan uji tenaga Ef.
Dalam beberapa hubungan korelatif, nilai tenaga terkoreksi N60
yang dinormalisasi terhadap pengaruh tegangan efektif vertikal
(overburden), dinyatakan dengan (N1) 60. Nilai (N1) 60 menggambarkan
evaluasi pasir murni untuk interpretasi kepadatan relatif, sudut geser, dan
potensi likuifaksi.
(N1)60 = NM x CN x CE x CB X CR X CS
CN = 2,2/ (1,2 + (σ’vo/Pa))
dengan :
(N1) 60 : nilai SPT yang dikoreksi terhadap pengaruh efisiensi tenaga
60%
NM : hasil uji SPT di lapangan
CN : faktor koreksi terhadap tegangan vertikal efektif(nilai≤1,70 )
CE : faktor koreksi terhadap rasio tenaga palu
CB : faktor koreksi terhadap diameter bor
CR : faktor koreksi untuk panjang batang SPT
CS : koreksi terhadap tabung contoh (samplers) dengan atau tanpa pelapis
(liner)
σ’vo : tegangan vertikal efektif (kPa)
Pa : 100 kPa.

22
Berikut ini adalah hasil data bor pada lokasi Jembatan Unpad Jatinangor :
BH-01

23
BAB III
METODOLOGI

3.1. Metodologi Kerja

Metodologi kerja merupakan acuan untuk penyelesaian seluruh rangkaian


kegiatan pekerjaan Rencana Penanganan Rehabilitasi Jembatan dan Jalan Akses
Universitas Padjadjaran-Jatinangor, dengan acuan ini diharapkan seluruh aspek
pekerjaan dapat dilakukan seoptimal mungkin, sehingga diperoleh efektifitas
kerja dan efisiensi yang tinggi.
Sesuai dengan kerangka acuan kerja, hasil keluaran (output) yang
diharapkan dari pekerjaan ini adalah sebagai berikut :
a. Dokumen perencanaan pembangunan jembatan.

b. Dokumen lelang perencanaan pembangunan jembatan.

Untuk dapat mencapai sasaran tersebut, maka dalam pelaksanaan


pekerjaan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Melakukan pemahaman terhadap issue permasalahan yang ada, mencakup
kondisi existing, batasan-batasan yang ada, standar-standar perencanaan
dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
b. Melakukan kajian teknis secara umum, guna menetapkan kriteria desain
dan menentukan rencana kerja dan metoda pelaksanaan pekerjaan yang
tepat dan efektif.
c. Melakukan kegiatan pengumpulan data lapangan secara terinci yang akan
diperlukan sebagai masukan dalam proses perencanaan.

d. Melakukan kajian dan analisis terhadap semua data yang telah diperoleh,
melakukan perhitungan-perhitungan perencanaan teknis yang mencakup
perancangan geometrik jalan dan jembatan, analisis penyelidikan tanah,
analisis lalu lintas, perhitungan struktur pekerasan jalan, perencanaan
bangunan bawah dan bangunan atas, serta bangunan pelengkap lainnya.
e. Menyiapkan gambar rencana.

f. Melakukan perhitungan kuantitas pekerjaan dan analisis harga satuan

24
pekerjaan serta menghitung perkiraan biaya proyek.
g. Menyiapkan dokumen pelelangan.

Secara kronologis, pekerjaan penyusunan desain rehabilitasi jembatan ini


dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) tahapan kegiatan utama sebagai berikut :
Tahap – I : Pendahuluan

1. Persiapan.

2. Survei pendahuluan.

Tahap – II : Antara
1. Survei detail.

2. Penyusunan konsep perencanaan.

3. Penyusunan pra rancangan.

Tahap – III : Akhir


1. Analisis.

2. Penyiapan gambar rencana dan spesifikasi teknis.

3. Perhitungan kuantitas dan analisa harga satuan.

4. Penyiapan dokumen lelang dan laporan.

Secara lebih jelas, metodologi pekerjaan diilustrasikan dalam bagan alir


pelaksanaan sebagai berikut :

25
Gambar 3.1 Kerangka Kegiatan Paket PW CT/2018 Core Team Perencanaan dan Pengawasan Jawa Barat (Rencana Penanganan Rehabilitasi
Jembatan dan Jalan Akses Universitas Padjadjaran-Jatinangor)

24
BAB IV
DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Perencanaan Jembatan


4.1.1. Data Teknis Jembatan
Berikut adalah data teknis jembatan berdasarkan as built drawing yang di dapatkan.
 Perkiraan Bentang jembatan = 14 m
 Lebar Jembatan = 25 m
 Tipe Struktur Atas = Jembatan Girder Baja Komposit Pelat Beton
 Tinggi Abutmen = 5 m
 Jenis Abutmen = Beton Bertulang
 Jenis Pondasi = Pondasi Tiang Pancang

Gambar 4.1 Denah Jembatan

25
Gambar 4.2 Potongan Memanjang Jembatan

Dari hasil pengamatan secara visual di lokasi jembatan, bahwa settlement di


bagian abutmen dan oprit mengakibatkan keretakan pada joint antara abutmen dan
oprit yang menerus sampai dengan pagar pengaman yang duduk diatas wingwall,
bisa diakibatkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a. Adanya area terbuka dibagian median oprit menyebabkan aliran air masuk ke area
timbunan oprit sehingga akan memberikan dampak tekanan air tanah terhadap
wingwall maupun abutmen
b. Pada bagian wingwall (dinding penahan di oprit) tidak terdapat sulingan, sehingga
air tanah terjebak di area oprit dan berpengaruh besar pada struktur wingwall
maupun abutmen
c. Struktur dinding penahan tanah /wingwall pasangan batu mempunyai konstruksi
yang salah, seperti : ukurannya yang tidak memperhitungkan stabilitas begitupun
dengan mutunya.
d. Bahan tanah timbunan tidak memenuhi spesifikasi teknis

26
e. Pelaksanaan pemadatan tanah timbunan pada oprit (belakang abutmen)
tidakdilakukan sesuai spesifikasi teknis, yang seharusnya dilakukan per layer
(maksimum per 30 cm) hingga mencapai kepadatan minimum 95%

Kondisi tanah dasar yang kurang baik, jika tidak ditangani khusus akan berakibat
terhadap konstruksi di bagian atasnya.
4.1.2 Analisis Geoteknik
Berikut ini adalah analisis geoteknik akibat amblasnya perkerasan di atas
timbunan oprit jembatan. Hasil pengujian bor mesin di lokasi jembatan
Unpad seperti dibawah ini.

Gambar 4.3 Data Tanah BH-01

27
Berdasarkan hasil pengujian bor mesin di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
3 lapisan tanah dengan rincian sebagai berikut:
 Lapis 1 : Kedalaman 0 m – 4 m (Tanah Timbunan NSPT 3 – 4 = Soft Clay)
 Lapis 2 : Kedalaman 4 m – 10 m (Tanah Dasar Lapis Pertama NSPT 5 – 8 =
Medium Clay)
 Lapis 3 : Kedalaman 10 m – 16 m (Tanah Dasar Lapis Kedua NSPT ≥ 60 =
Batu Breksi)
Dari hasil interpretasi data tanah, didapatkan kesimpulan bahwa penyebab
kerusakan adalah sebagai berikut:
 Tanah timbunan merupakan jenis soft clay yang mengakibatkan timbunan
tidak stabil sehingga terjadi kerusakan di wing wall jembatan
 Tanah timbunan jenis soft clay merupakan tanah yang compressible, hal ini
yang mengakibatkan terjadinya amblas dan penurunan di slab beton pada
bagian oprit.
 Tanah dasar lapis pertama merupakan tanah yang compressible, sehingga
tanah dasar lapis pertama juga berperan dalam terjadinya amblas dan
penurunan di slab beton bagian oprit.
Dari hasil analisis tersebut, penyebab kerusakan dari aspek geoteknik dapat
dikerucutkan menjadi dua bagian, yaitu terjadinya penurunan pada tanah dasar
lapis pertama dan kualitas tanah timbunan yang buruk.

4.1.3 Korelasi Parameter Tanah Berdasarkan Nilai SPT


Nilai undrained shear strength (cu) terhadap kedalaman ditentukan
berdasarkan hasil Triaxial Test atau Unconfined Test atau berdasarkan nilai korelasi
antara nilai N-SPT terhadap nilai undrained shear strength (cu) seperti gambar yang
ditunjukkan dibawah ini :

28
Gambar 4.4 Korelasi Undrained Shear Strength (cu) Terhadap Nilai SPT Tanah
Lempung (Terzaghi & Peck, 1967)

Nilai kohesi atau undrained shear strength (cu) untuk tanah lempung dapat dihitung
juga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

dengan:
cu = undrained shear strength tanah lempung
N = nilai N-SPT
Parameter kekakuan dan deformasi untuk tanah secara umum dapat diperkirakan
berdasarkan tabel berikut :

29
Tabel 4.1 Parameter Kekakuan dan Deformasi Untuk Berbagai Jenis Tanah

Sedangkan Undrained Young’s Modulus, Eu, dapat diperkirakan berdasarkan grafik


pada gambar berikut ini :

Gambar 4.5 Grafik Undrained Young’s Modulus, Eu (Jamiolkowski, et al., 1979)

4.1.4 Metode Analisis Stabilitas (Finite Element)


Metoda elemen hingga adalah cara pendekatan solusi analisis struktur secara
numerik dimana struktur kontinum dengan derajat kebebasan tak hingga
disederhanakan dengan diskretisasi kontinum kedalam elemen-elemen kecil yang
umumnya memiliki geometri lebih sederhana dengan derajat kebebasan tertentu
(berhingga), sehingga lebih mudah dianalisis. Elemen-elemen diferensial ini
memiliki asumsi fungsi perpindahan yang dikontrol pada nodal - nodalnya. Pada
nodal tersebut diberlakukan syarat keseimbangan dan kompatibilitas. Perpindahan
30
pada titik lain diasumsikan dipengaruhi oleh nilai nodal. Dengan menerapkan prinsip
energi disusun matriks kekakuan untuk tiap elemen dan kemudian diturunkan
persamaan keseimbangannya pada tiap nodal dari elemen diskret sesuai dengan
kontribusi elemennya. Persamaan keseimbangan yang berbentuk persamaan aljabar
simultan ini diselesaikan sehingga perpindahan nodal dapat diperoleh. Regangan
nodal dapat dihitung dari derajat kebebasan nodal sehingga tegangannya dapat
ditentukan.

Gambar 4.6 Contoh Model Elemen Segitiga dalam Perhitungan dengan Metoda
Elemen Hingga

Pada suatu inkremen tekanan tertentu akibat pembebanan, persamaan elemen hingga
yang dipakai adalah :

Dengan t adalah ketebalan elemen.


Dalam bentuk persamaan matriks, persamaan-persamaan di atas menjadi:

Dimana:
[K] = Matriks kekakuan (karakteristik dari elemen)
= (pada kasus plane strain)
{a} = Perpindahan nodal
{F} = Gaya pada titik
Gaya pada titik didapatkan dari :
{Fb} = Body forces
{Fs} = Gaya yang disebabkan oleh boundary pressure pada permukaan
= (pada analisis plane strain)
31
{Fn} = Gaya-gaya luar pada nodal
Hasil perhitungan dengan metoda elemen hingga sangat bergantung pada
pemilihan constitutive model yang dapat menggambarkan perilaku nonlinear tanah
dengan lebih realistik. Saat ini telah tersedia berbagai consitutive model antara lain,
untuk model keruntuhan Mohr-Coulomb, soft soil model, cam-clay model, hardening
soil model, soft soil creep model dan lain-lain. Definisi yang tepat dalam
menjelaskan konsep angka keamanan lereng dalam metoda elemen hingga
dinyatakan sebagai berikut :

Dimana S adalah kuat geser tanah. Dari hubungan di atas, dapat dijelaskan bahwa
angak keamanan didefinisikan sebagai rasio antara kuat geser actual dengan kuat
geser minimal yang dibutuhkan pada kondisi seimbang. Berdasarkan kondisi
keruntuhan Mohr-Coulomb, selanjutnya, dapat dinyatakan sebagai :

dimana cr dan adalah parameter kuat geser terkurangi (reduced shear strength).

Pengurangan parameter dilakukan secara bertahap sampai mencapai kondisi


keruntuhan.

4.1.5 Kriteria Desain Geoteknik


a) Angka keamanan stabilitas timbunan kondisi operasi = 1.5
b) Angka keamanan stabilitas timbunan kondisi gempa = 1.1

4.1.6 Analisis Stabilitas Timbunan Oprit Kondisi Eksisting


Berikut ini merupakan pemodelan timbunan oprit kondisi eksisting dan
parameter tanah yang digunakan dalam analisis. Output yang dihasilkan adalah
shading dan nilai angka keamanan kondisi konstruksi, statik dan gempa.

32
Gambar 4.7 Pemodelan Geometrik Timbunan Kondisi Eksisiting

Gambar 4.8 Output Shading Kondisi Statik (SF = 1.07)


Dari hasil analisis di atas didapat kesimpulan bahwa stabilitas timbunan eksisting
adalah tidak aman, sehingga kerusakan yang terjadi dapat diverifikasi akibat
stabilitas timbunan yang kurang memadai. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa nilai SF
statik adalah 1.07 dan tidak memenuhi kriteria desain.

33
4.1.7 Analisis Stabilitas Timbunan Oprit Kondisi Perbaikan

Gambar 4.9 Pemodelan Geometrik Timbunan Kondisi Perbaikan

Gambar 4.10 Output Shading Kondisi Statik (SF = 1.57)

Gambar 4.11 Output Shading Kondisi Gempa (SF = 1.17)


Dari hasil analisis di atas didapat kesimpulan bahwa dengan menggunakan timbunan
dengan nilai cu = 22 kPa, maka timbunan oprit telah memenuhi kriteria desain yang
ada. Hal ini ditunjukkan dengan nilai SF statik adalah 1.57 dan SF gempa adalah
1.17.
34
4.2 Perencanaan Jalan
4.2.1 Kriteria Perencanaan
Berdasarkan kriteria dan pedoman yang ada, antara lain :
 Undang – undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
 Permen PU No. 19/PRT/M/2011, tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria
Perencanaan Teknis Jalan
 Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997
 AASHTO Geometric Design of Highway and Streets, 2001/2004/2011
 Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2017
 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur Dengan Metode Lendutan
(Pd. T-05-2005-B)
 Pedoman Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan Lentur (Pd. T. 01-2002-B)
Berikut data teknis perencanaan geometrik jalan yang berisikan parameter-parameter
sesuai dengan kriteria jalannya.
Tabel 4.2 Parameter Perencanaan Geometrik

35
4.2.2 Alinyemen Horizontal

Hasil perencanaan alinyemen horizontal ditampilkan dalam tabel dan gambar di


bawah ini :
Tabel 4.3 Data Lengkung Alinyenen Horizontal Jalan Akses

36
Gambar 4.12 Alinyemen Horizontal Jalan Akses

37
4.2.3 Alinyemen Vertikal
Hasil perencanaan alinyemen vertikal ditampilkan dalam tabel dan gambar di bawah
ini :
Tabel 4.4 Data Lengkung Alinyenen Vertikal Jalan Akses

38
Gambar 4.13 Alinyemen Vertikal Jalan Akses

4.2.4 Perkerasan Jalan


Untuk mendapatkan jenis perkerasan berdasarkan hasil survey inventori lapangan
yang mana kelas jalan dikategorikan kepada jalan dengan lalulintas rendah dan
kondisi perkerasan eksisting jalan adalah seperti yang dijelaskan pada Bab. 2.

39
Sesuai dengan petunjuk MDP 2017 bahwa untuk lalulintas rendah dapat digunakan
table di bawah ini.
Tabel 4.5 Perkiraan Lalu Lintas untuk Jalan Lalu Lintas Rendah

Di bawah ini adalah alternative desain untuk penanganan lapisan perkerasan


menggunakan MDP 2017 yang mana lapisan perkerasannya adalah seperti
ditunjukan dalam Bagan Desain 3A berikut.

Bagan Desain 3A : Desain Perkerasan Lentur dengan HRS

Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka pertimbangan lapisan perkerasan dibagi


menjadi 2 tipe, yaitu :
a. Tipe – 1 : kondisi perkerasan aspal eksisting sudah hancur akan tetapi lapisan
pondasi agregat cukup baik, maka penanganannya adalah penambahan
agregat kelas A dan aspal, sehingga diperoleh lapisan perkerasan sebagai
berikut :
40
HRS-WC = 5 cm
LPA Kelas A = 15 cm
b. Tipe – 2 : kondisi perkerasan aspal dan lapisan pondasi agregat eksisting
sudah hancur, banyak berlubang, sehingga sebagian besar sudah terlihat
seperti tanah, dengan asumsi bahwa kondisi drainase cukup baik dan CBR
tanah dasar ≥ 6%, sehingga penanganannya adalah sebagai berikut :
HRS-WC = 5 cm
LPA Kelas A = 30 cm

41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Dari uraian Bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Lokasi pekerjaan berada di kawasan Universitas Padjadjaran Jatinangor,
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
2) Terdapat 2 rencana penanganan rehabilitasi yaitu :
 Jembatan, yang terletak dibagian depan jalan masuk menuju Gedung Rektorat
 Jalan akses, yang menghubungkan antara Jalan Karatas (bagian atas) dengan
Jalan Cilayung (bagian bawah).
3) Kondisi dari pada kedua penanganan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Jembatan :
 Jembatan adalah tipe komposit yang mempunyai ukuran, Panjang
bentang 14 m dan lebar 25 m
 Bagian wingwall arah jalan pendekat (oprit) menuju jalan raya Jatinangor
adalah berupa konstruksi pasangan batu mengalami rusak berat (pecah).
 Jalan pendekat (oprit) arah keluar menuju jalan raya Jatinangor terlihat
mengalami penurunan (settlement)/amblas, hal ini terlihat retakan
sepanjang arah melintang jalan
 Pada bagian atas jembatan terdapat pagar tembok pengaman sampai
dengan kedua oprit pada masing-masing arah. Pagar tersebut mengalami
kerusakan/patah pada lokasi pertemuan antara abutmen dan oprit.
 Bagian bawah jembatan berupa alur (cekungan) alam bukan aliran sungai
b. Jalan akses :
 Kondisi medan jalan eksisting berada pada daerah pebukitan yang mana
terdapat beberapa tikungan tajam dengan radius minimal 5 dan tanjakan
dengan grade maksimum ± 17%
 Lebar lajur lalulintas adalah 2 x 2.2 m yang mana kondisi aspal jalan
sudah rusak

42
 Kondisi bahu jalan adalah berupa tanah dengan ukuran lebar sekitar 0.5 -
1 m, yang mana banyak ditumbuhi rerumput cukup tinggi akibat kurang
pemeliharaan
 Kondisi fisik saluran mortar eksisting cukup baik, hanya perlu
pembersihan secara rutin.
4) Rencana penanganan di kedua lokasi tersebut adalah :
a. Jembatan :
 Melakukan pembongkaran pada bagian oprit dan bagian yang
memungkinkan adanya perubahan/kerusakan dan memperbaikinya sesuai
hasil detail desain.
 Adanya penggantian Dinding Penahan Tanah (DPT) yang asalnya batu
kali menjadi beton bertulang.
 Pada bagian oprit tidak disarankan adanya area terbuka yang menjadi
celah untuk masuknya aliran air ke area timbunan.
 Pada hasil pengujian bor dalam dan SPT dihasilkan lapisan tanah pada
kedalaman 0 -10 m merupakan tanah lempung dengan variasi nilai NSPT
3-8 dengan konsistensi lunak. Sedangkan dari kedalaman 10 – 16 m
merupakan lapisan Breksi melapuk tinggi dengan kisaran N-SPT 65, dan
sudah termasuk lapisan tanah keras.
 Timbunan yang disarankan adalah timbunan dengan nilai cu = 22 kPa.
 Berikut ini merupakan table perbandingan hasil analisis timbunan kondisi
eksisting dan kondisi perbaikan.

Tabel 5.1 Perbandingan Hasil Analisis

b. Jalan Akses :
 Perbaikan alinyemen horizontal pada Sta : 0+150 – 0+450 , 1+375 –
1+425 dan 1+750 – 1+800, karena mempunyai nilai radius di tikungan
sangat kecil

43
 Perbaikan alinyemen vertikal pada Sta : 0+400 – 0+550, karena
mempunyai tanjakan yang cukup terjal
 Sesuai dengan kondisi perkerasan jalan eksisting, terdapat 2 tipikal
penanganan perkerasan, yaitu : tipe-1 (HRS-WC 5 cm + Aggregat kelas
A 15 cm) dan tipe-2 (HRS-WC 5 cm + Aggregat kelas A 30 cm)

5.2. Saran
Terkait pelaksanaan pekerjaan, maka disarankan :
a) Pada saat pelaksanaan, Penyedia Jasa harus berkordinasi dengan pihak
Universitas Padjadjaran terkait waktu pelaksanaan.
b) Untuk penanganan timbunan oprit pada jembatan harus dilakukan pemadatan
per layer sesuai dengan Spesifikasi Teknis Bina Marga
c) Pada pekerjaan perbaikan wingwal harus dipasang pipa sulingan supaya tidak
ada air yang terjebak pada bagian oprit jembatan
d) Perkerasan jalan pada bagian oprit harus tertutup oleh beton atau aspal untuk
menghindari rembesan aliran air ke dalam oprit
e) Kegiatan setting out harus dilakukan sebelum pelaksanaan konstruksi
f) Pada bagian jalan yang masih terdapat aspal harus dilakukan scrab supaya
agregat lama dapat menyatu dengan agregat yang baru.

44
DAFTAR PUSTAKA

Bina Marga No. 03/MN/B/1983, tentang Manual Pemeliharaan Jalan;


American Standard of Testing Material (ASTM), Soil and Rock, Building, Stones,
Geotextiles (Volume 04.08), 1989;
Undang – undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan;
Permen PU No. 19/PRT/M/2011, tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria
Perencanaan Teknis Jalan;
Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997;
AASHTO Geometric Design of Highway and Streets, 2001/2004/2011;
Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2017;
Perencanaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur Dengan Metode Lendutan (Pd.
T-05-2005-B);
Pedoman Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan Lentur (Pd. T. 01-2002-B);
Permen PU No.13/PRT/M/2011, tentang Metode RCI (Road Condition Index);
Perencanaan Drainase, SNI 03-3424-1994 Dep. Pekerjaan Umum;
Metode Pencatatan dan Interpretasi Hasil Pemboran Inti, SNI 03-2436-1991;
Spesifikasi Tabung Dinding Tipis untuk Pengambilan Contoh Tanah Berkohesi
Tidak Terganggu, SNI 03-4148-1996;
Standard Penetration Test (SPT), SNI 03-4153-1996;

45

Anda mungkin juga menyukai