Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jalan merupakan prasarana yang sangat dibutuhkan dalam sistem transportasi untuk
menghubungkan suatu tempat ke tempat lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan
ekonomi, sosial, dan budaya. Kondisi jalan yang baik diperlukan untuk kelancaran
kegiatan transportasi yaitu untuk menjamin kelancaran mobilisasi barang atau jasa secara
aman dan nyaman. Serta memberikan pelayanan yang optimal pada arus lalu lintas yang
melaluinya.
Peristiwa longsoran dan jatuhan batuan merupakan salah satu bencana alam yang
menyebabkan banyak kerugian. Longsor batuan menyebabkan jalan tidak dapat
berfungsi dengan baik dan menghambat mobilisasi barang ataupun jasa. Peristiwa
jatuhan batuan dapat mempengaruhi kekuatan dari lapis perkerasan yang menyebabkan
rusaknya jalan tersebut. Akibat dari longsor batuan dan jatuhan batuan yang terjadi, jalan
tidak dapat melaksanakan fungsinya sesuai dengan umur rencana yang telah
direncanakan. Selain itu masih banyak kerugian yang dapat terjadi baik secara material
maupun non-material. Maka dari itu, Direktorat Jenderal Bina Marga, Balai Besar
Pelaksanaan Jalan Nasional VI Cq Satuan Kerja Perencanaan dan Pengawasan Jalan
Nasional Provinsi Jawa Barat, bermaksud untuk melaksanakan Perencanaan Penanganan
Longsoran Cilaki – Rancabuaya – Cijayana Km. Bdg. 164 + 000 yang akan dilaksanakan
oleh Penyedia pekerjaan konstruksi. Sasaran pekerjaan ini adalah tercapainya hasil
pekerjaan preservasi jalan dan penanganan longsoran sesuai dengan Spesifikasi Teknis
yang telah ditetapkan, sehingga kinerja jalan yang ditangani dapat memberikan
layanannya sesuai dengan umur desain yang direncanakan.

1.2. Maksud Dan Tujuan


Secara umum, maksud dan tujuan dari Perencanaan Penanganan Longsoran Cilaki –
Rancabuaya – Cijayana Km. Bdg. 164+000 yaitu untuk mendapatkan Penanganan
longsoran sesuai dengan Spesifikasi Teknis yang telah ditetapkan. sehingga kinerja jalan
yang ditangani dapat memberikan layanannya sesuai dengan umur desain yang
direncanakan, serta memudahkan untuk mencapai suatu lokasi dan menghasilkan suatu
tingkat kenyamanan dan keamanan yang tinggi bagi pengguna jalan tersebut.

1
Maksud dari kegiatan ini adalah :
a. Melaksanakan survei geoteknik;
b. Melaksanakan survei hidrologi;
c. Melaksanakan survei geologi;
d. Melaksanakan survei topografi;
e. Melaksanakan survei lalu – lintas;
f. Melaksanakan pengeboran tanah/batuan di lokasi kerusakan;
g. Melaksakana pengambilan sample UDS untuk uji lab;
h. Melaksanakan interpretasi dan DED desain penanganan khusus.

Tujuan :
a. Untuk mendapatkan data tanah yang berguna untuk perhitungan analisis geoteknik;
b. Untuk mendapatkan stratigrafi lapisan tanah/batuan;
c. Untuk mendapatkan lokasi/kondisi bidang gelincir di atas dan bawah badan jalan;
d. Untuk mendapatkan data hidrologi seperti curah hujan, aliran air permukaan
termasuk aliran sungai di sekitar jalan, dan area tangkapan air hujan yang
berpengaruh terhadap kelongsoran di atas dan dibawah badan jalan;
e. Untuk mendapatkan perkiraan kekuatan material bantuan di sekitar lokasi longsor;
f. Untuk mendapatkan benda uji tidak terganggu dan benda uji

1.3. Sasaran
a. Terpetakannya area tangkapan hujan, aliran air permukaan, dan aliran sungai serta
aliran bawah tanah;
b. Terpetakannya lapisan tanah – batuan berdasakan informasi geologi termasuk
kedalaman bidan gelincir;
c. Gambar DED, Engineer’s Estimate, dokumen lelang dan spesifikasi teknis untuk
penanganan khusus Manajemen Lereng di Provinsi Jawa Barat.

1.4. Lokasi Pekerjaan


Lokasi perencanaan longsoran pada Ruas Jalan N.059 Cilaki-Rancabuaya-Cijayana
yaitu pada KM 173+600 di Provinsi Jawa Barat, dapat dilihat pada Gambar 1.1.

2
Tabel 1.1 Daftar Lokasi Titik Penanganan Longsoran

Gambar 1.1 Lokasi Pekerjaan

3
BAB II
DASAR TEORI

2.1. Penanganan Teknis Longsoran


2.1.1. Penyebab Pergerakan Tanah dan Longsoran
Penyebab gerakan tanah dan longsoran terdiri dari suatu seri kejadian yang dapat
berasal dari alam maupun oleh manusia. Dalam banyak kasus, penyebab tersebut sering tidak
dapat dihindarkan. Penyebab yang paling umum adalah unsur geologi, topografi, dan iklim.
Jarang sekali penyebab gerakan ini bersifat tunggal, tetapi pada umumnya kombinasi dari
beberapa faktor. Penyebab gerakan tanah dan kelongsoran ini harus lebih dahulu dimengerti
sebelum suatu tindakan pencegahan atau tindakan remedial dilakukan.
Semua longsoran pada tanah terjadi oleh tegangan geser, oleh sebab itu tinjauan yang
dapat dilakukan adalah faktor yang menyebabkan peningkatan tegangan geser dan faktor
yang menyebabkan penurunan dari tahanan geser/kuat geser.
a. Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tegangan geser
1. Kehilangan dukungan (lateral dan vertical)
a) Erosi oleh sungai
b) Proses pelapukan
c) Penggalian permukaan oleh manusia
d) penambangan
e) Beban Permukaan dan Beban Lain
f) Pelaksanaan penimbunan
2. Beban bangunan dan konstruksi sipil yang lain
a) Vegetasi
b) Akumulasi talus
c) Air hujan yang merembes ke dalam tanah atau rekahan
d) Tekanan rembesan
b. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan kuat geser
1. Peningkatan kadar air
2. Pelembekan pada fissured clay
3. Disintegrasi fisis dari batuan (misalnya pada clayshale)

4
2.1.2. Jenis-Jenis Gerakan Tanah dan Longsoran
Pengertian longsoran (landslide) dengan gerakan tanah (mass movement) mempunyai
kesamaan. Untuk memberikan definisi longsoran perlu penjelasan keduanya. Gerakan tanah
ialah perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan
semula. Gerakan tanah mencakup gerak rayapan dan aliran maupun longsoran. Menurut
definisi ini longsoran adalah bagian gerakan tanah (Purbohadiwidjojo, dalam Pangular,
1985). Jika menurut definisi ini perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak adalah
termasuk gerakan tanah, maka gerakan vertikal yang mengakibatkan bulging (lendutan)
akibat keruntuhan fondasi dapat dimasukkan pula dalam jenis gerakan tanah.
Gerakan tanah dan longsoran dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme dan
kecepatan pergerakan. Berdasarkan jenis gerakannya, lereng dapat dibagi sebagai berikut :
a. Runtuhan (Falls)
Gerakan massa batuan/tanah yang jatuh melalui udara. Umumnya massa yang jatuh
ini terlepas dari lereng yang curam dan tidak ditahan oleh suatu geseran dengan
material yang berbatasan. Pada jenis runtuhan batuan umumnya terjadi dengan cepat
danada kemungkinan tidak didahului dengan gerakan awal. Runtuhan dapat terjadi
seketika pada saat gempa.
b. Pengelupasan (Topples)
Gerakan ini berupa rotasi keluar dari suatu unit massa yang berputar terhadap suatu
titik akibat gaya gravitasi atau gaya-gaya lain seperti adanya air dalam rekahan.
Penjelasan terinci diberikan oleh de Freitas dan Watters (1973).
c. Aliran Tanah (Earth Flow/Debris Flow)
Jenis gerakan tanah ini tidak dapat dimasukkan kedalam kategori di atas karena
merupakan fenomena yang berbeda. Pada umumnya jenis gerakan ini terjadi pada
kondisi tanah yang amat sensitif atau sebagai akibat dari gaya gempa. Bidang gelincir
terjadi karena gangguan mendadak dan gerakan tanah yang terjadi umumnya bersifat
cepat tetapi dapat juga lambat misalnya pada rayapan/creep.
d. Longsoran (Slides)
Dalam longsoran yang sebenarnya, gerakan ini terdiri dari peregangan secara geser
dan peralihan sepanjang suatu bidang atau beberapa bidang gelincir yang dapat
nampak secara visual. Gerakan ini dapat bersifat progresif yang berarti bahwa
keruntuhan geser tidak terjadi seketika pada seluruh bidang gelincir melainkan
merambat dari suatu titik. Massa yang bergerak menggelincir di atas lapisan
batuan/tanah asli dan terjadi pemisahan (separasi) dari kedudukan semula, sifat
5
gerakan biasanya lambat hingga amat lambat. Longsoran dapat berupa rotasi atau
berupa translasi.

Gambar 2.1 Tipe-Tipe Longsoran

2.2. Kondisi Tanah Dasar


2.2.1. Umum
Adapun pekerjaan penyelidikan tanah lapangan meliputi pengujian dengan tes SPT
(Standard Penetration Test) dengan interval pengujian setiap 3 m dan pengambilan
sampel tanah tidak terganggu. Pengujian sampel tanah tidak terganggu di laboratorium
terdiri dari tes index properties dan engineering properties.

6
2.2.2. Koreksi Nilai N-SPT
Test SPT yang dilakukan pada lokasi dengan rencana kedalaman pengeboran yang relatif
dalam akan memberikan nilai N yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedalaman yang
relatif dangkal. Oleh sebab itu nilai N dari hasil tes SPT perlu dikoreksi terhadap tekanan
overburden (khusus untuk tanah pasiran) dan terhadap metode pelaksanaan tes di
lapangan (untuk semua jenis tanah).
Koreksi terhadap nilai N dari tes SPT yang diperoleh di lapangan dapat menggunakan
persamaan sebagai berikut, (Skempton, 1986):

Dimana :
Em = efesiensi hammer
Cb = koreksi terhadap diameter lubang bor
Cs = koreksi terhadap metode pengambilan sampel
Cr = koreksi terhadap panjang stang bor
N = nilai N yang diperoleh selama pelaksanaan tes SPT
N60 = hasil koreksi nilai N-SPT terhadap metode pelaksanaan lapangan
σ’v = tekanan vertikal efektif pada kedalaman yang ditinjau

Tabel 2.1 Efisiensi Hammer SPT (Clayton, 1990)

7
Tabel 2.2. Faktor Koreksi Bore Hole, Sampler dan Rod (Skempton, 1986)

Berikut ini adalah koreksi nilai N-SPT terhadap tekanan overburden (Liao dan Whitman,
1985) :

Dimana :
(N1)60 = nilai N-SPT yang telah dikoreksi terhadap tekanan overburden dan metode
pelaksanaan tes di lapangan
CN = faktor koreksi (dapat dilihat dalam gambar di bawah)
σ ’0 = tekanan vertikal efektif dalam ton/ft2

Gambar 2.2 Faktor Koreksi SPT, CN (Liao and Whitman, 1986)

8
Liao dan Whitman merekomendasikan besar faktor koreksi terhadap tekanan overburden
(1986) :

Berikut ini adalah nilai N-SPT koreksi di lokasi proyek pembangunan Apartemen
Titanium dengan referensi lubang bor adalah DB-01 sampai dengan DB-04 :
 Tipe hammer: Automatic Hammer (AH)
 Em= 0,60
 Cb= 1,00
 Cs= 1,00
 Cr= 0,75

2.3. Sudut Geser Friksi Tanah (ø)


2.3.1. Korelasi Data SPT (Standard Penetration Test)
Sudut geser friksi tanah dapat dijumpai pada tanah jenis granular atau pasiran (Sand).
Parameter tanah jenis ini sangat diperlukan dalam analisis dan desain baik itu untuk
pondasi dalam maupun pondasi dangkal.
Sebuah persamaan yang bisa dipakai untuk menentukan sudut geser friksi dari nilai N-
SPT adalah sebagai berikut (Dunham, 1954) :

Dimana :
ø = sudut geser friksi (0)
(N1)60 = nilai N-SPT yang telah dikoreksi terhadap prosedur tes dan terhadap
tegangan vertical.

2.3.2. Korelasi Data CPT (Cone Penetration Test)


Besarnya sudut geser tanah dapat juga diprediksi dengan menggunakan data hasil tes
sondir (CPT) sebagaimana dapat dilihat dalam gambar berikut ini (Robertson dan
Campanella, 1983) :

9
Gambar 2.3 Korelasi Sudut Geser (ø) dengan data CPT (Robertson & Campanella, 1983)

Sesuai dengan grafik hubungan antara tahanan konus dengan tekanan vertikal efektif
(Robertson dan Campanella, 1983) dapat dibuat suatu persamaan untuk menentukan
friction angle () untuk tanah pasir (Kulhawy dan Mayne, 1990) :

Dimana :
qc = tahanan ujung konus
σ’0 = tekanan vertikal efektif tanah

2.3.3. Kohesi (Cu)


2.3.3.1. Korelasi Data SPT (Standard Penetration Test (SPT)
Lain halnya dengan tanah granular, parameter tanah yang satu ini atau yang dikenal
sebagai kohesi dapat dijumpai pada tanah jenis lempung (Clay). Dan parameter kohesi ini
juga memegang peranan penting dalam hal analisa pondasi terutama pada tanah lempung
(Clay).
10
Besarnya nilai kohesi untuk kondisi undrained untuk tanah lempung yang tidak sensitif
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Stroud, 1974) :

Dimana :
cu = kohesi untuk kondisi undrained
K = 3,5 sampai dengan 6,5
N60 = hasil koreksi nilai N-SPT terhadap metode pelaksanaan lapangan

2.3.3.2. Korelasi Data CPT (Cone Penetration Test (CPT)


Penentuan undrained shear strength (cu) berdasarkan data hasil tes sondir (CPT) dapat
dengan menggunakan persamaan berikut (Mayne dan Kemper, 1988) :

Dimana :
cu = undrained shear strength
qc = tahanan ujung konus
σ0 = tekanan vertikal total tanah
NK = 15 berlaku untuk electric cone
= 20 berlaku untuk mechanical cone

2.4. Dasar Perhitungan Stabilitas Lereng


2.4.1. Metoda Analisis Stabilitas Lereng
Dalam studi ini, perkiraan tingkat keamanan stabilitas lereng pada lokasi proyek
dilakukan dengan menggunakan bantuan paket program PLAXIS 2D yang
dikembangkan berdasarkan metode elemen hingga. Proses diskritisasi elemen pada lereng
saat melakukan perhitungan dengan menggunakan metoda elemen hingga. Setiap sudut
dari setiap elemen merupkan titi noda yang saling terhubung satu sama lain. Titik noda
tersebut merupakan tempat proses perhitungan dilakukan.

11
Gambar 2.4 Titik Noda dan Diskritasi Elemen Perhitungan Elemen Hingga (Slope
Stability and Stabilization Methods, 1996)

Definisi yang tepat mengenai konsep angka keamanan lereng dalam metoda elemen
hingga dinyatakan sebagai berikut:

dimana S adalah kuat geser tanah.


Dari hubungan di atas, dapat dijelaskan bahwa angka keamanan didefinisikan sebagai
rasio antara kuat geser aktual dengan kuat geser minimal yang dibutuhkan pada kondisi
seimbang. Berdasarkan kondisi keruntuhan Mohr- Coulomb, selanjutnya, dapat
dinyatakan sebagai :

dimana cr dan ør adalah parameter kuat geser terkurangi (reduced shear strength).
Pengurangan parameter dilakukan secara bertahap sampai mencapai kondisi keruntuhan.
Hingga saat ini penelitian mengenai metoda perhitungan stabilitas lereng pada kondisi
gempa masih merekomendasikan metoda analisis psudostatis dan displacement based
method sebagai metoda perhtitungan yang digunakan. Program PLAXIS adalah metoda
perhitungan kondisi gempa menggunakan metoda Psudostatis.

12
Metoda Psudostastis adalah metoda perhitungan gaya gempa (dinamik) yang
direpresentasikan melalui gaya yang statis dengan koefisien tertentu. Pada analisis
stabilitas lereng gaya psudosatis yang bekerja pada saat gempa adalah sebesar berat
material lereng yang meruntuhkan dikalikan dengan koefisien gempa. Secara umum
diformulasikan sebagai berikut:

Dimana Fp = adalah gaya psudostatis, kh koefien gempa, W berat materiral lereng.


Menurut Lee (2004) besarnya nilai kh bergantung pada besarnya percepatan gempa,
durasi gempa dan frekuensinya. Pada umumnya nilai kh berkisar antara 0.1*PGA hingga
1*PGA. Berikut ini beberapa rekomendasi dalam menetukan nilai kh.

Tabel 2.3 Variasi Nilai Koefisien Gempa

Tabel 2.4 Interpretasi Nilai kh dengan Toleransi kerusakan Lereng Saat Gempa

2.4.2. Konsep Angka Keamanan Lereng

13
Kriteria perencanaan lereng didasarkan pada suatu konsep angka keamanan lereng,
dimana lereng harus memiliki cadangan kekuatan untuk menahan seluruh beban-beban
rencana. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi beberapa ketidakpastian mulai dari
tahapan penyelidikan tanah lapangan, tes laboratorium, interpretasi hasil penyelidikan
tanah dan penentuan parameter disain, metoda analisis, sampai pada faktor-faktor yang
berpengaruh pada saat pelaksanaan konstruksi. Pada beberapa kasus, kegagalan
konstruksi dan kelongsoran lereng buatan lebih disebabkan oleh minimnya cadangan
kekuatan untuk mengantisipasi faktor-faktor ketidakpastian di atas. Penelitian-penelitian
yang dilakukan pada dasawarsa terakhir mempunyai pengaruh pada perubahan konsep
angka keamanan yang lebih disesuaikan dengan tujuan perencanaan.

Gambar 2.5 Mekanisme Kelongsoran Lereng

2.4.3. Sistem Perkuatan Lereng


Cara yang di lakukan untuk menanggulangi longsor itu sangat penting, cara
penangulanganya pun dapat di bedakan dalam berbagai cara seperti,
a. Penanggulangan secara umum:
1. Jangan membuka lahan persawahan dan membuat kolam di lereng bagian atas di
dekat pemukiman.
2. Buatlah terasering (sengkedan) pada lereng yang terjal bila membangun
pemukiman.
3. Segera menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam tanah
dan melalui retakan tersebut.
4. Jangan memotong tebing jalan menjadi tegak.
14
5. Jangan mendirikan rumah di tepi sungai yang rawan erosi.
6. Jangan menebang pohon di lereng.
7. Jangan membangun rumah di bawah tebing.
b. Penanggulangan Metode Penambatan
Metode penambatan ini terbagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu penambatan tanah dan
penambatan batuan.
1. Penambatan tanah terdiri dari:
 Tembok penahan
 Sumuran
 Tiang pancang
 Turap baja
 Bored pile
2. Sedangkan penambatan batuan terdiri dari:
 Tumpuan beton
 Baut batuan Pengikat beton
 Jangkar kabel
 Jala kawat
 Tembok penahan batu
 Beton semprot
 Dinding tipis
a. Tembok Penahan
Tembok penahan dibuat dari pasangan batu, beton, atau beton bertulang.
Keberhasilan tembok penahan tergantung dari kemampuan menahan geseran dan
stabilitas terhadap guling. Selain untuk menahan gerakan tanah, juga berfungsi
melindungi bangunan dari runtuhan. Tembok penahan harus diberi fasilitas
drainase dan pipa salir sehingga tidak terjadi tekanan hidrostatis yang besar.
b. Sumuran
Cincin-cincin (gorong-gorong) beton pracetak dengan diameter 0,1 - 2,0 meter
dimasukkan ke dalam sumuran yang digali dengan kedalaman melebihi bidang
longsoran. Kemudian gorong-gorong diisi dengan beton tumbuk, beton cyclop,
atau material berbutir tergantung dari kekuatan geser yang dikehendaki.

15
Pelaksanaan penanggulangan dengan metode ini sebaiknya dilakukan pada musim
kemarau, pada saat tidak terjadi gerakan. Cara ini bisa dilakukan sampai dengan
kedalaman 15 meter.
c. Tiang Pancang
Tiang pancang cocok digunakan untuk pencegahan maupun penanggulangan
longsoran yang bidang longsornya tidak terlalu dalam, namun tidak cocok untuk
jenis tanah yang sensitif karena getaran yang terjadi pada saat pemancangan dapat
mencairkan massa tanah. Efektifitasnya juga tergantung pada kemampuannya
menembus lapisan tanah. Pada umumnya semua metode tiang tidak cocok untuk
gerakan tanah tipe aliran, karena tanahnya bersifat lembek dan dapat lolos melalui
sela-sela tiang.
d. Bored Pile
Pondasi Tiang terdiri dari berbagai macam konstruksi, sering digunakan sebagai
salah satu metode dinding penahan tanah sementara atau permanen yang efisien.
Bored Pile dengan diameter yang kecil maupun dapat digunakan sebagai dinding
penahan tanah yang ekonomis. Sedangkan pemakaian tiang pancang untuk
konstruksi yang sama, lebih mahal bila dibandingkan dengan Bored Pile, akan
tetapi kontrol terhadap kekuatan strukturnya lebih baik. Konstruksi ini sangat
cocok dan memenuhi syarat untuk digunakan pada basement yang dalam, struktur
bawah tanah serta pada konstruksi jalan pada lereng perbukitan. Pondasi bored
pile ini dapat membantu untuk mencegah kelongsoran dan membantu pergerakan
tanah pada lereng akibat adanya tekanan lateral tanah serta penambahan beban
lalu lintas yang terjadi.
e. Turap Baja
Untuk lapisan keras disarankan menggunakan tiang baja terbuka pada ujung-
ujungnya. Turap baja tidak efektif untuk menahan massa longsoran yang besar,
karena modulus perlawanannya yang kecil. Namun masalah ini dapat diatasi
dengan pemasangan ganda. Sedangkan tiang baja yang berbentuk pipa dapat diisi
beton atau komposit beton dengan baja profil untuk memperbesar modulus
perlawanannya.
f. Tumpuan Beton
Tumpuan beton digunakan untuk menyangga batuan yang menggantung akibat
tererosi atau pelapukan.

16
g. Baut Batuan
Baut batuan dipasang untuk memperkuat massa batu yang terbentuk oleh adanya
diskontinuitas kekar dan retakan agar lereng menjadi stabil.
h. Pengikat Beton
Umumnya dikombinasikan dengan baut batuan agar mengurangi penggunaan baut
batuan.
i. Jangkar Kabel
Metode ini dilakukan bila massa batuan yang bergerak berukuran besar.
j. Jala Kawat
Dipasang pada bagian kaki lereng untuk menjaga agar runtuhan batuan bias
ditahan di satu tempat.
k. Tembok Penahan Batu
Dipasang pada bagian kaki lereng untuk menahan fragmen batuan yang runtuh
dari atas.
l. Beton Semprot
Digunakan untuk memperkuat permukaan batu yang bersifat kekar, meluruh, atau
batuan lapuk.
m. Dinding tipis
Beberapa jenis batuan seperti serpih atau batuan lempung sangat mudah lapuk bila
tersingkap (terbuka). Untuk melindungi batuan tersebut, maka dipasang dinding
tipis dari batu bata, batu, atau beton pada permukaannya.

Beban Kontra (Counter Weight)


a. Bronjong
Bronjong adalah bangunan berupa anyaman kawat yang diisi dengan batu belah.
Struktur bangunannya berbentuk persegi dengan ukuran sekitar (2 x 1 x 0,5) m³ yang
disusun secara bertangga.
Keuntungan penggunaan bronjong antara lain sebagai berikut:
1. Bronjong adalah struktur yang tidak kaku sehingga dapat menahan gerak vertikal
maupun horisontal.
2. Bila runtuh masih bisa dimanfaatkan lagi.
3. Bersifat lulus air sehingga tidak menyebabkan terjadinya genangan air permukaan.
4. Pelaksanannya mudah.
5. Material mudah didapat.
17
6. Biayanya relatif lebih ekonomis.
Bronjong umumnya dipasang di kaki lereng yang juga berfungsi mencegah
penggerusan. Keberhasilan penggunaan bronjong sangat tergantung dari
kemampuannya dalam menahan geseran pada tanah di bawah alasnya. Oleh karena itu
bronjong harus diletakkan dengan mantap di bawah bidang longsoran.
Bronjong efektif bila digunakan untuk longsoran dangkal, namun tidak efektif untuk
longsoran berantai (multiple slide).
b. Tanah Bertulang
Tanah bertulang berfungsi menambah tahanan geser. Konstruksi ini terdiri dari
timbunan tanah berbutir yang diberi tulangan berupa pelat-pelat baja strip dan panel
untuk menahan material berbutir. Bangunan ini pada umumnya ditempatkan di ujung
kaki lereng dan dipasang pada dasar yang kuat di bawah bidang longsoran.
c. Dinding Penopang Isian Batu
Cara penanggulangan ini dilakukan dengan penimbunan pada bagian kaki longsoran
dengan material berbutir kasar yang dipadatkan dan berfungsi menambah tahanan
geser. Penanggulangan ini bisa digunakan untuk longsoran rotasi maupun translasi.
Dalam pemilihan metode ini harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak mengganggu kemantapan lereng di bawahnya.
2. Alas isian batu harus diletakkan di bawah bidang longsoran sedalam 1,5 – 3,0
meter.
Penanggulangan longsor juga dapat dilakukan dengan cara lain yaitu,
a. Sistem perkuatan lereng yang akan digunakan adalah perkuatan geosintetik.
Prinsip kerja dari material geosintetik di dalam tanah adalah seperti aplikasi besi
beton dalam konstruksi beton bertulang, dimana material geosintetik memegang
peranan dalam menahan gaya tarik yang terjadi akibat kelongsoran. Ilustrasi
berikut menggambarkan prinsip kerja material geosintetik sebagai perkuatan
dalam tanah guna menanggulangi/mencegah kelongsoran pada lereng.

18
Gambar 2.6 Prinsip Kerja Material Geosintetik sebagai Perkuatan

b. Sistem perkuatan lereng yang akan digunakan adalah retaining wall/dinding


penahan tanah yang dikombinasikan dengan bored pile sebagai perlindungan
scouring bagian dasar sungai. Dinding penahan tanah merupakan salah satu
struktur yang berfungsi untuk menjaga kestabilan dari suatu timbunan tanah,
sehingga timbunan tersebut tidak bergerak atau longsor. Struktur dinding penahan
tanah juga kerap ditemui pada bagian abutmen jembatan serta sebagai struktur
dinding basement pada struktur gedung bertingkat.
Adapun beberapa dinding penahan tanah antara lain, sebagai berikut :
1. Dinding gravitasi (gravity walls) umumnya terbuat dari beton polos atau dari batu
belah. Kekuatan dinding gravitasi sepenuhnya tergantung dari berat sendiri
dinding ini. Pada umumnya dinding gravitasi berbentuk trapesium. Dimensi
dinding direncanakan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan tegangan
tarik akibat gaya yang bekerja pada dinding (Gambar 3.7.a).
2. Dinding kantilever (cantilever walls), merupakan dinding penahan tanah beton
bertulang yang paling banyak digunakan karena keekonomisan dan kemudahan
dalam pelaksanaannya. Dinding jenis ini cocok digunakan untuk menahan
timbunan tanah dengan ketinggian 2,5 – 8,0 meter. Dinding kantilever dapat
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu bagian dinding vertikal, ujung kaki depan
(toe) serta tumit belakang (heel). Proporsi dimensi dari dinding kantilever
ditunjukkan dalam Gambar 3.7.b.

19
3. Dinding kantilever dengan rusuk (counterfort retaining walls), untuk tinggi
timbunan tanah yang melebihi 8,0 meter, maka pada bagian dasar dari dinding
vertikal akan timbul momen lentur yang cukup besar sehingga desain akan
menjadi tidak ekonomis. Salah satu solusi untuk mengatasinya adalah dengan
menambahkan rusuk di belakang dinding vertikal yang akan mengikat bagian
dinding vertikal dengan bagian telapak dari dinding. (Gambar 3.7.c).

Gambar 2.7 (a) Dinding Gravitasi, (b) Dinding Kantilever, (c) Dinding Kantilever dengan
Pengaku
2.5. Kriteria Desain
Mengacu pada Manual No. 1110-2-1902 dari Department Of The Army Office of the Chief
of Engineers Washington, D. C., 1970, faktor-faktor yang mempengaruhi angka keamanan
lereng antara lain adalah sebagai berikut :
 Kualitas hasil penyelidikan tanah

20
 Reliabilitas parameter kuat geser rencana
 Design condition yang ditinjau (short term atau long term)
 Tinggi timbunan/galian
 Keberadaan bangunan di atas lereng
 Karakteristik tegangan-regangan dan interaksi tanah dan struktur
 Kualitas supervisi pada tahap pelaksanaan
 Engineering judment
Kriteria angka keamanan lereng minimum telah dikeluarkan oleh beberapa peneliti. Duncan
dan Buchignani (1975) mengusulkan kriteria angka keamanan lereng minimum yang
tergantung pada beberapa faktor-faktor:
 ketidakpastian dalam penentuan kuat geser tanah, geometri lereng dan kondisi lainnya
 biaya yang diperlukan untuk pelandaian dan pengurangan tinggi lereng yang aman
 kerugian dan resiko jika terjadi kelongsoran
 status lereng temporer atau permanen
 Angka keamanan yang diusulkan dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 2.5 Faktor Keamanan untuk Lereng Tanah (SNI Geoteknik 2017)

21
BAB III
METODOLOGI

3.1. Prosedur Kerja


Analisa kestabilan konstruksi penanganan longsoran dilakukan dengan menghitung faktor
keamanan terhadap keruntuhan, tegangan dan deformasi pada penanganan yang berupa
timbunan menggunakan Program Komputer yang didasarkan pada Metode Elemen
Hingga.
Berikut ini bagan alir pekerjan :

Mulai

Survey Geoteknik

Analisa dengan Pemodelan


Metode lelmen Hingga

Detail Penanganan

Kesimpulan dan
Saran

Selesai

22
BAB IV
DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Survey Topografi


Tujuan dari diadakannya Survey Topografi ini adalah untuk ketersediaan informasi awal
berupa gambaran dari permukaan bumi, disajikan dalam bentuk peta garis/line/map/peta
topografi dengan system proyeksi tertentu serta dengan skala yang memadai (Skala
1:1000) sesuai dengan kebutuhan penggunaan peta tersebut bagi keperluan Perencanaan
Teknik Penanganan Khusus Lereng.
Sedangkan maksud dari survey ini adalah untuk mendapatkan informasi lebih rinci
bentuk permukaan tanah secara umum yang dilengkapi dengan tampakan-tampakan
khas, baik berupa unsur-unsur alami maupun unsur-unsur buatan dan dapat
dipertanggung jawabkan secara teknis, dengan tujuan memberikan informasi topografi
suatu wilayah yang akan mendukung pengambilan keputusan secara tepat.
Survei Topografi dan Pemetaan yang akan dilaksanakan adalah dengan menggunakan
peralatan yang berbasis teknologi digital. Secara umum pekerjaan survei Topografi ini
meliputi:
a. Mobilisasi & Orientasi lapangan
b. Pembuatan & pemasangan bench mark sebanyak 4 buah di masing – masing rencana
jembatan
c. Pengukuran Kerangka Utama/Polygon dengan Total Station
d. Pengukuran detail situasi
e. Dokumentasi lokasi & kegiatan
f. Pengolahan data dan penggambaran
g. Pelaporan.

4.1.1. Pelaksanaan Survei


4.1.1.1. Persiapan
Pekerjaan persiapan dimulai dari penyiapan peralatan dan tim pelaksana berikut
pengorganisasian dan job description. Adapun tahap persiapan terdiri dari:
a. Persiapan peralatan baik jumlah maupun fungsinya.
b. Mobilisasi tim.
c. Orientasi lapangan:

23
1. Untuk mengetahui secara lebih detil tentang lokasi pekerjaan, seperti batas areal
survei, objek–objek yang harus diukur, penggunaan lahan dan lain-lain.
2. Untuk mengetahui secara lebih detil tentang lokasi pekerjaan, seperti batas areal
survei, objek – objek yang harus di ukur, penggunaan lahan dan lain - lain
3. Akses jalan menuju lokasi.
4. Informasi tenaga kerja lokal
5. Fasilitas umum yang terdekat seperti : ATM, Pasar, Listrik dan lain sebagainya
6. Kebiasaan atau adat istiadat masyarakat setempat

4.1.1.2. Pemasangan Bench Mark (BM)


Melihat luas, bentuk area & fungsi peta setidaknya diperlukan 2 pasang BM untuk masing
– masing lokasi jembatan, yang ditempatkan di awal dan akhir tiap – tiap jembatan.
Adapun Spesifikasi BM adalah sebagai berikut :
a. Beton 20 x 20 x 80 cm dengan yang muncul dipermukaan 20 cm.
b. Besi Ø 6 mm sebagai pusat BM.
c. Nut Alimunium dengan tanda silang diatasnya sebagai pusat BM.
d. ID BM warna hitam dengan cat dasar warna Kuning.

4.1.1.3. Pengukuran Kerangka Peta


Pengukuran kerangka dasar horisontal & vertical menggunakan Metode Polygon, metode
pengukuran yang digunakan adalah Metode Loop & terikat sempurna untuk Polygon
cabang. Dengan metode tersebut hasil pengukuran yang diperoleh lebih terkontrol dan
hasilnya cukup untuk keperluan Desain dan Perencanaan Pembangunan Jembatan
Layang.
Syarat ketelitian linier Polygon utama yang diijinkan tidak kurang dari 1 : 10.000 atau 10
cm untuk setiap jarak 1 km. Sedangkan untuk Polygon cabang syarat ketelitian linier yang
diharapkan tidak lebih kecil dari 1 : 5000. Pengukuran Polygon tersebut menggunakan
alat Total Station.
Adapun prinsip pengukuran pengukuran Polygon dengan Total Station :
a. Instrumen dipasang pada titik referensi B.
b. Target belakang ( I ) ditempatkan di titik A (sembarang).
c. Target depan ( III ) ditempatkan dititik C sesuai dengan arah pengukuran Topografi.
d. Dilakukan pembacaan dan perekaman data ke titik belakang dalam posisi B dan LB.

24
e. Kemudian teropong diarahkan ke target depan kemudian lakukan pembacaan dan
perekaman data.
f. Setelah selesai alat dipindah ke titik C dan target ( I ) di titik A dipindah untuk
sebagai target depan.
g. Titik referensi B sekarang menjadi target ( II ) belakang, kemudian lakukan
pembacaan dan perekaman seperti sebelumnya.

Gambar 4.1 Skema Pengukuran Topografi


Pada pelaksanaan dilapangan untuk mengefisienkan waktu, pengukuran Polygon
dilakukan bersamaan dengan pengukuran detail situasi. Pada pengolahan data Polygon ini
dilakukan tahap hitungan dan reduksi data ukuran, dimaksudkan untuk mereduksi dan
menghitung data mentah atau raw data menjadi data koordinat X,Y,Z. Kualitas data dapat
diketahui dari tingkat ketelitian terhadap batas Toleransi yang diperkenankan. Bila terjadi
kekeliruan maka dilakukan tindakan perbaikan berupa pengecekan data atau pengukuran
ulang.
Data prosesing dilakukan setiap hari, proses harian ini meliputi :
a. Download Data
b. Analisa data
c. Ploting data di AutoCAD Civil 3D Land Desktop Companion 2009.
Untuk memperoleh koordinat Polygon, berikut hádala model matematis yang digunakan :
Xb = Xa + dab Sin αab ± ƒx
Yb = Ya + dab Cos αab ± ƒy
dimana :
Xa, Ya = Koordinat titik A
25
Xb, Yb = Koordinat titik B
dab = Jarak datar antara titik A ke titik B
αab = Azimuth sisi titik A ke titik B
ƒx, ƒy = Koreksi
Perhitungan data Polygon utama dilakukan setelah pengukuran selesai (Loop atau
Terikat), untuk koreksi absis dan ordinat tersebut digunakan metode Bowditch berikut ini:
ƒβ = Σ Sudut - (α akhir - α awal) - (N*180)
Dimana :
Σ Sudut = jumlah sudut dalam
n = jumlah titik Polygon
a,b,c,d...f = besar sudut
d1,d2,...d6 = jarak antar titik Polygon
ƒβ = kesalahan sudut yang besarnya sudut ditentukan (104√n)
Pada survei ini, untuk proses pelaksanaan adjustment digunakan metode perataan Least
Square dengan menggunakan software AutoCAD Civil 3D Land Desktop Companion
2009.

4.1.1.4. Pengukuran Section dan Detail Situasi


Metode pengukuran detail situasi dilakukan dengan menggunakan metode cross yang
dipadu dengan metode Radial. Metode ini dilakukan karena selain lebih cepat, hasilnya
juga bisa mewakili bentuk morfologi areal yang di ukur.
Pengukuran detail Topografi dilakukan untuk ”menangkap” informasi titik tinggi dan
gambaran informasi khusus seperti : jalan, sungai, saluran, bangunan dan objek objek lain
di dalam area survei, kerapatan titik antara 15–25 m. Untuk area yang tidak bisa
dijangkau dari Topografi utama akan dibuat Topografi cabang, metode yang digunakan
adalah metode Topografi terikat sempurna dimana awal dan akhir pengukuran terikat
dengan kerangka utama.

26
Gambar 4.2 Skema Metode Pengukuran Cross & Radial

Pengolahan Polygon dan detail Topografi menggunakan software Softdesk 8 Civil Survei.
Data Polygon diolah dengan menggunakan metode Least Square yang prinsip
pengolahannya mirip dengan metode Bowditch–3D. Keuntungan menggunakan software
tersebut adalah selain lebih cepat, hasil adjusment dan grafisnya bisa langsung terlihat
sekaligus. Hasil Polygon yang sudah di-jus inilah nantinya akan digunakan sebagai titik
ikat perhitungan data detail situasi.
Pengolahan data draft dilakukan setiap hari dilapangan, jika penyebaran data dirasa
kurang akan secepatnya dilakukan penambahan data. Untuk pengolahan data final dan
proses kartografi dilakukan di studio. Prinsip dasar penentuan posisi menggunakan
metode polar dimana data dasarnya adalah jarak dan sudut.

Gambar 4.3 Sketsa Penentuan Posisi Metode Polar

Prinsip dasar metode polar dapat dijelaskan sebagai berikut:


27
Posisi titik b = (Xb, Yb, Zb).
X(b) = X(a) + (Sin β x Da-b).
Y(b) = Y(a) + (Cos β x Da-b).
Z(b) = Z(a) + (Cos Z x Da-b) + TA – TT.
Dimana:
X(a) = nilai absis titik ikat a (koordinat fix).
Y(a) = nilai ordinat titik ikat a (koordinat fix).
X(b) = nilai absis titik b.
Y(b) = nilai ordinat titik b.
β = sudut hasil bacaan alat.
Z = sudut Vertikal (zenit).
Da-b = jarak antara titik a – b.
TA = tinggi alat.
TT = tinggi target.

4.1.1.5. Penggambaran
Kegiatan penggambaran dibagi dalam 2 tahapan:
a. Penggambaran draft lapangan.
Penggambaran ini berisi plotting detail-detail alam hasil pengukuran dengan
koordinat sementara. Langkah ini bertujuan untuk mendeteksi kesalahan lebih dini
disamping juga memudahan proses penggambaran digital.
b. Penggambaran Studio.
Pada dasarnya proses penggambaran ini terdiri dari 4 bagian, yaitu:
1. Plotting, dilakukan setelah proses penghitungan (adjusment) selesai secara
keseluruhan. Dengan menggunakan Software Softdesk 8 Civil Survei, proses
ploting titik detail akan lebih mudah.
2. Pembentukan DTM. Proses ini dilakukan setelah proses ploting titik detail dan
penarikan garis break line selesai. Proses ini bertujuan untuk membentuk model 3
dimensi yang dapat mewakili bentuk areal pengukuran. Termasuk dalam proses
ini adalah penarikan garis kontur.
3. Editing Katografi, Pada tahap ini proses penghalusan kontur dilakukan. termasuk
posisi titik-titik bor dan sondir, bentuk kontur, simbol garis sungai, dan alur serta
lay out peta itu sendiri.

28
4. Finishing, dilakukan setelah ada evaluasi secara keseluruhan dari pihak pemberi
pekerjaan sehingga pada saat dilakukan cetak akhir sudah tidak ada kesalahan-
kesalahan lagi.

Gambar 4.4 Skema Umum Pemetaan Digital

29
4.1.2. Hasil Penggambaran Situasi Ruas N.059 Cilaki-Rancabuaya-Cijayana KM
164+000

Gambar 4.5 Situasi Topografi Ruas N.059 Cilaki-Rancabuaya-Cijayana KM 164+000

Gambar 4.6 Potongan Memanjang Topografi Ruas N.059 Cilaki-Rancabuaya-Cijayana KM


164+000
4.2. Data Penyelidikan Tanah
Tabel 4.1 Penyelidikan Tanah Km 164+000 Ruas Cilaki-Rancabuaya-Cijayana

30
Gambar 4.7 Lokasi Penyelidikan Tanah Ruas Jalan Cilaki-Rancabuaya-Cijayana

4.2.1. Hasil Pengujian Bor Dalam Ruas N.059 Cilaki-Rancabuaya-Cijayana


 KM 164+000
Tabel 4.2 Data Hasil Pengujian Bor Dalam Km 164+000

31
Gambar 4.8 Stratifikasi Tanah KM 164+000

4.2.2. Hasil Pengujian Survey Geolistrik


Survei Penyelidikan Geolistrik Pada Pekerjaan Perencananaan Penanganan Longsoran
Cilaki-Rancabuaya-Cijayana KM 164+000, terdiri dari 4 lintasan. Dibawah ini hasil
Kegiatan Penyelidikan Tanah sebagai berikut:

32
4.2.2.1. Ruas Jalan Cilaki-Rancabuaya-Cijayana
Kondisi geologi daerah penelitian terletak pada peta geologi regional lembar
pameumpeuk dan terletak pada formasi bentang batuannya berupa konglomerat dan batu
pasir tufaan.
 KM 164+000

Gambar 4.9 Lintasan Geolistrik KM 164+000


Pengukuran Geolistrik Resistivitas pada Lintasan 1 bertujuan untuk menemukan Bidang
Gelincir yang berpotensi dapat memicu terjadinya Fenomena Longsor

Gambar 4.10 Penampang Resistivitas Lintasan 1 (KM 164+000)

Pemodelan hasil Inversi geolistrik menunjukan respon lapisan/batuan yang teridentifikasi


sebagai lapisan tuff mempunyai range resistivitas sebesar 0,176 – 49,2 Ω sedangkan
batuan beku bernilai lebih dari 201 Ω . Batas kontak antara batuan beku dan lapisan tuff
(Bidang Gelincir) ditandai dengan garis putus-putus berwarna merah dan ditemukan
mulai kedalaman 3 sampai 31,3 meter.
Lintasan 2 berada tepat di lokasi longsor, Posisi zona longsor ditandai dengan dua garis
hitam.
33
Gambar 4.11 Penampang Resistivitas Lintasan 2 (KM 164+000)

Pemodelan hasil Inversi geolistrik menunjukan respon lapisan/batuan yang teridentifikasi


sebagai lapisan tuff mempunya range resistivitas sebesar 2,15 – 60,4 Ω sedangkan batuan
beku bernilai lebih dari 118 Ω . Batas kontak antara batuan beku dan lapisan tuff (Bidang
Gelincir) ditandai dengan garis putus-putus berwarna merah dan berjumlah lebih dari satu
dengan kemenerusan yang cenderung panjang ke arah bawah permukaan tanah dan
ditemukan mulai kedalaman 0 sampai 31,3 meter (Teridentifikasi).

4.3. Data Curah Hujan


Data curah hujan pada pekerjaan ini dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan merupakan data
curah hujan harian maksimum di stasiun pos hujan terdekat ke lokasi pekerjaan, yang
selanjutnya akan digunakan untuk dasar perhitungan analisis frekuensi.
Tabel 4.3 Data Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Pos Hujan Bungbulang

4.4. Analisis Curah Hujan


Hasil Analisis Frekuensi dapat dilihat pada Tabel berikut:
34
Tabel 4.4 Analisis Statistika Dasar Pos Hujan Bungbulang

Tabel 4.5 Hasil Analisis Frekuensi Curah Hujan Maksimum Metode Gumbel Pos Hujan
Bungbulang

35
Tabel 4.6 Hasil Analisis Frekuensi Curah Hujan Maksimum Metode Normal Pos Hujan
Bungbulang

Tabel 4.7 Hasil Analisis Frekuensi Curah Hujan Maksimum Metode Log Normal Pos Hujan
Bungbulang

36
Tabel 4.8 Hasil Analisis Frekuensi Curah Hujan Maksimum Metode Log Pearson III Pos
Hujan Bungbulang

Tabel 4.9 Hasil Analisis Frekuensi Curah Hujan Maksimum Pos Hujan Bungbulang

4.5. Perhitungan Debit Banjir

37
Tabel 4.10 Nilai Tc Untuk Variasi Waktu yang Berbeda di Stasiun Hujan Bungbulang

Gambar 4.12 Kurva lengkung Tc berdasarkan 25 Tahun data curah hujan Bungbulang

38
Gambar 4.12 Kurva lengkung Tc berdasarkan 50 Tahun data curah hujan Bungbulang

Hasil Perhitungan debit Banjir untuk periode ulang 10 tahun disajikan dalam Tabel 4.10
berikut.
Tabel 4.11 Perhitungan Debit Banjir Periode Ulang 10 Tahun

4.6. Hidrolika Saluran


Hasil perhitungan hidrolis saluran tersebut disajikan pada tabel 4.11 berikut.

Tabel 4.12 Perhitungan Hidrolis Saluran

39
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis stabilitas lereng pada lokasi longsoran KM 164+000, maka
dapat diuraikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Terjadi rembasan mata air di badan jalan yang disebabkan karena material yang ada di
bawah badan jalan berupa breksi yang lolos air.
2. Penanganan longsoran yang dilakukan pada lokasi ini hanya berupa perbaikan
setempat dengan memasang plat decker.

40
DAFTAR PUSTAKA

American Standard of Testing Material (ASTM), Soil and Rock, Building, Stones,
Geotextiles (Volume 04.08), 1989

Bowles, J. E., Foundation Analysis and Design, 1996

Buku Petunjuk Teknis Perencanaan dan Penanganan Longsoran


No. 02-1/BM/2005, Penanganan Lereng Jalan

No. 11/S/BNKT/1991, Spesifikasi Penguatan Tebing

Manual No. 1110-2-1902 dari Department Of The Army Office of the Chief of Engineers
Washington, D. C., 1970

41

Anda mungkin juga menyukai