Refrat Maya Dan Alma

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 39

Referat Session

PERDARAHAN HAMIL MUDA

Oleh :

Alma Julita 1610070100074

Mayasari Putri Yanna 1610070100076

Perseptor :

dr. Zeino Fridsto, Sp.OG

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

RSAM BUKIT TINGGI

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan sebuah referat, yang diajukan
dengan judul “Perdarahan Hamil Muda” dalam rangka untuk memenuhi tugas
kepanitraan klinik RSUD. ACHMAD MOCHTAR Bukit Tinggi.

Penyusunan referat ini tentunya tidak lepas dari berbagai hambatan dan
kesulitann, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Zeino Fridsto,Sp.OG
yang telah membimbing dan memberi arahan dalam penyusunan referat.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, sehingga dapat memperbaiki
referat yang dibuat oleh penulis. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat untuk
semua pihak dan bernilai sebagai amal kebajikan dihadapan Allah SWT.

Bukit Tinggi, November 2020

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya pendarahan.
Pendarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan muda sering
dikaitkan dengan kejadian abortus. Abortus adalah ancamanatau pengeluaran hasil
konsepsi sebelum janin berkembang sepenuhnya dan dapat hidup di luar kandungan.
Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram.1 Data WHO menyebutkan bahwa antara 2010-2014 terdapat 56 juta kasus aborsi
di dunia. Kejadian abortus ini di temukan lebih banyak di wilayah negara berkembang
di bandingkan negara maju. Setiap tahun sekitar 4,7-13,2% dari kasus kematian ibu di
kaitkan dengan aborsi yang tidak aman.2
Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak dari penyakit trofoblas gestasional dan
dapat mengalami transformasi menjadi bentuk ganasnya yaitu koriokarsinoma.
Koriokarsinoma tidak selalu berasal dari mola hidatidosa namun tidak jarang berasal
dari kehamilan normal, prematur, abortus maupun kehamilan ektopik yang jaringan
trofoblasnya mengalami konversi menjadi tumor trofoblas ganas. Bila seorang wanita
menderita koriokarsinoma dan mempunyai riwayat kehamilan biasa dan mola
sebelumnya, maka dengan pemerikasaan DNA kita dapat menentukan apakah
koriokarsinoma ini berasal dari mola atau kehamilan biasa.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/ melekatnya
buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim Sedangkan yang
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang
mengalami abortus ruptur pada dinding tuba. Gangguan mekanik terhadap ovum yang
telah dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat kebutuhan
embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba.
Ada kemungkinan akibat dari hal ini : a) Kemungkinan “tuba abortion”, lepas dan
keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. b)
Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat dari
distensi berlebihan tuba. c) Faktor abortus ke dalam lumen tuba. Ruptur dinding tuba
sering terjadi bila berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur
dapat terjadi secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam
hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hingga
banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah menambah pengetahuan dan
pemahaman mengenai perdarahan hamil muda.

1.3 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini adalah teori kepustakaan yang merujuk ke
berbagai literatur.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
berkembang sepenuhnya dan dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan adalah
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1

2.2 EPIDEMIOLOGI
Data WHO menyebutkan bahwa antara 2010-2014 terdapat 56 juta kasus aborsi
di dunia. Kejadian abortus ini di temukan lebih banyak di wilayah negara berkembang
di bandingkan negara maju. Setiap tahun sekitar 4,7-13,2% dari kasus kematian ibu di
kaitkan dengan aborsi yang tidak aman.2

Abortus masih merupakan masalah besar di indonesia dilihat dari segi


epidemiologis, morbiditas, moralitas dan prognosisnya. Berdasarkan data Kementrian
Kesehatan, Abortus menjadi penyebab kematian ibu sebanyak 4,2% pada tahun 2010,
4,7% pada tahun 2011, 1,6% pada tahun 2012. Insiden abortus spontan adalah 15-20%.
Resiko keguguran meningkat pada ibu dengan riwayat keguguran sebelumnya,
mencapai 40% setelah tiga kali keguguran berturut-turut dengan prognosis yang
betambah buruk sesuai meningkatnya usia ibu.3

2.3 ETIOLOGI

Etiologi Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu:4

1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, menyebabkan kematian janin atau cacat,


Penyebab antara lain :
 Kelainan kromosom
Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan ialah trisomi, poliploidi,
kelainan kromosom sexs.
 Endometrium kurang sempurna, Biasanya terjadi pada ibu hamil saat usia tua,
dimana kondisi abnormal uterus dan endokrin atau sindroma ovarium polikistik.
 Pengaruh eksternal, misalnya radiasi, virus, obat-obat, dan sebagainya dapat
mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus.
Pengaruh ini umumnya dinamakan pengaruh teratogen.
2. Kelainan plasenta
endarteritis dapat terjadi dalam vili korialis dan menyebabkan oksigenasi
plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
kematian janin. Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena
hipertensi menahun.
3. Penyakit ibu, baik akut maupun pneumonia, tifus abdominalis, pielonefritis,
malaria, dan lain-lain, maupun kronik seperti, Anemia berat, keracunan,
laparotomi, peritonitis umum, dan penyakit menahun juga dapat menyebabkan
terjadinya abortus.
4. Kelainan traktus genitalia, misalnya retroversi uteri, mioma uteri, atau kelainan
bawaan uterus dapat menyebabkan abortus. Terutama retroversio uteri gravidi
inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan penting. sebab lain
keguguran dalam trimester dua ialah serviks inkompeten yang dapat di sebabkan
oleh kelemahan bawaan pada serviks, dilatasi serviks berlebihan, konisasi,
amputasi, atau robekan serviks yang luas tidak dijahit.

2.4 KLASIFIKASI ABORTUS


2.4.1 Abortus Spontan

Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan
uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan
adalah keguguran (Miscarriage). Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan antara
abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkompletus, abortus kompletus.5
1. Abortus imminens (threaned abortion)
Abortus imminens adalah perdarahan bercak yang menunjukkan
ancaman terhadap kelangsungan suatu kehamilan. pendarahan ini
berasal dari intra uteri sebelum usia kehamilan kurang dari 20 minggu
dengan atau tanpa kontraksi, Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih
mungkin berlanjut atau dipertahankan . Diagnosis abortus imminens
ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium
uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus
membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes
kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi perdarahan
sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika tidak terjadi
pembuahan. Hal ini disebabkan oleh penembusan villi koreales ke dalam
desidua, pada saat implantasi ovum.
2. Abortus insipiens (inivitable)
Perdarahan intrauterin sebelum kehamilan lengkap <20 minggu dengan
dilatasi serviks berlanjut tetapi tanpa pengeluaran product of conception
(POC). Pada abortus ini mungkin terjadi pengeluaran sebagian atas
seluruh hasil konsepsi dengan cepat. Abortus dianggap inspiens jika ada
tanda-tanda berikut : penipisan serviks derajat sedang, dilatasi serviks >
3 cm, pecah selaput ketuban, perdarahan > 7 hari, kram menetap
meskipun sudah diberikan analgetik narkotik, dan tanda-tanda
penghentian kehamilan (misal, tidak ada mastalgia) .
3. Abortus inkompletus
Perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi
telah keluar dari kavum uteri melalui kanalis servikalis. Apabila plasenta
(seluruhnya atau sebagian) tertahan di uterus, cepat atau lambat akan
terjadi perdarahan yang merupakan tanda utama abortus inkompletus.
Pada abortus yang lebih lanjut, perdarahan kadang-kadang sedemikian
masif sehingga menyebabkan hipovolemia berat .
4. Abortus kompletus
Proses abortus di mana keseluruhan hasil konsepsi telah keluar melalui
jalan lahir. Tanda dan gejalanya yaitu ditemukan perdarahan sedikit,
ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah mengecil. Penderita tidak
memerlukan pengobatan khusus.

2.4.2 Abortus Provokatus


Abortus provokatus adalah pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu akibat
tindakan, baik menggunakan alat maupun obat-obatan. Jenis abortus provokatus dibagi
berdasarkan alasan melakukan abortus adalah:5
 Abortus terapeutik adalah abortus provokatus yang dilakukan atas
indikasi medis.
 Abortus kriminalis adalah abortus provokatus yang dilakukan bukan
karena indikasi medis tetapi perbuatan yang tidak legal atau melanggar
hukum.

2.5 DIAGNOSA
2.5.1 Anamnesis
Gejala utama (postabortion triad) pada abortus adalah nyeri di perut bagian
bawah terutama dibagian suprapubik yang menjalar ke punggung, bokong dan
perineum, pendarahan pervaginam dan demam yang tidak tinggi. Gejala ini terutamanya
khas pada abortus dengan hasil konsepsi yang masih tertinggal di rahim. Selain itu, di
tanyakan adanya amenore pada masa reproduksi kurang dari 20 minggu dari HPHT.
Pendarahan pervaginam dapat tanpa atau disertai jaringan hasil konsepsi. Bentuk
jaringan yang keluar juga ditanya apakah berupa jaringan yang lengkap seperti janin
atau seperti anggur. Riwayat penyakit seperti diabetes yang tidak terkontrol, tekanan
darah tinggi yang tidak terkontrol, trauma, merokok, mengkonsumsi alkohol
narkoba,dan riwayat infeksi traktus genitalis harus di perhatikan karena dapat
menambah curiga abortus akibat infeksi.6

2.6 PEMERIKSAAN FISIK


Bercak darah di perhatikan banyak, sedang atau sedikit. Palsasi abdomen dapat
memberikan informasi keberadaan hasil konsepsi dalam abdomen dengan pemeriksaan
bimanial. Yang dinilai adalah uterus membesar sesuai usia gestasi, dan konsistensinya.
Pada pemeriksaan pelvis, dengan menggunakan spekulum keadaan serviks dapat dinilai
apakah terbuka atau tertutup, di temukan atau tidak sisa hasil konsepsi di dalam uterus
yang dapat menonjol keluar, atau didapatkan di lubang vagina.6
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.7.1 Ultrasonografi (USG) Trans Dan Observasi Denyut Jantung Janin
Pemeriksaan USG transvaginal penting untuk menetukan apakah janin viabel
atau non viabel dan membedakan antara kehamilan intrauteri, ekstrauteri, mola, atau
missed abortion. Jika pendarahan berlanjut, ulangi pemeriksaa USG dalam tujuh hari
kemudian untuk mengetahui viabilitas janin. jika hasil pemeriksaan meragukan,
pemeriksaan dapat di ulangi 1-2 minggu kemudian.7,8
USG dapat digunakan untuk mengetahui prognosis. Pada umur kehamilan tujuh
minggu, Fetal Pole dan aktifi tas jantung janin dapat terlihat. Aktivitas jantung
seharusnya tampak dengan USG saat panjang Fetal Pole minimal lima milimeter. Bila
kantong gestasiterlihat, keguguran dapat terjadi pada 11,5% pasien. Kantong gestasi
kosong dengan diameter 15mm pada usia tujuh minggu dan 21mm pada usia gestasi
delapan minggu memiliki angka keguguran 90,8%. Apabila terdapat yolk sac, angka
keguguran 8,5%; dengan embrio 5mm, angka keguguran adalah 7,2%; dengan embrio
6-10mm angka keguguran 3,2%; dan apabila embrio 10mm, angka keguguran hanya
0,5%.7,8
Bradikardi janin dan perbedaan antara usia kehamilan berdasarkan HPHT
dengan hasil pemeriksaan USG menunjukan prognosis buruk. Data prospektif
menyebutkan, bahwa jika terdapat satu diantara tiga faktor resiko (bradikardi) janin,
perbedaan antara kantung kehamilan dengan panjang crown to rumo, dan perbedaan
anatara usia kehamilan berdasarkan HPHT dan pemeriksaan USG (lebih dari satu
minggu) meningkatkan presentase kejadian keguguran dari 6% menjadi 84%. Penelitian
prospektif pada umumnya menunjukakan presentase kejadian keguguran 3,4-5,5% jika
perdarahan terjadi setelah jantung janin mulai beraktivitas, dan identifikasi aktivitas
jantung janin dengan USG di pelayanan kesehatan primer memberikan presentase
berlanjutnya kehamilan hingga lebih dari 20 minggu sebesar 97%.7,8
.
2.7.2 Biokimia Serum Ibu (Kadar human chorionic gonadotropin (hCG) Kuantitatif
serial)
Evaluasi harus mencakup pemeriksaan Hcg serial kecuali pasien mengalami
kehamilan intauterin yang terdokumentasi dengan USG, untuk mengeliminasi
kemungkinan kehamilan ektopik. Kadar hCG kuantitatif serial diulang setelah 48 jam
digunakan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik, mola, abortus imminens, dan missed
abortion. Kadar hCG serum wanita hamil yang mengalami keguguran diawali dengan
gejala abortus imminens pada trimester pertama, lebih rendah dibandingkan wanita
hamil dengan gejala abortus imminens yang kehamilanya berlanjut atau dengan wanita
hamil tanpa gejala abortus imminens.7,8

2.7.3 Pemeriksaan Kadar Progesteron


Kadar hormon progesteron relatif stabil pada trimester pertama, sehingga
pemeriksaan tunggal dapat digunakan untuk menetukan apakah kehamilan viabel; kadar
kurang dari 5 ng/ml menunjukan prognosis kegagalan kehamilan dengan sensivitas 60%
sedangkan nilai 20ng/ml menunjukan kehamilan yang viabel dengan sensivitas 100%.7,8

2.8 TATALAKSANA
2.8.1 Tatalaksana Umum9

- Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-
tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
- Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan
sistol<90mmhg). jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok. jika tidak
terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong
melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena kondisinya dapat memburuk
dengan cepat.
- Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan
kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam
- Segera rujuk ibu ke rumah sakit.
- semua ibu yang emngalami abortus perlu mendapatkan dukungan emosianal dan
konseling kontrasepsi pasca abortus.
- Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.
2.8.2 Tatalaksana Abortus Insipiens9
- lakukan konseling untuk menjelaskan kemungkinan resiko dan rasa tidak
nyaman selama tindakan evakuasi, serta memberikan informasi mengenai
kontrasepsi pasca keguguran.
- Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu lakukan evakuasi isi uterus. jika
evakuasi tidak dapat dilakukan segera, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat
diulang 15 menit kemudian bila perlu). dan rencanakan evakuasi segera.
- Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu
- Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil
konsepsi dari dalam uterus
-Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau ringer
Laktat dengan kecepatan 40 tetes permenit untuk membantu pengeluaran hasil
konsepsi.
- Lakukan pemantauan pasca tindakan setiap 30 menit selama 2 jam. bila kondisi
ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
- Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
- Lakukan evaluasi tanda vital, pendarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu diperbolehkan
pulang.

2.8.3 Tatalaksana Abortus Inkomplit9


- Lakukan konseling.
- Jika pendarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kurang dari 16 minggu,
gunakan jari atau Forsep cicin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat
dari serviks.
- Jika pendarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan
evakuasi isi uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang
dianjurkan. Evakuasi dilakukan dengan mengisap sisa konsepsi dari vakum uteri
dengan tekanan negatif (vakum) sebesar 1 atm atau 660 mmHg. Kuret tajam
sebaiknya hanya di lakukan bila AVM tidak tersedia. jika evakuasi tidak dapat
segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit
kemudian bila perlu).
- Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40IU oksitosin dalam 1
liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes permenit untuk
membantu pengeluaran hasil konsepsi.
- Lakukan evaluasi tanda vital pasca tindakan setiap 30 menit selama 2 jam. bila
kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruangan rawat.
- Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologis ke laboratorium.
- Lakukan evaluasi tanda vital, pendarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam. bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu diperbolehkan pulang.

2.8.4 Tatalaksana Abortus Komplit9


- Tidak perlu dilakukan evakuasi lagi.
- Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan
kontrasepsi pasca keguguran.
- Observasi keadaan ibu.
- Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet silfas ferous 600 mg/hari selama
2 minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah.
- Evakuasi keadaan ibu setelah 2 minggu.

1.1.9 KOMPLIKASI
Berapa komplikasi dari abortus sebagi berikut:
 Pendarahan
Pendarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena pendarahan dapat
terjadi apabila pertolongan tidak diberikan. perdarahan yang berlebihan sewaktu atau
sesudah abortus bisa disebabkan oleh atoni uterus, laserasi cervikal, perforasi uterus,
kehamilan serviks, dan juga koagulopati.10
 Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Terjadi robekan pada rahim, misalnya abortus provokatus kriminalis.
Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera
dilakukan untuk menetukan luasnya perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukan
alat-alat lain. Pasien biasanya datang dengan syok hemoragik.10
 Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena pendarahan(syok hemoragik) dan karena
infeksi berat. Vasovagal syncope yang diakibatkan stimulasi canalis servikalis sewaktu
dilatasi juga boleh terjadi namun pasien sembuh dengan segera.10
 Infeksi
Organisme-organisme yang paling sering bertangung jawab terhadap infeksi
paska abortus adalah E.coli, streptococus non hemolitikus, streptococci anaerob,
staphylococcus aureus, streptococcus hemolitikus, dan clostridium perfringens. Bakteri
lain yang kadang di jumpai adalah neisseria gonorrhoeae, pneumococcus dan
clostridium tetani.10

2.10 PROGNOSIS
Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi abortus. Perbaikan
endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang rekuren mempunyai
prognosis yang baik sekitar >90%. Pada wanita abortus dengan etiologi yang tidak
diktahui, kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar 40-80%. sekitar 77% angka
kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktifiktas jantung janin pada kehamilan 5 sampai 6
minggu pada wanita dengan 2 atau lebih aborsi spontan yang tidak jelas.10

Mola Hidatidosa.3,4,5,6

Molahidatidosa adalah suatu kehamilan abnormal, dimana vili yang normal digantikan
oleh gelembung-gelembung akibat degenerasi hidropik vili korealis disertai proliferasi sel-sel
trofoblas dalam berbagai derajat.

Bila tidak ditemukan embrio atau janin, disebut molahidatidosa komplit atau
molahidatidosa klasik, sedangkan bila ditemukan unsur janin atau plasenta normal disamping
gelembung-gelembung mola, disebut molahidatidosa parsialis. Walaupun jarang, kadang-
kadang ditemukan molahidatidosa pada kehamilan ganda dizigotik, dimana ditemukan
plasenta normal dengan janin dan sekelompok gelembung-gelembung mola.
Walaupun sebagian besar penderita mola hidatidosa dapat sembuh spontan, namun bila
diagnosis dan pengelolaannya terlambat, penderita dapat meninggal karena perdarahan,
infeksi maupun akibat tumor trofoblas gestasional pasca mola hidatidosa.

Ada kalanya pada sediaan abortus atau plasenta aterm, ditemukan beberapa bagian
yang mengalami degenerasi hidropik. Keadaan semacam ini tidak dimasukan ke dalam mola
hidatidosa, tetapi disebut sub molaire. Baru setelah diadakan penelitian sitogenik pada tahun
1970-an oleh antara lain Kajii, Vassilokos, Szulman dan lain-lain, dicapai kesepakatan bahwa
mola hidatidosa itu terdiri dari dua jenis :

1. Mola hidatidosa komplit (MHK)


2. Mola hidatidosa parsialis (MHP)
Insidensi

Pada kebanyakan kasus, mola tidak berkembang menjadi keganasan, namun sekitar 2-
3 kasus per 1000 wanita, mola dapat berubah menjadi ganas dan disebut koriokarsinoma.
Kemungkinan terjadinya mola berulang berkisar 1 dari 1000 wanita.

1. Mola hidatidosa komplit (MHK)

Merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili korialisnya mengalami
degenerasi hidropik yang menyerupai anggur hingga sama sekali tidak ditemukan unsur janin.
Secara mikroskopik tampak edema stroma vili tanpa vaskularisasi disertai hyperplasia dari
kedua lapisan trofoblas.

Kadang – kadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23 X dan 23 Y (dispermi)
sehingga terjadi 46 X atau 46 Y. Disini MHK bersifat heterozigot, tetapi tetap androngenetik
dan bisa terjadi, walaupun sangat jarang terjadi hamil kembar dizigotik yang terdiri dari satu
bayi normal dan satu lagi MHK.
Secara makroskopis MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu berbentuk kista atau
gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2-3cm, berdinding tipis,
kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau edema. Kalau ukurannya
kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau besar tampak seperti serangkaian
buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu MHK disebut juga kehamilan anggur. Tangkai
tersebut melekat pada endometerium. Umumnya seluruh endometerium dikenai, bila
tangkainya putus terjadilah perdarahan. Kadang-kadang gelembung-gelembung tersebut
diliputi oleh darah merah atau coklat tua yang sudah mengering. Sebelum ditemukan USG,
MHK dapat mencapai ukuran besar sekali dengan jumlah gelembung melebihi 2.000 cc.

Faktor Resiko

1. Faktor Umur : risiko MH paling rendah pada kelompok umur 20-35 tahun. risiko
MH naik pada kehamilan remaja < 20 tahun,Naik sangat tinggi pada kehamilan
remaja < 15 tahun, kira-kira 20 x lebih besar. tinggi pada umur > 40 tahun,naikan
sangat menyolok pada umur = 45 tahun
2. Faktor Riwayat Kehamilan MH Sebelumnya : Wanita MH sebelumnya, punya
risiko lebih besar naiknya kejadian MH berikutnya
3. Faktor Kehamilan Ganda : mempunyai risiko yang meningkat untuk terjadinya MH
4. Faktor Graviditas : Risiko kejadian MH makin naik,dengan meningkatnya
graviditas. (kontroversial)
5. Faktor Kebangsaan / Etnik : wanita kulit hitam meningkat,dibanding wanita
lainnya. Euroasian turun dua kali lipat dibanding wanita Cina, India atau
Malaysia.
6. Faktor Genetika : frekuensi Balance Tranlocation, wanita dengan MH komplit
lebih banyak dibandingkan dengan yang didapatkan pada populasi normal
7. Faktor Makanan dan Minuman : angka kejadian MH tinggi diantara wanita
miskin, diet yang kurang protein, kelainan genetik pada kromosom.(kontroversi)
8. Faktor Sosial Ekonomi : resiko MH tinggi pada sosial ekonomi rendah
(kontroversi)
9. Faktor Lain : Faktor hubungan keluarga/consanguinity, Faktor merokok, Faktor
toksoplasmosis.

Etiologi

Etiologi penyakit trofoblas sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti. Namun
ada beberapa teori yang mencoba menerangkan terjadinya penyakit trofoblas yaitu teori
desidua, teori telur, teori infeksi dan teori hipofungsi ovarium.

1. Teori desidua
Menurut teori ini terjadinya molahidatidosa ialah akibat perubahan-perubahan degeneratif
sel-sel trofoblas dan stroma vili korialis. Dasar teori ini adalah selalu ditemukan desidual
endometritis, pada binatang percobaan dapat terjadi molahidatidosa bila pembuluh darah
uterus dirusak sehingga terjadi gangguan sirkulasi pada desidua.

2. Teori telur

Menurut teori ini molahidatidosa dapat terjadi bila terdapat kelainan pada telur, baik
sebelum diovulasikan maupun setelah dibuahi.

3. Teori infeksi

Bagshawe, melaporkan bahwa ada sarjana yang dapat mengisolasi sejenis virus pada
molahidatidosa. Virus ini kemudian ditransplantasikan pada selaput korioalantoin mudigah
ayam, ternyata kemudian terjadi perubahan-perubahan khas menyerupai molahidatidosa,
baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Selain itu molahidatidosa diduga
disebabkan oleh toksoplasmosis, teori ini dikemukakan oleh Bleier. Teori ini didasarkan
pada penemuan toksoplasmosis Gondii dalam jumlah besar pada darah penderita
molahidatidosa.

4. Teori hipofungsi ovarium

Teori ini dikemukakan oleh Hasegawa, berdasarkan penelitian beberapa orang ahli yaitu
Courrier dan Gros yang melakukan kastrasi pada seekor kucing, 15–17 hari setelah
pembuahan. Ternyata kemudian pada plasentanya ditemukan perubahan-perubahan yang
menyerupai molahidatidosa. Karzafina melaporkan bahwa 60% penderita molahidatidosa
yang ditelitinya berumur 18–21 tahun, disertai oleh hipofungsi ovarium. Smalbreak
melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya ditemukan angka kejadian molahidatidosa yang
tinggi pada perempuan muda, dimana fungsi seksualnya masih imatur. Menurut Hasegawa
molahidatidosa diduga disebabkan oleh teori defisiensi estrogen, yang didukung oleh data-
data penelitian yang melaporkan bahwa 60% penderita molahidatidosa berumur 18–21
tahun dan disertai hipofungsi ovarium. Serta insidens molahidatidosa yang tinggi pada
perempuan muda dan pada perempuan tua dimana fungsi ovarium telah menurun.

4. Faktor lain

Selain teori-teori tersebut di atas, masih ada beberapa teori lain yang menghubungkan
dengan faktor-faktor yang diduga mempunyai peranan dalam etiologi penyakit trofoblas.
Faktor-faktor tersebut ialah faktor malnutrisi, faktor golongan darah dan faktor sitogenetik.

A. Faktor nutrisi

Penelitian-penelitian awal yang dilakukan pada tahun 1960 di Meksiko dan Filipina
menggambarkan bahwa frekuensi penyakit trofoblas gestasional yang terjadi
diantara kelompok sosial rendah di negara-negara berkembang dapat dijelaskan
dengan keadaan malnutrisi dan terutama rendahnya asupan protein.

Dikatakan bahwa malnutrisi memegang peranan dalam terjadinya molahidatidosa.


Terlihat di negara-negara miskin dimana banyak kasus defisiensi protein, angka
kejadian molahidatidosa jauh lebih tinggi. Tetapi penelitian-penelitian di Iran,
Alaska, Jepang dan Malaysia mendapatkan angka kejadian molahidatidosa yang
tinggi dengan makanan sehari-hari mereka yang tinggi protein, atas dasar ini maka
diragukan defisiensi protein sebagai faktor yang berperan dalam timbulnya
molahidatidosa. Akhir-akhir ini diduga bahwa penderita molahidatidosa kurang
mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber vitamin A dan lemak hewani.
Dikatakan bahwa terjadinya penyakit ini berbanding terbalik dengan konsumsi beta
karoten. Juga dikatakan risiko untuk mendapat molahidatidosa pada perempuan
dengan konsumsi beta karoten di atas rata-rata adalah 0,6 kali.
Andrijono dkk, dalam penelitiannya mendapatkan bahwa walaupun secara statistik
tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, terbukti bahwa persentase
defisiensi vitamin A pada penderita molahidatidosa (43,33%) lebih tinggi dibanding
kelompok kontrol (23,33%). Juga dikatakan bahwa risiko molahidatidosa akan
meningkat 6,29 kali jika terjadi pada perempuan kurang dari 24 tahun, hamil dan
mengalami defisiensi vitamin A yang berat.

B. Faktor golongan darah

Bagshawe mengemukakan bahwa perempuan dengan golongan darah A,


mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya koriokarsinoma bila
mempunyai suami golongan darah O, dibandingkan dengan perempuan golongan
darah A, tetapi dengan suami golongan darah A. Faktor golongan darah Rhesus
juga dianggap berperan, berdasarkan kenyataan bahwa angka kejadian
molahidatidosa lebih tinggi pada orang Timur yang hampir seluruhnya mempunyai
faktor Rhesus positif.

C. Faktor sitogenetik

Penelitian tentang sitogenetik pada molahidatidosa mulai berkembang pada


pertengahan tahun enam puluhan, dipelopori oleh Carr, Baggish dan Pattillo.
Beberapa peneliti melakukan kariotipe pada molahidatidosa komplit dan
molahidatidosa parsial, mereka melaporkan bahwa molahidatidosa komplit
umumnya (95%) mempunyai kromosom diploid 46 XX, hanya 5% yang mempunyai
kariotipe 46 XY, hasil dari fertilisasi sperma 23 X dengan telur kosong yang
kemudian membelah diri/homozigot/monospermik atau fertilisasi telur kosong
oleh 2 spermatosoon yang heterozigot/dispermik. Mola dispermik lebih sering
berkembang menjadi ganas. Pada molahidatidosa parsial sering dijumpai
kromosom triploidi/trisomi yang terdiri dari dua set kromosom paternal dan satu
set kromosom maternal yang terjadi karena telur yang normal oleh dua buah
sperma. Mola parsial jarang menjadi ganas. Telah banyak penulis melaporkan
bahwa molahidatidosa secara genetik umumnya berjenis kelamin perempuan ,
dengan kata lain bahwa kromatin seks positif banyak ditemukan pada
molahidatidosa dibandingkan dengan abortus. Moegni dan kawan-kawan
melaporkan semakin besar jumlah sel sitotrofoblas yang mengandung kromatin
seks, semakin besar pula kemungkinan menjadi ganas.

Patogenesis

Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK ini, antara lain teori hertig
dan teori park.

Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran darah akibat


matinya embrio pada minggu ke 3 – 5 (missed abortion), sehinggga terjadi penimbunan cairan
dalam jaringan mesenhin vili dan terbentukah kista – kista yang makin lama makin besar,
sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola, sedangkan proliferasi trofoblas merupakan
akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi.

Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan trofoblas yang
abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun neoplasi. Bentuk yang abnormal ini disertai
pula dengan fungsi yang abnormal. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya
menyebabkan kematian embrio.

Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik umumnya
kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak
berfungsi, dibuahi oleh sperma yang mengandung haploid 23 X, terjadilah hasil konsepsi
dengan kromosom 23 X, yang kemudian mengadakan duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya
MHK bersifat homozigot, wanita dan berasal dari bapak (androgenetik). Jadi tidak ada unsur
ibu sehingga disebut Diploid Androgenetik

Teori Diploid Androgenetik (modifikasi dari buku Novak’s Gynecology)

Ovum 46 XX
Kosong endoreduplikasi
23 X
Homozigot

23 X

Ovum
Kosong 46 XX

23 X
Heterozigot

23 X

46 XY

Ovum
Kosong

46 YY
23 Y

Nonviable

Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan
membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk
bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang. Karena tidak ada unsur
ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional
yang paologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik seperti anggur.

Mengapa ada ovum kosong? Hal ini bisa terjadi karena gangguan pada proses meosis,
yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi peristiwa yang disebut
nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46 XX. Pada MHK ovum inilah yang
dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain terjadi pada kelainan struktural kromosom,
berupa balance translocation.
MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma sekaligus
(dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23 X dan atu haploid 23Y. Akibatnya
bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan dengan dispermi tidak terjadi
endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi dan 46 XX hasil pembuahan dispermi,
walaupun tampak sama, namun sesungguhnya berbeda, karena yang pertama berasal dari
satu sperma (homozigot) sedangkan yang kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada
yang menganggap bahwa 46XX heterozigot mempunyai potensi keganasan lebih besar.
Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23 Y (46 YY) dianggap tidak pernah bisa terjadi
(nonviable)

Patologi Anatomi

1. Makroskopik

Molahidatidosa mempunyai gambaran makroskopik yang sangat khas, yaitu berupa


gelembung-gelembung berisi cairan dengan dinding tipis, kenyal dan tembus pandang.
Gelembung-gelembung tersebut ialah vili korialis yang berisi cairan jernih, dengan diameter
1 sampai 30 mm. Sebagian besar vili korialis berukuran cukup besar, bergerombol seperti
buah anggur, mempunyai tangkai yang melekat pada endometrium dengan jumlah
seluruhnya dapat mencapai 2000 ml atau lebih. Menurut Hasegawa, cairan dalam vili
korialis tersebut terdiri dari air, albumin, musin, garam anorganik, NaCl dan asam fosfat
natron. Pada molahidatidosa parsial, selain gelembung-gelembung ditemukan juga kantung
amnion yang kadang-kadang berisi janin.

2. Mikroskopik

Secara mikroskopik molahidatidosa juga mempunyai gambaran yang khas yaitu:

a). Proliferasi abnormal sel-sel trofoblas

Menurut Hasegawa kedua jenis sel trofoblas berproliferasi secara abnormal. Akan
tetapi proliferasi sel-sel sitotrofoblas biasanya tidak sehebat proliferasi sel-sel
sinsisiotrofoblas. Proliferasi sel-sel sinsisiotrofoblas tergantung pada lokasi vili
korialis, makin dekat ke desidua basalis proliferasi makin hebat, dan tergantung
nutrisi di antara sel-sel sinsisiotrofoblas itu sendiri. Proliferasi dikatakan makin
hebat bila ditemukan sel-sel yang bermitosis. Kadang-kadang ditemukan
molahidatidosa yang tidak disertai proliferasi abnormal sel-sel trofoblas. Oleh
Marchand dan Hasegawa keadaan ini disebut sebagai molahidatidosa sekunder,
untuk membedakan dengan molahidatidosa primer yaitu molahidatidosa yang
mempunyai ketiga gambaran histologik yang khas. Pada molahidatidosa sekunder
jarang terjadi perdarahan dan uterus sering lebih kecil dari seharusnya.

b). Stroma vili korialis hidrofik

Ada 2 teori yang dapat menerangkan terjadinya vili korialis menjadi hidrofik, yaitu
teori degeneratif yang diajukan oleh Hertig dan Edmons dan teori neoplastik yang
diajukan oleh Park. Gambaran mikroskopik vili korialis tampak udema dan
berdegenerasi miksomatosa. Kadang-kadang masih terlihat sisa-sisa sel stroma
yang melekat pada dinding vili korialis. Besar-kecilnya vili korialis tergantung dari
derajat hidrofik vili korialis tersebut.

c). Pembuluh darah di dalam stroma vili korialis sangat sedikit sampai tidak ada sama
sekali.

Menurut Hasegawa, jumlah pembuluh darah dalam vili korialis tergantung dari
derajat hidrofik stroma vili korialis tersebut. Makin banyak vili korialis
mengandung cairan, makin sedikit mengandung pembuluh darah, sedangkan
menurut Stolte, tidak adanya pembuluh darah, memang merupakan kelainan
utama dalam pembentukan gelembung pada molahidatidosa. 2,10,15,43,44

Beberapa penulis yang menyelidiki molahidatidosa dengan mikroskop elektron,


mengatakan bahwa sel sitotrofoblas molahidatidosa secara keseluruhan tidak
berbeda dengan sel sitotrofoblas vili korialis normal. Sedangkan sel
sinsisiotrofoblas berbeda, baik dalam bentuk maupun struktur organ-organ
sitoplasmanya. Selain itu Wynn dan Davies melaporkan bahwa pada
molahidatidosa banyak ditemukan sel-sel trofoblas transisional, yaitu sel antara
sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas. Atas dasar itu mereka menarik kesimpulan
bahwa sel sinsisiotrofoblas berasal dari sitotrofoblas. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Pierce dan Midgley. Mereka juga mendapatkan mikrovili dan
vesikel pinositosis pada sel-sel sinsisiotrofoblas, jumlahnya sangat banyak.

Gambaran Klinis

Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa. Kecurigaaan
biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran uterus lebih besar dari kehamilan
biasa, pembesaran uterus yang terkadang diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah
darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam. Tanda dan gejala mola
yaitu :

1. Adanya tanda-tanda kehamilan disertai dengan perdarahan pervaginam.

Perdarahan timbul mulai kehamilan 8 minggu, berwarna merah segar karena berasal
dari jaringan mola yang lepas dari dinding uterus. Kadang-kadang timbul bekuan
darah yang tersimpan dalam kavum uterus yang kemudian akan mencair dan keluar
berwarna merah ungu akibat proses oksidasi. Perdarahan biasanya intermitten, sedikit-
sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian, oleh karena itu
umumnya pasien mola hidatidosa masuk rumah sakit dalam keadaan anemia.
Perdarahan uterus abnormal yang bervariasi dari spotting sampai perdarahan hebat
merupakan gejala yang paling khas dari kehamilan mola dan pertama kali terlihat antara
minggu keenam dan kedelapan setelah amenore. Sekret berdarah yang bkontinyu atau
intermitten dapat berkaitan dengan keluarnya vesikel-vesikel yang menyerupai buah
anggur.

2. Hiperemesis gravidarum
yang ditandai dengan nausea dan vomiting yang berat. Keluhan hiperemesis terdapat
pada 14-18% kasus pada kehamilan kurang dari 24 minggu dan keluhan mual
muntah terdapat pada mola hidatidosa dengan tinggi fundus uteri lebih dari 24
minggu.

3. Tanda toksemia/ pre-eklampsia pada kehamilan trimester I


Kejadian preeklampsia cukup tinggi yaitu 20-26% kasus. Pada kehamilan normal,
preeklampsia timbul setelah kehamilan 20 minggu, namun pada mola hidatidosa dapat
terjadi lebih dini.

4. Kista lutein unilateral/bilateral

Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein ±15% kasus. Umumnya kista ini segera
menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-kasus dimana kista
lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Kista lutein dapat menimbulkan gejala
abdominal akut karena torsi atau pecah. Kista berisi cairan serosanguineous dan
strukturnya multilokulare. Bila uterusnya besar, maka kista ini sukar diraba namun dapat
diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi. Kista menjadi normal dalam waktu 2-4 bulan
setelah dievakuasi. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai resiko 4 kali lebih besar
untuk mendapatkan degenerasi keganasan dikemudian hari dari pada kasus-kasus tanpa
kista.

5. Umumya uterus lebih besar dari usia kehamilan

Lebih dari separuh penderita mola hidatidosa memiliki uterus yang lebih besar dari usia
kehamilannya. Bila uterus diraba, akan terasa lembek karena miometrium teregang oleh
gelembung-gelembung mola dan bekuan darah.

6. Tidak terdengar denyut jantung janin

7. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin, tidak teraba bagian janin
(balottement), kecuali pada mola parsial

8. Kadar gonadotropin korion tinggi dalam darah dan urin

9. Emboli paru.

Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-paru. Sebetulnya
pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke peredaran darah kemudian ke paru-
paru tanpa memberikan gejala apa-apa tetapi pada mola kadang-kadang jumlah sel
trofoblas ini demikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru-paru akut yang
bisa menyebabkan kematian.

10. Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada), yang
merupakan diagnosa pasti.
11. Mola hidatidosa parsial biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang didiagnosis
sebagai abortus inkomplit atau missed abortion.

12. Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan keluhan obstetri,
seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal, dekompensasi kordis, perdarahan
intrakranial, perdarahan gastrointestinal, dan hemoptoe.

Hipertiroidisme pada mola hidatidosa dapat berkembang dengan cepat menjadi


tirotoksikosis. Berbeda dengan tirotoksikosis pada penyakit tiroid, tirotoksikosis pada mola
hidatidosa muncul lebih cepat dan gambaran klinisnya berbeda. Mola yang disertai
tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun
kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid.

Pemicu tirotoksikosis pada mola hidatidosa adalah tingginya kadar hCG. Tirotoksikosis
merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola. Kariadi menemukan bahwa kadar
ß-hCG serum (RIA) > 300.000 ml pada penderita mola sebelum jaringan molanya dievakuasi.
Hal ini merupakan faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis.
Hipertiroid dapat diketahui secara klinis terutama bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3
dan T4, yaitu dengan menggunakan Indeks Wayne. Tirotoksikosis merupakan salah satu
penyebab kematian penderita mola. Kariadi menemukan bahwa kadar ß-hCG serum (RIA) >
300.000 ml pada penderita mola sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini merupakan
faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui
secara klinis terutama bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan
menggunakan Indeks Wayne.

Untuk membantu masalah ini Sri Hartini Kariadi (1992) mengajukan rumus fungsi
diskriminan diagnosa tirotoksikosis pada mola hidatidosa sebagai berikut:

1. D = - 8,376128 + 0,52505870 FU – 0,01926897 Nadi


FU = fundus uteri dalam minggu

Nadi = dalam kali/menit

Bila D< 0 atau kalau D hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya menunjukkan
tirotoksikosis. Derajat ketepatannya 87,5%
2. D = +3552928 – 0,4749675 FU + 0,003115562 Nadi + 0,01638073 Khol
Khol = Kholesterol darah dalam mg%

Bila D< 0 atau kalau hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya, menunjukkan
tirotoksikosis. Derajat ketepatan 90,63%

Dasar Diagnosis

1. Anamnesis

Mola hidatidosa biasanya didiagnosis pada kehamilan trimester pertama.


Dari anamnesis, didapatkan gejala-gejala hamil muda dengan keluhan
perdarahan pervaginam yang sedikit atau banyak. Pasien juga dapat
ditanyakan apakah

terdapat riwayat keluar gelembung mola yang dianalogikan seperti mata


ikan, riwayat hiperemesis, dan gejala-gejala tirotoksikosis.

2. Pemeriksaan klinis

 Palpasi abdomen : teraba uterus membesar, tidak teraba bagian janin,gerakan


janin dan balotemen

 Auskultasi : tidak terdengar djj

 Periksa dalam vagina : uterus membesar, bagian bawah uterus lembut dan tipis,
serviks terbuka dapat diketemukan gelembung MH, perdarahan, sering disertai
adanya Kista Teka Lutein Ovarium (KTLO). Pemeriksaan dengan sonde uterus
(Acosta Sison) : MH hanya ada gelembung-gelembung yang lunak tanpa kulit
ketuban  sonde uterus mudah masuk sampai 10 cm tanpa adanya tahanan

3. Pemeriksaan radiologi

Foto Abdomen MH tidak tampak kerangka janin. Dilakukan setelah umur kehamilan 16
minggu. Amniografi/histerografi cairan kontras lewat transabdominal / transkutaneus
atau transervikal kedalam rongga uterus, akan menghasilkan amniogram atau
histerogram yang khas pada kasus MH, yang disebut sebagai sarang tawon/typical
honeycomb pattern/honeycomb
4. USG

 Typical Molar Pattern/Classic Echogram Pattern : pola gema yang difus

gambaran badai salju/kepingan salju/snowstorm

 Atypical molar pattern/Atypical echogram pattern : adanya perdarahan diantara


jaringan mola.

 Janin : MH KOMPLIT tidak didapatkan janin, MH PARSIAL Plasenta yang besar dan
luas, kantong amnion kosong atau terisi janin. Janin masih hidup dengan
gangguan pertumbuhan & kelainan kongenital, atau sudah mati

 Kista Teka Lutein Ovarium (KTLO), biasanya besar, multilokuler, dan sering
bilateral.

5.Pemeriksaan
HCG (HUMAN
CHORIONIC GONADOTROPIN)

kadar HCG yang tetap tinggi & naik cepat setelah hari ke 100 (dihitung sejak
gestasi / hari pertama haid terakhir )

6. Patologi anatomi

 Makroskopis : Gambaran khas MH berupa kista / gelembung dengan b erbagai


macam ukuran, Dindingnya tipis, kenyal, berwarna putih jer nih, berisi cairan.
Tangkai melekat pada endometrium. Bila tangkainya terlepas, terjadi
perdarahan.
 Mikroskopis : Stroma villi mengalami degenerasi hidropik, yang t ampak
sebagai kista,Proliferasi trofoblast ( baik sel Langhans / sitotrofoblast maupun
sinsisiotrofoblast ), sehingga terbentuk beberapa lapisan,Tidak ada atau
berkurangnya pembuluh darah pada villi.

 Tes Acosta Sicon yaitu menggunakan sonde uterus untuk membedakan mola
hidatidosa dengan kehamilan normal. Prinsipnya bila pada kehamilan normal
dala kavum uteri terdapat janin yang dilindungi oleh selaput ketuban,
sedangkan pada mola hidatidosa hanya terdapat gelembung-gelembung yang
lunak tanpa selaput ketuban. Bila kita memasukkan sonde melalui kanalis
servikalis secara perlahan-lahan dan sonde dapat masuk lebih dari 10 cm ke
tengah-tengah kavum uteri tanpa tahanan, maka diagnosis mola hidatidosa
hampir dapat dipastikan. Pada kehamilan normal, sonde akan tertahan oleh
ketuban. Syarat melakukan sondase ini adalah uterus harus lebih besar dari
kehamilan 20 minggu. Sonde dapat juga masuk ke kavum uteri tanpa tahanan
pada kematian janin dalam uterus, dimana tonus jaringan telah sedemikian
lembeknya sehingga tidak mampu memberikan tahanan lagi. Pada mola
hidatidosa, sonde dapat berputar 360 derajat tanpa tahanan, sedangkan pada
kehamilan normal sonde akan tertahan.

Diagnosis banding

 Diagnosis banding uterus yang ukurannya lebih besar dari pada umur kehamilan :
hidramnion, kehamilan multipel,dan uterus hamil disertai adanya mioma uteri.

 Diagnosis banding perdarahan uterus dan nyeri perut pada trimester I atau
trimester II kehamilan : abortus mengancam & abortus incompletus

 Diagnosis banding pemeriksaan sonde : Kehamilan biasa sebelum 20 minggu ,


Kematian janin intra uterine , Solusio plasenta & missed abortion

 Diagnosa banding pemeriksaan USG : Missed abortion, Massa dirongga panggul, Massa
plasenta yang besar pada kehamilan ganda, Kematian janin dalam rahi

Terapi
Terdiri dari 4 tahap, yaitu :

1. Perbaikan keadaan umum

2. Evakuasi jaringan

3. Profilaksis

4. Follow up

BAB 3
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
1. Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
berkembang sepenuhnya dan dapat hidup di luar kandungan dengan batasan
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
2. Penyebab abortus bervariasi, dapat berasal dari faktor ibu (seperti kelainan
anatomis uterus, penyakit endokrin, infeksi,dll), faktor janin (kelainan
genetik/kromosom) dan faktor ayah (kelainan sperma).
3. Menurut terjadinya dibedakan atas abortus spontan dan abortus provokatus,
sedangkan berdasarkan klinisnya dapat diklasifikasikan menjadi: Abortus
imminens, insipiens, inkomplit, komplit, dan missed abortion.
4. Diagnosis abortus ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
5. Tatalaksana abortus terdiri dari tatalaksana umum untuk mengatasi kegawat
daruratan dan tatalaksana khusus sesuai jenis abortus.
6. Komplikasi abortus berupa pendarahan, infeksi, perforasi hingga syok
7. Prognosis abortus tergantung dari penanganan etiologinya.

DEFINISI

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/ melekatnya


buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim Sedangkan
yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik
yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba.

ETIOLOGI

Semua faktor yang menghambat migrasi embrio ke kavum uteri menyebabkan


seorang ibu semakin rentan untuk menderita kehamilan ektopik, yaitu :

1. Faktor dalam lumen tuba:


a. Endosalpingitis, menyebabkan terjadinya penyempitan lumen tuba
b. Hipoplasia uteri, dengan lumen tuba menyempit dan berkelok-kelok
c. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna
2. Faktor pada dinding tuba:
a. Endometriosis, sehingga memudahkan terjadinya implantasi di tuba
b. Divertikel tuba kongenital, menyebabkan retensi ovum.
3. Faktor di luar dinding tuba:
a. Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba
b. Tumor yang menekan dinding tuba
c. Pelvic Inflammatory Disease (PID)
4. Faktor lain:
a. Hamil saat berusia lebih dari 35 tahun
b. Fertilisasi in vitro
c. Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
d. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
e. Infertilitas
f. Mioma uteri
g. Hidrosalping

KLASIFIKASI

1. Kehamilan pars interstisialis tuba


Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada interstisialis tiba.
Keadaan ini jarang terjadi dan hanya 1% dari semua tuba.
2. Kehamilan ektopik ganda
Kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan kehamilan intrauterine.
Frekuensinya berkisar 1 diantara diantara 15.000-40.000 persalinan.
3. Kehamilan ovarial
Diagnosis harus ditegakan dengan 4 kriteria spiegelberg:
a. Tuba pada sisi kehamilan harus normal
b. Kantong janin harus berlokasi di ovarium
c. Kantong janin di hubungkan dengan uterus oleh liganmentum ovary
propium
d. Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin
4. Kehamilan ektopik kronik ( hematokel)
Kehamilan ektopik kronik disini dipakai karena pada keadaan ini anotami
suadah kabur. Penderita tidak merasakan sakit lagi, tetapi pada pemeriksaan
fisik dan USG didaptkan massa yang beisi jendalan-jendalan darah.

PATOFISIOLOGI

Sujiyatini dkk (2009) menyebutkan terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang
telah dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat kebutuhan
embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba.
Ada kemungkinan akibat dari hal ini :

a) Kemungkinan “tuba abortion”, lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung
distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya terjadi pada kehamilan
ampulla, darah yang keluar dan kemudian masuk ke rongga peritoneum biasanya tidak
begitu banyak karena dibatasi oleh tekanan dari

dinding tuba.

b) Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat dari
distensi berlebihan tuba.

c) Faktor abortus ke dalam lumen tuba. Ruptur dinding tuba sering terjadi bila
berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur dapat terjadi
secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hingga banyak, sampai
menimbulkan syok dan kematian.

GEJALA DAN GAMBARAN KLINIS

Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya penderita


tidak menyampaikan keluhan yang khas. Pada umumnya penderita menunjukkan
gejala- gejala seperti pada kehamilan muda yakni mual, pembesaran disertai rasa agak
sakit pada payudara yang didahului keterlambatan haid. Disamping gangguan haid,
keluhan yang paling sering ialah nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun
kehamilan ektopik belum mengalami ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping
uterus dengan batas yang sukar ditentukan.

Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda, dari perdarahan
banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas,
sehingga sukar membuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya
kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehmilan, derajat
perdarahan yang terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil.

Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik. Nyeri dapat
unilateral atau bilateral, pada abdomen bagian bawah, seluruh abdomen, atau hanya
di bagian atas abdomen. Umumnya diperkirakan, bahwa nyeri perut yang sangat
menyiksa pada suatu ruptur kehamilan ektopik, disebabkan oleh darah yang keluar ke
dalam kavum peritoneum. Tetapi karena ternyata terdapat nyeri hebat, meskipun
perdarahannya sedikit, dan nyeri yang tidak berat pada perdarahan yang banyak, jelas
bahwa darah bukan satu- satunya sebab timbul nyeri. Darah yang banyak dalam kavum
peritoneal dapat menyebabkan iritasi peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri yang
bervariasi.

Amenorea atau gangguan haid merupakan tanda yang penting pada kehamilan
ektopik. Lamanya amenorea tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat
bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea karena kematian janin
terjadi sebelum haid berikutnya.

Bercak darah (spotting) atau perdarahan vaginal merupakan juga tanda yang penting
pada kehamilan ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal
dari uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan biasanya sedikit, berwarna coklat tua,
dan dapat intermiten atau terus menerus.

Pada pemeriksaan dalam ditemukan bahwa usaha menggerakkan serviks uteri


menimbulkan rasa nyeri dan kavum Doglas teraba menonjol, berkisar dari diameter 5
sampai 15 cm, dengan konsistensi lunak dan elastis.

    PROGNOSIS

Angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu turun
sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup.
Kehamilan ektopik terganggu yang berlokasi di tuba pada umumnya bersifat bilateral.
Sebagian ibu menjadi steril (tidak dapat mempunyai keturunan) setelah mengalami
keadaan tersebut diatas, namun dapat juga mengalami kehamilan ektopik terganggu
lagi pada tuba yang lain .

Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu, mempunyai resiko


10% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang sudah
mengalami kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat kemungkinan 50%
mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang .

Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas


wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60%
kemungkinan wanita steril. Dari sebanyak itu yang menjadi hamil kurang lebih 10%
mengalami kehamilan ektopik berulang.

KOMPLIKASI

Komplikasi dari kehamilan ektopik antara lain:

a. Pada pengobatan konservatif, yaitu jika ruptur tuba telah lama berlangsung (4-6
minggu), terjadi perdarahan ulang (recurrent bledding). Ini merupakan indikasi operasi.

b.Infeksi

c.Sub-Ileus karena massa pelvis

d.Sterlitas

PEMERIKSAAN FISIK

Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa.


a. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas
dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah,
nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen.
b. Pemeriksaan ginekologis
Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan
dan kiri.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah

24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.

2. USG : Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri, Adanya kantung

kehamilan di luar kavum uteri, Adanya massa komplek di rongga panggul.

3. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam

kavum Douglas ada darah.

4. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.

5. Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi

di luar uterus

DIAGNOSIS BANDING

Gejala KET Abortus Kista Infeksi pelvis


ovarium
Amenorea Ada (75%) Semua Tidak ada Ada (25%)
Perdarahan Sedikit Banyak Tidak ada Bisa ada
vaginal
Perdarahan Banyak Tidak Tidak Tidak
abdominal
Pireksia Dibawah 38oC Tidak Tidak Diatas 38oC
Massa pelvis Dibawah Tidak Ada Ada bilateral
Uterus Sedikit Membesar Tidak Tidak besar
membesar
Nyeri Hebat Tidak Hebat Nyeri
Anemia Ada Bisa ada Tidak Tidak
Lekositosis Bisa ada Tidak Tidak Ada (di atas
20.000)
Reaksi (+) 75% (+) Tidak Tidak
kehamilan
Shifting Ada Tidak Tidak Tidak
dullness

BAB III

PENATALAKSANAAN

Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi
baik dan tenang, memiliki 2 pilihan, yaitu penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan
bedah.

1.      Penatalaksanaan Medis

Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas


jaringan dan sel hasil konsepsi. Tindakan konservativ medik dilakukan dengan
pemberian methotrexate. Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan
untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit
trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada
pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel
trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut.

Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis
tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel
yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan
hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam
regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari
ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek
negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9.
Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam
massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik
paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.

Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat


berikut ini: a) keadaan hemodinamik yang stabil dan tidak ada tanda robekan dari
tuba, b) tidak ada aktivitas jantung janin, c) diagnosis ditegakkan tanpa memerlukan
laparaskopi, d) diameter massa ektopik < 3,5 cm, e) kadar tertinggi β-hCG <
15.000mIU/ ml, f) harus ada informed consent dan mampu mengikuti follow up, serta
g) tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate.

2.      Penatalaksanaan Bedah

Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan


tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan
ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin.

Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang


berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada
prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil
konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos
dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit
dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak
dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan
laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold
standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.

Pada dasarnya prosedur Salpingotomi sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa


pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak
ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba
pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadijanto B. Pendarahan Pada Kehamilan Muda. Dalam Prawirohardjo S. Ilmu


Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.2010
2. Preventing Unsave Abortion. Tersedia dari https://www.who.int/en/news-
room/fact-sheets/detail/preventing-unsafe-abortion. Diakses pada 30 juli 2020.
3. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta :
Kementrian Kesehatan RI. 2016
4. Wiknjosastro, Hanifa. Prof.dr. DSOG. Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawihardjo. Jakarta. 2007 :302-312
5. Williams Obstetrics. In : Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC,
Rouse DJ, Spong CY, editors. 23rd ed. Ohio: McGraw-Hill;2010.
6. Gaufberg F. Abortion Complication. Tersedia dari : URL :
http://emedicine.medscape.com/article/795359-overview. Diakses 30 juli 2020.
7. Rumbold A, Middleton P, Pan N, Crowther CA. Vitamin Supplementation for
preventing miscarriange. Cochrane Database of Systematic Reviews
8. Kamus Kedokteran Dorland, In: Harjono RM, Hartono A, Japaries W, Kuswadji
S, Maulana RF, SetioM, Sugani S, Suyono J, Tambajong J, Winata I, editors.
Jakarta: EGC;2010
9. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan
Ibu di Fasilitasi Kesehatan Dasar Dan Rujukan. 1at ed. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.2013.
10. Abortus Incomplete. Tersedia Dari : URL :
http.//www.jevuska.com/2007/04/11/abortus-inkomplit. Diakses 30 juli 2020.

Anda mungkin juga menyukai