Anda di halaman 1dari 6

Nama: Maharani Putri Puji Artiningrum

NPM: 1625010003

UAS MATA KULIAH SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN


Soal A (Dr. Ir. Maroeto, MP.)

1. Penanganan Lahan Produktif, Lahan Marginal, Dan Lahan Kritis Secara


Berkelanjutan
Jawaban:
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kesuburan di atas rata-rata, karenanya banyak
wilayah yang cukup potensial digunakan sebagai lahan pertanian pangan. Namun terjadi
cepatnya konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang merupakan ancaman
terhadap ketahanan dan keamanan pangan. Didasari hal tersebut perlu dilakukan penetapan
Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang terbagi dalam bentuk Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

- Lahan Marjinal

Karakteristik lahan marginal dicirikan dengan tingkat kesuburannya sangat menurun


sehingga cepat atau lambat akan menjadi tidak berfungsi sebagai unsur produksi pertanian
dan tidak menguntungkan bagi petani; lahan tersebut kurang berfungsi sebagai penyalur
tata air dan perlindungan alam sekitar; dan lapisan olahnya dangkal yang sulit sebagai
tempat yang optimal untuk tumbuh tanaman. Rehabilitasi lahan marginal merupakan
tindakan perpaduan teknologi di dalam batas-batas alam dari suatu areal untuk optimalisasi
sumberdaya lahan, air, dan tanaman dalam rangka mencukupi kebutuhan masyarakat secara
berkelanjutan. Lahan marginal merupakan salah satu penyebab kemiskinan, oleh karena itu
perlu segera diatasi agar produktivitasnya dapat ditingkatkan. Pengembangan agribisnis di
lahan marginal tidaklah mudah, karena dihadapkan pada beberapa kendala dan
permasalahan yang cukup kompleks, diantaranya : (a) potensi erosi relatif tinggi karena
kondisi lereng umumnya curam, intensitas hujan cukup tinggi, tanah kurang terlindungi
oleh vegetasi permanen; (b) tingkat kesuburan tanah rendah karena kurangnya usaha
pengembalian bahan organik, lahan solumnya dangkal, dan praktek penggunaan pupuk
kimia yang kurang sesuai; (c) resiko kegagalan panen atau kematian tanaman relatif tinggi
karena ketidakpastian hujan atau pola hujan bervariasi, kekeringan pada musim kemarau
dan erosi pada musim hujan, penguasaan teknologi pada umumnya masih bersifat
subsisten; (d) keterbatasan modal para petani; dan (e) keterbatasan sarana dan prasarana
wilayah. Pola pembangunan di daerah marginal memerlukan koordinasi yang mantap antar
sektor, seperti sektor pertanian, kehutanan, dan prasarana wilayah. Pengembangan
komoditas haruslah diseleraskan dengan kondisi biofisik lahan marginal, sosial ekonomi
dan budaya setempat, serta potensi pasarnya.

1. Program rehabilitasi lahan marginal perlu diprioritaskan terlebih dahulu pada upaya
peningkatan produktivitas lahan dan konservasi air dalam upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
2. Dalam upaya rehabilitasi lahan marginal, salah satu alternatif model yang dapat
dikembangkan adalah sistem usahatani konservasi atau model pengembangan agribisnis
terpadu tanaman-ternak berbasis usahatani konservasi.
3. Secara bertahap di wilayah lahan marginal perlu disiapkan pula kegiatan agroindustri
hasilhasil pertanian dan perkebunan untuk mengolah bahan baku menjadi produk
perdagangan sebagai hasil utama, sedangkan produk samping atau limbahnya dapat
dimanfaatkan untuk mendukung bahan baku pakan dan pemanfaatan untuk pupuk organik.

- Lahan Kritis (rehabilitasi lahan kritis berbasis agrosylvopastur di timor dan sumba)

Rehabilitasi lahan kritis di Timor dan Sumba mengalami tantangan berat karena
keragaman persoalan dasar yang sangat multidimensional. Pertumbuhan penduduk,
kemiskinan, keterbatasan alternatif lapangan kerja, tingkat ketergantungannya terhadap
pertanian lahan kering dan hewan ternak yang tinggi merupakan sebagian kecil persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Dampak dari ketergantungan tersebut menyebabkan laju percepatan
lahan kritis sangat tinggi, pendekatan rehabilitasi lahan harus dilakukan secara terpadu dan
diarahkan untuk menjawab keragaman persoalan yang sangat multidimensi. Rehabilitasi lahan
kritis di Timor dan Sumba memerlukan pola pendekatan yang lebih spesifik dengan
mengintegrasikan berbagai komponen yang saling mempengaruhi melalui tersedianya
alternatif pemanfaatan lahan yang memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat secara berkelanjutan. Rehabilitasi lahan melalui diversifikasi pendapatan sangat
diperlukan dengan pertimbangan bahwa 81% masyarakat di Timor dan Sumba adalah petani
yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan,
dan perikanan. Apresiasi terhadap berbagai inisiatif lokal dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan, lahan, dan ternak menjadi bagian integral dari strategi rehabilitasi melalui penguatan
dan pemberdayaan terhadap model-model agrosylvopasture yang sudah berkembang dalam
masyarakat, dalam bentuk rehabilitasi yang telah ada agrosylvopasture (berupa sistem amarasi,
kaliwu, mamar, dan sistem perkarangan), sehingga rehabilitasi lahan dapat dilaksanakan secara
sinergis dengan memulai dari potensi yang sudah terbangun dalam masyarakat.

- Lahan Produktif (Lahan pekarangan rumah secara berkelanjutan)

Pekarangan merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang unik dan


kompleks. Kompleksitas ditunjukkan oleh keberadaan berbagai pengguna dan berbagai entitas
pengelola wilayah yang mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda mengenai
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan pekarangan.

Pengelolaan sumberdaya pekarangan terpadu (PSPT) adalah Pengelolaan Kawasan


Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Berbasis Masyarakat (PKOPP-CM) dengan
memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan lahan
pekarangan dalam suatu desa dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan
lahan pekarangan dan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya,
menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, selanjutnya merencanakan serta mengelola
segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan
berkelanjutan.

Dasar pengelolaan sumberdaya pekarangan terpadu adalah :

1. Keberadaan sumberdaya pekarangan yang besar dan beragam

2. Peningkatan pembangunan dan jumlah penduduk

3. Konsentrasi kegiatan ekonomi keluarga

4. Pusat pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap masyarakat dalam


era globalisasi.

Secara lebih spesifik perencanaan dan pengelolaan lahan pekarangan secara terpadu adalah
pengkajian sistematis tentang sumberdaya lahan pekarangan serta potensinya, alternatif-
alternatif pemanfaatannya serta kondisi ekonomi dan sosial yang paling baik untuk memilih
dan mengadopsi cara-cara pemanfaatan lahan pekarangan guna memenuhi kebutuhan
masyarakat sekaligus mengamankan sumberdaya tersebut untuk masa depan. Pendekatan
pengelolaan sumberdaya lahan pekarangan secara terpadu merupakan suatu pendekatan yang
melibatkan suatu ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu.
Keterpaduan tersebut meliputi dimensi keilmuan, sektoral, dan keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara keilmuan diartikan sebagai keterpaduan dalam sudut pandang pengelolaan
lahan pekarangan yang dilakukan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary
approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekologi, ekonomi, teknik, sosiologi, hukum, dan
sebagainya yang relevan.

Keterpaduan secara sektoral dipandang sebagai suatu keadaan tentang proses koordinasi tugas,
wewenang dan tanggungjawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu
(horizontal integration) dan pada semua tingkat pemerintahan, mulai dari desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi, dan pusat (vertical integration) dijalankan secara terpadu. Sedangkan
keterpaduan ekologis perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan lahan pekarangan secara
terpadu.

Selama ini peningkatan peran pemerintah dalam pengelolaan lahan pekarangan sangat tinggi,
akan tetapi peran tradisional kurang mendapat perhatian, karena dianggap pengalaman dan
pengetahuannya masih bersifat tradisional. Dalam kondisi tertentu para ibu rumah tangga
banyak yang berhasil dalam upaya pengelolaan lahan pekarangan, mulai dari menyusun dan
mengatur lahan pekarangannya dengan baik. Dalam banyak hal pemerintah kurang berhasil
dalam mengatur dan menyusun sistem tertentu untuk menggantikan atau melengkapi sistem
tradisional. Nasionalisasi atau swastanisasi sebagai solusi alternatif tidaklah mampu
menyelesaikan masalah pemanfaatan lahan pekarangan dan bahkan sebagian masyarakat
merasa terbebani dengan kegiatan pengelolaan lahan pekarangan tersebut.

Berdasarkan pengalaman yang telah terjadi dengan proyek Usaha Peningkatan Gizi Keluarga
(UPGK), Tanaman Obat Keluarga (TOGA), dan Optimalisasi Pekarangan di masa lampau,
maka perlu dikembangkan suatu pendekatan yang lebih spesifik yang merupakan turunan dari
berbagai konsep yang telah diuraikan di atas (Community Base Resource management/CBM
dan Co-Management/CM dengan PKOPP), yaitu pendekatan pengelolaan kawasan
optimalisasi pemanfaatan pekarangan berbasis masyarakat. PKOPP-CM diartikan sebagai
suatu straategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan
secara terpadu dalam suatu kawasan desa dengan memperhatikan aspek kebijakan mengenai
ekonomi dan ekologi. Aspek kebijakan ini dalam pelaksanaannya terjadi pembagian
tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah di semua tingkat dalam lingkup
pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam
pengelolaan lahan pekarangan. Agar tidak terjadi ketimpangan, maka pemerintah dan
masyarakat harus bersama-sama diberdayakan. Selain masyarakat, pemerintah diharapkan
secara proaktif menunjang program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lahan
pekarangan.

Masyarakat dalam pengelolaan kawasan optimalisasi pemanfaatan pekarangan berbasis


masyarakat (PKOPP-CM) adalah segenap komponen yang terlibat baik secara langsung
ataupun tidak langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan pekarangan,
diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, perguruan tinggi dan kalangan peneliti.
Dalam PKOPP-CM diharapkan partisifasi dari masyarakat dimulai dari proses awal hingga
akhir. Persyaratan pendekatan dalam pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat (CBM)
harus dipenuhi dalam pendekatan PKOPP-CM, yaitu ketergantungan masyarakat terhadap
keberadaan sumberdaya lahan pekarangan. Dalam penerapannya diperlukan fasilitator yang
dapat menggerakkan/memotivasi dan menumbuhkan partisifasi masyarakat dan dapat
memobilisasi sektor tarkait dalam pemerintahan untuk menciptakan keterpaduan. Fasilitator
adalah orang yang memahami prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya pekarangan secara
terpadu. Fasilitator dapat berasal dari stakeholders maupun dari luar. Dalam upaya
menggerakkan partisifasi masyarakat, fasilitator dapat dibantu oleh seorang motivator atau
penggerak yang berasal dari tokoh masyarakat ataupun Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
setempat yang mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat.

Dari semua yang dijelaskan di atas, kunci keberhasilan konsep pengelolaan sumberdaya lahan
pekaranagan secara terpadu adalah :

1. Batas wilayah terdefinisi; batas-batas fisik suatu kawasan harus ditetapkan dan diketahui
secara pasti oleh masyarakat. Peranan pemerintah adalah menentukan zonasi dan
melegalisasinya.

2. Status sosial masyarakat dalam penerapan PKOPP-CM; kelompok masyarakat yang


terlibat hendaknya tinggal secara tetap di dekat wilayah pengelolaan pekarangan. Dalam hal
ini kebersamaan masyarakat akan terlihat dalam hal etnik, agama, metode pemanfaatan,
kebutuhan, harapan, dan sebagainya. Segenap pengguna yang berhak memanfaatkan
sumberdaya lahan pekarangan di sebuah kawasan dan berpartisifasi dalam pengelolaan daerah
tersebut harus diketahui dan didefinisikan dengan jelas.
3. Ketergantungan terhadap sumberdaya lahan pekarangan; Dalam pelaksanaan PKOPP-
CM harus ada kejelasan rasa ketergantungan dari masyarakat dengan adanya rasa memiliki
dari peminatnya terhadap sumberdaya lahan pekarangan

4. Memberikan manfaat; setiap komponen masyarakat dalam kawasan

pengelolaan lahan pekarangan mempunyai harapan bahwa manfaat yang diperoleh dari
partisifasi masyarakat dalam konsep PKOPP-CM akan lebih besar dibanding dengan biaya
yang dikeluarkan. komponen indikatornya dapat berupa ratio pendapatan relatif dari
masyarakat lokal dan stakeholders lainnya.

5. Pengelolaan sederhana dan mudah diimplemtasikan; model atau pola PKOPP-CM dapat
menggunakan suberdaya yang ada disekitar lingkungan pedesaan dengan pemanfaatan sampah
organik untuk pembuatan pupuk organik, peraturan pengelolaan yang sederhana namun
teritegrasi dan mudah dilaksanakan. Proses monitoring dan penegakan hukum dilakukan
secara terpadu berbasis masyarakat sebagai pemeran utama.

6. Legalitas dari sistem pengelolaan; masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan
membutuhkan pengakuan dari pemerintah daerah, dengan tujuan hak dan kewajban dapat
terdefinisikan dengan jelas dan secara hukum terlindungi. Dalam hal ini, jika hukum adat telah
ada dalam suatu wilayah, maka seharusnyalah pemerintah memberikan legalitas sehingga
keberadaan hukum ini memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat bagi para stakeholders.
Legalitas ini akan memberikan kepercayaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
pengelolaan sumberdaya pekarangan yang lebih lestari.

7. Kerjasama pemimpin formal dan informal; di dalamnya terkandung pengertian adanya


individu ataupun kelompok inti yang bersedia melakukan upaya semaksimal mungkin, adanya
pemimpin yang dapat diterima oleh semua pihak dalam masyarakat dan adanya program
kemitraan antara segenap pengguna sumberdaya pekarangan dalam setiap aktivitas.

8. Desentralisasi dan pendelegasian wewenang; pemerintah perlu memberikan desentralisasi


proses administrasi dan pendelegasian tanggungjawab pengelolaan kepada kelompok
masyarakat yang terlibat.

9. Koordinasi, sinkronisasi, dan interaksi antar stakeholders .

10. Keterpaduan pengelolaan sumberdaya lahan pekarangan oleh stakeholders; keterpaduan


visi dan misi dari pengelolaan yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai