NPM: 1625010003
- Lahan Marjinal
1. Program rehabilitasi lahan marginal perlu diprioritaskan terlebih dahulu pada upaya
peningkatan produktivitas lahan dan konservasi air dalam upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
2. Dalam upaya rehabilitasi lahan marginal, salah satu alternatif model yang dapat
dikembangkan adalah sistem usahatani konservasi atau model pengembangan agribisnis
terpadu tanaman-ternak berbasis usahatani konservasi.
3. Secara bertahap di wilayah lahan marginal perlu disiapkan pula kegiatan agroindustri
hasilhasil pertanian dan perkebunan untuk mengolah bahan baku menjadi produk
perdagangan sebagai hasil utama, sedangkan produk samping atau limbahnya dapat
dimanfaatkan untuk mendukung bahan baku pakan dan pemanfaatan untuk pupuk organik.
- Lahan Kritis (rehabilitasi lahan kritis berbasis agrosylvopastur di timor dan sumba)
Rehabilitasi lahan kritis di Timor dan Sumba mengalami tantangan berat karena
keragaman persoalan dasar yang sangat multidimensional. Pertumbuhan penduduk,
kemiskinan, keterbatasan alternatif lapangan kerja, tingkat ketergantungannya terhadap
pertanian lahan kering dan hewan ternak yang tinggi merupakan sebagian kecil persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Dampak dari ketergantungan tersebut menyebabkan laju percepatan
lahan kritis sangat tinggi, pendekatan rehabilitasi lahan harus dilakukan secara terpadu dan
diarahkan untuk menjawab keragaman persoalan yang sangat multidimensi. Rehabilitasi lahan
kritis di Timor dan Sumba memerlukan pola pendekatan yang lebih spesifik dengan
mengintegrasikan berbagai komponen yang saling mempengaruhi melalui tersedianya
alternatif pemanfaatan lahan yang memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat secara berkelanjutan. Rehabilitasi lahan melalui diversifikasi pendapatan sangat
diperlukan dengan pertimbangan bahwa 81% masyarakat di Timor dan Sumba adalah petani
yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan,
dan perikanan. Apresiasi terhadap berbagai inisiatif lokal dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan, lahan, dan ternak menjadi bagian integral dari strategi rehabilitasi melalui penguatan
dan pemberdayaan terhadap model-model agrosylvopasture yang sudah berkembang dalam
masyarakat, dalam bentuk rehabilitasi yang telah ada agrosylvopasture (berupa sistem amarasi,
kaliwu, mamar, dan sistem perkarangan), sehingga rehabilitasi lahan dapat dilaksanakan secara
sinergis dengan memulai dari potensi yang sudah terbangun dalam masyarakat.
Secara lebih spesifik perencanaan dan pengelolaan lahan pekarangan secara terpadu adalah
pengkajian sistematis tentang sumberdaya lahan pekarangan serta potensinya, alternatif-
alternatif pemanfaatannya serta kondisi ekonomi dan sosial yang paling baik untuk memilih
dan mengadopsi cara-cara pemanfaatan lahan pekarangan guna memenuhi kebutuhan
masyarakat sekaligus mengamankan sumberdaya tersebut untuk masa depan. Pendekatan
pengelolaan sumberdaya lahan pekarangan secara terpadu merupakan suatu pendekatan yang
melibatkan suatu ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu.
Keterpaduan tersebut meliputi dimensi keilmuan, sektoral, dan keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara keilmuan diartikan sebagai keterpaduan dalam sudut pandang pengelolaan
lahan pekarangan yang dilakukan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary
approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekologi, ekonomi, teknik, sosiologi, hukum, dan
sebagainya yang relevan.
Keterpaduan secara sektoral dipandang sebagai suatu keadaan tentang proses koordinasi tugas,
wewenang dan tanggungjawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu
(horizontal integration) dan pada semua tingkat pemerintahan, mulai dari desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi, dan pusat (vertical integration) dijalankan secara terpadu. Sedangkan
keterpaduan ekologis perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan lahan pekarangan secara
terpadu.
Selama ini peningkatan peran pemerintah dalam pengelolaan lahan pekarangan sangat tinggi,
akan tetapi peran tradisional kurang mendapat perhatian, karena dianggap pengalaman dan
pengetahuannya masih bersifat tradisional. Dalam kondisi tertentu para ibu rumah tangga
banyak yang berhasil dalam upaya pengelolaan lahan pekarangan, mulai dari menyusun dan
mengatur lahan pekarangannya dengan baik. Dalam banyak hal pemerintah kurang berhasil
dalam mengatur dan menyusun sistem tertentu untuk menggantikan atau melengkapi sistem
tradisional. Nasionalisasi atau swastanisasi sebagai solusi alternatif tidaklah mampu
menyelesaikan masalah pemanfaatan lahan pekarangan dan bahkan sebagian masyarakat
merasa terbebani dengan kegiatan pengelolaan lahan pekarangan tersebut.
Berdasarkan pengalaman yang telah terjadi dengan proyek Usaha Peningkatan Gizi Keluarga
(UPGK), Tanaman Obat Keluarga (TOGA), dan Optimalisasi Pekarangan di masa lampau,
maka perlu dikembangkan suatu pendekatan yang lebih spesifik yang merupakan turunan dari
berbagai konsep yang telah diuraikan di atas (Community Base Resource management/CBM
dan Co-Management/CM dengan PKOPP), yaitu pendekatan pengelolaan kawasan
optimalisasi pemanfaatan pekarangan berbasis masyarakat. PKOPP-CM diartikan sebagai
suatu straategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan
secara terpadu dalam suatu kawasan desa dengan memperhatikan aspek kebijakan mengenai
ekonomi dan ekologi. Aspek kebijakan ini dalam pelaksanaannya terjadi pembagian
tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah di semua tingkat dalam lingkup
pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam
pengelolaan lahan pekarangan. Agar tidak terjadi ketimpangan, maka pemerintah dan
masyarakat harus bersama-sama diberdayakan. Selain masyarakat, pemerintah diharapkan
secara proaktif menunjang program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lahan
pekarangan.
Dari semua yang dijelaskan di atas, kunci keberhasilan konsep pengelolaan sumberdaya lahan
pekaranagan secara terpadu adalah :
1. Batas wilayah terdefinisi; batas-batas fisik suatu kawasan harus ditetapkan dan diketahui
secara pasti oleh masyarakat. Peranan pemerintah adalah menentukan zonasi dan
melegalisasinya.
pengelolaan lahan pekarangan mempunyai harapan bahwa manfaat yang diperoleh dari
partisifasi masyarakat dalam konsep PKOPP-CM akan lebih besar dibanding dengan biaya
yang dikeluarkan. komponen indikatornya dapat berupa ratio pendapatan relatif dari
masyarakat lokal dan stakeholders lainnya.
5. Pengelolaan sederhana dan mudah diimplemtasikan; model atau pola PKOPP-CM dapat
menggunakan suberdaya yang ada disekitar lingkungan pedesaan dengan pemanfaatan sampah
organik untuk pembuatan pupuk organik, peraturan pengelolaan yang sederhana namun
teritegrasi dan mudah dilaksanakan. Proses monitoring dan penegakan hukum dilakukan
secara terpadu berbasis masyarakat sebagai pemeran utama.
6. Legalitas dari sistem pengelolaan; masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan
membutuhkan pengakuan dari pemerintah daerah, dengan tujuan hak dan kewajban dapat
terdefinisikan dengan jelas dan secara hukum terlindungi. Dalam hal ini, jika hukum adat telah
ada dalam suatu wilayah, maka seharusnyalah pemerintah memberikan legalitas sehingga
keberadaan hukum ini memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat bagi para stakeholders.
Legalitas ini akan memberikan kepercayaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
pengelolaan sumberdaya pekarangan yang lebih lestari.