Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tafsir merupakankan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi
kedudukannya.Iamerupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasannya dan
tujuannya,sertasangatdibutuhkbagiumatislam dalam mengetahui makna dari
AlQur’an sepanjang zaman.Tanpa tafsir seorang muslim tidak bisa menangkap
mutiara mutiara berharga dari ajara nillai yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Tafsir adalah salah satu upaya dalam memahami,menerangkan
maksud,mengetahui kandungan ayat-ayat,Al-Qur’an.Al-Qur’an merupakan
sumber ilmu yang tidak habis dikaji oleh berbagai kalangan Semakin lama dikaji
maka akan semakin banyak ilmu yang terkuak. Sebagai contoh, para ilmuan
mengembangkan maupun mencocokkan tentang penemuan mereka tentang
teknologi,ilmuperbintangan,penemuan pesawat terbang,matematika,fisika,danlain-
lain sebagainya dengan pemaparan yang tersebut dalam Al-Qur’an.Sebagian
sumber-sumber hukum juga berasal dari Al-Qur’an. Sehingga pengetahuan
mengenai makna al-Qur’an menjadi sangat penting untuk dipahmi.denga nadanya
tafsir dan ta’wil. Al-Qur’an tentu mempermudah setiap orang mengkaji dan
memahami

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana keberadaan tafsir dalam kajian islam ?
2. Apa saja syarat seorang mufassir ?
3. Bagaimana adab seprang mufassir ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keberadaan Tafsir Dalam Kajian Islam


1. keberadaan tafsir dalam corak bahasa
Penafsiran dengan mengggunakan pendekatan kebahasaan
dalam menjelaskan maksud ayat yang terkandung dalam Alquran
muncul karena selain Alquran sendiri memberi kemungkinan-
kemungkinan arti yang berbeda. Juga menurut M. Quraish Shihab,
akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta
akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra,
sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka
tentang keistimewaan dan kedalaman kandungan Alquran di bidang
ini.
Perlu dimaklumi bahwa seseorang tidak bebas untuk memilih
pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosa kata
pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang
mufasir disamping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah
kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan
penggunaan Alquran terhadap setiap kosa kata. Sebagai contoh, sering
Alquran menggunakan lebih dari satu kali kata yang sama secara
beruntun dalam satu kalimat namun pengertiannya berbeda satu sama
lain.
Sebagaimana firman Allah swt., dalam QS. al-Rum (30): 54:
“Allah yang menciptakan mereka dari kelemahan, kemudian
menjadikannya kuat sesudah lemah, kemudian sesudah kuat jadi lemah
dan beruban.” Menurut Manna' al-Qaththan (1993 : 201), bahwa yang
dimaksud dengan dha'f yang pertama itu adalah ketika masih seperti
nutfah dan pengertian yang kedua adalah ketika masih kanak-kanak,
dan yang ketiga ketika sudah tua renta.1

1
Hazim Sa’id Baina Al-Haidar “Al-Itqan Wa Al Burhan” (Madinah, Dar az-Zaman,
2000), Hal: 79

2
2. Keberadaan tafsir dalam corak fiqih dan hukum
Alquran yang diturunkan mengandung ayat-ayat yang berisikan
hukum-hukum fiqh yang menyangkut kemaslahatan seorang hamba.
Umat Islam pada masa Rasulullah sebagian besar memahami ayat-ayat
Alquran yang berhubungan dengan fiqh. Hal tersebut didukung oleh
pemahaman bahasa Arab yang mereka miliki, adapun yang sulit
mereka pahami ditanyakan langsung kepada Rasulullah.Penafsiran
Alquran dengan melalui pendekatan fiqh dan hukum pada masa awal
turunnya Alquran sampai munculnya mazhab fiqh yang berbeda-beda,
para mufasir ketika itu jauh dari sikap fanatik yang berlebihan, atau
ada tujuan-tujuan tertentu dalam menafsirkan Alquran.
Namun pada saat munculnya aliran-aliran teologi, maka
penafsiran cenderung mendukung aliran mereka masing-masing,
sehingga setiap golongan berusaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran
sesuai dengan aliran yang mereka anut atau paling tidak mentakwilkan
ayat agar tida bertentangan dengan aliran mereka. Sebagai hasil dari
pendekatan semacam ini dapat dilihat pada kitab Ahkam Alquran yang
ditulis oleh Abu Bakar al-Razi, juga pada kitab yang ditulis oleh Abu
Hasan al- Thabari yang berjudul Ahkam Alquran.2

3. keberadaan tafsir dalam corak historis


Seseorang yang ingin memahami Alquran secara benarmisalnya
maka yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya Alquran
yang disebut sebagai ilmu Asbab al-Nuzul. Dengan pendekatan ini
seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam
suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk
memelihara syari'at dari kekeliruan memahaminya.
Dengan mengetahui latar belakang turunnya ayat, orang dapat
mengenal dan menggambarkan situasi dan keadaan yang terjadi ketika
ayat itu diturunkan, sehingga hal itu memudahkan untuk memikirkan

2
Fahmi Amrullah, “Ilmu Al Qur’an Untuk Pemula” (Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008),
Hal: 67

3
apa yang terkandung di balik teks-teks ayat itu.Selain dari itu,
mengetahui Asbab al-Nuzul adalah cara yang paling kuat dan paling
baik dalam memahami pengertian ayat, sehingga para sahabat yang
paling mengetahui tentang sebab-sebab turunnyaayat lebih
didahulukan pendapatnya tentang pengertian dari satu ayat,
dibandingkan dengan pendapat sahabat yang tidak mengetahui sebab-
sebab turunnya ayat.
Sebagai contoh penafsiran Usman bin Mazin dan Amr bin
Ma'adi terhadap ayat QS. al-Maidah : 93 “Tidak ada dosa bagi orang-
orang beriman dan beramal shaleh terhadap apa-apa yang mereka
makan apabila mereka bertakwa dan beriman serta beramal
shaleh"mengetahui seluk beluk ayat ini, tentunya mereka tidak akan
mengatakan demikian. Sebab, Ahmad bin al-Nasai, dan lainnya
menyatakan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang yang
ketika khamar diharamkan mempertanyakan nasib kaum muslimin
yang terbunuh di jalan Allah.3

B. Syarat Seorang Mufassir


1. Jarak perjalanan tidak kurang dari 8 farsakh (45 km)
2. Dari awal ada niat untuk melakukan perjalanan sejauh 8 farsakh.
Dengan demikian orang yang melakukan perjalanan untuk mencari
sesuatu yang hilang, menemukan teman, atau pembantu yang
mengikuti tuannya dan tidak tahu sampai dimana ia akan mengakhiri
perjalanannya, maka tidak bisa dikatakan sebagai musafir yang berarti
ia harus menyempurnakan shalatnya dan juga berpuasa di perjalanan
tersebut.
3. Tidak merubah tujuan perjalanan
4. Sebelum jarak 8 farsakh tidak ada rencana untuk melewati watan atau
niat mukim di suatu tempat.
5. Bukan perjalanan untuk melakukan perbuatan haram.
Dengan demikian istri yang pergi tanpa ijin suaminya, perjalanan anak
yang menyusahkan orangtuanya, penghutang yang melakukan
perjalanan karena lari dari tanggungjawabnya dan sebagainya, maka
dalam perjalanan tersebut ia tetap harus menyempurnakan shalatnya
dan juga berpuasa.

3
Fahmi Amrullah, “Ilmu Al Qur’an Untuk Pemula, Hal. 68

4
6. Bukan perjalanan pengembara atau nomaden.
7. Pekerjaannya bukan melakukan perjalanan.
8. Dengan demikian pengemudi, pilot, pelaut, guide pesiar dan
sebagainya dalam perjalanan pekerjaannya tersebut (selain perjalanan
pertama), harus menyempurnakan shalat dan juga berpuasa.
9. Perjalanannya telah mencapai batas tarakhkhus yaitu tak terdengar lagi
suara adzan dan tembok kota.4

C. Adab Seorang Mufassir


1. Melakukan shalat Istikharah sebelum bepergian, yaitu shalat sunnah
dua raka’at kemudian berdo’a dengan do’a Istikharah. Dari Jabir bin
‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami shalat Istikharah untuk
memutuskan segala sesuatu, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajarkan al-Qur-an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana
untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah melakukan shalat sunnat
(Istikharah) dua raka’at kemudian membaca do’a:
َ َّ‫ فَإِن‬،‫ك ْال َع ِظي ِْم‬
“َ‫ ِد ُر َوال‬K‫ك تَ ْق‬ ْ َ‫أَلُكَ ِم ْن ف‬K‫ َوأَ ْس‬،‫ك‬
َ ِ ‫ل‬K ‫ض‬ َ ‫تَ ْق ِد ُر‬K‫ َوأَ ْس‬،‫ك‬
َ ِ‫ ْد َرت‬Kُ‫ك بِق‬ َ ‫ك بِ ِع ْل ِم‬
َ ‫اللَّهُ َّم ِإنِّ ْي أَ ْستَ ِخ ْي ُر‬
-ُ‫ه‬Kَ‫ ِّمى َحا َجت‬K‫وي َُس‬- َ ‫ َر‬K‫ اَللَّهُ َّم إِ ْن ُك ْنتَ تَ ْعلَ ُم أَ َّن هَ َذا ْاألَ ْم‬،‫ب‬ِ ْ‫ َوأَ ْنتَ َعالَّ ُم ْال ُغيُو‬،‫ َوتَ ْعلَ ُم َوالَ أَ ْعلَ ُم‬،ُ‫أَ ْق ِدر‬
ِ Kَ‫رْ هُ لِ ْي ثُ َّم ب‬K‫ عَا ِجلِ ِه َوآ ِجلِ ِه فَا ْقدُرْ هُ لِ ْي َويَ ِّس‬:‫ال‬
‫ار ْك‬K َ َ‫أَوْ ق‬- ْ‫َخ ْي ٌر لِ ْي فِ ْي ِد ْينِي َو َم َعا ِش ْي َوعَاقِبَ ِة أَ ْم ِري‬
‫ ِه‬Kِ‫ عَا ِجل‬:‫ال‬Kَ Kَ‫أَوْ ق‬- ْ‫ري‬K ِ K‫ َوإِ ْن ُك ْنتَ تَ ْعلَ ُم أَ َّن هَ َذا ْاألَ ْم َر َش ٌّر لِ ْي فِ ْي ِد ْينِ ْي َو َم َعا ِش ْي َوعَاقِبَ ِة أَ ْم‬،‫لِ ْي فِ ْي ِه‬
ِ ْ‫ْث َكانَ ثُ َّم أَر‬
‫ضنِ ْي بِ ِه‬ ُ ‫ فَاصْ ِر ْفهُ َعنِّ ْي َواصْ ِر ْفنِ ْي َع ْنهُ َوا ْقدُرْ لِ َي ْال َخ ْي َر َحي‬-‫ َوآ ِجلِ ِه‬.”
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu
dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk
mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku memohon
kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu Yang Mahaagung,
sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau
mengetahui, sedang aku tidak mengetahui dan Engkau-lah Yang
Mahamengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau
mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendak-
nya menyebutkan persoalannya) lebih baik dalam agamaku,

4
Muhammad Hussein Al-Dzahabi, “At-Tafsir Wa Al-Mufassirun” (Beirut, Maktabah al-
wahbah, 2000), Hal: 88

5
penghidupanku, dan akibatnya ter-hadap diriku -atau Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau Akhirat’- sukseskanlah
untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi
apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya
bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap
diriku, atau -Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia
atau akhirat,’- maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah
aku dari padanya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja kebaikan
itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.”
2. Hendaknya bertaubat kepada Allah dari segala macam kemaksiatan
yang telah diperbuatnya dan beristighfar dari setiap dosa yang
dilakukannya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi
setelah ia melakukan safar dan tidak mengetahui pula takdir yang
menimpanya. Bagi seorang yang hendak safar hendaknya
mengembalikan barang-barang yang pernah dirampasnya kepada
pemiliknya, membayar hutang-hutang, menyiapkan nafkah (uang
belanja) kepada yang wajib diberikan nafkah, segera menyelesaikan
perjanjian-perjanjian yang diulur-ulur dan menulis wasiat kepada ahli
warisnya dengan dihadiri para saksi, dan meninggalkan uang belanja
kepada keluarganya (isteri, anak dan orang tua) dan meninggalkan
kebutuhan pokok yang dapat mencukupinya.[1] Hendaknya seorang
yang hendak safar tidak membawa perbekalan kecuali dari sumber
yang halal lagi baik.5
3. Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang
atau lebih. Sebagaimana hadits:

ٌ‫َان َوالثَّالَثَةُ َر ْكب‬


ِ ‫ان َوالرَّا ِكبَا ِن َش ْيطَان‬
ٌ َ‫اَلرَّا ِكبُ َش ْيط‬.
“Satu pengendara (musafir) adalah syaitan, dua pengendara (musafir)
adalah dua syaitan, dan tiga pengendara (musafir) ialah rombongan
musafir”.

5
Muhammad Hussein Al-Dzahabi, “At-Tafsir Wa Al-Mufassirun” , Hal: 90

6
4. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a musafir/safar (bepergian).
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki
kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga kali: “,ُ‫هللاُ أَ ْكبَر‬
‫ هللاُ أَ ْكبَ ُر‬,ُ‫هللاُ أَ ْكبَر‬,”
kemudian berdo’a:
“‫أَلُكَ فِي‬K‫ الَلَّهُ َّم إِنَّا ن َْس‬، َ‫وْ ن‬KKُ‫ا لَ ُم ْنقَلِب‬KKَ‫ َوإِنَّا إِلَى َربِّن‬، َ‫رنِ ْين‬K
ِ K‫هُ ُم ْق‬Kَ‫ُسب َْحانَ الَّ ِذيْ َس َّخ َر لَنَا هَ َذا َو َما ُكنَّا ل‬
،ُ‫ َده‬K‫و َعنَّا بُ ْع‬Kْ ‫ َذا َو‬Kَ‫فَ َرنَا ه‬K‫ الَلَّهُ َّم هَ ِّو ْن َعلَ ْينَا َس‬،‫ضى‬
ِ ‫اط‬ َ ْ‫ َو ِمنَ ْال َع َم ِل َما تَر‬،‫َسفَ ِرنَا هَ َذا ْالبِ َّر َوالتَّ ْق َوى‬
َّ ‫ا ِء‬KKَ‫كَ ِم ْن َو ْعث‬KKِ‫ الَلَّهُ َّم إِنِّ ْي أَ ُعوْ ُذب‬،‫ ِل‬K‫الَلَّهُ َّم أَ ْنتَ الصَّا ِحبُ فِي ال َّسفَ ِر َو ْال َخلِ ْيفَةُ فِ ْي ْاألَ ْه‬
‫ ِة‬Kَ‫فَ ِر َو َكآب‬K‫الس‬
‫ال َو ْاألَ ْه ِل‬
ِ ‫ب فِي ْال َم‬ ِ َ‫ال َم ْنظَ ِر َوسُوْ ِء ْال ُم ْنقَل‬.”
ْ “Mahasuci Rabb yang menundukkan
kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu.
Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari
Kiamat). Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa
dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan yang membuat-Mu
ridha. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah
jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan
yang mengurus keluarga(ku). Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang
menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”
Dalam hadits yang lain: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َسافَ َر يَتَ َع َّو ُذ ِم ْن َو ْعثَا ِء‬ َ ِ‫َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬
‫ال‬ ْ ‫ َو َد ْع َو ِة ْال َم‬،‫د ْال َكوْ ِر‬Kَ ‫ب َو ْال َحوْ ِر بَ ْع‬
ِ ‫ َوسُوْ ِء ْال َم ْنظَ ِر فِي ْاألَ ْه ِل َو ْال َم‬،‫ظلُوْ ِم‬ ِ َ‫ال َّسفَ ِر َو َكآبَ ِة ْال ُم ْنقَل‬.
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
perjalanan jauh, beliau berlindung kepada Allah dari kelelahan
perjalanan, perubahan yang menyedihkan, kekurangan setelah
kelebihan, do’a orang-orang yang teraniaya serta pemandangan yang
buruk dalam keluarga dan hartanya.”
5. Bertakbir (mengucapkan ‫ ُر‬Kَ‫( هللاُ أَ ْكب‬Allahu Akbar)) ketika sedang jalan
mendaki dan bertasbih (mengucapakan ‫( ُس ْب َحانَ هللا‬Subhanallaah) ketika
jalan menurun. Sebagaimana hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu
anhu, ia berkata:
‫ص ِع ْدنَا َكبَّرْ نَا َو إِ َذا نَزَ ْلنَا َسبَّحْ نَا‬
َ ‫ ُكنا َّ إِ َذا‬.

7
“Kami apabila berjalan menanjak mengucapkan takbir (Allahu Akbar)
dan apabila jalan menurun membaca tasbih (Subhanallaah).” HR. Al-
Bukhari.

6. Memperbanyak mengucapkan do’a, berdasarkan hadits:


ٌ َ‫ت ََجاب‬K‫ت ُم ْس‬
َّ K‫ات الَ َش‬
‫ك‬ ٍ ‫وا‬Kَ ُ َ‫ ثَال‬:‫لَّ َم‬K‫ ِه َو َس‬Kْ‫لَّى هللاُ َعلَي‬K‫ص‬
َ ‫ث َدع‬ َ َ‫ع َْن أَبِ ْي هُ َر ْي َرةَ ق‬
َ ِ‫وْ ُل هللا‬K‫ا َل َر ُس‬Kَ‫ ق‬:‫ال‬
ْ ‫فِ ْي ِه َّن َد ْع َوةُ ْال َم‬.
‫ َو َد ْع َوةُ ْال َوالِ ِد َعلَى َولَ ِد ِه‬،‫ َو َد ْع َوةُ ْال ُم َسافِ ِر‬،‫ظلُوْ ِم‬
Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga do’a yang pasti
dikabulkan (mustajab) dan tidak ada keraguan lagi tentang-nya,
do’anya seorang yang dizhalimi, do’anya musafir (orang yang
melakukan perjalanan), do’a buruk orang tua terhadap anaknya”.
7. Melantunkan sya’ir dan puisi, sebagaimana hadits Salamah bin al-
Akwa’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Kami bepergian bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Khaibar, kemudian
kami terus bergerak ketika malam, lalu berkatalah seseorang kepada
Amir bin Akwa’, ‘Tidakkah engkau perdengarkan kepada kami sya’ir-
sya’ir kegembiraanmu?’ Hal ini dikarenakan Amir adalah seorang
penyair, kemudian beliau (Amir) turun dari tunggangannya dan
memberikan semangat kepada orang-orang, seraya berkata: ‘Ya Allah,
jika tidak karena Engkau pasti kami tidak akan pernah mendapatkan
petunjuk, tidak pula kami bershadaqah dan tidak pula kami shalat
(hingga akhir do’a).’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya: ‘Siapakah yang bersenandung itu?’ Mereka
menjawab: ‘Amir bin al-Akwa’.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: ‘Semoga Allah memberikan rahmat.6

6
Ibid, Hal. 91

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, ia bukan hanya bermanfaat bagi
pemeluknya, berbahagia di dunia serta selamat di akhirat, juga Islam harus
memberi kedamaian kepada seluruh umat manusia, baik ia muslim ataupun bukan.
Al-Qur’an sebagai panduan utama umat Islam, iajuga merupakan
hudan(pedoman) bagi seluruh manusia. Jika AlQur’an menyatakan ma farratna fi
al-kitabi min syain, salah satunya berarti bahwa segala sesuatu baik persoalan
yang berkaitan langsung dengan dunia apalagi akhirat dapat diselesaikan dengan
berpedoman pada Al-Qur’an. Masalahnya adalah dapatkah kita mengontektualkan
ayat Al-Qur’an pada kehidupan kita seharihari, baik selaku individu, masyarakat
dan bernegara.
Melihat syarat-syarat dan adab bagi seorang mufassir seperti yang
dikemukakan oleh Manna Khalil al-Qattan seperti telah disebutkan di atas, kita
(penulis) pesimis untuk bisa menafsirkan teks-teks ayat AlQur’an apalagi
mengontekstualkan dengan kehidupan pada saat ini. Kita akan lebih pesimis lagi
jika melihat penyimpanganpenyimpangan penafsiran dari berbagai kalangan
seperti yang telah dikemukakan oleh Muhammad Husein Ad-dzahabi di atas.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk bisa memahami teks Al-
Qur’an, kemudian memahami konteknya yang selanjutnya mengontektualkan
untuk kehidupan sehari-hari, adalah bertanya atau bermusyawarah dengan orang
yang ahli dalam hal tersebut. Agar hasil penafsiran kita menjadi hukum Islam
seperti pendapat mereka yang menyatakan bahwa “hukum Islam adalah hukum
yang sudah dikodifikasikan.

Anda mungkin juga menyukai