PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tafsir merupakankan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi
kedudukannya.Iamerupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasannya dan
tujuannya,sertasangatdibutuhkbagiumatislam dalam mengetahui makna dari
AlQur’an sepanjang zaman.Tanpa tafsir seorang muslim tidak bisa menangkap
mutiara mutiara berharga dari ajara nillai yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Tafsir adalah salah satu upaya dalam memahami,menerangkan
maksud,mengetahui kandungan ayat-ayat,Al-Qur’an.Al-Qur’an merupakan
sumber ilmu yang tidak habis dikaji oleh berbagai kalangan Semakin lama dikaji
maka akan semakin banyak ilmu yang terkuak. Sebagai contoh, para ilmuan
mengembangkan maupun mencocokkan tentang penemuan mereka tentang
teknologi,ilmuperbintangan,penemuan pesawat terbang,matematika,fisika,danlain-
lain sebagainya dengan pemaparan yang tersebut dalam Al-Qur’an.Sebagian
sumber-sumber hukum juga berasal dari Al-Qur’an. Sehingga pengetahuan
mengenai makna al-Qur’an menjadi sangat penting untuk dipahmi.denga nadanya
tafsir dan ta’wil. Al-Qur’an tentu mempermudah setiap orang mengkaji dan
memahami
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana keberadaan tafsir dalam kajian islam ?
2. Apa saja syarat seorang mufassir ?
3. Bagaimana adab seprang mufassir ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hazim Sa’id Baina Al-Haidar “Al-Itqan Wa Al Burhan” (Madinah, Dar az-Zaman,
2000), Hal: 79
2
2. Keberadaan tafsir dalam corak fiqih dan hukum
Alquran yang diturunkan mengandung ayat-ayat yang berisikan
hukum-hukum fiqh yang menyangkut kemaslahatan seorang hamba.
Umat Islam pada masa Rasulullah sebagian besar memahami ayat-ayat
Alquran yang berhubungan dengan fiqh. Hal tersebut didukung oleh
pemahaman bahasa Arab yang mereka miliki, adapun yang sulit
mereka pahami ditanyakan langsung kepada Rasulullah.Penafsiran
Alquran dengan melalui pendekatan fiqh dan hukum pada masa awal
turunnya Alquran sampai munculnya mazhab fiqh yang berbeda-beda,
para mufasir ketika itu jauh dari sikap fanatik yang berlebihan, atau
ada tujuan-tujuan tertentu dalam menafsirkan Alquran.
Namun pada saat munculnya aliran-aliran teologi, maka
penafsiran cenderung mendukung aliran mereka masing-masing,
sehingga setiap golongan berusaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran
sesuai dengan aliran yang mereka anut atau paling tidak mentakwilkan
ayat agar tida bertentangan dengan aliran mereka. Sebagai hasil dari
pendekatan semacam ini dapat dilihat pada kitab Ahkam Alquran yang
ditulis oleh Abu Bakar al-Razi, juga pada kitab yang ditulis oleh Abu
Hasan al- Thabari yang berjudul Ahkam Alquran.2
2
Fahmi Amrullah, “Ilmu Al Qur’an Untuk Pemula” (Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008),
Hal: 67
3
apa yang terkandung di balik teks-teks ayat itu.Selain dari itu,
mengetahui Asbab al-Nuzul adalah cara yang paling kuat dan paling
baik dalam memahami pengertian ayat, sehingga para sahabat yang
paling mengetahui tentang sebab-sebab turunnyaayat lebih
didahulukan pendapatnya tentang pengertian dari satu ayat,
dibandingkan dengan pendapat sahabat yang tidak mengetahui sebab-
sebab turunnya ayat.
Sebagai contoh penafsiran Usman bin Mazin dan Amr bin
Ma'adi terhadap ayat QS. al-Maidah : 93 “Tidak ada dosa bagi orang-
orang beriman dan beramal shaleh terhadap apa-apa yang mereka
makan apabila mereka bertakwa dan beriman serta beramal
shaleh"mengetahui seluk beluk ayat ini, tentunya mereka tidak akan
mengatakan demikian. Sebab, Ahmad bin al-Nasai, dan lainnya
menyatakan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang yang
ketika khamar diharamkan mempertanyakan nasib kaum muslimin
yang terbunuh di jalan Allah.3
3
Fahmi Amrullah, “Ilmu Al Qur’an Untuk Pemula, Hal. 68
4
6. Bukan perjalanan pengembara atau nomaden.
7. Pekerjaannya bukan melakukan perjalanan.
8. Dengan demikian pengemudi, pilot, pelaut, guide pesiar dan
sebagainya dalam perjalanan pekerjaannya tersebut (selain perjalanan
pertama), harus menyempurnakan shalat dan juga berpuasa.
9. Perjalanannya telah mencapai batas tarakhkhus yaitu tak terdengar lagi
suara adzan dan tembok kota.4
4
Muhammad Hussein Al-Dzahabi, “At-Tafsir Wa Al-Mufassirun” (Beirut, Maktabah al-
wahbah, 2000), Hal: 88
5
penghidupanku, dan akibatnya ter-hadap diriku -atau Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau Akhirat’- sukseskanlah
untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi
apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya
bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap
diriku, atau -Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia
atau akhirat,’- maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah
aku dari padanya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja kebaikan
itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.”
2. Hendaknya bertaubat kepada Allah dari segala macam kemaksiatan
yang telah diperbuatnya dan beristighfar dari setiap dosa yang
dilakukannya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi
setelah ia melakukan safar dan tidak mengetahui pula takdir yang
menimpanya. Bagi seorang yang hendak safar hendaknya
mengembalikan barang-barang yang pernah dirampasnya kepada
pemiliknya, membayar hutang-hutang, menyiapkan nafkah (uang
belanja) kepada yang wajib diberikan nafkah, segera menyelesaikan
perjanjian-perjanjian yang diulur-ulur dan menulis wasiat kepada ahli
warisnya dengan dihadiri para saksi, dan meninggalkan uang belanja
kepada keluarganya (isteri, anak dan orang tua) dan meninggalkan
kebutuhan pokok yang dapat mencukupinya.[1] Hendaknya seorang
yang hendak safar tidak membawa perbekalan kecuali dari sumber
yang halal lagi baik.5
3. Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang
atau lebih. Sebagaimana hadits:
5
Muhammad Hussein Al-Dzahabi, “At-Tafsir Wa Al-Mufassirun” , Hal: 90
6
4. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a musafir/safar (bepergian).
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki
kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga kali: “,ُهللاُ أَ ْكبَر
هللاُ أَ ْكبَ ُر,ُهللاُ أَ ْكبَر,”
kemudian berdo’a:
“أَلُكَ فِيK الَلَّهُ َّم إِنَّا ن َْس، َوْ نKKُا لَ ُم ْنقَلِبKKَ َوإِنَّا إِلَى َربِّن، َرنِ ْينK
ِ Kهُ ُم ْقKَُسب َْحانَ الَّ ِذيْ َس َّخ َر لَنَا هَ َذا َو َما ُكنَّا ل
،ُ َدهKو َعنَّا بُ ْعKْ َذا َوKَفَ َرنَا هK الَلَّهُ َّم هَ ِّو ْن َعلَ ْينَا َس،ضى
ِ اط َ ْ َو ِمنَ ْال َع َم ِل َما تَر،َسفَ ِرنَا هَ َذا ْالبِ َّر َوالتَّ ْق َوى
َّ ا ِءKKَكَ ِم ْن َو ْعثKKِ الَلَّهُ َّم إِنِّ ْي أَ ُعوْ ُذب، ِلKالَلَّهُ َّم أَ ْنتَ الصَّا ِحبُ فِي ال َّسفَ ِر َو ْال َخلِ ْيفَةُ فِ ْي ْاألَ ْه
ِةKَفَ ِر َو َكآبKالس
ال َو ْاألَ ْه ِل
ِ ب فِي ْال َم ِ َال َم ْنظَ ِر َوسُوْ ِء ْال ُم ْنقَل.”
ْ “Mahasuci Rabb yang menundukkan
kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu.
Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari
Kiamat). Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa
dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan yang membuat-Mu
ridha. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah
jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan
yang mengurus keluarga(ku). Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang
menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”
Dalam hadits yang lain: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َسافَ َر يَتَ َع َّو ُذ ِم ْن َو ْعثَا ِء َ َِكانَ َرسُوْ ُل هللا
ال ْ َو َد ْع َو ِة ْال َم،د ْال َكوْ ِرKَ ب َو ْال َحوْ ِر بَ ْع
ِ َوسُوْ ِء ْال َم ْنظَ ِر فِي ْاألَ ْه ِل َو ْال َم،ظلُوْ ِم ِ َال َّسفَ ِر َو َكآبَ ِة ْال ُم ْنقَل.
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
perjalanan jauh, beliau berlindung kepada Allah dari kelelahan
perjalanan, perubahan yang menyedihkan, kekurangan setelah
kelebihan, do’a orang-orang yang teraniaya serta pemandangan yang
buruk dalam keluarga dan hartanya.”
5. Bertakbir (mengucapkan ُرKَ( هللاُ أَ ْكبAllahu Akbar)) ketika sedang jalan
mendaki dan bertasbih (mengucapakan ( ُس ْب َحانَ هللاSubhanallaah) ketika
jalan menurun. Sebagaimana hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu
anhu, ia berkata:
ص ِع ْدنَا َكبَّرْ نَا َو إِ َذا نَزَ ْلنَا َسبَّحْ نَا
َ ُكنا َّ إِ َذا.
7
“Kami apabila berjalan menanjak mengucapkan takbir (Allahu Akbar)
dan apabila jalan menurun membaca tasbih (Subhanallaah).” HR. Al-
Bukhari.
6
Ibid, Hal. 91
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, ia bukan hanya bermanfaat bagi
pemeluknya, berbahagia di dunia serta selamat di akhirat, juga Islam harus
memberi kedamaian kepada seluruh umat manusia, baik ia muslim ataupun bukan.
Al-Qur’an sebagai panduan utama umat Islam, iajuga merupakan
hudan(pedoman) bagi seluruh manusia. Jika AlQur’an menyatakan ma farratna fi
al-kitabi min syain, salah satunya berarti bahwa segala sesuatu baik persoalan
yang berkaitan langsung dengan dunia apalagi akhirat dapat diselesaikan dengan
berpedoman pada Al-Qur’an. Masalahnya adalah dapatkah kita mengontektualkan
ayat Al-Qur’an pada kehidupan kita seharihari, baik selaku individu, masyarakat
dan bernegara.
Melihat syarat-syarat dan adab bagi seorang mufassir seperti yang
dikemukakan oleh Manna Khalil al-Qattan seperti telah disebutkan di atas, kita
(penulis) pesimis untuk bisa menafsirkan teks-teks ayat AlQur’an apalagi
mengontekstualkan dengan kehidupan pada saat ini. Kita akan lebih pesimis lagi
jika melihat penyimpanganpenyimpangan penafsiran dari berbagai kalangan
seperti yang telah dikemukakan oleh Muhammad Husein Ad-dzahabi di atas.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk bisa memahami teks Al-
Qur’an, kemudian memahami konteknya yang selanjutnya mengontektualkan
untuk kehidupan sehari-hari, adalah bertanya atau bermusyawarah dengan orang
yang ahli dalam hal tersebut. Agar hasil penafsiran kita menjadi hukum Islam
seperti pendapat mereka yang menyatakan bahwa “hukum Islam adalah hukum
yang sudah dikodifikasikan.