Anda di halaman 1dari 13

RANGKUMANNYA

Setelah Perang Dunia II, Perang Saudara Tiongkok antara Partai Komunis Tiongkok dan Partai


Nasionalis Kuomintang berakhir pada 1949 dengan pihak komunis menguasai Tiongkok Daratan dan
Kuomintang mengundurkan diri ke pulau Taiwan dan beberapa pulau-pulau lepas pantai di Fujian. Pada 1
Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan Republik Rakyat Tiongkok dan mendirikan
sebuah negara komunis[29], namun tidak mencoba untuk menguasai pulau Taiwan.
Para pendukung kebijakan Maoisme mengatakan bahwa di bawah Mao, persatuan dan kedaulatan
Tiongkok dapat dipastikan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir, dan terdapat
perkembangan infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan, yang mereka percayai telah membantu
meningkatkan standar hidup rakyat. Mereka juga yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke
Depan dan Revolusi Kebudayaan penting dalam mempercepat perkembangan Tiongkok dan
menjernihkan kebudayaan mereka. Pihak pendukung juga ragu terhadap statistik dan kesaksian yang
diberikan mengenai jumlah korban jiwa dan kerusakan lainnya yang disebabkan kampanye Mao. Mereka
mengatakan bahwa kelaparan ini disebabkan musibah alam; ada juga yang meragukan jumlah kematian
akibat kelaparan tersebut, atau berkata bahwa lebih banyak orang mati karena kelaparan atau sebab politis
lainnya pada masa pemerintahan Chiang Kai Shek (1928-1949).
Meskipun begitu, para kritikus kebijakan Mao mengatakan bahwa pemerintahan Mao membebankan
pengawasan yang ketat terhadap kehidupan sehari-hari rakyat, dan yakin bahwa kampanye
seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan berperan atau mengakibatkan hilangnya
jutaan jiwa, mendatangkan biaya ekonomi yang besar, dan merusak warisan budaya Tiongkok. Lompatan
Jauh ke Depan, pada khususnya, mendahului periode kelaparan yang besar di Tiongkok yang,
menurut sumber-sumber Barat dan Timur yang dapat dipercaya, mengakibatkan kematian 45 juta orang
dalam waktu 4 tahun[30]
Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis pada awal 1960-an, Mao mundur dari jabatannya sebagai ketua
umum Tiongkok. Tak lama sesudah itu Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti
Mao. Mao tetap menjadi ketua partai namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan
lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.
Pada 1966 Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan, yang dilihat lawan-lawannya sebagai balasan
terhadap rival-rivalnya dengan memobilisasi para remaja untuk mendukung pemikirannya dan
menyingkirkan kepemimpinan yang lunak pada saat itu, namun oleh pendukungnya dipandang sebagai
sebuah percobaan demokrasi langsung dan sebuah langkah asli dalam menghilangkan korupsi dan
pengaruh buruk lainnya dari masyarakat Tiongkok. Kekacauan pun timbul namun hal ini segera
berkurang di bawah kepemimpinan Zhou Enlai di mana para kekuatan moderat kembali memperoleh
pengaruhnya. Setelah kematian Mao, Deng Xiaoping berhasil memperoleh kekuasaan dan janda
Mao, Jiang Qing beserta rekan-rekannya, Kelompok Empat, yang telah mengambil alih kekuasaan
negara, ditangkap dan dibawa ke pengadilan.
Sejak saat itu, pihak pemerintah telah secara bertahap (dan telah banyak) melunakkan kontrol pemerintah
terhadap kehidupan sehari-hari rakyatnya, dan telah memulai perpindahan ekonomi Tiongkok menuju
sistem berbasiskan pasar.
Para pendukung reformasi keuangan – biasanya rakyat kelas menengah dan pemerhati Barat berhaluan
kiri-tengah dan kanan – menunjukkan bukti terjadinya perkembangan pesat pada ekonomi di sektor
konsumen dan ekspor, terciptanya kelas menengah (khususnya di kota pesisir di mana sebagian besar
perkembangan industri dipusatkan) yang kini merupakan 15% dari populasi, standar hidup yang kian
tinggi (diperlihatkan melalui peningkatan pesat pada GDP per kapita, belanja konsumen, perkiraan umur,
persentase baca-tulis, dan jumlah produksi beras) dan hak dan kebebasan pribadi yang lebih luas untuk
masyarakat biasa.
Para pengkritik reformasi ekonomi menunjukkan bukti bahwa proses reformasi telah menciptakan
kesenjangan kekayaan, polusi lingkungan, korupsi yang menjadi-jadi, pengangguran yang meningkat
akibat PHK di perusahaan negara yang tidak efisien, serta telah memperkenalkan pengaruh budaya yang
kurang diterima. Akibatnya mereka percaya bahwa budaya Tiongkok telah dikorupsi, rakyat miskin
semakin miskin dan terpisah, dan stabilitas sosial negara semakin terancam.
Meskipun ada kelonggaran terhadap kapitalisme, Partai Komunis Tiongkok tetap berkuasa dan telah
mempertahankan kebijakan yang mengekang terhadap kumpulan-kumpulan yang dianggap berbahaya,
seperti Falun Gong dan gerakan separatis di Tibet. Pendukung kebijakan ini menyatakan bahwa kebijakan
ini menjaga stabilitas dalam sebuah masyarakat yang terpecah oleh perbedaan kelas dan permusuhan,
yang tidak mempunyai sejarah partisipasi publik, dan hukum yang terbatas. Para pengkritik mengatakan
bahwa kebijakan ini melanggar hak asasi manusia yang dikenal komunitas internasional, dan mereka juga
mengklaim hal tersebut mengakibatkan terciptanya sebuah negara polisi, yang menimbulkan rasa takut.
Tiongkok mengadopsi konstitusi pada 4 Desember 1982 yang digunakan hingga kini.
 

Guomindang dan Gongchandang


Dari sekian banyak kekuatan yang ada di Tiongkok kala itu, ada dua poros kekuatan besar yang bermimpi
membuat Tiongkok bersatu, damai, makmur, dan jaya. Dua poros kekuatan ini adalah Guomindang (baca:
Kuomintang) sebagai Partai Nasionalis dan Gongchandang (baca: Kungchantang) sebagai Partai
Komunis.
Guomindang adalah gerakan politik nasionalis yang didirikan oleh Sun Yat-sen di akhir Dinasti Qing.
Sosok Sun ini begitu dihormati oleh masyarakat Tionghoa di berbagai pelosok, sampai-sampai Sun yang
diangkat menjadi presiden Republik Tiongkok ketika terjadi Pemberontakan Wuchang yang mengakhiri
Dinasti Qing. Walaupun Sun Yat-sen berada di pihak Guomindang, beliau juga cukup dihormati oleh
Partai Komunis. Saking berpengaruhnya sosok Sun Yat-sen, beliau masih dikenal sebagai Bapak Bangsa
Tiongkok modern saat ini.
Kendati begitu dihormati oleh masyarakat Tionghoa, Sun menyadari bahwa pengaruh politik yang ia
miliki hanya sebatas pada bidang akademis dan intelektual, bukan di bidang militer. Masalahnya,
kondisi Tiongkok yang saat itu masih kacau dan terpecah-belah, membutuhkan peran militer sebagai
pemersatu. Berdasarkan pertimbangan itu, Sun berbesar hati, dengan sukarela mundur dari jabatan
presiden dan memberikan jabatan tersebut kepada Yuan Shikai, seorang jenderal besar untuk menjadi
presiden Republik Tiongkok. Tapi sayangnya Yuan Shikai hanya menjabat sebagai presiden selama 2
tahun (1914-1916) karena keburu meninggal. Pasca-meninggalnya Yuan Shikai, kondisi Tiongkok masih
kacau karena perang saudara yang berlarut-larut.

dari kiri ke kanan: Sun yat-sen, Yuan Shi kai, Chiang kai sek
Sementara itu, pada Maret 1925, Sun Yat-sen wafat karena kanker. Otomatis, diperlukan sosok pengganti
Sun Yat-sen sebagai pemimpin Guomindang (partai nasionalis). Akhirnya, tokoh yang terpilih
adalah Chiang Kai Shek, seorang jenderal yang merupakan saudara ipar Sun Yat-sen yang pernah
menyelamatkan nyawanya.
Berbeda dengan Sun Yat-sen yang bersikap netral dengan ideologi komunisme, Chiang adalah seorang
anti-komunis. Chiang bersikeras komunisme hanya akan merusak budaya Tiongkok. Ia sangat menggebu-
gebu ingin membasmi komunisme dari daratan Tiongkok. Hubungan harmonis antara dua poros kekuatan
politik, Guomindang dan Gongchandang, yang dibangun Sun Yat Sen, akhirnya mulai retak
ketika Chiang berkuasa.
 

Antara Melawan Komunisme atau Pendudukan Jepang?


Di bawah kepemimpinan Chiang, kelompok nasionalis Guomindang mengobarkan perang
saudara melawan Gongchandang yang komunis. Seluruh kekuatan militernya dikerahkan untuk
membantai orang-orang Tionghoa yang berpaham komunis. Akibat perang antara dua kelompok besar
ini, ratusan ribu tentara yang menjaga daerah Timur Laut Tiongkok, yakni daerah Manchuria, terpaksa
ditarik ke daerah-daerah yang lebih membutuhkan.
Melihat ada area strategis yang minim penjagaan militer, para pemimpin militer Kekaisaran Jepang
melihat kesempatan emas untuk menduduki daerah Manchuria. Akhirnya tahun 1931, tentara Jepang
menduduki Manchuria yang saat itu relatif tidak dijaga oleh tentara Tiongkok.

Ironisnya, Chiang Kai Shek sendiri lebih mengutamakan untuk melawan komunisme daripada
menghadang tentara Jepang. Menurut kata-kata Chiang [1]:
“Jepang itu seperti sakit kulit, Gongchandang itu seperti sakit jantung!”
Di dalam benak Chiang, bahaya penyerangan Jepang itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
bahaya kaum komunis Gongchandang. Chiang terus mengerahkan pasukannya untuk mengepung dan
membantai orang-orang komunis yang tersisa. Rencananya berjalan mulus. Akhirnya pada 10 Oktober
1928, Chiang Kai Shek diangkat menjadi presiden Republik Tiongkok selanjutnya. Setidaknya secara
legal (de jure), Tiongkok berhasil disatukan oleh Guomindang.
Walaupun kalah di mana-mana, Gongchandang masih belum benar-benar mati. Sebaliknya, justru
kelompok komunis Gongchandang yang berhasil menarik simpati rakyat. Sementara itu, Guomindang
yang nasionalis malah dibenci oleh banyak lapisan masyarakat. Lho kenapa?
Coba bayangkan diri lo sebagai rakyat Tionghoa kala itu. Lo udah muak dengan perang yang membunuh
begitu banyak saudara dan teman-teman lo. Lo udah enek dipermalukan oleh negara asing seperti Jepang.
Sekarang lo dengar kalo pemerintah pusat yang dipimpin Guomindang malah fokus membantai saudara
sebangsa dan setanahairnya sendiri, yaitu kaum komunis Gongchandang.
“Oi, kok lo malah ribut dengan sesama orang Tionghoa? Sono lawan Jepang!”
Tambah lagi, banyak pejabat dan jenderal Guomindang yang korupsi, memeras, menjarah, dan
merampoki daerah-daerah lokal yang mereka pimpin. Makin-makin rakyat Tiongkok benci kaum
nasionalis Guomindang yang dipimpin Chiang Kai Shek, hingga rakyat diam-diam menaruh simpati
kepada kaum komunis Gongchandang yang dizalimi oleh pemerintah.
Dari sekian banyak pemimpin komunis Gongchandang, ada satu sosok yang semakin menonjol saat
perang saudara ini, yaitu Mao Zedong (baca: Mao Tse Tung). Selama menjadi “korban” kekejaman
Guomindang, Mao memerintahkan pasukannya untuk hanya menjarah harta milik orang kaya dan pejabat
korup. Tindakan ala “Robinhood” ini semakin membuat rakyat kecil menaruh simpatik pada orang-orang
komunis.

Mao Zedong | pemimpin gerakan komunisme di Tiongkok


Namun, sikap Chiang yang keras kepala akhirnya melunak pada Desember 1936. Setelah ditekan oleh
berbagai pihak termasuk anak-anak buahnya sendiri, Chiang setuju melakukan gencatan senjata
dengan Gongchandang untuk fokus menghadapi penyerangan Jepang. Sementara itu,
pihak Gongchandang yang selama ini menjadi korban, masih berbesar hati untuk bersedia dipimpin
Chiang dalam upaya perlawanan menghadapi Jepang.
Maka akhirnya, tahun 1937 perang melawan Jepang pun dikobarkan dan berlangsung lama hingga 8
tahun lamanya. Perang berkepanjangan ini berakhir setelah Uni Soviet membantu Tiongkok menyerbu
Manchuria dan bom atom dijatuhkan sekutu di kota Hiroshima-Nagasaki pada Agustus 1945. Jepang
menyerah kalah dan Tiongkok menjadi salah satu negara yang terbebas dari “penjajahan Jepang”
pada Perang Dunia II.

Chiang Kai Shek dan Mao Zedong berdamai untuk merayakan kemenangan atas penjajah Jepang.
Sayangnya, kemesraan antara mereka berdua tak bertahan lama.
DARI SINI CARR 

Komunisme Mengambil Alih Tiongkok


Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak orang mengharapkan Tiongkok bisa kembali bersatu, damai,
dan mulai membangun negara. Namun rupanya Chiang masih menganggap komunisme itu adalah musuh
negara yang harus diberantas. Tidak lama setelah perayaan kemenangan melawan
Jepang, Guomindang kembali melakukan penyerangan kepada Gongchandang. Pihak
komunis Gongchandang mengalami kekalahan besar di Sipingjie dekat kota Harbin, markas besar
Gongchandang. Tinggal sedikit lagi, pihak komunis benar-benar habis dimusnahkan.
Ketika pihak komunis sudah nyaris kalah sepenuhnya, tidak disangka-sangka Jenderal George Marshall,
Kepala Staff Angkatan Darat Amerika Serikat melakukan intervensi terhadap peperangan ini. George
memperingatkan Chiang agar segera menghentikan peperangan di Tiongkok. Alasannya sederhana,
“Perang Dunia II baru saja berakhir, perdamaian di seluruh dunia baru akan dimulai. Lha, ini kok
Tiongkok belum berhenti perang juga?”
Misi Marshall di Republik Tiongkok adalah menghentikan perang sipil serta memberi bantuan dana untuk
membangun kembali Tiongkok yang hancur lebur pasca-perang. Dengan intervensi Amerika ini,
harapannya Tiongkok menjadi negara berhaluan nasionalis yang stabil, damai, dan menjadi sekutu
Amerika Serikat dalam bidang ekonomi maupun militer. Akhirnya Chiang menuruti permintaan
Marshall. Chiang menduga pihak komunis sudah terlalu lemah dan tidak sanggup memberi perlawanan
berarti. Tapi Chiang sama sekali tak sadar bahwa kesempatan membasmi komunis baru saja hilang, justru
karena intervensi Amerika Serikat.
Gencatan senjata ini dimanfaatkan pihak komunis untuk melakukan menghimpun kekuatan baru. Diam-
diam Mao meminta bantuan dari Uni Soviet untuk mengirim pasokan senjata dan melatih tentaranya. Mao
juga menggalang dukungan dari rakyat yang sudah terlanjur benci pemerintahan Guomindang yang
terkenal korup dan main hakim sendiri.
Akibatnya, perang saudara kembali pecah. Kali ini, kaum komunis Gongchandang jauh lebih siap
dengan persenjataan berat dari Uni Soviet dan dukungan rakyat Tionghoa secara luas sampai ke daerah-
daerah. Perlahan-lahan pasukan komunis bisa mengepung pasukan pemerintah di kota-kota besar. Tahun
1948, tanah Manchuria berhasil direbut oleh Mao. Puncaknya di tahun 1949, pasukan Mao berhasil
menyudutkan Chiang dan para petinggi Guomindang hingga terpaksa melarikan diri ke pulau Taiwan.
Pada 21 September 1949, Mao memproklamasikan berdirinya negara baru sekaligus menjadikan dirinya
sebagai presiden pertama. Sejak saat itu, tanah Tiongkok beralih kekuasaan dengan nama Republik
Rakyat Tiongkok (People’s Republic of China) atau PRC dengan pemerintahan berada di bawah Partai
Komunis Tiongkok (Communist Party of China) yang dipimpin oleh Mao Zedong sebagai presiden
pertama.
Sedangkan Chiang memindahkan pemerintahan Republik Tiongkok ke Taiwan dengan nama
resmi Republic of China atau ROC. Nah, jadi kalo ada yang menyebut “Republik Cina” itu maksudnya
bukan negara Cina di mainland yang besar itu ya. Republic of China itu maksudnya Taiwan.
Terus kalo negara Cina yang besar itu namanya apa? Namanya “Republik Rakyat Cina”. 
Kembali lagi ke pihak pihak Guomindang yang sudah terdesak sampai ke Taiwan. Sebetulnya pihak
komunis tinggal sedikit lagi menghabisi Guomindang yang terkepung di Taiwan. Namun, ternyata tidak
semudah itu karena Taiwan mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat dan sekutu.
 

 
Lompatan Jauh ke Depan (1958 – 1962)
Setelah tanah Tiongkok dikuasai oleh Mao Zedong dan partai Komunis, saatnya kaum komunis
membangun impiannya menjadi masyarakat tanpa kelas sosial, tanpa ada kepemilikan pribadi, tidak ada
perdagangan, dan semua orang sejahtera dengan saling memenuhi kebutuhan satu sama lain. Gerakan
pertama Mao adalah kampanye gerakan “Lompatan Jauh ke Depan” (Great Leap Forward).
Pada kenyataannya, impian manis itu jauh dari kenyataan. Periode kepemimpinan Mao adalah periode
saat lebih dari 60 juta rakyat Tiongkok mati karena kelaparan, penyakit, atau dihukum mati oleh petugas
partai Komunis. Terlepas dari karisma kepemimpinannya, Mao tidak pernah memiliki latar belakang
pendidikan yang baik untuk memahami ekonomi, ketatanegaraan, dan ilmu pengetahuan secara umum.
Dengan keterbatasan pengetahuan itu, banyak sekali kebijakan Mao yang menjadi bumerang tajam bagi
kesejahteraan hidup rakyat Tionghoa.

Misalnya, Mao ingin menjadikan Tiongkok sebagai produsen baja nomor 1 di dunia untuk mengejar
ketertinggalan industri Tiongkok. Seorang pemimpin yang terdidik, pastinya bisa memberikan
perencanaan yang efektif. Misalnya, mengirim kaum terpelajar ke luar negeri untuk belajar setinggi-
tingginya. Ketika mereka kembali, bangun universitas untuk menyalurkan ilmunya dan mencetak banyak
insinyur dan ilmuwan. Atau bisa juga dengan mendatangkan para ahli baja dari luar negeri untuk melatih
tenaga kerja dalam negeri.

Tapi bagaimana Mao mengambil kebijakan?

“Ah membuat tenaga ahli itu cara-cara kapitalis. Kita ini kan negara komunis yang besar dengan
ratusan juta penduduk. Manfaatkan saja petani-petani kita.”
Dengan pemikiran yang sederhana, Mao memerintahkan agar banyak petani menjadi produsen baja dan
melarang mereka menggarap pertanian. Pemerintah membantu dengan membangun tungku baja di sawah-
sawah petani.
Hasilnya bisa ditebak, baja buatan petani-petani ini terlalu gampang hancur, kayak kerupuk. Artinya,
ribuan ton baja buatan mereka itu sampah tak berguna. Sawah yang tadinya memproduksi pangan, jadi
malah tidak memproduksi apa-apa. Mao membuang begitu banyak sumber daya, baik sumber daya
manusia, waktu, lahan, dan energi, terbuang percuma.

Sama seperti penerapan komunisme di Uni Soviet, lahan-lahan pertanian milik rakyat juga diambil alih
oleh negara. Sama seperti di Uni Soviet, petani-petani yang masih menggarap pertanian wajib
menyerahkan semua hasil panen mereka kepada negara. Sama seperti di Uni Soviet juga, kebijakan ini
berujung pada menurunnya produktivitas, kemarahan dan perlawanan para petani. Sekali lagi, sama
seperti di Uni Soviet, perlawanan petani ini berujung pada pembantaian kaum petani oleh pemerintah
komunis.
Contoh lain kebijakan Mao yang berujung fatal adalah Kampanye Empat Hama (Hanzi: 除四
害; Pinyin: Chú Sì Hài) merupakan kampanye pengusiran hama pada tahun 1958 oleh pemerintah
Tiongkok. Dalam kampanye tersebut, pemerintah Tiongkok memerintahkan membasmi empat hama yang
dianggap akan mengganggu jalannya program pembangunan yang diadakan Tiongkok. Hama tersebut
meliputi nyamuk, lalat, tikus, dan burung gereja.. Hah, maksudnya Menurut Mao, keberadaan empat
hewan itu hama yang mengancam produktivitas petani. Mao tidak punya pengetahuan sains dan
lingkungan yang baik, bahwa justru keberadaan burung-burung itu adalah bagian dari rantai makanan
yang memangsa belalang dan hama pertanian lainnya. Akhirnya terjadi pemusnahan burung-burung di
berbagai daerah sampai jumlahnya menurun drastis. Bagi lo yang paham Ekologi atau Biologi
Lingkungan pasti sudah bisa menebak hasilnya, hama serangga membanjiri ladang dan sawah di
Tiongkok. Panen gagal total di berbagai penjuru daerah.
DAMPAK GREAT LEAP FORWARD
angka kelahiran dan kematian yang ekstrim terjadi di tahun 1958-1962 ketika Mao memberlakukan
“Great Leap Forward”
Apa jadinya ketika banyak petani disuruh bikin baja, banyak petani dibantai, dan banyak petani gagal
panen? Terjadi malapetaka bencana kelaparan di Tiongkok (Great Chinese Famine) yang sangat luar
biasa mengerikan. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana sampai-sampai kanibalisme jadi hal yang
biasa. Selama periode 1958-1962, puluhan juta rakyat Tiongkok tewas. Angka persisnya tak ada yang
tahu, mulai dari 23 juta (menurut Peng Xizhe) sampai 55 juta (menurut Yu Xiguang), dan masih banyak
versi lain dari para akademisi.

Tentu saja tidak semua pihak pasrah dengan kebijakan Mao yang ngawur. Salah satunya adalah Jenderal
besar Peng Dehuai yang merupakan salah satu pejabat Gongchandang paling senior.  Tapi protes-protes
ini tidak didengarkan, persis seperti yang terjadi di Uni Soviet di bawah kepemimpinan Stalin. Siapapun
yang protes dengan kebijakan pusat akan dicap “penghianat revolusi komunis”. Sampai akhirnya Zhou
Enlai dan beberapa pejabat lainnya mengintervensi kebijakan Mao dan memberlakukan kebijakan-
kebijakan baru yang arahnya sedikit lebih baik untuk pembangunan dan ketatanegaraan. Namun,
kerusakan sistem yang terjadi tidak mudah diperbaiki dalam waktu singkat.
 

Revolusi Budaya (1966 – 1976)


Bencana yang ditimbulkan oleh gerakan “Great Leap Forward” Mao Zedong masih berlanjut dengan
upaya selanjutnya, yaitu revolusi budaya. Mao Zedong ingin merombak total budaya orang Tionghoa
yang masih kuat mengakar dalam tradisi-tradisi kekaisaran Tiongkok selama ribuan tahun. Dari mulai
cara berbahasa, cara berdoa kepada leluhur, cara memasak, cara menghormati orang tua, dan segala
macam bentuk tradisi Tionghoa lainnya.
Mao menyiapkan pembersihan besar-besaran. Sudah saatnya Tiongkok bebas dari “Empat Lama”, yaitu
Adat Istiadat Lama, Budaya Lama, Kebiasaan Lama, dan Ide Lama. Saatnya Tiongkok menganut “Empat
Baru”, yaitu Adat Istiadat Baru, Budaya Baru, Kebiasaan Baru, dan Ide Baru.

Petunjuk atas semua yang dianggap “Lama” dan “Baru” oleh Mao dituangkan pada sebuah buku berjudul,
“Kutipan dari Ketua Mao Zedong (Quotations from Chairman Mao Tse-tung)”. Seperti ada peraturan
tidak tertulis saat itu untuk rakyat Tiongkok memiliki, membaca, dan membawa Buku Merah Kecil ini ke
mana-mana saat Revolusi Budaya berlangsung. Seperti biasa, yang tidak bawa buku ini, akan dicurigai
sebagai pengkhianat revolusi komunis.
Tahun 1966, revolusi kebudayaan untuk memberantas Four olds dimulai. Semua tanda-tanda tradisi dan
budaya lama dirusak dan dibinasakan. Makam tua, kuil tua, ornamen keagamaan, buku-buku yang
memuat sejarah Tiongkok kuno, beladiri tradisional, pengobatan tradisional, pokoknya semua yang
mengingatkan orang pada budaya Tiongkok lama, harus dihapuskan. Penghapusan budaya lama ini juga
berimbas pada individu manusianya : guru sejarah, orang-orang lansia, dan kaum cendekiawan
turut diludahi di depan umum, di-bully, dan dianiaya oleh para pemuda-pemuda komunis. Tidak jarang,
revolusi budaya ini juga berujung pada pembunuhan orang-orang tertentu yang dianggap masih bandel
dengan mengikuti budaya lama. Revolusi budaya ini mengakibatkan kematian 5-10 juta rakyat Tiongkok.
Kampanye pengrusakan budaya ini dibarengi dengan kultus individu memuja-muja sosok Mao Zedong
sebagai pemimpin tertinggi revolusi.
Revolusi Kebudayaan baru berakhir tahun 1976 dengan kematian Mao Zedong. Setelah Mao meninggal,
terjadi peralihan kekuasan ke tangan Deng Xiaoping Sejak (1978)

Pada masa Deng Xiaoping inilah, para petinggi-petinggi partai Komunis lain mengubah total sistem
negara. Lambat laun, sistem ekonomi Tiongkok tidak lagi betul-betul berhaluan komunisme yang
melarang kepemilikan pribadi dan perdagangan. Tiongkok mulai membuka diri terhadap sistem ekonomi
pasar bebas dan mengizinkan rakyatnya menjadi pengusaha.

Dalam waktu 30 tahun sejak Deng Xiaoping merubah tatanan negara Tiongkok, sekarang Tiongkok
berubah drastis dari negara yang miskin, menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Walaupun sebetulnya secara konkret penerapan ekonomi Tiongkok sudah jauh menyimpang dari gagasan
komunisme yang dicetuskan oleh Karl Marx, secara praktis sampai dengan hari ini Republik Rakyat
Tiongkok masih dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok (Communist Party of China).
Jadi apakah saat ini Tiongkok masih komunis? Jawabannya bisa iya dan juga tidak. Secara pemerintahan
tentu saja Republik Rakyat Tiongkok masih dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok. Tapi dalam
penerapan kebijakan ekonominya, negara Tiongkok sudah jauh menyimpang dari gagasan Karl Marx dan
Engels dan condong kepada liberalis.
KESIMPULAN HALUAN POLITIK KOMUNIS DAN EKONOMI LIBERALIS

 Artinya Tiongkok juga menampilkan imaji yang juga berbeda. Sejak Deng Xiaoping mengumandangkan
Refora  pada tahun 1978, Tiongkok telah berkembang pesat. Ekonomi dan teknologi Tiongkok tumbuh,
berkembang, dan bahkan maju ke depan. Kemajuan ekonomi Tiongkok ini semakin terasa terutama pada
akhir tahun 1990-an ketika negara-negara di kawasan Asia Tenggara terkena krisis ekonomi. Tiongkok
kemudian semakin bermain di kawasan dengan peaceful co-exostencenya yaitu prinsip hidup
berdampingan secara damai utamanya dengan negara-negara tetangganya. Hal tersebut disampaikan oleh
para pejabat Tiongkok dalam menjelaskan keterkaitan antara kemajuan ekonomi dan hubungan
internasional Tiongkok, untuk mengurangi kekhawatiran terhadap potensi ancaman Tiongkok yang
bersumber dari kemajuan ekonominya tersebut.
Karena kemajuan ekonominya yang begitu mengesankan beberapa ahli ekonomi mengambil kesimpulan
yang mungkin terlalu terburu-buru. Bahwa Tiongkok akan menggantikan possi Jepang sebagai kekuatan
ekonomi terbesar kedua di dunia. Bahkan Tiongkok, menurut pendapat mereka, sedang dalam perjalanan
untuk menggeser posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan nomor satu dunia. Masuknya Tiongkok dalam
organisasi perdagangan dunia, WTO juga semakin memantapkan posisinya sebagai kekuatan ekonomi
besar dunia. Di sisi lain, jika pada masa tahun 1990-an beberapa ahli ekonomi begitu terpukau dengan
kemajuan beberapa negara di kawasan Asia Timur dan menyebutnya sebagai Asi’s economic miracle
dengan munculnya New Industrial Countries, maka pada saat ini Tiongkok juga berada pada posisi
terdepan bersama dengan negara-negara yang sedang bangkit ekonominya, yaitu Brazil, India, dan Rusia.
Kelompok ini sering disebut sebagai BIRIC, Brazil, Rusia, India, dan Tiongkok.

Dampak globalisasi, pemerintah juga meletakkan teknologi, dan informasi sebagai salah satu
pengembangan utamanya sehingga dalam beberapa tahun Tiongkok telah berhasil memiliki beberapa
perusahaan yang beroperasi di berbagai belahan dunia.
Namun setidaknya, Tiongkok telah berjaya dalam menjalankan sebuah model negara yang berbeda.
Model sebuah negara dengan dua sistem yang secara teoretis berada pada jalur berbeda. Namun,
sebagaimana dalam tradisi panjang kesarjanaan Tiongkok, selalu ada katalisator yang mendamaikan dua
teori ini dalam penerapan. Katalisator itu adalah kelompok cendekiawan, ilmuwan, atau disebut kelompok
intelektual (Gauda King, 2012). Kelompok ini sejatinya memiliki pengaruh besar berpengaruh  dalam
dinmaika politik, dan dinamika peruahan. Bukan pada masa modern di masa kini namun juga di masa
silam sejak ribuan tahun yan lalu di Tongkok. Ini karena Sejarah politik Tiongkok ialah sejarah
perdebatan teori dan intelektual. 

Anda mungkin juga menyukai