dari kiri ke kanan: Sun yat-sen, Yuan Shi kai, Chiang kai sek
Sementara itu, pada Maret 1925, Sun Yat-sen wafat karena kanker. Otomatis, diperlukan sosok pengganti
Sun Yat-sen sebagai pemimpin Guomindang (partai nasionalis). Akhirnya, tokoh yang terpilih
adalah Chiang Kai Shek, seorang jenderal yang merupakan saudara ipar Sun Yat-sen yang pernah
menyelamatkan nyawanya.
Berbeda dengan Sun Yat-sen yang bersikap netral dengan ideologi komunisme, Chiang adalah seorang
anti-komunis. Chiang bersikeras komunisme hanya akan merusak budaya Tiongkok. Ia sangat menggebu-
gebu ingin membasmi komunisme dari daratan Tiongkok. Hubungan harmonis antara dua poros kekuatan
politik, Guomindang dan Gongchandang, yang dibangun Sun Yat Sen, akhirnya mulai retak
ketika Chiang berkuasa.
Ironisnya, Chiang Kai Shek sendiri lebih mengutamakan untuk melawan komunisme daripada
menghadang tentara Jepang. Menurut kata-kata Chiang [1]:
“Jepang itu seperti sakit kulit, Gongchandang itu seperti sakit jantung!”
Di dalam benak Chiang, bahaya penyerangan Jepang itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
bahaya kaum komunis Gongchandang. Chiang terus mengerahkan pasukannya untuk mengepung dan
membantai orang-orang komunis yang tersisa. Rencananya berjalan mulus. Akhirnya pada 10 Oktober
1928, Chiang Kai Shek diangkat menjadi presiden Republik Tiongkok selanjutnya. Setidaknya secara
legal (de jure), Tiongkok berhasil disatukan oleh Guomindang.
Walaupun kalah di mana-mana, Gongchandang masih belum benar-benar mati. Sebaliknya, justru
kelompok komunis Gongchandang yang berhasil menarik simpati rakyat. Sementara itu, Guomindang
yang nasionalis malah dibenci oleh banyak lapisan masyarakat. Lho kenapa?
Coba bayangkan diri lo sebagai rakyat Tionghoa kala itu. Lo udah muak dengan perang yang membunuh
begitu banyak saudara dan teman-teman lo. Lo udah enek dipermalukan oleh negara asing seperti Jepang.
Sekarang lo dengar kalo pemerintah pusat yang dipimpin Guomindang malah fokus membantai saudara
sebangsa dan setanahairnya sendiri, yaitu kaum komunis Gongchandang.
“Oi, kok lo malah ribut dengan sesama orang Tionghoa? Sono lawan Jepang!”
Tambah lagi, banyak pejabat dan jenderal Guomindang yang korupsi, memeras, menjarah, dan
merampoki daerah-daerah lokal yang mereka pimpin. Makin-makin rakyat Tiongkok benci kaum
nasionalis Guomindang yang dipimpin Chiang Kai Shek, hingga rakyat diam-diam menaruh simpati
kepada kaum komunis Gongchandang yang dizalimi oleh pemerintah.
Dari sekian banyak pemimpin komunis Gongchandang, ada satu sosok yang semakin menonjol saat
perang saudara ini, yaitu Mao Zedong (baca: Mao Tse Tung). Selama menjadi “korban” kekejaman
Guomindang, Mao memerintahkan pasukannya untuk hanya menjarah harta milik orang kaya dan pejabat
korup. Tindakan ala “Robinhood” ini semakin membuat rakyat kecil menaruh simpatik pada orang-orang
komunis.
Chiang Kai Shek dan Mao Zedong berdamai untuk merayakan kemenangan atas penjajah Jepang.
Sayangnya, kemesraan antara mereka berdua tak bertahan lama.
DARI SINI CARR
Lompatan Jauh ke Depan (1958 – 1962)
Setelah tanah Tiongkok dikuasai oleh Mao Zedong dan partai Komunis, saatnya kaum komunis
membangun impiannya menjadi masyarakat tanpa kelas sosial, tanpa ada kepemilikan pribadi, tidak ada
perdagangan, dan semua orang sejahtera dengan saling memenuhi kebutuhan satu sama lain. Gerakan
pertama Mao adalah kampanye gerakan “Lompatan Jauh ke Depan” (Great Leap Forward).
Pada kenyataannya, impian manis itu jauh dari kenyataan. Periode kepemimpinan Mao adalah periode
saat lebih dari 60 juta rakyat Tiongkok mati karena kelaparan, penyakit, atau dihukum mati oleh petugas
partai Komunis. Terlepas dari karisma kepemimpinannya, Mao tidak pernah memiliki latar belakang
pendidikan yang baik untuk memahami ekonomi, ketatanegaraan, dan ilmu pengetahuan secara umum.
Dengan keterbatasan pengetahuan itu, banyak sekali kebijakan Mao yang menjadi bumerang tajam bagi
kesejahteraan hidup rakyat Tionghoa.
Misalnya, Mao ingin menjadikan Tiongkok sebagai produsen baja nomor 1 di dunia untuk mengejar
ketertinggalan industri Tiongkok. Seorang pemimpin yang terdidik, pastinya bisa memberikan
perencanaan yang efektif. Misalnya, mengirim kaum terpelajar ke luar negeri untuk belajar setinggi-
tingginya. Ketika mereka kembali, bangun universitas untuk menyalurkan ilmunya dan mencetak banyak
insinyur dan ilmuwan. Atau bisa juga dengan mendatangkan para ahli baja dari luar negeri untuk melatih
tenaga kerja dalam negeri.
“Ah membuat tenaga ahli itu cara-cara kapitalis. Kita ini kan negara komunis yang besar dengan
ratusan juta penduduk. Manfaatkan saja petani-petani kita.”
Dengan pemikiran yang sederhana, Mao memerintahkan agar banyak petani menjadi produsen baja dan
melarang mereka menggarap pertanian. Pemerintah membantu dengan membangun tungku baja di sawah-
sawah petani.
Hasilnya bisa ditebak, baja buatan petani-petani ini terlalu gampang hancur, kayak kerupuk. Artinya,
ribuan ton baja buatan mereka itu sampah tak berguna. Sawah yang tadinya memproduksi pangan, jadi
malah tidak memproduksi apa-apa. Mao membuang begitu banyak sumber daya, baik sumber daya
manusia, waktu, lahan, dan energi, terbuang percuma.
Sama seperti penerapan komunisme di Uni Soviet, lahan-lahan pertanian milik rakyat juga diambil alih
oleh negara. Sama seperti di Uni Soviet, petani-petani yang masih menggarap pertanian wajib
menyerahkan semua hasil panen mereka kepada negara. Sama seperti di Uni Soviet juga, kebijakan ini
berujung pada menurunnya produktivitas, kemarahan dan perlawanan para petani. Sekali lagi, sama
seperti di Uni Soviet, perlawanan petani ini berujung pada pembantaian kaum petani oleh pemerintah
komunis.
Contoh lain kebijakan Mao yang berujung fatal adalah Kampanye Empat Hama (Hanzi: 除四
害; Pinyin: Chú Sì Hài) merupakan kampanye pengusiran hama pada tahun 1958 oleh pemerintah
Tiongkok. Dalam kampanye tersebut, pemerintah Tiongkok memerintahkan membasmi empat hama yang
dianggap akan mengganggu jalannya program pembangunan yang diadakan Tiongkok. Hama tersebut
meliputi nyamuk, lalat, tikus, dan burung gereja.. Hah, maksudnya Menurut Mao, keberadaan empat
hewan itu hama yang mengancam produktivitas petani. Mao tidak punya pengetahuan sains dan
lingkungan yang baik, bahwa justru keberadaan burung-burung itu adalah bagian dari rantai makanan
yang memangsa belalang dan hama pertanian lainnya. Akhirnya terjadi pemusnahan burung-burung di
berbagai daerah sampai jumlahnya menurun drastis. Bagi lo yang paham Ekologi atau Biologi
Lingkungan pasti sudah bisa menebak hasilnya, hama serangga membanjiri ladang dan sawah di
Tiongkok. Panen gagal total di berbagai penjuru daerah.
DAMPAK GREAT LEAP FORWARD
angka kelahiran dan kematian yang ekstrim terjadi di tahun 1958-1962 ketika Mao memberlakukan
“Great Leap Forward”
Apa jadinya ketika banyak petani disuruh bikin baja, banyak petani dibantai, dan banyak petani gagal
panen? Terjadi malapetaka bencana kelaparan di Tiongkok (Great Chinese Famine) yang sangat luar
biasa mengerikan. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana sampai-sampai kanibalisme jadi hal yang
biasa. Selama periode 1958-1962, puluhan juta rakyat Tiongkok tewas. Angka persisnya tak ada yang
tahu, mulai dari 23 juta (menurut Peng Xizhe) sampai 55 juta (menurut Yu Xiguang), dan masih banyak
versi lain dari para akademisi.
Tentu saja tidak semua pihak pasrah dengan kebijakan Mao yang ngawur. Salah satunya adalah Jenderal
besar Peng Dehuai yang merupakan salah satu pejabat Gongchandang paling senior. Tapi protes-protes
ini tidak didengarkan, persis seperti yang terjadi di Uni Soviet di bawah kepemimpinan Stalin. Siapapun
yang protes dengan kebijakan pusat akan dicap “penghianat revolusi komunis”. Sampai akhirnya Zhou
Enlai dan beberapa pejabat lainnya mengintervensi kebijakan Mao dan memberlakukan kebijakan-
kebijakan baru yang arahnya sedikit lebih baik untuk pembangunan dan ketatanegaraan. Namun,
kerusakan sistem yang terjadi tidak mudah diperbaiki dalam waktu singkat.
Petunjuk atas semua yang dianggap “Lama” dan “Baru” oleh Mao dituangkan pada sebuah buku berjudul,
“Kutipan dari Ketua Mao Zedong (Quotations from Chairman Mao Tse-tung)”. Seperti ada peraturan
tidak tertulis saat itu untuk rakyat Tiongkok memiliki, membaca, dan membawa Buku Merah Kecil ini ke
mana-mana saat Revolusi Budaya berlangsung. Seperti biasa, yang tidak bawa buku ini, akan dicurigai
sebagai pengkhianat revolusi komunis.
Tahun 1966, revolusi kebudayaan untuk memberantas Four olds dimulai. Semua tanda-tanda tradisi dan
budaya lama dirusak dan dibinasakan. Makam tua, kuil tua, ornamen keagamaan, buku-buku yang
memuat sejarah Tiongkok kuno, beladiri tradisional, pengobatan tradisional, pokoknya semua yang
mengingatkan orang pada budaya Tiongkok lama, harus dihapuskan. Penghapusan budaya lama ini juga
berimbas pada individu manusianya : guru sejarah, orang-orang lansia, dan kaum cendekiawan
turut diludahi di depan umum, di-bully, dan dianiaya oleh para pemuda-pemuda komunis. Tidak jarang,
revolusi budaya ini juga berujung pada pembunuhan orang-orang tertentu yang dianggap masih bandel
dengan mengikuti budaya lama. Revolusi budaya ini mengakibatkan kematian 5-10 juta rakyat Tiongkok.
Kampanye pengrusakan budaya ini dibarengi dengan kultus individu memuja-muja sosok Mao Zedong
sebagai pemimpin tertinggi revolusi.
Revolusi Kebudayaan baru berakhir tahun 1976 dengan kematian Mao Zedong. Setelah Mao meninggal,
terjadi peralihan kekuasan ke tangan Deng Xiaoping Sejak (1978)
Pada masa Deng Xiaoping inilah, para petinggi-petinggi partai Komunis lain mengubah total sistem
negara. Lambat laun, sistem ekonomi Tiongkok tidak lagi betul-betul berhaluan komunisme yang
melarang kepemilikan pribadi dan perdagangan. Tiongkok mulai membuka diri terhadap sistem ekonomi
pasar bebas dan mengizinkan rakyatnya menjadi pengusaha.
Dalam waktu 30 tahun sejak Deng Xiaoping merubah tatanan negara Tiongkok, sekarang Tiongkok
berubah drastis dari negara yang miskin, menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Walaupun sebetulnya secara konkret penerapan ekonomi Tiongkok sudah jauh menyimpang dari gagasan
komunisme yang dicetuskan oleh Karl Marx, secara praktis sampai dengan hari ini Republik Rakyat
Tiongkok masih dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok (Communist Party of China).
Jadi apakah saat ini Tiongkok masih komunis? Jawabannya bisa iya dan juga tidak. Secara pemerintahan
tentu saja Republik Rakyat Tiongkok masih dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok. Tapi dalam
penerapan kebijakan ekonominya, negara Tiongkok sudah jauh menyimpang dari gagasan Karl Marx dan
Engels dan condong kepada liberalis.
KESIMPULAN HALUAN POLITIK KOMUNIS DAN EKONOMI LIBERALIS
Artinya Tiongkok juga menampilkan imaji yang juga berbeda. Sejak Deng Xiaoping mengumandangkan
Refora pada tahun 1978, Tiongkok telah berkembang pesat. Ekonomi dan teknologi Tiongkok tumbuh,
berkembang, dan bahkan maju ke depan. Kemajuan ekonomi Tiongkok ini semakin terasa terutama pada
akhir tahun 1990-an ketika negara-negara di kawasan Asia Tenggara terkena krisis ekonomi. Tiongkok
kemudian semakin bermain di kawasan dengan peaceful co-exostencenya yaitu prinsip hidup
berdampingan secara damai utamanya dengan negara-negara tetangganya. Hal tersebut disampaikan oleh
para pejabat Tiongkok dalam menjelaskan keterkaitan antara kemajuan ekonomi dan hubungan
internasional Tiongkok, untuk mengurangi kekhawatiran terhadap potensi ancaman Tiongkok yang
bersumber dari kemajuan ekonominya tersebut.
Karena kemajuan ekonominya yang begitu mengesankan beberapa ahli ekonomi mengambil kesimpulan
yang mungkin terlalu terburu-buru. Bahwa Tiongkok akan menggantikan possi Jepang sebagai kekuatan
ekonomi terbesar kedua di dunia. Bahkan Tiongkok, menurut pendapat mereka, sedang dalam perjalanan
untuk menggeser posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan nomor satu dunia. Masuknya Tiongkok dalam
organisasi perdagangan dunia, WTO juga semakin memantapkan posisinya sebagai kekuatan ekonomi
besar dunia. Di sisi lain, jika pada masa tahun 1990-an beberapa ahli ekonomi begitu terpukau dengan
kemajuan beberapa negara di kawasan Asia Timur dan menyebutnya sebagai Asi’s economic miracle
dengan munculnya New Industrial Countries, maka pada saat ini Tiongkok juga berada pada posisi
terdepan bersama dengan negara-negara yang sedang bangkit ekonominya, yaitu Brazil, India, dan Rusia.
Kelompok ini sering disebut sebagai BIRIC, Brazil, Rusia, India, dan Tiongkok.
Dampak globalisasi, pemerintah juga meletakkan teknologi, dan informasi sebagai salah satu
pengembangan utamanya sehingga dalam beberapa tahun Tiongkok telah berhasil memiliki beberapa
perusahaan yang beroperasi di berbagai belahan dunia.
Namun setidaknya, Tiongkok telah berjaya dalam menjalankan sebuah model negara yang berbeda.
Model sebuah negara dengan dua sistem yang secara teoretis berada pada jalur berbeda. Namun,
sebagaimana dalam tradisi panjang kesarjanaan Tiongkok, selalu ada katalisator yang mendamaikan dua
teori ini dalam penerapan. Katalisator itu adalah kelompok cendekiawan, ilmuwan, atau disebut kelompok
intelektual (Gauda King, 2012). Kelompok ini sejatinya memiliki pengaruh besar berpengaruh dalam
dinmaika politik, dan dinamika peruahan. Bukan pada masa modern di masa kini namun juga di masa
silam sejak ribuan tahun yan lalu di Tongkok. Ini karena Sejarah politik Tiongkok ialah sejarah
perdebatan teori dan intelektual.