Anda di halaman 1dari 21

REFRESHING

BAB I
PENDAHULUAN

Kegawat daruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang
pada setiap saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak,
kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat
berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara mantap di rumah
sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah dan membatasi
cacat serta meringankan penderitaan penderita.
Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh orang-orang di sekitar korban.
Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab penanganan yang salah justru dapat
berakibat kematian atau cacat tubuh. Pertolongan selanjutnya diberikan setelah penderita tiba
di rumah sakit, dilakukan oleh dokter umum atau dokter spesialis yang mempunyai
kompetensi untuk melakukan tindakan pada kasus tersebut.
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit yang dianggap sebagai suatu kasus
kegawat daruratan. Dimana kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan yang cepat dan
tepat agar tidak menimbulkan kecacatan sampai kematian.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SINDROM STEVENS-JOHNSON DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK 1

1. SINONIM1

Epidermal necrolysis, Lyell’s disease

2. DEFINISI1

Sindrom Steven Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidernal Toksik (NET)

merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan

nekrosis epidermis yang luas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam

gejala klinis dan histopatologis, faktor risiko, penyebab, dan patogenesisnya,

sehingga saat ini digolongkan dalam proses yang identik, hanya dibedakan

berdasarkan keparahan saja. Pada SSJ, terdapat epidermolysis sebesar < 10 % luas

permukaan tubuh (LPB), sedangkan pada NET > 30%. Keterlibatan 10-30% LPB

disebut overlap SSJ-NET.

3. EPIDEMIOLOGI1

SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara umum insiden insiden SSJ

adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insiden NET 0.4-1.2 kasus/juta

penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka

kematian SSJ adalah 5-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi

peningkatan risiko pada usia diatas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena

2
dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1.5 : 1 . Data dari ruang rawat inap

RSCM menunjukan bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan

rincian: SSJ 47.4%, overlap SSJ-NET 19.3% dan NET 33.3%.

4. ETIOPATOGENESIS1

Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi

SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan

apoptosis luas. Reaksi toksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T

CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam

pathogenesis penyakit ini, yaitu : IL-6, TNF-ɑ, IFN-ɣ, IL-18, Fas-L, granulisin,

perforin, granzim-B.

Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat

dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering menyebabkan

SSJ-NET adalah sulfonamida, antikonvulsan aromatic, alopurional, antiinflamasi

non-steroid, dan nevirapin. Pada beberapa obat tertentu, misalnya karbamazepin

dan allopurinol, faktor genetik yaitu sistem HLA berperan pada proses terjadinya

SSJ-NET. Infeksi juga dapat menyebabkan SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada

kasus multiforme, misalnya infeksi virus dan Mycoplasma.

High Risk Lower Risk Doubtful Risk No Evidence of


Risk
Allopurinol Acetic acid Paracetamol Aspirin
Sulfamethoxazol NSAIDs (eg, (acetaminophen) Sulfonylurea
e diclofenac) Pyrazolone Thiazide
Sulfadiazine Aminopenicillins analgesics diuretics
Sulfadoxine Cephalosporins Corticosteroids Furosemide
Sulfasalazine Quinolones Other NSAIDs Aldactone
Carbamazepine Cyclins (except Aspirin) Calcium channel
Lamotrigine Macrolides Sertraline blockers
Phenobarbital Beta Blocker
Phenytoin Angiotensi-
Phenylbutazone converting
Nevirapine enzyme

3
Oxicam NSAIDs inhibitors
Thiacetazone Statins
Hormones
Vitamins
Tabel 1. Medication and the Risk of Epidermal Necrolysis2

5. GAMBARAN KLINIS1

Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu, setelah awal pajanan obat.

Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non spesifik, misalnya demam, sakit

kepala, batuk/pilek, dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara

simetris pada wajah, badan, dan bagian proksimal ekstremitas, berupa makula

eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi target. Dengan bertambahnya

waktu, lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula

kendur dengan tanda Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis bergantung pada

luasnya permukaan tubuh yang mengalami epidermolysis. Lesi pada mukosa

berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai di mukosa genitalia. Keterlibatan

organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran cerna, dan

ginjal.

4
Bastuji-Garin dkk(2000) mengajukan cara menilai prognosis SSJ-NET

berdasarkan Scorten yang memberikan nilai 1 untuk hal-hal berikut : usia > 40

tahun, denyut jantung > 120/menit, terdapat kanker atau keganasan hematologik,

epidermolysis >10% LPB, kadar urea serum >10mM/L (>28mg/dL), kadar

bikarbonat serum <20 mEq/L, kadar gula darah sewaktu > 14mM/L (>252

mg/dL). Nilai SCORTEN ini

dianjurkan untuk dievaluasi pada hari ke-

1 dan ke-3.

Gambar 1. Early

eruption2

Gambar 2. Early presentation

with vesicles and blisters2

5
Gambar 3. Advanced eruption2

6
Gam bar 4. Full-blown epidermal

necrolysis2

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG1

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang

diagnosis. Pemeriksaan histopatologi kulit dapat menyingkirkan diagnosis

banding, dan umumnya diperlukan untuk kepentingan medikolegal. Pemeriksaan

laboratorium perlu dilakukan untuk evaluasi keparahan penyakit dan untuk

tatalaksana pasien.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : darah tepi lengkap, analisis gas

darah, kadar elektrolit, albumin, dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar,

gula darah sewaktu dan foto rontgen paru. Selama perawatan perlu diwaspadai

tanda-tanda sepsis secara klinis dan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk

menunjang sepsis.

7. DIAGNOSIS KLINIS1

Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis

perjalanan penyakit disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat

tersangka, dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa. Diagnosis SSJ ditegakkan

bila epidermolysis hanya ditemukan pada < 10% LPB, NET bila epidermolysis

>30% LPB, dan overlap SSJ-NET bila epidermolysis 10-30% LPB.

7
8. DIAGNOSIS BANDING1

Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya

Staphylococcal scalded skin syndrome, generalized bullous fixed drug eruption,

acute generalized exanthematous pustulosis, graft versus host disease dan lupus

eritematosus bulosa. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan anamnesis dan

pemeriksaan klinis yang cermat. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan

histopatologis kulit untuk pemeriksaan diagnosis.

Gambaran klinis SSJ sering sulit dibedakan dengan eritema multiform mayor.

Pada keadaan ini, anamnesis tentang obat sebagai penyebab, pemeriksaan klinis

untuk menentukan epidermolysis akan sangat membantu, sebelum dibutuhkan

pemeriksaan histopatologis.

9. TATALAKSANA1

SSJ-NET adalah penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan

tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan penghentian segera obat

tersangka, serta perawatan suportif di rumah sakit. Sangat disarankan unutk

merawat pasien SSJ-NET di ruang perawatan khusus.

Perawatan suportif mencakup: mempertahankan keseimbangan cairan

elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30ºC, nutrisi sesuai dengan kebutuhan

dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara antiseptik tanpa

debridement, perawatan mata dan mukosa mulut. Berbagai terapi spesifik telah

dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun belum diperoleh hasil yang jelas

karena sulit mengadakan uji klinis untuk penyakit yang jarang ini. Penggunaan

kortikosteroid sistemik sampai saat ini, hasilnya masih sangat beragam, sehingga

penggunaanya belum dianjurkan. Kebijakan yang dipakai di ruang rawat Ilmu

8
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik

untuk setiap kasus SSJ-NET, dengan hasil yang cukup baik dengan angka

kematian pada periode 2010-2013 sebesar 10.5%.

IVIg, siklosporin A, siklofosfamid, plasmaferesis, dan hemodialysis juga telah

digunakan di berbagai negeara dan hasilnya bervariasi.

10. PROGNOSIS1

Dalam perjalanan penyakitnya SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang

mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Prognosis SSJ-NET

dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN.

Prognostic Factors Points


Age > 40 years 1
Heart Rate > 120 beats/min 1
Cancer or hematologic maglinancy 1
Body surface area involved > 10 percent 1
Serum Urea Level > 10 mM 1
Serum bicarbonate level < 20 mM 1
Serum glucose level > 14 mM 1
Tabel 2. SCORTEN : A Prognostic Scoring System for Patients with Epidermal

Necrolysis2

SCORTEN Mortality Rate (%)


0-1 3.2
2 12.1
3 35.8
4 58.3
5 90
Table 3. SCORTEN : A severity of illness score toxic epidermal necrolysis1

Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitalisasi terjadi dalam

waktu rerata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan

9
gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan

pigmentasi, dan gangguan pertumbuhan kuku.

B. STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME1


1. PENDAHULUAN1
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S.) pertama kali dilaporkan oleh
Ritter von Rittershain pada tahun 1956 an dikenal sebagai penyakit on Rittershain
dan sering disingkat menjadi penyakit Ritter saja; sinonimnya ialah dermatitis
eksfoliativa neonatorum. Istilah ini umumnya digunakan pada neonatus. Pada
waktu itu belum dikenal istilah S.S.S.S. Kemudian Lyell pada tahun 1956
memasukkannya ke dalam Nekrolisis Epidermal Toksik (N.E.T.). Barulah pada
1ahun 1970 berkat penyelidikan Milish dan Glasgow dengan model tikus dan
berkat berbagai penyelidikan klinis dan histopatologik sindrom ini menjadi jelas
dan ternyata berbeda dengan N.E.T

2. DEFINISI1
S.S.S.S. ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri
yang khas ialah terdapatnya epidermolisis. 

3. EPIDEMIOLOGI1 
Penyakit ini terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun, pria lebih banyak
daripada wanita 

4. ETIOLOGI1 
Etiologinya antara lain ialah Staphylococcus aureus grup ll faga 52, 55,
dan/atau faga 71.

5. PATOGENESIS1
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok dan telinga.
Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksfoliatin)

10
yang beredar di seluruh tubuh sampai pada epidermis dan menyebabkan
kerusakan, karena epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin ini.
Pada kulit tidak selalu ditemukan kuman penyebab.
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin. Pada
anak-anak dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna karena itu
umumnya penyakit ini terdapat pada golongan usia tersebut. Jika penyakit ini
menyerang orang dewasa diduga karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau
terdapat gangguan imunologik, termasuk yang mendapat obat imunosupresif.

6. GEJALA KLINIS1
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran napas
Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul pada wajah leher,
aksila, dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu
24-48 jam akan timbul bula bula besar berdinding kendur. Jika kulit yang
tampaknya normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas sehingga
memberi tanda Nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan
disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah-daerah
erosif. Akibat epidermolisis tersebut, gambarannya mirip kombustio. Daerah-
daerah tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi.
Deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa yang tidak mengelupas terjadi
dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai, tetapi mukosa jarang
diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai

sikatriks. 
Gambar 10. Penderita S.S.S.S

11
7. KOMPLIKASI1
Meskipun S.S.S.S. dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi,
misalnya: selulitis, pneumonia, dan septikemia.

8. PEMERIKSAAN BAKTERIAL1 
Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran napas dapat dilakukan
pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa mengenai tipe kuman,
karena S.S.S.S. disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu. Pada kulit
seperti telah disebutkan, tidak didapati kuman penyebab karena kerusakan kulit
akibat toksin. 

9. HISTOPATOLOGI1 
Pada S S.S.S. terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh
intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang lepuh
sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa
disertai nekrosis sel.

10. DIAGNOSIS BANDING1 


Penyakit ini sangat mirip NET. Perbedaannya, S.SS S. umumnya menyerang
anak di bawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit diwajah, leher, aksila dan
lipat paha mukosa umumnya tidak dikenai, alat-alat dalam tidak diserang, dan
angka kematiannya lebih rendah. Kedua penyakit tersebut agak sulit dibedakan,
oleh karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan histopatologik secara frozen
section agar hasilnya cepat diketahui, karena prinsip terapi kedua penyakit
tersebut berbeda. Perbedaannya terletak pada letak celah, pada S. S.S.S. di stratum
granulosum, sedangkan pada N.E.T di sub epidermal. Perbedaan lain, pada N.E.T.
terdapat sel-sel nekrosis di sekitar celah dan banyak terdapat sel radang. 

11. PENGOBATAN1
Berbeda dengan pengobatan pada N.E.T maka kortikosteroid tidak perlu
diberikan. Pengobatannya ialah antibiotik, jika dipilih derivat penisilin hendaknya
yang juga efektif bagi Staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase,
misalnya kloksasilin dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa sehari peroral.
Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya 3 x 50 mg sehari per os. Obat lain yang

12
dapat diberikan ialah klindamisin dan sefalosporin generasi I. Topikal dapat
diberikan sofratulle atau krim antibiotik. 
Selain itu juga harus diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit.

12. PROGNOSIS1 
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah setahun, yang
berkisar antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya
keseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis.

C. PEMFIGUS VULGARIS1
1. EPIDEMIOLOGI1

Pemfigus vulgaris (PV) merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80%


semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua
bangsa dan ras. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya
mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5), tetapi dapat juga mengenai
semua umur, termasuk anak. 

2. ETIOLOGI1 
Pemfigus ialah autoimun, karena pada serum penderita ditemukan
autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug induced pemphigus),
misalnya D penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat
berbentuk pemfigus foliaseus (termasuk pemfigus eritematosus) atau pemfigus
vulgaris. Pemfigus foliaseus lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus
vulgaris. Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai
pemfigus yang sporadik, pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada
kebanyakan kasus positif sedangkan pemeriksaan imunofluoresensi tidak
langsung hanya kira-kira 70% yang positif. 
Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang jinak maupun yang
maligna, dan disebut sebagai pemfigus paraneoplastik Pemfigus juga dapat
ditemukan bersama-sama dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus
eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa miastenia gravis dan anemia pernisiosa.

13
3. PATOGENESIS1 
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat sangat khas, yakni :
a. Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis). 
b. Adanya antibodi lgG terhadap antigen determinan yang ada di permukaan
keratinosit yang sedang berdiferensiasi.

Lepuh pada PV akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen PV


Antigen ini merupakan transmembran glikoprotein dengan berat molekul 160 kD
untuk pemfigus foliaesus dan berat molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris yang
terdapat pada permukaan sel sel keratinosit. 
Target antigen pada PV yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein dan
kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada pemfigus foliaseus, target
antigennya ialah desmoglein 1. Desmoglein ialah salah satu komponen
desmosom. Komponen yang lain misalnya desmoplakin, plakoglobin dan
desmokolin. Fungsi desmosom ialah meningkatkan kekuatan mekanik epitel
gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa. 
Pada penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas
lgG dan lgG4, tetapi yang patogenik ialah IgG4. Pada pemfigus juga ada faktor
genetik, umumnya berkaitan dengan HLA-DR4.

4. GEJALA KLINIS1
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mula sebagai
lesi di kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus,
berupa erosi yang disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis
sebagai piode pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis denga infeksi
sekunder. Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum
timbul bula generalisata. 
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput
kendir konjungtiva, hidung, farings, larings, esofagus, uretra, vulva, dan serviks.
Kebanyakan penderita stomatis aftosa sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Lesi di
mulut ini dapat meluas dan dapat mengganggu pada waktu penderita makan
karena rasa nyeri.
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan
kulit terkelupas dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas

14
kulit yang terkelupas tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak normal
atau yang eritematosa dan generalisata. Tanda Nikolsky positif disebabkan oleh
adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan
menekan dan menggeser kulit di antara dua bula dan kulit tersebut akan
terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula maka bula akan meluas karena
cairan yang didalamnya mengalami tekanan.
Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus, tetapi penderita sering mengeluh
nyeri pada kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan
meninggalkan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan
parut.

Gambar 11. Pemvigus Bulgaris

5. HISPATOLOGI1 
Pada gambaran hispatologik didapatkan bula intrapidermal suprabasal
dan sel-sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan
uji Tzanck positif. Uji ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik,
tetapi bukan diagnostik pasti untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop elektron dapat diketahui, bahwa permulaan perubahan
patologik ialah perunakan segmen interselular. Juga dapat dilihat perusakan
desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder. 

6. IMUNOLOGI
Pada tes imunofloresensi langsung didapat kan antibodi interselular tipe
lgG dan C3. Pada tes imunofloresensi tidak langsung didapatkan antibodi

15
pemfigus tipe lgG. Tes yang pertama lebih dipercaya daripada tes kedua, karena
telah menjadi positif pada permulaan penyakit. Seringkali sebelum tes kedua
menjadi positif, dan tetap positif pada waktu yang lama, meskipun penyakitnya
telah membaik. 
Antibodi pemfigus ini rupanya sangat spesifik untuk pemfigus. Titer
antibodi umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun
kemudian menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.

7. DIAGNOSIS BANDING1 
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis, yang dapat
mengenai anak dan dewasa, keadaan umum baik, keluhan sangat gatal, ruam
polimorfi vesikel/ tegang dan berkelompok, dan mempunyai tempat predileksi.
Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa, keadaan umum
buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur dan biasanya generalisata. Pada
gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis, letak vesikel/bula di
subepidermal, sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak di intraepidermal dan
terdapat akantolisis. Pemeriksaan imunofluoresensi pada pemfigus menunjukkan
IgG yang terletak intraepidermal, sedangkan pada dermatitis hipertiformis
terdapat lgA berbentuk granular intrapapilar.
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pem figus vulgaris karena keadaan
umumnya baik dinding bula tegang, letaknya di epidermal dan terdapat IgG
linier.

8. PENGOBATAN1 
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Yang
sering digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi
bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 6 mg sehari. Ada pula yang
menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat. Pada dosis tinggi
sebaiknya diberikan deksametason i.m. atau i v sesuai dengan ekuivalennya
karena lebih praktis Keseimbangan cairan dan gangguan elektrolit diperhatikan. 
Cara pemberian kortikosteroid yang lain dengan terapi denyut. Caranya
bermacam macam, yang lazim digunakan ialah dengan methyl prednisolon
sodium succinate (solumedrols), i v selama 2-3 jam, diberikan jam 8 pagi untuk
lima hari. Dosis sehari 250-1000 mg (10-20 mg per kgBB), kemudian dilanjutkan

16
dengan kortikosteroid oral dengan dosis sedang atau rendah. Efek samping yang
berat pada terapi denyut tersebut antara lain ialah, hipertensi, elektrolit sangat
terganggu, infark miokard, aritmia jantung sehingga dapat menyebabkan
kematian mendadak, dan pankreatitis.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan
dengan ajuvan yang terkuat, yaitu sitostatik. Efek samping kortikosteroid yang
berat atrofi kelenjar adrenal bagian korteks ulkus peptikum, dan osteoporosis
yang dapat menyebabkan fraktur kolumna vertebra pars lumbalis. 
Terdapat dua pendapat untuk penggunaan sitostatik sebagai ajuvan pada
pengobatan pemphigus:
1. Sejak awal diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid sistemik.
Maksudnya agar dosis kortikosteroid tidak terlampau tinggi sehingga
efek samping lebih sedikit.
2. Sitostatik diberikan, bila :
a. Kortikosteroid sistemik dosis lebih tinggi kurang memberi respons
b. Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes mellitus,
katarak, dan osteoporosis
c. Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang
diharapkan. 

Ajuvan lain yang tidak begitu poten ialah yang bersifat anti-inflamasi
yakni emas, diamino difenisulfon (D.D.S), antimalaria, dan minosiklin Tentang
emas tidak akan diuraikan karena preparatnya tidak ada di Indonesia. Dosis
D.D.S 100-300 mg sehari, dicoba dahulu dengan dosis rendah. Tentang efek
samping lihat peng- obatan dermatitis herpetiformis. Antimalaria yang sering
digunakan ialah klorokuin dengan dosis 2x200mg sehari. Efek samping yang
berat ialah retinopati, dapat terjadi setelah dosis kumulatif 100 g. Tentang
pengobatan kombinasi nikotinamid dan tetrasiklin lihat pengobatan figoid bulosa.
Minosiklin digunakan dengan dosis 2 x 50 mg sehari.
Berdasarkan pertimbangan risk and benefit, D.D.S. lebih sering
digunakan sebagai ajuvan. Meskipun khasiatnya tidak sekuat sitostatik, namun
efek samping jauh lebih sedikit dan hasilnya cukup baik. Dosis 100 mg atau 200
mg. Bila digunakan 100 mg tidak perlu dilakukan pemeriksaan enzim G6PD
sebelumnya karena dosis itu dipakai sebagai pengobatan lepra, umumnya tanpa

17
efek samping. Tetapi bila dengan dosis 200 mg harus dilakukan pemeriksaan
enzim G6PD.
Pengobatan topikal sebenarnya tidak penting dibandingkan dengan
pengobatan sistemik.Pada daerah yang erosif dapat diberikan silver sulfadiazine,
yang berfungsi sebagai antiseptik dan astringen. Pada lesi pemfigus yang sedikit
dapat diobati dengan kortikosteroid secara intralesi (inter dermal) dengan
triamsinolon asetonid. 

9. PROGNOSIS1 
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50%
penderita dalam tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kaheksia, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat
prognosis lebih baik.

D. PEMFIGUS BULOSA
1. DEFINISI
Pemfigoid bulosa (P.B) ialah penyakit autoimun kronik, ditandai adanya
bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan
imunopatologik ditemukan komplemen komplemen ke-3 pada epidermal
basement membrane zone

2. ETIOLOGI
Etiologinya adalah autoimun, tetapi penyebab yang menyebabkan
produksi autoantibodi pada pemfigoid bulosa masih belum diketahui.

3. PATOGENESIS
Antigen P.B.  merupakan protein yang ter dapat pada hemidesmosom sel
basal, dibutuhkan oleh sel basal dan merupakan bagian B.M.Z.  (zona membran
basal) epitel gepengempatkan.  Fungsi hemidemosom tergantung sel-sel basal
dengan membrana basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom.  Bula
terbentuk akibat komplemen yang teraktivasi melalui jalur klasik dan alternatif,
kemudian akan dikeluarkan enzim yang terhambat terjadi terkait epidermis dan
dermis.  Ada 2 jenis antigen P.B., yang pertama dengan berat molekul 230 kD
disebut PNA91 (P.B. Antigen 1) atau PB230 dan kedua 180 kD dinamakan

18
PBA92 atau PB180.  PB230 lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan
PB180.  Autoantibodi pada P.B.  Terutama IgG1, kadang-kadang ditemukan
igA yang menyertai IgG.  Isotipe IgG yang utama adalah IgG1 dan IgG4, yang
melekat pada komplemen hanya IgG1.  Hampir 70% penderita memiliki
autoantibodi terhadap B.M.Z.  dalam serum dengan kadar yang tidak sesuai
dengan penyakit aktif, jadi berbeda dengan pemfigus

4. GEJALA KLINIS
Keadaan umum baik.  Lebih tua dari orang tua.  Kelainan kulit sebagian
besar terdiri dari bercampur dengan vesikel berdinding tegang dan sering
diperbaiki eritema.  Tempat predileksi di ketiak, lengan bagian fleksor, dan lipat
paha.  Jika bula- bula pecah daerah erosif yang luas, tetapi tidak bertambah
seperti pada pemfique vulgaris.  Mulut dapat memperkirakan kira-kira pada
20% kasus

5. HISTOPATOLOGi
Kelainan yang awal terbentuknya celah di perbatasan dermal-epidermal. 
Bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinofil
.
6. IMUNOLOGI
Pada pemeriksaan imunifluoresensi endapan IgG dan C3 tersusun seperti
pita di B.M.Z.  (Zona Membran Bassement).
 
7. PENGOBATAN
Pengobatan dengan kortikosteroid.  Dosis prednison 40-60 mg setiap
hari, jika sudah tampak per-baikan, dosis harus dibuka.  Hanya sebagian besar
yang dapat disembuhkan dengan steroid saja.  Jika dengan kortikosteroid belum
tampak per-baikan, dapat mendukung pelengkap yang bisa dikombinasikan
dengan kortikosteroid.  Cara dan dosis pemberian sitostatik sama seperti pada
pengobatan pemfigus. 
Bila infiltrat lebih banyak mengandung sel neutrofil, dapat diberikan
DDS dengan dosis 200-300 mg / hari seperti pada pengobatan dematitis

19
herpetiformis.  Pengobatan kombinasi tetraksilin (3 X 500 mg sehari) dengan
niasinamid (3 x 500 mg sehari) memberi tanggapan yang baik pada sebagian
besar kasus, terutama yang tidak berat.  Bila tetrasiklin merupakan eritromisin. 
Pemfigoid bulosa dianggap sebagal penyak autoimun, oleh karena itu,
memerlukan pengobata yang lama, sebagian penderita akan mengalam efek
samping kortikosteroid sistemik.  Untuk mencegahnya dapat diberikan
kombinasi tetrasiklin / entro kontraindikasi dapat diberikan eritromisin dan
niasinamid setelah penyakitnya member haik.  Efek samping kedua obat ini
lebih sedikit dari sistemik kortikosteroid. 

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi, Sri Linuwih SW. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Morfologi dan Cara
Membuat Diagnosis. Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2016.
2. Garg. Amit & Levin. Nikki. A. & Bernhard. Jeffrey.D. Chapter 5, Structure of Lesions
and Fundamentals of Clinical Diagnosis In : Wloff Klaus et al, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology In General Medicine. Eight Edition. United States: McGraw-Hill
Companies ; 2010.

21

Anda mungkin juga menyukai