Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang
membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen
pada pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai
tanda dan gejala kelainan susunan saraf pusat pada anak. Pada anak infeksi sebenarnya
dapat disebabkan oleh mikroba apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur
dan status imun hospes dan epidemiologi patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem
saraf pusat jauh lebih sering daripada infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering
daripada infeksi jamur dan parasit. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi
menjadi dua kategori besar: yang utamanya melibatkan meninges (meningitis) dan
terbatas pada parenkim (ensefalitis).1,2,3
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada
meninges atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang
belakang yang terdiri dari Duramater, Araknoid dan Piamater. Secara klinis, meningitis
bermanifestasi dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia),
serta pleositosis (peningkatan jumlah sel darah putih) dalam Cairan Serebrospinal
(CSS). Tergantung pada durasi gejala, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai akut
atau kronis. Meningitis secara anatomis dibagi menjadi inflamasi dura, kadang-kadang
disebut sebagai pachymeningitis (agak jarang) dan leptomeningitis, yang lebih umum
dan didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan araknoid dan ruang subaraknoid.2
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi oleh
infeksi bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran darah
dari bagian lain dari tubuh ataupun dapat secara langsung (perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan di dekat selaput otak.2
Ensefalitis merupakan proses inflamasi pada parenkim otak yang menyebabkan
disfungsi serebral, baik bersifat difus atau terlokalisir. Ensefalitis umumnya merupakan
proses akut, tetapi dapat pula merupakan ensefalitis pasca infeksi, penyakit kronik
degeneratif, atau infeksi virus yang berjalan lambat. Meskipun secara primer mengenai
parenkim otak, namun selaput meninges biasanya dapat terkena juga
1
(meningoensefalitis).4,5
Infeksi virus merupakan penyebab utama ensefalitis akut, meskipun bakteri,
fungi, dan sistem autoimun juga dapat menyebabkan ensefalitis. Herpes Simplex Virus
(HSV), arbovirus, dan enterovirus merupakan penyebab tersering ensefalitis. Laporan
kasus dari seluruh dunia melaporkan insidensi ensefalitis akut bervariasi dari 3,5-
7,4/100.000 orang, dan mencapai 16/100.000 pada anak-anak.4,5,6

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. MENINGITIS
Definisi

Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk duramater,


araknoid dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat
disebabkan oleh beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat
diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam Cairan Serebrospinal
(CSS).3
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap
patogen spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada
bayi (1 – 12 bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis
dapat terjadi pada setiap umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan
bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang menderita penyakit invasif,
perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki
dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara penyebaran
mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran
pernafasan.3

Epidemiologi

Meningitis Bakteri
Di Amerika Serikat, sebelum pemberian rutin vaksin conjugate-
pneumococcal, insidens dari meningitis bakteri ± 6000 kasus per tahun; dan
sekitar setengahnya adalah pasien anak (≤18 tahun). Angka ini menurun setelah
pemberian rutin dari vaksin conjugate-pneumoccal pada anak-anak. Pengenalan
dari vaksin meningococcal baru-baru ini di Amerika Serikat diharapkan dapat
mengurangi insidens meningitis bakterial di kemudian hari. Insidens dari
meningitis bakterial pada neonatus sekitar 0,15 kasus per 1000 bayi lahir cukup
bulan dan 2,5 kasus per 1000 bayi lahir kurang bulan (premature). Hampir 30%
bayi baru lahir dengan klinis sepsis, berhubungan dengan adanya meningitis
3
bakterial.1,8
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun.
Insidens meningitis bakterialis pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000
kelahiran hidup. Insidens meningitis pada bayi berat lahir rendah tiga kali lebih
tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. Penyakit ini menyebabkan
angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40% diantaranya mengalami
gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit neurologis.1,9
Meningitis Tuberkulosis
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas
dan kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari
5% dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini
mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk.
Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas
tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak
terutama bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam usia 5
tahun pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian
berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18%
pasien yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis
tuberkulosis yang tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka
kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis
dewasa.9,10,11

Etiologi

a. Virus
Infeksi virus yang dapat menyebabkan meningitis, yakni :
- Virus Mumps
- Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr Virus (EBV), Herpes simpleks,
Varicella Zooster, Measles, and Influenza
- Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)

4
- Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (Lymphocytic Choriomeningitis
Virus), disebarkan melalui tikus.5
b. Bakteri
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-anak dan orang dewasa
di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria meningitidis. Meningitis disebabkan
oleh bakteri ini dikenal sebagai penyakit meningococcus.
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, Treponema pallidum, dan
Mycobacterium tuberculosis dapat juga mengakibatkan meningitis. Citrobacter
diversus merupakan penyebab abses otak yang penting.

Risk and/or Predisposing Factor Bacterial Pathogen


Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (group B streptococci)
E coli K1
Listeria monocytogenes
Age 4-12 weeks S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides
Age 3 months to 18 years N meningitidis
S pneumoniae
H influenza
Age 18-50 years S pneumoniae
N meningitidis
H influenza
Age older than 50 years S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Immunocompromised state S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Intracranial manipulation, including Staphylococcus aureus
neurosurgery Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including

5
P aeruginosa
Basilar skull fracture S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci
CSF shunts Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes
Tabel 1. Bakteri penyebab tersering menurut umur dan faktor predisposisi 2

c. Jamur
Infeksi jamur pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan meningitis akut,
subakut dan kronik. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif terutama
anak dengan leukemia dan asidosis. Dapat juga pada anak yang imunokompeten.
Cryptococcus neoformans dan Coccidioides immitis adalah penyebab utama
meningitis jamur pada anak imunokompeten. Candida sering pada anak dengan
imunosupresi dengan penggunaan antibiotik multiple, penyakit yang melemahkan,
resipien transplant dan neonatus kritis yang menggunakan kateter vaskular dalam
waktu lama. Berikut beberapa patogen jamur :13

Common Fungal Pathogens


Yeast forms
Candica Albicans
Crytococcus neoformans
Dimorphic Forms
Blastomyces dermatidis
Coccidioides immitis
Histoplasma capsulatum
Mold forms
Aspergillus
Tabel 2. Patogen Jamur yang Sering13

Patogenesis

Meningitis bacterialis

6
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :1

1. Aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan
biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam
cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
 Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
 Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.

Gambar 1. Patogenesis Meningitis Bakterial 3

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis

7
purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai
tahap-tahap sebagai berikut : 1

1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)


2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan
aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

Gambar 2. Patogenesis Meningitis Bakterial2

Meningitis tuberculosis

Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran


tuberkulosis primer, biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena
terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan

8
biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum
tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah ke dalam rongga araknoid
(Rich dan McCordeck). Kadang-kadang dapat juga terjadi per-kontinuitatum dari
mastoiditis atau spondilitis.1 Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa
ternyata merupakan meningo-ensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar
pada dasar otak, terutama batang otak (brain stem) tempat terdapat eksudat dan
tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi
pada sisterna basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta kelainan saraf pusat.
Tampak juga kelainan pembuluh darah seperti Arteritis dan Flebitis yang
menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang
kemudian mengakibatkan perlunakan otak. 1

Meningitis viral

Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan


masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan.
Setelah masuk ke dalam tubuh virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh
dengan beberapa cara:1

 Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau


organ tertentu.
 Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
 Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama
kali masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.
 Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput
lender dan menyebar melalui system saraf

Meningitis jamur

Infeksi pertama terbanyak terjadi akibat inhalasi yeast dari lingkungan sekitar.
Pada saat dalam tubuh host Cryptococcus membentuk kapsul polisakarida yang
besar yang resisten terhadap fagositosis. Produksi kapsul distimulasi oleh

9
konsentrasi fisiologis karbondioksida dalam paru. Keadaan ini meyebabkan
jamur ini beradaptasi sangat baik dalam host mamalia. Reaksi inflamasi ini
menghasilkan reaksi kompleks primer paru kelenjar limfe (primary lung lymp
node complex) yang biasanya membatasi penyebaran organisme.1

Patofisiologi

Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis


bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan
mediator inflamasi berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak
(meningen) serta menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa
peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat
mengakibatkan tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteriemia
atau embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan
saraf pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat
yang lemah, yaitu di mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan
media pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa
yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka
bakteri tersebut memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena
kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan
serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid. 1

Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan
melepaskan dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin,
teichoic acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan
peradangan di selaput otak (meningen) melalui beberapa mekanisme seperti
dalam skema tersebut di bawah, sehingga timbul meningitis. Bakteri Gram
negative pada waktu lisis akan melepaskan lipopolisakarida/endotoksin, dan
kuman Gram positif akan melepaskan teichoic acid (asam teikoat).1

10
Gambar 3. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1

Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan
makrofag di susunan saraf pusat (sel astrosite dan microglia) memproduksi
mediator inflamasi seperti Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor
(TNF). Mediator inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK), yang selanjutnya
mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bakterial dapat
juga terjadi syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) diduga
disebabkan oleh karena proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau
menyebabkan kebocoran vasopresin endogen sistem supraoptikohipofise
meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini menyebabkan
hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urin meskipun osmolaritas
serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala keracunan cairan yaitu
mengantuk, iritabel dan kejang.1

11
Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal dan
terjepit pada foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini menyebabkan herniasi
dari giri parahipokampal, serebellum, atau keduanya. Perubahan intrakranial ini
secara klinis menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran dan refleks postural.
Pergeseran ke kaudal dari batang otak menyebabkan lumpuhnya saraf kranial
ketiga dan keenam. Jika tidak diobati, perubahan ini akan menyebabkan
dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat dan progresif menyebabkan henti
nafas dan jantung. 1

Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak


yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus
dan adanya penurunan autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami
kejang. Akibat lain adalah penurunan tekanan perfusi serebral yang juga dapat
disebabkan oleh karena penurunan tekanan darah sistemik 60 mmHg sistol.
Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan autoregulasi
serebral dan vaskulopati. Kelainan – kelainan inilah yang menyebabkan
kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan
aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kandungan air di otak
akan menyebabkan gangguan fungsi metabolik yang menimbulkan ensefalopati
toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan penurunan pH cairan srebrospinal
dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme anaerob, keadaan ini
menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan berakibat timbulnya
hipoglikorakia (konsentrasi gula pada CSS sangat rendah).1

Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia


sistemik dan demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial
adalah peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan –
bahan toksis bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan
pada saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot – otot tertentu untuk
mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku
kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah
mual, muntah, iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala – gejala
tersebut dapat juga disebabkan karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila

12
disertai dnegan distorsi dari nerve roots, makan timbul hiperestesi dan fotofobia. 1

Pada fase akut, bahan – bahan toksis bakteri mula – mula menimbulkan
hiperemia pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang
subaraknoid, dan selanjutnya merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah hingga mempermudah adesi sel fagosit dan sel
polimorfonuklear, serta merangsang sel polimorfonuklear (PMN) untuk
menembus endotel pembuluh darah melalui persimpangan dan selanjutnya
memfagosit bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam
ruang subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul didaerah
konveks otak tempat CSS diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura
silvii serta sisterna basalis dan sekitar serebellum.1

Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang
memfagosit bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel
limfosit, monosit dan histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada
saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel
fibroblas yang berperan dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk
jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan – perlekatan.
Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan
hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka
dan Magendi maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam
pertama arteri subaraknoid juga mengalami pembengkakan, proliferasi sel
endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan adventisia, sehingga timbul fokus
nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang menyebabkan trombosis arteri.
Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus dapat
menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga
keadaan tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat
menyebabkan terjadinya infark.1

Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa
hari pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit
dikontrol, kejang menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada

13
hari pertama dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang
fokal akan menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang fokal dan kejang
yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah
otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum
dirawat sering menyebakan gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.1

Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks


serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena
hipoksia, invasi kuman akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal
dang gangguan fungsi motorik berupa paresis yang sering timbul pada hari ke 3-
4, dan jarang timbul setelah minggu I-II; selain itu juga menimbulkan gangguan
sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental dan gangguan tingkah laku;
gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena proses
infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di
duramater atau araknoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan
perluasan infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul
kecil ke dalam ruang subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subdural
yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan
muntah.1

Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain
barrier) menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS
terganggu atau hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.1

Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi
dan penetrasi toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan
vaskulitis; kelainan saraf kranial pada meningitis bakterial disebabkan karena
adanya peradangan lokal pada perineurium dan menurunnya persediaan vaskular
ke saraf cranial, terutama saraf VI, III dan IV, sedang ataksia yang ringan,
paralisis saraf kranial VI dan VII merupakan akibat infiltasi kuman ke selaput
otak di basal otak, sehingga menimbulkan kelainan batang otak.1

Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradangan ke mastoid,


sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe
konduktif. Kelain saraf kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan
14
kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena infark yang luas di korteks serebri,
sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul
disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan
peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini
merupakan petunjuk prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan
retardasi mental.1
Manifestasi Klinis

Meningitis Bakterial

Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis


bakterial. Tanda dan manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga
sering didapatkan pada anak-anak baik yang terkena meningitis ataupun tidak.
Tanda dan gambaran klinis sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit
di rumah sebelum diagnosis dan respon tubuh terhadap infeksi.1
Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis,
gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru
lahir hanya terjadi pada ½ dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemas dan
malas, tidak mau makan, muntah-muntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar
tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi tidak teratur, kadang-kadang
disertai ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila didapatkan sepsis pada bayi
baru lahir kita harus mencurigai adanya meningitis. 1

Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis.


Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang
berulang, kadang-kadang didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik
yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan tanda
Kernig dan Brudzinsky sulit di evaluasi. Oleh karena insidens meningitis pada
umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi susuan saraf pusat perlu dicurigai
pada anak dengan demam terus menerus yang tidak dapat diterangkan
penyebabnya. 1

Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan


gambaran klasik. Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah
15
dan nyeri kepala. Kadang-kadang gejala pertama adalah kejang, gelisah,
gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran seperti delirium, stupor, koma
dapat juga terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah kaku kuduk, tanda
Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh darah
meningen, sering disertai fotofobia dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas
spinal disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis. 1

Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga
karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf – saraf kranial VI, VII, dan
IV adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder
karena nekrosis kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis
vena kortikal. Vaskulitis serebral menyebabkan kejang dan hemiparesis.1

Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9

1. Gejala infeksi akut.


a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).
2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.
a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.

16
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).
3. Gejala rangsangan meningeal.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat
diandalkan sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu
dilakukan pungsi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).9

Gambar 4. Tanda Brudzinski I 3 Gambar 5. Tanda Kernig 3

Meningitis Tuberkulosis

Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun


selaput otak sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris
sehingga pada penyebaran miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun
gejala meningitis belum tampak.9

1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otal.
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat
kenaikan suhu ringan, jarang terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai
anak mudah terangsang (iritabel) atau anak menjadi apatis dan tidurnya sering
terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala. Malaise, anoreksia,
17
obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak manifestasi
kelainan neurologis. 9

2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang.
Gejala diatas menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk
dimana seluruh tubuh mulai menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon
menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat
kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus.
Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan
kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal,
paresis nervus kranial dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis,
hemibalismus). 9

3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih
dalam, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan
menjadi tidak teratur, kadang-kadang menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat
dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih
kembali. 9

Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu
dengan yang lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu
sebelum anak meninggal. 9

Meningitis Viral

Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat
sembuh alami tanpa pengobatan yang spesifik. 9

Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-


kadang didahului dengan panas selama beberapa hari. Gejala yang ditemukan
pada anak besar ialah panas dan nyeri kepala mendadak yang disertai dengan
kaku kuduk. Gejala lain yang dapat timbul ialah nyeri tenggorok, nausea,
muntah, penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan punggung, fotophobia,
18
parestesia, myalgia. Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah terangsang dan
menjadi gelisah. Mual dan muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang
didapati. Bila penyebabnya Echovirus atau Coxsackie, maka dapat disertai ruam
dengan panas yang akan menghilang setelah 4-5 hari. Pada pemeriksaan
ditemukan kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski kadang-kadang positif. 9

Variasi lain dari infeksi viral dapat membantu diagnosis, seperti : 9,13

 Gastroenteritis, rash, faringitis dan pleurodynia pada infeksi enterovirus


 Manifestasi kulit, seperti erupsi zoster dari Varicella Zooster Virus (VZV),
makulopapular rash dari campak dan enterovirus, erupsi vesikular dari herpes
simpleks dan herpangina dari infeksi coxsackie virus A
 Faringitis, limfadenopati dan splenomegali mengarah ke infeksi EBV
 Immunodefisiensi dan pneumonia, mengarah ke infeksi adenovirus,
Cytomegalo virus (CMV) atau Human Immunodeficiency Virus (HIV)
 Parotitis dan orchitis ke arah virus Mumps

Meningitis Jamur

Gejala klinis dari meningitis jamur sama seperti meningitis jenis lainnya;
namun, gejalanya sering timbul bertahap. Sebagai tambahan dari gejala klasik
meningitis seperti sakit kepala, demam, mual dan kekakuan leher, orang dengan
meningitis jamur juga mengalami fotofobia, perubahan status mental, halusinasi
dan perubahan personaliti.13

Pemeriksaan Penunjang

Pungsi Lumbal

Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling


sering dilakukan pada segala umur, dan relatif aman 7
Indikasi7
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI

19
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang dicurigai meningitis
9. Sepsis
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya
dah pada pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan
dilakukan pada meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan
sarkoidosis. Cairan serebrospinal dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi
rasa sakit kepala dan sakit pinggang. Pungsi lumbal berulang-ulang juga
dilakukan pada tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn intracranial
hypertension), pungsi lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat
tertentu.7
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah
sekitar tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh
adanya proses desak ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada
kelainan pembekuan yang belum diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi
yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan kontraindikasi tetapi harus
dilakukan dnegan hati-hati. 7
Pengukuran Tekanan Cairan Serebrospinal
Nilai normal tekanan CSS 50-200 mm pada keadaan tenang. Pada anak yang
berontak, menangis atau batuk tekanan akan meningkat. 7
Pemeriksaan CSS
Biasanya pada Lumbal Pungsi (LP) yang berhasil CSS yang keluar ditampung
dalam botol steril untuk pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan
kejernihan dan warnanya, kemudian ditentukan adanya protein yang meninggi
dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne.7
Pada uji Pandy 1-2 tetes CSS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila
20
kadar protein meninggi akan didapatkan warna putih keruh atau endapan putih
dalam tabung reaksi tersebut. Pada uji Nonne, 0,5 ml CSS dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan amonium-sulfat
jenuh. Bila kadar protein CSS meningkat didapati cincin putih pada perbatasan
kedua cairan tersebut.7
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar
protein, glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada
keadaan normal CSS berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa
xantokrom.7

Diagnosis

Meningitis Bakterial

Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala
dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku
kuduk dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi
pada meningismus, meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hamper semua
penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan
pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap
pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal. 1 Umumnya
cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium dini
dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya
didapatkan positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan
yang sebagian besar terdiri dari sel polimorfonuklear (PMN). Pada stadium dini
didapatkan jumlah sel hanya ratusan permilimeter kubik dengan hitung jenis
lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan
sedemikian, pungsi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan
diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium
penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar
gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida
kadang-kadang merendah.9

21
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat
ditemukan kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi
kuman yang dapat dipercaya hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan
percobaan binatang. Tidak ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah
kontra-indikasi terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan
leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left). Umumnya
terdapat anemia megaloblastik.9
Meningitis Tuberkulosis

Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah
gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman
tuberkulosis dalam CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang
tampak pada foto roentgen thorak dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga
hanya dapat menyokong diagnosis. Uji tuberkulin pada Meningitis tuberkulosis
sering negatif karena reaksi anergi (false-negative), terutama dalam stadium
terminalis.9
Tatalaksana

Meningitis bakterial

Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke


meningitis. Idealnya kultur darah dan CSS harus diperoleh sebelum antibiotik
yang diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian klinis
menunjukkan pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda hingga bayi
stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan beberapa hari pengobatan awal berikut
masih menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bisa negatif.14

Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis


rentan untuk mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit
juga berkontribusi terhadap timbulnya kejang, terutama selama 72 jam pertama
penyakit.14
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema serebral jarang pada
bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk memastikan oksigenasi yang
memadai dan stabilitas metabolisme.14
22
MRI dengan gadoteridol, ultrasonografi, atau CT scan dengan kontras yang
dibutuhkan untuk menggambarkan kelainan intrakranial.  Pediatric Academic
Societies merekomendasikan bahwa MRI dengan kontras harus dilakukan untuk
neonatus dengan komplikasi meningitis 7-10 hari setelah memulai pengobatan
untuk memastikan bahwa tidak ada penyulit yang terjadi. Semua bayi yang baru
lahir sembuh dari meningitis harus dinilai auditory evoked potential untuk
skrining adanya ketulian.14

Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis bakteri akut melibatkan


kedua terapi antimikroba yang tepat dan terapi suportif. Semua pasien harus
evaluasi audiologic setelah selesai terapi.14

Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan


memeriksa tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan,
menetapkan jenis yang dan volume cairan, risiko edema otak dapat
diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk menjaga tekanan darah
sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi
jaringan yang memadai. Meskipun menghindari SIADH adalah penting,
mengurangi hidrasi pasien dan risiko penurunan perfusi serebral sama-sama
penting juga. Dopamin dan agen inotropik lain mungkin diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang memadai.14

Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB


secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian
diazepam dapat diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang
berhenti dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-
20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis rumatan 4-5mg/kgBB/hari.
Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang belum berhenti
dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara intravena perlahan-
lahan dengan kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau
1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam
kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat digunakan langsung phenobarbital
dengan dosis awal dan selanjutnya dosis maintenance.14

23
Terapi antibiotik
Neonatus

Antibiotik harus diberikan segera setelah terdapat akses vena pada pasien
dengan meningitis bakteri. Secara konservatif, pengobatan antimikroba awal
atau inisial terdiri dari ampisilin dan kombinasi aminoglikosida (ampisilin dan
cefotaxime juga). Jika S.Pneumoniae dicurigai, vankomisin harus
ditambahkan. Terapi empiris awal untuk penyakit late-onset pada bayi prematur
harus mencakup agen antistafilokokus dan seftazidim, amikasin, atau
meropenem.14

Ampisilin memiliki cakupan yang baik untuk kokus gram-positif, termasuk


Grup B Streptococcus (GBS), enterococcus, L. Monocytogenes, beberapa strain
dari E. Coli, dan jenis H. Influenzae B. Ampisilin juga dapat mencapai kadar
yang adekuat dalam CSS.14

Aminoglikosida (misalnya, gentamisin, tobramycin, amikasin) mempunyai


aktivitas yang baik terhadap hampir kebanyakan basil Gram-negatif, termasuk
P.Aeruginosa dan Serratia marcescens. Namun, aminoglikosida hanya dapat
mencapai kadar marginal pada cairan CSS dan ventrikel, bahkan ketika
meningen meradang.14

Beberapa generasi ketiga sefalosporin mencapai kadar yang baik dalam CSS
dan telah muncul sebagai agen efektif terhadap infeksi gram negatif. Seftriakson
berkompetisi dengan bilirubin untuk pengikatan oleh albumin, dan dosis
terapeutik ceftriaxone menurunkan cadangan albumin dalam serum bayi baru
lahir sebesar 39%, dengan demikian, ceftriaxone dapat meningkatkan risiko
ensefalopati bilirubin, terutama pada bayi baru lahir beresiko tinggi. Seftriakson
juga menyebabkan sludging (lumpur) empedu. Tidak satupun dari sefalosporin
memiliki aktivitas terhadap L. Monocytogenes dan enterococcus dan,
karenanya, tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk pengobatan awal.
Kombinasi ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga diperlukan.14

24
Jika patogen terbukti menjadi bakteri yang rentan ampisilin dengan low
minimum inhibitory concentration (MIC) ampisilin, maka ampisilin dapat
dilanjutkan sendiri. Cefotaxime dan seftriakson juga mempunyai aktivitas yang
baik terhadap kebanyakan S. Pneumoniae resisten penisilin. Baik vankomisin
dan cefotaxime harus diberikan pada pasien dengan meningitis S.Pneumoniae
sebelum hasil uji resistensi antibiotik tersedia.14

Di antara aminoglikosida, gentamisin dan tobramycin telah digunakan


secara ekstensif dalam kombinasi dengan ampisilin. Meskipun kekhawatiran
kadarnya pada CSS, agen ini telah terbukti efektif bila dikombinasikan dengan
antibiotik beta laktam-untuk pengobatan meningitis yang disebabkan oleh
organisme seperti Grup B Streptococcus (GBS) dan enterococcus yang
sensitif. 14

Infeksi yang melibatkan Staphylococcus, S. Anaerob, atau P. Aeruginosa


mungkin memerlukan antimikroba lainnya, seperti oksasilin, methicillin,
vankomisin, atau kombinasi dari seftazidim dengan aminoglikosida. Penetrasi
CSS dan keamanan agen antimikroba harus menentukan penggunaan.14

Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan,
namun pengobatan selama 10 hari – 21 hari biasanya cukup untuk infeksi Grup
B Streptococcus (GBS). Waktu yang lebih lama dibutuhkan untuk mensterilkan
CSS dengan meningitis oleh basil gram negatif, dan biasanya diperlukan
pengobatan selama 3-4 minggu .14

Lumbal pungsi ulangan diindikasi pada keadaan tidak adanya perbaikan


klinis atau meningitis yang disebabkan oleh strain S.Pneumonia yang resisten
atau dengan basil enterik gram negatif. Pada neonatus dengan meningitis basil
gram negatif, pemeriksaan CSS selama pengobatan diperlukan untuk
memverifikasi kultur steril. Pemeriksaan ulang terhadap CSS untukpemeriksaan
kimia dan kultur harus dilakukan 48-72 jam setelah memulai pengobatan;
specimen lebih lanjut diperlukan bila tidak didapatkan sterilitas ataupun
perbaikan klinis.14

25
Antibiotic Admin- Dose for Dose for Dose for Dose for
istration birth weight birth weight birth weight birth weight
Route < 2000g and >2000g and < 2000g and >2000g and
age 0-7 d age 0-7 d age >7 d age >7 d

Penicillins

Ampicillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Penicillin-G IV 50,000 U 50,000 U q8h 50,000 U 50,000 U q6h


q12h q8h

Oxacillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Ticarcillin IV, IM 75 mg q12h 75 mg q8h 75 mg q8h 75 mg q6h

Cephalosporins

Cefotaxime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Ceftriaxone IV, IM 50 mg once 50 mg once 50 mg once 75 mg once


daily daily daily daily

Ceftazidime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q8h

Aminoglycosides

Amikacin † IV, IM 20-30 (peak), 7.5 q12h 10 q12h 10 q8h


< 10 (trough)

Gentamicin † IV, IM 5-10 (peak), < 2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h
2.5 (trough)

Tobramycin † IV, IM 5-10 (peak), < 2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h
2.5 (trough)

26
Glycopeptide

Vancomycin* † IV, IM 20-40 (peak), 15 q12h 15 q8h 15 q8h


< 10 (trough)

*Dose stated is highest within


dosage range.
† Serum levels must be monitored
when patient has kidney disease or
is receiving other nephrotoxic
drugs; adjust doses accordingly.

Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat
badan dan usia (mg/kg/dosis atau U/kg/dosis untuk dosis tertinggi diantara rentang
dosis) dan interval pemberian.14

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik
untuk neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut :11

 Umur 0-7 hari


- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100
mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau
- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV.
 Umur >7 hari
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5
mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau
- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.
Bayi dan anak

27
Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3
patogen umum: S. Pneumoniae, N. Meningitidis, dan H. Influenzae.14

Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines


for bacterial meningitis tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone
atau cefotaxime dianjurkan bagi mereka yang dicurigai meningitis bakteri,
dengan terapi ditargetkan berdasarkan pada kepekaan patogen terisolasi.
Kombinasi ini memberikan respon yang adekuat terhadap pneumococcus yang
resisten penisilin dan H. Influenzae B yang resisten beta-laktam. Perlu diketahui,
Ceftazidime mempunyai aktivitas yang buruk terhadap Pneumococcus dan tidak
dapat digunakan sebagai substitusi untuk cefotaxime atau ceftriaxone.14

Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis
yang lebih tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan
saraf pusat. Cefotaxime atau ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus
yang peka. Namun, bila S.Pneumonia terisolasi mempunya MIC yang lebih
tinggi untuk cefotaxime, dosis tinggi cefotaxime (300 mg/kg/hari) dengan
vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.14

Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang


resisten sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh
karena resiko kejang lebih rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon
(linezolid), masih dalam penelitian. Fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk
pasien yang tidak dapat menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal pada terapi
sebelumnya.14

Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih
vankomisin dan rifampisin untuk kuman S.Pneumoniae. Kloramfenikol juga
direkomendasikan pada pasien dengan meningitis meningococcal yang alergi
beta-laktam.14

Penilaian CSS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya
relaps atau rekrudesensi dari meningitis. H. Influenzae B dapat menetap pada

28
sekret nasofaring walopun setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut,
pasien harus diberikan Rifampisin 20 mg/kg dosis single selama 4 hari bila anak
dengan resiko tinggi tinggal di rumah ataupun pusat penitipan anak. N.
Meningitidis dan S.Pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring
setelah terapi meningitis berhasil.14

Antibiotic Dose (mg/kg/d) IV Maximum Daily Dose Dosing Interval

Ampicillin 400 6-12 g q6h

Vancomycin 60 2-4 g q6h

Penicillin G 400,000 U 24 million q6h

Cefotaxime 200-300 8-10 g q6h

Ceftriaxone 100 4g q12h

Ceftazidime 150 6g q8h

Cefepime* 150 2-4 g q8h

Imipenem † 60 2-4 g q6h

Meropenem 120 4-6 g q8h

Rifampin 20 600 mg q12h

*Minimal experience in pediatrics and not licensed for treatment of meningitis.


† Caution in use for treatment of meningitis because of possible seizures.

Tabel 4. Dosis antibiotik pada bayi dan anak dengan meningitis bakterial 14

Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi
dan anak dnegan meningitis bakterial sebagai berikut : 11

 Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-
300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
 Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau

29
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan
hasil kultur dan resistensi.

Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of


bacterial meningitis adalah sebagai berikut :14

 N meningitidis - 7 hari
 H influenzae - 7 hari
 S pneumoniae - 10-14 hari
 S agalactiae - 14-21 hari
 Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
 L monocytogenes - 21 hari atau lebih
Terapi Deksametason

Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis


bakterial yang menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses
inflamasi, penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit
didapatkan kerusakan otak.14

Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H. Influenzae B
yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens
gejala sisa neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan
pendengaran. Oleh karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan
deksametason pada kasus meningits oleh H. Influenzae B 10 – 20 menit sebelum
atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 – 0,6 mg/kg setiap 6 jam
selama 2-4 hari.1,14

Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke


Susunan Saraf Pusat (SSP). Oleh karena itu pemberiannya harus dengan
pemikiran yang matang berdasarkan kasus, resiko dan manfaatnya.14

Bedah
30
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi
seperti empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus.11

Meningitis Tuberkulosis

Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics diberikan 4


macam obat selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin
selama 10 bulan. 9

Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi obat


anti-tuberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila
terdapat kejang, koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau
muntah-muntah dan fisioterapi. 9

Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut: 9

1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.


2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1000 mg/hari, atau
Streptomisin IM 20-30 mg/kg/hari maksimum 1 gram/hari.
Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu dilanjutkan dengan tappering
off untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari meningitis adalah sebagai berikut : 2


 Abses otak
 Ensefalitis
31
 Herpes Simplex
 Ensefalitis Herpes Simplex
 Neoplasma
 Kejang demam
 Subaraknoid Hemoragik
Komplikasi

Komplikasi dini :2

 Syok septik, termasuk DIC


 Koma
 Kejang (30-40% pada anak)
 Edema serebri
 Septic arthritis
 Efusi pericardial
 Anemia hemolitik
Komplikasi lanjut : 2

 Gangguan pendengaran sampai tuli


 Disfungsi saraf kranial
 Kejang multipel
 Paralisis fokal
 Efusi subdural
 Hidrocephalus
 Defisit intelektual
 Ataksia
 Buta
 Waterhouse-Friderichsen syndrome
 Gangren periferal

Kejang

32
Kejang merupakan komplikasi yang penting dan sering terjadi hampir 1 dari
5 pasien. Insidens lebih tinggi pada usia kurang dari 1 tahun, mencapai 40%. Pasien
meninggal akibat dari iskemik yang difus pada susunan saraf pusat atau dari
komplikasi sistemik. Walaupun dengan terapi antibiotik yang efektif, komplikasi
neurologis tetap terjadi pada 30% pasien.3

Edema Serebral

Beberapa derajat dari edema serebral sering terjadi pada meningitis bakterial.
Komplikasi ini merupakan penyebab penting kematian.3

Kelumpuhan saraf kranial dan infark serebri

Kelumpuhan saraf kranial dan efek dari terganggunya aliran darah otak,
seperti infark, merupakan penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial. Pada
kasus tertentu, pungsi lumbal atau insersi drain ventrikular diperlukan untuk
mengurangi efek dari peningkatan ini. Pada infark serebri, sel endotelial bengkak,
proliferasi ke dalam lumen pembuluh darah dan sel yang terinflamasi menginfiltrasi
dinding pembuluh darah. Nekrosis fokal pada dinding arteri dan vena memicu
terjadinya trombosis. Trombosis vena lebih sering terjadi dibandingakan arteri. 3

Kerusakan parenkim otak

Kerusakan parenkim otak dapat menyebabkan : 3

 Defisit sensoris dan motoris


 Serebral palsi
 Gangguan belajar
 Retardasi mental
 Buta kortikal
 Kejang

Serebritis

33
Inflamasi biasanya meluas sepanjang ruang perivaskuler sampai ke parenkim
otak. Biasanya, seribritis merupakan akibat dari penyebaran infeksi langsung, baik
akibat infeksi otorhinologik ataupun meningitis atau melalui penyebaran hematogen
dari fokus infeksi ekstrakranial. 3

Ventrikulitis

Infeksi pada system ventrikel primer atau sekunder penyebaran


mikroorganisem dari ruang subaraknoid karena pasang surut CSS atau migrasi
kuman yang bergerak. Komplikasi sering terjadi pada neonates, pernah dilaporkan
sampai 92% pada bayi dengan meningitis purulenta. Apabila ventrikulitis disertai
obstruksi aquaductus Sylvii, maka infeksinya menjadi stempat (terlokalisasi) seperti
abses, dengan peningkatan tekanan intracranial yang cepat dan dapat menyebabkan
herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan dengan antibiotic parenteral secara
massif, irigasi dan drainase secara periodic. 3

Efusi Subdural

Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap


ada setelah 72 jam pemberian antibiotic dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-
ubun besar tetepa membonjol, gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang
fokal atau umum, timbul kelainan neurologis fokal atau muntah-muntah. Diagnosis
ditegakkan dengan transiluminasi kepala atau pencitraan. Transiluminasi kepala
dinyatakan positif bila daerah translusen asimetri, pada bayi berumur kurang dari 6
bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan pada bayi berumur 6 bulan atau lebih
daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya efusi subdural mempunyai 4
kemungkinan: a. kering sendiri, bila jumlahnya sedikit; b.menetap atau bertambah
banyak; c. membentuk membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi empiema. 3

Pengobatan efusi subdural masih controversial, tetapi biasanya dilakukan tap


subdural apabila terdapat penenkanan jaringan otak, demam menetap, kesadaran
menurun tidak membaik, peningkatan tekanan intracranial menetap, dan empiema.
Dilakukan tap subdural tiap 2 hari (selang sehari) sampai kering. Kalau dalam 2
minggu tidak kering dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf untuk dikeringkan. Kalau

34
lebih dari 2 minggu tidak kering akan terbentuk membrane yang berasal dari fibrin
dan dapat menghalangi pertumbuhan otak. Membrane akan membentuk neovaskular
yang ujungnya menempel di korteks serebri dan dapat merupakan focus iritatif akan
timbulnya epilepsy di kemudian hari. Pengeluar cairan satu kali tap maksimal 30ml
pada kedua sisi. Cairan yang keluar pada permulaan berwarna xantokrom, setelah tap
beberapa kali menjadi kuning muda. 3

Gangguan cairan dan elektrolit

Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia


(edema), oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena
SIADH, sekresi ADH berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan meninmbang ulang
pasien, memeriksa elektrolit serum, mengukur volume dan osmolaritas urin dan
mengukur berat jenis urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian cairan, pemberian
diuretic (furosemid). Pada pasien berat dapat diberikan sedikit natrium. 3

Tuli

Kira-kira 5-30% pasien meningitis bacterial mengalami komplikasi tuli


terutama apabila disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh
karena infeksi telinga tengah yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli
sensorineural. Tuli sensorineural lebih sering disebabkan oleh karena sepsis koklear
daripada kelainan N.VIII. Gangguan pendengaran dapat dideteksi dalam waktu 48
jam sakit dengan BAEP. Biasanya penyembuhan terjadi pada akhir minggu ke-2,
tetapi yang berat menetap. 3

Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi gangguan


pendengaran apabila diberikan sebelum pemberian antibiotic dengan dosis
0,6mg/kgBB/hari intravena diabgi 4 dosis selama 4 hari. Komplikasi lain berupa
hidrosefalus, kejang, hemiparesis, tetraparesis, dan retardasi mental. Pada
hidrosefalus dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf untung pemasangan pirau
ventrikulo-peritoneal.3

35
Prognosis

Meningitis bakterial

Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain: 1
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir
yang menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC
mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun
kurang adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi
yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal. 1
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang
adekuat dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat
diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-
bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan meningokok angka kematian dapat
diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis 9-
38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah
pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain
disesuaikan dengan temuan klinis pada saat itu.1,9

Meningitis Tuberkulosis

Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis


tuberkulosis hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat
diturunkan walaupun masih tinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus.
Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat. Gejala sisa masih tinggi pada anak
yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang berobat dalam stadium lanjut.
Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata dan pendengaran.
Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang. Keterlibatan

36
hipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat
permulaan pengobatan umumnya menentukan hasil pengobatan. 9

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 2018. h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview.
3. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
2038-47.
4. Lewis DW. Ensefalitis. Dalam: Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE (ed).
Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Ed 6. Singapura: Elsevier; 2014. h 746-8.
5. Howes DS. Encephalitis. 12 Oktober 2015. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/791896-overview#a1, 7 Januari 2016.
6. Thompson C, Kneen R, Riordan A, Kelly D. Pollard AJ. Encephalitis in children. Arch Dis
Child. 2012; 97(2): 150-161.
7. Anonymus. 2013. Referat Meningitis. Jakarta : Scribd.
8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian
Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
10. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5 th ed. Philadelphia : Elvesier saunders; 2005. h.
106-13.
11. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1.
Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
12. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview.
13. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August 6th,
2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html.
14. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview.
15. Infeksi sistem saraf pusat. Dalam: Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2006. h
362-3.

38

Anda mungkin juga menyukai