Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Kekerasan


Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga
Secara ringkas, adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau
ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak
atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau
perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan. Adapun
pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1
Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan dapat disarikan
sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di
depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).
Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran
reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara
suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi
kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.
Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat
dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga yaitu:
1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau
perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat
pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar
melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.
Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan
hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada
kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim
membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai
saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan
istri adalah ibu rumah tangga. Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk
mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan
tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa
atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351
s.d. 355 KUHP.
Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23
Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22
September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa,
baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini
diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian
kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan
masyarakat.
Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004
yaitu: “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.

2.2 Karakteristik Kekerasan dalam Keluarga


Menurut Soetarso (Huraerah, 2006:57) beberapa karakteristik kekerasan dalam
keluarga sebagai berikut:
1. Semua bentuk kekerasan dalam keluarga menyangkut penyalaahgunaan kekuatan.
Pola yang umum terjadi adalah salah gunakannya kekuatan oleh yang paling kuat
terjadi yang lemah. Perbedaan kekuataan ini dapat berupa ukuran dan kekuatan fisik
maupun status.
2. Adanya tingkatan kekerasan, ada yang ringan sampai sangat berat atau fatal.
3. Kekerasan dilakukan berkali-kali, maka kekerasan akan terus berlangsung dan
bertambah berat.
4. Kekerasan dalam keluarga umumnya berlangsung dalam konteks penyalahgunaan dan
eksploitasi psikologis.
5. Kekerasan dalam keluarga mempunyai dampak negatif terhadap semua anggota
keluarga atau rumahtanga, baik yang terlihat dalam kekerasan maupun tidak.

2.3 Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah
ini yaitu:
1. Kekerasan fisik, langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan
vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya
berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga
dan lain-lain, serta berlaku kasar.
2. Kekerasan psikologis, Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan Seksual, Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu. Tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
4. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau
membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri
bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun
pengadilan memutuskan.
5. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.
Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik,
psikologis, maupun ekonomis. Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk
kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah
suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat
merugikan pasangan.
2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu
penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan
sebagai berikut:
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk
sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri
adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang
memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya
bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungan ekonomi
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk
menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun
tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya
dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-
anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada
istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah
tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan,
ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan
tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak
melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel
maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas
membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam
menyelesaikan problem rumah tangganya.
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah
tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi
lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan,
penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja,
dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan
dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa
di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau
terbelakang dan dikekang.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa
frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya.
Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang :
1. Belum siap kawin.
2. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi
kebutuhan rumah tangga.
3. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua
atau mertua.
Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan
perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan
memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum. Pembicaraan
tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari
pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan
korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya
kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP
membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia
hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan,
sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

2.5 Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak
pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung
dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya,
maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah
keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak
terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya. Menurut hasil penelitian
tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi
anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak
tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi
masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah
terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika
bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat,
dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses
sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan
penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahaman
seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan
kekerasan.
2. Tidak perlu menghormati perempuan.
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan
wajar.
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar
dan baik-baik saja
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana
disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan
lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari
kekerasan.
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat
anak terkucil.
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua.
Menurut Suharto (Huraerah, 2006:44) tindakan kekerasan dapat menyebabkan anak
kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya
berdampak sangat serius pada kehidupan anak dikemudian hari, antara lain:
1. Cacat tubuh permanen
2. Kegagalan belajar
3. Ganguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan
4. kepribadian
5. Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk
6. mempercayai atau mencintai orang lain
7. Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina
8. hubungan baru dengan orang lain
9. Agresi dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal
10. Menjadi penganiaya ketika dewasa
11. Menggunakan obat-obatan atau alkohol
12. Kematian
2.6 Dinamika Kekerasan Keluarga terhadap Dampak Psikologis Anak
Keluarga atau rumah tangga adalah fondasi primer bagi kepribadian, dan tingkah
laku anak (Anggadewi, 2007:27). Sikap serta perilaku anak yang telah atau akan
terbentuk dimulai dari keluarga yang juga merupakan inti dari masyarakat. Sehingga
nantinya anak dapat tumbuh kembang secara wajar dan memiliki cukup bekal untuk
kemudian terjun di dalam masyarakat ketika dewasa. Keluarga yang memiliki hubungan
antar anggota yang hangat dan cukup kasih sayang akan menciptakan perilaku maupun
kepribadian yang baik pada anak, sebaliknya keluarga dengan suasana yang tidak
harmonis dan rentan dengan kekerasan dapat mengancam kestabilan tumbuh kembang
anak. Anak mendapatkan perlindungan serta kasih sayang dalam keluarga.
Menurut Anggadewi (2007:29) menjelaskan tindakan kekerasan yang melampaui
batas dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan anak terutama perkembangan
psikologisnya. Pada proses perkembangannya, anak seringkali memiliki emosi yang
tidak stabil atau terjadi ketidakseimbangan karena anak “keluar fokus” Artinya, anak
mudah terbawa ledakan-ledakan emosi sehingga seringkali sulit dibimbing dan
diarahkan. Akan semakin parah ketika pada masa-masa kritis tersebut anak mengalami
perlakuan kekerasan, akibat dari perlakuan tersebut anak merasa diremehkan dan merasa
tidak aman sehingga memunculkan konflik-konflik dalam diri anak seperti konflik-
konflik yang bersifat neurotik.
Kekerasan merupakan suatu stimulus yang berulang dan semakin diperkuat sehingga
mengembangkan permasalahan-permasalahan psikologis. Kekerasan dalam bentuk
apapun termasuk kekerasan fisik serta psikis yang dalam keluarga memiliki konsekuensi
yang berat bagi anak. Anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga membawa
berbagai macam konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi tersebut antara lain konsekuensi
psikologis serta fisik sehingga menimbulkan dampak-dampak yang buruk bagi anak.
Kekerasan orang tua dapat berdampak pada fisik yang berupa luka ringan atau kecil
seperti lecet, luka berat, sampai pada kematian.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan kekerasan yang
melampaui batas dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan anak terutama
perkembangan psikologisnya.
2.7 Penanganan Psikologi Pada Anak Karena Kasus KDRT
Menurut Psikolog Orley Charity Sualang, S.Psi, MA ada beberapa langkah yang
perlu dilalukan untuk mengatasi trauma tersebut.
1. Anggota keluarga perlu melakukan pendekatan yang baik kepada anak ketika
berbicara tentang kejadian atau peristiwa kekerasan tersebut.
2. Anggota keluarga perlu meyakinkan si anak bahwa ia sekarang ini aman, karena
bersama dengan keluarganya. Anggota keluarga juga bisa memberitahu kepada anak
tentang cara menciptakan keamanan di dalam keluarga.
3. Berikan perhatian extra kepada anak dan kemampuan mendengar aktif untuk
mengurangi rasa kecemasan atau ketakutan karena kejadian KDRT.
4. Bantu si anak untuk mengungkapkan perasaannya serta berikan empati yang tinggi
kepadanya, guna mengurangi kegelisahan atau stres yang dia alami dan berikan
informasi yang benar apabila anak salah paham tentang kejadian KDRT.
5. Berikan kasih sayang yang penuh pada anak dan tunjukkan keteladanan dalam hal
penguasaan diri, ketika mengalami masalah, sehingga anak belajar untuk mengontrol
perasaan mereka.
6. Dekatkan diri anak dengan Tuhan melalui ibadah, dan ajak anak melihat hikmah dari
suatu peristiwa yang terjadi," bebernya.
Sumber Pustaka

Aisyah, Peranan LSM Dalam Perilaku Korban Kekerasan Terhadap Perempuan, (Skripsi,
UNNES, 2004).

Ahmadi, Abu. 2009. Psikologi Sosial, Jakarta: Rineka Cipta.

Anggadewi, B. 2007. Studi Kasus tentang Dampak Psikologis Anak Korban Kekerasan
dalam Keluarga.Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta.

Anggraini, RD.2013. Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga: Unej Kalimantan.

Fudyartanta Ki. 2011. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gunarsa, Singgih. 1976. Psikologi untuk Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.

Kartono, Kartini. 1982. Peranan Keluarga Dalam Memandu Anak, Sari Psikolog Terapan.
Jakarta: Rajawali.

Anda mungkin juga menyukai

  • Makalah Fix Kel Ruptur Uteri
    Makalah Fix Kel Ruptur Uteri
    Dokumen40 halaman
    Makalah Fix Kel Ruptur Uteri
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Kebidanan Pra Konsepsi
    Asuhan Kebidanan Pra Konsepsi
    Dokumen12 halaman
    Asuhan Kebidanan Pra Konsepsi
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Askeb PNC Ny S
    Askeb PNC Ny S
    Dokumen29 halaman
    Askeb PNC Ny S
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Askeb Anc Ny L
    Askeb Anc Ny L
    Dokumen38 halaman
    Askeb Anc Ny L
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Askeb BBL 2
    Askeb BBL 2
    Dokumen32 halaman
    Askeb BBL 2
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Askeb Inc Ny S
    Askeb Inc Ny S
    Dokumen38 halaman
    Askeb Inc Ny S
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Askeb Anc Ny F
    Askeb Anc Ny F
    Dokumen36 halaman
    Askeb Anc Ny F
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Koreksi Program Bermain
    Koreksi Program Bermain
    Dokumen44 halaman
    Koreksi Program Bermain
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Jurnal KB
    Jurnal KB
    Dokumen7 halaman
    Jurnal KB
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Artikel KB Suntik 3 Bulan
    Artikel KB Suntik 3 Bulan
    Dokumen10 halaman
    Artikel KB Suntik 3 Bulan
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Telaah Artikel Jurnal Ilmiah
    Telaah Artikel Jurnal Ilmiah
    Dokumen5 halaman
    Telaah Artikel Jurnal Ilmiah
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Anemia
    Leaflet Anemia
    Dokumen3 halaman
    Leaflet Anemia
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Format Asuhan Kebidanan Pada Nifas
    Format Asuhan Kebidanan Pada Nifas
    Dokumen3 halaman
    Format Asuhan Kebidanan Pada Nifas
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Proposal Napza
    Proposal Napza
    Dokumen29 halaman
    Proposal Napza
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat
  • Antepartum Bleeding
    Antepartum Bleeding
    Dokumen31 halaman
    Antepartum Bleeding
    P17312205059 BETA RIYADUS SHOLIHAH
    Belum ada peringkat