Disusun oleh:
Fadjrin Yahya
119810019
Pembimbing:
dr. Irma Yasmin, Sp.KK
REFERAT
KELAINAN KULIT PADA HIV/AIDS
Disusun Oleh:
Fadjrin Yahya
119810019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikankan referat yang berjudul “Kelainan Kulit
pada HIV/AIDS”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
tugas Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di Rumah
Sakit Umum Daerah Tegurejo Semarang. Kami menyadari sangatlah sulit bagi kami
untuk menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak
penyusunan sampai dengan terselesaikannya referat ini. Bersama ini kami
menyampaikan terimakasih yang sebesar- besarnya serta penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada:
1. dr. Catur Setiya Sulistiyana, M.Med.Ed selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yang telah memberikan sarana dan
prasarana kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan
baik dan lancar.
2. dr. Sri Windayati Hapsoro., Sp.KK, dr. Irma Yasmin., Sp.KK, dr. Agnes Sri
Widajati., Sp.KK, selaku pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga,
dan pikiran untuk membimbing kami dalam penyusunan laporan kasus ini.
3. Orang tua beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan do’a, dukungan
moral maupun material.
4. Serta pihak lain yang tidak mungkin kami sebutkan satu-persatu atas bantuannya
secara langsung maupun tidak langsung sehingga laporan kasus ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
ii
Fadjrin Yahya
iii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Tuberculosis), mata (Cytomegalovirus), mulut dan saluran napas
(Candidiasis), usus (Cytomegalovirus, Mycobacterium avium complex), alat
kelamin (Herpes genitalis, Human papillomavirus), dan kulit (Herpes
simplex). Kondisi Indonesia yang beriklim tropis dengan tingkat kelembaban
udara relatif tinggi membuat berbagai jenis kuman mudah berkembang biak
dan dapat berpengaruh pada jumlah infeksi tersebut.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus
tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung
dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang
berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan
demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.4
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari
sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut
dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak
seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa
inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium
kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
“window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat
gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada
sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-
6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil
penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun
dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).4
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV
akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak
akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga
penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.4
4
melibatkan cairan tubuh tersebut, yakni hubungan seksual, jalur pemindahan
darah (alat suntik, tato, tindik, alat bedah, alat cukur dan melalui luka kecil di
kulit), transplantasi organ, dan dari ibu yang terinfeksi ke bayi yang
dilahirkannya 4
2.4 Gejala dan stadium klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV) /
Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS)
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan
klasifikasi klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk
keperluan surveilans epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV positif
dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.3
Tabel 1 : Gejala mayor dan minor infeksi HIV/AIDS.3
Gejala Mayor Gejala Minor
Berat badan menurun >10% dalam 1 Batuk menetap > 1 bulan
bulan
Diare kronik berlangsung > 1 bulan Dermatitis generalisata
Demam berkepanjangan > 1 bulan Herpes zooster multisegmental dan
berulang
Penurunan kesadaran Kandidiasis orofaringeal
Demensia/HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat
kelamin wanita
Rinitis Cytomegalovirus
5
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
III Penurunan berat badan >10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
TB Paru dalam 1 bulan terakhir
Limfadenitis TB
Infeksi bakterial berat
Anemia (<8gr/dl), trombositopenia kronik
IV Sindroma wasting (HIV)
Pneumoni Pneumocytis
Pneumoni bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan
Kandidiasis esofagus
Herpes simpleks ulseratif > 1 bulan
Limfoma
Sarkoma kaposi
Kanker serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
6
dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila
hasilnya juga positif, dilakukan tes ulang karena uji ini dapat memberikan hasil
positif-palsu atau negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan
seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik
lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha untuk
mengendalikan infeksi. 6
2.6 Terapi Antiretrovirus
Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong
suatu revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping
dan resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka
mortalitas dan morbiditas akibat HIV/AIDS. 4
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang
dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga
jenis antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dapat
dilihat pada tabel di bawah ini 4
7
Tabel 3 HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy)
Golongan Obat dan Mekanisme Kerja Nama Obat
Nucleoside Reverse Transcriptase Abacavir (ABC)
Inhibitor (NRTI) Didanosin (ddl)
Menghambat reverse transcriptase Lamivudine (3TC)
HIV, sehingga pertumbuhan rantai Stavudine (d4T)
DNA dan replikasi HIV terhenti Zidovudine (ZDZ atau AZT)
Nonnucleoside Reverse Transcriptase Nevirapin (NVP)
Inhibitir (NNRTI) Efavirenz (EFV)
Menghambat transkripsi RNA HIV
menjadi DNA
Protease Inhibitor (PI) Indinavir (IDV)
Menghambat protease HIV, yang Ritonavir (RTV, r)
mencegah pematangan virus HIV Lopinavir (LPV)
Nelvinavir (NFV)
Saquinavir (SQV)
8
Di beberapa negara seperti Australia, Eropa Barat, dan Amerika Utara,
terdapat penurunan angka infeksi oportunistik dan keganasan kulit pada pasien
HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan di negara tersebut sudah sangat tinggi akses
untuk mendapatkan HAART (highly active antiretroviral therapy).10 Secara
global, lebih dari 95% penderita HIV belum mempunyai akses intervensi
pengobatan sehingga banyak manifestasi kulit yang berkaitan dengan penyakit
HIV menjadi kronis dan progresif. 4
2.7.2 Jenis Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS
Kelainan kulit yang terjadi pada pasien HIV/AIDS sangat banyak
dengan spektrum yang sangat luas.4 Kelainan kulit tersebut meliputi:
a) Infeksi oportunistik
Infeksi oportunistik terjadi akibat pertumbuhan berlebih flora normal
Candida albicans, peningkatan kolonisasi (Dermatofitosis), reaktifasi
infeksi laten virus (virus Herpes) atau perubahan infeksi subklinis menjadi
klinis. Selama tujuh tahun terakhir telah terjadi penurunan prevalensi
infeksi oportunistik karena terapi HAART.8Infeksi oportunistik menjadi
lebih sering terjadi pada penyakit HIV stadium lanjut yang tidak diobati.
Infeksi oportunistik meliputi:
a. Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang
paling sering menyebabkan infeksi kutaneus maupun sistemik
8
pada penyakit HIV. Insidensi stafilokokus primer termasuk
selulitis, impetigo, folikulitis, furunkel, dan karbunkel. Bakteri
oportunistik lainnya adalah Bartonella henselae yang
menyebabkan Bacillary Angiomatosis dengan lesi angioproliferatif
menyerupai cherry hemangioma atau Sarkoma Kaposi.
Mikroorganisme lainnya adalah Helicobacter cinaedi dan
Pseudomonas Aeruginosa dengan gambaran klinis selulitis. 4
Selulitis sering terjadi pada bagian tungkai, walaupun bisa
terdapat pada bagian tubuh lain. Daerah yang terkena menjadi
9
eritema, terasa panas dan bengkak, serta terdapat lepuhan-lepuhan
pada daerah nekrosis.11
10
Banyak studi secara konsisten menunjukkan adanya
peningkatan kejadian HPV pada pasien HIV4 dan tidak terjadi
penurunan jumlah kasus walaupun telah mendapat terapi HAART
(8).
Gambaran klinis adalah veruka atau kutil, yaitu neoplasma jinak
pada epidermis. Veruka biasa (common wart) mempunyai
gambaran seperti kembang kol dan sering pada tangan. Pada
daerah punggung tangan dan wajah (plane wart) kutil ini kecil, rata
bagian atas, dan kemerahan sedangkan di telapak kaki kutil
bergerombol (mosak). Kutil kelamin (anogenital wart) atau dikenal
dengan kondiloma akuminata dapat timbul dalam vagina, uretra,
serviks, vulva, penis, dan anus.8
11
Oral Hairy Leukoplakia (OHL) merupakan lesi spesifik
pada penyakit HIV yang disebabkan oleh virus Ebstein-Barr. OHL
merupakan salah satu tanda untuk menilai progresifitas penyakit.
OHL memberikan gambaran hiperplasia, plak epitelial berwarna
keputihan pada bagian lateral lidah, biasanya bilateral tetapi tidak
simetris. Diagnosis OHL dibuat berdasarkan penemuan klinis,
tetapi jika diagnosis tidak pasti perlu dikonfirmasi dengan biopsi.4
12
pencernaan.8 Pada orang dewasa, Kandidiasis sering muncul di
lidah, orofaring, esofagus, sudut mulut (keilitis angular), kuku
(paronikia), balanitis, dan vulvovaginitis. Pada anak- anak ,
kandidiasis sering pada daerah persendian dan napkin area.
Diagnosis ditegakkan dari apusan dan kultur kerokan kulit dan
potongan kuku yang terkena.11
Kandidiasis orofaring menimbulkan rasa nyeri yang
menyebabkan kesulitan asupan makanan. Akibatnya terjadi
penurunan kualitas hidup dan berpengaruh buruk terhadap sistem
imunitas tubuh yang memang telah terganggu. Kandidiasis
orofaring merupakan salah satu HIV-defining illness yang dapat
muncul bahkan pada kadar CD4+ dalam batas normal.13
13
menyebabkan alopesia. Dermatofitosis pada pasien HIV/ AIDS
lebih sulit untuk diobati dan rekuren. Diagnosis ditegakkan dari
kultur dan hapusan daerah yang terinfeksi. 10
14
Gambar 7. Kriptokokus Diseminata pada Pasien HIV/AIDS.10
b) Neoplasma Oportunistik
a. Sarkoma Karposi
Sarkoma Kaposi adalah penyakit yang multisentrik
angioproliferatif dan merupakan tumor yang sering didapatkan
pada infeksi HIV. Kelainan ini muncul pada pasien dengan kadar
CD4+ < 800 sel/μl. Lesi biasanya berupa makula, papula, pustula,
nodul, atau plak. Kelainan ini merupakan salah satu tanda khas
infeksi HIV. Namun beberapa penelitian yang dilakukan di Asia
tidak mendapatkan pasien HIV/AIDS yang mempunyai kelainan
kulit Sarkoma Kaposi.4
15
Reaksi obat sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi
obat sulfonamide. Gambaran klinis berupa erupsi makula papular yang
menyebar luas. Gambaran lain dapat berupa urtikaria, eritema
multiformis, dan reaksi sistemik lainnya. Antibiotik seperti penisilin dapat
menyebabkan reaksi yang lebih berat pada pasien HIV. Obat- obat
antiretrovirus merupakan penyebab tersering kelainan kulit akibat erupsi
obat. Karena itu, perlu dilakukan pemilihan kombinasi obat retrovirus.4
16
PPE merupakan salah satu kelainan kulit yang khas pada
pasien HIV/AIDS. Kelainan kulit ini didapati pada 85% pasien
HIV/AIDS. Lebih dari 80% kasus didapati pada pasien yang
memiliki kadar CD4+ kurang dari 100 sel/μl. Lesi pada kulit
berupa papul urtikaria berbatas tegas yang gatal. Eritema
menyebar pada leher, ekstremitas, dan wajah. Kadang, lesi
didapati berupa ekskoriasi dan hiperpigmentasi akibat garukan.8
d. Psoriasis Vulgaris
Proses patologis merupakan gabungan dari hiperproliferasi
(11).
epidermis dan akumulasi sel radang Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan histopatologi. Lesi kulit yang
pertama kali timbul biasanya pada tempat- tempat yang mudah
terkena trauma, antara lain: siku, lutut, sakrum, kepala, dan
genitalia. Lesi kulit berupa makula eritematus dengan batas jelas,
tertutup skuama tebal dan transparan yang lepas pada bagian tepi
17
dan lekat di bagian tengah. Bisa terjadi kelainan kuku, di mana
permukaan kuku menjadi keruh, kekuningan dan terdapat
cekungan (pitting), menebal, dan terdapat subngual hyperkeratosis
sehingga kuku terangkat dari dasarnya.4
f. Fotosensitif
Fotosensitif pada pasien HIV/AIDS lebih sering disebabkan
obat antiretrovus. Gambaran klinis tampak pada wajah, area “vee”
leher, lengan dan tungkai, dan bagian tubuh lainnya yang sering
terpapar cahaya matahari.12
18
Gambar 13. Fotosensitif pada lengan, wajah, dan leher.12
e) Xerosis / Kulit Kering
Xerosis sering ditemui sebagai komplikasi dari penyakit defisiensi
imun. Pasien mengeluh kering dan gatal yang menjadi lebih buruk oleh
banyak stimulus. Prevalensi kulit kering pada penderita HIV menurun
setelah adanya HAART, namun terkadang dapat terlihat pada pasien yang
mengkonsumsi obat indinavir.8
2.7.3 Penatalaksanaan Kelaianan Kulit Pada HIV/AIDS
a. Dermatofitosis
19
gliseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg/hari selama
10 hari sampai 2 minggu. Ketokonazol merupakan kontrakindikasi ntuk
kelainan hepar.14
b. Kandidosis
3) Pengobatan sistemik
20
dengan kandidemia atau kandidosis invasif (dosis 100-
400mg/hari). Pilihan lain adalah itrakomazol dengan dosis harian
200mg/hari 14
c. Herpes zoster
21
maupun sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini
memberikan efek sebagai imunomodulator. Sebelum memilih regimen
pengobatan, penting untuk menilai perluasan serta derajat keparahan
psoriasis. 14
Pada dasarnya, mayoritas kasus psoriasis terbagi menjadi tiga
bagian besar yaitu gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang
merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Psoriasis gutata
biasanya mengalami resolusi spontan dalam waktu 6 sampai 12 minggu.
Kasus psoriasis gutata ringan seringkali tidak membutuhkan pengobatan,
tetapi pada lesi yang meluas fototerapi dengan menggunakan sinar
ultraviolet (UV) B serta terapi topikal dikatakan memberikan manfaat. 1
25 Psoriasis eritrodermik/pustular biasanya disertai dengan gejala
sistemik, oleh karena itu diperlukan obat-obatan sistemik yang bekerja
cepat. Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis
eritrodermik/pustular adalah asitretin. Pada beberapa kasus psoriasis
pustular tertentu, penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin
diperlukan. Pada psoriasis plak yang kronis, pemberian terapi dilakukan
berdasarkan perluasan penyakit. Untuk psoriasis plak yang ringan (10%
luas permukaan tubuh) dapat diberikan terapi lini pertama seperti pada
psoriasis ringan sedangkan lini keduanya dapat berupa pengobatan
sistemik misalnya metotreksat, asitretin, serta agen-agen biologi seperti
alefacept dan adalimumab. Untuk plak psoriasis berat (>30% luas
permukaan tubuh), terapi terutama menggunakan obat-obat sistemik.14
e. Dermatitis Seboroik
22
Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah
sebum pada kulit dapat dilakukan dengan mencuci wajah
berulang dengan sabun lunak, pertumbuhan jamur dapat
dikurangi dengan krim imidazol dan turunannya, bahan
antimikotik di daerah lipatan bisa ada gejala.
Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam
salisilat atau sulfur.
Pengobatan simtomatik dengan kortikosteroid topikal potensi
sedang, imunosupresan topikal terutama untuk daerah wajah
sebagai pengganti kortikosteroid topikal.
Metronidazol topikal, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil
peroksida dan salep litium suksinat 5%14
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus
bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan
tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut
limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus
Lentivirus.10,17 Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh
menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi.2 Tingkat
HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan
indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired
Imunnodeficiency Syndrome)
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan
oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV.19 Sebagian besar
orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan
menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS
diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan
oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4
tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling
terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar
keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh
orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati.
Orang dengan penyakit HIV/AIDS dapat mengalami infeksi
oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi akibat adanya kesempatan
untuk muncul pada kondisi – kondisi tertentu yang memungkinkan, yang
bisa disebabkan oleh organisme non patogen. Infeksi ini dapat menyerang
otak (Toxoplasmosis, Cryptococcal), paru – paru (Pneumocytis
pneumonia, Tuberculosis), mata (Cytomegalovirus), mulut dan saluran
napas (Candidiasis), usus (Cytomegalovirus, Mycobacterium avium
24
complex), alat kelamin (Herpes genitalis, Human papillomavirus), dan
kulit (Herpes simplex). Kondisi Indonesia yang beriklim tropis dengan
tingkat kelembaban udara relatif tinggi membuat berbagai jenis kuman
mudah berkembang biak dan dapat berpengaruh pada jumlah infeksi
tersebut.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
12. Meurman J.H.,Siikala E,Richardson M,Rautemaa R., 2007. Non-Candida
albicans Candida yeast of the oral cavity. Comunicating Current Research and
Educational Topics and Trends In Applied Microbiology A.Mendez
Villaz(ed).
13. Patel Y, Umarigar D, Vasava B, Vara N, Patel N. Socio-demographicprofile
of HIV positive patients of mucocutaneous manifestation attending skin &
VD department of government medical college, Surat. Njcmindia 2013.
14. Djuanda S, Sularsito SA. Dermatitis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
27