Anda di halaman 1dari 22

KEPERAWATAN FORENSIK

Kekerasan Terhadap Anak

Di susun

Kelompok 2

Andi Adam : 70300117071

Andi Kurniawan : 70300117046

Muh. Reza Irsandi Putra : 70300117064

Muh. Fadli Rajab Minhadj : 70300117078

Bau Santi Nur : 70300117079

Mutmainnah : 70300117057

Hikma Sari : 70300117082

Erlinda : 70300117075

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah atas segala limpahan rahmat dan karunia dari Allah SWT.
sehingga pada kali ini kami dapat menyelesaikan tugas “Kekerasan Terhadap
Anak” dapat kami selesaikan dengan lancar. Tak lupa pula kita kirimkan salam
dan shalawat kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW nabi yang
membawa kita dari alam kebodohan menuju alam yang penuh dengan ilmu
dan peradaban.

Pada tugas “Kekerasan Terhadap Anak” ini berisi defenisi kekerasan


terhadap anak, jenis kekerasan pada anak, faktor penyebab kekerasan pada
anak, pemeriksaan fisik, photography, pengumpulan barang bukti, proses
keperawatan, standar keperawatan forensik, undang-undang anak, dan
perspektik islam terhadap anak.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih belum


sempurna sehingga kiranya dibutuhkan masukan, saran dan kritika dari para
pembaca, karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT.

Sekian

Jampea, 25 September 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Sampul

Kata pengantar........................................................................................... 1

Daftar isi..................................................................................................... 2

BAB I Pendahuluan..................................................................................... 3

BAB II Tinjauan pustaka.............................................................................. 5

BAB III Studi kasus..................................................................................... 15

BAB IV Exercise.......................................................................................... 16

BAB V Kesimpulan ...................................................................................... 18

Daftar Pustaka............................................................................................ 19

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Deskripsi
Forensik adalah suatu proses ilmiah yang didasari oleh ilmu
pengetahuan dalam mengumpulkan, menganalisa, dan menghadirkan
berbagai bukti dalam sidang pengadilan terkait adanya suatu kasus hukum.
(Amelia Kurniati, dkk, 2015)
Perilaku kekerasan merupakan tindakan negatif yang sering diterima
anak baik pada aspek emosional, verbal maupun fisik (Britis, 2012). Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Kekerasan terhadap anak adalah suatu bentuk tindakan atau
perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, misalnya
penyalahgunakan seksual, trafiking, penelantaran, yang mengakibatkan
kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelansungan
hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak (Permendikbud,
2015).
Kekerasan pada anak adalah setiap perbuatan pada anak yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,
seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum. (UU 35 Tahun 2014, Tentang Perlindungan Anak).
B. Tujuan Pembelajaran
1. Untuk mengetahui defenisi kekerasan pada anak.
2. Untuk mengetahui jenis kekerasan pada anak.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab kekerasan pada anak.
4. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik terhadap anak yang mengalami
kekerasan.
5. Untuk mengetahui photography kekerasan terhadap anak.
6. Untuk mengetahui pengumpulan barang bukti biologis dan barang
bukti temuan terhadap kekerasan pada anak.
7. Untuk mengetahui proses keperawatan kekerasan terhadap anak.
8. Untuk mengetahui standar praktik keperawatan foresensik terhadap
kekerasan pada anak.
9. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang kekerasan
terhadap anak.
10. Untuk mengetahui perspektif islam terhadap kekerasan pada anak.
C. Topik pembelajaran
Kekerasan terhadap anak.
D. Latar Belakang
Kasus kekerasan terhadap anakanak di Indonesia beberapa tahun ini
meningkat dengan sangat tajam. Menurut World Health Organization (WHO)
1 dari 4 orang dewasa melaporkan pernah mengalami kekerasan saat usia
anak/remaja, 1 dari 5 Perempuan dan 1 dari 13 Laki-laki melaporkan pernah
mengalami kekerasan seksual kekerasan saat usia anak/remaja, 12% anak-
anak didunia mengalami kekerasan seksual pada satu tahun terakhir, 37%

3
dari negara menerapkan intervensi pencegahan kejadian kekerasan seksual
pada skala yang lebih besar (Adawiah, 2015).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun (2015) melaporkan
perilaku kekerasan pada anak periode 2011 - 2015 meningkat sebesar 60 %,
maka dapat disimpulkan kejadian kekerasan pada anak baik di Indonesia
maupun di luar negeri rata - rata diatas 60%. Perilaku kekerasan langsung
meliputi aspek fisik dan verbal dialami oleh semua anak korban kekerasan.
Beberapa hasil penelitian menyebutkan di Amerika dalam rentang tahun 2014
- 2016 tercatat 40,8% secara fisik, 53,6% secara verbal. Komisi perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) menyatakan 43,5% kekerasan fisik, 41,3% secara
verbal. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumatra Barat mencatat 43%
siswa mengalami kekerasan fisik dan 35% siswa mengalami kekerasan verbal.
Dapat disimpulkan kekerasan pada anak sekolah diatas 40% baik dunia,
Indonesia dan khususnya Sumatera Barat.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Kekerasan pada anak
adalah setiap perbuatan pada anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. (UU 35 Tahun 2014,
Tentang Perlindungan Anak).
Kekerasan terhadap anak kerap terjadi, namun terkadang kita
melupakan asal perilaku kekerasan itu muncul. Tanpa disadari ternyata salah
satu penyebab perilaku kekerasan adalah kebiasaan yang timbul dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kekerasan bukan saja
terjadi dalam bentuk fisik namun juga dalam bentuk psikis yang mana
efeknya tidak terlihat oleh kasat mata seperti halnya kekerasan fisik. (Erwin
Asmadi, 2018, h. 43). Terjadinya kekerasan pada anak dipengaruhi oleh
beberapa factor yaitu peran keluarga/orang tua, berasal dari tingkah laku
anak sendiri, lingkungan, media massa, sistem pengajaran disekolah dan
budaya (Kurniasari,2015; Fitriana, Pratiwi dan Sutanto, 2015) sehingga
pentingnya peran orang tua, guru di sekolah sebagai sumber keamanan bagi
perkembangan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai mahluk
sosial.
Dalam UUD RI pasal 28B ayat 2 dinyatakan bahwa “setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. UU terterntu yang mengatur
dalam perlindungan anak antara lain: UU 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak, dan UU khusus yang mengatur tentang Protokol opsional
konvensi hak-hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak dan
pornografi anak dalam UU RI no 10 tahun 2012.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi
Forensik adalah suatu proses ilmiah yang didasari oleh ilmu
pengetahuan dalam mengumpulkan, menganalisa, dan menghadirkan
berbagai bukti dalam sidang pengadilan terkait adanya suatu kasus hukum.
(Amelia Kurniati, dkk, 2015)
Perilaku kekerasan merupakan tindakan negatif yang sering diterima
anak baik pada aspek emosional, verbal maupun fisik (Britis, 2012). Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Kekerasan pada anak adalah setiap perbuatan pada anak yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,
seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum. (UU 35 Tahun 2014, Tentang Perlindungan Anak).
B. Jenis kekerasan terhadap anak
1. Kekerasan terhadap anak menurut Kantor pusat layanan terpadu
pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) dan WHO (2002), yaitu:
a. Kekerasan fisik meliputi pukul, tendang, cubit, tampar, dan
sebagainya.
b. Kekerasan emosional meliputi kata-kata yang menakut-nakuti,
mengancam, menghina, mencaci maki dengan keras dan kasar.
c. Kekerasan sesksual meliputi pornografi, perkatan-perkataan porno dan
pelecehan organ seksual.
d. Pengabaian dan pelantaran meliputi segala bentuk kelalaian yang
melanggar hak anak dalam pemenuhan gizi dan pendidikan.
e. Kekerasan ekonomi yaitu mempekerjakan anak dibawah umur dengan
motif ekonomi dan prostitusi anak.
2. Jenis kekerasan menurut WHO
Sebagian besar kekerasan terhadapa anak-anak setidaknya melibatkan
satu dari enam jenias kekerasan intrapersonal yang cenderung terjadi
pada tahap perkembangan yang berbeda.
a. Penganiayaan (termasuk hukuman yang paling kejam) melibatkan
kekerasan fisik, seksual, emosional/ psikologi dan pengabaian
terhadap bayi, anak-anak, dan remaja baik oleh orang tua ataupun
pengasuh yang terjadi di rumah ataupun lingkungan sekitar dan
sekolah.
b. Penidasan (bullying) adalah perilaku agresif yang negatif yang
dilakukan oleh anak lain atau sekolompok anak-anak terhadap seorang
anak. Ini melibatkan gangguan fisik psikologis atau sosial yang sering
berulang. Ini terjadi dilingkungan sekolah dan media sosial.
c. Kekerasan remaja yang terkonsentrasi di kalangan anak-anak dan
dewasa muda usia 10-29 tahun, terjadi paling sering dalam
perkenalan komunitas dengan anak baru (panco), dengan serangan
fisik dan atau tanpa senjata, dan kekerasan antar kelompok (geng).

5
d. Kekerasan pasangan intim (kekerasan dalam rumah tangga),
melibatkan kekerasan fisik, seksual, dan emosiaonal yang biasa
dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan. Perempuan lebih
sering mengalami kekerasan ini meskipun laki-laki juga sebagain kecil
mengalaminya. Ini biasanya terjadi dalam pernikahan dini/paksa dan
orang-orang yang terlihat dekat tapi belum menikah (pacaran).
e. Kekerasan seksual yaitu hubungan seksual yang non konsensual
(tanpa kontrak) seperti perdagangan seksual dan eksploitasi melalui
media sosial.
f. Kekerasan emosional atau psikologis seperti membatasi gerak anak,
pencemaran nama baik, cemohan, ancaman dan intimidasi,
diskriminasi dan penolakan.
C. Faktor-faktor penyebab kekerasan pada anak
Gelles Richard J.(1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap
anak (Child Abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu :
1. Pewarisan kekerasan antar generasi (Intergenerational transmission of
violence)
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika
tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada
anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari
generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30%
anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orang tua yang
bertindak keras pada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai 3
persen dari semua individu menjadi orang tua yang tidak memperlakukan
kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan
salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model
perilaku mereka sendiri sebagai orang tua. Tetapi sebagian besar anak-
anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa
yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya
2. Stres sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan
risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi ini
mencakup pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi
perumahan yang buruk (poor housing condition) ukuran keluarga besar
dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the
presence of a new baby), orang cacat (disable person) di rumah. Dan
kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus
dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari
keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap
anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya. Tetapi
tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena
beberapa alasan.
3. Isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat bawah
Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan
kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali
orang tua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi
masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan
teman atau kerabat.

6
4. Struktur keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk
melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya
orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan
terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Selain itu, keluarga-
keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat
keputusan penting, seperti di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang
mau diambil, bilamana punya anak, dan beberapa keputusan lainnya,
mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan keluargakeluarga yang suami-istri sama-sama
bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
D. Pemeriksaan fisik, Photography, pengumpulan barang bukti biologis
dan kumpulan bukti kejadian, standar keperawatan forensik
1. Pemeriksaan fisik terhadap anak yang mengalami kekerasan
Pemeriksaan fisik terhadap adanya kecurigaan kekerasan pada anak,
yaitu sebagai berikut (Afif Nurul Hidayah, dkk, 2018):
a. Multiple subdural hematoma, terutama tanpa adanya fraktur tulang
tengkorak yang baru.
b. Perdarahan retina.
c. Trauma perioral.
d. Ruptur organ internal tanpa adanya tanda trauma tumpul mayor.
e. Trauma pada area genital atau perianal.
f. Bekas luka/ scar multiple dan tanda penyembuhan fraktur pada foto
rontgen.
g. Patah tulang panjang pada anak usia kurang dari 3 tahun.
h. Luka yang tidak wajar, seperti gigitan, luka bakar akibat rokik, dan
bekas tali.
i. Bekas luka bakar derajat dua atau tiga pada area yang tidak wajar.
Apabila kita menemukan kecurigaan terjadinya kekerasan pada
anak, tekhnik anamnesa sebaiknya tidak mengikutkan orang yang kita
curigai sebagai pelaku berada didalam satu ruangan dengan anak yang
mengalami kekerasan. Pada korban kekerasan seksual jika dilakukan
pemeriksaan fisik sebaiknya mempertimbangkan kodisi psikis anak
sehingga tidak menimbulkan trauma lebih lanjut. (American Collage Of
Surgeons, 2012 dalam Afif Nurul Hidayah, dkk, 2018)
Secara teoritis, anak-anak yang mempunyai resiko tinggi
mengalami tindak kekerasan, yaitu (Bagong Suyanto, 2019) :
a. Anak yang merupakan rintangan bagi orang tua atau pengasuhnya,
seperti anak-anak yang hiperaktif dan gangguan perkembangan.
b. Anak yang tidak dikehendaki.
c. Terlahir prematur.
d. Menderita penyakit kronis dan dirawat di rumah sakit dalam waktu
yang lama.
e. Retardasi mental.
f. Lahir cacat.
g. Gangguan tingkah laku atau kenakalan.
h. Anak-anak yang berada di keluarga yang bermasalah.

7
Selain memeriksa kondisi anak petugas kesehatan juga harus
memeriksa orang tua anak apabila telah dicurigai adanya tindak kekerasan
dan perlu mempertimbangkan apabila ditemui orang tua yang (Bagong
Suyanto, 2019):
a. Bercerita yang tidak jelas atau tidak masuk akal tentang terjadinya
luka.
b. Memberikan keterangan berulang-ulang tentang kejadian.
c. Bereaksi sangat berlebihan atau tidak bereaksi terhadap situasi
yang terjadi pada anaknya.
d. Bersikap yang tidak sesuai terhadap anak.
e. Selalu menuntut hal yang tidak realistis terhadap anak.
f. Memandang anak sebagai sesuatu yang berbeda.
g. Menuntut anak memenuhi kebutuhan orang tua
h. Menunjukkan rasa takut kehilangan kontrol
i. Menunjukkan adanya gangguan mental
j. Tampak dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan.
k. Menolak bekerja sama dengan petugas kesehatan.
Menurut fontana (1973) kita perlu curigai adanya penganiayaan anak
bila pada anak kita temui hal-hal sebagai berikut (Bagong Suyanto, 2019):
1. Anak tampak ketakutan terutama pada orang tua.
2. Anak dipisahkan dalam waktu yang lama.
3. Adanya kelainan kulit atau luka.
4. Luka-luka yang diobati dengan tidak semestinya.
5. Kekurangan gizi.
6. Diberikan makanan, minuman dan obat yang tidak semestinya.
7. Diberikan pakaian yang tidak semestinya/ tidak wajar.
8. Selalu menangis.
9. Terlalu hat-hati terhadap larangan orang tua.
2. Photography anak yang mengalami kekerasan
Langkah-langkah dalam pendokumentasian perlu mengikuti prosedur
untuk mendapatkan hasil yang akurat. Berikut prosedur dalam
pendokumentasian yaitu sebagai berikut:
a. Tentukan kebutuhan fotodokumentasi.
b. Persetujuan yang diinformasikan harus diperoleh. Tanda tangan
diperlukan di izin untuk fotografi atau izin umum untuk perawatan,
dan tanda tangan harus milik pasien, wali, atau pengasuh saat tiba
di UGD. Dalam kasus yang muncul ketika tanda tangan tidak dapat
diperoleh, persetujuan akan disiratkan.
c. Langkah-langkah dalam memfotodokumen cedera:
1) Ambil foto "sebelum-" dan "setelah pembersihan" dari semua
cedera. Ini paling penting dalam mencatat pola percikan darah,
residu tembakan, dan kotoran.
2) Ddata identifikasi, seperti nama pasien, tanggal, dan nomor
kasus, ditulis dengan jelas di selembar kertas dan difoto pada
pemaparan pertama dari gulungan film tertentu.
3) Ambil foto ukuran penuh yang menangkap wajah dan luka
pasien sehingga jelas bahwa trauma tersebut dialami oleh
korban dalam foto tersebut. Juga ambil foto lengkap bagian

8
belakang pasien dengan kepala menghadap ke kamera. Jaga
privasi klien.
4) Empat posisi anatomi utama yang harus dipertimbangkan oleh
fotodokumentasi yaitu anterior / posterior, posterior / anterior,
lateral kanan, dan lateral kiri.
5) Gambar wajah harus disertakan dalam kumpulan foto dan
dokumen pengenal (misalnya, surat izin mengemudi pasien)
dapat disertakan dalam gambar yang mengalami cedera.
6) Ambil foto tampilan tengah, termasuk wajah pasien, dan
tampilan lebih dekat dari sebanyak mungkin cedera pada foto
yang sama.
7) Ambil foto close-up dari setiap cedera.
8) Labeli setiap foto dengan tanggal dan waktu pengambilan,
nama rumah sakit, nomor rekam medis, dan nama fotografer.
9) Foto harus disimpan dalam rekam medis pasien dalam amplop
tertutup dengan pernyataan tertulis “foto luka pasien” atau
ditempatkan di halaman berlubang khusus untuk tujuan
dimasukkan dalam rekam medis. Jika cetakan diperoleh dari
negatif, negatif dianggap sebagai bukti utama, maka harus
disimpan dengan catatan bersama dengan cetakannya.
10)Jika memar yang luas diperkirakan akan muncul di kemudian
hari, dan pasien sedang mengantisipasi litigasi, pasien harus
disarankan untuk kembali ke unit gawat darurat, departemen
kepolisian, kantor pengacara, atau perusahaan asuransi dalam
waktu 72 jam untuk mengambil foto tambahan.
11)Menjamin rantai pengawasan untuk pemrosesan dan
pengambilan film.
12)Yakinkan bahwa dokumentasi akhir dan negatif dimasukkan ke
dalam rekam medis.

Doumentasi kekerasan pada anak

Memar pada
ekstremitas atas anak.

9
Lebam pada wajah.

Sumber : Carlos Roy Fajarta/ CAH


Dipukul oleh ayah
sendiri dan dikurung
dalam kamar mandi.

Sumber :TheAsianparent
Melakukan kekerasan
pada anak untuk
mengancam suaminya.

Sumber : TribunNews.com

10
Kedapatan mencuri
uang ibunya sehingga
sang ibu menyiksa anak
sampai koma.

Sumber : TribunNews.com
Ayah tiri menganiaya
anak hingga luka dan
lebam.

3. Pengumpulan barang bukti biologis dan kumpulan bukti kejadian


Dalam ilmu forensik, ada berbagai macam jenis-jenis barang bukti
yang berbeda yang bida dikumpulkan dan di analisis. Barang bukti forensic
ini dikumpulkan pada tempat kejadian perkara, dianalisis di laboratorium,
dan sering dipresentasikan dalam sebuah sidang. Setiap tempat kejadian
perkara (TKP) itu unik, dan setiap kasus juga bisa menghasilkan
tantangan-tantangannya sendiri. Berikut tabel mengenai bentuk-bentuk
dari barang bukti forensic :

Jenis barang bukti Contoh


DNA Darah, air liur, kulit
Jejak Serat, rambut, tanah
Toxicology (bahan kimiawi Darah, urin, jaringan
berbahaya)
Pathology Tulang, jaringan, darah
Digital Fotografi, gambar, sumber internet

11
Tayangan dan Pola Jejak kaki, senjata api, sidik jari,
Zat yang dikendalikan Narkotika, Opioid
Antropologi dan sesuatu yang Bekas gigitan, sisa-sisa kerangka
berhubungan dengan gigi

4. Standar keperawatan forensik


Standar keperawatan forensic adalah pernyataan otoritatif tentang
tugas semua perawat forensic, terlepas dari peran, populasi, atau khusus,
diharapkan tampil kompeten. Standar tersebut dapat berubah dengan
dinamika profesi keperawatan forensic dan pola baru dari praktik
professional dikembangkan dan diterima oleh profesi keperawatan forensic
dan masyarakat. Berikut standar keperawatan foresnik

a. Assessment ( penaksiran )
perawat forensic mengumpulkan data komprehensif yang berkaitan
dengan kesehatan pasien atau situasinya.
b. Diagnosis ( Diagnosa )
perawat forensic menganalisis data asesmen untuk menentukan
diagnosis atau masalah.
c. Outcomes identification ( identifikasi hasil )
perawat forensic mengidentifikasi hasil yang diharapkan untuk rencana
yang disesuaikan dengan pasien atau situasinya.
d. Planning ( perencanaan )
Perawat forensic mengembangkan rencana yang menetapkan strategi
dan alternative untuk mencapai kriteria hasil
e. Implementation ( implementasi )
Perawat forensic melaksanakan rencana yang telah diidentifkasi.
E. Proses keperawatan
Polisi menerima laporan kekerasan terhadap anak di Depok, Jawa
Barat. MH, 8 tahun, dilaporkan sering dianiaya kedua orang tuanya dan
memutuskan untuk kabur dari rumah, pekan lalu. Sudah diterima laporannya
di Polres Depok Jumat kemarin," ujar juru bicara Polda Metro Jaya, Kombes
Rikwanto, Senin, 26 Agustus 2013. Rikwanto menyatakan, laporan diterima
polisi setelah beberapa saksi melihat korban linglung usai dianiaya kedua
orang tuanya. Saksi yang menemukan korban di sebuah pusat perbelanjaan
di Depok, mendapat cerita korban sering dipukul menggunakan bambu oleh
ayahnya. Polisi bergerak cepat. Mereka mendatangi rumah korban dan
menyita bambu yang diduga digunakan untuk memukul korban. Dari tubuh
korban terlihat bekas kekerasan, seperti memar di punggung akibat pukulan
dan luka ringan di telinga akibat sering mendapat jeweran. Namun, hingga
kini kedua pelaku, SA (40 tahun) dan D (38 tahun), tidak ditahan. Alasannya,
pelaku masih memiliki tanggungan anak yang lain. "Ada empat anak, paling
besar 12 tahun," ujar Rikwanto. Proses hukum kasus ini masih berjalan.
Korban MH kini tinggal di tempat perlindungan kasus kekerasan anak. Bila
terbukti bermasalah, kedua orang tua korban terancam pidana tiga setengah
tahun karena melanggar Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.

12
Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan perawat dalam
menangani kasus kekerasan di aplikasi klinis yaitu dengan mengikuti langkah-
langkah sebagai berikut (Pyrek, 2006) :

1. Pengkajian
melakukan pengumpulan data pada korban, dengan cara:
a. Mengenali bukti Mengenali bukti dapat dilakukan dengan cara
mencari informasi tentang korban melalui observasi, melakukan
wawancara, konsultasi dan memandang pasien sebagai sumber
utama informasi yang objektif, menggali sumber-sumber
sekunder yang berasal dari pasien, keluarga dan rekan perawat.
Peran perawat forensik pada tahap ini adalah mengidentifikasi,
mengobati, merujuk korban, serta mengenali bukti-bukti yang
ada.
b. Mengumpulkan bukti Perawat forensik mengumpulkan bukti dan
memberikan kesaksian yang dapat digunakan dalam pengadilan
hukum untuk menangkap atau mengadili para pelaku yang
melakukan tindakan kekerasan (Finn, 2010). Penggumpulan
bukti kriminal dilakukan dengan cara:
1) Mengamankan pakaian korban, serta hal-hal yang bermakna
sebagai barang bukti.
2) Investigasi terhadap karakteristik luka. Pada kasus ini, luka
pada tubuh An. MH terdapat di punggung serta di telinga.
Pengkajian luka dilakukan untuk mengenali karakteristik, jenis,
dan luas luka.
3) Melakukan pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen
pengambilan specimen, atau USG pada An.MH
4) Mendokumentasikan bukti pada korban dengan foto.
a. Menyusun kronologis kejadian, dilakukan dengan membuat
runtutan kejadian berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan.
b. Membutuhkan kebijakan rumah sakit Protokol dan prosedur
diperlukan untuk menindaklanjuti bukti -bukti yang telah
dikumpulkan
Dari kasus diatas didapatkan hasil pengkajian
Nama : An. MH
Usia : 8 tahun
Data subjektif :
a. An MH mengatakan sering dianiaya oleh bapaknya
b. An MH mengatakan sering dipukul menggunakan bambu oleh
ayahnya
c. An MH mengatakan kabur dari rumah 2 minggu yang lalu
d. Saksi mengatakan An MH terlihat linglung usai dianiaya oleh
kedua orang tuanya
e. Saksi mengatakan menemukan korban di pusat perbelanjaan
Data Objektif :
a. Polisi mendatangi rumah korban dan ditemukan bambu yang
digunakan untuk memukul korban
b. Ditubuh An MH ditemukan bekas kekerasan

13
c. Terdapat memar di punggung An MH akibat pukulan
d. Terdapat luka ringan di telinga akibat sering dijewer
e. Orang tua An MH (Tn SA 40 tahun dan Ny. D 38) tahun tidak
ditahan dengan alasan pelaku masih mempunyai tanggungan 4
orang anak
f. Orang tua An MH (Tn SA 40 tahun dan Ny. D 38) terancam
hukuman pidana 3,5 tahun karena melanggar pasal 80 UU no 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak.
2. Dianosa
a. Ketidakmampuan menjadi orang tua
b. Resiko ketidakefektifan hubungan
c. Ketidakefektifan performa peran
d. Resiko pertumbuhna tidak proporsional
e. Nyeri akut
f. Kerusakan integritas kulit
F. Peraturan perundang-undangan
1. UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, Kekerasan pada anak
adalah setiap perbuatan pada anak yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
2. Dalam UUD RI pasal 28 B ayat 2 dinyatakan bahwa “setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. UU terterntu yang mengatur
dalam perlindungan anak antara lain: UU 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak, dan UU khusus yang mengatur tentang Protokol
opsional konvensi hak-hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak
dan pornografi anak dalam UU RI no 10 tahun 2012.
3. Undang-undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejateraan anak Pasal (9), yaitu Tanggung jawab orang tua atas
kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik
anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepadaorangtua, berbudi
pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berkemauan,
serta berkemampuan meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.
4. Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Bab III Pasal 5 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya.
a. Pasal 5 huruf a tentang kekerasan fisik yaitu perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka bakar.
b. Pasal 5 huruf b tentang kekerasan psikis yaitu perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Pasal 5 huruf c tentang kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap ruang lingkup rumah tangga dan

14
pemaksaan hubungan seksual dalam lingkup rumah tangga terhadap
orang lain untuk tujuan tertentu.
G. Perspektif islam terhadap kekerasan pada anak
Anak merupakan amanah dari Allah swt. Seorang anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah tanpa noda dan dosa. Orangtualah yang akan memberi
warna apapun dalam kehidupannya. Sebagaimana hadits Rasulullah saw;
yang berbunyi:
Terjemahan
Dari abu hurairah r.a katanya rasulullah saw. Bersabda: tidak seorang
jua pun bayi yang baru lahir lahir melainkan dalam keadaan suci. Maka
kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi yahudi, nasrani,
dan musyrik. Lalu bertanya seorang laki-laki, ‚ya rasulullah! Bagaimana kalau
anak itu mati sebelumnya (sebelum disesatkan orang tuanya)?‛ jawab beliau,
‚Allah jualah yang Maha Tahu apa yang telah mereka lakukan. (H>.R Muslim)
Perlindungan anak merupakan upaya yang harus terus dilakukan oleh
seluruh elemen. Bentuk-bentuk perlindungan anak inipun dilakukan dari
segala aspek, mulai pada pembinaan pada keluarga, kontrol sosial terhadap
pergaulan anak, maupun penanganan yang tepat mulai peraturan-peraturan
yang baik. Islam melarang terjadinya penelantaran terhadap anak. Isyarat
perlindungan anak yang dikehendaki Allah swt. Tertuang dalam firman-Nya
QS. An-Nisa (4) ayat 9, yang berbunyi :

Terjemahnya:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang
benar.
Sudah sangat jelas Islam mengajarkan sikap menghormati dan
menjaga kehidupan anak sebagaimana kehidupan manusia itu sendiri, Allah
berfirman dalam al-Qur’an surah Al-Isra’ /17:31 ;

Terjemahnya:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Islam telah mengatur hak-hak anak dari orang tuanya. Hak-hak anak
dari orang tua berarti kewajiban yang harus dipenuhi orangtua terhadap

15
anak-anaknya. Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, hadits Rasullullah saw,
maupun atsar sahabat. di antara hak-hak anak yang harus dipenuhi orang
tuanya adalah sebagai berikut:
a. Hak untuk hidup.(Q.S Al-An’am :151)
b. Pemberian nama yang baik.
c. Hak disembelihkan Aqiqahnya.
d. Hak menerima ASI Dua Tahun(Q.S Al-Baqarah:233 dan Q.S Lukman:14).
e. Hak makan dan minum yang baik.(Q.S Al-Baqarah:233).
f. Hak diberi rizqi yang ‘thayyib’.(Q.S Al-Maidah 88).
g. Hak mendapatkan pendidikan agama yang baik.
h. Hak mendapat pendidikan shalat.
i. Hak mendapat tempat tidur terpisah antara laki-laki dan perempuan.
j. Hak mendapat pendidikan dengan pendidikan adab yang baik.
k. Hak mendapat pengajaran dengan pelajaran yang baik.
l. Hak mendapat pengajaran al-Qur’an.
m. Hak mendapat pendidikan dan pengajaran baca tulis.
n. Hak mendapat perawatan dan pendidikan kesehatan.
o. Hak mendapat pengajaran keterampilan.
p. Hak mendapat tempat yang baik dalam hati orang tua.
q. Hak mendapat kasih sayang.

16
BAB III

STUDI KASUS

Audrey (14) siswi SMP Pontianak babak belur dikeroyok oleh 12 orang
siswi SMA pada 29 maret pukul 14.30 WIB. Krnologi kejadian berawal dari
sindir menyindir. Kasus ini berawal karena korban saling sindir menyindir
tentang pacar pelaku yang merupakan mantan pacar sepupu korban, selain
itu salah satu orang tua pelaku juga pernah meminjam uang sebesar Rp.
500.000,-, meski sudah dikembalikan tapi korban suka mengungkit-ungkit
sehinga pelaku tersinggung, Jelas Kapolresta Pontianak.
Awalnya pelaku mengirimkan pesan kepada korban untuk
menyelesaikan masalah. Bersama dua sepupu korban berbonceng tiga
menuju lokasi, setelah sampai dilokasi tiga tersangka sudah menunggu
beserta remaja lain yang tidak dikenal korban. Tersangka TR langsung
bertanya kepada korban tentang chatingan mereka, pelaku EC langsung
menyiram kepala korban, dan LL menendang tubuh korban sampai jatuh.
Akhirnya korban berhasil melarikan diri bersama sepupunya, nau 3
pelaku mengejar korban, pelaku EC meminting kepala korban samapi jatuh
terlentang, pelaku lain menekan alat kelamin korban sampai nyeri.

17
BAB IV

EXERCISE

1. Pengertian anak menurut UU No. 35 tahun 2014


a. Anak adalah seoarang yang sudah dilahirkan dan belum berusia 18
(delapan belas) tahun.
b. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
c. Anak adalah seseorang yang masih ada dalam kandungan dan berusia
21 (dua puluh satu) tahun.
d. Anak adalah seseorang yang masih dalam kandungan dan sudah
dilahirkan
2. Jenis-jenis kekerasan terhadap anak, kecuali
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan menghancurkan lemari
d. Kekerasan seksual
3. Anak yang beresiko mengalami kekerasan adalah
a. Anak yang tidak dikehendaki, terlahir prematur, dan cacat
b. Anak yang menderita penyakit kronis dan keluarga yang tidak
bermasalah
c. Anak yang memiliki gangguan tingkah laku dan anak yang sangat
dikehendaki
d. Anak yang terlahir dikeluarga yang bermasalah, anak yang memilki
kesadaran
4. Sikap orang tua yang melakukan tindak kekerasan pada anaknya adalah
a. Bercerita tidak jelas, memberikan keterangan berulang-ulang, bereaksi
berlebihan, dan bersikap tidak sesuai.
b. Selalu menuntut hal yang tidak realistis terhadap anak, Memandang
anak sebagai sesuatu yang berbeda, Menuntut anak memenuhi,
kebutuhan orang tua, Menunjukkan rasa takut kehilangan kontrol
c. Menunjukkan adanya gangguan mental, Tampak dalam pengaruh
alkohol atau obat-obatan, Menolak bekerja sama dengan petugas
kesehatan
d. Semua jawaban benar
5. Cir-ciri anak yang mengalami tindak kekerasan adalah
a. Anak yang tampak takut ketika melihat jarum, anak yang memiliki luka
akibat terjatuh, selalu menangis
b. Terlalu berhati-hati terhadap larangan orang tua karena untuk
kebaikannya
c. Memiliki penyakit kronik, kekurangan gizi, dan diberikan perawatan
semestinya
d. Selalu menangis, tampak takut apalagi ketika melihat orang
tua, memiliki luka yang tidak wajar.

18
6. Peraturan perundang-undangan yang membahas tentang perlindungan
anak adalah
a. UU No. 34 Tahun 2014
b. UU No. 35 Tahun 2014
c. UU No. 36 Tahun 2014
d. UU No. 37 Tahun 2014
7. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Bab III Pasal 5 membahas tentang
a. Tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak mengandung
kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga
anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas,
sehat, berbakti kepadaorangtua, berbudi pekerti luhur, bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berkemauan, serta berkemampuan
meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.
b. Tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak mengandung
kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga
anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas,
sehat, berbakti kepadaorangtua, berbudi pekerti luhur, bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berkemauan, serta berkemampuan
meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.
c. penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu setiap
orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya.
d. tentang Protokol opsional konvensi hak-hak anak mengenai penjualan
anak, prostitusi anak dan pornografi anak
8. Berikut adalah susunan standar keperawatan forensik yang benar adalah
a. Assesment – diagnosis - identifikasi hasil – perencanaan -
implementasi
b. Assesment-diagnosis-perencanaan-implementasi-identifikasi hasil
c. Assesment-identifikasi hasil-diagnosis-perencanaan-implementasi
d. Assesment-perencanaan-diagnosis-implementasi-identifikasi hasil
9. An. A memiliki luka yang tidak wajar dibagian punggung, tangan,
pinggang dan paha atas, An. A juga tampak terlihat takut, maka jenis
barang bukti yang harus dikumpulkan adalah
a. DNA, toxikology dan digital
b. DNA, jejak, dan tayangan/pola
c. DNA, digital dan jejak
d. Pathology, antropology dan tayanagn/pola
10. An. B ditemukan pingsan dibelakang rumahnya oleh tetangga, orang
tuanya sudah meningga dan dia tinggal bersama paman dan bibinya.
Setelah anak ditemukan pingsan maka paman dan bibinya tidak berada di
rumah. Anak memiliki memar dibagian lengan, paha dan wajah, terdapat
luka pada daerah genetalia, anak tampak ketakutan. Dari hasil analisa
data diatas maka anak mengalami jenis kekerasan?
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual

19
d. Kekerasan fisiki, psikis dan seksual

BAB V

KESIMPULAN

Kekerasan pada anak adalah setiap perbuatan pada anak yang


berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,
seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum. (UU 35 Tahun 2014, Tentang Perlindungan Anak).
Jenis-jenis kekerasan adalah kekersan fisik, emosional, seksual,
pengabaian dan penelantaran, dan kekerasan ekonomi. Faktor penyebab
terjadinya kekerasan yaitu genetik, stress sosial, isolasi sosial dan keterlibatan
masyarakat bawah, dan struktur keluarga. Menurut fontana (1973) kita perlu
curigai adanya penganiayaan anak bila pada anak kita temui hal-hal sebagai
berikut (Bagong Suyanto, 2019): Anak tampak ketakutan terutama pada
orang tua, Anak dipisahkan dalam waktu yang lama, Adanya kelainan kulit
atau luka, Luka-luka yang diobati dengan tidak semestinya, Kekurangan gizi,
Diberikan makanan, minuman dan obat yang tidak semestinya, Diberikan
pakaian yang tidak semestinya/ tidak wajar, Selalu menangis, Terlalu hat-hati
terhadap larangan orang tua.
Perlindungan anak merupakan upaya yang harus terus dilakukan oleh
seluruh elemen. Bentuk-bentuk perlindungan anak inipun dilakukan dari
segala aspek, mulai pada pembinaan pada keluarga, kontrol sosial terhadap
pergaulan anak, maupun penanganan yang tepat mulai peraturan-peraturan
yang baik. Islam melarang terjadinya penelantaran terhadap anak. Isyarat
perlindungan anak yang dikehendaki Allah swt. Tertuang dalam firman-Nya
QS. An-Nisa (4) ayat 9, yang berbunyi :

Terjemahnya:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang
benar.

20
DAFTAR PUSTAKA

Purwanti,Hastry,Sumy.2017. Kekerasan Pada Anak dan Wanita Perspektif


Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta Timur: Rayyana Komunikasindo.
Lync, A, Virginia.dkk.2010. Forensic Nursing Science, Second Edisi.

Hidayati,Nurul,Afif. 2018. Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya:


Airlangga University Press

Suyanto,Bagong.2019. Sosiologi Anak. Jakarta: Kencana

Thathit Manon Andini,dkk.2019. Identifikasi Kejadian Kekerasan pada Anak di


Kota Malang. Jurnal Perempuan dan Anak (JPA), Vol. 2 No. 1,
Februari 2019 ISSN 2442-2614 Hal. 13 - 28

Erma Wahyu Mashfufa.2018. EFEKTIFITAS FGD (FOCUS GROUP


DISCUSSION) TENTANG KEKERASAN PADA ANAK. P- ISSN: 2086-
3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online: Volume 9, Nomor 1, Januari
2018
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view.

Henny Pongantung,dkk.2019. Penyuluhan Pencegahan Kekerasan Pada Anak.


Celebes Abdimas: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
http://journal.lldikti9.id/CER/index. Vol 1, No, 1, April 2019, pp 62-
65 p-ISSN: 2656-7938 dan e-ISSN: 2657-1870.

Nursariani Simatupang,dkk.2020. PENDIDIKAN ANTI KEKERASAN BAGI


MASYARAKAT GUNA PENCEGAHAN PERILAKU KEKERASAN. Jurnal
Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UMSU. Volume 5 Nomor 1, Januari –
Juni 2020, 1-9 DOI: https://doi.org/10.30596/dll.v5i1.3290.

Marizki Putri. 2020. PENGARUH PENDEKATAN METODE THE SUPPORT


GROUP METHOD (TSGM) TERHADAP PENCEGAHAN PERILAKU
KEKERASAN PADA ANAK DI SEKOLAH DASAR . MENARA Ilmu
Vol. XIV No.01 Juli 2020

21

Anda mungkin juga menyukai