Anda di halaman 1dari 8

LITERATUR REVIEW: POTENSI PEMANFAATAN FAMILY MENISPERMACEAE SEBAGAI

PENGOBATAN COVID-19
Yanasta Yudo Pratama1,2), Herzan Marjawan1), Emilia Vivi Arsita1), Zulfa Hidayati1)
1
Universitas Gadjah Mada
2
email korespondensi: yanasta.yudo.pratama@mail.ugm.ac.id
ABSTRAK
Latar Belakang: Pandemi COVID-19 yang melanda dunia merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan SARS-CoV2. ACE2 berperan sebagai reseptor membran ekstraselular yang
diekspresikan pada sel epitel tubuh inang sebagai jalan masuk SARS-CoV2. Infeksi SARS-CoV2
dapat menyebabkan badai sitokin yang berakibat pada kerusakan jaringan dan menimbulkan Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Pengobatan herbal dikenal lebih mudah didapatkan, efek
sampingnya relatif sedikit, dan berpotensi menjadi kandidat sediaan obat. Famili Menispermaceae
tersebar di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia, khususnya Pulau Jawa dan Sumatera yang
diketahui memiliki aktivitas antivirus.
Tujuan: Memberikan gambaran potensi pemanfaatan herbal dari Family Menispermaceae untuk pengobatan
COVID-19 melalui mekanisme ACE inhibitor.
Metode: Penelusuran literatur dilakukan pada jurnal yang dipublikasikan di PubMed, Elsevier, dan Springer
dengan menggunakan kata kunci utama SARS-CoV2, anti-virus, produk herbal, dan Famili Menispermaceae.

Hasil: Pemanfaatan herbal dari Famili Menispermaceae telah banyak digunakan untuk pengobatan karena
mengandung senyawa aktif dari kelompok Bisbenzylisoquinoline (BBIQ) yang memiliki berbagai aktivitas
biologis, termasuk sebagai antivirus. BBIQ dapat berperan pada infeksi SARS-CoV2 dengan mekanisme
sebagai ACE inhibitor, sehingga dapat menghambat pelekatan virus ke sel.

Kesimpulan: Family Menispermaceae mengandung senyawa aktif yang berpotensi untuk pengobatan COVID-
19 dengan mekanisme ACE inhibitor.

Kata kunci: ACE inhibitor, Bisbenzylisoquinoline, COVID-19, Menispermaceae


LITERATURE REVIEW: THE UTILIZATION OF MENISPERMACEAE FAMILY AS A TREATMENT
FOR COVID-19
Yanasta Yudo Pratama1,2), Herzan Marjawan1), Emilia Vivi Arsita1), Zulfa Hidayati1)
1
Universitas Gadjah Mada
2
email correspondency: yanasta.yudo.pratama@mail.ugm.ac.id
ABSTRACT
Background: COVID-19 pandemic is an infectious disease caused by SARS-CoV2. ACE2 acts as
an extracellular membrane receptor on epithelial cells as an entry point for SARS-CoV2 infection.
This infection can cause cytokine storms, tissue damage, and ARDS. Natural products are known
easier to obtain, have a few side effects, and have potency as candidate of drug preparation.
Distribution of Menispermaceae family spread in Southeast Asia and Indonesia, especially Java and
Sumatera Island, which are known have antiviral activity.
Objective: Provide a literature overview of the potential use of herbs from the Menispermaceae
Family for the treatment of COVID-19 through ACE inhibitor mechanism.
Methods: The literature were searched and carried out from published journal in PubMed, Elsevier,
and Springer using SARS-CoV2, antiviral, natural product, and Menispermaceae family as the main
keywords.
Results: The use of herbs from Menispermaceae family has been widely used for medication
because of the active compounds from BBIQ group have various biological activities as antiviral
agents. BBIQ have a role in SARS-CoV2 infection with ACE inhibitor as the mechanism to inhibit
adhesion between viruses and cells.
Conclusion: Family of Menispermaceae contains active compounds that have potency to treat
COVID-19 with an ACE inhibitor mechanism.

Keywords: ACE inhibitor, Bisbenzylisoquinoline, COVID-19, Menispermaceae


PENDAHULUAN

Infeksi virus Corona pada saluran pernapasan manusia telah menjadi pandemi di awal tahun
2020. Pandemi ini berawal dari kota Wuhan, China, mulai tahun 2019 sehingga disebut COVID-19.
Menurut data dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) terdapat 13.150.645 kasus yang terkonfirmasi
pada 215 negara termasuk Indonesia. Per 1 Juli 2020 Kementerian Kesehatan RI melaporkan
kematian akibat COVID-19 sebanyak 3.710 jiwa dari 464 kabupaten atau kota dan 78.572 kasus
terkonfirmasi yang masih dalam perawatan maupun pemantauan tim medis [1-3].
Corona virus adalah virus strain baru dari kelompok Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS) genus Betacoronavirus yang dapat menyebabkan pneumonia (Yu et al, 2020). Berdasarkan
penelitian lanjutan, kelelawar berperan sebagai inang awal dari SARS-CoV-2 dan menyebabkan
transmisi ke manusia (zoonotic) [4,5]. Virus ini dapat ditularkan melalui airborne droplet dari batuk,
bersin dan kontak [6]. Pada beberapa kasus, ditemukan virus yang bermutasi dalam tubuh manusia
sehingga memiliki kemampuan penyebaran yang sangat kuat dan infeksius [6].
Umumnya pasien yang terinfeksi virus ini memiliki gejala seperti batuk kering, sakit
tenggorokan, demam, dan sesak nafas [7]. Kementerian kesehatan menyatakan pemulihan dari
infeksi virus ini dapat dilakukan tanpa perawatan khusus apabila sistem imun seseorang kuat, karena
virus bersifat self medication [8]. Infeksi SARS-CoV-2 pada pasien dengan komorbid cenderung akan
menunjukkan gejala yang lebih berat serta memiliki resiko kematian yang lebih tinggi, oleh sebab itu
pengobatan pasien COVID-19 diperlukan.
Tumbuhan telah menjadi sumber utama obat herbal karena obat kimia sintetik dikenal memiliki
efek samping. Kandidat obat COVID-19 telah banyak diteliti dari senyawa bahan alam. Cepharantine
(CEP) adalah senyawa bahan alam yang termasuk dalam golongan alkaloid. Purifikasi dari Stephania
cepharantha telah dilakukan pada tahun 1934 oleh seorang ahli farmasi Jepang [9]. CEP juga dapat
diisolasi dari rizoma atau akar rimpang Stephania japonica. CEP banyak digunakan untuk
meningkatkan imunitas pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Pemanfaatan sebagai anti-
pneumoconiosis telah digunakan di China [11]. Hal ini menunjukkan CEP memiliki potensi sebagai
anti-inflamasi, anti-oksidan, imuno-modulating, anti-parasit, dan anti-virus yang memiliki peluang
sebagai kandidat obat penyakit infeksi seperti COVID-19 [10]. Review ini menekankan pada potensi
senyawa bahan alam dari family Menispermaceae serta mekanisme aksinya dalam tubuh untuk
mengatasi inflamasi yang disebabkan oleh berbagai agen infeksius, terutama SARS-CoV-2.

METODE
Desain penelitian ini adalah Literature Review yang secara kritis mengkaji atau meninjau
pengetahuan, gagasan, atau temuan yang terdapat di dalam literatur dengan orientasi akademik
(academic-oriented literature) untuk memberikan kontribusi teori dan metodologi pada topik tertentu
[11]. Sifat penelitian ini adalah analisis deskriptif, yaitu penguraian secara teratur dari data yang telah
diperoleh. Penelusuran artikel publikasi dilakukan pada google, google scholar, dan research gate
menggunakan kata kunci Menispermaceae, COVID-19, SARS-CoV-2, mechanism of action,
Cepharantine, Stephania, dan farmakologi. Literature Review ini menggunakan literatur terbitan tahun
2004-2020 dalam Bahasa Indonesia maupun inggris yang dapat diakses fulltext dalam format pdf dan
scholarly (peer reviewed journals).

HASIL

Karakteristik Virus SARS-COV2


Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Selain SARS-CoV-2,
terdapat 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E,
alphacoronavirus NL63, betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory
Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV).
Protein S (spike) pada SARS-CoV-2 dapat berikatan dengan Angiotensin Converting Enzyme 2
(ACE2) pada sel manusia dan memulai siklus hidupnya dengan bantuan Main Protease (MPro)
melalui replikasi [12].

Senyawa pada family Menispermaceae dan sebarannya di Indonesia


Menispermaceae merupakan famili tumbuhan berbunga berukuran sedang yang terdiri dari
70 genus dan 420 spesies. Sebagian dari famili ini adalah tumbuhan merambat dan banyak
ditemukan di daerah tropis. Spesies dari Menispermaceae banyak digunakan dalam pengobatan
tradisional di beberapa negara [13]. Beberapa studi penelitian melaporkan bahwa famili
Menispermaceae mengandung alkaloid Bisbenzylisoquinoline (BBIQ) yang sering digunakan dalam
bidang farmakologi karena memiliki potensi sebagai anti inflamasi, antiviral, anti bakteri, anti kanker,
dan anti hipertensi [14].
Famili Menispermaceae banyak tersebar di wilayah Asia termasuk Indonesia, khususnya
Pulau Jawa dan Sumatera. Spesies dari famili Menispermaceae yang ditemukan di Indonesia
diantaranya Albertisia cf papuana Cyclea barbata, Tinomiscium phytocrenoides, Pericampylus
glaucus, Tinospora glabra [15]. Selain itu spesies lainnya dari Menispermaceae yang banyak
ditemukan di Cina yaitu dari genus Stephania seperti, Stephania tetandra, S. cephalanta, S. rotunda
[10]. Spesies-spesies tersebut telah diidentifikasi memiliki senyawa BBIQ (Tabel 1).

Tabel 1. Senyawa, spesies, dan sebaran Famili Menispermaceae


Senyawa Spesies Lokasi

Tetrandine, isotetrandrine and Albertisia cf papuana Indonesia (Jawa Barat),


homoaromoline Cina

Tetandrine, isotetrandrine, O,L-tetrandrine, Cyclea barbata Indonesia (Jawa Timur)


limacine, berbamine, homoaromoline, D,L-
fangchinoline, isofangchinoline
(thalrugosine), isochondodendrine dan
chondocurine

Homoaromoline Tinosmicium Indonesia (Jawa Timur)


phytocrenoides

4 jenis alkaloid baru tipe husubanane; Pericampilus glaucus Indonesia (Jawa Timur)
periglaucines A–D (1–4), norruffscine (5),
(-)-8-oxotetrahydropalmatine (6), dan (-)-8-
oxocanadine (7)

Palmatine dan berberine Tinospora glabra Indonesia (Jawa Timur)

Tetandrine, Fangchinoline Stephania tetrandra Cina

Cepharanthine Stephania cephalantha, Cina, Taiwan, Vietnam


Stephania rotunda

Barbamine Berberis amurensis, B. Asia, Eropa, Africa


vulgaris, B. libanotica,
B. aristata

Neferine Nelumbo nucifera, India


Plumula nelumbritis

Dauricine Menisperum dauricum Cina

PEMBAHASAN

Potensi Cepharantine dari Menispermaceae


Jenis alkaloid dalam kelompok BBIQ seperti tetandrine (TET), fangchionoline (FAF), dan
cepharanthine (CEP) telah banyak digunakan untuk keperluan pengobatan di sejumlah negara-
negara Asia [16]. Beberapa penelitian melaporkan bahwa TET berperan dalam melawan infeksi
beberapa virus seperti virus herpes simplex, virus dengeue, dan virus ebola [17-19], FAN berperan
dalam menghambat replikasi Human Immunodeficiency Virus tipe 1 (HIV-1) [22], dan CEP berperan
dalam melawan infeksi HIV-1 [20] dan herpes simplex-1 [21]. Penelitian yang dilakukan [22] terkait
dengan Human Coronavirus (HCoV) melaporkan bahwa TET, FAF, dan CEP secara signifikan
menghambat kematian sel yang disebabkan virus tanpa adanya sitotoksisitas. Hasil penelitian
tersebut menunjukan bahwa TET, FAF, dan CEP dapat digunakan dalam pengobatan dan
pencegahan HCoV dengan menekan replikasi HCoV-OC43 pada sel MRC-5.
Selama lebih dari 70 tahun CEP telah banyak digunakan sebagai obat penyakit akut dan
kronis, seperti malaria, gigitan ular, demam, leukopenia, dan alopecia. Secara kimia, CEP berada
dalam family BBIQ cyclic alkaloid. Senyawa utama yang termasuk dalam BBIQ diantaranya
tetandrine, dephanoline, berbamine, dan beberapa senyawa lainnya [23].
CEP dari spesies Stephania cepharantha Hayata diujikan secara in vitro dan in vivo pada
RAW264.7 dan tikus untuk mengetahui responnya dalam mengatasi inflamasi. Penelitian yang
dilakukan oleh [24] ini menunjukkan hasil bahwa CEP dapat menghambat pelepasan TNF-α, IL-6,
dan IL-1β secara in vitro. Sedangkan hasil penelitian secara in vivo menunjukkan bahwa CEP dapat
menekan produksi sitokin pro-inflamasi dengan menghambat jalur persinyalan MAPK dan NF-κB.
Cepharantin menghambat translokasi NF-κB dari sitoplasma ke nucleus. Pengamatan pada jaringan
paru-paru menunjukkan adanya perbaikan struktur sel yang infeksi setelah diberi CEP.
Potensi cepharantin sebagai antivirus telah dilakukan oleh [25] yang mengujikan cepharantin
pada MRC-5 yang diinfeksi HCoV-OC43. MRC-5 adalah fibrobast yang diambil dari jaringan paru-
paru manusia sedangkan HCoV-C43 merupakan human coronavirus strain OC43 yang diisolasi pada
tahun 1960an. CEP dapat menghambat proses infeksi tahap awal dan menghambat replikasi HCoV-
OC43 dengan menekan ekspresi protein S dan N.

Farmakologi dari Menispermaceae


Pada kasus COVID-19 infeksi terjadi karena adanya bagian dari virus SARS-CoV-2 yaitu Spike
protein 1 (S1) menunjukkan afinitas pengikatan ACE2 10 hingga 20 kali lipat lebih tinggi daripada
SARS-CoV, yang mengakibatkan penularan dan infektivitas COVID-19 yang lebih tinggi [12].
(Gambar.1). Menurut [26] terdapat efek BBIQ pada sel paru-paru MRC-5 manusia yang terinfeksi
HCoV-OC43. Adanya kemampuan CEP untuk menghambat replikasi RNA virus, memblokir ekspresi
protein virus, dan menekan produksi molekul proinflamasi untuk mencegah respons sitokin yang
memburuk terhadap infeksi virus [27].

Gambar 1. Infeksi SARS COV-2 pada manusia

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa CEP efektif melawan SARS-CoV-2 dalam


pengobatan COVID-19. Model kultur sel SARS-CoV-2 secara in vitro telah digunakan untuk
pengobatan dengan nelfinavir, CEP, dan chloroquine. Pada sel VeroE6 / TMPRSS2 yang diinokulasi
dengan SARS-CoV-2, nelfinavir, dan CEP ditemukan adanya efek antivirus yang sangat baik
terhadap SARS-CoV-2 baik secara tunggal maupun kombinasi. CEP memiliki aktifitas memblokir
masuknya virus secara dominan dengan mengganggu kemampuan virus untuk menempel pada sel
targetnya melalui S glikoproteinnya [28].
Selain itu penelitian yang telah dilakukan [29] melaporkan aktifitas CEP menghambat
replikasi HIV tipe 1 (HIV-1) di jalur sel monositik dan limfositik yang terinfeksi. Efek ini dikaitkan
dengan adanya kemampuan CEP untuk menekan ekspresi gen yang digerakkan berulang terminal
panjang HIV, Eksperimen in vitro pada human T-lymphotropic virus tipe 1 (HTLV-1) CEP sendiri atau
dalam kombinasi dengan turunan tetrahydrotetramethylnaphthalene (TMNAA) memicu apoptosis sel
yang terinfeksi HTLV-1 disebabkan oleh penghambatan jalur pensinyalan NF-κB yang ditemukan
diregulasi dalam sel yang terinfeksi [30,31] (Gambar 2).

Gambar 2. Mekanisme Farmakologi CEP 

Hasil penelitian [32] menunjukkan bahwa aktivitas antivirus CEP terhadap SARS-CoV-2
dengan kemampuannya untuk bergabung dengan baik pada kompleks multi-subunit nonstructural
proteins (NSP). Dengan mengikat ke bagian NSP ini, CEP memblokir kemampuan SARS-CoV-2
untuk mereplikasi dan menghasilkan protein.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, 2020
2. Kemenkes RI 2020
3. Shereen et al, 2020
4. Guo et al, 2020
5. Lai et al, 2020
6. Li et al, 2020
7. Burhan, 2020
8. Sohrabi et al, 2020
9. Syahrir et al, 2020
10. Bailly C. Cepharantine: an update of its mode action, pharmacological properties and
medicinal plants. Phytomedicine 2019; 62: 2-12.
11. Du, 2019
12. Rogosnitzky M, Danks R. Therapeutic potential of the biscoclaurine alkaloid, cepharanthine,
for a range of clinical conditions. Pharmacol 201 ;63(2):337-47.
13. Cooper, 2010
14. Jahan R, Khatun MA, Nahar N, Jahan FI, Chowdhury AR, Nahar A, et al. Use of
menispermaceae family plants in folk medicine of Bangladesh. Advances in Natural and
Applied Sciences 2010; 4(1):1-9.
15. Jin H, Dai J, Chen X, Liu J, Zhong D, Yansong G, et al. Pulmonary toxicity and metabolic
activation of dauricine in CD-1 mice. J Pharmacol Exp Ther 2010; 332(3):738-46.
16. Verpoorte R, Beek VTA, Siwon H, Svendsen B. Studies on Indonesian medicinal plants.
Pharmaceutisch Weekblad Scietific Edition 1982; 4: 87-88.
17. Bhagya N, Chandrashekar K. Tetrandrine- A molecule of wide bioactivity. Phytochemistry
2016; 125:5-13.
18. Hu S, Dutt J, Zhao T, Foster CS. Tetrandrine potently inhibits herpes simplex virus type-1-
induced keratitis in BALB/c mice. Ocul Immunol Inflamm 1997; 5:173-180.
19. Liou JT, Chen ZY, Ho LJ, Yang SP, Chang DM, Liang, CC, et al. Differential effects of
triptolide and tetrandrine on activation of COX-2, NF-κB, and AP-1 and virus production in
dengue virus-infected human lung cells. Eur. J. Pharmacol 2008; 589:288-298.
20. Sakurai Y, Kolokoltsov AA, Chen CC, Tidwell MW, Bauta WE, Klugbauer N, et al. Ebola virus.
Two-pore channels control Ebola virus host cell entry and are drug targets for disease
treatment. Science 2015; 347:995-998.
21. Wan Z, Lu Y, Liao Q, Wu Y, Chen X. Fangchinoline Inhibits Human Immunodeficiency Virus
Type 1 Replication by Interfering with gp160 Proteolytic Processing. PLoS ONE 2012.
22. Baba M, Okamoto M, Kashiwaba N, Ono M. Anti-HIV-1 activity and structure-activity
relationship of cepharanoline derivatives in chronically infected cells. Antivir. Chem.
Chemother 2001; 12:307-312.
23. Liu X, Wang Y, Zhang M, Li G, Cen Y. Study on the inhibitory effect of cepharanthine on
herpes simplex type-1 virus (HSV-1) in vitro. Zhong Yao Cai 2004; 27:107-110.
24. Kim DE, Min JS, Jang MS, Lee JY, Shin YS, Park CM, et al. Natural bis-benzylisoquinoline
alkaloids-tetrandine, fangchioline, and cepharantine, inhibit human coronavirus OC43
infection of MRC-5 human lung celss. Biomolecules 2019; 9(696):2-16.
25. Du G-H. Natural Small Molecule Drugs from Plants. Springer Nature Singapore Pte Ltd. and
People’s Medical Publishing House 2017;497-502.
26. Shinichiro N, Tohru N. Effects of membrane-stabilizing agents, cholesterol and cepharanthin,
on radiation-induced lipid peroxidation and permeability in liposomes. Biochimica et
Biophysica Acta(BBA)-Biomembranes 1982; 691(1):171-177.
27. Huang H, Hu G, Wang C, Xu H, Chen X, Qian A. Cepharanthine, an alkaloid from Stephania
cepharantha Hayata, inhibits the inflammatory response in the RAW264.7 cell and mouse
models. Inflammation 2014; 37(1):235-46.
28. Weber C, Opatz T. Bisbenzylisoquinoline Alkaloids. Alkaloid Chem Biol 2019; 81:1-114.
29. Okamoto M, Ono M, Baba M. Potent inhibition of HIV type 1 replication by an
antiinflammatory alkaloid, cepharanthine, in chronically infected monocytic cells. AIDS Res
Hum Retroviruses. 1998;14:1239-45.
30. Wrapp D, Wang N, Corbett KS, Goldsmith JA, Hsieh CL, Abiona O, et al. Structure of the
nCoV spike in the prefusion conformation. Cryo-EM Science 2020; 367:1260-1263.
31. Kohashi H, Watashi K, Saso W, Shionoya K, Iwanami S, Hirokawa T, et al. Multidrug
treatment with nelfinavir and cepharanthine against COVID-19. BioRxiv. 2020.
32. Ruan Z, Liu C, Guo Y, et al. SARS-CoV-2 and SARS-CoV: virtual screening of potential
inhibitors targeting RNA-dependent RNA polymerase activity (NSP12). J Med Virol 2020.

Anda mungkin juga menyukai