Anda di halaman 1dari 12

A.

Topik
Isolasi Kering

B. Tujuan
1. Mengetahui spesies hewan infauna yang ditemukan di kebun Biologi Universias
Negeri Malang.
2. Mengetahui nilai indeks keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis hewan
infauna di kebun Biologi Universias Negeri Malang.
3. Mengetahui pengaruh faktor abiotik terhadap nilai H,E,R jenis hewan tanah yang
ditemukan di kebun Biologi Universias Negeri Malang.

C. Waktu dan Tempat


Waktu : Selasa, 28 Februari 2017
Tempat :Belakang Gedung O5

D. Dasar Teori
Tanah merupakan suatu sistem terbuka, artinya sewaktu-waktu tanah itu dapat
menerima tambahan bahan dari luar atau kehilangan bahan-bahan yang telah dimiliki
tanah. Sebagai sistem terbuka, tanah merupakan bagian dari ekosistem dimana
komponen-komponen ekosistem tanah, vegetasi dan hewan saling memberi dan
menerima bahan-bahan yang diperlukan (Hardjowigeno, 2007).Lingkungan tanah
merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan
lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang
dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya
adalah makrofauna tanah (Hardjowigeno, 2007).
Makrofauna tanah merupakan kelompok hewan- hewan besar penghuni tanah
yang merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan penting dalam
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dalam dekomposisi bahan organik,
makrofauna tanah lebih banyak berperan dalam proses fragmentasi serta memberikan
fasilitas lingkungan yang baik bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh
kelompok mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi. Peran makrofauna
lainnya adalah dalam perombakan materi tumbuhan dan hewan mati, pengangkutan
materi organik dari permukaan ke tanah, perbaikan struktur tanah dan proses
pembentukan tanah (Irwan, 1992).
Makrofauna tanah mempunyai peran yang sangat beragam di dalam habitatnya.
Pada ekosistem binaan, keberadaan dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan
bagi sistem budidaya. Pada satu sisi makrofauna tanah berperan menjaga kesuburan tanah
melalui perombakan bahan organik, distribusi hara, peningkatan aeresi tanah dan
sebagainnya. Tetapi pada sisi lain juga dapat berperan sebagai hama berbagai jenis
tanaman budidaya. Dinamika populasi berbagai jenis makrofauna tanah tergantung pada
faktor lingkungan yang mendukungnya, baik berupa sumber makanan, kompetitor,
predator maupun keadaan lingkungan fisika-kimia. Faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi aktifitas organisme tanah yaitu : iklim (curah hujan, suhu), tanah (suhu
tanah, hara, kelembaban tanah, kemasaman) dan vegetasi (hutan, padang rumput) serta
cahaya matahari (intensitas cahaya) (Irwan, 1992).
Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah terbagi atas kelompok transien,
temporer, periodic, dan permanen. Berdasarkan habitanya,  hewan tanah ada yang
digolongkan sebagai epigeon, hemiedafon, dan eudafon. Hewan epigeon hidup pada
lapisan tumbuha-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organic tanah,
dan yang eudafon hidup pada tanah lapisan mineral. Berdasarkan kegiatan makannya
hewan tanah ada yang bersifat herbivore, saprova, fungifora, dan predator (Suin, 1989).
Menurut Edwards dan Fletcher (1972) dalam Bremne (1990) barlese tullgreen
merupakan suatu metode yang telah digunakan untuk mengekstraksi atau mengisolasi
arthropoda dari tanah dan rumput selama beberapa tahun, dan pada umumnya metode
ini dianggap terlalu lambat. Penggunaan metode ini dibantu dengan adanya cahaya yang
menghasilkan panas dan menyebabkan hewan pada sampel tanah akan terjebak
kebawah. Dalam penggunaan barlese tullgreen, sumber panas yang didapatkan dari
cahaya matahari langsung. Menurut Arias, dkk (2003), cahaya memiliki efek ganda
karena cahaya tersebut memaksa  organisme fotofobik untuk menjauh dari
sumbercahaya dan dapat memanaskansampel agar sampel kering. Ketika sampel
mengering, gradien suhu dan kelembaban terbuat antara permukaan atas dan
bawah sampel (Haarlov 1947, Block 1966 dalam Arias, dkk, 2003). Gradien ini akan
bergerak ke bawah, sehingga hewan masuk ke dalam cairan pengumpul (botol sampel)
(Coleman et al., 2004 dalam Arias, dkk,2003). Adanya peningkatan suhu pada corong
(alat barlese) akan membakar hewan sebelum terkoleksi sehingga dalam kondisi
lapangan terpencil, ekstraksi tanpa cahaya logistik lebih terjangkau dan layak, dalam
halpembentukan gradien dan pengeringan dari sampel tergantung pada suhu kamar di
mana ekstraksi dilakukan (Krell et al. 2005 dalam Arias, dkk, 2003). Kedua, ekstraksi
dengan dan tanpa cahaya, menciptakan kondisi yang berbeda dalam sampel, sebagai
konsekuensinya, penggunaan, atau tidak menggunakan, cahaya selama ekstraksi, dapat
mengakibatkan perbedaan sampel yang didapatkan (Arias, dkk, 2003).

E. Alat dan Bahan


Alat
a. Set modifikasi Barless eco 12
b. 3 Botol selai/kelompok
c. Bak Plastik/ember
d. Cetok
e. Bales
f. Mikroskop stereo
g. Jarum pentul
h. Botol air 300 ml

Bahan
a. Plastik
b. Alkohol 70%
c. Formalin 5%
d. Kertas Label

F. Prosedur

1. Mengambil sampel tanah sebanyak 1 ember lalu dihomogenkan


2. Setiap kelompok mengambil sampel tanah sebanyak 1 gelas air mineral (± 100 ml)
3. Meletakkan set Barless pada tempat terbuka [terpapar cahaya matahari]
4. Meletakkan sampel tanah pada set Barless dan diratakan secara perlahan
5. Menjemur set Barless yang sudah terisi sampel tanah
6. Menambahkan formalin pada bales yang terdapat di set barles
7. Mengambil botol pada jam 13.00 WIB
8. Mengamati spesimen dibawah mikroskop keesokan harinya yaitu 1 maret 2017
9. Mengidentifikasi spesies yang ditemukan
10. Menghitung jumlah hewan yang didapatkan

G. Data dan Analisis

No Nama Spesies U1 U2 U3 ∑ Pi ln Pi -Pi ln E R


Pi
1 Solenopsis sp. 8 8 0,67 -0,40 0,268 0,75 0,80
2 Dolichoderus 3 3 0,25 -1,39 0,348 0,75 0,80
sp.
3 Paederus 1 1 0,083 -2,49 0,207 0,75 0,80
littoralis
Jumlah 12 12 Pi= H’=
S= 3 n/N 0,823

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis


Shannon-Wiener.Pada analisis Shanon-Wiener mencari indeks kemerataan (H),
indeks keragaman (E), dan indeks kekayaan jenis (R).
1. Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener (H1)

H1 = - ∑ (Pi lnPi)
H1 = Indeks keragaman Shannon – Wiener
Pi = Kelimpahan proporsional

Pi spesies 1= 8/12 = 0,67

Pi spesies 2= 3/12 = 0,25

Pi spesies 3= 1/12 = 0,083

H’ = 0,268 + 0,348 + 0,207 = 0,823


2. Nilai kemerataan / Evenness (E)
H1
E = ln S
E = Evenness / Kemerataan
H = Indeks Keanekaragaman
S= Banyaknya spesies
E = 0,823/ ln 3
= 0,823/ 1.0986122887
= 0,75
S−1
3. Nilai kekayaan / Richness (R) = ln N

R= Richness/kekayaan
S= Banyaknya spesies
N= Total semua jenis individu dalam komunitas

R = 3-1/ ln 12

= 2/ 2,4849066498

= 0,80

H. Pembahasan
Di alam atau di lingkungan banyak ditemui berbagai hewan yang berbagai
macam. Hewan-hewan tersebut dapat ditemukan pada tanah yang lembab, perairan,
udara, di semak belukar, dan lain-lain. Kehadiran suatu populasi hewan pada suatu
tempat dan distribusinya pada muka bumi selalu berkaitan dengan masalah habitat dan
relung ekologinya. Habitat merupakan lingkungan yang cocok untuk ditempati suatu
populasi hewan (Darmawan, dkk, 2005). Dalam hal ini tanah merupakan suatu habitat
bagi hewan-hewan tanah, baik epifauna atau infauna.
Tanah merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem terutama bagi
kelangsungan hidup fauna tanah. Menurut Sugiyarto (2003), tanah merupakan suatu
bagian dari ekosistem terrestrial yang di dalamnya dihuni oleh banyak organisme yang
disebut sebagai biodiversitas tanah. Biodiversitas tanah merupakan diversitas alpha yang
sangat berperan dalam mempertahankan sekaligus meningkatkan fungsi tanah untuk
menopang kehidupan di dalam dan di atasnya.
Fauna tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa hal, antara
lain berdasarkan ukuran tubuh, kehadirannya di tanah, habitat yang di pilihnya, dan
kegiatan makannya. Berdasar ukuran tubuhnya hewan-hewan tersebut dikelompokkan
atas mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna. Ukuran mikrofauna berkisar antara 20
sampai 200 mikron, mesofauna berkisar 200 mikron sampai dengan satu sentimeter, dan
makrofauna lebih dari satu sentimeter. Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah di bagi
atas kelompok transien (hewan yang seluruh daur hidupnya berlangsung di tanah,
misalnya Kumbang), temporer (golongan hewan yang memasuki tanah dengan tujuan
bertelur, setelah menetas dan berkembang menjadi dewasa, hewan akan keluar dari tanah,
misalnya Diptera), periodik (hewan yang seluruh daur hidupnya ada di dalam tanah,
hanya sesekali hewan dewasa keluar dari tanah untuk mencari makanan dan setelah itu
masuk kembali, misalnya Collembola dan Acarina), dan permanen (hewan yang seluruh
hidupnya selalu di tanah dan tidak pernah keluar dari dalam tanah, misalnya Kumbang,
Nematoda tanah dan Protozoa) (Suin, 2012).
Menurut Suin (1989), perkembangan hewan tanah tidak terlepas dari pengaruh
faktor biotik dan abiotik dari habitat tempat tinggalnya. Namun secara garis besar faktor
abiotik sangat banyak mempengaruhi perkembangan dan kepadatan suatu populasi
serangga. Disamping ukuran pori-pori tanah, distribusi suhu, kelembaban dan faktor
lingkungan lainnya juga ikut menentukan distribusi vertikal hewan dalam tanah.
Penelitian yang dilakukan di Green House Universitas Negeri Malang,
pengambilan sampel infauna tanah dilakukan melalui metode barlese tullgreen. Metode
ini digunakan untuk mengetahui benyaknya spesies hewan tanah yang
diperoleh..Berdasarkan analisis data, diketahui bahwa dengan metode barlese tullgreen
diperoleh spesies hewan tanah yang lebih banyak.Pada metode barlese menggunakan
bantuan cahaya yang akan menghasilkan panas sehingga hewan-hewan yang ada pada
sampel tanah akan menghindar dari sinar cahaya dan jatuh dalam botol pengumpul
sampel. Kebanyakan hewan infauna adalah hewan hidup ditanah yang artinya
membenamkan diri untuk menghindari sinar matahari.
Pada praktikum dengan metode barlese tullgreen/isolasi kering kelompok kami
mendapatkan 3 spesies hewan dari 3 ulangan yaitu Solenopsis sp., Dolichoderus spdan
Paederus littoralis. . Ketiga macam spesies tersebut dua diantaranya merupakan
anggota dari kelompok semut (Solenopsis sp., dan Dolichoderus sp).Habitat
Dolichoderus sp. yaitu pada bagian bawah daun-daun kering di tanah, pada buah kakao
yang hitam dan kering, dan pada buah kakao yang terinfestasi P. crotonus. Semut
secara ekonomi memanglah kurang bermanfaat, namun jika dilihat secara ekologinya
semut memiliki peranan yang sangat penting. Peran semut dialam dapat memberikan
pengaruh positif dan negatif terhadap hewan danmanusia. Manfaat positif tidak dapat
secara langsung dinikmati oleh manusiamisalnya perannya sebagai predator,
menguraikan bahan organik, mengendalikanhama dan bahkan membantu penyerbukan.
Solenopsis sp. di Brazil dapatdimanfaatkan sebagai agen pengontrol kepadatan larva
Diatrae saccharalis. Larvaini dapat mengebor tanaman tebu(Riyanto, 2007).Menurut
Depparaba & Mamesah (2005) bahwa populasi dan serangan penggerek daun
(Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dapat dikurangidengan musuh alami
semut hitam (Dolichoderus sp.), sebagai bioindikator darikondisi hutan (Shahabudin,
2003), dan mempengaruhi keanekargaman hayati.Sedangkan akibat negatif yang
disebabkan oleh semut adalah dapat menggigitmanusia dan memakan makanan yang
ditemukannya.Semut dapat berperan sebagai indikator ekologi untuk menilaikondisi
ekosistem, menyebar dalam jumlah yang banyak dalam suatu lokasi danmemungkinkan
untuk diidentifikasi (Latumahina, 2011).
Spesies yang ketiga yaitu Paederus littoralis(tomcat), spesies ini banyak
ditemukan ditempat lembap seperti daun busuk dan tanah. Tomcat pernah dilaporkan
menimbulkan wabah dermatitis di Australia,Malaysia,Srilangka,dll. Tomcat ini
sesungguhnya tergolong serangga berguna karena berperan sebagai predator aktif pada
beberapa serangga pengganggu tanaman padi, seperti wereng dll (Husada, 2012).
Klasifikasi 3 spesies yang ditemukan :
1. Paederus littoralis Ordo : Coleoptera
Kingdom :Animalia Family : Staphylinidae
Filum : Arthropoda Genus : Paederus
Class : Hexapoda Species : Paederus littoralis
2. Dolichoderus sp. Ordo : Hymenoptera
Kingdom : Animalia Family : Formicidae
Filum : Arthropoda Genus : Dolichoderus
Class : Insecta Species : Dolichoderus sp.
3. Solenopsis sp. Ordo : Hymenoptera
Kingdom:Animalia Famili : Formicidae
Filum: Arthropoda Genus : Solenopsis
Class : Insecta Spesies : Solenopsis sp.

Keanekaragan atau diversitas adalah suatu keragaman atau perbedaan diantara


anggota suatu kelompok yang umumnya mengarah pada keanekaragaman jenis (Husamah,
2014). Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu
kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan
terhadap komponennya (Ardhana, 2012).Menurut Odum (1998), Indeks Keanekaragaman
Shannon-Wiener dibagi menjadi 5 kategori yaitu:
1. <1 : sangat rendah
2. 1-1,9 : rendah
3. 2-2,9 : sedang
4. 3-3,9 : tinggi
5. >4 : sangat tinggi
Setelah dilakukan analisis dari data yang didapatkan, jumlah total seluruh spesies
hewan infauna yang didapatkan menggunakan metodebarlese tullgreen ini adalah sebanyak
12 ekor.Berdasarkan klasifikasi tersebut padaGreenhouse biologi FMIPA UM memiliki nilai
Indeks Keanekaragamansebesar 0,81884.Berdasarkan indeks tersebut dapat disimpulkan
bahwa keragaman hewan epifauna di lingkungan kebun biologi FMIPA UM adalah sangat
rendah.Keanekaragaman yang sangat rendah menunjukkan dominansi suatu jenis (Leksono,
2011). Pada data pengamatan dapat diketahui bahwa terdapat dominasi oleh Solenopsis sp
yang memiliki jumlah paling banyak yaitu sekitar 8 ekor.MenurutKrebs (1989), nilai Indeks
Shannon-Wiener hanya berkisar antara 1,5-3,5 dan jarang sekali mencapai 4,5. Semakin
besar H’ suatu komunitas maka semakin mantap pula komunitas tersebut atau semakin
tinggi kelimpahan relatifnya (Husamah, 2014).Sehubungan dengan kajian kesuburan tanah,
menurut Krebs (1989) semakin tinggi indeks keragaman, semakin tinggi tingkat
dekomposisi, atau proses daur hara tanah maka semakin baik tingkat kesuburan tanah.
Suwondo (2002) menambahkan bahwa bila indeks keragaman hewan tanah besar (>3)
berarti tingkat dekomosisi yang terjadi tinggi sebaliknya tingkat dekomposisi akan rendah
jika indeks keragaman hewan tanah rendah (<1).
Kemerataan didefinisikan sebagai tingkat sebaran individu antara jenis-jenis. Pada
umumnya keanekaragaman jenis di suatu habitat tidak pernah mencapai maksimum karena
equitability semua spesies jarang bisa sama (Leksono, 2011). Adapun nilai E kisaran antara
0-1 dimana nilai 1 menggambarkan suatu keadaan dimana semua jenis cukup melimpah
(Fachrul, 2012). Sedangkan Krebs (1989) mengklasifikasikan nilai indeks ini menjadi 3
yaitu:
1. E<1 : kemerataan tinggi
2. 0,4<E<0,6 : kemerataan sedang
3. E<0,4 : kemerataan rendah
Berdasarkan analisis data diperoleh nilai kemerataan pada Greenhouse biologi FMIPA
UM sebesar 0,75sehingga dapat dismpulkan bahwa nilai kemerataan pada lokasi tersebut
adalah sedang/penyebaranya semakin merata karena indeks kemerataanya mendekati 1. Jika
ditinjau dari jumlah spesies yang ditemukan, sebagian besar jenis kurang melimpah sehingga
yang ditemukan hanya sedikit. Hal tersebit bisa dilihat pada data pengamatan misalnya pada
Paederus littoralis hanya 1 ekor, begitu juga spesies lainnya.
Hasil analisa tersebut juga dapat menentukan nilai kekayaan hewan infauna di
lingkungan Greenhouse biologi FMIPA UM, yaitu didapatkan nilai sebesar 0,80. Jika nilai
kekayaan semakin besar kemungkinan hal tersebut menunjukkan bahwa tanah semakin subur
karena semakin banyak fauna yang menghancurkan serasah daun. Kehidupan hewan tanah
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik. Faktor lingkungan biotik
adalah adanya organisme lain yang berada di habitat yang sama seperti tumbuhan dan
golongan hewan lainnya (Suin, 2006). Pada lokasi sampling terdapat berbagai macam
tumbuhan mulai dari tumbuhan penutup tanah sampai dengan tumbuhan kanopi (pohon),
berdasarkan kondisi lingkungan tersebut maka jumlah hewan tanah yang ditemukan lumayan
banyak. Faktor lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap keberadaan hewan tanah
terutama adalah pH tanah, suhu tanah, aerasi, dan kadar air.pH tanah pada area greenhouse
tersebut yaitu 7 (netral), suhu tanahnya yaitu 26.5°C,fertilitasnya sedikit (little),
kelembapanya yaitu 2 (kurang/kering).
Berdasarkan pengukuran suhu pada tanah area greenhouse dapat dikatakan bahwa
kebanyakan hewan tanah termasuk ke dalam kelompok hewan mesophiles, yaitu organisme
tanah yang hidup pada suhu 10-40˚C. Hewan tanah umumnya menyukai tanah yang lembab
(Husamah, 2014).Pada saat pengukuran mungkin terdapat kesalahan saat membaca hasil
pengukuranya.
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang
diperlukan organisme untuk hidup dan ada jenis organisme yang hanya dapat hidup pada
kisaran suhu tertentu (Hardjowigeno, 2007). Pengukuran suhu tidak dilakukan sehingga tidak
dapat mengetahui suhu lingkungan di titik sampling, namun pada suhu tersebut masih dalam
kategori cocok bagi organisme yang ditemukan. Bahan organik adalah bagian dari tanah
yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, sumber bahan organik adalah jaringan
tumbuhan. Daun, ranting, cabang, batang, dan akar tumbuhan merupakan penyumbang
sejumlah bahan organik (Husamah, 2014).

I. Kesimpulan
Spesies hewan infauna yang ditemukan kelompok 3 yaitu Solenopsis sp., Paederus
littoralis dan Dolichoderus sp.Dengan Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener (H1)
0,823, Nilai kemerataan / Evenness (E)0,75 dan Nilai kekayaan / Richness (R)
0,80.Faktor lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap keberadaan hewan tanah
terutama adalah pH tanah, suhu tanah, aerasi, dan kadar air.pH tanah pada area
greenhouse tersebut yaitu 7 (netral), suhu tanahnya yaitu 26.5°C,fertilitasnya sedikit
(little), kelembapanya yaitu 2 (kurang/kering).
J. Rujukan

Ardhana, I.P.G. 2012. Ekologi Tumbuhan. Denpasar: Udayana University Press.


Arias, María Fernanda Barberena, Grizelle González, dan Elvira Cuevas. 2003. Quantifying
Variation of Soil Arthropods Using Different Sampling Protocols: Is Diversity
Affected?.Tropical Forest, (Online), 51-70, (http://www.fs.fed.us), diakses 05Maret
2017.
Bremne, Graeme. 1990. A Berlese funnel for the rapid extraction of grassland surface macro-
arthropods. New Zealand Entomologist, (Online), 13:76-80, (http://www.ento.org.nz),
diakses 05Maret 2017.
Darmawan, Agus, dkk. 2005. Ekologi Hewan. Malang: FMIPA UM
Depparaba F dan Memesah D. 2005. Populasi dan serangan penggerek daun (Phyllocnistis
citrella Staint) pada tanaman jeruk dan alternatif pengendaliannya. Jurnal Peng-kajian
dan Pengembangan Teknologi Per-tanian 8 (1): 88-93.

Hardjowigeno, Sarwono. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.


Husada, Bakti. 2012. Panduan Pencegahan dan Pengendalian Kumbang Paederus sp
“TOMCAT”. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Husamah. 2014. Ekologi Hewan. Malang: S2 Pascasarjana UM.

Irwan, Z.D.1992. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi: Ekosistem,Komunitas dan


Lingkungan.Jakarta: Bumi Aksara.
Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology. Columbia: Harper Collins Publishers-State
University Book Store
Latumahina , F.S. 2011. Pengaruh Alih Fungsi Lahan terhadap Keanekaragaman Semut Alam
Hutan Lindung unung Nona Ambon. Ambon : Jurnal Agroforestri Volume 6: 1
Leksoni, A.S. 2011. Keanekaragaman Hayati. Malang : UB Press

Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: UGM Press.

Riyanto. 2007. Kepadatan, pola distribusi dan peranan semut pada tanaman di sekitar
lingkungan tempat tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10(2): 241-253
Shahabuddin, 2003. Pemanfaatan Serangga Sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan. Bogor: IPB
Sugiyarto. 2003. Konservasi Makrofauna Tanah dalam Sistem Agroforestri, (Online),
(http://pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/sugiyarto-konservasi-makrofauna-
tanah.pdf), diakses 05 Maret 2015.
Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara.
Suin, N.M. 2012. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara dan Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayati ITB.
Suwondo. 2007. Dinamika Kepadatan dan Distribusi Vertikal Arthropoda Tanah pada Kawasan
Hutan Tanaman Industri. Jurnal Pilar Sains, 6 (2).(Online),
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=106208&val=5125), diakses 05
Maret 2017.

Anda mungkin juga menyukai