Anda di halaman 1dari 16

Referat

ABLASIO RETINA

Disusun Oleh:
Tengku Rija Sahputra Sahab (71180891043)

Pembimbing :
dr. Erfitrina, Sp. M

Kepanitraan Klinik Senior Departemen Mata


Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Retina merupakan lapisan membran neurosensoris dan merupakan lapisan
ketiga bola mata setelah sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan
uvea yang merupakan jaringan vaskuler yang terdiri dari iris, badan siliar, dan
koroid. Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina. Antara
retina dan koroid terdapat rongga yang potensial yang bisa mengakibatkan
retina terlepas dari koroid. Hal ini yang disebut sebagai ablasio retina.1
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang
terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun
ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan
struktur saraf misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan
yang sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak, dan
persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks.
Pengolahan informasi di retina berlangsung dari lapisan fotoreseptor melalui
akson sel ganglion menuju ke saraf optikus dan otak.2

1
BAB II
ABLASIO RETINA

Ablasio retina merupakan suatu kelainan pada mata di mana lapisan


sensori retina, sel kerucut dan sel batang terlepas dari lapisan epitel pigmen
retina.1,2,3 Pada keadaan ini sel epitel pigmen retina masih melekat erat dengan
membran Bruch.3
Terdapat 2 tipe utama ablasio retina, yaitu:
1. Ablasio retina regmatogenosa: terjadi akibat adanya robekan pada retina
sehingga cairan masuk ke dalam rongga subretina, di antara lapisan sensori
retina dan sel epitel pigmen retina.1,2,3,4
2. Ablasio retina non regmatogenosa: tidak terjadi robekan.
Dibagi menjadi 2 tipe, yaitu:

Traksional: lapisan sensori retina tertarik keluar dari sel epitel pigmen
retina oleh kontraksi membran vitreoretina dan tidak
diketahui asal dari cairan subretina.

Eksudatif: cairan subretina berasal dari koroid melalui sel epitel pigmen
retina yang rusak.1

Gambar 1. Ablasio Retina

2
1. Ablasio Retina Regmatogenosa
1.1 Epidemiologi
Ablasio retina regmatogenosa mengenai sekitar 1 dari 10.000 populasi
setiap tahun dan keterlibatan kedua mata sekitar 10 % kasus.1,6 Di Amerika
Serikat sekitar 6 % dari populasi menderita ablasio retina regmatogenosa, dengan
insiden 1 dari 15000 populasi, prevalensi 0,3 %. Laki-laki lebih sering terkena
dibandingkan perempuan. Sekitar 15 % penderita ablasio retina pada satu mata,
akan berkembang pula pada mata yang lain. Lebih sering pada etnis yahudi dan
rendah pada orang kulit hitam, dan biasanya pada orang berusia 40-70 tahun.
Insiden ablasio retina idiopatik yang berkaitan dengan usia sekitar 12,5 kasus dari
100000 setiap tahun, atau sekitar 28000 kasus setiap tahun di Amerika Serikat.4

1.2 Etiologi
Kelompok orang tertentu memiliki faktor risiko lebih tinggi dibandingkan
dengan orang lain, seperti miopia berat, afakia (misal pada pasien katarak setelah
dioperasi tanpa lensa intraokular), usia lanjut, dan trauma. 2,3,4,6 Ablasio retina yang
disebabkan oleh trauma lebih sering terjadi pada individu berusia 25-45 tahun.
Hal yang tidak terlalu berhubungan dengan ablasio retina regmatogenosa, antara
lain riwayat keluarga, riwayat kelainan kongenital mata seperti glaukoma,
vitreopati herediter dengan abnormal badan vitreus, dan riwayat retinopati
prematuritas.6
Miopia tinggi, di atas 5-6 dioptri, berhubungan dengan 67 % kasus ablasio
retina dan cenderung terjadi lebih muda dari pasien non miopia. Diperkirakan
terjadi pada 5-16 dari 1000 setelah operasi katarak dengan metode ICCE. Risiko
ini menjadi lebih tinggi pada pasien dengan miopi tinggi. Walaupun ablasio retina
terjadi pada satu mata tetapi 15 % kemungkinan akan berkembang pada mata
yang lainnya, dan risiko ini lebih tinggi, sekitar 25-30 % pada pasien yang telah
menjalani operasi katarak pada kedua mata.2

3
1.3 Klasifikasi
Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan
patogenesis, morfologi dan lokasi.
Berdasarkan patogenesisnya, dibagi menjadi
 Tears: disebabkan oleh traksi vitreoretina dinamik dan memiliki predileksi di
superior dan lebih sering di temporal daripada nasal.
 Holes: disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan sensori retina, dengan
predileksi di daerah temporal dan lebih sering di superior daripada inferior,
dan lebih berbahaya dari tears.
Berdasarkan morfologi, ablasi retina regmatogenosa dibagi menjadi :
 U-tears: terdapat flap yang menempel pada retina di bagian dasarnya,
 incomplete U-tears: dapat berbentuk L atau J,
 operculated tears: seluruh flap robek dari retina,
 dialyses: robekan sirkumferensial sepanjang ora serata
 giant tears.
Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi :

oral: berlokasi pada vitreous base,

post oral: berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base dan equator,

equatorial

post equatorial: di belakang equator

macular: di fovea.1

4
Gambar 2. Ablasio retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan
horseshoe tear
1.4 Patogenesis
Terjadinya robekan retina disebabkan ketidakseimbangan dari gaya.
Terdapat gaya yang mempertahankan perlekatan retina dengan sel epitel pigmen
retina, juga terdapat gaya lain yang mencetuskan robekan. Ablasio retina
regmatogenosa terjadi ketika gaya yang mencetuskan lepasnya perlekatan retina
melebihi gaya yang mempertahankan perlekatan retina. Tekanan yang
mempertahankan perlekatan retina, antara lain tekanan hidrostatik, tekanan
onkotik, dan transpor aktif. Tekanan intraokular memiliki tekanan hidrostatik
yang lebih tinggi pada vitreus dibandingkan koroid. Selain itu, koroid
mengandung substansi yang lebih dissolved dibandingkan vitreus sehingga
memiliki tekanan onkotik yang lebih tinggi. Kemudian, pompa pada sel epitel
pigmen retina secara aktif mentranspor larutan dari ruang subretina ke koroid.
Hasil dari aktivitas ketiga hal tersebut yang mempertahankan perlekatan retina.7
Robekan retina terjadi sebagai akibat dari interaksi traksi dinamik
vitreoretina dan adanya kelemahan di retina perifer dengan predisposisi
degenerasi. Pada traksi vitreoretina dinamik terjadi synchysis, yaitu likuefaksi dari
badan vitreus yang akan berkembang menjadi suatu lubang pada korteks vitreus
posterior yang tipis pada fovea. Cairan synchytic dari tengah badan vitreus masuk
melalui lubang tersebut ke ruang retrohialoid yang baru terbentuk. Proses ini
mengakibatkan terlepasnya secara paksa permukaan vitreus posterior dari lapisan
sensori retina. Badan vitreus lainnya kolaps ke inferior dan ruang retrohialoid
terisi oleh cairan synchitic. Proses ini dinamakan acute rhegmatogenous PVD
with collapse atau dikenal dengan acute PVD henceforth.
Selain itu juga dapat terjadi sebagai akibat dari komplikasi akut PVD
(posterior vitreal detachment). Hal ini tergantung dari kekuatan dan lebarnya sisa
adhesi vitreoretina. Robekan yang disebabkan oleh PVD cenderung berbentuk
seperti huruf U, berlokasi di superior fundus dan sering berhubungan dengan
perdarahan vitreus sebagai hasil dari ruptur pembuluh darah retina perifer.1

5
1.5 Gejala Klinis
Gejala yang sering ditemukan adalah fotopsia. Fotopsia ini terjadi sebagai
hasil dari stimulasi mekanik pada retina. Hal ini diinduksi oleh gerakan bola mata
dan lebih jelas pada keadaan gelap. Sekitar 60 % pasien mengalami fotopsia.
Ketika retina robek, darah dan sel epitel pigmen retina dapat masuk ke badan
vitreus dan terlihat sebagai floaters, yaitu keopakan/ bayangan gelap pada
vitreus.1,6 Kedua gejala tersebut merupakan hal yang sering dikeluhkan oleh
pasien.
Setelah beberapa waktu tertentu, pasien menyadari adanya defek lapang
penglihatan mulai dari perifer dan akan progresif ke sentral. Hal tersebut
digambarkan pasien sebagai black curtain. Kuadran dari defek membantu dalam
menentukan lokasi dari robekan retina. Hilangnya penglihatan sentral mungkin
dikarenakan keterlibatan fovea. Selain itu juga dapat terjadi karena tertutupnya
oleh bulosa yang besar di depan makula.
Pada pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan adanya defek relatif pupil
aferen (Marcus Gunn pupil), tekanan intraokular yang menurun, iritis ringan,
adanya gambaran tobacco dust atau Schaffer sign, robekan retina pada
funduskopi.1,5 Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat
berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan
retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang terlepas
bergoyang.3

1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain ultrasonografi,
CT-scan, dan MRI. Akan tetapi, USG mata lebih superior daripada CT-scan dan
MRI. USG dilakukan apabila pada pemeriksaan oftalmoskop direk ataupun
indirek tidak dapat melihat dengan jelas, misal pada fotofobia berat, periorbital
edema, katarak, perdarahan intraokular.6

6
1.7 Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah melepaskan traksi
vitreoretina, dan menutup robekan retina.5 Pembedahan merupakan pengobatan
yang dapat dilakukan untuk tujuan tersebut. Pemilihan tehnik pembedahan
ditentukan oleh ukuran, jumlah dan lokasi dari robekan.6,7
Tehnik yang dapat digunakan, antara lain scleral buckling, pneumatic
retinopexy dan intraocular silicone oil tamponade. Kebanyakan praktisi lebih
sering melakukan prosedur scleral buckling.
Pasien dengan ablasio retina regmatogenosa akut sebaiknya dirujuk segera
ke dokter spesialis mata atau vitreoretina. Penutupan robekan dicapai dengan
menciptakan adhesi korioretinal yang kuat di sekeliling robekan. Hal ini diperoleh
melalui diatermi, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Diatermi ada 2 macam, yaitu
diatermi permukaan (surface diatermy), dan diatermi setengah tebal sklera
(partial penetraling diathermy) sesudah reseksi sklera. Setelah operasi, sebagian
dokter memberikan pasien antibiotik topikal sebagai profilaksis selama 7-10 hari,
siklopegik (misalnya atrofin 1 %) selama 1 bulan, dan steroid topikal (misalnya
prednison asetat 1%) selama 1 bulan. Selain itu, sebaiknya pasien istirahat
sebanyak mungkin setelah operasi.2,3,4,5,6,7

1.8 Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh lamanya retina terlepas, mekanisme dasar dari
ablasio retina, dan keterlibatan makula.6

1.9 Pencegahan
Beberapa ablasio retina dapat dicegah. Cara paling efektif untuk
pencegahan tersebut adalah dengan melakukan edukasi untuk memeriksakan diri
ke dokter mata jika terdapat gejala kecurigaan adanya suatu PVD. Dengan
mendeteksi awal adanya tear pada retina, pasien dapat diterapi dengan laser atau
cryotherapy, yang akan mengurangi risiko terjadinya ablasio retina.

7
Selain itu pada kelompok individu yang memiliki faktor risiko terjadinya
ablasio retina, sebaiknya menghindari aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan
pada mata.2

2. Ablasio Retina Traksional


2.1 Etiologi
Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi (tractional RD/TRD) adalah:
1. retinopati diabetes proliferatif
2. Retinopathy of prematurity
3. proliferative sickle cell retinopathy
4. trauma tembus segmen posterior

Gambar 3. Ablasio retina traksi dengan proliferatif vitreoretinopati

2.2 Patogenesis
Merupakan komplikasi dari retinopati diabetik proliferatif (PDR).
Disebabkan oleh adanya kontraksi progresif dari membran fibrovaskular di daerah
perlekatan vitreoretina yang luas. PVD pada mata diabetes bersifat gradual dan
karena perlekatan yang kuat antara vitreus ke area proliferasi fibrovaskular yang
biasanya tidak sempurna dan menyebabkan traksi pada pembuluh darah baru
yang menimbulkan perdarahan vitreus.
3 tipe traksi vitreoretina yang bertanggungjawab terhadap ablasi retina traksional
adalah:

8
1. traksi tangensial (permukaan) yang disebabkan oleh kontraksi membran
fibrovaskular epiretina dan distorsi pembuluh darah retina.
2. traksi anteroposterior yang disebabkan oleh kontraksi membran
fibrovaskular yang meluas dari retina posterior. Biasanya berhubungan
dengan arkade mayor ke vitreus base di anterior.
3. traksi bridging (trampoline) yang merupakan hasil dari kontraksi
membran fibrovaskular yang meregang dari satu bagian retina posterior
ke bagian lain. Hal ini akan menarik dua titik yang terlibat bersama-sama
dan bertanggung jawab terhadap pembentukan stress line seperti
pemindahan makula menuju diskus atau kemanapun tergantung dari arah
traksi. Umumnya traksi vitreoretina menyebabkan traksi retinoskisis
dibandingkan ablasio retina.

2.3 Gejala dan Tanda


Gejala yang dapat terjadi, antara lain:
1. fotopsia dan floater biasanya tidak ada karena traksi vitreoretina
berkembang tiba-tiba (insidental) dan tidak berhubungan dnegan PVD
akut
2. defek lapang pandang biasanya berkembang lambat dan dapat menjadi
stabil dalam beberapa bulan dan bahkan tahunan
Sedangkan, tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan oftalmologis, antara
lain :
1. retina yang terlepas mempunyai konfigurasi konkaf dan tidak terdapat
robekan,
2. SRF lebih dangkal dibandinmgkan dnegan ablasio retina regmatogenosa
dan jarang meluas ke ora serrata,
3. elevasi retiba tertinggi terjadi pada lokasi traksi vitreoretina,
4. mobilitas retina sangat berkurang dan perpindahan cairan tidak terjadi,
5. jika pada ablasi retina traksi ini berkembang robekan, hal ini menandakan
adanya ablasio retina regmatogen dan berkembang dengan cepat
(kombinasi ablasi retina traksi dan regmatogen).

9
3. Ablasio retina eksudatif
3.1 Epidemiologi
Tidak terdapat angka kejadian ablasio retina eksudatif di Amerika Serikat.
Angka mortalitas dan morbiditas tergantung pada penyakit yang mendasarinya
dan sulit untuk ditentukan pada masing-masing kasus yang berbeda.
Faktor ras mempengaruhi ablasio retina eksudatif berdasarkan penyebab,
seperti melanoma koroid dan ablasio retina eksudatif akibat ARMD (age related
macular degeneration) lebih umum terjadi pada ras kaukasia. Jenis kelamin
mempengaruhi ablasio retina eksudatif berdasarkan penyebab, seperti sindrom
efusi uvea dan idiopathic central serous chorioretinopathy lebih sering terjadi
pada pria dibandingkan pada wanita.
Usia juga mempengaruhi ablasio retina eksudatif berdasarkan penyebab.
Pada ablasio retina eksudatif akibat ARMD lebih sering terjadi pada orang yang
sudah tua. Sedangkan idiopathic central serous chorioretinopathy lebih sering
terjadi pada usia pertengahan.8

3.2 Etiologi
Dapat terjadi spontan, dengan trauma, uveitis, tumor, skleritis, DM,
koroiditis, idiopatik, CVD, Vogt-Koyanagi-Harada syndrome, kongenital,
ARMD, sifilis, reumatoid artritis, atau kelainan vaskular.8,5,3,6

10
Gambar 4. Ablasio retina tipe eksudatif akibat dari hasil metastase karsinoma
payu dara

3.3 Patofisiologi
Mekanisme utama adalah adanya kerusakan pada epitel pigmen retina
akibat penyakit subretina, dan masuknya cairan yang berasal dari koroid ke dalam
ruang subretina.1
Pada keadaan normal, cairan akan mengalir dari ruang vitreous menuju
koroid. Arah aliran ini dipengaruhi oleh hiperosmolaritas relatif dari koroid
dibandingkan dengan vitreous dan epitel pigmen retina yang aktif memompa ion
dan air dari viterous ke koroid. Bila terjadi peningkatan cairan atau penurunan
pengeluaran cairan dari ruang vitreous yang melebihi kapasitas mekanisme
kompensasi, maka terjadi akumulasi cairan dalam ruang subretina yang
menyebabkan ablasio retina eksudatif. Misalnya pada keadaan patologis tertentu
dimana terdapat pembuluh darah yang abnormal yang bocor cukup banyak. Pada
keadaan lain terjadi kerusakan pada barier pembuluh darah retina. Semua keadaan
tersebut meningkatkan aliran cairan yang masuk ke dalam ruang vitreous. Sklera
yang memiliki ketebalan abnormal, seperti pada nanophthalmos, akan
menurunkan pengeluaran cairan. Kerusakan pada epitel pigmen retina
mengakibatkan gangguan pemompaan cairan keluar.8

11
3.4 Diagnosis
3.4.1 Anamnesis
Anamnesis yang cermat dapat membantu dalam membedakan penyebab
ablasio retina yang terjadi dari kondisi lain yang memiliki gejala serupa.6
Pada ablasio retina eksudatif keluhan yang umumnya terjadi bukan berupa
fotopsia tetapi kehilangan penglihatan ringan hingga berat, metamorfopsia, atau
defisit pada lapang pandang.5
Pasien dapat mengeluhkan mata merah, yang terjadi bila terdapat patologi
pada uvea. Pasien juga bisa merasakan nyeri bila terjadi skleritis.8

3.4.2 Pemeriksaan oftalmologikus


Pada funduskopi tampak bulae pada retina yang lepas dengan posisi
bergantung pada posisi dari pasien, cairan akan terakumulasi pada daerah yang
paling bebas. Karakteristik retina halus tanpa lipatan seperti pada ablasio retina
regmantogenosa.
Pada segmen anterior dapat terlihat tanda radang seperti injeksi episklera,
iridosiklitis, atau bahkan rubeosis bergantung pada penyebab.
Pada kasus kronik eksudat keras dapat terlihat. Pembuluh darah
teleangiektasis yang berdilatasi dapat terlihat.8

3.4.3 Pemeriksaan penunjang


Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejla klinis, namun etiologi
penyebab dari ablasio retina sangat sulit ditentukan hanya berdasarkan gejala
klinis semata. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium.
Tes venereal disease research laboratory (VDRL) dan tes fluorescein treponema
antibody (FTA) untuk mengetahui adanya sifilis. Antibodi antineutrofil
sitoplasma, LED, dan faktor reumatoid untuk mengetahui adanya reumatoid
artritis.8

12
3.4.4 Pemeriksaan radiologis
Ultrasonografi sangat berguna untuk melihat keadaan media. Dapat
melihat ketebalan koroid, massa dalam koroid, lokasi dan ukuran massa koroid,
ketebalan sklera. Pelepasan koroid perifer anular dapat dilihat pada
nanophthalmos dan sindrom efusi uvea.
Angiografi fluresen sangat berguna dalam mengidentifikasi daerah yang
mengalami kebocoran di daerah korioretinopati sentral.8

3.4.5 Pemeriksaan histopatologi


Hasil temuan histologis memberikan gambaran yang serupa ablasio retina
regmantogenosa ditandai hilangnya lapisan fotoreseptor bagian luar secara cepat
dan perubahan kronik dicontohkan dengan retinoskisis, kista, dan proliferasi epitel
pigmen retina. Temuan lainnya adalah kebocoran masif ke dalam retina dan ruang
subretina.8

3.5 Tatalaksana
Ablasio retina eksudatif, karena perjalanan penyakitnya, memerlukan
tindakan intervensi yang lebih jarang dibandingkan dengan ablasio retina
regmantogenosa. Pada ablasio retina eksudatif dapat sembuh dengan sendirinya
bila kondisi penyebab sudah ditatalaksana dengan sesuai. Untuk mencapai
keadaan ini terkadang memerlukan steroid dosis tinggi pada kasus inflamasi, atau
terapi radiasi dan atau reseksi lokal pada kasus neoplasma intraokuler.5

3.5.1 Medikamentosa
Tatalaksana medis pada ablasio retina eksudatif harus diberikan sesuai
dengan kondisi yang mendasari. Pada awal pengobatan konsultasikan pasien
dengan spesialis vitreoretinal. Bila akan memberikan terpi imunosupresif sangat
disarankan untuk konsultasi dengan ahli imunologi atau reumatologi.
Pada kondisi inflamasi seperti skleritis harus diberikan obat anti inflamasi.
Tumor harus ditangani sesuai jenisnya. Terapi radiasi eksternal atau brakiterapi
dengan plaque dapat digunakan untuk melanoma koroid. Lesi metastatik respon

13
terhadap kemoterapi atau terapi radiasi lokal. Hemangioma koroid respon
terhadap fotokoagulasi laser atau brakiterapi plaque. Retinoblastoma dapat
mengecil dengan kemoterapi kemudian ditatalaksana lokal dengan panas, laser,
atau krioterapi.
Pada infeksi diberikan antibiotik.8

3.5.2 Bedah
Pemilihaan tindakan bedah pada ablasio retina eksudatif berdasarkan
kondisi yang mendasari.
Pada kelainan vaskular harus diterapi dengan laser, krioterapi, atau bahkan
viterktomi untuk meminimalkaan kelainan vaskular. Pada nanoftalmus dimana
sklera sangat tebal, terjadi dekompresi vena vorteks maka merupakan indikasi
pembuatan jendela sklera dan drainase cairan suprakoroid.
Kelainan kongenital seperti optic pits atau colobomas, dapat respon
terhadap vitrektomi dan teeknik endolaser. Korioretinopati serosa sentral dapat
respon terhadap terapi laser ringan pada daerah kebocoran fokal berdasarkan
pemeriksaan angiogram fluoresen.8

3.6 Komplikasi
Dapat terjadi glaukoma neovaskular dan ptisis bulbi.8

3.7 Prognosis
Prognosis bergantung pada kondisi yang mendasari. Prognosis jangka
panjang bila terdapat optic pits akan buruk akibat perubahan kistoid makula
sekunder. Pada korioretinopati serosa sentral tidak sejinak yang dipikirkan, 15%
pasien akan memiliki visus 20/200 atau lebih buruk. Sedangkan untuk ablasio
retina eksudatif akibat dari preeklampsia atau eklampsia akan sembuh tanpa
sekuele.8

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
2. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General
ophthalmology) edisi 17. EGC: Jakarta. p. 12-199
3. Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition.
New Age International Limited Publisher: India. p. 249- 279.
4. Junqueira LC, Jose C. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta:
EGC; 2007. Hal. 470-464
5. American Academy Ophtalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2007-
2008. Singapore: LEO; 2008. p. 9-299
6. Lang, GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition.
2006.Thieme. Germany. p. 305-344.
7. Sundaram venki. Training in Ophthalmology. 2009. Oxford university
press: New York. P.118-119
8. James, Bruce, dkk. Oftalmologi Lecture Notes. 2003. Erlangga: Jakarta. p.
117-7

15

Anda mungkin juga menyukai