Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan adalah salah satu unsur dari masyarakat yang sejahtera, yaitu tercapainya
hak atas hidup sehat bagi seluruh lapisan masyarakat melalui sistem kesehatan yang dapat
menjamin terlindungnya masyarakat dari berbagai resiko yang dapat mempengaruhi
kesehatan dan tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan merata.
Kesehatan sebagai investasi akan menghasilkan penduduk yang sehat dan produktif sebagai
SDM pembangunan yang berkelanjutan serta memiliki daya saing global. (DEPKES RI,
2009)

Tujuan pembangunan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatkan kesadaran,


kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggitingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa
dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan
dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. (DEPKES RI, 2009)

Pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut merupakan salah satu upaya meningkatkan
kesehatan. Mulut bukan sekedar untuk pintu masuknya makanan dan minuman tetapi fungsi
mulut lebih dari itu dan tidak banyak orang menyadari besarnya peranan mulut bagi
kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Oleh karena itu kesehatan gigi dan mulut sangat
berperan dalam menunjang kesehatan seseorang. (Riyanti, E., 2018)

Upaya kesehatan gigi perlu ditinjau dari aspek lingkungan, pengetahuan, pendidikan,
kesadaran dan penanganan kesehatan gigi termasuk pencegahan dan perawatan. Sebagian
besar orang mengabaikan kondisi kesehatan gigi secara keseluruhan. Perawatan gigi
dianggap tidak terlalu penting, padahal manfaatnya sangat vital dalam menunjang kesehatan
dan penampilan. (Sriyono, N.W., 2009) Tindakan pencegahan terhadap penyakit gigi dan
mulut perlu dilakukan agar tidak terjadi gangguan fungsi, aktivitas (belajar dan bekerja), dan
penurunan produktivitas kerja yang tentunya akan mempengaruhi kualitas hidup. (DEPKES
RI, 1991) Belajar adalah suatu usaha untuk menguasai segala sesuatu yang berguna untuk
hidup. Menurut konsep Eropa, arti belajar ini agak sempit, hanya mencakup menghafal,
mengingat dan memproduksi sesuatu yang dipelajari (Notoatmodjo, 2007).(Notoatmodjo, S.,
2007)
Timbulnya masalah kesehatan gigi dan mulut pada seseorang salah satu faktor
penyebabnya adalah tingkat pengetahuan. Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor external. Faktor internal terdiri dari usia dan jenis kelamin. Faktor external terdiri dari
pekerjaan, sumber informasi, pengalaman, sosial budaya, dan lingkungan. Faktor-faktor
inilah yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. (Notoatmodjo, S., 2003) Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengetahuan yaitu: faktor internal, faktor eksternal, dan faktor
pendekatan belajar.(Syah, M., 2007) Tingginya angka penyakit gigi dan mulut saat ini sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah faktor perilaku masyarakat yang
belum menyadari pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Data menunjukkan
22,8% penduduk Indonesia tidak menyikat gigi dan dari 77,2% yang menyikat giginya, hanya
8,1% yang menyikat gigi tepat waktu. (Syah, M., 2007)

Salah satu indikator adanya keberhasilan dalam pembangunan negara adalah semakin meningkatnya
usia harapan hidup penduduknya. Meningkatnya usia harapan hidup penduduk ini akan memberikan
dampak pada kenaikan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) setiap tahun. Jumlah lansia di seluruh
dunia diperkirakan sebanyak 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan tahun 2025 akan mencapai
1,2 milyar. Di seluruh dunia penduduk lansia tumbuh dengan sangat cepat bahkan tercepat
dibanding kelompok usia lainnya.1 Badan kesehatan dunia WHO menyatakan bahwa penduduk
lansia di Indonesia pada tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8
juta yang mengalami peningkatan dari jumlah lansia pada tahun 2005 yaitu 8,48%, merupakan
jumlah penduduk lansia terbesar di dunia.(1,2)

Karies menjadi salah satu bukti tidak terawatnya kondisi gigi dan mulut masyarakat Indonesia.
Masyarakat umumnya cenderung beranggapan bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat karena akan
diganti dengan gigi tetap(1). Mereka kurang paham bahwa jika gigi sulung tidak dipelihara dengan
baik, maka akan berlubang. Adapun upaya untuk menunjang kesehatan yang optimal maka upaya
dibidang kesehatan gigi perlu diperhatikan (2). Karies gigi tetap menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang paling utama (3). World Health Organization menyatakan di seluruh dunia, 60-90%
anak-anak sekolah memiliki gigi berlubang, sedangkan menurut data dari PDGI (Persatuan Dokter
Gigi Indonesia) menyebutkan bahwa sedikitnya 89% penderita karies adalah anak-anak. Sampai
sekarang karies gigi merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara-negara
berkembang (4). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menyebutkan bahwa penduduk
Indonesia pada usia 10 tahun keatas, sebanyak 46% mengalami penyakit gusi dan 71,2% mengalami
karies gigi, sedangkan kelompok usia 12 tahun, sebanyak 76,2 % mengalami karies gigi (5)
Menurut Bagramian dkk. (2009), hampir 90 % anak – anak usia sekolah di seluruh dunia
menderita karies gigi. Sementara itu, menurut Centers of Control Disease Prevention (CDC,
2013), karies gigi merupakan penyakit kronis yang sering terjadi pada anak usia 6-11 tahun
(25%) serta remaja usia 12-19 tahun (59%) meskipun karies gigi sendiri merupakan penyakit
yang dapat dicegah. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia dimana terdapat 76,2 % anak
Indonesia pada kelompok usia 12 tahun (kira-kira 8 dari 10 anak) mengalami gigi berlubang
(SKRT dalam Rhardjo, 2007). Lebih lanjut, menurut Kemenkes RI (dalam Wala, 2014), anak
di bawah usia 12 tahun di Indonesia, menderita karies gigi sebanyak 89 %.

Karies gigi merupakan penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Sondang dan
Hamada (2008), faktor penyebab karies adalah host (gigi dan saliva), mikroorganisme (plak),
substrat (karbohidrat) dan ditambah faktor waktu). Selain itu, faktor predisposisi lain yang
turut berkontribusi terhadap keparahan karies antara lain pengalaman karies, sosial ekonomi,
usia, jenis kelamin, geografis, dan perilaku terhadap kesehatan gigi (Sondang dan Hamada,
2008).

Menurut penelitian Pontunuwu (dalam Afiati dkk, 2014) menjelaskan bahwa pengetahuan
yang tepat memengaruhi perilaku kesehatan dalam meningkatkan kesehatan khususnya
kesehatan gigi dan mulut. Namun, pengetahuan seseorang tentang perilaku memelihara
kesehatan gigi dan mulut seringkali terdapat ketidakselarasan. Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (2007), 91,1 % masyarakat Indonesia menggosok gigi tiap hari namun hanya 7,3% dari
data tersebut yang melakukan gosok gigi dengan benar. Kenyataan yang lain dapat
ditunjukkan pada perilaku masyarakat yang mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan gigi.
Menurut Suratri dkk (2016) pengetahuan dan sikap ibu terhadap kesehatan atau perawatan
gigi dan mulut anak cukup baik akan tetapi perilakunya yang belum sesuai dengan
pengetahuan dan sikapnya, ini terlihat pada hanya 50% anak yang sakit gigi dibawa berobat
ke pelayanan gigi dan mulut.
Gambaran kondisi diatas didukung oleh beberapa studi yang menunjukkan hubungan
signifikan tentang pengetahuan dan kesehatan gigi dan mulut. Pengetahuan sebagai salah satu
faktor yang memengaruhi personal hyigiene seseorang. (Ariska, 2014). Menurut Fankari
(2004) juga menegaskan bahwa penyebab timbulnya masalah gigi dan mulut pada
masyarakat salah satunya adalah faktor perilaku atau sikap mengabaikan kebersihan gigi dan
mulut. Hal ini dilandasi oleh kurangnya pengetahuan akan pentingnya pemeliharaan gigi dan
mulut. Dengan adanya pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut secara tidak langsung
akan menjaga kesehatan gigi dan mulut sehingga pada akhirnya dapat mencegah karies gigi
(Kawuryan, 2008). Hal ini berarti berarti pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut juga
berdampak pada kejadian karies gigi.

Anda mungkin juga menyukai