Anda di halaman 1dari 33

Referat

AUDIT MEDIS KASUS


KEKERASAN PADA
PEREMPUAN DAN ANAK

Oleh:

Mesy Dinda Putri, S.Ked 712018023


Woro Nurul Sandra Anindhita, S.Ked 712018069
Nindia Rahma Putri, S.Ked 712018040
Melisa Ira Dika, S.Ked 712018070

Pembimbing
Komisaris Polisi. dr. Mansuri, Sp.KF

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA
PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul

AUDIT MEDIS KASUS


KEKERASAN PADA
PEREMPUAN DAN ANAK
Oleh:

Mesy Dinda Putri, S.Ked 712018023


Woro Nurul Sandra Anindhita, S.Ked 712018069
Nindia Rahma Putri, S.Ked 712018040
Melisa Ira Dika, S.Ked 712018070

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

Palembang, Desember 2020

Komisaris Polisi. dr. Mansuri, Sp.KF

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah referat yang berjudul
“AUDIT MEDIS KASUS KEKERASAN PADA PEREMPUAN DAN ANAK”
sebagai syarat untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
Komisaris Polisi. dr. Mansuri, Sp.KF, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan kasus
ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1 Latar Belakang.......................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................3
1.3 Tujuan ...................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Audit Medis Kasus Kekesaran Pada Perempuan dan Anak ...............3
2.1.1 Definisi Audit Medis .................................................................3
2.1.2 Definisi Perempuan....................................................................4
2.1.3 Definisi Anak.............................................................................6
2.1.4 Cara melakukan Audit Medis.....................................................7
2.1.5 Temuan Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak..............8
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................31

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah sebuah fenomena
global yang terpengaruh oleh batas-batas rasial atau suku, kultur dan
kelas sosial. WHO memperkirakan bahwa kekerasan adalah penyebab
kematian pada perempuan usia 15-44 tahun dibandingkan kombinasi
kanker, malaria, dan kecelakaan lalu lintas. Secara global, paling sedikit
1 dari 3 perempuan dan gadis akan mengalami pelecehan fisik dan
seksual dalam hidupnya. Di seluruh dunia kekerasan terhadap perempuan
merupakan angka kematian tertinggi dan gangguan kesehatan baik fisik,
maupun psikologik pada jutaan perempuan. Sedangkan laporan
kekerasan atau penyiksaan terhadap anak termasuk segala bentuk
penyiksaan fisik dan/atau emosional, pelecehan seksual, mengabaikan
atau kelalaian penanganan atau eksploitasi komersial atau lainnya
semakin meningkat. Anak yang mengalami tindak kekerasan, baik
merupakan kekerasan fisik, emosional, maupun seksual mengakibatkan
bahaya aktual dan potensial bagi kesehatan anak1,2.

Hasil survey kekerasan pada perempuan dan anak menurut BPS


dan Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) pada tahun 2006
menghitung prevalensi kekerasan pada perempuan 3.07% (30 dari 1000
perempuan) dan 3.02% kekerasan terhadap anak. Hasil data dari Komnas
Perempuan, di Indonesia angka kejadian kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) pada tahun 2015 meningkat 9% dari tahun 2014 menjadi
321.752 kasus dan ini merupakan kasus kekeraan terhadap perempuan
yang terjadi di ranah personal. Pada tahun 2016 tidak terjadi penurunan
yang signifikan pada kasus kekerasan pada wanita yaitu menjadi 305.535
kasus berasal dari data yang diunduh dari Portal Layanan Informasi
Perkara dan Pelaporan Peradilan Agama dicatat dalam lingkup kasus
KDRT. Sedangkan, dari 16.271 kasus dari Lembaga Layanan mitra
Komnas Perempuan, kekerasan yang terjadi di ranah KDRT sendiri

1
tercatat 69% atau 11.207 kasus. Sedangkan data kekerasan pada anak
menurut Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak terjadi
peningkatan kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) di Indonesia pada
tahun 2005-2006 dengan jumlah keseluruhan kasus kekerasan pada anak
dari 741 kasus menjadi 1256 kasus. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2015 dalam Survei Penduduk Antar Sensus, menyebutkan jumlah anak
(0-18 tahun) adalah 88.120.084 jiwa1,2,3. Dikarenakan angka kasus
kekerasan pada Perempuan dan Anak yang masih tinggi maka sebaiknya
perlu dilakukan audit medis yang bertujuan sebagai evaluasi yang
diharapkan adanya penurunan angka kejadian kasus kekerasan pada
perempuan dan anak dari tahun sebelumnya.

Mengingat pentingnya audit medis tersebut maka penulis


mengharapkan melalui tulisan ini dapat menambah pengetahuan mengenai
Audit Medis Kasus Kekerasan Pada Perempuan dan Anak.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Audit Medis?
2. Apa yang dimaksud dengan perempuan dan anak?
3. Bagaimana cara melakukan Audit Medis?
4. Apa saja temuan kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang
paling banyak di Masyarakat?

1.3. Tujuan Makalah


Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari Audit Medis.
2. Untuk mengetahui pengertian dari pada perempuan dan anak.
3. Untuk mengetahui tahapan yang dilakukan pada Audit Medis.
4. Untuk mengetahui temuan yang didapatkan pada kasus kekerasan
perempuan dan anak yang paling banyak di Masyarakat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Audit Medis Kasus Kekerasan Pada Perempuan dan Anak


2.1.1 Definisi Audit Medis
Audit Medis adalah analisis atau pemeriksaan yang sistematis dan
independen tentang asuhan klinis, untuk menentukan jika aktifitas dan
hasilnya sesuai dengan pengaturan yang telah di implementasikan secara
efektif dan cocok untuk mencapai tujuan termasuk prosedur-prosedur
untuk diagnosis, tindakan medis, perawatan, pemanfaatan sumber daya
yang terikat, dan outcome mutu hidup bagi pasien sebagai hasil dari
prosedur-prosedur tersebut4.
Tujuan audit medik adalah untuk melakukan evaluasi mutu
pelayanan medis, mengetahui penerapan standar pelayanan medis, dan
melakukan perbaikan-perbaikan pelayanan medis sesuai kebutuhan pasien
dan standar pelayanan medis4.
Audit medis terdiri dari audit internal dan eksternal. Audit yang
dilakukan oleh rumah sakit dalam pedoman ini adalah audit internal yang
merupakan kegiatan yang sistemik dan dilakukan oleh peer group yang
terdiri dari kegiatan review, surveillance dan assesement terhadap
pelayanan medis. Dalam pelaksanaan audit ada yang disebut auditor, klien
dan auditee. Direktur rumah sakit harus membentuk tim pelaksana audit
medis yang merupan tim ataupun panitia yang dibentuk dibawah Komite
Medis atau panitia yang dibentuk khusus untuk itu. Jadi, pelaksanaan audit
medis dapat dilakukan oleh Komite Medis, Sub Komite (Panitia)
Peningkatan Mutu Medis atau Sub Komite (Panitia) Audit Medis.
Mengingat audit medis sangat terkait dengan berkas rekam medis, maka
pelaksana audit medis wajib melibatkan bagian rekam medis khususnya
dalam hal pengumpulan berkas rekam medis.4
Dalam peraturan perundang-undangan tentang perumahsakitan,
pelaksanaan audit medis dilaksanakan sebagai implementasi fungsi
manajemen klinis dalam rangka penerapan tata kelola klinis yang baik di

3
rumah sakit. Audit medis tidak digunakan untuk mencari ada tidaknya
kesalahan seorang staf medis, mekanisme yang digunakan adalah
mekanisme disiplin profesi, bukannya mekanisme audit medis. Audit
medis dilakukan dengan mengedepankan respek terhadap semua staf
medis (no blaming culture) dengan cara tidak menyebutkan nama (no
naming), tidak mempersalahkan (no blaming), dan tidak mempermalukan
(no shaming).5
Audit medis yang dilakukan oleh rumah sakit adalah kegiatan
evaluasi profesi secara sistemik yang melibatkan peer group yang terdiri
dari kegiatan peer-review, surveillance dan assessment terhadap pelayanan
di rumah sakit. Dalam pengertian audit medis tersebut diatas, rumah sakit,
komite medik atau masing-masing kelompok staf medis dapat
menyelenggarakan evaluasi kinerja profesi yang terfokus (focused
professional practice evaluation).5
Secara umum, pelaksanaan audit medis harus dapat memenuhi 4
peranan penting, yaitu:
a. Sebagai sarana untuk melakukan penilaian terhadap kompetensi
masing-masing staf medis pemberi pelayanan di rumah sakit.
b. Sebagai dasar untuk pemberian kewenangan klinis (clinical privilege)
sesuai kompetensi yang dimiliki.
c. Sebagai dasar bagi komite medis dalam merekomendasikan
pencabutan atau penangguhan kewenangan klinis (clinical privilege),
dan
d. Sebagai dasar bagi komite medik dalam merekomendasikan
perubahan/ modifikasi rincian kewenangan klinis seorang staf medis.

Audit medis dapat pula diselenggarakan dengan melakukan evaluasi


berkesinambungan (on-going professional practice evaluation), baik
secara perorangan maupun kelompok. Hal ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain dapat merupakan kegiatan yang berbentuk siklus
sebagai upaya perbaikan yang terus menerus sebagaimana tercantum di
bawah ini.

4
Gambar 2.1 Evaluasi berkesinambungan audit medis

Pelaksanaan audit harus secara terbuka, transparan, tidak


konfrontasional dan tidak menghakimi, friendly dan konfidensial. Setelah
audit dilakukan perlu didukung dengan umpan balik antara lain berbentuk
presentasi. Perlu selalu ditekankan bahwa audit bukan untuk seseorang
atau nama, bukan untuk menyalahkan atau membuat malu tetapi untuk
meningkatkan pelayanan terhadap pasien. Mengingat, tidak seorangpun
senang untuk dikritik, maka subkomite peningkatan mutu profesi/ Tim
pelaksana audit medis merupakan orang yang penting dalam
mensukseskan kegiatan audit medis.

Upaya ini akan menjamin mutu pelayanan agar tetap tinggi dan
efisien, khususnya di bidang klinis, yang pada akhirnya akan berperan
sebagai suatu nilai tambah bagi pelaksanaan upaya pelayanan medis. Yang
paling penting dari audit medis ini ialah interpretasi secara profesional
tentang fakta-fakta yang diketemukan yang mempengaruhi standar
pelayanan medis. Apabila didapatkan keadaan yang ternyata berbeda
dengan yang normal maka keadaan ini perlu diperhatikan dan dijelaskan.
Karena itu, rekam medis haruslah merupakan bahan utama dalam upaya

5
evaluasi terus menerus agar dapat dibandingkan dengan pencapaian rumah
sakit ataupun dengan pencapaian upaya sendiri di masa lalu.4

2.1.2 Definisi Perempuan


Wanita, disebut juga perempuan, puteri, istri, ataupun ibu adalah
sejenis mahkluk dari bangsa manusia yang halus kulitnya, lemah sendi
tulangnya dan agak berlainan bentuk dari susunan bentuk tubuh lelaki.
Tuhan menjadikan Wanita agak berlainan bentuk susunan badannnya dan
agak berlainan pula kekuatan, dan akal fikirannya dibandingkan dengan
lelaki.
Perbedaan itu mengandung kepentingan dan hikmah yang tidak
dapat disangkal oleh pria maupun wanita. Secara terminologi, wanita
adalah kata yang umum digunakan untuk menggambarkan perempuan
dewasa. Secara etimologi wanita berdasarkan asal bahasanya tidak
mengacu pada wanita yang ditata atau diatur oleh lelaki. Arti wanita sama
dengan perempuan yaitu bangsa manusia yang halus kulitnya, lemah sendi
tulangnya dan agak berlainan bentuk dari susunan bentuk tubuh lelaki.6
Definisi Wanita menurut ahli psikologi ialah perempuan dewasa;
kaum putri (dewasa) yang berada pada rentang umur 20-40 tahun yang
notabene dalam penjabarannya yang secara teoritis digolongkan atau
tergolong masuk pada area rentang umur di masa dewasa awal atau
dewasa muda. Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau
kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang
sempurna atau telah menjadi dewasa.6,7
Berdasarkan uraian diatas pengertian wanita sama dengan
perempuan. Adapun pengertian perempuan sendiri secara etimologis
berasal dari kata empu yang berarti “tuan”, orang yang mahir atau
berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar. Namun dalam bukunya
Zaitunah Subhan permpuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai.
Sementara itu feminisme perempuan mengatakan, bahwa perempuan
merupakan istilah untuk konstruksi sosial yang identitasnya ditetapkan dan
dikonstruksi melalui penggambaran.8,9

6
2.1.3 Definisi Anak
Merujuk dari Kamus Umum bahasa Indonesia mengenai pengertian
anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun
manusia yang belum dewasa.10
Menurut R.A. Kosnan “Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur
muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh
untuk keadaan sekitarnya”. Oleh karna itu anak-anak perlu diperhatikan
secara sungguhsungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk social yang paling
rentan dan lemah, ironisnya anak-anak justru sering kali ditempatkan
dalam posisi yang paling di rugikan, tidak memiliki hak untuk bersuara,
dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasa dan
pelanggaran terhadap hak-haknya.11,12
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa pengertian tentang anak
menurut peraturan perundang- undangan, begitu juga menurut para pakar
ahli. Namun di antara beberapa pengertian tidak ada kesamaan mengenai
pengertian anak tersebut, karna di latar belakangi dari maksud dan tujuan
masing-masing undangundang maupun para ahli. Pengertian anak menurut
peraturan perundangundangan dapat dilihat sebagai berikut :
- Anak menurut KUHP Pasal 45
KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum
berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut
dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu
dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan
tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
Ketentuan pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan
lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 1997.13

a. Anak menurut Hukum Perdata Pasal 330


KUHPerdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak
lebih dahulu telah kawin.

7
b. Anak dalam Hukum Perburuhan

Pasal 1 (1) Undang-undang pokok perburuhan (Undang-undang


No.12 Tahun 1948) mendefinisikan, anak adalah orang laki-laki atau
perempuan berumur 14 tahun ke bawah.

c. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan


Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Pokok Perkawinan (Undang-
undang No. 1 Tahun 1974) mengataan, seorang pria hanya diizinkan
kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahu.
Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi
kepada Pengadilan Negeri.

d. Undang-undang Pengadilan Anak


Undang-undang Pengadilan anak (UU No. 3 Tahun 1997) Pasal
1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak
nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.14
Dalam kajian hukum pidana, persoalan untuk menentukan kriteria
seorang anak walaupun secara tegas didasarkan pada batas usia, namun
apabila diteliti beberapa ketentuan dalam KUHP yang mengatur masalah
batas usia anak, juga terdapat keanearagaman.
Menurut pasal 45 KUHP seseorang yang dikategorikan dibawah
umur atau belum dewasa apabila ia belum mencapai umur 16 tahun. Pasal
283 KUHP menentukan kedewasaan apabila sudah mencapai umur 17
tahun. Sedangkan berdasarkan ketentuan pasal 287 KUHP, batas umur
dewasa bagi seorang wanita adalah 15 tahun.

2.1.4 Cara Melakukan Audit Medis


Audit medis sebagai pendekatan sistematis untuk menelaah
pelayanan medis untuk mengidentifikasi peluang peningkatan mutu dan
menyediakan teknik yang tepat untuk mengidentifikasi peluang tersebut.
Audit medis ditekankan hanya untuk pelayanan medis, sementara audit

8
klinis dapat lebih luas dari audit medis karena dapat melibatkan pelayanan
keperawatan dan profesi yang lain. Kementrian Kesehatan lewat Peraturan
Menteri Kesehatan No. 775/MENKES/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik Rumah Sait memilih untuk
mendefinisikan audit medis sebagai upaya evaluasi secara professional
terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan
menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis.
Siklus Audit
Siklus Audit ada enam langkah. Langkah pertama adalah pemilihan
topic audit, dilanjutkan dengan penetapan kriteria dan standar,
pengumpulan data , analisis data, menetapkan perubahan dan terakhir
reaudit. Siklus ini terus berulang dan setiap kali reaudit harus adal
penilaian apakah pada saat ini pencapaian performa klinis sudah lebih baik
dibandingan dengan saat audit periode yang lalu.
a. Pemilihan Topik

Langkah awal yang penting dalah audit medis. Pemilihan topic


maupun mekanisme lain yang melibatkan komite medis, rapat komite
medis dengan direksi rumah sakit maupun mekanisme lain yang
melibatkan komite medis. Kebiasaan yang berlaku adalah
memprioritaskan kasus-kasu dengan ciri high volume, dan high cost.
Dapat pula ditambahkan dalam daftar kriteria tersebut beberapa
kondsi misalnya kerawanan terhadap complain, problem prone,
masukan dari direksi, dan data penyimpangan lain.
b. Topik Audit

Merupakan diagnosis juga dapat merupakan prosedur tertentu,


misalnya section caesaria, apendiktomi, tonsilektomi dan lain-lain.
Bila rumah sakit mempunyai clinicl pathway audit medis dapat
dipakai untu menilai clinical pathway tersebut. Bila topic telah
ditetapkan, susunlah dokumen sederhana mulai dari latar belakang,
rasionalitas pemilihan topic dan fakta lain missal ketersediaan
guideline atau standar lain.

9
c. Membuat Tim

Tim ini sebaiknya diketua oleh ketua subkomite mutu dan


beranggotakan dokter dengan reputasi baik di rumah sakit. Selain para
dokter, tim audit ini sebaiknya juga beranggotakan perekam medis
dalam jumlah yang cukup karena sebagian besar pengumpulan data
nanti akan bersumber dari rekam medis. Tentukan juga jumlah sampel
(misal 100 kasus terakhir) atau kisaran cakupan waktu (kasus tiga
bulan terakhir).
d. Penetapan Kriteria dan Standar

Penetapan Kriteria dan Standar tidak selalu mengacu pada


standar yang sudah ada. Bila rumah sakit telah mempunyai panduan
praktik klinis atau clinical pathway, maka kriteria dan standar dapat
diambil dari dokumen tersebut. Kriteria adalah bukti yang diperlukan
dan harus ada bahwa pasien telah diberi pelayanan pada taraf
seoptimal mungkin. Standar adalah baku nilai yang menjelaskan
kriteria terssebut. Usahakan membuat kriteria dan standar mulai dari
input, proses dan output. Dapat juga kriteria dimulai dari proses
penegakan diagnosis, proses terapi dan luaran pasien.
e. Pengumpulan data

Pengumpulan data pada audit sebenarnya bias retrospektif (dari


rekam medis) mauput Prospektif (pengamatan langsung). Bias pada
penelitian retrospektif tentu lebih mudah karena klinis sedang diamati
untuk audit. Sedangkan studi retrospektif melalui berkas rekam medis
yang lebih diminati.
f. Analisis Data

Bagian yang cukup rumit dan krusial dalam audit medis.


Analisis data harus dilakukan oleh dokter yang kompeten dalam
masalah ini dan perlu dimulai dengan pemeriksaan silang analisis
penyimpangan. Analisis harus memasktikan bahwa penyimpangan

1
0
yang dicatat oleh petugas data adalah benar penyimpangan, bukan
sekedar kesalahan pencatatan.

g. Merencanakan Perubahan

Implementasi perubahan menuju peningkatan mutu klinis, hasil


ini sesuai dengan tujuan audit yang telah dijelaskan diatas. Batas
waktu implentasi perubahan ini juga sebaiknya dikerjakan dalam
lingkup waktu yang spesifik dan terukur.
h. Reaudit

Prosedur reaudit sama dengan proses audit kecuali pemilihan


topic, kriteria dan standar. Hasil reaudit seharusnya lebih baik
daripada audit sebelumnya karena reaudit dilakukan setelah
implementasi perubahan dilakukan, apabila hasil sama saja, analisis
dan perencanaan perubahan perlu diperbaiki lanjut.

2.1.5 Temuan Kasus Kekerasan Pada Perempuan Dan Anak Yang Paling
Banyak Di Masyarakat
Contoh kasus kekerasan pada Perempuan
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 hingga 2010 hampir sepertiga
kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual, atau
tercatat 91.311 kasus kekerasan seksual dari 295.836 total kasus kekerasan
terhadap perempuan. Selama 2010 tercatat 1.751 korban kekerasan
seksual.15
Angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat.
Menurut data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia
(Komnas PAI) terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, dimana
pada tahun 2013 jumlah kasus kekerasan pada anak meningkat 60% jika
dibandingkan dengan tahun 2012. Pada tahun 2013, Komnas PAI mencatat
telah terjadi 1.620 kasus kekerasan pada anak. Dari jumlah itu terbagi
menjadi 490 kasus kekerasan fisik sebesar 30%, 313 kasus kekerasan

1
1
psikis sebesar 19%, dan yang terbanyak adalah kasus kekerasan seksual
sebanyak 817 kasus sebesar 51%.15
Pasien-pasien yang datang ke bagian gawat darurat sesudah
kekerasan seksual memberikan tantangan khusus bagi dokter yang
menanganinya. Pasien mungkin malu atau tidak ingin mengingat kembali
riwayat peristiwa yang dialami, ketepatan waktu dalam mengumpulkan
data riwayat peristiwa sangat penting untuk penanganan tepat waktu dan
dokumentasi forensik.16,17
Perkosaan merupakan suatu peristiwa yang sulit dibuktikan
walaupun pada kasus tersebut telah dilakukan pemeriksaan dan
pengumpulan barang bukti yang lengkap. Pasal 285 tentang pemerkosaan
berbunyi : Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
memaksa orang perempuan di luar perkawinan bersetubuh dengan dia
karena salahnya perkosaan, dihukum dengan hukuman penjara
selamalamanya dua belas tahun. Jadi harus dibuktikan terlebih dahulu
adanya suatu persetubuhan. Bila persetubuhan tidak bisa dibuktikan, maka
janggal bila dikatakan suatu perkosaan. Suatu pembuktian yang jelas
bahwa telah terjadi suatu persetubuhan secara medis adalah mendapatkan
sperma laki-laki di liang senggama wanita yang dimaksud. Beberapa hal
yang perlu diketahui adalah bahwa: (a) sperma hidup dapat bertahan
selama 3x24 jam dalam rongga rahim; (b) sperma mati dapat bertahan
selama 7x24 jam dalam rongga rahim. Dapat dibayangkan adanya
kesulitan bila terjadi suatu overspel, maksudnya antara persetubuhan yang
diduga dan waktu pemeriksaan terdapat lagi persetubuhan dengan
suaminya sendiri, sehingga sperma yang ditemukan tidak diketahui milik
siapa. Dalam kasus-kasus seperti ini, ilmu forensik dapat digunakan untuk
mengungkap pelaku kejahatan seksual.18,19
Tata laksana ilmu kedokteran forensik pada kasus kekerasan
seksual:20
a. Persiapan di Tempat Kejadian Perkara
Tindakan pada kasus/disangka kasus perkosaan atau perzinahan:
1. Perhatikan apakah korban memerlukan pertolongan pertama akibat

1
2
kekerasan yang dideritanya. Perhatikan juga apakah korban telah
cukup umur atau belum selanjutnya lihat skema persetubuhan;
2. Perhatikan apakah pada tubuh korban terdapat tanda-tanda
kekerasan
3. Amankan tempat kejadian dan barang bukti
4. Kumpulkan barang bukti sebaikbaiknya seperti noda darah, bercak
pada kain, celana, sprei, dan lain-lain
5. Perhatikan sikap korban, apakah takut, gelisah, malu atau tenang-
tenang saja.
6. Perhatikan caranya berpakaian dan berhias, adalah berlebihan atau
mengandung gairah
7. Kirimkan korban/tersangka korban ke rumah sakit pemerintah
dengan formulir visum et repertum model IV tanpa diperkenankan
membersihkan badan dahulu. Korban diantar oleh petugas polisi
8. Jelaskan kepada ahli kebidanan/dokter yang bertugas tentang
maksud pemeriksaan ini.
9. Bila dipandang perlu maka korban dapat diisolasi dengan
pengawasan ketat dan tidak boleh ditemui seorang pun atau
berhubungan dengan tamu/keluarga. 20

b. Pengumpulan Alat Bukti di Tempat Kejadian Perkara


Untuk kepentingan penyidikan, alat bukti sangat penting.
Pengumpulan alat bukti dilakukan di tempat kejadian perkara,
selanjutnya alat bukti tersebut dikirim ke laboratorium forensik untuk
dianalisis. Barang bukti/material kimia, biologik dan fisik yang
ditemukan ditempat kejadian perkara dapat berupa:
1. Material kimia: alkohol, obat-obatan, atau bahan kimia lain yang
ditemukan di tempat kejadian perkara
2. Material fisik: serat pakaian, selimut, kain penyekap korban dll.
3. Material biologik: cairan tubuh, air liur, semen/sperma, darah,
rambut dll. 20

c. Sebelum Pemeriksaan Korban

1
3
Sebelum korban dikirim ke rumah sakit/fasilitas kesehatan untuk
dilakukan pemeriksaan dokter, perlu dijelaskan dengan hati-hati
proses pemeriksaan forensik dengan memaparkan langkahlangkah
penyelidikan. Sebelum pemeriksaan forensik syarat yang harus
dipenuhi adalah:
1. Harus ada permintaan tertulis untuk pemeriksaan kasus kekerasan
seksual dari penyidik atau yang berwenang.
2. Korban datang dengan didampingi polisi/penyidik.
3. Memperoleh persetujuan (inform consent) dari korban.
4. Pemeriksaan dilakukan sedini mungkin untuk mencegah hilangnya
alat bukti yang penting bagi pengadilan. 20

d. Pemeriksaan Korban Kekerasan Seksual


Yang perlu diperiksa oleh dokter terhadap korban/tersangka
korban kekerasan seksual sedapat mungkin memenuhi tuntutan yang
digunakan dalam undang-undang hukum pidana. Pemeriksaan fisik
juga didasarkan pada kebijakan juridiksional, dan dilakukan oleh
dokter dengan pemeriksaan meliputi:
Umum:
1. Rambut, wajah, emosi secara keseluruhan
2. Apakah korban pernah pingsan sebelumnya, mabuk atau tanda-
tanda pemakaian narkotik.
3. Tanda-tanda kekerasan diperiksa di seluruh tubuh korban.
4. Alat bukti yang menempel ditubuh korban yang diduga milik
pelaku.
5. Memeriksa perkembangan seks sekunder untuk menentukan umur
korban.
6. Pemeriksaan antropometri; tinggi badan dan berat badan
7. Pemeriksaan rutin lain20
Khusus:
1. Genitalia: pemeriksaan akibat-akibat langsung dari kekerasan
seksual yang dialami korban, meliputi:

1
4
a. Kulit genital apakah terdapat eritema, iritasi, robekan atau
tanda-tanda kekerasan lainnya.
b. Eritema vestibulum atau jaringan sekitar
c. Perdarahan dari vagina.
d. Kelainan lain dari vagina yang mungkin disebabkan oleh
infeksi atau penyebab lain.
e. Pemeriksaan hymen meliputi bentuk hymen, elastisitas hymen,
diameter penis. Robekan penis bisa jadi tidak terjadi pada
kekerasan seksual penetrasi karena bentuk, elastisitas dan
diameter penis.
f. Untuk yang pernah bersetubuh, dicari robekan baru pada wanita
yang belum melahirkan
g. Pemeriksaan ada tidaknya ejakulasio dalam vagina dengan
mencari spermatozoa dalam sediaan hapus cairan dalam
vagina20
2. Pemeriksaan anal
Kemungkinan bila terjadi hubungan seksual secara anal akan
menyebabkan luka pada anal berupa robekan, ireugaritas, keadaan
fissura. 20
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan cairan mani (semen)
c. Tes kehamilan
d. Pemeriksaan lain seperti hepatitis, gonorrhea, HIV.
e. Pemeriksaan cairan tubuh, mani, liur, atau rambut yang dianggap
pelaku.

e. Wawancara/Anamnesis Korban Kekerasan Seksual


Wawancara dengan korban meliputi empat elemen: Wawancara
teraupetik, wawancara investigasi, wawancara medis dan wawancara
medico-legal. Walaupun isi dari masingmasing wawancara bisa saling
tumpang tindih dan perbedaan wawancara dalam beberapa hal dapat

1
5
dilakukan oleh orang yang sama, dengan tujuan dan fungsi masing-
masing berbeda. Wawancara dapat dilakukan tersendiri, bersahabat
dan lingkungan yang mendukung. Penginterview akan membangun
suatu hubungan dengan korban dan mulai dengan pertanyaan umum
yang tidak berhubungan dengan kekerasan seksual yang dialami,
seperti riwayat medis. Jika diperlukan dapat digunakan penerjemah.
Bahasa dan nama penerjemah yang digunakan dapat dicatat dalam
laporan. Pada kasus remaja, mereka diijinkan untuk didampingi oleh
orang tua bila mereka mau. Mereka juga diperlakukan dengan cara
yang sama seperti orang dewasa. 20

f. Pemeriksaan Fisik Korban Kekerasan Seksual


Pemeriksaan pasien dibagi dalam beberapa kategori yaitu;
keadaan umum dan tingkah laku pasien; keadaan tubuh secara
keseluruhan, genitalia externa, vagina dan servix, dan anus serta
rektum. 20

g. Penilaian Dugaan Kekerasan Seksual


Berikut ini detail penilaian kekerasan seksual yang dapat menguatkan
terjadinya kekerasan seksual pada korban.
1. Trauma non genital (kekerasan, bukti menguatkan)
Trauma fisik adalah pembuktian terbaik adanya kekerasan
dan harus selalu didokumentasikan melalui foto, dideskripsikan
melalui gambar dan dalam bentuk laporan tertulis. Bukti trauma
dapat juga menguatkan pernyataan korban akan kejadian tersebut.
- Pola trauma non genitalia
Peneliti forensik harus banyak mengetahui tentang pola
trauma yang terjadi karena kekerasan seksual, untuk dapat
menanyakan pertanyaan yang tepat dan lokasi trauma
berdasarkan cerita korban. Tempat yang paling sering
mengalami trauma pada korban kekerasan seksual, termasuk:
• Memar pada tungkai atas dan paha

1
6
• Memar pada leher karena cekikan
• Memar pukulan pada lengan atas
• Memar karena postur bertahan pada sisi lengan luar
Juga yang sering adalah:
• Trauma menyerupai cambuk atau tali pada punggung korban
• Trauma pukulan atau gigitan pada payudara dan puting susu
• Trauma pukulan pada abdomen
• Trauma Pukulan dan tendangan pada paha
• Memar, lecet, dan laserasi pada wajah.
- Trauma non genital yang terpola
Istilah "trauma terpola" berbeda dari istilah yang sama,
"pola trauma" yang disebutkan diatas. Keduanya penting dalam
istilah forensik, akan tetapi, "trauma terpola" adalah trauma dari
objek yang digunakan untuk menimbulkan trauma, yang mudah
diindentifikasi melalui pola yang ada pada korban.
2. Bukti trauma genital (kontak seksual, kekerasan)
Trauma genital menunjukkan adanya kontak seksual dan
kekerasan. Trauma genital paling banyak terlihat setelah
kekerasan seksual. Akan tetapi, pada kasus kekerasan seksual
seringkali tidak ditemukan bukti trauma genital. Dengan
demikian, tidak adanya trauma genital tidak dapat
diinterpretasikan bahwa hubungan seks yang terjadi atas
persetujuan. Dengan kata lain, peneliti forensik seringkali tidak
menemukan bukti trauma genital, dan alasan mengapa ini terjadi
harus dijelaskan di pengadilan.
a. Pola trauma genital
• posterior fourchette (70%)
• vagina (11%)
• labia minora (53%)
• perineum (11%)
• hymen (29%)
• area periuretral (9%)

1
7
• fossa navicularis (25%)
• labia majora (7%)
• anus (15%)
• rektum (4%)
• servix (13%
b. Hubungan antara trauma non-genital dan trauma genital
• Korban trauma non-genital juga mengalami trauma genital.
• Pada studi lain dari 304 korban kekerasan seksual, 79%
mereka dengan trauma non-genital juga memperlihatkan bukti
adanya trauma genital.

c. Bukti dari kolposkopi


Diduga bahwa pemeriksaan kolposkopi untuk
memperjelas jaringan genital adalah aset penting untuk
identifikasi trauma genital. Toluidine blue adalah nuclear stain
yang biasa digunakan dalam pemeriksaan kekerasan seksual
untuk mendekteksi adanya mikrotrauma.
d. Toluidin blue
Trauma biasanya ditemukan dalam pemerkosaan yang
disebabkan oleh tidak adanya respon human, yaitu:
e. Deskripsi trauma genital
• Tidak adanya kemiringan pelvik untuk mempersiapkan
penetrasi
• Tidak adanya bantuan pasangan dengan memasukkan penis
atau objek lain.
• Tidak adanya lubrikasi
• Tidak adanya relaksasi
• Peningkatan kekuatan dari penetrasi
• Disfungsi seksual pria
• Tidak adanya komunikasi20

h. Evaluasi, Penanganan dan Konseling Korban Perkosaan

1
8
1. Evaluasi dan penanganan infeksi akibat transmisi seksual
2. Evaluasi dan Pencegahan Resiko Kehamilan
3. Konseling intervensi krisis dan follow up
4. Penanganan korban pada pusat layanan primer
5. Penanganan korban di rumah sakit provinsi/daerah20

Contoh kasus kekerasan pada anak


Pemeriksaan korban kekerasan terhadap anak menggunakan cara
pendekatan yang berbeda dengan kekerasan pada perempuan, mengingat
kondisi fisik dan mental anak yang masih dalam fase tumbuh kembang.
Sebelum pelaksanaan pemeriksaan pada anak, perlu dilakukan informed
consent mengenai maksud, tujuan, proses dan lama pemeriksaan yang
harus disampaikan baik kepada anak maupun kepada orangtuanya, serta
selanjutnya meminta korban dan orang tua/wali/keluarga/pendampingnya
menandatangani informed consent tersebut.1
Untuk mencegah hal-hal yang tidak di inginkan khususnya dalam
melakukan pemeriksaan terhadap korban kasus kekerasan pada anak usia
remaja, tenaga kesehatan sebaiknya didampingi oleh petugas kesehatan
lain yang jenis kelaminnya sama dengan korban.1
a. Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan auto dan hetero anamnesis. Auto


anamnesis dilakukan setelah terjalin hubungan yang akrab dan saling
percaya antara pewawancara dan korban dengan menggunakan alat
bantu seperti: boneka, alat tulis dan buku gambar. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam anamnesis adalah anamnesis diperoleh secara
cermat baik dari pengantar maupun korban dengan menggunakan
ruang tersendiri dan harus dijamin kerahasiaannya.1
Bila dijumpai satu atau lebih indikator pada anamnesis, dapat
dipikirkan adanya kekerasan pada anak, yaitu21
A. Riwayat kecelakaan tidak cocok dengan jenis atau beratnya
trauma. Misalnya distribusi atau jenis lesi tidak sesuai dengan

1
9
riwayat kejadian yang diceritakan atau riwayat kejadian
menyatakan trauma ringan tetapi dijumpai trauma yang berat.
B. Riwayat bagaimana kecelakaan terjadi tidak jelas atau pengasuh
(orang tua) tidak tahu bagaimana terjadinya kecelakaan.
C. Riwayat kecelakaan berubah-ubah ketika diceritakan kepada
petugas kesehatan yang berlainan.
D. Orang tua jika ditanya secara terpisah memberi keterangan yang
saling bertentangan
E. Riwayat yang tidak masuk akal, misalnya anak dikatakan terjatuh
ketika memanjat padahal dudukpun belum bisa.

Perhatikan pula sikap/perilaku korban dan pengantar, apakah


korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam memberikan jawaban,
apabila memungkinkan, anamnesa terhadap korban dan pengantar
dilakukan secara terpisah. Nilai kemungkinan adanya ketidaksesuaian
yang muncul antara penuturan orang tua/pengantar dan anak dengan
temuan medis. Perhatikan sikap/perilaku korban dan pengantar,
apakah korban terlihat takut, cemas, ragu-ragu dan tidak konsisten
dalam memberikan jawaban.1
Lengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa,
pengantar, tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta identitas
korban, terutama umur dan perkembangan seksnya, tanggal hari
pertama haid terakhir dan apakah sedang haid saat kejadian.
Konfirmasi ulang urutan kejadian, apa yang menjadi pemicu,
penyiksaan apa yang telah terjadi, oleh siapa, dengan menggunakan
apa, berapa kali, apa dampaknya terhadap korban, waktu dan lokasi
kejadian.1
Petugas perlu untuk menggali informasi tentang, adakah
perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti ngompol,
mimpi buruk, susah tidur, menjadi manja, suka menyendiri, murung
atau malah berubah menjadi agresif. Keadaan kesehatan sebelum

2
0
trauma, adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya, adakah riwayat
penyakit dan masalah perilaku sebelumnya, adakah faktor-faktor
sosial budaya ekonomi yang berpengaruh terhadap perilaku di dalam
keluarga. Jika ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan
konseling atau rujuk jika memerlukan intervensi psikiatrik, serta
periksa apakah ada tanda-tanda kehilangan kesadaran yang
diakibatkan pemberian NAPZA.1,21
Bila terjadi kekerasan seksual, tambahkan pertanyaan tentang hal-
hal berikut ini, yaitu waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya
kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang
terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami kekerasan, ada
tidaknya penetrasi, dengan apa penetrasi dilakukan, adanya rasa nyeri,
perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina, adanya rasa nyeri
dan gangguan pengendalian buang air besar dan/atau buang air kecil,
apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan seksual
tersebut, apakah korban mengganti pakaian, buang air kecil,
membersihkan bagian kelamin dan dubur, mandi atau gosok gigi.
Khusus untuk kasus kekerasan seksual pada remaja, tanyakan
kemungkinan adanya hubungan seksual dua minggu sebelumnya.1
Selama melaksanakan anamnesis, lakukan pengamatan tentang
adanya beberapa hal yang perlu diobservasi, yaitu adanya
keterlambatan yang bermakna antara saat terjadinya kekerasan dan
saat mencari pertolongan medis, adanya ketidaksesuaian antara tingkat
kepedulian orang tua dengan beratnya trauma yang dialami anak, dan
interaksi yang tidak wajar antara orangtua/pengasuh dengan anak,
seperti adanya pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang tidak
memadai atau perilaku marah yang impulsif dan tidak menyadari
kebutuhan anak.1

b. Pemeriksaan Fisik

Lakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh dengan ramah dan


sopan. Lakukan pemeriksaan terhadap keadaan umum, kesadaran dan
tanda-tanda vital. Perhatikan apakah ada luka lama dan baru yang

2
1
sesuai dengan urutan kejadian peristiwa kekerasan yang dialami.
Sering kali tidak ada kesesuaian antara pemeriksaan fisis dengan
anamnesis tentang kejadian yang diungkapkan oleh orang tua atau
pengantar. Pemeriksaan fisis harus dilakukan dengan teliti dan hati-
hati terutama bila ditemukan jelas pada bagian-bagian tubuh yang
tidak lazim.1,21
Indikator kemungkinan terjadinya perlakuan salah fisis pada anak
yaitu:22
 Memar dan bilur: pada wajah, bibir/mulut, bagian tubuh lainnya
seperti di punggung, bokong, paha, betis, terdapat baik
memar/bilur yang baru maupun yang sudah menyembuh, corak
memar/bilur menunjukkan benda tertentu yang dipakai untuk
kekerasan.
 Luka lecet dan luka robek: di mulut, mata, bibir, kuping, lengan
dan tangan; di genitalia; luka akibat gigitan manusia; dan di
bagian tubuh lain, terdapat luka baru atau berulang.
 Patah tulang: setiap patah tulang pada anak di bawah usia 3 tahun,
patah tulang baru dan lama (dalam penyembuhan) yang
ditemukan bersamaan, patah tulang ganda, patah tulang spiral
pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai, dan patah tulang
pada kepala, rahang dan hidung, serta patah gigi.
 Luka bakar: bekas sundutan rokok; luka bakar pada kaki, tangan,
atau bokong, akibat kontak bagian tubuh tersebut dengan benda
panas; dan bentuk luka yang khas sesuai dengan bentuk benda
panas yang dipakai untuk menimbulkan luka tersebut.
 Cedera pada kepala: perdarahan (hematoma) subkutan dan atau
subdural yang dapat dilihat pada foto rontgen, bercak/area
kebotakan akibat tertariknya rambut, dan terdapat baik yang baru
atau berulang.
 Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul
(kemungkinan akibat tarikan), atau tanda-tanda luka yang
berulang.

2
2
Pada korban kekerasan seksual perlu dilakukan pemeriksaan lain,
yaitu tanda-tanda perlawanan atau kekerasan seperti pakaian yang
robek, bercak darah pada pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis,
hematoma dan perhatikan kesesuaian tanda kekerasan dengan urutan
kejadian kekerasan. Kadang-kadang tanda ini muncul dengan segera
atau setelah beberapa waktu kemudian. Gunting dan kerok kuku
korban kanan dan kiri masukan ke dalam amplop terpisah dan berilah
label. Juga lakukan pemeriksaan ginekologik pada korban anak
perempuan (hanya dilakukan pemeriksaan luar, sedangkan untuk
pemeriksaan dalam harus dirujuk). Rambut pubis disisir, rambut lepas
yang ditemukan mungkin milik pelaku dimasukan ke dalam amplop.
Rambut pubis korban dicabut/ digunting 3-5 helai masukan ke dalam
amplop yang berbeda dan diberi label.1
Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva dan perineum.
Catat jenis, lokasi, bentuk, dasar dan tepi luka. Periksa selaput dara,
pada selaput dara tentukan ada atau tidaknya robekan, robekan baru
atau lama, lokasi robekan tersebut dan teliti apakah sampai ke dasar
atau tidak. Dalam hal tidak adanya robekan, padahal ada informasi
terjadinya penetrasi, lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang.
Pada balita diameter hymen tidak lebih dari 5 mm, dan dengan
bertambahnya usia akan bertambah 1 mm. Bila ditemukan diameter
sama atau lebih dari 10 mm, patut dicurigai sudah terjadi penetrasi
oleh benda tumpul misalnya jari. Pada remaja pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan satu jari kelingking. Bila kelingking dapat
masuk tanpa hambatan dan rasa nyeri, lanjutkan pemeriksaan dengan
satu jari telunjuk, bila tanpa hambatan, teruskan dengan jari telunjuk
dan jari tengah (2 jari). Bila dengan 2 jari tanpa hambatan, dicurigai
telah terjadi penetrasi. Bercak kering dikerok dengan menggunakan
skalpel, bercak basah diambil dengan kapas lidi, dikeringkan pada
suhu kamar dan dimasukkan amplop.1
Pemeriksaan colok dubur baik pada anak laki-laki maupun

2
3
perempuan. Pada balita pemeriksaan dilakukan dalam posisi
menungging (kneechest position. Jangan menggunakan anuskop pada
anak di bawah 6 tahun, agar tidak menambah trauma baru pada anak.
Anuskop hanya digunakan sesuai indikasi (dicurigai ada keluhan,
infeksi, perdarahan dalam).1

c. Pemeriksaan Status Mental

Kekerasan berdampak pada berbagai aspek kehidupan korban


yang membutuhkan daya adaptasi yang luar biasa dan menimbulkan
distres serta gejala-gejala pasca trauma. Anak memiliki ciri
temperamen dan perasaan yang unik, sehingga dapat memberikan
reaksi yang berbeda terhadap trauma/tekanan yang sama. Anak
mungkin akan mengekspresikan masalah melalui kata-kata, keluhan-
keluhan fisik atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan tahapan
perkembangannya.1
Gejala yang muncul antara lain, ketakutan, bisa takut akan reaksi
keluarga maupun teman-teman, takut orang lain tidak akan
mempercayai keterangannya, takut diperiksa oleh dokter pria, takut
melaporkan kejadian yang dialaminya, takut terhadap pelaku, takut
ditinggal sendirian. Reaksi emosional lain, seperti syok, rasa tidak
percaya, marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung,
histeris yang menyebabkan sulit tidur (insomnia), hilang nafsu makan,
mimpi buruk, selalu ingat peristiwa itu.1
Gejala lain selain ketakutan mungkin muncul adanya rasa siaga
berlebihan (mudah kaget, terkejut, curiga), panik, berduka berupa
perasaan sedih terus menerus. Gejala-gejala tersebut dapat diatasi
dengan konseling. Bila konseling tidak berhasil, rujuk ke
PPT/PKT,P2TP2A. Jika gejala-gejalanya bertaraf berat, dapat
menimbulkan gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang bisa terjadi, antara
lain:1
i. PTSD (Gangguan Stres Pasca Trauma)
ii. Gangguan Depresi
iii. Gangguan Cemas terkait Trauma

2
4
iv. Gangguan Penyesuaian
v. Gangguan Psikotik
vi. Gangguan Perkembangan pada Anak
a) Gangguan perkembangan pervasif
b) Gangguan perkembangan spesifik

d. Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan


status mental maka dapat dipilih jenis pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan yang akan dilakukan. Apabila dicurigai terdapat perdarahan
maka evaluasi terhadap faktor perdarahan dan koagulasi harus
dilakukan. Uji toksikologi dapat dilakukan apabila terdapat gejala
keracunan, demikian pula pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan
tergantung indikasi. Pencitraan memegang peran penting dalam
menegakkan diagnosis perlakuan salah fisis pada anak. Untuk anak
yang berusia < 2 tahun yang dicurigai telah mengalami perlakuan
salah, American Association of Pediatrician (AAP)
merekomendasikan dilakukannya survei tulang. Survei tulang meliputi
foto rontgen anteroposterior untuk humerus, lengan bawah, tangan,
pelvis, femur, tungkai bawah dan kaki, sedangkan foto rontgen lateral
untuk toraks dan kepala. Beberapa modalitas pencitraan lainnya
digunakan tergantung indikasi, seperti CT-scan yang merupakan
pilihan terbaik untuk mengetahui trauma abdomen dan MRI untuk
menilai cedera jaringan lunak kepala. Lakukan penapisan (screening)
penyakit kelamin, tes kehamilan, mikroskop untuk melihat sperma
dengan NaCl, serta USG bila tersedia.1

2
5
BAB III
KESIMPULAN

Audit Medis adalah analisis atau pemeriksaan yang sistematis dan independen
tentang asuhan klinis, untuk menentukan jika aktifitas dan hasilnya sesuai dengan
pengaturan yang telah di implementasikan secara efektif dan cocok untuk
mencapai tujuan termasuk prosedur-prosedur untuk diagnosis, tindakan medis,
perawatan, pemanfaatan sumber daya yang terikat, dan outcome mutu hidup bagi
pasien sebagai hasil dari prosedur-prosedur tersebut.
Perempuan, puteri, istri, ataupun ibu adalah sejenis mahkluk dari bangsa
manusia yang halus kulitnya, lemah sendi tulangnya dan agak berlainan bentuk
dari susunan bentuk tubuh lelaki. Tuhan menjadikan Wanita agak berlainan
bentuk susunan badannnya dan agak berlainan pula kekuatan, dan akal fikirannya
dibandingkan dengan lelaki, sedangkan anak secara etimologis diartikan sebagai
manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.
Audit medis dilakukan dengan beberapa langkah yaitu pemilihan topic audit,
dilanjutkan dengan penetapan kriteria dan standar, pengumpulan data , analisis
data, menetapkan perubahan dan terakhir reaudit.
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) sejak tahun 1998 hingga 2010 hampir sepertiga kasus kekerasan
terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual, atau tercatat 91.311 kasus
kekerasan seksual dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pada tahun 2013, Komnas PAI mencatat telah terjadi 1.620 kasus kekerasan
pada anak. Dari jumlah itu terbagi menjadi 490 kasus kekerasan fisik sebesar
30%, 313 kasus kekerasan psikis sebesar 19%, dan yang terbanyak adalah kasus
kekerasan seksual sebanyak 817 kasus sebesar 51%.

2
6
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pelayanan terpadu


korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Rumah Sakit. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2009.
2. Kurniasari A, Wismaayanti YF, Irmayani, Husmiati, Widodo N, Susantyo B.
Ringkasan hasil: survey kekerasan terhadap anak Indonesia. Indonesia:
Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat
Statistik, dan UNICEF Indonesia; 2013.
3. Kailola N.E., 2017. Hubungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap
Gangguan Cemas Pada Wanita Di Kota Ambon Tahun 2017. Progam Pasca
Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Univeritas  Hasanudin Makasar.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Audit Medis Di
Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2005
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 755.
Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit. 2011
6. Sarlito W, Sarwono. Pengantar Psikologi Umum. 2012. Jakarta: Rajawali
Press.
7. Wayan, Ardhana. Pokok-pokok ilmu jiwa umum. 1985. Surabaya: Usaha
Nasional.
8. Subhan, Zaitunah. Qodrat Permpuan Taqdir atau Mitos. 2004 .
Yogyakarta:Pustaka Pesantren
9. Syani, Abdul. Sosiologi: Sistematika, Teori dan Terapan. 1992. Jakarta: Bumi
Aksara.
10. Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka : Amirko
11. Koesnan, R.A. 2005. Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia,
Bandung : Sumur
12. Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cetakan
Kedua, Bandung, P.T.Refika Aditama
13. Darwan Prinst, Hukum Anak indonesia Cetakan Kedua 2003, PT.Citra Aditya

2
7
Bakti.
14. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
15. Abdussalam HR. Forensik. Restu Agung. Jakarta. Edisi 3. 2006. p 139-149.
16. Narejo NB., Avais MA. Examining the Role of Forensic Science for the
Investigative –Solution of Crimes. Sindh university research journal. 10 Science
series. Vol.44. 2012. p 251-254
17. Gaensslen RE., Lee HC. Sexual Assault Evidence: National Assessment and
Guidebook. US Department of Justice. Januari 2002
18. West Virginia SAFE. Sexual assault forensic medical examination. Training and
Collaboration Toolkit—Serving Sexual Violence Victims with Disabilities. Sexual
Violence 101
19. Murtika IK., Prakoso D. Dasar-dasar ilmu kedokteran kehakiman. Cetakan ke-2.
1992. p 110-112
20. Kalangit, A., J.Mallo, D. Tomuka. Peran Ilmu Kedokteran Forensik Dalam
Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan Seksual.
Universitas Sam Ratulangi
21. Widiastuti D, Sekartini R. Deteksi dini, faktor risiko, dan dampak perlakuan
salah pada anak. Sari Pediatri September 2005; 7(2) : 105-12.
22. Widiatmoko W, Gunardi H, editor. Buku panduan tatalaksana kasus
penganiayaan dan penelantaran anak. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2000.

2
8

Anda mungkin juga menyukai