Oleh:
Pembimbing
Komisaris Polisi. dr. Mansuri, Sp.KF
Judul
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah referat yang berjudul
“AUDIT MEDIS KASUS KEKERASAN PADA PEREMPUAN DAN ANAK”
sebagai syarat untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
Komisaris Polisi. dr. Mansuri, Sp.KF, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan kasus
ini, semoga bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1 Latar Belakang.......................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................3
1.3 Tujuan ...................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Audit Medis Kasus Kekesaran Pada Perempuan dan Anak ...............3
2.1.1 Definisi Audit Medis .................................................................3
2.1.2 Definisi Perempuan....................................................................4
2.1.3 Definisi Anak.............................................................................6
2.1.4 Cara melakukan Audit Medis.....................................................7
2.1.5 Temuan Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak..............8
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................30
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
tercatat 69% atau 11.207 kasus. Sedangkan data kekerasan pada anak
menurut Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak terjadi
peningkatan kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) di Indonesia pada
tahun 2005-2006 dengan jumlah keseluruhan kasus kekerasan pada anak
dari 741 kasus menjadi 1256 kasus. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2015 dalam Survei Penduduk Antar Sensus, menyebutkan jumlah anak
(0-18 tahun) adalah 88.120.084 jiwa1,2,3. Dikarenakan angka kasus
kekerasan pada Perempuan dan Anak yang masih tinggi maka sebaiknya
perlu dilakukan audit medis yang bertujuan sebagai evaluasi yang
diharapkan adanya penurunan angka kejadian kasus kekerasan pada
perempuan dan anak dari tahun sebelumnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
rumah sakit. Audit medis tidak digunakan untuk mencari ada tidaknya
kesalahan seorang staf medis, mekanisme yang digunakan adalah
mekanisme disiplin profesi, bukannya mekanisme audit medis. Audit
medis dilakukan dengan mengedepankan respek terhadap semua staf
medis (no blaming culture) dengan cara tidak menyebutkan nama (no
naming), tidak mempersalahkan (no blaming), dan tidak mempermalukan
(no shaming).5
Audit medis yang dilakukan oleh rumah sakit adalah kegiatan
evaluasi profesi secara sistemik yang melibatkan peer group yang terdiri
dari kegiatan peer-review, surveillance dan assessment terhadap pelayanan
di rumah sakit. Dalam pengertian audit medis tersebut diatas, rumah sakit,
komite medik atau masing-masing kelompok staf medis dapat
menyelenggarakan evaluasi kinerja profesi yang terfokus (focused
professional practice evaluation).5
Secara umum, pelaksanaan audit medis harus dapat memenuhi 4
peranan penting, yaitu:
a. Sebagai sarana untuk melakukan penilaian terhadap kompetensi
masing-masing staf medis pemberi pelayanan di rumah sakit.
b. Sebagai dasar untuk pemberian kewenangan klinis (clinical privilege)
sesuai kompetensi yang dimiliki.
c. Sebagai dasar bagi komite medis dalam merekomendasikan
pencabutan atau penangguhan kewenangan klinis (clinical privilege),
dan
d. Sebagai dasar bagi komite medik dalam merekomendasikan
perubahan/ modifikasi rincian kewenangan klinis seorang staf medis.
4
Gambar 2.1 Evaluasi berkesinambungan audit medis
Upaya ini akan menjamin mutu pelayanan agar tetap tinggi dan
efisien, khususnya di bidang klinis, yang pada akhirnya akan berperan
sebagai suatu nilai tambah bagi pelaksanaan upaya pelayanan medis. Yang
paling penting dari audit medis ini ialah interpretasi secara profesional
tentang fakta-fakta yang diketemukan yang mempengaruhi standar
pelayanan medis. Apabila didapatkan keadaan yang ternyata berbeda
dengan yang normal maka keadaan ini perlu diperhatikan dan dijelaskan.
Karena itu, rekam medis haruslah merupakan bahan utama dalam upaya
5
evaluasi terus menerus agar dapat dibandingkan dengan pencapaian rumah
sakit ataupun dengan pencapaian upaya sendiri di masa lalu.4
6
2.1.3 Definisi Anak
Merujuk dari Kamus Umum bahasa Indonesia mengenai pengertian
anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun
manusia yang belum dewasa.10
Menurut R.A. Kosnan “Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur
muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh
untuk keadaan sekitarnya”. Oleh karna itu anak-anak perlu diperhatikan
secara sungguhsungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk social yang paling
rentan dan lemah, ironisnya anak-anak justru sering kali ditempatkan
dalam posisi yang paling di rugikan, tidak memiliki hak untuk bersuara,
dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasa dan
pelanggaran terhadap hak-haknya.11,12
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa pengertian tentang anak
menurut peraturan perundang- undangan, begitu juga menurut para pakar
ahli. Namun di antara beberapa pengertian tidak ada kesamaan mengenai
pengertian anak tersebut, karna di latar belakangi dari maksud dan tujuan
masing-masing undangundang maupun para ahli. Pengertian anak menurut
peraturan perundangundangan dapat dilihat sebagai berikut :
- Anak menurut KUHP Pasal 45
KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum
berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut
dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu
dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan
tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
Ketentuan pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan
lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 1997.13
7
b. Anak dalam Hukum Perburuhan
8
klinis dapat lebih luas dari audit medis karena dapat melibatkan pelayanan
keperawatan dan profesi yang lain. Kementrian Kesehatan lewat Peraturan
Menteri Kesehatan No. 775/MENKES/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik Rumah Sait memilih untuk
mendefinisikan audit medis sebagai upaya evaluasi secara professional
terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan
menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis.
Siklus Audit
Siklus Audit ada enam langkah. Langkah pertama adalah pemilihan
topic audit, dilanjutkan dengan penetapan kriteria dan standar,
pengumpulan data , analisis data, menetapkan perubahan dan terakhir
reaudit. Siklus ini terus berulang dan setiap kali reaudit harus adal
penilaian apakah pada saat ini pencapaian performa klinis sudah lebih baik
dibandingan dengan saat audit periode yang lalu.
a. Pemilihan Topik
9
c. Membuat Tim
1
0
yang dicatat oleh petugas data adalah benar penyimpangan, bukan
sekedar kesalahan pencatatan.
g. Merencanakan Perubahan
2.1.5 Temuan Kasus Kekerasan Pada Perempuan Dan Anak Yang Paling
Banyak Di Masyarakat
Contoh kasus kekerasan pada Perempuan
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 hingga 2010 hampir sepertiga
kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual, atau
tercatat 91.311 kasus kekerasan seksual dari 295.836 total kasus kekerasan
terhadap perempuan. Selama 2010 tercatat 1.751 korban kekerasan
seksual.15
Angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat.
Menurut data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia
(Komnas PAI) terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, dimana
pada tahun 2013 jumlah kasus kekerasan pada anak meningkat 60% jika
dibandingkan dengan tahun 2012. Pada tahun 2013, Komnas PAI mencatat
telah terjadi 1.620 kasus kekerasan pada anak. Dari jumlah itu terbagi
menjadi 490 kasus kekerasan fisik sebesar 30%, 313 kasus kekerasan
1
1
psikis sebesar 19%, dan yang terbanyak adalah kasus kekerasan seksual
sebanyak 817 kasus sebesar 51%.15
Pasien-pasien yang datang ke bagian gawat darurat sesudah
kekerasan seksual memberikan tantangan khusus bagi dokter yang
menanganinya. Pasien mungkin malu atau tidak ingin mengingat kembali
riwayat peristiwa yang dialami, ketepatan waktu dalam mengumpulkan
data riwayat peristiwa sangat penting untuk penanganan tepat waktu dan
dokumentasi forensik.16,17
Perkosaan merupakan suatu peristiwa yang sulit dibuktikan
walaupun pada kasus tersebut telah dilakukan pemeriksaan dan
pengumpulan barang bukti yang lengkap. Pasal 285 tentang pemerkosaan
berbunyi : Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
memaksa orang perempuan di luar perkawinan bersetubuh dengan dia
karena salahnya perkosaan, dihukum dengan hukuman penjara
selamalamanya dua belas tahun. Jadi harus dibuktikan terlebih dahulu
adanya suatu persetubuhan. Bila persetubuhan tidak bisa dibuktikan, maka
janggal bila dikatakan suatu perkosaan. Suatu pembuktian yang jelas
bahwa telah terjadi suatu persetubuhan secara medis adalah mendapatkan
sperma laki-laki di liang senggama wanita yang dimaksud. Beberapa hal
yang perlu diketahui adalah bahwa: (a) sperma hidup dapat bertahan
selama 3x24 jam dalam rongga rahim; (b) sperma mati dapat bertahan
selama 7x24 jam dalam rongga rahim. Dapat dibayangkan adanya
kesulitan bila terjadi suatu overspel, maksudnya antara persetubuhan yang
diduga dan waktu pemeriksaan terdapat lagi persetubuhan dengan
suaminya sendiri, sehingga sperma yang ditemukan tidak diketahui milik
siapa. Dalam kasus-kasus seperti ini, ilmu forensik dapat digunakan untuk
mengungkap pelaku kejahatan seksual.18,19
Tata laksana ilmu kedokteran forensik pada kasus kekerasan
seksual:20
a. Persiapan di Tempat Kejadian Perkara
Tindakan pada kasus/disangka kasus perkosaan atau perzinahan:
1. Perhatikan apakah korban memerlukan pertolongan pertama akibat
1
2
kekerasan yang dideritanya. Perhatikan juga apakah korban telah
cukup umur atau belum selanjutnya lihat skema persetubuhan;
2. Perhatikan apakah pada tubuh korban terdapat tanda-tanda
kekerasan
3. Amankan tempat kejadian dan barang bukti
4. Kumpulkan barang bukti sebaikbaiknya seperti noda darah, bercak
pada kain, celana, sprei, dan lain-lain
5. Perhatikan sikap korban, apakah takut, gelisah, malu atau tenang-
tenang saja.
6. Perhatikan caranya berpakaian dan berhias, adalah berlebihan atau
mengandung gairah
7. Kirimkan korban/tersangka korban ke rumah sakit pemerintah
dengan formulir visum et repertum model IV tanpa diperkenankan
membersihkan badan dahulu. Korban diantar oleh petugas polisi
8. Jelaskan kepada ahli kebidanan/dokter yang bertugas tentang
maksud pemeriksaan ini.
9. Bila dipandang perlu maka korban dapat diisolasi dengan
pengawasan ketat dan tidak boleh ditemui seorang pun atau
berhubungan dengan tamu/keluarga. 20
1
3
Sebelum korban dikirim ke rumah sakit/fasilitas kesehatan untuk
dilakukan pemeriksaan dokter, perlu dijelaskan dengan hati-hati
proses pemeriksaan forensik dengan memaparkan langkahlangkah
penyelidikan. Sebelum pemeriksaan forensik syarat yang harus
dipenuhi adalah:
1. Harus ada permintaan tertulis untuk pemeriksaan kasus kekerasan
seksual dari penyidik atau yang berwenang.
2. Korban datang dengan didampingi polisi/penyidik.
3. Memperoleh persetujuan (inform consent) dari korban.
4. Pemeriksaan dilakukan sedini mungkin untuk mencegah hilangnya
alat bukti yang penting bagi pengadilan. 20
1
4
a. Kulit genital apakah terdapat eritema, iritasi, robekan atau
tanda-tanda kekerasan lainnya.
b. Eritema vestibulum atau jaringan sekitar
c. Perdarahan dari vagina.
d. Kelainan lain dari vagina yang mungkin disebabkan oleh
infeksi atau penyebab lain.
e. Pemeriksaan hymen meliputi bentuk hymen, elastisitas hymen,
diameter penis. Robekan penis bisa jadi tidak terjadi pada
kekerasan seksual penetrasi karena bentuk, elastisitas dan
diameter penis.
f. Untuk yang pernah bersetubuh, dicari robekan baru pada wanita
yang belum melahirkan
g. Pemeriksaan ada tidaknya ejakulasio dalam vagina dengan
mencari spermatozoa dalam sediaan hapus cairan dalam
vagina20
2. Pemeriksaan anal
Kemungkinan bila terjadi hubungan seksual secara anal akan
menyebabkan luka pada anal berupa robekan, ireugaritas, keadaan
fissura. 20
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan cairan mani (semen)
c. Tes kehamilan
d. Pemeriksaan lain seperti hepatitis, gonorrhea, HIV.
e. Pemeriksaan cairan tubuh, mani, liur, atau rambut yang dianggap
pelaku.
1
5
dilakukan oleh orang yang sama, dengan tujuan dan fungsi masing-
masing berbeda. Wawancara dapat dilakukan tersendiri, bersahabat
dan lingkungan yang mendukung. Penginterview akan membangun
suatu hubungan dengan korban dan mulai dengan pertanyaan umum
yang tidak berhubungan dengan kekerasan seksual yang dialami,
seperti riwayat medis. Jika diperlukan dapat digunakan penerjemah.
Bahasa dan nama penerjemah yang digunakan dapat dicatat dalam
laporan. Pada kasus remaja, mereka diijinkan untuk didampingi oleh
orang tua bila mereka mau. Mereka juga diperlakukan dengan cara
yang sama seperti orang dewasa. 20
1
6
• Memar pada leher karena cekikan
• Memar pukulan pada lengan atas
• Memar karena postur bertahan pada sisi lengan luar
Juga yang sering adalah:
• Trauma menyerupai cambuk atau tali pada punggung korban
• Trauma pukulan atau gigitan pada payudara dan puting susu
• Trauma pukulan pada abdomen
• Trauma Pukulan dan tendangan pada paha
• Memar, lecet, dan laserasi pada wajah.
- Trauma non genital yang terpola
Istilah "trauma terpola" berbeda dari istilah yang sama,
"pola trauma" yang disebutkan diatas. Keduanya penting dalam
istilah forensik, akan tetapi, "trauma terpola" adalah trauma dari
objek yang digunakan untuk menimbulkan trauma, yang mudah
diindentifikasi melalui pola yang ada pada korban.
2. Bukti trauma genital (kontak seksual, kekerasan)
Trauma genital menunjukkan adanya kontak seksual dan
kekerasan. Trauma genital paling banyak terlihat setelah
kekerasan seksual. Akan tetapi, pada kasus kekerasan seksual
seringkali tidak ditemukan bukti trauma genital. Dengan
demikian, tidak adanya trauma genital tidak dapat
diinterpretasikan bahwa hubungan seks yang terjadi atas
persetujuan. Dengan kata lain, peneliti forensik seringkali tidak
menemukan bukti trauma genital, dan alasan mengapa ini terjadi
harus dijelaskan di pengadilan.
a. Pola trauma genital
• posterior fourchette (70%)
• vagina (11%)
• labia minora (53%)
• perineum (11%)
• hymen (29%)
• area periuretral (9%)
1
7
• fossa navicularis (25%)
• labia majora (7%)
• anus (15%)
• rektum (4%)
• servix (13%
b. Hubungan antara trauma non-genital dan trauma genital
• Korban trauma non-genital juga mengalami trauma genital.
• Pada studi lain dari 304 korban kekerasan seksual, 79%
mereka dengan trauma non-genital juga memperlihatkan bukti
adanya trauma genital.
1
8
1. Evaluasi dan penanganan infeksi akibat transmisi seksual
2. Evaluasi dan Pencegahan Resiko Kehamilan
3. Konseling intervensi krisis dan follow up
4. Penanganan korban pada pusat layanan primer
5. Penanganan korban di rumah sakit provinsi/daerah20
1
9
riwayat kejadian yang diceritakan atau riwayat kejadian
menyatakan trauma ringan tetapi dijumpai trauma yang berat.
B. Riwayat bagaimana kecelakaan terjadi tidak jelas atau pengasuh
(orang tua) tidak tahu bagaimana terjadinya kecelakaan.
C. Riwayat kecelakaan berubah-ubah ketika diceritakan kepada
petugas kesehatan yang berlainan.
D. Orang tua jika ditanya secara terpisah memberi keterangan yang
saling bertentangan
E. Riwayat yang tidak masuk akal, misalnya anak dikatakan terjatuh
ketika memanjat padahal dudukpun belum bisa.
2
0
trauma, adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya, adakah riwayat
penyakit dan masalah perilaku sebelumnya, adakah faktor-faktor
sosial budaya ekonomi yang berpengaruh terhadap perilaku di dalam
keluarga. Jika ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan
konseling atau rujuk jika memerlukan intervensi psikiatrik, serta
periksa apakah ada tanda-tanda kehilangan kesadaran yang
diakibatkan pemberian NAPZA.1,21
Bila terjadi kekerasan seksual, tambahkan pertanyaan tentang hal-
hal berikut ini, yaitu waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya
kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang
terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami kekerasan, ada
tidaknya penetrasi, dengan apa penetrasi dilakukan, adanya rasa nyeri,
perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina, adanya rasa nyeri
dan gangguan pengendalian buang air besar dan/atau buang air kecil,
apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan seksual
tersebut, apakah korban mengganti pakaian, buang air kecil,
membersihkan bagian kelamin dan dubur, mandi atau gosok gigi.
Khusus untuk kasus kekerasan seksual pada remaja, tanyakan
kemungkinan adanya hubungan seksual dua minggu sebelumnya.1
Selama melaksanakan anamnesis, lakukan pengamatan tentang
adanya beberapa hal yang perlu diobservasi, yaitu adanya
keterlambatan yang bermakna antara saat terjadinya kekerasan dan
saat mencari pertolongan medis, adanya ketidaksesuaian antara tingkat
kepedulian orang tua dengan beratnya trauma yang dialami anak, dan
interaksi yang tidak wajar antara orangtua/pengasuh dengan anak,
seperti adanya pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang tidak
memadai atau perilaku marah yang impulsif dan tidak menyadari
kebutuhan anak.1
b. Pemeriksaan Fisik
2
1
sesuai dengan urutan kejadian peristiwa kekerasan yang dialami.
Sering kali tidak ada kesesuaian antara pemeriksaan fisis dengan
anamnesis tentang kejadian yang diungkapkan oleh orang tua atau
pengantar. Pemeriksaan fisis harus dilakukan dengan teliti dan hati-
hati terutama bila ditemukan jelas pada bagian-bagian tubuh yang
tidak lazim.1,21
Indikator kemungkinan terjadinya perlakuan salah fisis pada anak
yaitu:22
Memar dan bilur: pada wajah, bibir/mulut, bagian tubuh lainnya
seperti di punggung, bokong, paha, betis, terdapat baik
memar/bilur yang baru maupun yang sudah menyembuh, corak
memar/bilur menunjukkan benda tertentu yang dipakai untuk
kekerasan.
Luka lecet dan luka robek: di mulut, mata, bibir, kuping, lengan
dan tangan; di genitalia; luka akibat gigitan manusia; dan di
bagian tubuh lain, terdapat luka baru atau berulang.
Patah tulang: setiap patah tulang pada anak di bawah usia 3 tahun,
patah tulang baru dan lama (dalam penyembuhan) yang
ditemukan bersamaan, patah tulang ganda, patah tulang spiral
pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai, dan patah tulang
pada kepala, rahang dan hidung, serta patah gigi.
Luka bakar: bekas sundutan rokok; luka bakar pada kaki, tangan,
atau bokong, akibat kontak bagian tubuh tersebut dengan benda
panas; dan bentuk luka yang khas sesuai dengan bentuk benda
panas yang dipakai untuk menimbulkan luka tersebut.
Cedera pada kepala: perdarahan (hematoma) subkutan dan atau
subdural yang dapat dilihat pada foto rontgen, bercak/area
kebotakan akibat tertariknya rambut, dan terdapat baik yang baru
atau berulang.
Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul
(kemungkinan akibat tarikan), atau tanda-tanda luka yang
berulang.
2
2
Pada korban kekerasan seksual perlu dilakukan pemeriksaan lain,
yaitu tanda-tanda perlawanan atau kekerasan seperti pakaian yang
robek, bercak darah pada pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis,
hematoma dan perhatikan kesesuaian tanda kekerasan dengan urutan
kejadian kekerasan. Kadang-kadang tanda ini muncul dengan segera
atau setelah beberapa waktu kemudian. Gunting dan kerok kuku
korban kanan dan kiri masukan ke dalam amplop terpisah dan berilah
label. Juga lakukan pemeriksaan ginekologik pada korban anak
perempuan (hanya dilakukan pemeriksaan luar, sedangkan untuk
pemeriksaan dalam harus dirujuk). Rambut pubis disisir, rambut lepas
yang ditemukan mungkin milik pelaku dimasukan ke dalam amplop.
Rambut pubis korban dicabut/ digunting 3-5 helai masukan ke dalam
amplop yang berbeda dan diberi label.1
Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva dan perineum.
Catat jenis, lokasi, bentuk, dasar dan tepi luka. Periksa selaput dara,
pada selaput dara tentukan ada atau tidaknya robekan, robekan baru
atau lama, lokasi robekan tersebut dan teliti apakah sampai ke dasar
atau tidak. Dalam hal tidak adanya robekan, padahal ada informasi
terjadinya penetrasi, lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang.
Pada balita diameter hymen tidak lebih dari 5 mm, dan dengan
bertambahnya usia akan bertambah 1 mm. Bila ditemukan diameter
sama atau lebih dari 10 mm, patut dicurigai sudah terjadi penetrasi
oleh benda tumpul misalnya jari. Pada remaja pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan satu jari kelingking. Bila kelingking dapat
masuk tanpa hambatan dan rasa nyeri, lanjutkan pemeriksaan dengan
satu jari telunjuk, bila tanpa hambatan, teruskan dengan jari telunjuk
dan jari tengah (2 jari). Bila dengan 2 jari tanpa hambatan, dicurigai
telah terjadi penetrasi. Bercak kering dikerok dengan menggunakan
skalpel, bercak basah diambil dengan kapas lidi, dikeringkan pada
suhu kamar dan dimasukkan amplop.1
Pemeriksaan colok dubur baik pada anak laki-laki maupun
2
3
perempuan. Pada balita pemeriksaan dilakukan dalam posisi
menungging (kneechest position. Jangan menggunakan anuskop pada
anak di bawah 6 tahun, agar tidak menambah trauma baru pada anak.
Anuskop hanya digunakan sesuai indikasi (dicurigai ada keluhan,
infeksi, perdarahan dalam).1
2
4
iv. Gangguan Penyesuaian
v. Gangguan Psikotik
vi. Gangguan Perkembangan pada Anak
a) Gangguan perkembangan pervasif
b) Gangguan perkembangan spesifik
d. Pemeriksaan Penunjang
2
5
BAB III
KESIMPULAN
Audit Medis adalah analisis atau pemeriksaan yang sistematis dan independen
tentang asuhan klinis, untuk menentukan jika aktifitas dan hasilnya sesuai dengan
pengaturan yang telah di implementasikan secara efektif dan cocok untuk
mencapai tujuan termasuk prosedur-prosedur untuk diagnosis, tindakan medis,
perawatan, pemanfaatan sumber daya yang terikat, dan outcome mutu hidup bagi
pasien sebagai hasil dari prosedur-prosedur tersebut.
Perempuan, puteri, istri, ataupun ibu adalah sejenis mahkluk dari bangsa
manusia yang halus kulitnya, lemah sendi tulangnya dan agak berlainan bentuk
dari susunan bentuk tubuh lelaki. Tuhan menjadikan Wanita agak berlainan
bentuk susunan badannnya dan agak berlainan pula kekuatan, dan akal fikirannya
dibandingkan dengan lelaki, sedangkan anak secara etimologis diartikan sebagai
manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.
Audit medis dilakukan dengan beberapa langkah yaitu pemilihan topic audit,
dilanjutkan dengan penetapan kriteria dan standar, pengumpulan data , analisis
data, menetapkan perubahan dan terakhir reaudit.
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) sejak tahun 1998 hingga 2010 hampir sepertiga kasus kekerasan
terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual, atau tercatat 91.311 kasus
kekerasan seksual dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pada tahun 2013, Komnas PAI mencatat telah terjadi 1.620 kasus kekerasan
pada anak. Dari jumlah itu terbagi menjadi 490 kasus kekerasan fisik sebesar
30%, 313 kasus kekerasan psikis sebesar 19%, dan yang terbanyak adalah kasus
kekerasan seksual sebanyak 817 kasus sebesar 51%.
2
6
DAFTAR PUSTAKA
2
7
Bakti.
14. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
15. Abdussalam HR. Forensik. Restu Agung. Jakarta. Edisi 3. 2006. p 139-149.
16. Narejo NB., Avais MA. Examining the Role of Forensic Science for the
Investigative –Solution of Crimes. Sindh university research journal. 10 Science
series. Vol.44. 2012. p 251-254
17. Gaensslen RE., Lee HC. Sexual Assault Evidence: National Assessment and
Guidebook. US Department of Justice. Januari 2002
18. West Virginia SAFE. Sexual assault forensic medical examination. Training and
Collaboration Toolkit—Serving Sexual Violence Victims with Disabilities. Sexual
Violence 101
19. Murtika IK., Prakoso D. Dasar-dasar ilmu kedokteran kehakiman. Cetakan ke-2.
1992. p 110-112
20. Kalangit, A., J.Mallo, D. Tomuka. Peran Ilmu Kedokteran Forensik Dalam
Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan Seksual.
Universitas Sam Ratulangi
21. Widiastuti D, Sekartini R. Deteksi dini, faktor risiko, dan dampak perlakuan
salah pada anak. Sari Pediatri September 2005; 7(2) : 105-12.
22. Widiatmoko W, Gunardi H, editor. Buku panduan tatalaksana kasus
penganiayaan dan penelantaran anak. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2000.
2
8