Referat Forensik Kelompok 1
Referat Forensik Kelompok 1
Oleh:
Pembimbing
Komisaris Polisi. dr. Mansuri, Sp.KF
Judul
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah referat yang berjudul
“AUDIT MEDIS KASUS KEKERASAN PADA PEREMPUAN DAN ANAK”
sebagai syarat untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
Komisaris Polisi. dr. Mansuri, Sp.KF, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan kasus
ini, semoga bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1 Latar Belakang.......................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................3
1.3 Tujuan ...................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Audit Medis Kasus Kekesaran Pada Perempuan dan Anak ...............3
2.1.1 Definisi Audit Medis .................................................................3
2.1.2 Definisi Perempuan....................................................................4
2.1.3 Definisi Anak.............................................................................6
2.1.4 Cara melakukan Audit Medis.....................................................7
2.1.5 Temuan Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak..............8
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................30
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
tercatat 69% atau 11.207 kasus. Sedangkan data kekerasan pada anak
menurut Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak terjadi
peningkatan kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) di Indonesia pada
tahun 2005-2006 dengan jumlah keseluruhan kasus kekerasan pada anak
dari 741 kasus menjadi 1256 kasus. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2015 dalam Survei Penduduk Antar Sensus, menyebutkan jumlah anak
(0-18 tahun) adalah 88.120.084 jiwa1,2,3. Dikarenakan angka kasus
kekerasan pada Perempuan dan Anak yang masih tinggi maka sebaiknya
perlu dilakukan audit medis yang bertujuan sebagai evaluasi yang
diharapkan adanya penurunan angka kejadian kasus kekerasan pada
perempuan dan anak dari tahun sebelumnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
rumah sakit. Audit medis tidak digunakan untuk mencari ada tidaknya
kesalahan seorang staf medis, mekanisme yang digunakan adalah
mekanisme disiplin profesi, bukannya mekanisme audit medis. Audit
medis dilakukan dengan mengedepankan respek terhadap semua staf
medis (no blaming culture) dengan cara tidak menyebutkan nama (no
naming), tidak mempersalahkan (no blaming), dan tidak mempermalukan
(no shaming).5
Audit medis yang dilakukan oleh rumah sakit adalah kegiatan
evaluasi profesi secara sistemik yang melibatkan peer group yang terdiri
dari kegiatan peer-review, surveillance dan assessment terhadap pelayanan
di rumah sakit. Dalam pengertian audit medis tersebut diatas, rumah sakit,
komite medik atau masing-masing kelompok staf medis dapat
menyelenggarakan evaluasi kinerja profesi yang terfokus (focused
professional practice evaluation).5
Secara umum, pelaksanaan audit medis harus dapat memenuhi 4
peranan penting, yaitu:
a. Sebagai sarana untuk melakukan penilaian terhadap kompetensi
masing-masing staf medis pemberi pelayanan di rumah sakit.
b. Sebagai dasar untuk pemberian kewenangan klinis (clinical privilege)
sesuai kompetensi yang dimiliki.
c. Sebagai dasar bagi komite medis dalam merekomendasikan
pencabutan atau penangguhan kewenangan klinis (clinical privilege),
dan
d. Sebagai dasar bagi komite medik dalam merekomendasikan
perubahan/ modifikasi rincian kewenangan klinis seorang staf medis.
4
Gambar 2.1 Evaluasi berkesinambungan audit medis
Upaya ini akan menjamin mutu pelayanan agar tetap tinggi dan
efisien, khususnya di bidang klinis, yang pada akhirnya akan berperan
sebagai suatu nilai tambah bagi pelaksanaan upaya pelayanan medis. Yang
paling penting dari audit medis ini ialah interpretasi secara profesional
tentang fakta-fakta yang diketemukan yang mempengaruhi standar
pelayanan medis. Apabila didapatkan keadaan yang ternyata berbeda
dengan yang normal maka keadaan ini perlu diperhatikan dan dijelaskan.
Karena itu, rekam medis haruslah merupakan bahan utama dalam upaya
5
evaluasi terus menerus agar dapat dibandingkan dengan pencapaian rumah
sakit ataupun dengan pencapaian upaya sendiri di masa lalu.4
6
2.1.3 Definisi Anak
Merujuk dari Kamus Umum bahasa Indonesia mengenai pengertian
anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun
manusia yang belum dewasa.10
Menurut R.A. Kosnan “Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur
muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh
untuk keadaan sekitarnya”. Oleh karna itu anak-anak perlu diperhatikan
secara sungguhsungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk social yang paling
rentan dan lemah, ironisnya anak-anak justru sering kali ditempatkan
dalam posisi yang paling di rugikan, tidak memiliki hak untuk bersuara,
dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasa dan
pelanggaran terhadap hak-haknya.11,12
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa pengertian tentang anak
menurut peraturan perundang- undangan, begitu juga menurut para pakar
ahli. Namun di antara beberapa pengertian tidak ada kesamaan mengenai
pengertian anak tersebut, karna di latar belakangi dari maksud dan tujuan
masing-masing undangundang maupun para ahli. Pengertian anak menurut
peraturan perundangundangan dapat dilihat sebagai berikut :
- Anak menurut KUHP Pasal 45
KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum
berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut
dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu
dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan
tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
Ketentuan pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan
lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 1997.13
7
b. Anak dalam Hukum Perburuhan
8
klinis dapat lebih luas dari audit medis karena dapat melibatkan pelayanan
keperawatan dan profesi yang lain. Kementrian Kesehatan lewat Peraturan
Menteri Kesehatan No. 775/MENKES/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik Rumah Sait memilih untuk
mendefinisikan audit medis sebagai upaya evaluasi secara professional
terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan
menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis.
Siklus Audit
Siklus Audit ada enam langkah. Langkah pertama adalah pemilihan
topic audit, dilanjutkan dengan penetapan kriteria dan standar,
pengumpulan data , analisis data, menetapkan perubahan dan terakhir
reaudit. Siklus ini terus berulang dan setiap kali reaudit harus adal
penilaian apakah pada saat ini pencapaian performa klinis sudah lebih baik
dibandingan dengan saat audit periode yang lalu.
a. Pemilihan Topik
9
c. Membuat Tim
1
0
yang dicatat oleh petugas data adalah benar penyimpangan, bukan
sekedar kesalahan pencatatan.
g. Merencanakan Perubahan
2.1.5 Temuan Kasus Kekerasan Pada Perempuan Dan Anak Yang Paling
Banyak Di Masyarakat
Contoh kasus kekerasan pada Perempuan
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 hingga 2010 hampir sepertiga
kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual, atau
tercatat 91.311 kasus kekerasan seksual dari 295.836 total kasus kekerasan
terhadap perempuan. Selama 2010 tercatat 1.751 korban kekerasan
seksual.15
Pasien-pasien yang datang ke bagian gawat darurat sesudah
kekerasan seksual memberikan tantangan khusus bagi dokter yang
menanganinya. Pasien mungkin malu atau tidak ingin mengingat kembali
riwayat peristiwa yang dialami, ketepatan waktu dalam mengumpulkan
data riwayat peristiwa sangat penting untuk penanganan tepat waktu dan
dokumentasi forensik.16,17
Perkosaan merupakan suatu peristiwa yang sulit dibuktikan
1
1
walaupun pada kasus tersebut telah dilakukan pemeriksaan dan
pengumpulan barang bukti yang lengkap. Pasal 285 tentang pemerkosaan
berbunyi : Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
memaksa orang perempuan di luar perkawinan bersetubuh dengan dia
karena salahnya perkosaan, dihukum dengan hukuman penjara
selamalamanya dua belas tahun. Jadi harus dibuktikan terlebih dahulu
adanya suatu persetubuhan. Bila persetubuhan tidak bisa dibuktikan, maka
janggal bila dikatakan suatu perkosaan. Suatu pembuktian yang jelas
bahwa telah terjadi suatu persetubuhan secara medis adalah mendapatkan
sperma laki-laki di liang senggama wanita yang dimaksud. Beberapa hal
yang perlu diketahui adalah bahwa: (a) sperma hidup dapat bertahan
selama 3x24 jam dalam rongga rahim; (b) sperma mati dapat bertahan
selama 7x24 jam dalam rongga rahim. Dapat dibayangkan adanya
kesulitan bila terjadi suatu overspel, maksudnya antara persetubuhan yang
diduga dan waktu pemeriksaan terdapat lagi persetubuhan dengan
suaminya sendiri, sehingga sperma yang ditemukan tidak diketahui milik
siapa. Dalam kasus-kasus seperti ini, ilmu forensik dapat digunakan untuk
mengungkap pelaku kejahatan seksual.18,19
Tata laksana ilmu kedokteran forensik pada kasus kekerasan
seksual:20
a. Persiapan di Tempat Kejadian Perkara
Tindakan pada kasus/disangka kasus perkosaan atau perzinahan:
1. Perhatikan apakah korban memerlukan pertolongan pertama akibat
kekerasan yang dideritanya. Perhatikan juga apakah korban telah
cukup umur atau belum selanjutnya lihat skema persetubuhan;
2. Perhatikan apakah pada tubuh korban terdapat tanda-tanda
kekerasan
3. Amankan tempat kejadian dan barang bukti
4. Kumpulkan barang bukti sebaikbaiknya seperti noda darah, bercak
pada kain, celana, sprei, dan lain-lain
5. Perhatikan sikap korban, apakah takut, gelisah, malu atau tenang-
tenang saja.
1
2
6. Perhatikan caranya berpakaian dan berhias, adalah berlebihan atau
mengandung gairah
7. Kirimkan korban/tersangka korban ke rumah sakit pemerintah
dengan formulir visum et repertum model IV tanpa diperkenankan
membersihkan badan dahulu. Korban diantar oleh petugas polisi
8. Jelaskan kepada ahli kebidanan/dokter yang bertugas tentang
maksud pemeriksaan ini.
9. Bila dipandang perlu maka korban dapat diisolasi dengan
pengawasan ketat dan tidak boleh ditemui seorang pun atau
berhubungan dengan tamu/keluarga. 20
1
3
4. Pemeriksaan dilakukan sedini mungkin untuk mencegah hilangnya
alat bukti yang penting bagi pengadilan. 20
1
4
diameter penis.
f. Untuk yang pernah bersetubuh, dicari robekan baru pada wanita
yang belum melahirkan
g. Pemeriksaan ada tidaknya ejakulasio dalam vagina dengan
mencari spermatozoa dalam sediaan hapus cairan dalam
vagina20
2. Pemeriksaan anal
Kemungkinan bila terjadi hubungan seksual secara anal akan
menyebabkan luka pada anal berupa robekan, ireugaritas, keadaan
fissura. 20
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan cairan mani (semen)
c. Tes kehamilan
d. Pemeriksaan lain seperti hepatitis, gonorrhea, HIV.
e. Pemeriksaan cairan tubuh, mani, liur, atau rambut yang dianggap
pelaku.
1
5
yang sama seperti orang dewasa. 20
1
6
- Trauma non genital yang terpola
Istilah "trauma terpola" berbeda dari istilah yang sama,
"pola trauma" yang disebutkan diatas. Keduanya penting dalam
istilah forensik, akan tetapi, "trauma terpola" adalah trauma dari
objek yang digunakan untuk menimbulkan trauma, yang mudah
diindentifikasi melalui pola yang ada pada korban.
2. Bukti trauma genital (kontak seksual, kekerasan)
Trauma genital menunjukkan adanya kontak seksual dan
kekerasan. Trauma genital paling banyak terlihat setelah
kekerasan seksual. Akan tetapi, pada kasus kekerasan seksual
seringkali tidak ditemukan bukti trauma genital. Dengan
demikian, tidak adanya trauma genital tidak dapat
diinterpretasikan bahwa hubungan seks yang terjadi atas
persetujuan. Dengan kata lain, peneliti forensik seringkali tidak
menemukan bukti trauma genital, dan alasan mengapa ini terjadi
harus dijelaskan di pengadilan.
a. Pola trauma genital
• posterior fourchette (70%)
• vagina (11%)
• labia minora (53%)
• perineum (11%)
• hymen (29%)
• area periuretral (9%)
• fossa navicularis (25%)
• labia majora (7%)
• anus (15%)
• rektum (4%)
• servix (13%
b. Hubungan antara trauma non-genital dan trauma genital
• Korban trauma non-genital juga mengalami trauma genital.
• Pada studi lain dari 304 korban kekerasan seksual, 79%
mereka dengan trauma non-genital juga memperlihatkan bukti
1
7
adanya trauma genital.
1
8
kondisi fisik dan mental anak yang masih dalam fase tumbuh kembang.
Sebelum pelaksanaan pemeriksaan pada anak, perlu dilakukan informed
consent mengenai maksud, tujuan, proses dan lama pemeriksaan yang
harus disampaikan baik kepada anak maupun kepada orangtuanya, serta
selanjutnya meminta korban dan orang tua/wali/keluarga/pendampingnya
menandatangani informed consent tersebut.1
Untuk mencegah hal-hal yang tidak di inginkan khususnya dalam
melakukan pemeriksaan terhadap korban kasus kekerasan pada anak usia
remaja, tenaga kesehatan sebaiknya didampingi oleh petugas kesehatan
lain yang jenis kelaminnya sama dengan korban.1
a. Anamnesis
1
9
Perhatikan pula sikap/perilaku korban dan pengantar, apakah
korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam memberikan jawaban,
apabila memungkinkan, anamnesa terhadap korban dan pengantar
dilakukan secara terpisah. Nilai kemungkinan adanya ketidaksesuaian
yang muncul antara penuturan orang tua/pengantar dan anak dengan
temuan medis. Perhatikan sikap/perilaku korban dan pengantar,
apakah korban terlihat takut, cemas, ragu-ragu dan tidak konsisten
dalam memberikan jawaban.1
Lengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa,
pengantar, tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta identitas
korban, terutama umur dan perkembangan seksnya, tanggal hari
pertama haid terakhir dan apakah sedang haid saat kejadian.
Konfirmasi ulang urutan kejadian, apa yang menjadi pemicu,
penyiksaan apa yang telah terjadi, oleh siapa, dengan menggunakan
apa, berapa kali, apa dampaknya terhadap korban, waktu dan lokasi
kejadian.1
Petugas perlu untuk menggali informasi tentang, adakah
perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti ngompol,
mimpi buruk, susah tidur, menjadi manja, suka menyendiri, murung
atau malah berubah menjadi agresif. Keadaan kesehatan sebelum
trauma, adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya, adakah riwayat
penyakit dan masalah perilaku sebelumnya, adakah faktor-faktor
sosial budaya ekonomi yang berpengaruh terhadap perilaku di dalam
keluarga. Jika ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan
konseling atau rujuk jika memerlukan intervensi psikiatrik, serta
periksa apakah ada tanda-tanda kehilangan kesadaran yang
diakibatkan pemberian NAPZA.1,21
Bila terjadi kekerasan seksual, tambahkan pertanyaan tentang hal-
hal berikut ini, yaitu waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya
kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang
2
0
terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami kekerasan, ada
tidaknya penetrasi, dengan apa penetrasi dilakukan, adanya rasa nyeri,
perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina, adanya rasa nyeri
dan gangguan pengendalian buang air besar dan/atau buang air kecil,
apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan seksual
tersebut, apakah korban mengganti pakaian, buang air kecil,
membersihkan bagian kelamin dan dubur, mandi atau gosok gigi.
Khusus untuk kasus kekerasan seksual pada remaja, tanyakan
kemungkinan adanya hubungan seksual dua minggu sebelumnya.1
Selama melaksanakan anamnesis, lakukan pengamatan tentang
adanya beberapa hal yang perlu diobservasi, yaitu adanya
keterlambatan yang bermakna antara saat terjadinya kekerasan dan
saat mencari pertolongan medis, adanya ketidaksesuaian antara tingkat
kepedulian orang tua dengan beratnya trauma yang dialami anak, dan
interaksi yang tidak wajar antara orangtua/pengasuh dengan anak,
seperti adanya pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang tidak
memadai atau perilaku marah yang impulsif dan tidak menyadari
kebutuhan anak.1
b. Pemeriksaan Fisik
2
1
memar/bilur yang baru maupun yang sudah menyembuh, corak
memar/bilur menunjukkan benda tertentu yang dipakai untuk
kekerasan.
Luka lecet dan luka robek: di mulut, mata, bibir, kuping, lengan
dan tangan; di genitalia; luka akibat gigitan manusia; dan di
bagian tubuh lain, terdapat luka baru atau berulang.
Patah tulang: setiap patah tulang pada anak di bawah usia 3 tahun,
patah tulang baru dan lama (dalam penyembuhan) yang
ditemukan bersamaan, patah tulang ganda, patah tulang spiral
pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai, dan patah tulang
pada kepala, rahang dan hidung, serta patah gigi.
Luka bakar: bekas sundutan rokok; luka bakar pada kaki, tangan,
atau bokong, akibat kontak bagian tubuh tersebut dengan benda
panas; dan bentuk luka yang khas sesuai dengan bentuk benda
panas yang dipakai untuk menimbulkan luka tersebut.
Cedera pada kepala: perdarahan (hematoma) subkutan dan atau
subdural yang dapat dilihat pada foto rontgen, bercak/area
kebotakan akibat tertariknya rambut, dan terdapat baik yang baru
atau berulang.
Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul
(kemungkinan akibat tarikan), atau tanda-tanda luka yang
berulang.
2
2
pemeriksaan dalam harus dirujuk). Rambut pubis disisir, rambut lepas
yang ditemukan mungkin milik pelaku dimasukan ke dalam amplop.
Rambut pubis korban dicabut/ digunting 3-5 helai masukan ke dalam
amplop yang berbeda dan diberi label.1
Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva dan perineum.
Catat jenis, lokasi, bentuk, dasar dan tepi luka. Periksa selaput dara,
pada selaput dara tentukan ada atau tidaknya robekan, robekan baru
atau lama, lokasi robekan tersebut dan teliti apakah sampai ke dasar
atau tidak. Dalam hal tidak adanya robekan, padahal ada informasi
terjadinya penetrasi, lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang.
Pada balita diameter hymen tidak lebih dari 5 mm, dan dengan
bertambahnya usia akan bertambah 1 mm. Bila ditemukan diameter
sama atau lebih dari 10 mm, patut dicurigai sudah terjadi penetrasi
oleh benda tumpul misalnya jari. Pada remaja pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan satu jari kelingking. Bila kelingking dapat
masuk tanpa hambatan dan rasa nyeri, lanjutkan pemeriksaan dengan
satu jari telunjuk, bila tanpa hambatan, teruskan dengan jari telunjuk
dan jari tengah (2 jari). Bila dengan 2 jari tanpa hambatan, dicurigai
telah terjadi penetrasi. Bercak kering dikerok dengan menggunakan
skalpel, bercak basah diambil dengan kapas lidi, dikeringkan pada
suhu kamar dan dimasukkan amplop.1
Pemeriksaan colok dubur baik pada anak laki-laki maupun
perempuan. Pada balita pemeriksaan dilakukan dalam posisi
menungging (kneechest position. Jangan menggunakan anuskop pada
anak di bawah 6 tahun, agar tidak menambah trauma baru pada anak.
Anuskop hanya digunakan sesuai indikasi (dicurigai ada keluhan,
infeksi, perdarahan dalam).1
2
3
reaksi yang berbeda terhadap trauma/tekanan yang sama. Anak
mungkin akan mengekspresikan masalah melalui kata-kata, keluhan-
keluhan fisik atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan tahapan
perkembangannya.1
Gejala yang muncul antara lain, ketakutan, bisa takut akan reaksi
keluarga maupun teman-teman, takut orang lain tidak akan
mempercayai keterangannya, takut diperiksa oleh dokter pria, takut
melaporkan kejadian yang dialaminya, takut terhadap pelaku, takut
ditinggal sendirian. Reaksi emosional lain, seperti syok, rasa tidak
percaya, marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung,
histeris yang menyebabkan sulit tidur (insomnia), hilang nafsu makan,
mimpi buruk, selalu ingat peristiwa itu.1
Gejala lain selain ketakutan mungkin muncul adanya rasa siaga
berlebihan (mudah kaget, terkejut, curiga), panik, berduka berupa
perasaan sedih terus menerus. Gejala-gejala tersebut dapat diatasi
dengan konseling. Bila konseling tidak berhasil, rujuk ke
PPT/PKT,P2TP2A. Jika gejala-gejalanya bertaraf berat, dapat
menimbulkan gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang bisa terjadi, antara
lain:1
i. PTSD (Gangguan Stres Pasca Trauma)
ii. Gangguan Depresi
iii. Gangguan Cemas terkait Trauma
iv. Gangguan Penyesuaian
v. Gangguan Psikotik
vi. Gangguan Perkembangan pada Anak
a) Gangguan perkembangan pervasif
b) Gangguan perkembangan spesifik
d. Pemeriksaan Penunjang
2
4
maka evaluasi terhadap faktor perdarahan dan koagulasi harus
dilakukan. Uji toksikologi dapat dilakukan apabila terdapat gejala
keracunan, demikian pula pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan
tergantung indikasi. Pencitraan memegang peran penting dalam
menegakkan diagnosis perlakuan salah fisis pada anak. Untuk anak
yang berusia < 2 tahun yang dicurigai telah mengalami perlakuan
salah, American Association of Pediatrician (AAP)
merekomendasikan dilakukannya survei tulang. Survei tulang meliputi
foto rontgen anteroposterior untuk humerus, lengan bawah, tangan,
pelvis, femur, tungkai bawah dan kaki, sedangkan foto rontgen lateral
untuk toraks dan kepala. Beberapa modalitas pencitraan lainnya
digunakan tergantung indikasi, seperti CT-scan yang merupakan
pilihan terbaik untuk mengetahui trauma abdomen dan MRI untuk
menilai cedera jaringan lunak kepala. Lakukan penapisan (screening)
penyakit kelamin, tes kehamilan, mikroskop untuk melihat sperma
dengan NaCl, serta USG bila tersedia.1
2
5
DAFTAR PUSTAKA
2
6
Bakti.
14. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
15. Abdussalam HR. Forensik. Restu Agung. Jakarta. Edisi 3. 2006. p 139-149.
16. Narejo NB., Avais MA. Examining the Role of Forensic Science for the
Investigative –Solution of Crimes. Sindh university research journal. 10 Science
series. Vol.44. 2012. p 251-254
17. Gaensslen RE., Lee HC. Sexual Assault Evidence: National Assessment and
Guidebook. US Department of Justice. Januari 2002
18. West Virginia SAFE. Sexual assault forensic medical examination. Training and
Collaboration Toolkit—Serving Sexual Violence Victims with Disabilities. Sexual
Violence 101
19. Murtika IK., Prakoso D. Dasar-dasar ilmu kedokteran kehakiman. Cetakan ke-2.
1992. p 110-112
20. Kalangit, A., J.Mallo, D. Tomuka. Peran Ilmu Kedokteran Forensik Dalam
Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan Seksual.
Universitas Sam Ratulangi
21. Widiastuti D, Sekartini R. Deteksi dini, faktor risiko, dan dampak perlakuan
salah pada anak. Sari Pediatri September 2005; 7(2) : 105-12.
22. Widiatmoko W, Gunardi H, editor. Buku panduan tatalaksana kasus
penganiayaan dan penelantaran anak. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia;
2000.h.
2
7