Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

SYNDROM DYSPEPSIA

Disusun oleh:

dr. Intan Nabilah Pratiwi

Pendamping:

dr. Elis Sopiani

INTERNSIP PUSKESMAS KARAWANG

2018
KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. N

Umur : 29 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Bangsa/suku : Indonesia/Sunda

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Alamat : Parungseah

Tanggal berobat : 15 Oktober 2018

ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara auto-anamnesis dengan pasien pada hari senin, 15


Oktober 2018 di pustu Puskesmas Karawang.
a. Keluhan utama:
Nyeri ulu hati sejak 4 hari yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati yang dialami sejak 4 hari
yang lalu, tidak terus menerus, nyeri di rasakan memberat jika terlambat
makan, perut terasa kembung dan sering merasa mual. Pasien sering
makan tidak teratur. Demam (-), nyeri kepala (-), mual (+), muntah (+) 1x
kemarin pagi, nyeri ulu hati (+), BAB kuning biasa, BAK kuning lancar.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya:
 Riwayat yang sama sebelumnya ada, kurang lebih sejak 6 bulan
yang lalu.
 Riwayat mengkonsumsi obat maag yang di jual di warung,
keluhan berkurang, tetapi timbul lagi jika tidak mengkonsumsi
obat tersebut.
 Riwayat hipertensi (-), hiperkolesterol / hiperlipidemia (-), DM (-),
penyakit jantung (-).

d. Riwayat Penyakit Keluarga:


 Riwayat hipertensi (-), hiperkolesterol / hiperlipidemia (-), DM (-),
penyakit jantung (-)
e. Faktor-faktor Risiko lainnya:
 Pola makan: Pola makan normal.
 Stress: Pasien kadang-kadang mengalaminya.
 Olahraga: Jarang
 Kebiasaan: Riwayat sering terlambat makan, dan makan makanan
yang asam dan pedas.
 Riwayat mengkonsumsi obat secara rutin : (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum :

 Kesan : Sakit sedang

 Kesadaran : Kompos Mentis

 Gizi : Cukup

 Tensi : 110/80 mmHg

 Nadi : 78 x/menit

 Suhu : 37,3oC

 Pernafasan : 20 x/menit

 Berat badan : 56 kg

 Tinggi badan : 155 cm


Kepala :

Simetris muka : Simetris kiri dan kanan

Konjungtiva anemis (-)

Sklera ikterus (- )

Bibir sianosis (-)

Leher :

Tidak ada pembesaran KGB.

Thoraks : I= Simetris, kiri = kanan

P= Massa tekan (-), Nyeri Tekan (-), vokal fremitus


kiri=kanan

P= Sonor, Batas Paru Hepar ICS VI dextra


anterior.

A= Vesikuler, Rh -/- Wh -/-.

Jantung : I = Ictus cordis tidak tampak

P = Ictus cordis tidak teraba

P = Pekak, batas jantung kesan normal

A = BJ I/II, murni regular, bising (-)

Abdomen : I = Datar, ikut gerak nafas

A = Peristaltik (+), kesan normal

P = Nyeri tekan ulu hati (+), Hepar/Lien tidak


teraba

P = Tympani

Ekstremitas : Dalam Batas Normal.


PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan.

DIAGNOSIS KERJA

Syndrom Dyspepsia Fungsional

DIAGNOSIS BANDING

Gastritis

Ulkus Peptikum

GERD (Gastro-esophageal reflux disease)

PENATALAKSANAAN

a. Non Farmakologi :

Pengobatan nonfarmakologi berupa saran kepada pasien untuk :


1. Tidak menunda makan, mengatur pola makan dengan makan secara
teratur dan sebaiknya mengkonsumsi makanan berserat tinggi, bergizi,
serta perbanyak minum air putih.
2. Kurangi mengkonsumsi makanan pedas, asam, banyak mengandung gas
yang dapat menimbulkan gas di lambung (kubis, kol, kentang, semangka,
melon) dan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung.
3. Menghindari konsumsi obat –obat yang dapat mengiritasi lambung seperti
obat anti inflamasi, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin dan
ketoprofen. Sebaiknya di ganti dengan Acetaminophen karena tidak
mengakibatkan iritasi pada lambung.
4. Menghindari stress.

b. Farmakologi :
1. Ranitidin 2x150 mg
2. Antasida Doen 3x1
3. Bcomplek 1x1
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI SYNDROM DYSPEPSIA


Dyspepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah
satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di
epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung
pada saluran cerna bagian atas, mual, muntah, dan sendawa.
Dyspepsia berasal dari bahasa Yunani Dys berarti sulit dan Pepse
yang berarti pencernaan. Dyspepsia merupakan kumpulan keluhan atau
gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak atau sakit diperut bagian atas
yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heart burn) dan
regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia.
Ada berbagai macam definisi dyspepsia. Salah satu definisi yang
dikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional adalah bahwasanya
dyspepsia merupakan sebuah sindrom yang terdiri dari keluhan – keluhan
yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang
dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri
epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih dari
3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang
bersifat kronik.

B. KLASIFIKASI

Secara garis besar, sindrom dyspepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
dyspepsia fungsional dan organik. Kelompok penyakit organik (seperti
tukak peptik, gastritis, kolesistitis) dan kelompok dimana sarana penunjang
diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi,
laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis
struktural atau biokimiawi, atau dengan kata lain, kelompok terakhir ini
disebut sebagai dispepsia fungsional.
1) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan
yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum),
gastritis, stomach cancer, Gastro-Esophageal reflux disease,
hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu:

a) Tukak Pada Saluran Cerna Atas


Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu
pada mukosa, submukosa dan lapisan muskularis, pada distal
esophagus, lambung, dan duodenum. Keluhan yang sering
terjadi adalah nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri
tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih
seperti orang lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah
makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri dapat berkurang
atau hilang sementara sesudah makan atau setelah minum
antasida. Gejala lain yang dirasakan seperti mual, muntah,
kembung, bersendawa, dan kurang nafsu makan.

b) Gastritis
Gastritis adalah peradangan atau inflamasi pada lapisan mukosa
dan submukosa lambung. Gejala yang timbul seperti mual,
muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan menurun, dan kadang
terjadi perdarahan. Penyebabnya ialah makanan atau obat-
obatan yang mengiritasi mukosa lambung dan adanya
pengeluaran asam lambung yang berlebihan.
c) Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)
Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan
yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir
balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa
rasa panas terbakar di dada (hearthburn), kadang disertai rasa
nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta
kesulitan menelan. GERD muncul akibat mengkonsumsi
makanan dan minuman seperti makanan pedas, makanan
berlemak, peppermint, kopi, alkohol, bawang putih, dan coklat
menambahkan bahwa GERD dapat dikurangi dengan
mengkonsumsi air putih dan mengkonsumsi obat antasida
sebelum makan. Pasien dengan GERD yang muncul pada
malam hari dapat dianjurkan untuk tidur dengan posisi kepala
lebih tinggi 6 – 8 inchi dari alas dengan menggunakan balok kayu
karena menggunakan bantal tambahan tidak cukup membantu
untuk mengganjal kepala. Posisi ini membantu mencegah
munculnya refluks daripada posisi berbaring tanpa alas . GERD
disebabkan karena beberapa faktor salah satunya adalah
obesitas. Penelitian menyebutkan bahwa kenaikan berat badan
sedikit saja walaupun masih dalam berat badan normal
seseorang dapat meningkatkan resiko terkena GERD.
d) Karsinoma
Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung,
pankreas, kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama
yaitu rasa nyeri di perut, bertambah dengan nafsu makan turun,
timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan turun (Hadi,
2002).
e) Pankreatitis
Gejala khas dari pankreatitis ialah rasa nyeri hebat di epigastrum
yang timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-tusuk
dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian
menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut
dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang
menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah.
f) Dispepsia pada Sindrom Malabsorbs
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses
absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi.
Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, mual,
anoreksia, sering flatus, kembung, dan timbulnya diare berlendir.
g) Gangguan Metabolisme
Gastroparesis merupakan ketidakmampuan lambung untuk
mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan 10 berbentuk
padat tertahan di lambung. Salah satu penyebab gastroparesis
adalah penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang dapat memicu
munculnya keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,
mual, dan muntah. Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid
yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus.

h) Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori Infeksi yang


disebabkan oleh Helicobacter pylori pada lambung dapat
menyebabkan peradangan mukosa lambung yang disebut
gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak
bahkan dapat menjadi kanker.

2) Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia


afungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan
endoskopi (teropong saluran pencernaan). Dispepsia fungsional
terjadi pada kondisi perut bagian atas yang mengalami rasa tidak
nyaman, mual, muntah, rasa penuh setelah makan yang
menunjukkan perubahan sensitivitas syaraf di sekeliling abdomen
dan kontraksi otot yang tidak terkoordinasi di dalam perut. Penyebab
ini secara umum tidak sama walaupun beberapa kasus berhubungan
dengan stress, kecemasan, infeksi, obat-obatan dan ada beberapa
berhubungan dengan IBS (irritable bowel syndrome).

Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2


kelompok yaitu :
a) Postprandial distress syndrom
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu (1) Rasa penuh
setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
(2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu
menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa
kali seminggu. Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini
adalah adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas
atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan
dan dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri
epigastrum.
b) Epigastric pain syndrome
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu (1) nyeri atau rasa
terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrum dengan
tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali
dalam seminggu (2) Nyeri timbul berulang (3) Tidak menjalar
atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah
perut bagian atas/epigastrum (4) Tidak berkurang dengan
BAB atau buang angin

C. ETIOLOGI

Penyebab Dyspepsia meliputi :


1. Dyspepsia Organik
a) Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna, tukak gaster
atau duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
b) Obat-obatan ( AINS, Teofilin, Digitalis, Antibiotik )
c) Hepatobilier ( Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiatis, Keganasan,
Disfungsi spincter odii )
d) Pankreas ( Pankreatitis, Keganasan )
e) Penyakit sistemik ( DM, Penyakit tiroid, Gagal ginjal, Kehamilan,
Penyakit jantung koroner/iskemik).
2. Dyspepsia Fungsional
- Stress psikososial
- Faktor lingkungan (makanan, genetik).
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau
organik atau metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran
makanan. Termasuk ini adalah dispepsia dismotilitas, yaitu adanya
gangguan motilitas diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat,
abnormalitas kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks
gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif
terhadap produksi asam lambung yaitu kenaikan asam lambung. Kelainan
psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia
fungsional.
D. PATOFISIOLOGI

Dyspepsia Fungsional

Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak


dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional
adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas
gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. Patofisiologi dispepsia hingga
kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus
dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna,
seperti di bawah ini:

1. Sekresi asam lambung


Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang
rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

2. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan
angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada
kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia
fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan
konservatif baku.
3. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal
juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung
sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi
lambung dan rasa cepat kenyang.
4. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi
terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya
masih perlu dibuktikan lebih lanjut.

5. Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia
fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa
percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas
otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

6. Diet dan faktor lingkungan


Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
fungsional dibanding kasus kontrol.

7. Psikologis
Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian
stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya
menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok
dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya
kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau
gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional.

8. Faktor genetik
Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring
dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya
interaksi antara polimorfisme gen-gen terkait respons imun dengan infeksi
Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional.

Dispepsia Organik
1. OAINS
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui
beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa
lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang
merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang sangat
penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan
topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat
korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga
dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mucus oleh lambung sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu. Sawar mukosa lambung sangat
penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Pada pengguna
aspirin terjadi perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat
mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin.

2. Ulkus Peptikum

Ulkus peptikum merupakan keadaan dimana kontinuitas mukosa


esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai
dibawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah
epitel disebut erosi. Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada
setiap bagian saluran cerna baik di jaringan mukosa, sub mukosa hingga
lapisan otot yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung,
duodenum, dan setelah gastroduodenal juga jejunum. Tukak terjadi bila
terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif (asam, pepsin atau
faktor-faktor lainnya) dengan faktor defensive (mucus, bikarbonat, aliran
darah dan PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor defensive
menurun.

E. GEJALA

Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan atau


gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni:
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus - like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodic
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility - like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)

Sindroma dyspepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak
nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan
suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan
dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa
mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu makan menurun, mual,
sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika dispepsia menetap
selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap
pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang
tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan. Gejala klinis
dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit perut berulang
yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai tanda peringatan
(alarm symptoms).
Tabel 1 : alarm symptoms

F. DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis dispepsia menurut Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia (2014), dibutuhkan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik yang akurat dan pemeriksaan penunjang untuk
mengeksklusi penyakit organik/ struktural/ metabolik. Dispepsia yang telah
diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia organik
terdiri dari ulkus gaster, ulkus gastritis erosif, gastritis, duodenitis dan
proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma lll.
Kriteria Roma lll belurn divalidasi di lndonesia. Konsensus Asia-Pasifik
(2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma lll
dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas
yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional.

Dispepsia menurut kriteria Roma lll adalah suatu penyakit dengan satu atau
lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
1. Nyeri epigastrium
2. Rasa terbakar di epigastrium
3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4. Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria Roma lll membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni
epigastric pain syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi,
bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam
dua pertiga pasien dispepsia.
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra-
lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai
dengan adanya rangsang peritoneal/peritonitis.tumpuan pemeriksaan fisik
tertuju pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut, hernia
yang jelas, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karakteristik
motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness,
nyeri, pembesaran organ dan timpani. Pemeriksaan tanda vital bisa
ditemukan takikardi atau nadi yang tidak regular.
Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh lainnya. Perlu ditanyakan
perubahan tertentu yang dirasakan oleh pasien, perhatikan keadaan umum
dan kesadaran pasien. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung.
Perkusi paru untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan
pemeriksaan terhadap ekstremitas, adakah edema perifer dan dirasakan
adalah akral hangat atau dingin. Lakukan juga pemeriksaan terhadap
kelenjar limfa.

Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya sesuai indikasi atau untuk


menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang untuk dispepsia
terbagi pada beberapa bagian.
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap
dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis
berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita
malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya
diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat
diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-
9 (dugaan karsinoma pankreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari
lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik.
3. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp,
urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
4. Pemeriksaan laboratorium lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan
penyebab organik lainnya seperti antara lain pankreatitis kronik, diabetes
mellitus, dan yang lainnya. Pada dispepsia fungsional biasanya hasil
laboratorium dalam batas normal. USG abdomen dibeberapa senter di
Eropa digunakan untuk melihat waktu pengosongan lambung dengan cara
mengukur besar proksimal dari lambung, pada pasien dispepsia lebih kecil
dibandingkan dengan bukan dispepsia. Endoskopi dilakukan untuk
memastikan penyebab dari dispepsia itu sendiri. Urea breath test
merupakan pemeriksaan penunjang yang digunakan jika kita mencurigai
penyebab dari dispepsianya adalah karena infeksi Helicobacter pylori. Urea
breath test saat ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp,
salah satu urea breath test yang ada antara lain CO, breath analyzer.
Syarat untuk melakukan pemeriksaan Hp,yaitu harus bebas antibiotik dan
PPI (proton-pumpinhibitor) selama 2 minggu.

Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien -
pasien yang datang dengan keluhan dyspepsia. Tanda bahaya pada
dyspepsia yaitu:

1. Penurunan berat badan (unintended)


2. Disfagia progresif
3. Muntah rekuren atau persisten
4. Masa daerah abdomen bagian atas
5. Riwayat keluarga kanker lambung
6. Perdarahan saluran cerna
7. Anemia
8. Demam
9. Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti diatas harus dilakukan investigasi
terlebih dahulu dengan endoskopi.

G. PENATALAKSANAAN
FARMAKOLOGIS
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya terdapat dalam
antasid antara lain Na bikarbonat, AL (OH)3, Mg (OH)2 dan Mg
trisilikat. Pemakaian obat ini sebaiknya jangan diberikan terus-menerus,
sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg trisilikat
dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai
adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik
atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan
antagonis reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin dan
famotidin
3. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Sesuai dengan namanya, golongan obat ini mengatur sekresi asam
lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-
obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol dan
pantoprazol.
4. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE) dan enprestil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh
sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostaglandin
endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan
produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta
membentuk lapisan protektif (sebagai site protective), yang senyawa
dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.
5. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, dom peridon
dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks
dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
NON FARMAKOLOGIS

 Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung


 Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang pedas, obat-
obatan yang berlebihan, nikotin rokok, stres.
 Atur pola makan.

H. KOMPLIKASI

a. Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal merupakan komplikasi paling umum yang
sering terjadi. Hal ini terjadi pada ± 15% pasien dan lebih sering pada
individu > 60 tahun .Insiden yang lebih tinggi pada orang tua
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan penggunaan NSAID dalam
kelompok ini.
b. Perforasi
Kejadian perforasi pada orang tua tampaknya meningkat sekunder
untuk peningkatan penggunaan NSAID. Penetrasi adalah bentuk
perforasi ulkus dimana terdapat terowongan ke organ yang berdekatan.
Ulkus duodenum cenderung menembus ke posterior pankreas sehingga
menyebabkan pankreatitis. Sedangkan ulkus gaster cenderung
menembus ke dalam hati lobus kiri.
c. Gastric Outlet Obstruksi
Terjadi pada 1-2% pasien. Seorang pasien mungkin memiliki obstruksi
relatif sekunder untuk ulkus terkait peradangan dan edema di wilayah
peripyloric. Proses ini sering sembuh dengan penyembuhan ulkus.
Sebuah obstruksi, tetap mekanik sekunder untuk pembentukan bekas
luka di daerah peripyloric juga mungkin terjadi. Yang terakhir ini
memerlukan intervensi endoskopi atau bedah. Tanda dan gejala
obstruksi mekanik relatif dapat berkembang secara diam-diam.
Diagnosis obstruksi onset baru yaitu cepat kenyang, mual, muntah, sakit
perut peningkatan postprandial dan penurunan berat badan.
I. Prognosis
Dispepsia fungsional memiliki prognosis baik jika dilakukan pemeriksaan
klinis dan penunjang yang akurat serta tatalaksana yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. FK UI.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Internal Publishing
.Jakarta 2010.
2. Darmodjo, Boedhi. Geriatri.Jakarta.FKUI.2011

3. Patofisiologi konsep klinis dan proses –proses penyakit Volume II edisi


VI.EGC. Jakarta.2007
4. Robbins. Buku Ajar Patologi Volume II edisi VII. EGC.Jakarta. 2007
5. Katzung G Betram. Famakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC.
Jakarta.2011

Anda mungkin juga menyukai