SYNDROM DYSPEPSIA
Disusun oleh:
Pendamping:
2018
KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 29 Tahun
Bangsa/suku : Indonesia/Sunda
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Parungseah
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum :
Gizi : Cukup
Nadi : 78 x/menit
Suhu : 37,3oC
Pernafasan : 20 x/menit
Berat badan : 56 kg
Sklera ikterus (- )
Leher :
P = Tympani
Tidak dilakukan.
DIAGNOSIS KERJA
DIAGNOSIS BANDING
Gastritis
Ulkus Peptikum
PENATALAKSANAAN
a. Non Farmakologi :
b. Farmakologi :
1. Ranitidin 2x150 mg
2. Antasida Doen 3x1
3. Bcomplek 1x1
TINJAUAN PUSTAKA
B. KLASIFIKASI
Secara garis besar, sindrom dyspepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
dyspepsia fungsional dan organik. Kelompok penyakit organik (seperti
tukak peptik, gastritis, kolesistitis) dan kelompok dimana sarana penunjang
diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi,
laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis
struktural atau biokimiawi, atau dengan kata lain, kelompok terakhir ini
disebut sebagai dispepsia fungsional.
1) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan
yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum),
gastritis, stomach cancer, Gastro-Esophageal reflux disease,
hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu:
b) Gastritis
Gastritis adalah peradangan atau inflamasi pada lapisan mukosa
dan submukosa lambung. Gejala yang timbul seperti mual,
muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan menurun, dan kadang
terjadi perdarahan. Penyebabnya ialah makanan atau obat-
obatan yang mengiritasi mukosa lambung dan adanya
pengeluaran asam lambung yang berlebihan.
c) Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)
Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan
yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir
balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa
rasa panas terbakar di dada (hearthburn), kadang disertai rasa
nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta
kesulitan menelan. GERD muncul akibat mengkonsumsi
makanan dan minuman seperti makanan pedas, makanan
berlemak, peppermint, kopi, alkohol, bawang putih, dan coklat
menambahkan bahwa GERD dapat dikurangi dengan
mengkonsumsi air putih dan mengkonsumsi obat antasida
sebelum makan. Pasien dengan GERD yang muncul pada
malam hari dapat dianjurkan untuk tidur dengan posisi kepala
lebih tinggi 6 – 8 inchi dari alas dengan menggunakan balok kayu
karena menggunakan bantal tambahan tidak cukup membantu
untuk mengganjal kepala. Posisi ini membantu mencegah
munculnya refluks daripada posisi berbaring tanpa alas . GERD
disebabkan karena beberapa faktor salah satunya adalah
obesitas. Penelitian menyebutkan bahwa kenaikan berat badan
sedikit saja walaupun masih dalam berat badan normal
seseorang dapat meningkatkan resiko terkena GERD.
d) Karsinoma
Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung,
pankreas, kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama
yaitu rasa nyeri di perut, bertambah dengan nafsu makan turun,
timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan turun (Hadi,
2002).
e) Pankreatitis
Gejala khas dari pankreatitis ialah rasa nyeri hebat di epigastrum
yang timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-tusuk
dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian
menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut
dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang
menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah.
f) Dispepsia pada Sindrom Malabsorbs
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses
absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi.
Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, mual,
anoreksia, sering flatus, kembung, dan timbulnya diare berlendir.
g) Gangguan Metabolisme
Gastroparesis merupakan ketidakmampuan lambung untuk
mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan 10 berbentuk
padat tertahan di lambung. Salah satu penyebab gastroparesis
adalah penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang dapat memicu
munculnya keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,
mual, dan muntah. Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid
yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus.
C. ETIOLOGI
Dyspepsia Fungsional
2. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan
angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada
kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia
fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan
konservatif baku.
3. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal
juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung
sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi
lambung dan rasa cepat kenyang.
4. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi
terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya
masih perlu dibuktikan lebih lanjut.
5. Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia
fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa
percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas
otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
7. Psikologis
Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian
stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya
menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok
dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya
kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau
gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional.
8. Faktor genetik
Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring
dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya
interaksi antara polimorfisme gen-gen terkait respons imun dengan infeksi
Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional.
Dispepsia Organik
1. OAINS
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui
beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa
lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang
merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang sangat
penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan
topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat
korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga
dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mucus oleh lambung sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu. Sawar mukosa lambung sangat
penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Pada pengguna
aspirin terjadi perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat
mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin.
2. Ulkus Peptikum
E. GEJALA
Sindroma dyspepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak
nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan
suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan
dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa
mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu makan menurun, mual,
sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika dispepsia menetap
selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap
pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang
tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan. Gejala klinis
dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit perut berulang
yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai tanda peringatan
(alarm symptoms).
Tabel 1 : alarm symptoms
F. DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis dispepsia menurut Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia (2014), dibutuhkan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik yang akurat dan pemeriksaan penunjang untuk
mengeksklusi penyakit organik/ struktural/ metabolik. Dispepsia yang telah
diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia organik
terdiri dari ulkus gaster, ulkus gastritis erosif, gastritis, duodenitis dan
proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma lll.
Kriteria Roma lll belurn divalidasi di lndonesia. Konsensus Asia-Pasifik
(2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma lll
dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas
yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional.
Dispepsia menurut kriteria Roma lll adalah suatu penyakit dengan satu atau
lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
1. Nyeri epigastrium
2. Rasa terbakar di epigastrium
3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4. Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria Roma lll membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni
epigastric pain syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi,
bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam
dua pertiga pasien dispepsia.
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra-
lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai
dengan adanya rangsang peritoneal/peritonitis.tumpuan pemeriksaan fisik
tertuju pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut, hernia
yang jelas, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karakteristik
motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness,
nyeri, pembesaran organ dan timpani. Pemeriksaan tanda vital bisa
ditemukan takikardi atau nadi yang tidak regular.
Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh lainnya. Perlu ditanyakan
perubahan tertentu yang dirasakan oleh pasien, perhatikan keadaan umum
dan kesadaran pasien. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung.
Perkusi paru untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan
pemeriksaan terhadap ekstremitas, adakah edema perifer dan dirasakan
adalah akral hangat atau dingin. Lakukan juga pemeriksaan terhadap
kelenjar limfa.
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien -
pasien yang datang dengan keluhan dyspepsia. Tanda bahaya pada
dyspepsia yaitu:
G. PENATALAKSANAAN
FARMAKOLOGIS
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya terdapat dalam
antasid antara lain Na bikarbonat, AL (OH)3, Mg (OH)2 dan Mg
trisilikat. Pemakaian obat ini sebaiknya jangan diberikan terus-menerus,
sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg trisilikat
dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai
adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik
atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan
antagonis reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin dan
famotidin
3. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Sesuai dengan namanya, golongan obat ini mengatur sekresi asam
lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-
obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol dan
pantoprazol.
4. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE) dan enprestil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh
sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostaglandin
endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan
produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta
membentuk lapisan protektif (sebagai site protective), yang senyawa
dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.
5. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, dom peridon
dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks
dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
NON FARMAKOLOGIS
H. KOMPLIKASI
a. Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal merupakan komplikasi paling umum yang
sering terjadi. Hal ini terjadi pada ± 15% pasien dan lebih sering pada
individu > 60 tahun .Insiden yang lebih tinggi pada orang tua
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan penggunaan NSAID dalam
kelompok ini.
b. Perforasi
Kejadian perforasi pada orang tua tampaknya meningkat sekunder
untuk peningkatan penggunaan NSAID. Penetrasi adalah bentuk
perforasi ulkus dimana terdapat terowongan ke organ yang berdekatan.
Ulkus duodenum cenderung menembus ke posterior pankreas sehingga
menyebabkan pankreatitis. Sedangkan ulkus gaster cenderung
menembus ke dalam hati lobus kiri.
c. Gastric Outlet Obstruksi
Terjadi pada 1-2% pasien. Seorang pasien mungkin memiliki obstruksi
relatif sekunder untuk ulkus terkait peradangan dan edema di wilayah
peripyloric. Proses ini sering sembuh dengan penyembuhan ulkus.
Sebuah obstruksi, tetap mekanik sekunder untuk pembentukan bekas
luka di daerah peripyloric juga mungkin terjadi. Yang terakhir ini
memerlukan intervensi endoskopi atau bedah. Tanda dan gejala
obstruksi mekanik relatif dapat berkembang secara diam-diam.
Diagnosis obstruksi onset baru yaitu cepat kenyang, mual, muntah, sakit
perut peningkatan postprandial dan penurunan berat badan.
I. Prognosis
Dispepsia fungsional memiliki prognosis baik jika dilakukan pemeriksaan
klinis dan penunjang yang akurat serta tatalaksana yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. FK UI.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Internal Publishing
.Jakarta 2010.
2. Darmodjo, Boedhi. Geriatri.Jakarta.FKUI.2011