Anda di halaman 1dari 17

FENOMENA SEGMENTASI KONSUMEN LANJUT USIA DAN KEBIASAAN

BERBELANJA
A. Latar Belakang
Kebutuhan manusia yang fundamental adalah makanan yang kemudian terkait dengan
kebutuhan konsumsi. Pemenuhan kebutuhan ini menimbulkan konsekuensinya berbelanja
makanan adalah kegiatan yang perlu dan rutin untuk semua konsumen. Aktivitas ini dinamakan
kegiatan pemenuhan kebutuhan. Keputusan yang diambil konsumen terkait makanan
mempengaruhi pengambilan pilihan dalam berbelanja, alasan membeli suatu produk, seberapa
sering konsumen membeli dan menggunakan suatu barang, dan bagaimana konsumen
mengevaluasi produk setelah pembelian.
Penjual dan distributor menghadapi tantangan serius ketika berhubungan dengan
konsumen yang lebih tua, sehingga mereka harus menyadari serta mempertimbangkan perilaku
konsumsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk keputusan kelompok usia ini
dalam membeli kebutuhan. Berbagai faktor mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen
yang terkait dengan faktor demografis sangat penting dalam menentukan keputusan pilihan
makanan dan telah dinyatakan sebagai memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku
makanan konsumen di usia yang lebih tua. Model pemilihan makanan mendokumentasikan
pengaruh faktor biologis pada apa yang orang pembelian dan konsumsi, dan usia diidentifikasi
sebagai aspek yang berkontribusi dalam pengambilan keputusan (Herne, 1995). Karena
karakteristik kelompok umur atau generasi tertentu mempengaruhi cara mereka menganggap dan
menggunakan makanan (Furst et al., 1996), sangat relevan dan dapat dibenarkan untuk
mempelajari usia tertentu menyegmentasikan secara individual dan menentukan perilaku
konsumen. Sejumlah faktor yang berhubungan dengan demografis sangat mempengaruhi
efektifitas di dalam pasar yang lebih mikro.
Para penjual dan distributor rentan melakukan kekeliruan jika tidak mengetahui ciri
perilaku dan preferensi basis pelanggan. Kekeliruan dalam memahami demografi konsumen
akan berakibat pada minimnya kesempatan penjual dalam memenuhi permintaan dan menuai
keuntungan di pasar ritel makanan yang sangat kompetitif. Reed pernah menuliskan, “pengecer
kontemporer sangat penting untuk memiliki pemahaman yang komprehensif tentang tren
konsumen, kebutuhan, keinginan dan proses pengambilan keputusan, yang kesemuanya akan
berdampak langsung pada keberhasilan bisnis mereka ”(Reed et al., 2000, p. 234). Karenanya,
ini masuk akal secara bisnis ritel membutuhkan riset untuk mengetahui basis demografis
konsumen demi tujuan pemuasan konstituen. Riset yang kompeherensif akan mengacu pada
sejumlah hal, yaitu: bagaimana konsumen sebenarnya berperilaku di seluruh proses pembelian
dapat dilakukan penjual dan distributor untuk mengevaluasi apakah mereka menawarkan
kebutuhan pelanggan dengan tepat. Peran riset yang sangat krusial dalam memahami periaku
konsumen berpatokan pada studi yang dapat menginformasikan penjual dan distributor tentang
perilaku pelanggan dengan memeriksa kemungkinan faktor demografis usia sebagai variabel
segmentasi dalam kebiasaan belanja makanan konsumen yang lebih tua.
Beberapa jurnal dapat dijadikan contoh yang menarik. Selain jurnal berjudul Age
associated changes in older consumers retail behaviour yang menjadi dasar penulisan bagi paper
ini, yang dengan sangat sistematis membahas segmentasi usia di populasi lansia terkait perilaku
konsumsi dan keputusan membeli, pertama-tama sangat menarik untuk melihat contoh konkrit
fenomena konsumsi pada demografi usia lanjut di negara Jepang sebagai pijakan persepektif
mengenai dampak yang terjadi pada perekonomian. Jurnal berjudul Macroeconomic implications
of population aging: Evidence from Japan merupakan studi elementer mengenai implikasi
penuaan populasi terhadap mikro ekonomi berdasarkan bukti kasus yang berada di Jepang.
Penelitian tersebut mengambil latar belakang masalah yang mengacu pada fakta mengenai
Jepang memiliki populasi yang menua paling cepat dan yang tertua negara berdasarkan usia.
Menurut data paparan The Economist pada medio tahun 2004 menyebutkan, perkiraan populasi
pada tahun 2016 terdapat 26,7% penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun. Prediksi
menyebutkan hingga tahun 2050 pencapaian angka populasi masyarakat lanjut usia (selanjutnya
akan disebut sebagai lansia) dapat menyentuh persentase sebesar 40%. Statistik ini nantinya akan
menjadikan negara tersebut memiliki angkatan tua dengan proporsi tertinggi di dunia, menurut
Wan, Daniel, dan Paul (2016).
Pertanyaan selanjutnya bilamana dihubungkan dengan dampak-dampak perekonomian
dalam jurnal tersebut ialah mengenai implikasi angkatan lansia tersebut terhadap perekonomian
secara makro. Secara general dapat terlihat bahwasanya, seiring peningkatan rata-rata usia
populasi suatu negara maka mengakibatkan dividen demografis menghilang. Inilah sebab akibat
yang mejadi intisari permasalahan dalam jurnal tersebut.
Perubahan demografis melalui penuaan populasi dapat terimplikasi pada ekonomi makro
secara substansial. Guna memahami lebih mendalam, berikut contoh yang terdapat pada jurnal
tersebut yang mengatakan ketika proporsi penduduk usia kerja menurun seperti populasi usia,
lebih sedikit pekerja yang tersedia untuk mendukung peningkatan jumlah tanggungan hari tua.
Maka, dapatlah pada titik pembacaan ini terpahami bahwasanya semakin tua usia rata-rata suatu
populasi maka semakin menekan minim jumlah pekerja yang dapat berkontribusi bagi program-
program untuk meningkatkan jaminan hari tua. Penurunan penduduk usia kerja serta peningkatan
biaya pensiun dan kesehatan dari naiknya jumlah penduduk lansia memicu terjadinya tekanan
distribusi antargenerasi yang memerlukan campur tangan negara. Dalam konteks ini, penduduk
usia muda mungkin harus membayar pajak dan kontribusi sosial yang lebih besar, lansia bisa jadi
harus aktif bekerja hingga usia lebih tua, dan pensiunan mungkin menikmati pensiun yang lebih
rendah daripada ekspektasi. Selain itu, pengeluaran pemerintah pun semakin besar untuk
dialokasikan bagi tunjangan sosial.
Problema yang dihadapi Jepang atas peningkatan rata-rata usia populasi mengacu pada
transisi demografi pekerja yang bertransformasi menjadi lansia, sehingga menambah beban
pajak pada populasi usia kerja, hambatan terhadap laju investasi terhadap ketersediaan sumber
daya manusia produktif, dan yang paling terlihat ialah signifikansi penurunan atas pertumbuhan
produktivitas. Selain itu paparan di atas, demografi populasi yang menua akan mengakibatkan
penarikan tabungan, mengurangi pinjaman dana yang dibutuhkan untuk membiayai investasi riil
dalam pabrik, peralatan, dan penelitian serta pengembangan teknologi terpadu yang tanggap
perubahan jaman. Masyarakat lansia sangat berpeluang menyebabkan tekanan pada sistem
keuangan. Karena sistem keuangan bergantung atau bahkan biasanya berpusat pada sektor
perbankan. Dalam hal ini, perlambatan investasi akan berdampak pada penurunan permintaan
terhadap pinjaman di tengah penawaran tabungan yang rigid. Akibatnya, sistem keuangan rentan
terhadap ketidakstabilan. Dalam jangka panjang, penduduk berusia tua menciptakan
ketidakstabilan fiskal dan SSK karena pembiayaan jaminan sosial secara masif berimplikasi pada
kebutuhan peningkatan pajak secara nasional. Penduduk berusia tua menyebabkan perubahan
(yang bisa menjadi masif) terhadap kebutuhan pembiayaan. Selanjutnya perubahan-perubahan
tersebut berimplikasi pada guncangan sistem keuangan dan menejerial terhadap risiko yang
lebih mendalam.
Permasalahan juga kerap timbul melalui keberadaan sistem pensiun yang berpeluang
menghadirkan ancaman terhadap ketahanan sektor fiskal. Dampak yang paling terlihat
membebani prospek ekonomi makro Jepang ialah terhambatnya produktivitas. Sejumlah
perubahan tabungan dan investasi terdampak langsung dari perubahan demografis ini
konsekuensinya akan mempengaruhi ketersediaan saldo negara. Penuaan populasi menyebabkan
penurunan tabungan nasional yang berdampak relatif negatif terhadap pertumbuhan investasi
domestik. Adapun kekhawatiran lain yang patut menjadi sorotan penting sehubungan dengan
penurunan produktivitas ialah meningkatnya angka ketergantungan finansial akan berpeluang
meningkatkan transfer pendapatan dari masyarakat usia kerja ke masyarakat usia lansia melalui
pengeluaran pemerintah yang dibutuhkan untuk tunjangan pensiun, perawatan medis,
kesejahteraan, dan pengeluaran pendidikan, sementara penerimaan pajak dari populasi
masyarakat usia kerja akan mengalami penurunan.
Jurnal ini merupakan penelitian yang terpadu dengan fungsi yang berdasarkan pada
transisi demografi. Pada prinsipnya demografi usia dalam ekonomi adalah upaya untuk mengkaji
tentang posisi penduduk dalam pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini, masyarakat dapat
diposisikan sebagai pelaku pada proses pembangunan dari output (hasil-hasil) pembangunan.
Masyarakat merupakan penyedia tenaga kerja dalam proses pembangunan ekonomi. Perubahan-
perubahan dalam variabel demografi (fertilitas, mortalitas, migrasi) akan mempengaruhi
perubahan-perubahan kuantitas, kualitas dan sebaran tenaga kerja. Pada tahap selanjutnya
perubahan-perubahan kuantitas, kualitas dan sebaran tenaga kerja akan mempengaruhi
pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikemukakan bahwa analisis ekonomi dalam
aktivitas konsumsi yang pada dasarnya merupakan bagian dari ekonomi kependudukan.
B. Kajian Teori
1. Segmentasi Konsumen
Individu yang berada dalam usia kerja menabung untuk mengumpulkan kekayaan untuk
mendukung pengeluaran konsumsi mereka pensiun, sedangkan mereka yang pensiun dan di
bawah usia 15 tahun mengurangi tabungan atau bahkan tidak menabung karena penghasilan yang
rendah atau mungkin pendapatan nol setelah pensiun sehingga melemahkan aktivitas konsumtif
di lanjut. Oleh karena itu, tingkat simpanan agregat diharapkan berhubungan negatif dengan
rasio populasi usia muda dan rasio populasi usia tua, keduanya dinyatakan relatif terhadap total
populasi (Kwack & Lee, 2005), begitulah penjelasan awal dari kerangka teori dalam jurnal ini.
Kecenderungan perilaku customer usia lanjut menjadikan aktivitas menabung karena motif untuk
memperoleh tabungan persiapan hari tua dan kehati-hatian untuk mengakomodasi fluktuasi dari
suatu pendapatan yang tidak terduga di masa depan. Sejumlah definisi terhadap ketidakpastian
menyangkut harapan hidup, keadaan darurat, dan warisan untuk anak-anak. Dari perspektif ini,
menabung dapat menjadi fungsi positif dari para konsumen usia lanjut.
Studi tentang perilaku konsumen mengarahkan penjual dan distributor harus bisa
mengelompokkan basis konsumen sehingga dapat menyesuaikan serta menargetkan produk dan
layanan tepat sasaran sesuai dengan segmentasi. Wawasan tentang perilaku konsumen
memungkinkan para penjual menargetkan kelompok usia tertentu sebagai satu segmen yang
homogen daripada memahami pasar sebagai fenomena heterogen yang luwes. Studi terhadap
perilaku konsumen mengejawantah menjadi strategi segmentasi yang berfungsi sebagai alat
bantu untuk mengidentifikasi, memenuhi dan memenuhi kebutuhan para konsumen. Pendekatan
pemasaran massal tidak lagi cocok dan strategi segmentasi dianggap penting dalam memperoleh
keunggulan kompetitif di era pasar bebas (Hollywood et al., 2007).
Ada banyak variabel segmentasi yang digunakan dalam penelitian sebelumnya untuk
mengukur peran yang mempengaruhi faktor-faktor yang berbeda pada perilaku konsumen, yaitu:
a. demografis; b. geografis; c. sikap; d. gaya hidup; e. motivasi, dan; f. faktor ekonomi. Setiap
strategi dalam pemahaman segmentasi memiliki batasan dalam penerapannya serta pilihan-
pilihan yang terbatas menurut pada pembagian usia konsumen
Variabel biasanya ditentukan oleh sifat penelitian. Untuk tujuan penulisan paper ini,
variabel demografis usia akan diselidiki beserta dampaknya perilaku konsumen yang berkaitan
aktivitas konsumtif, baik makanan maupun gaya hidup. Konsumen dari berbagai usia akan
melakukannya memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda yang dapat diterjemahkan ke
dalam pola perilaku yang berbeda dan tingkat kepuasan. Oleh karena itu, ada kemungkinan
penjual dan distributor mendasarkan segmentasi ketentuan pelanggan berdasarkan kriteria usia.
2. Pengaruh Pengelompokan Usia
Variabel pengelompopkan usia untuk menetapkan bahwa rasio demografis semuanya
terintegrasi sesuai dengan urutan integrasi variabel ekonomi makro.. Studi yang ada tentang
hubungan ini tidak mengenali tatanan integrasi yang berbeda ini. Selanjutnya sangat menarik
untuk menengarai bahwa studi mengenai daya beli konsumen lansia untuk menetapkan adanya
hubungan ekuilibrium jangka panjang antara setiap variabel ekonomi makro dan faktor penentu
demografis yang mendasari aktivitas membeli kebutuhan pokok. Dalam analisis kointegrasi,
penekanannya adalah pada hubungan jangka panjang, yaitu sesuai untuk mempelajari dampak
perubahan demografis yang berkembang perlahan akan mempengaruhi kebiasaan berbelanja.
Bertambahnya usia membawa perubahan pada kebutuhan dan kemampuan konsumen,
beberapa kebutuhan di antaranya berada di luar kemampuan daya beli satu individu. Perilaku
konsumen dalam hal pembelian, persiapan, dan konsumsi akan mengalami pola yang berbeda
ketika kelompok usia ini mengkonsumsi pada usia muda. Orang tua telah diidentifikasi memiliki
kebutuhan pasar yang berbeda dari segmen usia lainnya dan proses penuaan mengubah
perspektif dan pendekatan individu terhadap makanan/kebutuhan pokok. Seiring bertambahnya
usia seseorang, segmen konsumen lansia mengalami penurunan nafsu makan, asupan makanan,
dan kecukupan makanan yang kehilangan intensitasnya. Kebutuhan dan kemampuan yang
berubah akan berdampak pada perilaku konsumen, asupan gizi dan status kesehatan dan
karenanya harus dipertimbangkan oleh pengecer saat merencanakan penyediaan eceran.
Konsumen kemampuan dan keterbatasan memiliki pengaruh yang besar terhadap cara mereka
berbelanja, oleh karena itu, penjual komoditas perlu mewaspadai dampak usia terhadap perilaku
dan kepuasan konsumen pada segmentasi lansia.
Kontroversi mengelilingi tingkat pengaruh usia terhadap perilaku konsumen, dengan
beberapa menyarankan usia memang berdampak pada tindakan konsumen dan lainnya yang
gagal menemukan hubungan antara usia dan perilaku konsumen. Kesenangan berbelanja di toko
mengungkapkan bahwa usia berdampak pada kenikmatan konsumen dalam berbelanja dan
sebagainya pelanggan lansia menghargai layanan pribadi lebih tinggi daripada kelompok usia
lainnya. Konsumen usia lansia lebih menekankan pada aspek sensorik untuk menikmati aktivitas
berbelanja sebagai bentuk olahraga. Frekuensi belanja bahan makanan yang terjadi pada
kelompok usia di atas 55 tahun menjadi lebih sering. Hal ini mempertunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara perilaku dan usia.
3. Perilaku Konsumen
Pasar bisnis sifatnya sangat dinamis dan terpengaruh oleh kemajuan jaman, barang dan
jasa terus diproduksi dan dikonsumsi setiap hari. Permintaan akan barang dan jasa juga terus
berubah. Banyak sekali faktor seperti situasi politik, posisi geografis, perkembangan teknologi,
pendapatan, dan sebagainya yang berkontribusi dalam membentuk perilaku dan sikap konsumen
terhadap kebutuhan mereka dan ingin. Perilaku konsumen tidak statis melainkan dinamis, terus
berkembang dan berubah. Memahami perilaku konsumen membantu perusahaan untuk
mengatasinya dengan lebih baik strategi untuk merebut pasar potensial dan menjadi pemain
kunci dalam persaingan.
Perilaku konsumen dapat digambarkan sebagai studi tentang proses yang terlibat kapan
konsumen (baik individu maupun kelompok) memilih, membeli, mengkonsumsi, atau
membuang produk, layanan, ide, pengalaman sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Faktor yang mendasari pilihan pelanggan adalah konsep kebutuhan dan keinginan.
Konsumen membeli barang atau jasa untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.
Barang atau jasa itu sendiri kurang penting daripada mempertimbangkan bagaimana kemampuan
barang atau jasa untuk bertemu harapan individu. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa orang
sebenarnya pembelian bukanlah barang atau jasa itu sendiri melainkan keuntungan yang
diberikan oleh barang atau jasa itu jasa. Dengan kata lain, konsumen cenderung membeli barang
atau jasa yang memiliki kemampuan penuhi kebutuhan dan keinginan, apakah itu sepadan
dengan uang atau waktu yang dikorbankan untuk mendapatkan kebaikan dan layanan, dan jenis
nilai apa yang bisa diperoleh.
C. Pembahasan
1. Fenomena Kebergantungan Ekonomi Konsumen Usia Lanjut di Indonesia
Fenomena konsumen usia lanjut di Indonesia mengacu pada gagasan kuat bahwa
perubahan demografis muncul secara perlahan dan memiliki efek jangka panjang terhadap
variabel ekonomi makro. Perubahan demografi Indonesia akan menuai keuntungan dari bonus
demografis, dengan proporsi pertumbuhan penduduk usia kerja yang berkontribusi pada
pertumbuhan ekonomi yang kuat dan tingkat tabungan swasta yang tinggi. Hal ini diikuti oleh
populasi yang menua dalam jangka waktu yang lama, akibat dari penurunan yang stabil dalam
tingkat kesuburan, dan tingkat simpanan, investasi, dan pertumbuhan PDB terus turun.
Variabel ekonomi makro biasanya memungkinkan tingkat ketergantungan para konsumen
usia tua terhadap konsumen yang lebih muda di Indonesia akan memiliki efek yang berbeda pada
variabel makro. Pentingnya pemahaman bahwa negara Indonesia di era informatika ini harus
mengandalkan proporsi usia muda yang lebih tinggi cenderung menghabiskan sumber daya (atau
aktivitas konsumsi yang lebih impulsif karena gaya hidup) yang sangat besar dan berkontribusi
intensi untuk dapat menekan laju pertumbuhan ekonomi. Namun sebaliknya, keberadaan
sebagian besar masyarakat suatu negara merupakan kelompok usia kerja, hal itu berpotensi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Meskipun demikian, bonus demografi bukan
sesuatu yang secara otomatis dapat diperoleh pada periode tersebut. Dalam hal ini, komitmen
penuh dari seluruh pemangku kepentingan dalam suatu perekonomian sangat diperlukan.
Variabel ekonomi makro utama yang menarik adalah rasio tabungan swasta, investasi,
dan keseimbangan fiskal relatif terhadap PDB. Meskipun pengaruh faktor demografis pada
ketiga variabel ini penting hak mereka sendiri, mereka juga menentukan saldo akun saat ini
melalui definisi akuntansi fundamental. Secara tidak langsung, rasio ekonomi makro ini
merupakan indikator penting dari kesehatan jangka panjang ekonomi Indonesia dan prospek
pertumbuhan ekonomi yang potensial.
Transisi demografi telah menjadi pokok pertimbangan serius bagi Indonesia menyangut
daya beli masyarakat pada segala kelompok usia. Secara umum, transisi demografi dapat
dipetakan ke dalam tiga kelompok besar sesuai klasifikasi Bank Dunia (2015) sebagai berikut:
 Post-dividen, pembagian populasi usia kerja dari total populasi suatu negara menyusut,
baik dalam persentase maupun angka absolut.
 Late-dividen, pembagian populasi usia kerja dari total populasi menurun, tetapi masih
terus tumbuh secara absolut.
 Early-dividen, angka absolut dan pembagian populasi usia kerja terhadap total populasi
masih terus meningkat.
Indonesia tampak sedang mengalami suatu krisis yang berhubungan dengan hambatan
demografi krusial. Permasalahan ini menimbulkan berbagai dampak ekonomi, terutama pada
kemampuan beli. Kombinasi antara kenaikan jumlah populasi dari penduduk yang menua dan
harapan hidup tinggi serta menurunnya angka kelahiran mengakibatkan total dependency ratio
terus mengalami kenaikan, sehingga konsumen usia lanjut nantinya memiliki harapan
bergantung pada kelompok usia muda yang semakin menurun jumahnya.
Jalan keluar yang dibutuhkan untuk menyikapi transisi demografi yang dramatis ini ialah
memunculkan kebijakan terpadu untuk meningkatkan literasi keuangan. Langkah ini menjadi
krusial guna tetap menjaga level kesejahteraan penduduk usia tua yang telah mengalami
penurunan pendapatan, tetapi masih memiliki berbagai bentuk aset (investasi). Karena kondisi
demografi Indonesia berimplikasi secara multidimensional, baik dari sisi kebijakan, ekonomi
makro, maupun aspek-aspek bisnis/finansial.
Keperluan atas kebijakan yang melakukan penyediaan bantuan untuk masyarakat lansia
berusia 70 tahun ke atas sangat dibutuhkan, terutama untuk mengakomodir kebutuhan-kebutuhan
finansial terutama terkati dengan sistem pensiun. Indonesia kiranya perlu menciptakan suatu
kebijakan yang berguna menekan kecemasan-kecemasan finansial hari tua, sehingga total
depencency ratio dapat diturunkan. Contohnya kebijakan untuk menyediakan bantuan di bidang
kesehatan, pengibatan dan perawatan, serta kebijakan-kebijakan agar masyarakat lansia
memperoleh akses baru ke bidang pendapatan dan partisipasi sosial. Intinya ialah pemberian
akses-akses penghidupan baru (bisnis dan finansial) bagi masyarakat lansia. Atau dengan kata
lain ialah upaya mendorong masyarakat yang bertransformasi menua untuk tetap sehat dan
bekerja secara produktif sehingga tetap memiliki kemampuan daya beli yang ideal tanpa
bergantung pada pihak manapun.
Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah inovatif yang berfungsi memfasilitasi
kembalinya lansia ke dunia kerja. Serta, tak kalah pentingnya ialah pemerintah menawarkan
pinjaman kepada lansia untuk memulai (start up) memulai kewirausahaan. Bagi para lansia yang
ingin kembali produktif perlu sekali keberadaan lembaga ketenagakerjaan yang memberikan
konsultasi kerja. Sejumlah agenda ini niscaya akan menghasilkan situasi perekonomian yang
lebih kondusif.
Perbaikan pada sistem pension juga sangat penting untuk diperhatikan. Jika pemerintah
Indonesia mengambil kebijakan untuk memberikan peluang bekerja, maka memundurkan usia
pension menjadi salah satu kebijakan diperlukan. Mungkin jika terdapatnya suatu gagasan bahwa
dengan rela memundurkan usia pensiun, maka seorang lansia mendapatkan tunjangan yang lebih
banyak. Langkah pemerintah membuka ruang penundaan pensiun akan mendorong lansia untuk
merasa aman finansial dan lebih terjamin hidup dalam jangka waktu yang lebih lama. Jika
demikian, selaras dengan karakteristik masyarakat kontemporer dan metropolis Indonesia masa
kini yang memandang bekerja secara aktif, bahkan pada usia tua tidak saja untuk memperoleh
pendapatan, tetapi juga untuk memperbaiki kualitas hidup, menjaga kesehatan, dan juga untuk
menjalin pertemanan serta jejaring.
Tingkat perlindungan konsumen lansia harus mempertimbangkan kenyamanan mereka
dan banyaknya pilihan tempat perbelanjaan. Meskipun demikian, kelompok usia yang lebih tua
tidak menggunakan banyak penjual untuk berbelanja makanan ke tingkat yang sama dengan
konsumen yang lebih muda, di mana mereka jelas pilihan ritel yang logis, jelas terlihat bahwa
pembeli yang lebih tua bukanlah pelanggan setia kelompok usia lainnya. Pengecer harus
menyadari perubahan perilaku ini dan seharusnya mencoba untuk menarik perdagangan
penduduk lanjut usia mengingat bahwa mereka akan memperhitungkan untuk bagian belanja ritel
yang semakin signifikan selama dekade mendatang. Ditambah dengan munculnya beberapa
pengecer telah terjadi penurunan yang stabil pada makanan lainnya format ritel dan koperasi.
Fenomena ini mengurangi jumlah toko yang tersedia bagi konsumen membeli kebutuhan
makanan mereka dan karenanya membatasi pilihan mereka. Ini sangat mengkhawatirkan untuk
kelompok usia yang lebih tua. Ketertarikan konsumen lansia meningkat seiring bertambahnya
usia, terutama dalam hal preferensi, bahkan ketergantungan, terhadap toko kelontong berbasis
lokal, menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia konsumen akan mempengaruhi patron
perubahan perilaku. Seperti disebutkan sebelumnya, konsumen lansia mengurangi berbelanja di
banyak toko ritel besar dan dari temuan itu, lebih banyak penggunaan toko kelontong. Toko
kelontong mungkin lebih disukai oleh orang tua karena cenderung menjadi lebih kecil dalam
ukuran namun memiliki keragaman produk yang mudah dicari produk yang memadai. Namun,
sehingga pembeli yang lebih tua mungkin memiliki kerugian keuangan dengan mengandalkan
toko serba ada untuk menjalankan toko utama mereka yang lebih mahal daripada supermarket
besar.
Konsumen lansia “muda”, yaitu mereka yang berusia 60-64 tahun menggunakan toko
lokal untuk berbelanja makanan terlihat pada segmentasi kelompok usia yang lebih tua. Terdapat
korelasi antara usia dan penggunaan toko lokal untuk memenuhi semua kebutuhan penyediaan
makanan. Kebiasaan berbelanja konsumen lansia memiliki kecenderungan memanfaatkan toko-
toko lokal untuk belanja makanan utama berkaitan dengan usia dengan konsumen yang lebih tua
mengandalkan toko-toko lokal untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan makanan mereka.
2. Kontrak Psikologis Konsumen dan Penjual/Perusahaan yang Mempengaruhi Perceived
Value
Studi terhadap segmentasi konsumen usia lanjut menggambarkan semua nilai yang
dirasakan termasuk Nilai harga, kualitas, sosial, dan kenyamanan mendapat jawaban yang paling
positif. Penilaian terhadap perilaku berbelanja yang dirasakan menjadi bahan evaluasi
menyeluruh konsumen terhadap manfaat suatu produk pada penilaian konsumen tentang apakah
produk tersebut sepadan dengan biaya dan waktu untuk mendapatkannya menggunakan produk,
hal ini yang terlihat pada pertimbangan pemilihan produk pada segmen usia lanjut. Oleh karena
itu, berdasarkan hasil tersebut, paper ini menyimpulkan secara deduktif bahwa dalam hal harga,
kualitas, sosial, dan kenyamanan pelayanan penjual/perusahaan merupakan pertimbangan positif
dirasakan oleh pelanggan lansia. Kenyamanan, kebersihan, lebih banyak variasi produk yang
dijual ketersediaan produk, kecepatan transaksi, pengetahuan karyawan, dan atribusi lainnya
yang dapat memudahkan konsumen lansia akan menjadi pertimbangan utama ketika berbelanja.
Namun, ada beberapa faktor yang membuat penjual/perusahaan kurang dibandingkan
dengannya pesaing yaitu, harga yang lebih mahal untuk produk yang sama, kurangnya strategi
promosi seperti kartu anggota, dan diskon produk karena hal ini mempertimbangkan sejumlah
pensiunan yang memiliki pemasukan minim. Adapun preferensi merek, asumsi yang dapat
dipahami secara deduktif bahwa sebagian besar konsumen lansia tidak akan memiliki preferensi
merek yang lebih tinggi terhadap produk, namun akan loyal pada suatu produk/penjual ketika
merasakan kepuasan.
Tren konsumen barang konsumen Indonesia yang bergerak cepat adalah membeli di
berbagai toko tergantung pada kategori produknya, mengingat pengalaman yang kaya pada
segmen konsumen lansia memungkinkan loyalitas pada satu produk. Dengan kata lain,
Konsumen lansia Indonesia tidak melakukan pembelian di satu tempat atau satu jenis saluran
ritel namun pada kepuasan atau pengalaman yang memuaskan secara subjektif. Meskipun
konsumen lansia secara positif mempersepsikan penjual/perusahaan , mereka cenderung mencari
toko alternatif yang memenuhi preferensi mereka pada produk. Mereka akan lebih cenderung
melakukannya membeli barang dari toko bahan makanan (warung) seperti rokok, air mineral,
dan sebagainya lebih mudah diakses. Pada tahapan analisis ini, perilau berbelanja pada
konsumen lansia telah menyederhanakan banyak pola perilaku daripada saat mereka masih
muda.
Analisi perceived value yang dirasakan pelanggan tentang kontrak psikologis konsumen
lansia dengan penjual/perusahaan menunjukkan bahwa nilai persepsi pelanggan positif secara
signifikan mempengaruhi kebiasaan konsumen lansia dalam berbelanja yang lebih terpola dan
sederhana. Penjual/perusahaan yang sedang berusaha untuk mendapatkan pasar yang kompetitif
dapat menawarkan nilai kepuasan secara pengalaman konsumsi yang lebih tinggi kepada
konsumen lansia, sehingga konsumen lansia memilih produk yang dianggap memiliki nilai lebih
tinggi yang ditawarkan. Analisis menyatakan bahwa preferensi konsumen lansia terhadap
Produk/perusahaan bukan karena harganya, melainkan karena kenyamanan yang merupakan
hasil pengalaman selama hidup. Oleh karena itu, konsumen lansia lebih cenderung membeli
makanan atau minuman dan mengkonsumsinya untuk dibawa pulang.
3. Pelayanan Publik pada Konsumen Lansia di Indonesia
Penduduk Indonesia yang menua dengan cepat dalam dua hingga tiga dekade mendatang
tak ayal menimbulkan berbagai implikasi kebijakan publik bagi negara. Pertama-tama, di sana
terdapat permintaan yang lebih besar untuk skema bantuan pendapatan hari tua karena lebih
banyak orang Indonesia semakin tua dan akhirnya, karena kesehatan mereka menurun, mereka
harus meninggalkan angkatan kerja. Untuk menerima penghasilan yang memadai setelah
pensiun, para lansia harus melakukannya mengakumulasi tabungan yang cukup selama mereka
bekerja, atau menerima pendapatan dukungan dari sumber eksternal (keluarga, pemerintah atau
swasta yayasan / badan amal). Problema umu mengenai penduduk lansia ialah bahwa banyak
dari mereka yang tidak mampu menghidupi diri sendiri setelah pensiun harus bergantung pada
sumber pendapatan sekunder ini. Meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia di negara tersebut
juga akan mengakibatkan terjadinya peningkatan permintaan untuk perawatan dan layanan medis
untuk sektor populasi ini.
Pengalaman suatu negara dengan penduduk yang sudah berumur menunjukkan bahwa
sementara orang hidup lebih lama, pengeluaran kesehatan cenderung meningkat pada saat yang
sama, sejak itu seiring bertambahnya usia, mereka akan membelanjakan lebih banyak untuk
berbagai layanan terkait kesehatan seperti obat-obatan, rawat inap dan perawatan di panti jompo.
Akibatnya, pengeluaran kesehatan sebagai persentase Produk Nasional Bruto dapat diharapkan
meningkat baik. Dulu, lansia Indonesia bisa mengandalkan dukungan dari keluarga besarnya,
baik sebagai pengasuh pada saat mereka mengalami gangguan kesehatan maupun sebagai
pemberi nafkah. Sayangnya, Indonesia semakin menua dengan pesat populasi terjadi pada saat
yang sama dengan negara yang sedang berkembang serta pemulihan dari dampak krisis
keuangan Asia 1997/98.
Modernisasi telah membawa banyak perubahan yang berdampak pada sistem dukungan
keluarga di Indonesia. Program keluarga berencana nasional telah berhasil secara signifikan
menurunkan angka kelahiran Indonesia. Padahal kebijakan ini mengakibatkan berkurangnya
keluarga pengeluaran untuk menunjang anak-anak, itu juga berarti bahwa lansia Indonesia akan
melakukannya didukung oleh lebih sedikit anak ketika mereka memasuki usia tua. Ini, tentu saja,
bisa mengurangi jumlah dukungan yang akan mereka terima dari anak-anak mereka di hari tua.
Di antara perubahan lain dalam keluarga yang dibawa oleh modernisasi adalah
kemungkinan bahwa anggota keluarga yang lebih muda yang masih dalam angkatan kerja akan
bermigrasi ke kokta yang lebih besar, di mana stigma ini mengacu bahwa semakin besar kota
maka semakin pula kesempatan meraih pekerjaan berada, atau bahkan ke negara lain. Meskipun
mereka mungkin bisa mendapatkan gaji yang lebih baik di kota atau negara lain, anggota
keluarga yang lebih muda akan tinggal lebih jauh dari orang tua mereka yang sudah tua. Hasil
dari, kecil kemungkinannya bahwa anak-anak akan mampu menjalankan peran sebagai pengasuh
orang tua mereka pada saat dibutuhkan.
Akibatnya, dukungan kenyamanan taraf hidup lansia Indonesia semakin bergeser dari
personal perawatan, di mana lansia menerima perawatan emosional dan fisik langsung dari
anggota keluarga mereka sendiri, ke sistem perawatan yang lebih impersonal dan berorientasi
keuangan, di bantuan yang diberikan dalam bentuk uang tunai atau melalui asisten bayaran
(perawat, pembantu rumah tangga, dll.) daripada disediakan langsung oleh anak-anak, keluarga
dekat, maupun kerabat mereka. Dengan demikian, sementara orang tua mungkin menikmati
dukungan finansial yang memadai, mereka mungkin kurang mendapatkan perawatan dan
perhatian pribadi hanya bisa disediakan oleh keluarga mereka.
Bahkan ketika keluarga mereka merawat mereka, para lansia seringkali tidak
mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan dari anggota keluarga mereka. Keluarga para
lansia seringkali tidak memiliki bekal merawat secara tidak ideal atau konsultasi tentang cara
memberikan perawatan yang sesuai. Lebih sering, mereka harus melakukannya mengambil
tanggung jawab ini secara tiba-tiba tanpa peringatan apapun (yaitu ketika para manula menderita
penyakit serius yang membuatnya menjadi cacat/tidak mampu). Hasilnya, kualitas perawatan
yang diterima lansia dari anggota keluarganya seringkali buruk. Untuk membantu keluarga
Anggota untuk merawat kerabat lansia mereka membutuhkan informasi tentang sejumlah hal
termasuk masalah gizi dan makanan, tindakan higienis dan sanitasi, penggunaan alat rehabilitasi
dan pengobatan yang tepat.
Akibat kekurangan tersebut, lansia Indonesia semakin harus berpaling institusi pihak
ketiga untuk perawatan mereka. Layanan ini bisa berasal dari pemerintah atau sektor swasta,
baik untuk profit maupun non profit (misalnya, perawat rumah dan rumah sakit / klinik).
Sayangnya, sumber daya yang disediakan untuk lansia oleh institusi ini juga terbatas. Hanya
sekitar 10% dari seluruh penduduk Indonesia (keduanya pekerja dan pasangan mereka) memiliki
beberapa bentuk jaminan pensiun, sementara hanya 15% penduduk Indonesia saat ini dilindungi
oleh beberapa skema asuransi kesehatan yang disediakan oleh sektor publik atau swasta(ILO,
2003). Selain itu, secara virtual tidak mungkin bagi mereka yang berusia 65 tahun ke atas untuk
menerima perlindungan asuransi kesehatan, Padahal kelompok usia ini lebih rentan terhadap
masalah medis yang lebih serius (ibid: 193). Terakhir, pengeluaran kesejahteraan sosial untuk
lansia Indonesia masih rendah prioritas dalam anggaran pemerintah. Dalam APBN 2004, hanya
pemerintah mengalokasikan Rp.21,5 miliar (USD 236.000) untuk layanan tersebut (ADB, 2004:
99), jumlah yang jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan lansia Indonesia.
Kebijakan jaminan sosial harus menempatkan pemerintah yang bertanggung jawab atas
program jaminan sosial yang diusulkan dan memperlakukan orang lain hanya sebagai
kontributor skema jaminan sosial atau sebagai penerima manfaat jika sudah waktunya bagi
mereka untuk mulai mengumpulkan manfaat. Ini berpusat pada pendekatan yang tidak hanya
mengecualikan pemangku kepentingan lain dari memainkan peran penting dalam menyediakan
jaminan sosial untuk orang tua, tetapi juga dipertanyakan dalam konteks kapasitas pemerintah
yang lemah untuk melaksanakan programnya karena tata kelola yang serius masalah. Ini terbukti
dari pelaksanaan skema Jamsostek dan program jaminan sosial di masa lalu.
Pertama-tama, harus diakui bahwa kebijakan penuaan harus dinamis dan mudah
beradaptasi dengan kondisi baru, seperti perubahan demografi, peningkatan dalam perawatan
medis, ketersediaan sumber daya untuk mendanai penyediaan jaminan hari tua, dan sebagainya.
Tidak ada kebijakan yang harus ditetapkan, melakukannya akan menjadi kesalahan karena hal itu
bisa terjadi mengarah pada kemungkinan dampak jangka panjang bagi negara. Indonesia harus
belajar sebanyak itu mungkin dari negara lain yang telah mengalami perubahan demografis.
4. Perspektif Konsumen Lansia
Meski bukan ciri perilaku fisik, perlu diperhatikan persepsi konsumen itu telah ditemukan
perbedaan antara kelompok usia yang diteliti. Saat konsumen menjadi lebih tua kenikmatan
mereka untuk berbelanja meningkat; di samping peran fungsionalnya belanja memberikan
kenikmatan dan hiburan bagi konsumen (Dennis et al., 2007). Mengingat manfaat seperti itu,
penting bahwa setiap upaya harus dilakukan untuk memungkinkan lansia untuk berpartisipasi
dalam belanja makanan dan penyediaan untuk diri mereka sendiri. Nutrisi kepercayaan diri
menurun seiring bertambahnya usia dan usia telah secara signifikan dikaitkan dengan prioritas
untuk kenyamanan pembeli makanan lansia. Peningkatan kenyamanan yang mencolok adalah
yang dialami oleh lebih banyak konsumen di kelompok usia yang lebih muda dalam paper ini
dibandingkan kelompok usia yang lebih tua. Jelas, persepsi konsumen tentang kenyamanan dan
kemudahan berbelanja makanan sebagai aktivitas berbeda antar kelompok umur.
Jumlah orang yang melihat promosi multi-pembelian sebagai penurunan nilai yang baik
dan menjanjikan pengalaman yang memuaskan. Banyak konsumen yang mengeluh tidak
menginginkan promosi multi-pembelian dan lebih memilih satu barang dengan harga yang
menarik. Konsumen yang lebih tua yang cenderung tinggal di rumah tangga yang lebih kecil dan
umumnya memiliki nafsu makan yang lebih kecil tentu tidak disukai atau bundling produk yang
menawarkan dua atau lebih item yang sama. Yang berat ketergantungan penjual pada taktik
promosi semacam itu menyebabkan konsumen yang lebih tua merasa tidak puas dan
menimbulkan dampak negatif pada proses pembelian. Sebagai keputusan pembelian dipengaruhi
oleh pengalaman mereka dengan lingkungan ritel, itu barang dagangan dan tingkat layanan
penjual harus mencoba memperbaiki situasi saat ini dan menciptakan citra yang menguntungkan
di antara pelanggan mereka dan khususnya dalam benak konsumen yang lebih tua dimana
masalah tersebut meningkat dengan usia.
Tujuan yang ditetapkan dari paper ini menganalisis bahwa seiring bertambahnya usia
maka mempengaruhi karakteristik gaya hidup konsumen, perilaku, dan persepsi belanjanya juga
berubah. Oleh karena itu, paper ini berfungsi untuk mengungkap informasi sebelumnya tidak
diketahui dan memastikan bahwa segmen konsumen yang lebih lama tidak dapat dan tidak boleh
diperlakukan sebagai satu kelompok homogen mengingat mereka tidak berpikir atau berperilaku
dengan cara seperti kebanyakan konsumen dari segmentasi lain. Usia dapat digunakan sebagai
variabel segmentasi karena telah terbukti berpengaruh pada perilaku konsumen. Dari temuan
penelitian ini, sejumlah rekomendasi dapat dibuat untuk penjual makanan/kebutuhan untuk
mempengaruhi perilaku konsumen yang lebih tua dan membantu mengatasi beberapa dampak
negatif usia terhadap perilaku berbelanja konsumen.
D. Konklusi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia konsumen
maka pembelian akan mempengaruhi perubahan perilaku, seperti halnya perilaku terkait
makanan mereka. Bertambahnya usia dikaitkan dengan perubahan gaya hidup, perilaku
pembelian dan persepsi konsumen. Penjual perlu menyadari cara pelanggan mereka berperilaku
dan mampu melakukannya membedakan dengan lebih baik antara segmen usia, mereka
kemudian dapat menyesuaikannya dengan tepat produk dan layanan untuk memenuhi kebutuhan
dan permintaan khusus. Cukup adil untuk mengatakan fisik konsekuensi penuaan mungkin tidak
memperhitungkan secara eksklusif perubahan yang ditunjukkan pada tingkah laku. Namun,
perubahan gaya hidup yang disebabkan oleh proses penuaan juga bisa terjadi berdampak pada
bagaimana seseorang berperilaku. Namun, perubahan gaya hidup ini terkait dengan usia dan
Oleh karena itu kombinasi keduanya menyebabkan perubahan dalam tindakan konsumen.
Untuk konsumen yang lebih tua telah diperlakukan sebagai satu kelompok yang homogen
padahal analisis menunjukkan bahwa perbedaan yang signifikan terlihat jelas dalam segmen usia
populasi yang lebih tua dan mereka harus diperlakukan sebagai kelompok konsumen yang
heterogen. Oleh karena itu, usia dapat digunakan sebagai variabel untuk menyegmentasikan
perilaku konsumen dengan hati-hati harus diperhatikan dalam mengandalkannya secara
eksklusif.
Daftar Pustaka
Bawa, K. and Ghosh, A. (1999), “A model of household grocery shopping behaviour”,
Marketing Letters, Vol. 10 No. 2, pp. 149-60.

Bevan, J. (2005), Trolley Wars: The Battle of the Supermarkets, Profile Books, London.

Bloom, David E., Canning, David, dan Fink, Günther. (2008). “Population Aging and Economic
Growth”. PGDA Working Paper No. 31.
https://cdn1.sph.harvard.edu/wpcontent/uploads/sites/1288/2013/10/ PGDA_WP_31.pdf

Davis E. P. (2002), “Ageing and financial stability”, in eds H Herrmann and A Auerbach,
“Ageing and Financial Markets”, Springer Verlag – Deutsche Bundesbank
(http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.474.6795&rep
=rep1&type=pdf)

DSF, Indonesia’s Intergovernmental Transfer Response on Future Demographic and


Urbanization: Improving the Policy Framework for Fiscal Decentralisation (the Grand
Design of Fiscal Decentralization), November 2011.
http://documents.worldbank.org/curated/en/548511468260133592/pdf

Wan, H., Daniel, G., & Paul, K. (2016). An aging world: 2015. International population reports,
P95/16-1. Washington, DC: U.S. Census Bureau.

European Journal of Marketing, Vol. 34 No. 8, pp. 975-1002.

Clarke, I., Kirkup, M. and Oppewal, H. (2007), “Are consumers getting what they really want?”,
ESRC/EPSRC/AIM, available at: www.aimresearch.org/publications/localchoice.pdf
Cox, A.D., Cox, D. and Anderson, R.D. (2005), “Reassessing the pleasures of store shopping”,
Journal of Business Research, Vol. 58 No. 3, pp. 250-9.

Cummins, S. and Macintyre, S. (2002), “A systematic study of an urban foodscape: the price and
availability of food in Greater Glasgow”, Urban Studies, Vol. 39 No. 11, pp. 2115-30.

Dennis, C., Jayawardhena, C., Wright, L. and King, T. (2007), “A commentary on social and
experiential (e-) retailing and (e-) shopping deserts”, International Journal of Retail &
Distribution Management, Vol. 35 No. 6, pp. 443-56.

Herne, S. (1995), “Research on food choice and nutritional status in elderly people: a review”,
British Food Journal, Vol. 97 No. 9, pp. 12-29.

Anda mungkin juga menyukai