NAMA KELOMPOK
1. DOVA SANJAYA
2. ESTER ANGELINA MARPAUNG
3. FRICA SELESTA KURNIA
Pemberian nutrisi enteral dan parenteral diberikan bukan untuk memenuhi target
kebutuhan, tetapi untuk mentoleransi keadaan yang direncanakan dari tindakan atau pengelolaan
medis lain. Rekomendasi pemberian nutrisi enteral dini direkomendasikan sangat bermanfaat
pada pasien sakit kritis, walaupun pemberian nutrisi enteral sendiri dapat memungkinkan
terjadinya kekurangan nutrisi. Cara pemberian dan kebutuhan harus disesuaikan dengan
kebutuhan individu pasien, sehingga jika pemberian enteral kurang, sebaiknya dikombinasikan
dengan pemberian nutrisi melalui parenteral. Pemberian nutrisi pada pasien-pasien yang dirawat
di rumah sakit seringkali tidak mendapat proporsi yang seharusnya dibandingkan dengan terapi
medikamentosa lainnya. Nutrisi menjadi sangat penting pada pasien sakit berat dimana ancaman
terhadap defisiensi nutrisi kemungkinan besar terjadi. Pada keadaan inilah nutrisi menjadi bagian
dari suatu terapi medikal klinis. Dengan berkembangnya pengetahuan tentang nutrisi
memungkinkan kita untuk memahami proses metabolik yang terjadi selama sakit dan dapat
mengurangi ataupun mencegah morbiditas dan mortalitas akibat berlangsungnya proses
metabolik yang terjadi selama sakit dengan berbagai komplikasinya. Tujuan pemberian nutrisi
pada pasien sakit berat adalah untuk mengurangi kehilangan depot nutrisi tubuh, mengurangi
kehilangan jaringan akibat proses katabolisme dan memelihara serta memperbaiki fungsi organ
seperti ginjal, hepar, otot dan fungsi imunitas. Tujuan spesifik dari pemberian nutrisi ini adalah
untuk memperbaiki penyembuhan luka, mengurangi infeksi, mempertahankan mukosa usus
(mengurangi translokasi bakteri) dan mengurangi morbiditas serta mortalitas. Semua ini
berpengaruh dalam menurunkan lama dan biaya perawatan di rumah sakit.
JUDUL JURNAL 2 : EFEKTIFITAS PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL METODE
INTERMITTENT FEEDING DAN GRAVITY DRIP TERHADAP VOLUME RESIDU
LAMBUNG PADA PASIEN KRITIS DI RUANG ICU RSUD KEBUMEN
Volume residu lambung sesudah pemberian nutrisi pada pemberian nutrisi enteral metode
intermittent feeding lebih sedikit daripada volume residu lambung pada pemberian nutrisi enteral
metode gravity drip sehingga pemberian nutrisi enteral metode intermittent feeding lebih efektif
daripada metode gravity drip dengan nilai p sebesar 0,045. Pemberian nutrisi enteral metode
intermittent feeding terbukti lebih efektif daripada metode gravity drip sehingga pemberian
nutrisi enteral metode intermittent feeding dapat menjadi pilihan dalam pemberian nutrisi enteral
pada pasien kritis, khususnya di Ruang ICU RSUD Kebumen.
Tujuan dari dukungan nutrisi pada luka bakar adalah memberikan energi, cairan, dan
nutrisi dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan fungsi vital dan homeostasis,
memperbaiki aktivitas sistem imun, menurunkan risiko overfeeding, mengganti protein yang
hilang, mempertahankan massa tubuh terutama lean body mass, mencegah kelaparan dan
defisiensi nutrien tertentu, mempercepat penyembuhan luka dan mengatasi infeksi.6,9
Kekurangan gizi dapat memperpanjang masa perawatan dan penyembuhan, memperburuk
keadaan kurang gizi yang sedang berlangsung atau dapat menyebabkan anak kurang gizi paska
luka bakar. Sebaliknya, kelebihan gizi dapat menyebabkan peningkatan produksi
karbondioksida, mengganggu fungsi hepar, menyebabkan hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan
gangguan ginjal.
Anak dengan luka bakar merupakan kelompok anak sakit kritis yang memerlukan
perhatian khusus. Untuk memberikan dukungan nutrisi yang baik pada luka bakar, perlu
penilaian status gizi, identifikasi anak yang berisiko tinggi mengalami perburukan gizinantinya,
penentuan kebutuhan energi, pemberian nutrisi yang tepat, cara pemberian nutrisi, dan
pemantauan pemberian nutrisi. Dukungan nutrisi yang baik pada penderita luka bakar berguna
untuk penyembuhan luka yang lebih cepat, masa perawatan di rumah sakit yang lebih singkat,
mencegah terjadinya malnutrisi, atau mencegah memberatnya malnutrisi yang telah terjadi.
Dukungan nutrisi yang baik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita luka bakar.
Moore & Shires (1967) were right in emphasising the importance of prescribing fluid and
electrolytes in a way that optimises physiological function. It is clear that even modest deficits or
excesses can cause physiological derangement and hence adverse clinical consequences in terms
of complications, outcome and rate of recovery from disease. When prescribing fluid and
electrolytes, it is important, therefore, to understand the relationship between internal and
external balance and the effects of starvation and injury in order to prevent the adverse
physiological and clinical consequences of errors in treatment. Attention to detail and better
education are the key to better prescribing.
(Moore & Shires (1967) benar dalam menekankan pentingnya peresepan cairan dan elektrolit
dalam cara yang mengoptimalkan fungsi fisiologis. Jelas itubahkan defisit atau kelebihan yang
sederhana dapat menyebabkan fisiologis kekacauan dan konsekuensi klinis yang merugikan
dalam hal komplikasi, hasil dan kecepatan pemulihan dari penyakit. Saat meresepkan cairan dan
elektrolit, itu benarpenting, oleh karena itu, untuk memahami hubungan antarakeseimbangan
internal dan eksternal dan efek kelaparan dan cedera untuk mencegah terjadinya gangguan
fisiologisdan konsekuensi klinis dari kesalahan dalam pengobatan. )
In conclusion, both the total body clearance of iohexol, which is a measure of the GFR, and
amikacin clearance were increased during the CRI of 0.9% saline at 6 mL/kg/h over 36 h,
indicating a possible contribution of fluid therapy to the development of ARC. Furthermore,
amikacin clearance showed good agreement and correlation with iohexol clearance.
Consequently, this compound can be used to evaluate the GFR. Due to the increased clearance,
the AUC0→inf of amikacin decreased significantly, which illustrates the potential impact of fluid
administration on drug PK and potential drug efficacy. Further research is necessary to confirm
these results in humans.
(Kesimpulannya, pembersihan tubuh total ioheksol, yang merupakan ukuran GFR, dan
pembersihan amikasin meningkat selama CRI saline 0,9% pada 6 mL / kg / jam selama 36 jam,
menunjukkan kemungkinan kontribusi terapi cairan perkembangan ARC. Selanjutnya, klirens
amikasin menunjukkan persetujuan dan korelasi yang baik dengan klirens ioheksol. Akibatnya,
senyawa ini dapat digunakan untuk mengevaluasi GFR. Karena peningkatan klirens, AUC0 →
inf amikacin menurun secara signifikan, yang menggambarkan dampak potensial dari pemberian
cairan pada obat PK dan potensi kemanjuran obat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengkonfirmasi hasil ini pada manusia.)