Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Menurut KBBI, komunitas adalah kelompok organisme yang hidup dan saling
berinteraksi dalam daerah tertentu; masyarakat; ataupun paguyuban. c Diagnosis
komunitas adalah cara untuk menentukan kondisi kesehatan dalam sebuah komunitas
dengan mengumpulkan data dari suatu kelompok masyarakat. Menurut World Health
Organization (WHO), diagnosis komunitas adalah penilaian status kesehatan dan
masalah kesehatan untuk setiap upaya yang direncanakan dalam pengembangan layanan
kesehatan. Diagnosis komunitas membantu kita menentukan intervensi yang harus
dilakukan dalam pembentukan layanan kesehatan yang baik.1
Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae, yang juga
dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC.2 Menurut WHO, pada tahun
2018, angka kejadian TB paru mencatatkan angka kurang lebih 10 juta kasus dengan
angka kematian 1,2 juta kasus. TB paru merupakan penyakit yang menular dan
merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan angka mortalitas tertinggi di Indonesia,
yakni dengan angka kematian 1,6 juta penduduk pada tahun 2017 silam.3 Selain itu
kasus TB mencatatkan 420.994 kasus baru pada tahun 2017, lalu meningkat dengan
total 543.874 kasus pada tahun 2019, dengan prevalensi kasus tertinggi didapatkan pada
TB paru, dan lebih rentan pada jenis kelamin laki-laki dengan rentang usia 15 tahun
keatas. Hal ini dikaitkan dengan kebiasaan merokok yang cenderung pada laki-laki
daripada perempuan.2,4,5
Menurut hasil laporan kesehatan Kemenkes, provinsi Banten menempati
peringkat keenam dengan angka sebesar 28.797 kasus dan terdapat 8.736 kasus baru.
Menurut perkiraan, kejadian TB paru di Kabupaten Tangerang yaitu 284 insiden tiap
100.000 penduduk. Puskesmas Cikupa menjadi puskesmas dengan estimasi kejadian
tertinggi di Kabupaten Tangerang dengan perkiraan 500 kasus pada tahun 2017.i,data puskes
Pada tahun 2020, ditemukan 300 kasus pada periode bulan Oktober 2020 – Desember
2020. Pada satu bulan terakhir terdapat peningkatan kasus TB paru pada Puskesmas
Cikupa yaitu di Desa C sebanyak 15 kasus baru. Melihat ini, membuat kami ingin
mengidentifikasi penyebab peningkatan kasus tersebut dan melakukan intervensi yang
tepat.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Diturunkannya angka kejadian tuberkulosis (TB) paru di wilayah kerja Puskesmas
Cikupa, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Diketahuinya lokasi di wilayah kerja Puskesmas Cikupa yang memiliki angka
kejadian TB paru tertinggi pada periode Oktober sampai Desember 2020.
2. Diketahuinya masalah yang menyebabkan tingginya angka kejadian TB paru pada
wilayah kerja Puskesmas Cikupa.
3. Diketahuinya intervensi sebagai bentuk pencegahan TB paru di penduduk wilayah
kerja Puskesmas Cikupa.
4. Diketahuinya hasil intervensi yang telah dilakukan.
BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Diagnosis Komunitas


Menurut KBBI, komunitas didefinisikan sebagai kelompok organisme yang hidup dan
saling berinteraksi dalam daerah tertentu; masyarakat; ataupun paguyubanc. Komunitas
dapat juga diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki paling tidak ada satu
kesamaan sifat yang berlaku untuk semua anggota komunitas bersangkutan. Kesamaan
sifat ini bisa berupa kesamaan wilayah misalnya komunitas Banten; kesamaan
pekerjaan misalnya komunitas dokter; kesamaan suku misalnya komunitas
Betawi, dan sebagainya. Komunitas dapat juga didefinisikan sebagai sebagian dari
anggota masyarakat yang lebih besar, serta memiliki kesamaan sifat atau minat.
Sebagai contoh adalah sebagian dari masyarakat Banten yang memiliki minat
yang sama terhadap suatu cabang olahraga sepakbola. Keterkaitan antar anggota
komunitas dapat mendorong kinerja komunitas tersebut kearah yang lebih baik. Hal ini
dapat juga diterapkan dalam dunia kesehatan, agar dapat mencapai pelayanan yang
komprehensif dan holistik.6
Menurut World Health Organization (WHO), diagnosis komunitas adalah
penilaian status kesehatan dan masalah kesehatan untuk setiap upaya yang direncanakan
dalam pengembangan layanan kesehatan. Diagnosis komunitas membantu kita
menentukan intervensi yang harus dilakukan dalam pembentukan layanan kesehatan
yang baik.1
Diagnosis komunitas membantu dalam mengidentifikasi masalah serta
menentukan intervensi yang akan dilakukan, sehingga menghasilkan suatu rencana yang
baik. Dalam penerapannya, penggunaan diagnosis komunitas dalam suatu program
kesehatan adalah sebagai berikut:6
1. Berperan sebagai referensi data kesehatan dalam suatu wilayah.
2. Gambaran secara keseluruhan terkait masalah kesehatan pada komunitas lokal dan
penduduknya.
3. Memberikan rekomendasi intervensi yang akan dijadikan prioritas dan solusi
pemecahan masalah yang mampu laksana.
4. Mengindikasi alokasi sumber daya dan mengarahkan rencana kerja di masa depan.
5. Menciptakan peluang dari kolaborasi inter sektoral dan keterlibatan media untuk
pembentukan dasar indikator keberhasilan dari evaluasi program kerja kesehatan.
Langkah dalam melakukan diagnosis komunitas tidaklah mudah dalam mendiagnosis
induvidu tertentu, karena memiliki sasaran suatu lingkup yang lebih besar dan terdiri
atas sekelompok penduduk yang mempunyai karakteristik yang kurang lebih sama dan
tinggal di wilayah yang tertentu. Langkah-langkah penerapan diagnosis komunitas
adalah secara bertahap yaitu:6
1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan
2. Menentukan instrument pengumpulan data
3. Pengumpulan data dari masyarakat
4. Menganalisis dan menyimpulkan data
5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi.
Tahapan kerjanya adalah:6
1. Menentukan area masalah yang dihadapi puskesmas. Area masalah yang
dimaksud bisa diambil dari program program yang dilaksanakan di puskesmas.
2. Menentukan masalah yang spesifik yang ada di area tersebut. Dalam
menentukannya dapat dilakukan dengan menanyakan kepada dokter puskesmas
atau penanggung jawab program yang bersangkutan
3. Membuat proposal sederhana untuk merumuskan langkah langkah metode
diagnosis komunitas
4. Persiapan pengumpulan data di lapangan.
5. Menganalisis data secara deskriptif dengan menggunakan program analisis.
6. Membuat laporan untuk diseminasi ke pimpinan dan pengelola program terkait di
puskesmas

2.2 Tuberkulosis
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang bersifat kronik yang telah lama
dikenal umat manusia. TB telah ada bahkan sejak masa Mesir kuno, sekitar tahun 2000
– 4000 SM, dan diketahui dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh manusia, baik
organ pernafasan, pencernaan, saraf, kulit, dsb.b Meskipun infeksi TB dapat menyerang
hampir seluruh organ, namun paru adalah target organ utama dari penyakit ini.
Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama dari TB paru.7

2.2.2 Epidemiologi
Menurut data yang didapat dari World Health Organization (WHO) tahun 2018, angka
kasus TB di dunia kurang lebih sekitar 10 juta kasus, dengan angka mortalitas 1,2 juta
kasus pada 2018 pada pasien dengan Human Immunodefiency Virus (HIV) negatif, dan
251.000 kematian pada pasien dengan HIV positif. Tuberkulosis dapat menginfeksi pria
maupun wanita, namun prevalensi pria leih tinggi daripada wanita, diperkirakan terkait
dengan kebiasaan merokok yang lebih sering ditemukan pada pria.Apabila dilihat dari
umur, angka kejadian tertinggi didapatkan pada kelompok usia 15 tahun keatas. Secara
geografis, Asia Tenggara merupakan penyumbang kasus TB tertinggi didunia, dengan
angka kurang lebih 44% dari total kasus dan dengan angka kematian sebesar 4,5 juta.
Sedangkan di Indonesia sendiri, TB termasuk kedalam penyakit menular terbanyak
setiap tahunnya. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), TB paru merupakan
penyakit yang menular dan merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan angka
mortalitas tertinggi di Indonesia, yakni dengan angka kematian 1,6 juta penduduk pada
tahun 2017 silam.3 Selain itu kasus TB mencatatkan 420.994 kasus baru pada tahun
2017, lalu meningkat dengan total 543.874 kasus pada tahun 2019, dengan prevalensi
kasus tertinggi didapatkan pada TB paru. Provinsi Banten dengan angka kejadian
28.797 kasus menempati urutan keenam dengan temuan kasus baru sebesar 8.736 kasus.
Diperkirakan kejadian TB di Kabupaten Tangerang sebanyak 284 insiden setiap
100.000 penduduk. Puskesmas Cikupa menjadi puskesmas dengan estimasi kejadian
tertinggi di Kabupaten Tangerang dengan perkiraan …. kasus pada tahun
2020.2,4,5,8,datapuskes

2.2.3 Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyebab dari penyakit TB. M. tuberculosis
yang bersifat pathogen terbagi menjadi delapan, yaitu M. bovis, M. caprae, M.
africanum, M. microti, M. pinnipedii, M. mungi, M. orygis, dan M. canetti, namun
penyebab yang paling sering menyebabkan penyakit pada manusia adalah M.
tuberculosis. M. tuberculosis memiliki ukuran 0,5 m dan 3 m, dan merupakan
mikroorganisme aerob, berbentuk batang dan bersifat tahan asam. Hal tersebut
disebabkan karena M. tuberculosis memiliki kandungan lipid kompleks yang tinggi
yang mengikat noda Ziehl Neelsen dan sulit untuk dekolorisasi.9

2.2.4 Patofisiologi
Awal mula penyakit TB adalah M. tuberculosis dalam tubuh individu yang terinfeksi
keluar melalui batuk atau bersin sehingga menjadi droplet nuclei kemudian terhirup
orang lain. Droplet dapat berkeliaran di udara bebas kurang lebih selama 1-2 jam dan
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, termasuk ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk serta tingkat humiditas. Partikel bakteri yang sudah terhirup dapat
masuk ke alveolus paru manusia, dan mengaktifkan mekanisme imunologik non
spesifik. Kuman TB akan difagositosis oleh makrofag yang berada di alvelous. Orang
yang sudah terinfeksi bakteri M. tuberculosis akan menderita infeksi primer yang
umumnya terlokalisir di paru dam kelenjar limfe terdekat, yakni di cavum thoracis.
Pada beberapa kasus, makrofag tidak dapat menghancurkan kuman TB dan kuman TB
akan bereplikasi dalam makrofag. Kemudian, bakteri akan terus berkembang selama 2 –
12 minggu sehingga membentuk fokus primer GOHN yang terdapat di jaringan
paru.Pada tahap ini, uji tuberkulin akan memberikan hasil positif.7,9
Setelah terbentuk fokus primer, bakteri TB mulai menyebar melalui saluran
limfe menuju kelenjar limfe regional. Hal ini menimbulkan radang di saluran limfe
(limfangitis) dan radang pada kelenjar limfe (limfadenitis) apabila dilewati oleh bakteri
TB. Pada tahap ini, disebut juga kompleks primer karena adanya gabungan fokus
primer, limfadenitis dan limfangitis. Masa inkubasi sampai terbentuk kompleks primer,
berlangsung selama 4 – 8 minggu dengan rentang waktu 2 – 12 minggu. Pada individu
dengan daya tahan tubuh baik, pertumbuhan bakteri akan melandai seiring terbentuknya
imunitas. Apabila imunitas seluler terbentuk, lesi primer pada di jaringan paru
biasannya mengalami perbaikan sempurna dan mengalami nekrosis perkijuan kemudian
terbentuk fibrosis atau kalsifikasi, begitu juga dengan kelenjar dan saluran limfe.7,9

2.2.5 Faktor Risiko


Faktor risiko terkena tuberkulosis (TB) dengan gejala dipengaruhi oleh jumlah bakteri
yang terhirup oleh suatu individu, durasi sejak individu terinfeksi, usia, imunitas
dan infeksi penyerta seperti HIV. Dalam penanganan Tuberkulosis, faktor risiko
terjadinya TB dibagi menjadi 3, yaitu bakteri penyebab TB, pengaruh
lingkungan, dan faktor individu itu sendiri.7,9,10
1. Faktor bakteri penyebab
Pasien TB paru dengan BTA positif lebih infeksius dibandingkan TB paru dengan BTA
negatif. Banyaknya jumlah bakteri dalam percikan dahak, tentu meningkatkan
risiko terjadinya penularan. Makin lama durasi terpapar, maka makin besar risiko
terjadinya penularan.
2. Faktor individu yang terpapar
a. Faktor usia dan jenis kelamin
i. Kelompok usia dewasa muda atau usia produktif paling banyak
tertular.
ii. Laki-laki lebih banyak terkena TB paru dibandingkan perempuan.
b. Dayah tahan tubuh
c. Perilaku
i. Merokok dan etika batuk yang salah dapat meningkatkan risiko
penularan TB paru.
d. Status social ekonomi
3. Faktor lingkungan

2.2.6 Penularan
Sumber penularan tuberkulosis (TB) adalah pasien TB dengan BTA positif. Pada saat
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk pasien dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Dimana percikan dahak tersebut dapat mengandung hingga 3500 kuman M.
tuberculosis. Sedangkan ketika pasien bersin dapat mengeluarkan 4500 hingga 1000000
kuman M. tuberculosis. Umumnya penularan terjadi di dalam ruangan, dimana percikan
dahak bertahan dalam waktu yang lama. Ventilasi yang baik dapat mengurangi jumlah
percikan dan sinar matahari dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.4,11

2.2.7 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit tuberkulosis (TB) bertujuan untuk penetapan pengobatan yang
tepat. Definisi kasus TB terdiri atas dua, yaitu:
1. Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
Merupakan pasien yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, tes
cepat molekuler, atau biakan. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru biakan Mycobaterium tuberculosis (M.tb) positif
c. Pasien TB paru tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi bakteriologis, baik dengan BTA
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
2. Pasien TB terdiagnosis klinis
Merupakan pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnosis secara bakteriologis
namun didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter dan diputuskan untuk
diberikan pengobatan TB. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini antara lain
adalah:
a. Pasien TB paru BTA negative dengan pemeriksaan toraks mendukung TB.
b. Pasien TB paru BTA negative yang tidak menunjukkan perbaikan setelah
diberikan antibiotik non Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan memiliki faktor
risiko.
c. Pasien TB esktraparu yang terdiagnosa klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
d. TB anak yang terdiagnosis dengan skoring TB.
Selain pengelompokan pasien sesuai definisi diatas, pasien juga dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:12
1. Klasifikasi lokasi anatomi organ terkena
a. Tuberkulosis paru
Merupakan TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan paru). TB milier
dianggap sebagai TB paru. Pasien yang menderita TB paru dan TB
ekstraparu diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis ekstraparu
TB ekstraparu terjadi pada organ selain paru seperti pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput
otak dan tulang. Bila proses TB didapatkan pada beberapa organ,
penyebutannya disesuaikan dengan organ yang terkena proses TB terberat.
2. Klasifikasi riwayat pengobatan sebelumnya
a. Pasien baru TB
Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan atau kurang dari 28 dosis.
b. Pasien pernah diobati TB
Pasien yang sebelumnya menelan OAT selama 1 bulan atau lebih, atau lebih
dari sama dengan 28 dosis. Yang selanjutnya dapat diklasifikasikan
berdasarkan hasil pengobatan, yaitu:
i. Pasien kambuh, merupakan pasien yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosa TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
ii. Pasien gagal pengobatan, merupakan pasien yang pernah diobati
dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
iii. Pasien putus berobat (lost to follow-up) merupakan pasien yang
pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.
iv. Lain-lain, merupakan pasien yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan tidak diketahui.
c. Pasien tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
Pasien yang tidak masuk kedalam kelompok pasien baru TB dan pasien
pernah diobati TB.
3. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Berdasarkan hasil uji Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dibagi menjadi:
a. Mono resistan (TB MR), hanya resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR), resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Extensive drug resistan (TB XDR), TB MDR yang juga resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan.
d. Resistan Rifampisin (TB RR), resistan terhadap rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain.
4. Status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif yaitu pasien dengan hasil tes HIV positif
sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau hasil tes positif saat
terdiagnosa TB.
b. Pasien TB dengan HIV negatif, yaitu pasien dengan hasil tes HIV negatif
baik sebelum maupun sesudah terdiagnosa TB.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak dikethui, pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosa TB ditetapkan.

2.2.8 Tanda dan Gejala


Gejala utama pasien tuberkulosis (TB) paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Dapat diikuti gejala tambahan berupa dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien
dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala khas, sehingga gejala
batuk tidak harus selama 2 minggu atau lebih. Tanda klinis manfaatnya terbatas pada
tuberkulosis pulmonal. Banyak pasien tidak memiliki abnormalitas pada pemeriksaan
dada, namun dapat juga ditemukan rhonki pada daerah yang terkena pada inspirasi,
terutama setelah batuk. Tampilan sistemik seperti demam (biasanya ringan dan
intermiten) bisa terdapat pada 80% kasus. Tidak adanya demam tidak menyingkirkan
kemungkinan tuberkulosis.12,13

2.2.9 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis (TB) ditetapkan berdasarkan keluhan, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Biasanya pasien mengeluhkan batuk berdahak 2 minggu atau
lebih, dapat disertai gejala penyerta. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan rhonki
maupun demam. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan
laboratorium, foto toraks, uji kepekaan obat, dan histopatologi pada kasus yang
dicurigai TB ekstraparu. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa
pemeriksaan dahak mikroskopik langsung, tes cepat molekuler (TCM) TB, dan biakan.12
1. Pemeriksaan dahak mikroskopik langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menentukan potensi
penularan dan menilai keberhasilan pengoabtan. Penegakkan diagnosis dengan
pemeriksaan dahak dilakukan dengan mengumpulkan dua contoh uji dahak yang
dikumpulkan Sewaktu-Pagi (SP). Dimana sewaktu merupakan dahak yang
ditampung di fasilitas layanan kesehatan, sedangkan dahak pagi merupakan dahak
yang ditampung pada pagi hari segera setelah bangun tidur.12
2. Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dilakukan dengan metode Xpert MTB/RIF.
TCM dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.12
3. Pemeriksaan biakan
Biakan dilakukan dengan media padat dan cair. Dimana media padat
menggunakan Lowenstein-Jensen dan media cair menggunakan Mycobacteria
Growth Indicator Tube yang dapat mengidentifikasi M. tuberkulosis.12
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain foto toraks.
Gambaran radiologi yang mengarah pada TB aktif antara lain opasitas nodular yang
berada pada segmen apical-posterior lobus paru atas atau segmen superior lobus paru
bawah, fibrosis, kavitas, dan penyebaran endobronkial.14
Pemeriksaan uji kepekaan obat juga dapat dilakukan untuk menentukan ada
tidaknya resistensi M. tuberculosis terhadap OAT yang akan diberikan. Uji ini harus
dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu dan mendapatkan
sertifikat nasional maupun internasional.12
Gambar 2. 1 Alur Diagnosis Tuberkulosis di Indonesia12

2.2.10 Tatalaksana
Tujuan terapi tuberkulosis (TB) adalah untuk menghentikan penularan, meredakan
gejala dan mencegah kematian, mencegah munculnya resistansi obat, serta mencegah
kekambuhan. Untuk mencapai tujuan ini, rejimen pengobatan harus mencakup
kombinasi obat bakterisidal kuat yang diberikan minimal 6 bulan.14
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) merupakan komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Prinsip pengobatan yang adekuat antara lain:12
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat.
3. Ditelan secara teratur dan diawasi oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) sampai
selesai pengobatan.
4. Pengoabtan diberikan dalam jangka waktu yang cukup.
Dimana pengobatan TB harus meliputi tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal
pengobatan diberikan setiap hari selama 2 bulan yang secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien. Daya penularan pasien sudah sangat menurun
setelah pengobatan diberikan selama 2 minggu pertama. Tahap lanjutan bertujuan
membunuh sisa kuman yang ada di dalam tubuh. Sampai saat ini obat lini pertama
untuk pengobatan TB adalah isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z),
streptomisin (S), dan etambutol (E). Panduan pemberian OAT yang saat ini digunakan
di Indonesia adalah sebagai berikut:12
1. Kategori 1
Pengobatan OAT kategori 1 diberikan pada pasien baru dengan TB paru
terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosa klinis, maupun pasien TB
ekstra paru. Dengan panduan pemberian 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4HR.12
2. Kategori 2
Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang sebelumnya sudah diberikan
pengobatan antara lain pasien kambuh, pasien gagal pengobatan, serta pasien lost
to follow-up. Dengan panduan pemberian {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}.12

2.2.11 Monitor Terapi


Alasan terpenting kegagalan pengobatan tuberkulosis (TB) adalah ketidakpatuhan dan
resistensi obat, karena itu semua pasien perlu diawasi pengoabatannya. Sama seperti
semua obat, OAT memiliki efek samping yang perlu ditelusuri setiap pasien datang
untuk kontrol. Efek samping tersering dari pengobatan OAT terangkum dalam tabel
2.114
Tabel 2. 1 Efek Samping OAT Lini Pertama14

Obat Efek samping


Etambutol (E) Gangguan pengelihatan ( neutiris retrobulbar)
Isoniazid (H) Neuropati perifer, hepatitis, ruam kulit
Rifampicin (R) Urin oranye, nyeri perut, mual, interaksi obat, hepatitis,
ruam kulit
Pyrazinamide (Z) Hepatitis, atralgia, ruam kulit

Salah satu efek samping serius dan sering dijumpai dari OAT adalah
hepatotoksisitas. Pemeriksaan fungsi hati dua minggu setelah pemeberian terapi dapat
mendeteksi hepatotoksisitas. OAT harus dihentikan jika Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (SGPT) meningkat 5 kali dari baseline jika tidak terdapat gejala atau 3
kali jika terdapat gejala. OAT yang dapat digunakan sementara antara lain etambutol,
moxifloxacin dan amikacin.14
Pasien seharusnya mengalami perbaikan klinis dalam 2 minggu setelah memulai
terapi. Batuk dan demam berkurang serta berat badan yang menetap merupakan tanda
klinis yang berguna. Penanda diagnosis yang dapat digunakan termasuk sputum yang
menunjukkan hasil negatif setelah terapi. Karena itu penting untuk meminta pasien
mengumpulkan dahak setiap kunjungan, perlu diingat sputum masih dapat positif di dua
minggu awal. Gambaran foto toraks memerlukan waktu untuk berubah.14

2.2.12 Komplikasi dan Prognosis


Tuberkulosis (TB) dapat menyebabkan komplikasi akut maupun kronis. Komplikasi
yang disebabkan dapat berupa komplikasi sistemik, metabolik, infeksi, maupun
gangguan struktur. Komplikasi akut yang dapat disebabkan antara lain sepsis, acute
respiratory distress syndrome (ARDS), hemoptisis masif, tuberkulosis extraparu,
tuberkuloma, meningitis TB, dan hiperkalemia. TB paru dapat menyebabkan kerusakan
jalan nafas dan parenkim paru yang dapat menimbulkan komplikasi kronis meskipun
pasien telah menerima terapi yang efektif. Kerusakan kronis ini berkisar dari luka parut
minimal hingga bronkiektasis. TB juga dapat menyebabkan penurunan fungsi paru.
Ketika berat, kerusakan parenkim dapat menyebabkan kerusakan lobus maupun seluruh
paru.15
Keterlibatan paru bilateral merupakan faktor prognostik yang buruk untuk
pasien tuberkulosis yang memerlukan rawat inap. Sebaliknya, pasien dengan TB selain
parenkim paru biasanya memiliki prognosis yang lebih baik. Komplikasi jangka
panjang TB secara signifikan meningkatkan risiko kematian pada pasien rawat inap.
Sekuel TB jangka panjang seperti fibrosis paru, gagal napas tipe II, dan penyebaran
penyakit merupakan indikator prognosis yang buruk. Sebagian besar kematian terjadi
dalam minggu pertama masuk yang berimplikasi pada keterlambatan rujukan dan
komplikasi yang terjadi selanjutnya.15
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara penggunaan tembakau
dan peningkatan mortalitas pada pasien TB. Selain itu, pasien yang memiliki berat
badan rendah maupun keterlibatan paru bilateral meningkatkan risiko infeksi dan
komplikasi yang mengancam jiwa jika dibandingkan dengan pasien yang tidak
merokok.16

2.2.13 Pencegahan
Pencegahan dan pengendalian bertujuan untuk mengurangi serta mengeliminasi
penularan dan kejadian tuberkulosis (TB) di masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan
adalah:12
1. Pengendalian kuman penyebab
Dapat dilakukan dengan meningkatkan cakupan pengobatan dan keberhasilan
pengobatan serta melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta yang
mempermudah terjangkitnya TB, seperti HIV, diabetes, dll.12
2. Pengendalian faktor risiko individu
Dilakukan dengan cara membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, makan
makanan bergizi, tidak merokok, mengajarkan etika batuk dan cara membuang
dahak bagi pasien TB. Selain itu juga dilakukan pencegahan bagi populasi rentan
berupa vaksinasi BCG pada bayi baru lahir. Vaksinasi Bacille Calmette-Guerin
(BCG) berasal dari strain M. bovis yang dilemahkan dan pertama kali diberikan
kepada manusia pada tahun 1921. Vaksin BCG aman dan jarang menyebabkan
komplikasi serius. Respon jaringan lokal dimulai 2–3 minggu setelah vaksinasi,
dengan pembentukan bekas luka dan penyembuhan sekitar 3 bulan. Efek samping
paling umum merupakan ulserasi di tempat vaksinasi dan limfadenitis regional,
terjadi pada 1–10% orang yang divaksinasi. Infeksi BCG diseminata dan kematian
telah terjadi pada 1–10 kasus per 10 juta dosis yang diberikan, meskipun masalah
ini terbatas pada orang dengan gangguan imunitas, seperti anak-anak dengan
sindrom imunodefisiensi gabungan yang berat atau orang dewasa dengan infeksi
HIV. Vaksinasi BCG direkomendasikan untuk penggunaan rutin saat lahir di
negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. CDC telah merekomendasikan
bahwa orang dewasa dan anak-anak yang terinfeksi HIV tidak menerima
vaksinasi BCG, meskipun WHO telah merekomendasikan bahwa anak-anak yang
terinfeksi HIV tanpa gejala yang tinggal di daerah endemik tuberkulosis
menerima BCG.12,13
3. Pengendalian faktor lingkungan
Dengan mengupayakan lingkungan yang sehat serta melakukan pemeliharaan dan
perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya.12
2.3 Kerangka Teori
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0018/102249/E73494.pdf
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI tentang Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI; 2018.
3. https://tbindonesia.or.id/informasi/tentang-tbc/situasi-tbc-di-indonesia-2/
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
TBC. Jakarta: Kemenkes RI; 2011.
5. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2019. Geneva: WHO;
2019
6. Budiningsih S, Prihartono J, Kekalih A. Diagnosis Komunitas. Dalam: Prihartono
J, Budiningsih S, Kekalih A, Azwar S, Basuki E, Soerawidjaja RA, et al. Buku
Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas. Jakarta: Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas FKUI. 2014. Hal 2-3
7. PAPDI terbaru?
8. Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Profil kesehatan Kabupaten Tangerang
2017. In: Yuliastari, Ningsih KT, Septiyani D, Gunawan A, Facrudin E, editors.
Tangerang: SIKDA Generik Bridging Pcare; 2017. p. 33-41.
9. Raviglione MC. Tuberculosis. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS,
Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. 19 th ed. New
York: McGraw Hill; 2015. p1102-22.
10. https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjM9K-
1w9_uAhWbqksFHfQjA6cQFjAAegQIBBAC&url=http%3A%2F
%2Fyankes.kemkes.go.id%2Funduh%2Ffileunduhan_1610422577_801904.pdf
%2F43&usg=AOvVaw3I8tU-Dec4vNRZpUdSpnEl
11. Modul penanggulangan 2017
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Kemenkes RI; 2016. 73-117 p.
13. Loscalzo J. Tuberculosis. In: Raviglione MC, O’Brien RJ, editors. Harrison’s:
Pulmonary and Critical Care Medicine. New York: The McGraw-Hill Companies,
Inc. 2010. p. 115-138.
14. Fishman
15. Shah M, Reed M. Complications of tuberculosis. Lippincott Williams & Wilkins.
2014: 27(5); 403-410. DOI:10.1097/QCO.0000000000000090
16. Haque G, Kumar A, Saifuddin F, Ismail S, Rizvi N, Ghazal S, et al. Prognostic
Factors in Tuberculosis Related Mortalities in Hospitalized Patients. Tuberc Res
Treat. 2014; doi: 10.1155/2014/624671

Anda mungkin juga menyukai