Pendahuluan
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Diturunkannya angka kejadian tuberkulosis (TB) paru di wilayah kerja Puskesmas
Cikupa, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
2.2 Tuberkulosis
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang bersifat kronik yang telah lama
dikenal umat manusia. TB telah ada bahkan sejak masa Mesir kuno, sekitar tahun 2000
– 4000 SM, dan diketahui dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh manusia, baik
organ pernafasan, pencernaan, saraf, kulit, dsb.b Meskipun infeksi TB dapat menyerang
hampir seluruh organ, namun paru adalah target organ utama dari penyakit ini.
Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama dari TB paru.7
2.2.2 Epidemiologi
Menurut data yang didapat dari World Health Organization (WHO) tahun 2018, angka
kasus TB di dunia kurang lebih sekitar 10 juta kasus, dengan angka mortalitas 1,2 juta
kasus pada 2018 pada pasien dengan Human Immunodefiency Virus (HIV) negatif, dan
251.000 kematian pada pasien dengan HIV positif. Tuberkulosis dapat menginfeksi pria
maupun wanita, namun prevalensi pria leih tinggi daripada wanita, diperkirakan terkait
dengan kebiasaan merokok yang lebih sering ditemukan pada pria.Apabila dilihat dari
umur, angka kejadian tertinggi didapatkan pada kelompok usia 15 tahun keatas. Secara
geografis, Asia Tenggara merupakan penyumbang kasus TB tertinggi didunia, dengan
angka kurang lebih 44% dari total kasus dan dengan angka kematian sebesar 4,5 juta.
Sedangkan di Indonesia sendiri, TB termasuk kedalam penyakit menular terbanyak
setiap tahunnya. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), TB paru merupakan
penyakit yang menular dan merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan angka
mortalitas tertinggi di Indonesia, yakni dengan angka kematian 1,6 juta penduduk pada
tahun 2017 silam.3 Selain itu kasus TB mencatatkan 420.994 kasus baru pada tahun
2017, lalu meningkat dengan total 543.874 kasus pada tahun 2019, dengan prevalensi
kasus tertinggi didapatkan pada TB paru. Provinsi Banten dengan angka kejadian
28.797 kasus menempati urutan keenam dengan temuan kasus baru sebesar 8.736 kasus.
Diperkirakan kejadian TB di Kabupaten Tangerang sebanyak 284 insiden setiap
100.000 penduduk. Puskesmas Cikupa menjadi puskesmas dengan estimasi kejadian
tertinggi di Kabupaten Tangerang dengan perkiraan …. kasus pada tahun
2020.2,4,5,8,datapuskes
2.2.3 Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyebab dari penyakit TB. M. tuberculosis
yang bersifat pathogen terbagi menjadi delapan, yaitu M. bovis, M. caprae, M.
africanum, M. microti, M. pinnipedii, M. mungi, M. orygis, dan M. canetti, namun
penyebab yang paling sering menyebabkan penyakit pada manusia adalah M.
tuberculosis. M. tuberculosis memiliki ukuran 0,5 m dan 3 m, dan merupakan
mikroorganisme aerob, berbentuk batang dan bersifat tahan asam. Hal tersebut
disebabkan karena M. tuberculosis memiliki kandungan lipid kompleks yang tinggi
yang mengikat noda Ziehl Neelsen dan sulit untuk dekolorisasi.9
2.2.4 Patofisiologi
Awal mula penyakit TB adalah M. tuberculosis dalam tubuh individu yang terinfeksi
keluar melalui batuk atau bersin sehingga menjadi droplet nuclei kemudian terhirup
orang lain. Droplet dapat berkeliaran di udara bebas kurang lebih selama 1-2 jam dan
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, termasuk ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk serta tingkat humiditas. Partikel bakteri yang sudah terhirup dapat
masuk ke alveolus paru manusia, dan mengaktifkan mekanisme imunologik non
spesifik. Kuman TB akan difagositosis oleh makrofag yang berada di alvelous. Orang
yang sudah terinfeksi bakteri M. tuberculosis akan menderita infeksi primer yang
umumnya terlokalisir di paru dam kelenjar limfe terdekat, yakni di cavum thoracis.
Pada beberapa kasus, makrofag tidak dapat menghancurkan kuman TB dan kuman TB
akan bereplikasi dalam makrofag. Kemudian, bakteri akan terus berkembang selama 2 –
12 minggu sehingga membentuk fokus primer GOHN yang terdapat di jaringan
paru.Pada tahap ini, uji tuberkulin akan memberikan hasil positif.7,9
Setelah terbentuk fokus primer, bakteri TB mulai menyebar melalui saluran
limfe menuju kelenjar limfe regional. Hal ini menimbulkan radang di saluran limfe
(limfangitis) dan radang pada kelenjar limfe (limfadenitis) apabila dilewati oleh bakteri
TB. Pada tahap ini, disebut juga kompleks primer karena adanya gabungan fokus
primer, limfadenitis dan limfangitis. Masa inkubasi sampai terbentuk kompleks primer,
berlangsung selama 4 – 8 minggu dengan rentang waktu 2 – 12 minggu. Pada individu
dengan daya tahan tubuh baik, pertumbuhan bakteri akan melandai seiring terbentuknya
imunitas. Apabila imunitas seluler terbentuk, lesi primer pada di jaringan paru
biasannya mengalami perbaikan sempurna dan mengalami nekrosis perkijuan kemudian
terbentuk fibrosis atau kalsifikasi, begitu juga dengan kelenjar dan saluran limfe.7,9
2.2.6 Penularan
Sumber penularan tuberkulosis (TB) adalah pasien TB dengan BTA positif. Pada saat
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk pasien dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Dimana percikan dahak tersebut dapat mengandung hingga 3500 kuman M.
tuberculosis. Sedangkan ketika pasien bersin dapat mengeluarkan 4500 hingga 1000000
kuman M. tuberculosis. Umumnya penularan terjadi di dalam ruangan, dimana percikan
dahak bertahan dalam waktu yang lama. Ventilasi yang baik dapat mengurangi jumlah
percikan dan sinar matahari dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.4,11
2.2.7 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit tuberkulosis (TB) bertujuan untuk penetapan pengobatan yang
tepat. Definisi kasus TB terdiri atas dua, yaitu:
1. Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
Merupakan pasien yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, tes
cepat molekuler, atau biakan. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru biakan Mycobaterium tuberculosis (M.tb) positif
c. Pasien TB paru tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi bakteriologis, baik dengan BTA
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
2. Pasien TB terdiagnosis klinis
Merupakan pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnosis secara bakteriologis
namun didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter dan diputuskan untuk
diberikan pengobatan TB. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini antara lain
adalah:
a. Pasien TB paru BTA negative dengan pemeriksaan toraks mendukung TB.
b. Pasien TB paru BTA negative yang tidak menunjukkan perbaikan setelah
diberikan antibiotik non Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan memiliki faktor
risiko.
c. Pasien TB esktraparu yang terdiagnosa klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
d. TB anak yang terdiagnosis dengan skoring TB.
Selain pengelompokan pasien sesuai definisi diatas, pasien juga dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:12
1. Klasifikasi lokasi anatomi organ terkena
a. Tuberkulosis paru
Merupakan TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan paru). TB milier
dianggap sebagai TB paru. Pasien yang menderita TB paru dan TB
ekstraparu diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis ekstraparu
TB ekstraparu terjadi pada organ selain paru seperti pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput
otak dan tulang. Bila proses TB didapatkan pada beberapa organ,
penyebutannya disesuaikan dengan organ yang terkena proses TB terberat.
2. Klasifikasi riwayat pengobatan sebelumnya
a. Pasien baru TB
Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan atau kurang dari 28 dosis.
b. Pasien pernah diobati TB
Pasien yang sebelumnya menelan OAT selama 1 bulan atau lebih, atau lebih
dari sama dengan 28 dosis. Yang selanjutnya dapat diklasifikasikan
berdasarkan hasil pengobatan, yaitu:
i. Pasien kambuh, merupakan pasien yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosa TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
ii. Pasien gagal pengobatan, merupakan pasien yang pernah diobati
dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
iii. Pasien putus berobat (lost to follow-up) merupakan pasien yang
pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.
iv. Lain-lain, merupakan pasien yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan tidak diketahui.
c. Pasien tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
Pasien yang tidak masuk kedalam kelompok pasien baru TB dan pasien
pernah diobati TB.
3. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Berdasarkan hasil uji Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dibagi menjadi:
a. Mono resistan (TB MR), hanya resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR), resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Extensive drug resistan (TB XDR), TB MDR yang juga resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan.
d. Resistan Rifampisin (TB RR), resistan terhadap rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain.
4. Status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif yaitu pasien dengan hasil tes HIV positif
sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau hasil tes positif saat
terdiagnosa TB.
b. Pasien TB dengan HIV negatif, yaitu pasien dengan hasil tes HIV negatif
baik sebelum maupun sesudah terdiagnosa TB.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak dikethui, pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosa TB ditetapkan.
2.2.9 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis (TB) ditetapkan berdasarkan keluhan, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Biasanya pasien mengeluhkan batuk berdahak 2 minggu atau
lebih, dapat disertai gejala penyerta. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan rhonki
maupun demam. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan
laboratorium, foto toraks, uji kepekaan obat, dan histopatologi pada kasus yang
dicurigai TB ekstraparu. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa
pemeriksaan dahak mikroskopik langsung, tes cepat molekuler (TCM) TB, dan biakan.12
1. Pemeriksaan dahak mikroskopik langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menentukan potensi
penularan dan menilai keberhasilan pengoabtan. Penegakkan diagnosis dengan
pemeriksaan dahak dilakukan dengan mengumpulkan dua contoh uji dahak yang
dikumpulkan Sewaktu-Pagi (SP). Dimana sewaktu merupakan dahak yang
ditampung di fasilitas layanan kesehatan, sedangkan dahak pagi merupakan dahak
yang ditampung pada pagi hari segera setelah bangun tidur.12
2. Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dilakukan dengan metode Xpert MTB/RIF.
TCM dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.12
3. Pemeriksaan biakan
Biakan dilakukan dengan media padat dan cair. Dimana media padat
menggunakan Lowenstein-Jensen dan media cair menggunakan Mycobacteria
Growth Indicator Tube yang dapat mengidentifikasi M. tuberkulosis.12
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain foto toraks.
Gambaran radiologi yang mengarah pada TB aktif antara lain opasitas nodular yang
berada pada segmen apical-posterior lobus paru atas atau segmen superior lobus paru
bawah, fibrosis, kavitas, dan penyebaran endobronkial.14
Pemeriksaan uji kepekaan obat juga dapat dilakukan untuk menentukan ada
tidaknya resistensi M. tuberculosis terhadap OAT yang akan diberikan. Uji ini harus
dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu dan mendapatkan
sertifikat nasional maupun internasional.12
Gambar 2. 1 Alur Diagnosis Tuberkulosis di Indonesia12
2.2.10 Tatalaksana
Tujuan terapi tuberkulosis (TB) adalah untuk menghentikan penularan, meredakan
gejala dan mencegah kematian, mencegah munculnya resistansi obat, serta mencegah
kekambuhan. Untuk mencapai tujuan ini, rejimen pengobatan harus mencakup
kombinasi obat bakterisidal kuat yang diberikan minimal 6 bulan.14
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) merupakan komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Prinsip pengobatan yang adekuat antara lain:12
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat.
3. Ditelan secara teratur dan diawasi oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) sampai
selesai pengobatan.
4. Pengoabtan diberikan dalam jangka waktu yang cukup.
Dimana pengobatan TB harus meliputi tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal
pengobatan diberikan setiap hari selama 2 bulan yang secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien. Daya penularan pasien sudah sangat menurun
setelah pengobatan diberikan selama 2 minggu pertama. Tahap lanjutan bertujuan
membunuh sisa kuman yang ada di dalam tubuh. Sampai saat ini obat lini pertama
untuk pengobatan TB adalah isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z),
streptomisin (S), dan etambutol (E). Panduan pemberian OAT yang saat ini digunakan
di Indonesia adalah sebagai berikut:12
1. Kategori 1
Pengobatan OAT kategori 1 diberikan pada pasien baru dengan TB paru
terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosa klinis, maupun pasien TB
ekstra paru. Dengan panduan pemberian 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4HR.12
2. Kategori 2
Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang sebelumnya sudah diberikan
pengobatan antara lain pasien kambuh, pasien gagal pengobatan, serta pasien lost
to follow-up. Dengan panduan pemberian {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}.12
Salah satu efek samping serius dan sering dijumpai dari OAT adalah
hepatotoksisitas. Pemeriksaan fungsi hati dua minggu setelah pemeberian terapi dapat
mendeteksi hepatotoksisitas. OAT harus dihentikan jika Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (SGPT) meningkat 5 kali dari baseline jika tidak terdapat gejala atau 3
kali jika terdapat gejala. OAT yang dapat digunakan sementara antara lain etambutol,
moxifloxacin dan amikacin.14
Pasien seharusnya mengalami perbaikan klinis dalam 2 minggu setelah memulai
terapi. Batuk dan demam berkurang serta berat badan yang menetap merupakan tanda
klinis yang berguna. Penanda diagnosis yang dapat digunakan termasuk sputum yang
menunjukkan hasil negatif setelah terapi. Karena itu penting untuk meminta pasien
mengumpulkan dahak setiap kunjungan, perlu diingat sputum masih dapat positif di dua
minggu awal. Gambaran foto toraks memerlukan waktu untuk berubah.14
2.2.13 Pencegahan
Pencegahan dan pengendalian bertujuan untuk mengurangi serta mengeliminasi
penularan dan kejadian tuberkulosis (TB) di masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan
adalah:12
1. Pengendalian kuman penyebab
Dapat dilakukan dengan meningkatkan cakupan pengobatan dan keberhasilan
pengobatan serta melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta yang
mempermudah terjangkitnya TB, seperti HIV, diabetes, dll.12
2. Pengendalian faktor risiko individu
Dilakukan dengan cara membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, makan
makanan bergizi, tidak merokok, mengajarkan etika batuk dan cara membuang
dahak bagi pasien TB. Selain itu juga dilakukan pencegahan bagi populasi rentan
berupa vaksinasi BCG pada bayi baru lahir. Vaksinasi Bacille Calmette-Guerin
(BCG) berasal dari strain M. bovis yang dilemahkan dan pertama kali diberikan
kepada manusia pada tahun 1921. Vaksin BCG aman dan jarang menyebabkan
komplikasi serius. Respon jaringan lokal dimulai 2–3 minggu setelah vaksinasi,
dengan pembentukan bekas luka dan penyembuhan sekitar 3 bulan. Efek samping
paling umum merupakan ulserasi di tempat vaksinasi dan limfadenitis regional,
terjadi pada 1–10% orang yang divaksinasi. Infeksi BCG diseminata dan kematian
telah terjadi pada 1–10 kasus per 10 juta dosis yang diberikan, meskipun masalah
ini terbatas pada orang dengan gangguan imunitas, seperti anak-anak dengan
sindrom imunodefisiensi gabungan yang berat atau orang dewasa dengan infeksi
HIV. Vaksinasi BCG direkomendasikan untuk penggunaan rutin saat lahir di
negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. CDC telah merekomendasikan
bahwa orang dewasa dan anak-anak yang terinfeksi HIV tidak menerima
vaksinasi BCG, meskipun WHO telah merekomendasikan bahwa anak-anak yang
terinfeksi HIV tanpa gejala yang tinggal di daerah endemik tuberkulosis
menerima BCG.12,13
3. Pengendalian faktor lingkungan
Dengan mengupayakan lingkungan yang sehat serta melakukan pemeliharaan dan
perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya.12
2.3 Kerangka Teori
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0018/102249/E73494.pdf
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI tentang Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI; 2018.
3. https://tbindonesia.or.id/informasi/tentang-tbc/situasi-tbc-di-indonesia-2/
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
TBC. Jakarta: Kemenkes RI; 2011.
5. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2019. Geneva: WHO;
2019
6. Budiningsih S, Prihartono J, Kekalih A. Diagnosis Komunitas. Dalam: Prihartono
J, Budiningsih S, Kekalih A, Azwar S, Basuki E, Soerawidjaja RA, et al. Buku
Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas. Jakarta: Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas FKUI. 2014. Hal 2-3
7. PAPDI terbaru?
8. Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Profil kesehatan Kabupaten Tangerang
2017. In: Yuliastari, Ningsih KT, Septiyani D, Gunawan A, Facrudin E, editors.
Tangerang: SIKDA Generik Bridging Pcare; 2017. p. 33-41.
9. Raviglione MC. Tuberculosis. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS,
Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. 19 th ed. New
York: McGraw Hill; 2015. p1102-22.
10. https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjM9K-
1w9_uAhWbqksFHfQjA6cQFjAAegQIBBAC&url=http%3A%2F
%2Fyankes.kemkes.go.id%2Funduh%2Ffileunduhan_1610422577_801904.pdf
%2F43&usg=AOvVaw3I8tU-Dec4vNRZpUdSpnEl
11. Modul penanggulangan 2017
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Kemenkes RI; 2016. 73-117 p.
13. Loscalzo J. Tuberculosis. In: Raviglione MC, O’Brien RJ, editors. Harrison’s:
Pulmonary and Critical Care Medicine. New York: The McGraw-Hill Companies,
Inc. 2010. p. 115-138.
14. Fishman
15. Shah M, Reed M. Complications of tuberculosis. Lippincott Williams & Wilkins.
2014: 27(5); 403-410. DOI:10.1097/QCO.0000000000000090
16. Haque G, Kumar A, Saifuddin F, Ismail S, Rizvi N, Ghazal S, et al. Prognostic
Factors in Tuberculosis Related Mortalities in Hospitalized Patients. Tuberc Res
Treat. 2014; doi: 10.1155/2014/624671