Anda di halaman 1dari 9

Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 3, B025-033, Oktober 2018

https://doi.org/10.32315/sem.3.b025

Arsitektur Vernakular di Sulawesi Selatan dan Perannya


terhadap Arsitektur Hijau
Andi Edy Satar1, Edward Syarif2, Nurul Nadjmi3
1
Laboratorium Desain Perumahan dan Lingkungan Permukiman, Mahasiswa Prodi S2 Arsitektur, Departemen Arsitektur, Fakultas
Teknik, Universitas Hasanuddin
2,3
Laboratorium Desain Perumahan dan Lingkungan Permukiman, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas
Hasanuddin.
Korespondensi: andiedyas@gmail.com

Abstrak

Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang
lahir dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan
pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas
setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka ruang untuk terjadinya
transformasi. Arsitektur Vernakular memiliki nilai ekologis, arsitektonis dan alalmi karena mengacu
pada kondisi, potensi iklim-Budaya dan masyarakat lingkungannya. Aristektur vernakular secara
umum telah memberi pelajaran pada kita tentang keberlanjutan atau penghematan energi yang
sesungguhnya sudah mengaplikasikan sebagian besar dasar-dasar arsitektur hijau, jauh sebelum
konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) di dengungkan. Ini telah terbukti
dan teruji oleh waktu dan perubahan zaman. Di Sulawesi Selatan dapat kita jumpai beberapa
peninggalan arsitektur vernakular yang masih berdiri kokoh hingga saat ini, arsitektur vernakular
Tongkonan di Toraja misalnya atau rumah adat Bugis-Makassar, Selayar, dan lain sebagainya adalah
bukti nyata. Arsitektur hijau adalah Arsitektur yang meminimalkan pengurasan sumber daya alam
dan meminimalkan dampak buruk terhadap alam, lingkungan dan manusia. Arsitektur hijau adalah
sebauah konsep dan terapan dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan yang lahir di akhir
tahun 80-an. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah agar menjadi bahan diskusi khususnya di
kalangan akademisi maupun praktisi arsitek dalam mendesain rumah tinggal atau bangunan lainnya
yang tanggap akan kondisi lingkungan dan berdasarkan akar budaya masyarakat Indonesia pada
umumnya dan Sulawesi Selatan pada khususnya seperti yang sudah dilakukan oleh nenek moyang
kita.

Kata Kunci: Arsitektur Hijau, Arsitektur Vernakular, Berkelanjutan

Latar Belakang

Manusia dari waktu ke waktu menghadapi kenyataan bahwa populasi manusia akan terus bertambah
dan sebaliknya sumber daya alam semakin menyusut. Dikhawatirkan suatu saat manusia akan
sampai pada titik dimana sumber daya alam tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
mendorong manusia untuk lebih konsumtif terhadap penggunaan energi. Sementara sisi lain bumi
memiliki keterbatasan dalam menyuplai sumber daya alamnya serta terbatas dalam kemampuan
menampung limbah, sampah dan polutan lainnya. Kondisi ini menimbulkan permasalahan alam,
lingkungan serta mengancam kehidupan manusia saat ini maupun generasi mendatang. Oleh sebab
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Prosiding Seminar Archimariture IPLBI | B 025
ISBN 978-602-51605-3-0 E-ISBN 978-602-51605-4-7
Arsitektur Vernakular di Sulawesi Selatan dan Perannya terhadap Arsitektur Hijau
itu mulai dari sekarang perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk penghematan sumber daya alam
dan kelestarian lingkungan hidup. Kesadaran ini dalam dunia arsitektur memunculkan pergerakan
Arsitektur Berkelanjutan atau Arsitekrtur Hijau yaitu sebuah konsep dan terapan dalam bidang
arsitektur khususnya lingkungan binaan yang mendukung keberlanjutan sumber daya alam agar
dapat bertahan lebih lama dan melestarikan lingkungan hidup yang sehat bagi manusia.
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam ragam etnis dan budaya, terbentuk dari beberapa pulau
besar dan kecil yang mengahasilkan berbagai ragam karya budaya masyarakat. Pulau sumatera,
jawa, sulawesi dan lain sebagainya telah menghasilkan berbagai ragam budaya salah satunya adalah
di bidang karya arsitektur, yaitu arsitektur vernakular. Arsitektur vernakular lahir dalam ekosistem
budaya yang matang dan stabil dalam jangka panjang.

Menurut Guy, et al (2001:141), salah satu logika pendekatan dalam arsitektur berkelanjutan adalah
Eko-Budaya (Eco-Cultural). Dalam pendekatan ini sumber pembelajaran tentang keberlanjutan
adalah bangunan-bangunan rumah vernakular, yang terbukti telah teruji oleh waktu dan perubahan
jaman. Dengan demikian pengalaman masa lalu menjadi panduan untuk masa depan dalam
berarsitektur yeng berkelanjutan. Secara umum arsitektur vernakular merupakan arsitektur yang
sesungguhnya sudah mengaplikasikan sebagaian besar dasar-dasar arsitektur hijau. Arsitektur yang
meminimalkan pengurasan sumber daya alam dan meminimalkan dampak buruk terhadap alam,
lingkungan dan manusia.

Sebagai contoh pembelajaran dari arsitektur vernakular adalah penghematan energi. Salah satu
pengguna sumber daya alam fosil adalah konversi bahan bakar minyak menjadi energi listrik.
Sedangkan konsumen tertinggi dari energi listrik hasil konversi tersebut adalah industri, transportasi
dan arsitektur. Bidang arsitektur setiap tahunnya rata-rata mengkonsumsi 30% dari total energi
listrik dunia (ESDM, 2012:1 dalam Harysakti, Ave, dkk, 2014). Sebagian besar energi listrik yang
digunakan oleh bangunan hasil karya arsitektur salah satunya adalah untuk menyalakan alat
pendingin ruangan (AC). Nah, jika disikapi dalam konteks arsitektur hijau maka harus dicarikan
dalam mengoptimalkan penghwaan alami (angin) untuk pengkondisian termal dalam ruanagan
sehingga diperoleh kenyamanan secara alami. Pada bangunan-bangunan vernakular banyak
ditemukan bukaan-bukaan dan ventialsi yang bertujuan untuk memperoleh aliran udara alami untuk
mencapai kenyamanan dalam ruang tanpa penggunanaan pengahawaan buatan.

Tulisan ini sebagai bahan diskusi tentang bagaimana arsitektur venakular khususnya arsitektur
vernakular yang ada di Sulawesi Selatan mempunyai andil terhadap terwujudnya konsep Arsitektur
Hijau di Indonesia. Tulisan ini mencoba menggambarkan bagaimana karakterisitik bangunan-
bangunan vernakular yang telah dimilikinya selama ratusan tahun lalu memberikan kontribusi
kepada penggunaan hemat energi, dan pelestarian lingkungan alam.

Arsitektur Vernakular di Sulawesi Selatan

Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang
lahir dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan
pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas
setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya
transformasi (Mete, 1990). Istilah arsitektur vernakular pertama kali diperkenalkan oleh Bernard
Rudofsky pada tahun 1964 dalam sebuah pameran yang bertema Architecture without Architect
yang digelar di Museum of Modern Art (MoMa). Istilah ini digunakan oleh Rudofsky untuk
mengklasifikasikan arsitektur lokal yang umumnya berupa hunian yang ditemukannya di berbagai
tempat di dunia. Sejak itu istilah arsitektur vernakular dikenal dengan arti arsitektur tanpa arsitek

B 026 | Prosiding Seminar Archimariture IPLBI


Andi Edy Satar
(Mentayani, dkk, 2012). Menurut Wikipedia, The Free Encyclopedia (2016), Vernakular berasal dari
kata vernacullus yang berarti lokal, pribumi. Arsitektur Vernakular sendiri adalah arsitektur yang
terbentuk dari proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai dengan perilaku, kebiasaan,
dan kebudayaan di tempat asalnya. Menurut Victor Papanek (1959). Arsitektur Vernakular
merupakan pengembangan dari Arsitektur Rakyat memiliki nilai ekologis, arsitektonis dan “Alalmi”
karena mengacu pada kondisi, potensi iklim-Budaya dan masyarakat lingkungannya dan masing-
masing membawa . Arsitektur vernakular yang ada di Sulawesi Selatan misalnya mempunyai ciri dan
karakter yang berbeda dengan arsitektur vernakular yang ada di wilayah lain Indonesia. Beberapa
arsitektur vernakular yang ada di Sulawesi Selatan diantaranya; arsitektur rumah Tongkonan di
Toraja, arsitektur rumah adat Bugis-Makassar dan lain sebagainya.

Gambar 1. Bangunan venakular Toraja dan Bugis-Makassar


Sumber: https://id.pinterest.com, Sasmaya, Dea dan Prawirohartono, SA

Konsepsi Arsitektur Hijau (Green Architecture)

Pada tahun 1987 PBB mendirikan World Commision on Environment Development (WCED) atau yang
biasa disebut komisi Bruntdland dan menghasilkan deklarasi yang populer dengan Brundtland
Report, dimana di dalamnya diformulasikan defenisi Pembangunan Berkelanjutan: “development that
meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their
own needs” .

Sejak saai itu istilah “sustainability” menjadi begitu popular dan menjadi sebuah harapan dalam
mengahadapi kondisi bumi dan lingkungan yang sudah menuju kehancuran kalau tidak ada usaha
untuk memperbaikinya. Para tokoh-tokoh dunia, politisi, ilmuwan tergerak untuk menemukan
pemecahan masalah tersebut. Arsitek pun secara moral tidak ingin teringgal. Muncul gerakan-
gerakan arsitektur baru yang mengarah pada pelestarian bumi, pelestarian sumber daya alam,
pelestarian alam dan lingkungan binaan.

Berbagai nama gerakan arsitektur muncul, yaitu Arsitektur Hijau (Green Architecture), Arsitektur
Berkelanjutan (Sustainable Architecture), Arsitektur Hemat Energi, dan sebagainya, yang sangat
sarat keilmuan (scientific) dan memiliki tujuan yang sama, yakni menyelamatkan bumi. Gerakan ini
merupakan antisipasi arsitek untuk menjawab semua permasalahan lingkungan, baik alamiah
maupun buatan yang sedang dalam proses degradasi menuju kehancuran. Diakui atau tidak,
gerakan ini muncul dan menyadarkan kita akan adanya pergeseran titik tolak atau paradigma dalam
ber-arsitektur.

Prosiding Seminar Archimariture IPLBI | B 027


Arsitektur Vernakular di Sulawesi Selatan dan Perannya terhadap Arsitektur Hijau

ARSITEKTUR ARSITEKTUR BERKELANJUTAN


HIJAU (Sustainable Architecture)

SUSTAINABLE
DEVELOPMENT
PBB, WCED - BRUNTLAND
REPORT (1987)

GEDUNG ARSITEKTUR Hemat Energi


HIJAU

Gambar 2. Grafis Perkembangan Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Ada beberapa konsepsi mengenai arsitektur hijau yang dikemukakan beberapa ahli, antara lain,
Jimmy Priatman, (2002), Jurnal: Energy Efficient Architecture, Paradigma dan Manifestasi Arsitektur
Hijau; mendefinsikan Arsitektur Hijau adalah; Arsitektur yang berwawasan lingkungan dan
berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan penekanan pada
efisiensi energi (energy efficient), pola berkelanjutan (sustainable) dan pendekatan holistik (holistik
approach).

Michael Bauer (2007), Green Building: Guiedebook for Sustainable Architecture; “Green buildings are
buildings of any usage category that subcribe to the principle of a conscientious handling of natural
resources”.

Tri Harso Karyono (2014), Green Architecture; Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia;
Arsitektur Hijau adalah; Arsitektur yang meminimalkan penggunaan sumber daya alam dan
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap lingkungan menjamin
generasi mendatang dapat memanfaatkan bagi kehidupan kelak.

Prinsip-prinsip Bangunan Hijau (Green Architecture)

Agung Cahyo Nugroho dalam jurnalnya: Sertifikasi Arsitektur/Bangunan Hijau: Menuju Bangunan
Yang Ramah Lingkungan (2012), mengutip pendapat Brenda dan Robert Vale dalam bukunya “Green
Architecture: Design for A Sustainable Future”
Ada 6 prinsip dasar dalam perencanaan Arsitektur Hijau, yaitu :
1. Conserving Energy, Pengoperasian bangunan harus meminimalkan penggunaan bahan bakar
atau energi kistrik dengan memaksimalkan energi alam sekkitar lokasi.
2. Working With Climate, Mendesain bangunan harus berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi
tapak bangunan itu berada.
3. Minimizing New Resources, Mendisain dengan mengoptimalkan kebutuhan sumberdaya alam
yang baru, penggunaan material bangunan yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan sumber
daya

B 028 | Prosiding Seminar Archimariture IPLBI


Andi Edy Satar
4. Respect for Site, Tidak berdampak negatif bagi kesehatan dan kenyamanan penghuni
bangunan tersebut.Bangunan yang akan dibangun, nantinya jangan sampai merusak kondisi
tapak aslinya, sehingga jika nanti bangunan itu sudah tidak terpakai, tapak aslinya masih ada
dan tidak berubah.( tidak merusak lingkungan yang ada )
5. Respect for User, Merespon keadaan tapak dari bangunan : Dalam merancang bangunan
harus memperhatikan semua pengguna bangunan dan memenuhi semua kebutuhannya
6. Hoolistik, Menetapkan seluruh prinsip – prinsip green architecture secara keseluruhan
Ketentuan diatas tidak baku, artinya dapat kita pergunakan sesuai kebutuhan bangunan kita.

Standar Pengukuran Arsitektur Hijau

Tingkat kehijaun suatu bangunan atau kawasan harus dapat dimengerti dan diukur oleh suatu acuan
(standar) tertentu. Diperlukan suatu alat ukur dan tolak ukur untuk mengukur level kehijauan suatu
bangunan atau kawasan. Beberapa negara maju telah merumuskan dan menetapkan acuan, alat
ukur dan standarisasi untuk mengukur tingkat kehijauan suatu rancangan bangunan dan kawasan.
Beberapa diantaranya, antara lain : (Nugroho, Agung Cahyo. 2012)

1. BREEAM (Building Research Estabilishment’s Enviromental Assessment Method).


Standarisasi dan penilaian tingkat hijau suatu bangunan di Inggris yang dibuat pada tahun 1990.
BREEAM merupakan acuan penilaian tingkat hijau tertua di dunia, paling lengkap, paling detail dan
paling banyak digunakan di dunia saat ini. Parameter yang dinilai BREEAM meliputi 10 aspek, yaitu
manajemen, kesehatan dan kualitas hidup, energi, transportasi, air, material, limbah, tata guna
lahan dan ekologi, polusi dan inovasi. Standar ini memberikan lima kategori hasil peniliaian Pass,
Good, Very Good, Exelent, dan Outstanding. Meskipun diklaim dapat digunakan secara universal di
seluruh dunia, namun standar ini tidak praktis digunakan di sejumlah negara berkembang seperti
Indonesia karena keterbatasan data dan standar bangunan pendukung lainnya yang dimiliki
negara berkembang masih terbatas.

2. LEED (Leadership in Energy and Enviromental Design)


Standar peniliaian Hijau ini dicetuskan oleh United State Green Building Council (USGBC) tahun
1998. Standar ini mengembangkan konsep BREEAM untuk aplikasi yang lebih praktis. Parameter
yang digunakan LEED lebih simpel dan praktis dibanding BREEAM, namun lebih variatif dibanding
sejumlah standar lain di luar BREEAM. Diantara tolak ukur yang digunakan dalam LEED untuk
merating tingkat kehijauan suatu bangunan atau lingkungan binaan, antara lain: Keberlanjutan
Tapak (Sustainable site), Penghematan air (Water Efficiency), Energi dan Atmosfer (Energy and
Atmosphere), Material dan Sumber Daya (Material and Resource), Kualitas Lingkungan Ruang
Dalam (Indoor Environmental Quality), Inovasi dan Proses Design (Innovation and Design
Procces). Standar LEED memberikan empat tingkatan penilaian, yaitu Certified, Silver, Gold dan
Platinum. Standar ini secara terus-menerus dikembangkan, sehingga akan selalu muncul
perubahan-perubahan dari waktu ke waktu.

3. NABERS (The National Australian Built Environment Rating System)


Merupakan penilaian kinerja bangunan eksisting terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari
pengoperasian bangunan tersebut terhadap lingkungan. Pemilik, pengelola atau pengguna
bangunan dapat mengelola bangunan sedemikian rupa untuk mengurangi atau meminimalkan
dampak negatif pengoperasian bangunan terhadap lingkungan. Saat ini bangunan yang masuk
dalam lingkup pengukuran NABERS adalah bangunan perkantoran (offices) dan bangunan rumah
tinggal (homes). Sementara yang masih dalam tahap pengembangan adalah standar untuk
bangunan hotel (hotels), sekolah (schools), dan bangunan perbelanjaan (retail). Standar NABERS

Prosiding Seminar Archimariture IPLBI | B 029


Arsitektur Vernakular di Sulawesi Selatan dan Perannya terhadap Arsitektur Hijau
mengukur tingkat hijau bangunan eksisting atas dasar empat parameter, yaitu: Penggunaan
Energi dan Emisi Rumah Kaca (Energy use and Greenhouse emissions), Penggunaan Air (Water
Use), Penanganan Limbah (Waste), Kualitas Lingkungan Ruang Dalam (Indoor Environment).

4. GREENSHIP (Standar Bangunan Hijau Indonesia)


Greenship merupakan standar bangunan hijau yang dikembangkan oleh Lembaga Konsul
bangunan Hijau Indonesia atau Green Building Council Indonesia (GBCI) (Karyono, 2014). Ada
tujuh aspek yang dinilai dalam standar Greenship, yakni Appropriate Site Development (Ketepatan
Pengembangan Tapak), Energy Efficiency and Conservation (Efisiensi Energi dan Penghematan
Energi), Watrer Conservation (Penghematan Air), Material Resource and Cycle (Sumber Material
dan Daur Ulang), Indoor Health and Comfort (Kesehatan Ruang Dlam dan Kenyamanan), Building
Environment and Management (Kondisi Lingkungan Bangunan dan Manajemen Bangunan).

Selain keempat di atas masih ada, misalnya Standar Bangunan Hijau Australia (Green Star, 2002),
Standar Bangunan Hijau Singapura (Green Mark, 2005).
Tabel. 1. Indikator Penilaian Tingkat Kehijauan Bangunan di beberapa negara

NEGARA
No INDIKATOR PENILAIAN Inggris Amerika Australia Indonesia
BREEAM LEED NABERS GREENSHIP

1 Keberlanjutan Tapak • • •
2 Penghematan Air • • • •
3 Penghematan Energi dan Atmosfer (Emisi Rumah Kaca) • • • •
4 Material, Sumber Daya & Daur Ulang • • •
5 Kesehatan & Kenyamanan Ruang Dalam • • • •
6 Penanganan Limbah • • • •
7 Transportasi •
8 Kondisi Lingkungan & Manajemen Bangunan • • •

Peran Arsitektur Vernakular pada Arsitektur Hijau

Membandingkan sejumlah arsitektur vernakular yang ada di Indonesia, khususnya di Sulawesi


Selatan dengan kinerja bangunan dan pola laku komonitasnya yang kurang lebih memeilik kesamaan,
tidak dapat diingkari bahwa menggunakan pengukuran arsitektur hijau, secara umum arsitektur
vernakular di sulawesi selatan tidak akan meleset dari posisi tersertifikasi atau memenuhi kriteria
minimal arsitektur hijau (Anggraeni, Dyah. 2009).

Pemilihan dan Keberlanjutan Tapak

Dalam hal pemilihan tapak, secara umum aristektur vernakular cendrung memilih tapak yang tepat,
permukiman ini dapat bertahan hingga ratusan tahun tanpa mendapat gangguan bencana alam
yang berarti seperti tanah longsor, banjir, gempa, letusan gunung. Demikian pula dalam hal
perusakan tapak atau kawasan, arsitektur vernakular mengoptimalkan tapak, tidak banyak
mengubah lingkungan fisik seperti cut and fiil.

B 030 | Prosiding Seminar Archimariture IPLBI


Andi Edy Satar

Gambar 3. Susunan bangunan vernakular Tana Toraja. Bangunan disusun sedemikian rupa di tapak datar tanpa
banyak melakukakn perubahan atau modifikasi tapak.
Sumber: Amazing-Indonesia.com

Gambar 4. Arsitektur vernakular di perkampungan Bitombang, Kab. Selayar. Bangunan berdiri dilereng bukit Tapak
tidak banyak mengalami perubahan, justru bangunan yang menyesuaiakan dengan kondisi alam dengan
menggunakan tiang kayu yang tingginya bisa mencapai 10-20 meter
Sumber: infopublik.id

Penghematan Energi dan Atmosfer

Penggunaan material pada bangunan vernakular berasal dari alam, baik itu untuk peruntukan atap
maupun untuk dinding. Karena berasal dari alam yang tentunya material ini sangat responsive
terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Rumah tradisional toraja misalnya material atapnya berasal
bambu-bambu pilihan yang tumbuh disekitar permukiman mereka. Bambu-bambu ini disusun
sedemikian rupa dan diikat oleh rotan dan ijuk, yang tentu berasal dari alam juga. Begitu juga
penggunaan material dinding yang menggunakan material papan kayu pada rumah vernakular
Bugis-Makassar. Penggunaan material yang berasal dari alam tersebut tentu sangat responsive
terhadap kondisi iklim permukiman tersebut, seperti radiasi matahari yang tentu akan banyak
tereduksi oleh sifat material alam tersebut. Dampaknya adalah penghuni akan merasa nyaman
tinggal di dalam rumah walaupun kondisi diluar sangat panas. Sementara dampak terhadap
lingkungan juga sangat minim karena material-material alam yang digunakan relatif rendah dalam
menghasilkan emisi karbon sehingga sangat bersahabat dengan atmosfir.

Gambar 5. Atap bangunan vernakular Tana Toraja yang menggunakan material bambu yang sangat
bersahabat dengan kondisi iklim setempat dan relatif rendah dalam menghasilkan emisi karbon.
Sumber: Amazing-Indonesia.com

Prosiding Seminar Archimariture IPLBI | B 031


Arsitektur Vernakular di Sulawesi Selatan dan Perannya terhadap Arsitektur Hijau
Kesehatan dan Kenyamanan Ruang Dalam

Sistem selubung bangunan yang diterapkan pada bangunan vernakular di Sulawesi Selatan juga
telah sesuai dengan konsep arsitektur hijau, yaitu dimana desain selubung dituntut untuk dapat
menyediakan ventilasi alami yang baik, pencahayaan alami yang optimal serta menggunakan
material yang efisien terhadap energi dan ramah lingkungan (Wooley dalam Pramitasari dan
Wasiska Iyati, 2011). Ini dapat dilihat pada rumah Saoraja Mallangga di Sengkang, kabupaten Wajo,
dimana terdapat banyak bukaan jendela untuk memasukkan udara alami dan sinar matahari serta
selubung bangunan menggunakan material papan kayu yang kesemuanya berasal dari alam.

Gambar 6. Saoraja Mallangga di kota Sengkang Kab. Wajo, Sulawesi Selatan.

Transportasi

Dalam hal keperluan berpindah tempat, bergerak atau transportasi di dalam kawasan permukiman,
masyarakat tradisonal cendrung tidak menggunakan kendaraan bermotor, namun berjalan kaki atau
berkuda. Salah satu contoh adalah kehidupan masyarakat Adat Ammatoa yang berada di Desa Tana
Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Konsep hidup mereka yang
selaras dengan alam dan hidup dengan cukup, memanfaatkan apa yang telah alam sediakan kepada
mereka dengan sewajarnya dan tetap menjaga kelestariannya. Menggunakan sarana transportasi
nonkendaraan bermotor memberi keuntungan terhadap rendahnya konsumsi energi dan emisi CO2,
serta mengurangi pencemaran udara.

Gambar 7. Kuda menjadi alat transportasi orang atau barang di Desa Adat Ammatoa dan anak-anak
yang berajalan kaki sepulang sekolah.
Sumber:https://travel.kompas.com/read/2013/06/28/1857219/Desa.Ammatoa.Tanpa.Listrik.Mobil.dan
.Motor

Penghematan Air dan Penanganan Limbah

Dalam hal konsumsi air, arsitektur vernakular hemat dalam penggunaan air. Pada umumnya aktivitas
mandi, cuci dan kakus diselenggarakan dengan menggunakan air secukupnya. Sumber air yang
berasal dari ketersedian alam yaitu mata air atau sumur yang disalurkan melalui saluran air yang
menggunakan bambu ke rumah warga. Untuk menjaga ketersedian air di Desa Adat Ammatoa di
Kajang misalnya, masyarakatnya sangat bijaksana dalam mengelolah hutan. Ini tentu untuk
menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan termasuk di dalamnya menjaga konservasi air tanah.
Di sisi lain kualitas penanganan limbah cair maupun padat pada rumah arsitektur vernakular maupun

B 032 | Prosiding Seminar Archimariture IPLBI


Andi Edy Satar
kawasan permukiman tradisional tampaknya tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Sistem sanitasi
masyarakat Adat Ammatoa Kajang yang langsung membuang ke dalam lubang tanah. Bila ini
dilakukan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentu akan mengakibatkan
pencemaran lingkungan. Sementara dalam hal pengolahan sampah, masyarakat tradisional tidak
terlalu dipusingkan karena banyak menggunakan bahan organik yang dapat di daur ulang.

Kesimpulan

Secara umum arsitektur vernakular di Sulawesi Selatan sejak dari zaman dahulu telah menerapkan
prinsi-prinsip arsitektur hijau, yang mana arsitektur hijau ini merupakan salah satu konsep
berarsitektur yang lahir di era tahun 80-an. Hal ini dapat kita lihat pada arsitektur vernakular rumah
Toraja, rumah Bugis-Makassar, maupun rumah tradisional Kajang di kawasan Desa Adat Ammatoa.
Arsitektur vernakular di Sulawesi Selatan menonjol dengan nilai yang tinggi pada aspek-aspek
konsumsi energi yang rendah, penggunaan energi terbarukan, penggunaan material terbarukan.
Transportasi kawasan yang tidak menggunakan kendaraan bermotor dan pengolahan tapak yang
tidak merusak lingkungan. Paling tidak, jika semua arsitektur rumah tinggal saat ini dirancang
menggunakan prinsip arsitektur vernakular dan dihuni secara bijaksana minimal seperti yang
dilakukan masyarakat tradisional, maka diperkirakan perusakan alam, perusakan lingkungan, dan
pemanasan global tidak akan separah saat ini.

Daftar Pustaka

Anggareni, Dyah. (2009). Pengukuran Tingkat Keberlanjutan Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Desa
Tenganan Pegringsingan, Bali. Tesis Magister Teknik Arsitektur, Universitas Trisakti.
Antariksa. (2011). Fenomena Arsitektur Hijau, Arsitektur Ramah Lingkungan dan Arsitektur Berkelanjutan.
Antaryama, I.G.N. (2007). “Arsitektur Cerdas: Sebuah Perpaduan antara Teknologi, Arsitektur dan Alam
Indonesia”. Architectural Magazine, elevent issus, 2007, hal 83-84.
Asquith, Lindsay. (2006). “Vernacular Architecture in the 21st Century. Theory, Education and Practice”
Anwar. J. (2005). Arsitektur dan Budaya Masyarakat Bugis Makassar. Ujung Pandang: Depdikbud
B. Michael et al. Green Building: Guidebook for Sustainable Architecture.
Budiharjo, Eko. (1983). “Menuju Arsitektur Indonesia”. Bandung: Alumni.
Dawson, Bury & Grillow, John (1994). “Traditional Architecture of Indonesia”. London: Tames & Hudson
Guy, Simon dan Farmer, Francis. (2001), Reinterpreting Sustainable Architecture: The Place of Technology.
Journal of Architectural Educatiion, vol. 54, no. 3, Feb. 2001, pp.140-148
Harysakti, Ave, dkk. (2014), Prinsip Berkelanjutan Pada Arsitektur Vernakular: Studi Kasus Huma Gantung Buntoi,
Kalimantan Tengah, Vol. 9, No. 1, Juli. 2014.
Karyono, Tri Harso. (2014). Green Architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers
Mete, Turan. (1990), Vernacular Architecture.
Mardanas, dkk. (1985). Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan
Nugroho, Agung Cahyo. (2011). “Menuju Bangunan Yang Ramah Lingkungan”. Jurnal: Sertifikasi Arsitektur
Bangunan Hijau. Volume 2:1. Jurnal Aristektur Universitas Bandar Lampung.
Priatman, Jimmy. (2002). “Paradigma dan Manifestasi Arsitektur Hijau”. Jurnal: Energy-Efficient Architecture.
Volume 30. (hal. 167-175). Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik dan Perencanaan. Universitas Kristen Petra.
Rapoport, A. (1969). “House, Form and Culture”, London: Prentice Hall International Inc.
Rudofsky, Bernard. (1964). “Architecture without Architects”. New York: Museum of Modern Art.
Satriani. (2017). Studi Kawasan Adat Amma Toa Kajang sebagai Kawaasn Strategis Permukiman Adat Provinsi
Sulawesi Selatan. Skripsi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin
Makassar
Tanuwidjaja, Gunawan. “Hijau Rumahku Hijau Negeriku”. Jurnal: Desain Arsitektur Berkelanjutan dI Indonesia.
Triyadi S, Sugeng. (2008). “Kajian Sistem Bangunan pada Bangunan Tradisional Sunda dari Aspek Pemakaian
Energi”. Proceding Seminar Nasional , Mewujudkan Kota Tropis, UNDIP, Semarang.
Wahyudi, Agung. (2008). “Aplikasi Teknologi Green Arstektur pada Bangunan”. Proceding Seminar Nasional
Teknologi IV, UIT, Yogyakarta.
Yudono, A. (2008). Kearifan Arsitektur Tradisional Rumah Panggung dalam Hunian Modern. Makassar.

Prosiding Seminar Archimariture IPLBI | B 033

Anda mungkin juga menyukai