Cedera Medulla Spinalis
Cedera Medulla Spinalis
2.2.1 Definisi7,8
2.2.2 Epidemiologi2,7,8
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami
cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai
203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.
Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak
berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang
tinggi. Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk
mengetahui epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis
di Amerika Serikat.
Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000
orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang
digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar
1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula
spinalis.
Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak
di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%),
menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%). Penyebab cedera medula
spinalis di negara berkembang bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu
lintas mencakup sebesar 49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di
Turki dan 30% di Taiwan.
2.2.3 Etiologi
2.2.4 Patofisiologi7,8
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat
dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut,
kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi
terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk
intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda
spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten.
Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera,
menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan
vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang
kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana
kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal
bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori
dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula
spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera
sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-
oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat
yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat
pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel. Teori
lain yaitu teori kalsium, teori reseptor opiate, dan lain sebagainya
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis
dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya
cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek
yang signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang
diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan
sekitarnya.
Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang
diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat.
Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan
jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan
degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola
dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari
lesi medula spinalis.
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu berdasarkan
skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma
2.2.6 Diagnosis2,9
Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan
napas, pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil, barulah
dilakukan anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum
dan setelah trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar,
kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya kemampuan
peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan seksual. Perlu diingat bahwa
penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan pasien mengalami kelemahan
terlebih dahulu baru kemudian terjatuh.
- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti
disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya
seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal
yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level
neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu
diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat.
Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah, ureum
dan kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna mengetahui
kondisi metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat dilakukan dalam
kondisi tertentu.
2.2.7 Tatalaksana2
2.2.7.1 Tatalaksana Pre Hospital
Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu
diperhatikan tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya
melakukan stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya,
menenangkan pasien dan memberikan penanganan mobilitasi vertebra dengan
kolar leher atau brace vertebral.
2.2.7.2 Tatalaksana di Unit Gawat Darurat
Saat pasien sampai di UGD, wajib diperiksa ABC (airway, breathing,
circulation), bila pernafasan terganggu dapat dipasang intubasi endotrakeal atau
pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi adekuat. Perlu dinilai juga
apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal, maka kerah fiksasi leher
harus terpasang terlebih dahulu.
Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara
syok hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati tanda
hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin. Sedangkan pada syok neurogenik
didapati tanda hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat. Pada syok hipovolemik
harus dipertimbangkan untuk pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% / Ringer
Laktat), bila perlu diberikan koloid. Pada syok neurogenik, pemberian cairan
tidak akan menaikkan tensi, maka harus diberikan obat vasopressor seperti
dopamine, adrenalin 0,2 mg subkutis, dan boleh diulangi setiap 1 jam.
Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin dan
mencegah retensi urin. Pemasangan pipa naso-gastrik juga dapat dilakukan
dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan demi kepentingan
nutrisi secara enteral.
Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna
membuat diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Bila terdapat
kelainan tulang servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau lumbal
juga dapat dipasang pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis bagian torakal
dan lumbal. Pemeriksaan penunjang dapat segera dilakukan setelah keseluruhan
hal tersebut diatas telah dilakukan.
Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat diberikan
kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus selama 15 menit,
ditunggu selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus menerus
metilprednisolon selama 24 jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam. Bila diagnosis
baru ditegakkan dalam 3-8 jam, maka cukup diberikan metilprednisolon dalam
infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru diketahui setelah 8 jam, maka pemberian
metilprednisolon tidak dianjurkan.
2.2.9 Prognosis9
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,
maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik
masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali
sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh
dan mandiri.