Anda di halaman 1dari 15

BAB III

PEMBAHASAN

1.1. Definisi

Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput
peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen. Peritonitis merupakan penyulit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronis, biasanya disertai dengan gejala nyeri
abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan biasanya
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang
berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ
lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain yang
menjalar melalui darah.(3)

1.2. Etiologi

Peritonitis biasanya disebabkan oleh (6):

1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan peritonitis
adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu. Sebenarnya
peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak berlangsung terus
menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung mengalami
penyembuhan bila diobati.

2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual

3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)

4. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan
mengalami infeksi

5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan.


Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat
memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk
menyambungkan bagian usus.

6. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.

Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam perut.

7. Iritasi tanpa infeksi.

Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada sarung tangan dokter
bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.

Sedangkan berdasarkan jurnal farmacia maret 2007 penyebab dari peritonitis yang paling sering
ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena
infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati
kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi
translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang
terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan
sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan
asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan
opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.

Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen yang paling
sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7% Klebsiella
pneumoniae,spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara
bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan
golonganStaphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan
mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur beberapa
mikroorganisme.
Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan oleh
perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga
peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP,
peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna
bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi
infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan ratusan
bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung gabungan
bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif.

Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan mengalami
peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan spesifik untuk
membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan
pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang
tepat untuk pasien seperti ini.

Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi
SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal dari kelainan organ. Pasien
dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula.
Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada
pasien yang imunokompromais. Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal tanpa
komplikasi, insiden terjadi peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat infeksi abdomen
berat tergolong tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis didahului
dengan asite, dan lebih dari stengah pasien mengalami gejala klinis yang sangat mirip asites.
Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan mengalami
peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan bentuk yang sering
terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB.
Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau
kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu,
barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (mis.
Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda dan gejala klinis
serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan
peritonitis infektif lainnya (7).

Penyebab peritonitis

Area sumber Penyebab


Esofagus Keganasan

Trauma

Iatrogenik

Sindrom Boerhaave
Lambung Perforasi ulkus peptikum

Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma,


tumor stroma gastrointestinal)

Trauma

Iatrogenik
Duodenum Perforasi ulkus peptikum

Trauma (tumpul dan penetrasi)


Iatrogenik
Traktus bilier Kolesistitis

Perforasi batu dari kandung empedu

Keganasan

Kista duktus koledokus

Trauma

Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu
empedu)

Trauma

Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon

Hernia inkarserata

Obstruksi loop

Penyakit Crohn

Keganasan

Divertikulum Meckel

Trauma
Kolon desendens dan apendiks Iskemia kolon

Divertikulitis
Keganasan

Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn

Apendisitis

Volvulus kolon

Trauma

Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease

Keganasan

Trauma

1.3. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Terbentuk
kantong-kantong nanah(abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu
dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis
generalisata. Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltic berkurang sampai
timbul ileus paralitik ; usus kemudian menjadi meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, menyebabkan terjadiya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguuria, dan mungkin syok.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya motilitas usus dan menyebabkan terjadinya obstruksi usus.[2] Jika bahan
yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan
menimbulkan peritonitis generalisata sehingga aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan syok. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat menimbulkan
terjadinya obstruksi usus.

Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga abdomen
biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma, atau perforasi tumor. Terjadi
proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan.
Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah
putih, debris seluler, dan darah. Respon segera dari saluran usus adalah hipomotilitas, diikuti
oleh ileus paralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus

3.4. Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,
perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta
tingkat kesehatan penderita secara umum.11

Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen,
nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum
peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis
dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat,
takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.12
3.4.1 Gejala

- Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya dating
dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada
seluruh bagian abdomen.2Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas
dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika
intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan
penyebaran dari peritonitis.13

- Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah.
Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan
menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.13

- Facies Hipocrates

Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi yang
tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang
tampak pucat.11

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre
terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi
interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.13

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang tinggi,
akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka
kematian dapat lebih banyak berkurang.11
- Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama akibat perpindahan
cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan
terjadinya sepsis generalisata.11

Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative
diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena
ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang
dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada
manusia.11

3.4.2. Tanda

- Tanda Vital

Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul pada
peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih
cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan
normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan
pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian
khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.13

- Inspeksi

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen. Akan
tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama
jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat
tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi
kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.11

- Auskultasi

Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari
yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising
usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar
tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba
hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang
mengalami strangulasi.11

- Perkusi

Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak
hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas
dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini
merupakan tanda awal dari peritonitis.11

Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan menumpuk di
bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang
menghilang.13

- Palpasi

Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar
dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum
berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak
dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak
berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah
sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan
atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri
tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas
dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang
mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan
dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh
suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau
dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya
terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal.1

Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara
involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat
berat seperti papan.13

3.5. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit dengan
pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan
urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm 3, kecuali
pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak
dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.11

Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh


polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak
menunjukkan peningkatan yang nyata.13

Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat
dilakukan.12

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA dan
lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara
di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos
thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas
dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.11

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar
mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling
tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau
keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan
memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.11
3.6. Tata Laksana

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif
terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.12

3.6.1 Penanganan Preoperatif

• Resusitasi Cairan

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan


cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial. 3 Pengembalian volume
dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi
urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari
hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan
kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.12

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi
cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi
membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.13

Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat
dan urin telah diprodukasi.12

• Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli,
golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering
adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam
terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum.13

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah
sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita
baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah
putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil
dari uji sensitivitas.11

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya
kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya
kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus
diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.3

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan.
Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma.
Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif.
Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan
hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap
penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada
chloramphenicol pada stadium awal infeksi.11

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama


baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.13

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.12

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi
tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam
kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan
ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum
dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita
tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.12

Anda mungkin juga menyukai