Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN GANGGUAN PERITONITIS

DISUSUN OLEH:
NUR ALISKA AZALIYA
PO713201191181
(Tk. 2D)

DIII KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN


PERITONITIS

A. DEFINISI

Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh

infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum) lapisan membran serosa

rongga abdomen dan dinding perut sebelah dalam. Peradangan ini

merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat

 penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya, apendisitis,

salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen.Dalam

istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di antaranya nyeri

tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda

umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut,

  penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan

syok sepsis. Peritoneum bereaksi terhadap stimulus patologik dengan

respon inflamasi bervariasi, tergantung penyakit yang mendasarinya.

(Brunner & Suddarth, 2002)


B. ETIOLOGI

Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi atas penyebab


primer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis
pada organ viseral), atau penyebab

tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat).

Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis

infektif (umum) dan abses abdomen (lokal).

(http://www.peutuah.com/askep-peritonitis/ )
Infeksi peritonitis relatif sulit ditegakkan dan sangat bergantung

dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab utama peritonitis ialah

spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik.

SBP terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, namun

 biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik.

Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal

sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau

pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula

 penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30%

pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini.

Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko

terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan

opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.

Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi


monomikroba. Patogen yang

 paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40%

Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas,

Proteus, dan gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram

positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain


15%, dan golongan Staphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5%

kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus,

10% mengandung

infeksi campur beberapa mikroorganisme.


Penyebab lain yang menyebabkan peritonitis sekunder ialah perforasi
apendisitis,

 perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat

divertikulitis, volvulus, atau kanker, dan strangulasi kolon asendens.

Peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,


disebabkan oleh

 perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan

inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius

tergantung penyebab asalnya. Berbeda


dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram
positif yang

 berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam

lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif.

Kontaminasi kolon, terutama dari

  bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya

peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri

aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif.

Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami

SBP akan mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini

tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis.

Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan

diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata

laksana yang tepat untuk pasien seperti ini.

Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah:

1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering


menyebabkan

  peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau

usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi.

Jika pemaparan tidak  berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi


peritonitis, dan peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila

diobati.

2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan


kegiatan seksual

3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh

beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan

infeksi chlamidia)

4. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di

perut (asites) dan mengalami infeksi


5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada

kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama

pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut.

Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan

bagian usus.

6. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan


peritonitis.

Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang


ditempatkan di dalam

 perut.

7. Iritasi tanpa infeksi; Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis


akut) atau bubuk 

 bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan

peritonitis tanpa infeksi.

Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang

setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat,

sering bukan berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier

biasanya timbul abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis

tersier timbul lebih sering ada pasien dengan kondisi komorbid

sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais. Meskipun jarang


ditemui

  bentuk infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden terjadi peritonitis


tersier yang

membutuhkan IVU akibat infeksi abdomen berat tergolong tinggi di USA,


yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis didahului dengan asite,
dan lebih dari stengah pasien

mengalami gejala klinis yang sangat mirip asites. Kebanyakan pasien

memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan mengalami

peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan

bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB.
Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain,

yakni peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena

iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan

substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ- organ

dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga

abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan

pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis

infektif lainnya.

C. PATOFISIOLOGI

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah

keluarnya eksudat fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan

permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Bila bahan-bahan

infeksi tersebar luas pada pemukaan peritoneum atau bila infeksi

menyebar, dapat timbul peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang

sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan

meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus,

mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguri.


Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik

intraabdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen)

dan sekuestrasi fibrin dengan

adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin


merupakan mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan
cara ini akan terikat bakteri dalam jumlah

yang sangat banyak di antara matriks fibrin.

Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan

mekanisme tubuh yang melibatkan substansi pembentuk abses dan

kuman-kuman itu sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang steril.

Pada keadaan jumlah kuman yang sangat

 banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha


mengendalikan
penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen-kompartemen yang kita
kenal sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal
dari berbagai sumber. Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien
akibat penyakit viseral atau intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen.

Selain jumlah bakteri transien yang terlalu banyak di dalam rongga


abdomen,

 peritonitis terjadi juga memang karena virulensi kuman yang tinggi


hingga mengganggu

 proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan

makin buruk jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain

atau jamur, misalnya pada

 peritonitis akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan bakteri gram negatif,

terutama E. coli. Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis menunjukkan

jumlah Candida albicans yang relatif tinggi, sehingga dengan

menggunakan skor APACHE II (acute physiology and cronic health

evaluation) diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis tersebut.

Saat ini peritonitis juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan mediasi

respon imun tubuh hingga mengaktifkan systemic inflammatory response

syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF). (Brunner &

Suddarth. 2002.  Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.EGC :

Jakarta.)
D. MANIFESTASI KLINIK 

Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya.

Biasanya penderita muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di

perutnya. Bisa terbentuk satu atau

  beberapa abses. Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk

pita jaringan (perlengketan, adhesi) yang akhirnya bisa menyumbat usus.

Bila peritonitis tidak diobati

dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan cepat. Gerakan


peristaltik usus akan
menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan
merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi
dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit. Selanjutnya bisa terjadi
komplikasi utama, seperti kegagalan paru-paru, ginjal atau hati dan bekuan
darah yang menyebar.

E. DIAGNOSA MEDIK 

Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis dengan adanya

nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak

terlalu jelas lokasinya (peritoneum viseral) kemudian lama kelamaan

menjadi jelas lokasinya (peritoneum parietal). Pada keadaan peritonitis

akibat penyakit tertentu, misalnya perforasi lambung, duodenum,

 pankreatitis akut yang berat, atau iskemia usus, nyeri abdomennya


berlangsung luas di

 berbagai lokasi.

Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat lainnya,

yakni demam tinggi, atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia,

takikardi, dehidrasi, hingga

menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum


maximum di tempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan
terasa tegang, biasanya karena

mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari


palpasi yang menyakitkan, atau bisa juga memang tegang karena iritasi

peritoneum. Nyeri ini kadang samar dengan nyeri akibat apendisitis yang

biasanya di bagian kanan perut, atau kadang samar juga dengan nyeri

akibat abses yang terlokalisasi dengan baik. Pada penderita wanita

diperlukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan

nyeri akibat pelvic


inflammatory disease, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan pada

keadaan peritonitis yang akut

Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa saja jadi positif palsu pada

penderita dalam keadaan imunosupresi, (misalnya diabetes berat,

penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan

penurunan kesadaran (misalnya trauma kranial, ensefalopati toksik, syok

sepsis, atau penggunaan analgesik), penderita dengan paraplegia, dan

 penderita geriatri. Penderita tersebut sering merasakan nyeri yang hebat di

perut meskipun tidak terdapat infeksi di perutnya.

Foto rontgen diambil dalam posisi berbaring dan berdiri. Gas bebas yang
terdapat dalam

 perut dapat terlihat pada foto rontgen dan merupakan petunjuk adanya

perforasi. Kadang- kadang sebuah jarum digunakan untuk mengeluarkan

cairan dari rongga perut, yang akan diperiksa di laboratorium, untuk

mengidentifikasi kuman penyebab infeksi dan memeriksa kepekaannya

terhadap berbagai antibiotika. Pembedahan eksplorasi merupakan teknik 

diagnostik yang paling dapat


F. PENATALAKSANAAN

Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah fokus utama dari

penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan.

Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari

lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam

ruang vaskuler.
Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri. Antiemetik dapat

diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Intubasi usus dan

pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan

meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat

menyebabkan tekanan yang membatasi ekspansi paru dan menyebabkan

distress pernapasan. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker

akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang

intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan.

Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan


memperbaiki

  penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan kepada eksisi terutama bila

terdapat apendisitis, reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus),

memperbaiki pada ulkus

 peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis dan drainase


pada abses. Pada

  peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul


pada wanita,

 pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang


tepat, bila perlu

 beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.

Akhir-akhir ini drainase dengan panduan CT-scan dan USG merupakan


pilihan tindakan nonoperatif yang mulai gencar dilakukan karena tidak

terlalu invasif, namun terapi ini

lebih bersifat komplementer, bukan kompetitif dibanding laparoskopi,


karena seringkali letak luka atau abses tidak terlalu jelas sehingga hasilnya
tidak optimal. Sebaliknya,

  pembedahan memungkinkan lokalisasi peradangan yang jelas, kemudian

dilakukan eliminasi kuman dan inokulum peradangan tersebut, hingga

rongga perut benar-benar 

 bersih dari kuman. (http://id.wikipedia.org/wiki/Peritonitis


ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN
KEAMANAN DAN KENYAMANAN

FORMAT PENGKAJIAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

I. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. I
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pendidikan terakhir : SMA
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Mon Emmy Saelan III
Tgl. Masuk RS : 14 Januari 2021

Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut sebelah kanan dan
menjalar ke pinggang.

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal diawali
terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus, dan sirosis
hepatis dengan asites.

1. Riwayat Penyakit Dahulu

Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, operasi yang
tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.

1. Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini disebabkan oleh bakterial
primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan diturunkan ada.

1. Pemeriksaan Fisik
1. Sistem pernafasan (B1)

Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu pernafasan serta menggunakan
otot bantu pernafasan.

1. Sistem kardiovaskuler (B2)

Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia
dan vomit. Didapatkan irama jantung irregular akibat pasien syok  (neurogenik, hipovolemik
atau septik), akral : dingin, basah, dan pucat.

1. Sistem Persarafan (B3)

Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun hanya mengalami
penurunan kesadaran.

1. Sistem Perkemihan (B4)

Terjadi penurunan produksi urin.

1. Sistem Pencernaan (B5)

Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ
visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi
distensi abdomen, bising usus menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).

1. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)

Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan aktivitas. Kemampuan
pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat 
kekurangan volume cairan.

G.  Pengkajian Psikososial

Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial yang sering dilakukan.

H.  Personal Hygiene

Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.

1. Pengkajian Spiritual
2. Pemeriksaan penunjang

1)   Pemeriksaan Laboratorium


1. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen
menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya pergerakan ke bentuk
immatur pada differential cell count. Namun pada pasien dengan immunocompromised
dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis
dapat tidak ditemukan atau malah leucopenia
2. PT, PTT dan INR
3. Test fungsi hati jika diindikasikan
4. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
5. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti pyelonephritis,
renal stone disease)
6. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH dan glukosa
yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH

2)   Pemeriksaan Radiologi

1. Foto polos
2. USG
3. CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous leucocyte scan,
technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).
4. Scintigraphy
5. MRI

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam


memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3
posisi, yaitu:

1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal
proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi
AP.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh
abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm. Sebelum
terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada
foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:

1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran.
Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan
dnding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance).
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid
level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus
letak tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran
yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level
dan step ladder appearance. Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya
distensi usus partial, air fluid level, dan herring bone appearance.

Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:

1. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang-kadang susah
membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum.
2. Air fluid level.
3. Herring bone appearance.

Bedanya dengan ileus obstruktif: pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang
pendek-pendek (usus halus) dan panjang-panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih
lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.

Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen.
Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).

Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos
abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu
atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah:

1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit
(semilunair shadow).
3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi.
Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding
abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen,
preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau
intra peritoneal.

3)   X. Ray

Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :

1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.


2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

3.2  Diagnosa

1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.


2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
5. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi
abdomen dan menghindari nyeri.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

3.3  Intervensi

1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.

Tujuan: Nyeri klien berkurang

Kriteria hasil :

1. Laporan nyeri hilang/terkontrol


2. Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi.
3. Metode lain untuk meningkatklan kenyamanan

Intervensi Keperawatan
Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri:  
 
1. Selidiki laporan nyeri, catat 1. Perubahan pada
lokasi, lama, intensitas lokasi/intensitas tidak umum \is
(skala 0-10) dan tetapi dapat menunjukkan
karakteristiknya (dangkal, terjadinya komplikasi. Nyeri  
tajam, konstan) cenderung menjadi konstan,
lebih hebat, dan menyebar ke  
  atas, nyeri dapat lokal bila
terjadi abses.  
  2. Memudahkan drainase
cairan/luka karena gravutasi  
  dan membantu meminimalkan
nyeri karena gerakan.  
1. Pertahankan posisi semi 3. Meningkatkan relaksasi dan
Fowler sesuai indikasi mungkin meningkatkan  
kemampuan koping pasien
  denagn memfokuskan kembali  
perhatian.
  4. Menurunkan mual/muntah  
yang dapat meningkatkan
1. Berikan tindakan tekanan atau nyeri  
kenyamanan, contoh pijatan intrabdomen.
punggung, napas dalam,  
latihan relaksasi atau
visualisasi.  
   
1. Berikan perawatan mulut  
dengan sering. Hilangkan
rangsangan lingkunagan  
yang tidak menyenangkan
 
Kolaborasi:  
 
Berikan obat sesuai indikasi: Menurunkan laju metabolik dan iritasi
usus karena toksin sirkulasi/lokal, yang  
1. Analgesik, narkotik membantu menghilangkan nyeri dan
2. Antiemetik, contoh meningkatkan penyembuhan.  
hidroksin (Vistaril)
3. Antipiretik, contoh Catatan: Nyeri biasanya berat dan 1. Risiko tinggi
asetaminofen (Tylenol) memerlukan pengontrol nyeri narkotik, infeksi
analgesik dihindari dari proses berhubungan
diagnosis karena dapat menutupi dengan
gejala. trauma
jaringan.
Menurunkan mual/munta, yang dapt
meningkatkan nyeri abdomen

Menurunkan ketidaknyamanan
sehubungan dengan demam atau
menggigil.
Tujuan: Mengurangi infeksi yang terjadi, meningkatkan kenyamanan pasien.

Kriteria hasil:

1. Meningkatnya penyembuhan pada waktunya, bebas  drainase purulen atau eritema, tidak
demam.
2. Menyatakan pemahaman penyebab individu / faktor resiko.

Intervensi Keperawatan:
Tindakan  Intervensi Rasional
Mandiri:  

1. Catat faktor risiko individu 1. Mempengaruhi pilihan


contoh trauma abdomen, intervensi
  apendisitis akut, dialisa
peritoneal.  
  2. Kaji tanda vital dengan
sering, catat tidak  
  membaiknya atau
berlanjutnya hipotensi,  
  penurunan tekanan nadi,
takikardia, demam, 1. Tanda adanya syok septik,
  takipnea. endotoksin sirkulasi
3. Catat perubahan status menyebabkan vasodilatasi,
  mental (contoh bingung, kehilangan cairan dari sirkulasi,
pingsan). dan rendahnya status curah
jantung.
  2. Hipoksemia, hipotensi, dan
asidosis dapat menyebabkan
1. Catat warna kulit, suhu, penyimpangan status mental.
kelembaban. 3. Hangat, kemerahan, kulit
kering adalah tanda dini
  septikemia. Selanjutnya
manifestasi termasuk dingin,
  kulit pucat lembab dan sianosis
sebagai tanda syok.
  4. Oliguria terjadi sebagai akibat
penurunan perfusi ginjal, toksin
  dalam sirkulasi mempengaruhi
antibiotik.
1. Awasi haluaran urine. 5. Mencegah meluas dan
membatasi penyebaran
  organisme infektif/kontaminasi
silang.
 
 
 
 
1. Pertahankan teknik aseptik
ketat pada perawatan drein  
abdomen, luka
insisi/terbuka, dan sisi  
invasif. Bersihkan dengan
Betadine atau larutan lain 1. Memberikan informasi tentang
yang tepat kemudia bilas status infeksi.
dengan PZ. 2. Mencegah penyebaran,
2. Observasi drainase pada membatasi pertumbuhan
luka. bakteri pada traktus urinarius.

   

1. Pertahankan teknik steril 1. Menurunkan resiko terpajan


bila pasien dipasang kateter, pada/menambah infeksi
dan berikan perawatan sekunder pada pasien yang
kateter/ atau kebersihan mengalami tekanan imun.
perineal rutin.
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan dapat timbul kembali dan status
nutrisi terpenuhi.

Kriteria Hasil:

1. Status nutrisi terpenuhi


2. Nafsu makan klien timbul kembali
3. Berat badan normal
4. Jumlah Hb dan albumin normal

Intervensi Keperawatan :

Tindakan Intervensi Rasional


Mandiri:  

1. Awasi haluan selang NG, dan 1. Jumlah besar dari aspirasi


catat adanya muntah atau gaster dan  muntah atau diare
diare. diduga terjadi obstruksi usus,
memerlukan evaluasi lanjut.
  2. Kehilangan atau peningkatan
dini menunjukkan perubahan
  hidrasi tetapi kehilangan
lanjut diduga ada defisit
1. Timbang berat badan tiap nutrisi.
hari. 3. Meskipun bising usus sering
tak ada, inflamasi atau iritasi
  usus dapat                
menyertai hiperaktivitas usus,
  penurunan absorpsi air dan
diare.
  4. Adanya kalori (sumber
energi) akan mempercepat
1. Auskultasi bising usus, catat proses penyembuhan.
bunyi tak  ada atau hiperaktif. 5. Indikasi adekuatnya protein
untuk sistem imun.
  6. Menunjukan kembalinya
fungsi usus ke normal
 
 
 
 
1. Catat kebutuhan kalori yang
dibutuhkan.
2. Monitor Hb dan albumin

1. Kaji abdomen dengan sering


untuk kembali ke bunyi yang
lembut, penampilan bising
usus normal, dam kelancaran
flatus.

Kolaborasi:  

1. Kolaborasi pemasangan NGT 1. Agar nutrisi klien tetap


jika klien tidak dapat makan terpenuhi.
dan minum peroral.
2. Kolaborasi dengan ahli gizi  
dalam diet.
1. Tubuh yang sehat tidak
  mudah untuk terkena infeksi
(peradangan).
1. Berikan informasi tentang 2. Klien dapat berusaha untuk
zat-zat  makanan  yang sangat memenuhi kebutuhan makan
penting bagi keseimbangan dengan makanan yang
metabolisme tubuh bergizi.
3. Kekurangan volume cairan
berhubungan dengan
kehilangan volume cairan
aktif.

Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk memperbaiki keseimbangan cairan dan meminimalisir


proses peradangan untuk meningkatkan kenyamanan.

Kriteria hasil:

1. Haluaran urine adekuat dengan berat jenis normal,


2. Tanda vital stabil
3. Membran mukosa lembab
4. Turgor kulit baik
5. Pengisian kapiler meningkat
6. Berat badan dalam rentang normal.

Intervensi keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:  

1. Pantau tanda vital, catat 1. Membantu dalam evaluasi


adanya hipotensi (termasuk derajat defisit
perubahan postural), cairan/keefektifan
takikardia, takipnea, demam. penggantian terapi cairan dan
Ukur CVP bila ada. respons terhadap pengobatan.
2. Pertahankan intake dan 2. Menunjukkan status hidrasi
output yang adekuat lalu keseluruhan.
hubungkan dengan berat
badan harian.  
3. Rehidrasi/ resusitasi cairan
1. Untuk mencukupi kebutuhan
  cairan dalam tubuh
(homeostatis).
1. Ukur berat jenis urine 2. Menunjukkan status hidrasi
dan perubahan pada fungsi
  ginjal.
3. Hipovolemia, perpindahan
1. Observasi kulit/membran cairan, dan kekurangan nutrisi
mukosa untuk kekeringan, mempeburuk turgor kulit,
turgor, catat edema menambah edema jarinagan.
perifer/sacral. 4. Menurunkan rangsangan
2. Hilangkan tanda bahaya/bau pada  gaster dan respons
dari lingkungan. Batasi muntah.
pemasukan es batu.
3. Ubah posisi dengan sering  
berikan perawatan kulit
dengan sering, dan 1. Jaringan edema dan adanya
pertahankan tempat tidur gangguan sirkulasi cenderung
kering dan bebas lipatan. merusak kulit

Kolaborasi:  

1. Awasi pemerikasaan 1. Memberikan informasi


laboratorium, contoh Hb/Ht, tentang  hidrasi dan fungsi
elektrolit, protein, albumin, organ.
BUN, kreatinin.
2. Berikan plasma/darah, cairan,  
elektrolit.
 
 
1. Mengisi/mempertahankan
  volume sirkulasi dan
keseimbangan elektrolit.
  Koloid (plasma, darah)
membantu menggerakkan air
  ke dalam area intravaskular
dengan meningkatkan tekanan
1. Pertahankan puasa dengan osmotik.
aspirasi nasogastrik/intestinal 2. Menurunkan hiperaktivitas
usus dan kehilangan dari
diare.

1. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi


abdomen dan menghindari nyeri.

Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O2 dan saturasi O2 normal.

Kriteria Hasil:

1. Pernapasan tetap dalam batas normal


2. Pernapasan tidak sulit
3. Istirahat dan tidur dengan tenang
4. Tidak menggunakan otot bantu napas

Intervensi Keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional  
Mandiri:  
 
1. Pantau hasil analisa gas darah 1. Indikator hipoksemia;
dan indikator hipoksemia: hipotensi, takikardi,  
hipotensi, takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi
hiperventilasi, gelisah, SSP, dan sianosis penting  
depresi SSP, dan sianosis. untuk mengetahui adanya
syok akibat inflamasi  
  (peradangan).
2. Gangguan pada paru (suara  
1. Auskultasi paru untuk nafas tambahan) lebih mudah
mengkaji ventilasi dan dideteksi dengan auskultasi.  
mendeteksi komplikasi 3. Posisi membantu
pulmoner. memaksimalkan ekspansi  
2. Pertahankan pasien pada paru dan menurunkan upaya
posisi semifowler. pernafasan, ventilasi  
maksimal membuka area
  atelektasis dan meningkatkan
gerakan sekret kedalam jalan
  nafas besar untuk
dikeluarkan.
  4. Oksigen membantu untuk
bernafas secara optimal.
 

  1. Ansietas
berhubungan
1. Berikan O2 sesuai program dengan
perubahan
status
kesehatan.

Tujuan: Mengurangi ansietas klien

Kriteria hasil:

1. Mengakui dan mendiskusikan masalah


2. Penampilan wajah tampak rileks
3. Mampu menerima kondisinya

Intervensi:

Tindakan/Intervensi Rasional
1. Evaluasi tingkat pemahaman
klien/orang terdekat tentang
diagnosa.

1. Akui rasa takut/masalah klien


dan dorong mengekspresikan
perasaan.

1. Berikan kesempatan untuk


bertanya dan jawab dengan
jujur. Yakinkan bahwa klien
dan perawat mempunyai
pemahaman yang sama.
2. Terima penyangkalan klien
tetapi jangan dikuatkan.

1. Catat komentar perilaku yang


menunjukkan menerima
dan/atau mengurangi strategi
efektif menerima situasi
2. Libatkan klien/orang terdekat
dalam perencanaan
perawatan. Berikan waktu
untuk menyiapkan
pengobatan.
 

1. Berikan kenyamanan fisik


klien
2. Pasien dan orang terdekat
mendengar dan mengasimilasi
informasi baru yang meliputi
perubahan ada gambaran diri
dan pola hidup.
3. Dukungan memampukan
klien mulai
membuka/menerima
kenyataan infeksi peritonium
dan pengobatannya. Klien
mungkin perlu waktu untuk
mengidentifikasi perasaan
maupun mengekspresikannya.
4. Membuat kepercayaan dan
menurunkan kesalahan
persepsi/interpretasi terhadap
informasi.

Anda mungkin juga menyukai