Anda di halaman 1dari 12

Apa saja isi PMKP?

Apa itu komite mutu? Fungsi dan tugas komite mutu? Indikator mutu RS?

Bagaimana syarat suatu RS dinyatakan memiliki IPAL layak?

Permenkes Nomor 7 Tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit


Status
Mencabut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 1
Pengaturan kesehatan lingkungan rumah sakit bertujuan untuk:

a. mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat bagi rumah sakit baik dari aspek fisik, kimia, biologi, radioaktivitas
maupun sosial;
b. melindungi sumber daya manusia rumah sakit, pasien, pengunjung dan masyarakat di sekitar rumah sakit dari faktor
risiko lingkungan; dan
c. mewujudkan rumah sakit ramah lingkungan.

Pasal 2

1. Kualitas lingkungan yang sehat bagi rumah sakit ditentukan melalui pencapaian atau pemenuhan standar baku mutu
kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan.
2. Standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan pada media lingkungan yang meliputi:
a. air;
b. udara;
c. tanah;
d. pangan;
e. sarana dan bangunan; dan
f. vektor dan binatang pembawa penyakit.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan rumah sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

a. Penyelenggaraan Pengamanan Limbah Cair

Pengamanan limbah cair adalah upaya kegiatan penanganan limbah cair yang terdiri dari penyaluran dan pengolahan
dan pemeriksaan limbah cair untuk mengurangi risiko gangguan kesehatan dan lingkungan hidup yang ditimbulkan
limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan kegiatan rumah sakit memiliki beban cemaran yang dapat menyebabkan
pencemaran terhadap lingkungan hidup dan menyebabkan gangguan kesehatan manusia. Untuk itu, air limbah perlu
dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan, agar kualitasnya memenuhi baku mutu air limbah yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Limbah Cair rumah sakit juga berpotensi untuk
dilakukan daur ulang untuk tujuan penghematan penggunaan air di rumah sakit. Untuk itu, penyelenggaraan
pengelolaan limbah cair harus memenuhi ketentuan di bawah ini:

1. Rumah sakit memiliki Unit Pengolahan Limbah Cair (IPAL) dengan teknologi yang tepat dan desain kapasitas
olah limbah cair yang sesuai dengan volume limbah cair yang dihasilkan.
2. Unit Pengolahan Limbah Cair harus dilengkapi dengan fasilitas penunjang sesuai dengan ketentuan.
3. Memenuhi frekuensi dalam pengambilan sampel limbah cair, yakni 1 (satu) kali per bulan.
4. Memenuhi baku mutu efluen limbah cair sesuai peraturan perundang-undangan.
5. Memenuhi pentaatan pelaporan hasil uji laboratorium limbah cair kepada instansi pemerintah sesuai ketentuan
minimum setiap 1 (satu) kali per 3 (tiga) bulan.
6. Unit Pengolahan Limbah Cair:
a. Limbah cair dari seluruh sumber dari bangunan/kegiatan rumah sakit harus diolah dalam Unit
Pengolah Limbah Cair (IPAL) dan kualitas limbah cair efluennya harus memenuhi baku mutu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum dibuang ke lingkungan perairan. Air hujan
dan limbah cair yang termasuk kategori limbah B3 dilarang disalurkan ke IPAL.
b. IPAL ditempatkan pada lokasi yang tepat, yakni di area yang jauh atau tidak menganggu kegiatan
pelayanan rumah sakit dan diupayakan dekat dengan badan air penerima (perairan) untuk
memudahkan pembuangan.
c. Desain kapasitas olah IPAL harus sesuai dengan perhitungan debit maksimal limbah cair yang
dihasilkan ditambah faktor keamanan (safety factor) + 10 %.
d. Lumpur endapan IPAL yang dihasilkan apabila dilakukan pembuangan atau pengurasan, maka
penanganan lanjutnya harus diperlakukan sebagai limbah B3.
e. Untuk rumah sakit yang belum memiliki IPAL, dapat mengolah limbah cairnya secara off-site
bekerjasama dengan pihak pengolah limbah cair yang telah memiliki izin. Untuk itu, maka rumah
sakit harus menyediakan bak penampung sementara air limbah dengan kapasitas minimal 2 (dua) kali
volume limbah cair maksimal yang dihasilkan setiap harinya dan pengangkutan limbah cair
dilaksanakan setiap hari.
f. Untuk limbah cair dari sumber tertentu di rumah sakit yang memiliki karateristik khusus harus di
lengkapi dengan pengolahan awal (pre-treatment) sebelum disalurkan menuju IPAL. Limbah cair
tersebut meliputi:

 Limbah cair dapur gizi dan kantin yang memiliki kandungan minyak dan lemak tinggi harus
dilengkapi pre-treatment berupa bak penangkap lemak/minyak
 Limbah cair laundry yang memiliki kandungan bahan kimia dan deterjen tinggi harus
dilengkapi pre-treatmenberupa bak pengolah deterjen dan bahan kimia
 Limbah cair laboratorium yang memiliki kandungan bahan kimia tinggi harus dilengkapi pre-
treatmenya berupa bak pengolah bahan kimia
 Limbah cair rontgen yang memiliki perak tinggi harus dilengkapi penampungan sementara
dan tahapan penanganan selanjutnya diperlakukan sebagai limbah B3
 Limbah cair radioterapi yang memiliki materi bahan radioaktif tertentu harus dilengkapi pre-
treatment berupa bak penampung untuk meluruhkan waktu paruhnya sesuai dengan jenis bahan
radioaktifnya dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Jaringan pipa penyaluran limbah cair dari sumber menuju unit pengolahan air limbah melalui jaringan
pipa tertutup dan dipastikan tidak mengalami mengalami kebocoran.
2. Kelengkapan Fasilitas Penunjang Unit Pengolahan Limbah Cair
a. IPAL harus dilengkapi dengan fasilitas penunjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. Kelengkapan fasilitas penunjang tersebut adalah:

 Bak pengambilan contoh air limbah yang dilengkapi dengan tulisan “Tempat Pengambilan
Contoh Air Limbah Influen” dan/ atau “Tempat Pengambilan Contoh Air Limbah Efluen”.
 Alat ukur debit air limbah pada pipa inflen dan/atau pipa efluen
 Pagar pengaman area IPAL dengan lampu penerangan yang cukup dan papan larangan masuk
kecuali yang berkepentingan.
 Papan tulisan titik koordinat IPAL menggunakan Global Positioning Sistem (GPS).
 Fasilitas keselamatan IPAL. Uraian selengkapnya diuraikan pada Sub Bab Pengawasan
Keselamatan Fasilitas Kesehatan Lingkungan.
2. Penaatan frekuensi pengambilan contoh limbah cair sebagai berikut:
a. Setiap rumah sakit harus melakukan pemeriksaan contoh limbah cair di laboratorium, minimal limbah
cair efluennya dengan frekuensi setiap 1 (satu) kali per bulan.
b. Apabila diketahui hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kualitas limbah cair tidak memenuhi
baku mutu, segera lakukan analisis dan penyelesaian masalah, dilanjutkan dengan pengiriman ulang
limbah cair ke laboratorium pada bulan yang sama. Untuk itu, pemeriksaan limbah cair disarankan
dilakukan di awal bulan.
3. Penaatan kualitas limbah cair agar memenuhi baku mutu limbah cair sebagai berikut:
a. Dalam pemeriksaan kualitas air limbah ke laboratorium, maka seluruh parameter pemeriksaan air
limbah baik fisika, kimia dan mikrobiologi yang disyaratkan harus dilakukan uji laboratorium.
b. Pemeriksaan contoh limbah cair harus menggunakan laboratorium yang telah terakreditasi secara
nasional.
c. Pewadahan contoh air limbah menggunakan jirigen warna putih atau botol plastik bersih dengan
volume minimal 2 (dua) liter.
d. Rumah sakit wajib melakukan swapantau harian air limbah dengan parameter minimal DO, suhu dan
pH.
e. IPAL di rumah sakit harus dioperasikan 24 (dua puluh empat) jam per hari untuk menjamin kualitas
limbah cair hasil olahannya memenuhi baku mutu secara berkesinambungan.
f. Petugas kesehatan lingkungan atau teknisi terlatih harus melakukan pemeliharaan peralatan mekanikal
dan elektrikal IPAL dan pemeliharaan proses biologi IPAL agar tetap optimal.
g. Dilarang melakukan pengenceran dalam pengolahan limbah cair, baik menggunakan air bersih
dan/atau air pengencer sumber lainnya.
h. Melakukan pembersihan sampah-sampah yang masuk bak penyaring kasar di IPAL.
i. Melakukan monitoring dan pemeliharaan terhadap fungsi dan kinerja mesin dan alat penunjang proses
IPAL.
4. Penaatan pelaporan limbah cair adalah :
a. Rumah sakit menyampaikan laporan hasil uji laboratorium limbah cair efluent IPAL minimum setiap
1 (satu) kali per 3 (tiga) bulan. Laporan ditujukan kepada instansi pemerintah sesuai ketentuan yang
ditetapkan. Instansi pemerintah tersebut bisa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas
Lingkungan Hidup atau Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Dinas Kesehatan Provinsi atau
Kabupaten/Kota;
b. Isi laporan berisi :

 Penaatan terhadap frekuensi sampling limbah cair yakni 1 (satu) kali per bulan.
 Penaatan terhadap jumlah parameter yang diuji laboratorium, sesuai dengan baku mutu yang
dijadikan acuan.
 Penaatan kualitas limbah cair hasil pemeriksaan laboratorium terhadap baku mutu limbah
cair, dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan.
b. Setiap laporan yang disampaikan disertai dengan bukti tanda terima laporan.

7. Jelaskan pengertian keselamatan pasien dan tujuannya!


1. Keselamatan / Safety Bebas dari bahaya atau risiko (hazard)
2. Hazard / bahaya Adalah suatu "Keadaan, Perubahan atau Tindakan" yang dapat meningkatkan risiko pada
pasien.
3. Keselamatan Pasien / Patient Safety Pasien bebas dari harm /cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas
dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik / sosial / psikologis, cacat, kematian dll), terkait
dengan pelayanan kesehatan. Yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam
suatu Rumah Sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk di dalamnya asesmen risiko,
identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar
dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko.
(Penjelasan UU 44/2009 ttg RS pasal 43)
4. Keselamatan Pasien RS / Hospital Patient Safety Suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman. Sistem tersebut meliputi assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan.
5. Harm/ cedera Dampak yang terjadi akibat gangguan struktur atau penurunan fungsi tubuh dapat berupa fisik,
sosial dan psikologis. Yang termasuk harm adalah : "Penyakit, Cedera, Penderitaan, Cacat, dan Kematian".

Bagaimana sistem keselamatan pasien?


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1691/MENKES/PER/VIII/2011
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman
yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Pasal 2
Ruang lingkup ini meliputi Organisasi, Standar Keselamatan Pasien, Sasaran Keselamatan Pasien,
Penyelenggaraan Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Pelaporan Insiden, Analisis dan Solusi, serta Pembinaan dan
Pengawasan.
Pasal 3
(1) Menteri membentuk Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit untuk meningkatkan keselamatan
pasien dan mutu pelayanan rumah sakit.
Keanggotaan Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit berjumlah 11 (sebelas) orang yang terdiri dari
unsur Kementerian Kesehatan, asosiasi perumahsakitan, dan pakar perumahsakitan.
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan standar dan pedoman keselamatan pasien rumah sakit;
b. kerja sama dengan berbagai institusi dalam dan luar negeri;
c. pengkajian Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
d. pengembangan dan pengelolaan sistem pelaporan insiden untuk pembelajaran di rumah sakit; dan
e. monitoring dan evaluasi pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit.

Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala
rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan pasien. (2) TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada kepala rumah sakit. (3) Keanggotaan TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit.
(4) TKPRS melaksanakan tugas:
a. mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan kekhususan rumah sakit
tersebut;
b. menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit;
c. menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan (monitoring) dan penilaian
(evaluasi) tentang terapan (implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit;
d. bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk melakukan pelatihan internal
keselamatan pasien rumah sakit;
e. melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta mengembangkan solusi untuk pembelajaran;
f. memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam rangka pengambilan kebijakan
Keselamatan Pasien Rumah Sakit; dan
g. membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.

BAB III STANDAR KESELAMATAN PASIEN

Pasal 7
(1) Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien
(2) Standar Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. hak pasien; b. mendidik pasien dan keluarga; c. keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;
d. penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan
pasien;
e. peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien; f. mendidik staf tentang keselamatan pasien;
g. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

BAB IV SASARAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT


Pasal 8 (1) Setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien. (2) Sasaran
Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut:
a. Ketepatan identifikasi pasien;
b. Peningkatan komunikasi yang efektif;
c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan
f. Pengurangan risiko pasien jatuh.
BAB V PENYELENGGARAAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
Pasal 9
(1) Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, Rumah Sakit melaksanakan Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
(2) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien; b. memimpin dan mendukung staf;
c. mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko; d. mengembangkan sistem pelaporan;
e. melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien; f. belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan
pasien; g. mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.

STANDAR KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

Uraian tujuh standar tersebut diatas adalah sebagai berikut:

Standar I. Hak pasien Standar: Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang
rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Kriteria:
1.1. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
1.2. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
1.3. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien
dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk
kemungkinan terjadinya insiden.

Standar II. Mendidik pasien dan keluarga Standar: Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria: Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang
merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme
mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan
pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat :
1. Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

Standar III. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan Standar: Rumah Sakit menjamin keselamatan
pasien dalam kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria:
3.1. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis,
perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.
3.2. Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya
secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan
baik dan lancar.
3.3. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan
keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan
tindak lanjut lainnya.
3.4. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses
koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
Standar IV. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien Standar: Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses
yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden,
dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria:
4.1. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan
tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang
sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
4.2. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan : pelaporan
insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
4.3. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua insiden, dan secara proaktif
melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi.
4.4. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan
perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.

Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien:


1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam
organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit “.
2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan
program menekan atau mengurangi insiden.
3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan
dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.
4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja
rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien.
5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien.

Kriteria: 5.1. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
5.2. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden.
5.3. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan
berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.
5.4. Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena
musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan
analisis.
5.5. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan
informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan
“Kejadian Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan. 5.6. Tersedia mekanisme untuk
menangani berbagai jenis insiden, misalnya menangani “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan
proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian
Sentinel”.
5.7. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di
dalam rumah sakit dengan pendekatan antar disiplin.
5.8. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit
dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
5.9. Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi
efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan
implementasinya.
Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standar:
1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan
jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
2. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan
memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelayanan pasien
Kriteria:
6.1. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat
topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing.
6.2. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in-service
training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
6.3. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna
mendukung pendekatan interdisipliner dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien
Standar:
1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk
memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.
2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria:
7.1. Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh
data dan informasi tentang halhal terkait dengan keselamatan pasien.
7.2. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi
yang ada.

Manajemen risiko di RS?


PMK 66 TH 2016
Pasal 12
(1) Manajemen risiko K3RS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a bertujuan untuk
meminimalkan risiko keselamatan dan kesehatan di Rumah Sakit sehingga tidak menimbulkan efek buruk
terhadap keselamatan dan kesehatan SDM Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien, dan pengunjung.
(2) Manajemen risiko K3RS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara menyeluruh yang
meliputi:
a. persiapan/penentuan konteks kegiatan yang akan dikelola risikonya;
b. identifikasi bahaya potensial;
c. analisis risiko;
d. evaluasi risiko;
e. pengendalian risiko;
f. komunikasi dan konsultasi; dan
g. pemantauan dan telaah ulang.
Keterangan gambar langkah-langkah manajemen risiko:

a. Persiapan/Penentuan Konteks Persiapan dilakukan dengan penetapan konteks parameter (baik parameter
internal maupun eksternal) yang akan diambil dalam kegiatan manajemen risiko. Penetapan konteks proses
menajemen risiko K3RS meliputi:
1) Penentuan tanggung jawab dan pelaksana kegiatan manajemen risiko yang terdiri dari karyawan, kontraktor
dan pihak ketiga.
2) Penentuan ruang lingkup manajemen risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja.
3) Penentuan semua aktivitas (baik normal, abnormal maupun emergensi), proses, fungsi, proyek, produk,
pelayanan dan aset di tempat kerja.
4) Penentuan metode dan waktu pelaksanaan evaluasi manajemen risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja.

 Identifikasi Bahaya Potensial


Tahap ini dilakukan identifikasi potensi bahaya kesehatan yang terpajan pada pekerja, pasien, pengantar dan
pengunjung yang dapat meliputi:
1) Fisik, contohnya kebisingan, suhu, getaran, lantai licin.
2) Kimia, contohnya formaldehid, alkohol, ethiline okside, bahan pembersih lantai, desinfectan, clorine.
3) Biologi, contohnya bakteri, virus, mikroorganisme, tikus, kecoa, kucing dan sebagainya.
4) Ergonomi, contohnya posisi statis, manual handling, mengangkat beban.
5) Psikososial, contohnya beban kerja, hubungan atasan dan bawahan, hubungan antar pekerja yang tidak
harmonis.
6) Mekanikal, contohnya terjepit mesin, tergulung, terpotong, tersayat, tertusuk.
7) Elektrikal, contohnya tersengat listrik, listrik statis, hubungan arus pendek kebakaran akibat listrik. -36- 8)
Limbah, contohnya limbah padat medis dan non medis, limbah gas dan limbah cair.

c. Analisis Risiko Risiko adalah probabilitas/kemungkinan bahaya potensial menjadi nyata, yang ditentukan oleh
frekuensi dan durasi pajanan, aktivitas kerja, serta upaya yang telah dilakukan untuk pencegahan dan
pengendalian tingkat pajanan. Termasuk yang perlu diperhatikan juga adalah perilaku bekerja, higiene
perorangan, serta kebiasaan selama bekerja yang dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan. Analisis risiko
bertujuan untuk mengevaluasi besaran (magnitude) risiko kesehatan pada pekerja. Analisis awal ditujukan
untuk memberikan gambaran seluruh risiko yang ada. Kemudian disusun urutan risiko yang ada. Prioritas
diberikan kepada risiko-risiko yang cukup signifikan dapat menimbulkan kerugian.

d. Evaluasi Risiko Evaluasi Risiko adalah membandingkan tingkat risiko yang telah dihitung pada tahapan analisis
risiko dengan kriteria standar yang digunakan. Pada tahapan ini, tingkat risiko yang telah diukur pada tahapan
sebelumnya dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan. Selain itu, metode pengendalian yang telah
diterapkan dalam menghilangkan/meminimalkan risiko dinilai kembali, apakah telah bekerja secara efektif
seperti yang diharapkan. Dalam tahapan ini juga diperlukan untuk membuat keputusan apakah perlu untuk
menerapkan metode pengendalian tambahan untuk mencapai standard atau tingkat risiko yang dapat diterima.

e. Pengendalian Risiko Prinsip pengendalian risiko meliputi 5 hierarki, yaitu:


1) Menghilangkan bahaya (eliminasi)
2) Menggantikan sumber risiko dengan sarana/peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah/tidak ada
(substitusi)
3) Rekayasa engineering/pengendalian secara teknik
4) Pengendalian secara administrasi
5) Alat Pelindung Diri (APD).

Beberapa contoh pengendalian risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit:

1) Containment, yaitu mencegah pajanan dengan: a) Desain tempat kerja b) Peralatan safety (biosafety cabinet,
peralatan centrifugal) c) Cara kerja d) Dekontaminasi e) Penanganan limbah dan spill management

2) Biosafety Program Management, support dari pimpinan puncak yaitu Program support, biosafety spesialist,
institutional biosafety committee, biosafety manual, OH program, Information & Education

3) Compliance Assessment, meliputi audit, annual review, incident dan accident statistics. Safety Inspection dan Audit
meliputi : a) Kebutuhan (jenisnya) ditentukan berdasarkan karakteristik pekerjaan (potensi bahaya dan risiko) b)
Dilakukan berdasarkan dan berperan sebagai upaya pemenuhan standar tertentu c) Dilaksanakan dengan bantuan
cheklist (daftar periksa) yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan jenis kedua program tersebut

4) Investigasi kecelakaan dan penyakit akibat kerja a) Upaya penyelidikan dan pelaporan KAK dan PAK di tempat kerja b)
Disertai analisis penyebab, kerugian KAK, PAK dan tindakan pencegahan serta pengendalian KAK, PAK c) Menggunakan
pendekatan metode analisis KAK dan PAK.

5) Fire Prevention Program a) Risiko keselamatan yang paling besar & banyak ditemui pada hampir seluruh jenis
kegiatan kerja, adalah bahaya dan risiko kebakaran b) Dikembangkan berdasarkan karakteristik potensi bahaya & risiko
kebakaran yang ada di setiap jenis kegiatan kerja

6) Emergency Response Preparedness a) Antisipasi keadaan darurat, dengan mencegah meluasnya dampak dan
kerugian b) Keadaan darurat: kebakaran, ledakan, tumpahan, gempa, social cheos,bomb treat dll c) Harus didukung
oleh: kesiapan sumber daya manusia, sarana dan peralatan, prosedur dan sosialisasi

7) Program K3RS lainnya Pemindahan Risiko (Risk transfer) Mendelegasikan atau memindahkan suatu beban kerugian ke
suatu kelompok/bagian lain melalui jalur hukum, perjanjian/kontrak, asuransi, dan lain-lain. Pemindahan risiko mengacu
pada pemindahan risiko fisik & bagiannya ke tempat lain.

f. Komunikasi dan Konsultasi merupakan pertimbangan penting pada setiap langkah atau tahapan dalam proses
manejemen risiko. Sangat penting untuk mengembangkan rencana komunikasi, baik kepada kontributor internal
maupun eksternal sejak tahapan awal proses pengelolaan risiko. Komunikasi dan konsultasi termasuk didalamnya dialog
dua arah diantara pihak yang berperan didalam dengan fokus terhadap perkembangan kegiatan. Komunikasi internal
dan eksternal yang efektif penting untuk meyakinkan pihak pengelolaan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Kontributor membuat keputusan tentang risiko yang dapat diterima berdasarkan pada persepsi mereka terhadap risiko.
Karena kontributor sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan maka sangat penting bagaimana persepsi mereka
tentang risiko sama halnya dengan persepsi keuntungan-keuntungan yang bisa didapat dengan pelaksanaan
pengelolaan risiko.

g. Pemantauan dan telaah ulang selama pengendalian risiko berlangsung perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan-
perubahan yang bisa terjadi. Perubahan-perubahan tersebut kemudian perlu ditelaah ulang untuk selanjutnya dilakukan
perbaikan-perbaikan. Pada prinsipnya pemantauan dan telaah ulang perlu untuk dilakukan untuk menjamin
terlaksananya seluruh proses manajemen risiko dengan optimal.

Apa tujuan, manfaat, dan sasaran dari K3 RS?

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2016 TENTANG KESELAMATAN
DAN KESEHATAN KERJA RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

BAB I Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Keselamatan Kerja adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan, kerusakan dan
segala bentuk kerugian baik terhadap manusia, maupun yang berhubungan dengan peralatan, obyek kerja,
tempat bekerja, dan lingkungan kerja, secara langsung dan tidak langsung.

2. Kesehatan Kerja adalah upaya peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
pekerja di semua jabatan, pencegahan penyimpangan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
perlindungan pekerja dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan
pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang mengadaptasi antara pekerjaan dengan manusia dan manusia
dengan jabatannya.

3.Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya disingkat K3RS adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit, pasien,
pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit melalui upaya pencegahan kecelakan kerja
dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.

Pasal 7 (1)
Pelaksanaan rencana K3RS meliputi:

a. manajemen risiko K3RS;


b. keselamatan dan keamanan di Rumah Sakit;
c. pelayanan Kesehatan Kerja;
d. pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja;
e. pencegahan dan pengendalian kebakaran;
f. pengelolaan prasarana Rumah Sakit dari aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja;
g. pengelolaan peralatan medis dari aspek keselamatan dan Kesehatan Kerja; dan
h. kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat atau bencana.

Tugas Komite K3RS :


1) Mengembangkan kebijakan, prosedur, regulasi internal K3RS, pedoman, petunjuk teknis, petunjuk
pelaksanaan dan Standar Prosedur Operasional (SPO) K3RS untuk mengendalikan risiko.
2) Menyusun program K3RS.
3) Menyusun rekomendasi untuk bahan pertimbangan pimpinan Rumah Sakit yang berkaitan dengan K3RS.
4) Memantau pelaksanaan K3RS.
5) Mengolah data dan informasi yang berhubungan dengan K3RS.
6) Memelihara dan mendistribusikan informasi terbaru mengenai kebijakan, prosedur, regulasi internal K3RS,
pedoman, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan (SPO) K3RS yang telah ditetapkan.
7) Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya di sebarluaskan di seluruh unit kerja Rumah Sakit.
8) Membantu Kepala atau Direktur Rumah Sakit dalam penyelenggaraan SMK3 Rumah Sakit, promosi K3RS,
pelatihan dan penelitian K3RS di Rumah Sakit.
9) Pengawasan pelaksanaan program K3RS.
10) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru, pembangunan gedung dan proses.
11) Koordinasi dengan wakil unit-unit kerja Rumah Sakit yang menjadi anggota organisasi/unit yang
bertanggung jawab di bidang K3RS.
12) Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan korektif.
13) Melaporkan kegiatan yang berkaitan dengan K3RS secara teratur kepada pimpinan Rumah Sakit sesuai
dengan ketentuan yang ada di Rumah Sakit.
14) Menjadi investigator dalam kejadian PAK dan KAK, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan

Anda mungkin juga menyukai