Anda di halaman 1dari 145

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN MDR PADA PASIEN TUBERCULOSIS


DI RSUD LABUANG BAJI
MAKASSAR

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan


(S.Kep) Pada Program Studi S1 Keperawatan STIKES Panakkukang Makassar

Disusun Oleh :

SAMSUDIN

18. 01. 057

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
MAKASSAR
2020

i
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Samsudin

Nomor Induk Mahasiswa : 18.01.057

Program Studi : S1 Keperawatan

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri

dan tidak terdapat karya yang pern ah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pemikiran

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apa bila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau

keseluruhan skripsi ini merupakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia

mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi berupa gelar

kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.

Demikian, pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa ada

paksaan sama sekali.

Makassar,
Yang membuat pernyataan,

SAMSUDIN
NIM. 18.01.057

iii
ABSTRAK

SAMSUDIN : FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN MDR


PADA PASIEN TUBERCULOSIS DI RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR

PEMBIMBING :Muh. Zukri Malik dan Musmulyadi (i-


xiv+108halaman+15tabel+4gambar+10lampiran)

Pendahuluan : TB MDR adalah adalah resisten kuman mycobacterium tuberculosis dimana kuman
tidak dapat lagi dibunuh dengan Obat Anti TB (OAT) yang sudah digunakan selama ini, dan harus
diobati dengan OAT Resisten Obat ( Second Line Drug)

Tujuan : Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Multi Drug
Resistance (MDR) pada pasien tuberculosis.

Metode Penelitian : Penelitian ini adalah Survey Analitik dengan pendekatan Cross-Sectional
Study. Dilaksanakan di Poli Klinik RSUD Labuang Baji Makassar

Hasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang diteliti terdapat hubungan dengan
kejadian MDR, dengan hasil uji chi square didapatkan faktor kepatuhan minum obat dengan nilai
р = 0.008 yang berarti р < α =0.05, hasil uji chi square didapatkan faktor pengawas menelan obat
dengan nilai р = 0.011 yang berarti р < α =0.05, hasil uji chi square didapatkan faktor kepatuhan
minum obat dengan nilai р = 0.026 yang berarti р < α = 0.05, hasil uji chi square didapatkan faktor
merokok dengan nilai р = 0.024 yang berati р < α = 0.05, hasil uji chi square didapatkan faktor
status gizi dengan nilai р = 0.025 yang berarti р < α = 0.05, berdasarkan hasil uji chi square
faktor-faktor yang diteliti didapatkan ada hubungan dengan kejadian MDR pada pasien TB

Kesimpulan dan Saran: Ada hubungan kepatuhan minum obat, pengawas menelan obat,
pengetahuan pengobatan, merokok dan status gizi dengan kejadian MDR . Disarankan untuk
peneliti selanjutnya agar meneliti variabel lain yang belum diteliti dengan sampel yang lebih
banyak.

Kata Kunci : Faktor-faktor, kejadian MDR, Tuberculosis ,

Referensi : 33 (2011-2019)

iv
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya yang tak terhingga sehingga penulis

dapat menyelesaikan Proposal yang berjudul: “Faktor-faktor Yang Berhubungan

Dengan Kejadian MDR Pada Pasien Tuberkulosis. Di RSUD Labuang Baji

Makassar.”. Penyusunan Proposal ini merupakan suatu syarat untuk mendapatkan

gelar sarjana.

Dalam melakukan penyusunan Skripsi ini peneliti telah mendapatkan

banyak masukan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang sangat berguna

dan bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu

pada kesempatan ini dengan berbesar hati penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang setulus-tulusnya dan sebesar-besarnya terkhusus untuk kedua orang

tua, yaitu Andi Jamaluddin dan Ibunda Andi Munira yang senantiasa

mendoakan, memberikan nasehat dan dorongan serta telah banyak berkorban agar

penulis dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik, semoga Allah SWT

membalasnya dengan Rahmat, Rahim, Keberkahan yang melimpah dan juga

kebahagiaan hidup dan dunia akhirat, dan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Bapak H. Sumardin Makka, SKM., M.Kes, Selaku Ketua Yayasan Perawat

Sulawesi Selatan.

v
2. Bapak Dr. Ns. Makkasau Plasay, S.Kep., M.Kes., M.EDM., Selaku Ketua

STIKES Panakkukang Makassar dan selaku Penguji I yang telah mengijinkan

melakukan penelitian dan telah memberikan bimbingan, arahan, kritik, saran

dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ucapan terima kasih kepada Direktur RSUD Labuang Baji Makassar yang

telah mengijinkan melakukan penelitian ini di RSUD Labuang Baji Makassar

4. Bapak Ns. Muh. Zukri Malik,S.Kep,.M.Kep., Selaku Ketua Program Studi S1

Keperawatan dan selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan,

arahan, kritik, saran dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Musmulyadi.M.,S.Kp,.M.Kes, Selaku Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, arahan, kritik, saran dan motivasi dalam penyusunan

skripsi ini.

6. Dosen di Prodi S1 keperawatan yang telah dengan sabar memberikan

pengarahan yang tiada henti-hentinya dan dorongan baik spiritual maupun

material sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Civitas akademika STIKES Panakkukang Makassar

8. Teristimewa buat Kakak, Adik serta keluarga tercinta, yang tak hentinya

memberikan dukungan dan semangat serta doa sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya.

9. Keluarga besar S1 keperawatan Konversi STIKES Panakkukang Makassar

angkatan 2018 yang telah memberikan motivasi,saran,dan masukan sampai

penyusunan proposal ini selesai.

vi
10. Ucapan terima kasih kepada responden yang telah bersedia menjadi sampel

dalam penelitian ini.

11. Sahabat-sahabat Sequad ( Amril, Rioh, Dedi, Sulhandika, Reski dan Hijratun)

yang telah memberikan bantuan, dukungan, dorongan dan motivasi dalam

proses penulisan Skripsi ini.

12. Sahabat-sahabat Kontrakan Keras ( Isti, Dian, Ijah, Amril, Dedy, A.Fatwa,

Alim, Dika) yang telah memberikan bantuan, dukungan, dorongan dan

motivasi dalam proses penulisan Skripsi ini.

13. Teman-teman mahasiswa Kelas Konversi 2018 yang senantiasa memberikan

motivasi dan dukungan serta selalu ada disaat suka maupun duka

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

bantuannya.

Dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa dalam

menyelesaikan penyusun Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu masukan yang berupa saran dan kritik yang membangun dari para

pembaca akan sangat membantu. Semoga SKRIPSI ini bisa bermanfaat bagi

kita semua dan pihak-pihak yang terkait.

Makassar, Januari 2020

Penulis

Samsudin

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. ii

HALAMAN KEASLIAN TULISAN .................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................... v

DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiv

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5

1. Tujuan umum........................................................................................ 5

2. Tujuan khusus ....................................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6

1. Manfaat Teoritis ................................................................................... 6

2. Manfaat Praktis ..................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tuberkulosis................................................................. 7

viii
1. Definisi tuberkulosis paru..................................................................... 7

2. Anatomi sistem pernafasan .................................................................. 7

3. Klasifikasi tuberkulosis ........................................................................ 12

4. Etiologi tuberkulosis ............................................................................. 15

5. Patogenesis tuberkulosis ....................................................................... 16

6. manifesklinis tuberkulosis .................................................................... 19

7. Cara penularan dan pencegahan Tuberkulosis ..................................... 20

8. Faktor resiko tuberkulosis .................................................................... 24

9. Pemeriksaan penunjang tuberkulosis.................................................... 24

10. Penatalaksana medis tuberkulosisi ....................................................... 32

11. komplikasi tuberkulosis ....................................................................... 39

B. Tinjauan Tentang Multi Drug Resisten ..................................................... 39

1. Definisi ................................................................................................ 39

2. Diagnosis ............................................................................................. 40

3. Pemeriksaan Laboratorium ................................................................... 41

4. Klasifikasi dan Tipe pasien TB RO ...................................................... 42

5. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat ......................... 44

6. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian MDR ..................... 51

1. Hubungan kepatuhan minum obat dengan kejadian MDR ............. 51

2. Hubungan merokok dengan MDR TB ........................................... 52

3. Hubungan status gizi dengan kejadian MDR TB ........................... 53

4. Hubungan persepsi kerentanan dengan MDR TB .......................... 54

5. Hubungan persepsi keseriusan dengan MDR TB ........................... 54

ix
6. Hubungan persepsi manfaat dengan MDR TB ............................... 55

7. Hubungan persepsi hambatan denagan MDR TB .......................... 56

8. Hubungan Dukungan PMO dengan MDR TB ............................... 57

9. Hubungan efikasi diri dengan MDR TB......................................... 58

10. Hubungan pengetahuan pengobatan dengan MDR TB .................. 59

11. Hubungan minum alkohol dengan MDR TB ................................. 59

12. Hubungan tingkat pendidikan dengan MDR TB ............................ 60

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep ...................................................................................... 62

B. Hipotesis ................................................................................................... 63

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian ....................................................................................... 64

B. Populasi, Sampel dan Sampling ................................................................ 64

1. Populasi ................................................................................................ 64

2. Sampel ................................................................................................. 65

3. Besar sampel ........................................................................................ 65

4. Tekhnik sampling ................................................................................. 66

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional .......................................... 67

1. Variabel penelitian ................................................................................ 67

2. Definisi operasional .............................................................................. 68

D. Alat Dan Bahan Penelitian ........................................................................ 72

E. Instrumen Penelitian.................................................................................. 72

1. Kepatuhan minum obat ......................................................................... 72

x
2. Pengetahuan pengobatan ...................................................................... 73

3. Pengawas Menelan Obat ...................................................................... 73

4. Merokok ............................................................................................... 73

5. Status gizi ............................................................................................. 74

F. Tempat Dan Waktu Penelitian .................................................................. 74

1. Tempat ................................................................................................. 74

2. Waktu penelitian .................................................................................. 74

G. Cara Pengumpulan Data ............................................................................ 74

1. Data primer ........................................................................................... 74

2. Data sekunder ....................................................................................... 74

H. Pengelolahan Data Dan Analis.................................................................. 75

1. Pengelolahan data ................................................................................. 75

2. Analisa data .......................................................................................... 76

I. Etika Penelitian ......................................................................................... 76

BAB V PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian . ....................................................................................... 79

B. Pembahasan ............................................................................................... 94

C. Keterbatasan Peneliti ...............................................................................109

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................................110

B. Saran .......................................................................................................111

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Definisi Operasional...............................................................................68


Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan umur...............................80
Tabel 5.2 Distibusi Frekuensi Responden berdasarkan jenis kelamin. .................80
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan status pernikahan . ....... 81
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan pendidikan ....................82
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kepatuhan minum
obat. .......................................................................................................82
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan pengawas menelan
obat. .......................................................................................................83
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan pengetahuan
pengobatan. ............................................................................................84
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan kebiasaan merokok. .......84
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan status gizi. ......................85
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan kejadian MDR. ............85
Tabel 5.11 Hubungan Kepatuhan minum obat dengan kejadian MDR. ................87
Tabel 5.12 Hubungan pengawas menelan obat dengan kejadian MDR.................88
Tabel 5.13 Hubungan pengetahuan pengobatan dengan kejadian MDR. ..............89
Tabel 5.14 Hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian MDR. ......................90
Tabel 5.15 Hubungan status gizi dengan kejadian MDR .......................................91
Tabel 5. 16 Hubungan faktor-Fktor dengNan kejadian MDR ...............................93
Tabel 5.17 Faktor-faktor yang paling berhubungan dengan kejadian MDR .........94

xii
DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Kerangka Konsep . ...............................................................................62

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Konsultasi


Lampiran 2 Lembar Menjadi Responden
Lampiran 3 Lembar Persetujuan Responden
Lampiran 4 Lembar Kuisioner
Lampiran 5 Lembar Observasi
Lampiran 6 Tabulasi Data Demografi
Lampiran 7 Hasil Uji Statistik
Lampiran 8 Surat Rekomendasi Penelitian
Lampiran 9 Surat Keterangan Selesai Penelitian
Lampiran 10 Surat Kode Etik
Lampiran 11 Lembar Planning Of Action (POA) Penyusunan Tugas Akhir
PROPOSAL dan SKRIPSI
Lampiran 12 Foto Hasil Dokumentasi Penelitian
Lampiran 13 Riwayat Hidup Penulis

xiv
DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Kepanjangan
WHO Horld Health Organization
KEMENKES RI Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
DEPKES Depertemen Kesehatan
PMDT Progammatic Mangement of Drug Resistant
MTPTRO Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberculosis
Resisten Obat
MDR TB Multi Drug Resistance Tuberculosis
OAT Obat Anti Tuberculosis
PMO Pengawas Menelan Obat
TB Tuberculosis
TB RR Tuberculosis Resisten Rifamfisin
TB RO Tuberculosis Resisten Obat
TB XDR Tuberculosis Extensively Drug Resistant
STREAM Standardised Treatment Regimen Of Anti-TB Drugs
For Patients With Multidrug-Resistant/MDR-TB

xv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar infeksi TB

menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nucleus droplet yang berisikan

organisme basil tuberkel dari seorang yang terinfeksi (Nurarif, AH &

Kusuma, H, 2015).

TB resisten/kebal obat adalah resisten kuman mycobacterium

tuberculosis dimana kuman tidak dapat lagih dibunuh dengan Obat Anti TB

(OAT) yang sudah digunakan selama ini, dan harus diobati dengan OAT

Resisten Obat ( Second Line Drug). TB MDR adalah TB yang resistan

terhadap isoniazid dan rifampisin secara bersamaan. ( KEMENKES RI, 2017)

Penanganan dan pengendalian penyakit tuberkulosis menjadi semakin

sulit di tangani oleh karena meningkatnya kasus resistensi kuman TB (Hoza,

Mfinanga and Konig, 2015). Multi Drug Resisten Tuberculosis (MDR TB)

menjadi tantangan baru dalam program pengendalian TB karena penegakan

diagnosis yang sulit, tingginya angka kejadian dan kematian (WHO,2015).

Manajemen penatalaksanaan pasien TB MDR telah dimulai pada

pertengahan tahun 2009 dengan suatu kegiatan uji pendahuluan di 2 wilayah

yaitu kota Jakarta Timur dan kota Surabaya pada pertngahan 2009. Uji

pendahuluan untuk pengobatan 100 pasien telah dilalui dengan hasil cukup

baik, hal ini menggambarkan prediksi awal untuk keberhasilan pengobatan.

1
2

Berdasarkan hasil tersebut, maka pengobatan TB nasional dengan terbitnya

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

565/MENKES/PER/III/2011 perihal Strategi Nasional Pengendalian TB

tahun 2011-2014. Kegiatan ini pada awalnya dikenal sebagai Progammatic

Management of Drug Resistant TB (PMDT), untuk selanjutnya, kegiatan ini

disebut sebagai Manejemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten

Obat.( MTPTRO).

Tapi kenyataan saat ini upaya pengobatan TB yang resistan masih

belum efisien sama sekali. Pengobatan medis selama 20 sampai 24 bulan

yang digunakan di banyak negara untuk mengobati pasien terbilang mahal

dan juga memiliki efek samping yang signifikan. Selain itu, lama pengobatan

membuat pasien sulit untuk menjalaninya, dan layanan kesehatan juga

kesulitan menopangnya. Secara global, tingkat keberhasilan pengobatan

medis rata-rata hanya sedikit lebih besar dari 50% sistem perawatan yang ada,

meski ada variasi yang cukup besar dari satu negara ke negara lain. Atas

dasar itu, para peneliti di seluruh dunia segera mendesak mengeksplorasi

lama perawatan yang lebih pendek, lebih efektif, dan lebih aman untuk pasien

yang memiliki TB yang resistan terhadap obat telah direkomendasikan oleh

WHO pada 2011.

Berdasarkan kejadian TB diperberat dengan tingginya kasus

multidrug-resistant TB (MDR-TB/ TB MDR) secara global. World Health

Organization memperkirakan sebanyak 480.000 kasus TB MDR baru dan

tambahan 100.000 kasus TB resisten rifampisin (TB RR) pada tahun 2015.
3

Sekitar hanya 20% dari jumlah kasus tersebut diperkirakan telah

mendapatkan pengobatan TB MDR. Menurut laporan WHO tahun 2016

ditemukan sebanyak 2.135 kasus TB MDR dan 28 kasus extensively drug

resistant TB (TB XDR) di Indonesia yang telah terkonfirmasi dengan

pemeriksaan laboratorium. Sebanyak 1519 kasus di antaranya telah menjalani

pengobatan TB MDR. Tuberkulosis MDR menjadi tantangan besar dalam

rangka eradikasi total TB. Hal ini disebabkan tingkat keberhasilan

pengobatan TB MDR yang baru mencapai 52% secara global dengan angka

kematian hingga 250.000 orang pada tahun 2015.

Indonesia menduduki peringkat ke 8 dari 27 negara yang mempunyai

beban tinggi dan prioritas kegitan untuk MDR-TB/XDR. Beban MDR-TB di

27 negara ini menyumbang 85% dari beban MDR-TB global. Di negara-

negara yang termasuk dalam daftar ini. minimal diperkirakan terdapat 4000

kasus MDR-TB atau sekurang-kurangnya 10% dari seluruh kasus baru MDR-

TB (Kemenkes RI, 2016).penemuan kasus Multi Drugs Resisten (MDR) TB

berdasarkan data 2011-2015 lanjutnya, cenderung mengalami kenaikan. Pada

2011 mencapai 103 kasus, 2012 ada 258 kasus, 2013 naik menjadi 358 kasus,

2014 naik lagi menjadi 614 kasus hingga 2015 mencapai 614 kasus

(KEMENKES RI, 2016).

Disepanjang tahun 2016, Dinkes kota Makassar mencatat ada 50

kasus MDR-TB baru yang dalam proses penanganan, sedangkan pasien yang

meninggal dunia akibat penyakit tersebut sejak 1 Januar 2016 hingga 25

September 2016 mencapai lima orang. Sampai dengan tahun 2013 terdapat 13
4

RS Rujukan MDR- TB di 12 provinsi yaitu RS persahabatan Jakarta, RS. dr.

Soetomo dan, RS dr. Syaiful Anwar Jatim, RS. dr. Moewardi Jateng, RSUD

Labuang Baji Sulsel, RS. Hasan Sadikin Jabar, RS Adam Malik Sumut, RS.

Sanglah Bali, RS. Dr. Sardjito Yogyakarta, RSUD Jayapura papua, RSUD

Depati Hamzah Babel, RSUD Arifin ahmad Riau, dan RSU Ahmad Mohtar

Sumbar.

Khusus di Kota Makassar, data yang di peroleh dari Dinas Kesehatan

Provinsi Sulewesi Selatan tahun 2015, kasus baru pasien TB per 100.000

penduduk di Kecematan dan Puskesmas Provinsi Sulewesi Selatan yaitu

berjumlah 1.928 penderita yang di temukan dengan kasus baru TB BTA+ dan

MDR 3.639 pasien dari jumlah keseluruhan kasus TB yang baru maupun

kasus TB yang lama di temukan ( Dinas Kesehatan Provinsi Sul Sel, 2016)

Penatalaksanaan terbaru MDR TB di temukan Uji coba STREAM

(Standardised Treatment Regimen of Anti-TB Drugs for Patients

with Multidrug-resistant/MDR-TB) menyajikan bukti kuat terkait efektivitas

dan keamanan pengobatan medis 9 hingga 11 bulan bila dibandingkan dengan

pengobatan 20 bulan yang jauh lebih lama. Hasilnya sama baiknya dan fakta

bahwa pengobatan yang lebih pendek membuatnya jauh lebih dapat diterima

oleh pasien. Hal ini juga cenderung menghasilkan penghematan biaya bagi

pasien dan layanan kesehatan. ( The Conversation, 2019)

Berdasarkan data yang didapatkan pada saat pengambilan data awal di

bagian rekam medis (Medical Record ) di Rumah Sakit Umum Daerah

Labuang Baji jumlah kujungan rawat jalan pada pasien tahun 2017 tercatat
5

ada 29 pasien MDR-TB yang sedang melakukan pengobatan di RSUD

Labuang Baji setiap harinya di poli MDR-TB, sedangkan pada tahun 2018

tercatat ada 31 pasien MDR-TB yang sedang melakukan pengobatan di

RSUD Labuang Baji setiap harinya di poli MDR-TB Selanjutnya data yang di

dapatkan pada tahun 2019 ( januari -agustus) 2019 tercatat ada 40 pasien

MDR-TB yang sedang melakukan pengobatan di RSUD Labuang Baji setiap

harinya di poli MDR-TB baik pasien dari luar daerah maupun di daerah

Makassar.

Berdasarkan uraian diatas menggambarkan data kejadian MDR TB

yang masih tinggi, maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang

dapat meningkatkan kejadian MDR pada pasien tuberculosis seperti, patuhan

minum obat, merokok dan Pengawas Minum Obat, kebiasaan merokok dan

status gizi dengan kejadian MDR pada pasien tuberculosis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dijawab

dalam penelitian ini secara jelas akan tercakup dalam rumusan masalah

berupa pertayaan berikut ini, yaitu : Apakah ada hubungan antara faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi dengan kejadian MDR TB di RSUD

Labuang Baji Makassar ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian MDR

TB di RSUD Labuang Baji Makassar


6

2. Tujuan khusus

1. Diketahuinya hubungan Kepatuhan minum obat dengan kejadian

MDR pada pasien tuberculosis RSUD Labuang Baji Makassar

2. Diketahuinya hubungan Pengawas Menelan Obat dengan kejadian

MDR pada psien Tuberculosis RSUD Labuang Baji Makassar

3. Diketahuinya hubungan Pengetahuan Pengobatan dengan kejadian

MDR pada psien Tuberculosis RSUD Labuang Baji Makassar

4. Diketahuinya hubungan Kebiasaan Merokok dengan kejadian MDR

pada psien Tuberculosis RSUD Labuang Baji Makassar

5. Diketahuinya hubungan Status gizi dengan kejadian MDR pada psien

Tuberculosis RSUD Labuang Baji Makassar.

6. Diketahuinya faktor- apa yang paling berhubungan dengan kejadian

MDR pada psien tuberkulosis paru di RSUD Labuang Baji Makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian di harapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Multi Drug Resisten

Tuberculosis .

2. Manfaat Praktis

a. Bagi profesi keperawatan

Sebagai bahan masukan bagi tenaga keperawatan khususnya yang

bekerja di Instansi pelayanan untuk meningkatkan pengetahuan

pengetahuan pasien tuberkulosis


7

b. Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai bahan refrensi tambahan dan sumbangan pemikiran

perkembangan pengetahuan sehingga dapat mengembangkan penelitian

tentang pengetahuan pasien tentang tuberkulosis paru dengan kejadian

MDR

c. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat bermanfaat umtuk menambah kepustakaan dan

tingkat pengetahuan dalam mengurangi kejadian MDR pada pasien

tuberkulosis paru.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tuberkulosis

1. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang

paling sering mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis.TB paru dapat menyebar ke setiap bagian

tubuh, termasuk meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer &

Bare, 2015).

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang peling sering

mengenai parengkinm paru,biasanya disebabkan oleh myobacterium

tuberculosis. TB dapat menyebar hampir kesetiap bagian tubuh ,termasuk

meninges,ginjal,tulang,dan nodus limfe.infeksi awal biasanya terjadi

dalam 2 sampai 10 minggu setelah pajanan (brunner & suddarth,2013).

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar infeksi TB

menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nucleus droplet yang berisikan

organisme basil tuberkel dari seorang yang terinfeksi (Nurarif, AH &

Kusuma, H, 2015).

2. Anatomi Sistem Pernapasan

Menurut Fernandez,G.J.(2018). Bagian-bagian sistem pernafasan

yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea, karina, bronchus principalis,

8
9

bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus terminalis,

bronchiolus respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli.

Terdapat Lobus, dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan

lobus inferior. Sinistra ada 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior.

Pulmo dextra terdapat fissura horizontal yang membagi lobus superior dan

lobus media, sedangkan fissura oblique membagi lobus media dengan

lobus inferior. Pulmo sinistra terdapat fissura oblique yang membagi lobus

superior dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2

yaitu parietalis (luar) dan Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan tersebut

terdapat rongga pleura (cavum pleura).

a. Hidung

Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris

anterior yang dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang

rawan. Permukaan luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar

dan rambut. Terdapat epitel respirasi: epitel berlapis silindris bersilia

bersel goblet dan mengandung sel basal. Didalamnya ada konka

nasalis superior, medius dan inferior. Lamina propria pada mukosa

hidung umumnya mengandung banyak pleksus pembuluh darah.

b. Alat penghidu

Mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris tanpa sel

goblet, dengan lamina basal yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas 3

jenis sel: sel penyokong, sel basal dan sel olfaktoris.


10

c. Sinus paranasal

Rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak

yang berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris,

frontalis, etmoidalis dan sphenoidalis.

d. Faring

Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan

menyatu dan menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke

oesophagus. Pada saat bernapas udara dihantarkan ke laring. Ada 3

rongga : nasofaring, orofaring, dan laringofaring. 7 Mukosa pada

nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan

laringofaring sama dengan saluran cerna. Mukosa faring tidak

memilki muskularis mukosa. Lamina propria tebal, mengandung serat

elastin. Lapisan fibroelastis menyatu dengan jaringan ikat interstisiel.

Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis gepeng,

mengandung kelenjar mukosa murni.

e. Laring

Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm.

Terletak antara faring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan

tiroid dan krikoid. Muskulus ekstrinsik mengikat laring pada tulang

hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada tulang tiroid dan

krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan epitel

bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada

kelenjar. Fungsi laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea


11

pada saat menelan (epiglotis). Ada 2 lipatan mukosa yaitu pita suara

palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara). Celah diantara pita

suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa dan lamina

propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara ( otot

rangka). Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N

Laringealis superior.

f. Trakea

Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya

dilapisi oleh jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari:

tulang rawan, mukosa, epitel bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.

g. Bronchus

Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama.

Bronki primer bercabang menjadi bronki lobar  bronki segmental 

bronki subsegmental. Struktur bronkus primer mirip dengan trakea

hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak teratur. Makin ke

distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang sama

sekali. Otot polos tersusun atas anyaman dan spiral. Mukosa tersusun

atas lipatan memanjang. Epitel bronkus : kolumnar bersilia dengan

banyak sel goblet dan kelenjar submukosa. Lamina propria : serat

retikular, elastin, limfosit, sel mast, eosinofil.

h. Bronchiolus

Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang

rawan, tidak mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur


12

dengan jaringan ikat longgar. 8 Epitel kuboid bersilia dan sel

bronkiolar tanpa silia (sel Clara). Lamina propria tidak mengandung

sel goblet.

i. Bronchiolus respiratorius

Peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan :

epitel kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis

(alveoli).

j. Duktus alveolaris

Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat

alveoli bermuara.

k. Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis.

Tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara

darah dan udara yang dihirup. Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya

bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat kolagen, dan

elastis halus. Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng (sel alveolar tipe I ),

sel alveolar besar ( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I)

jumlahnya hanya 10% , menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar

besar (tipe II) jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar. Sel alveolar

gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal

bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin, memilki badan

berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar.

Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir


13

ekspirasi. Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial.

Mengandung serat, sel septa (fibroblas), sel mast, sedikit limfosit.

Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn. Sel fagosit utama dari

alveolar disebut makrofag alveolar. Pada perokok sitoplasma sel ini

terisi badan besar bermembran. Jumlah sel makrofag melebihi jumlah

sel lainnya.

l. Pleura

Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini

mengandung serat elastin, fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru

disebut pleura viseral, yang melekat pada dinding toraks disebut

pleura parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan pembuluh

limfe.

3. Klasifikasi Tuberkulosis

Penyakit TB dapat diklasifikasikan berdasarkan 4 hal yaitu lokasi

atau organ tubuh yang terkena, bakteriologi, tingkat keparahan penyakit,

dan riwayat pengobatan TB sebelumnya (Widyanto, F, C & Cecep, T,

2013) :

a. Berdasarkan organ tubuh yang terkena

1) TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru dan

tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2) TB ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh selain paru

seperti pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar

limfe, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
14

b. Berdasarkan bakteriologi

Klasifikasi bakteriologi didasarkan pada hasil pemeriksaan dahak

mikroskopis, yaitu :

1) TB paruBTA positif

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasil BTA

positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya positif dan foto thoraks dada

menunjang gambaran TB.

c) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik OAT (Obat

Anti TB).

2) TB paru BTA negatif

Semua kasus yang tidak memenuhi kriteria TB paru BTA

positif termasuk pada klasifikasi TB paru BTA negatif dengan

kriteria sebagai berikut :

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

b) Foto thoraks abnormal menunjukkan gambar TB.

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik OAT (Obat

Anti TB)..

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.
15

c. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1) Pembagian TB paru BTA negatif dengan foto thoraks positif

berdasarkan tingkat keparahannnya, yaitu didasarkan pada bentuk

berat dan ringan. Bentuk berat digambarkan dengan foto thoraks

yang memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas. Misalnya

proses “far advanced” dan atau keadaan umum pasien buruk.

2) Sedangkan pembagian TB ekstra paru berdasarkan tingkat

keparahannya yaitu :

a) TB paru ekstra ringan seperti TB kelenjar limfe. Pleuritis

eksudativa unilateral, tulang kecuali tulang belakang, sendi dan

kelenjar adrenal.

b) TB ekstra paru berat TB ekstra paru berat seperti meningitis,

milier, pericarditis, pleuritis eksudative bilateral, TB tulang

belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

d. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

1) Baru, yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT (Obat

Anti TB). atau sudah pernah menelan OAT (Obat Anti TB)

kurang dari 1 bulan (4 minggu).

2) Kambuh (relaps), yaitu pasien TB sebelumnya pernah mendapat

pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, diagnosis kembali dengan BTA positif melalui apusan

atau kultur.
16

3) Pengobatan setelah putus obat (default), yaitu pasien yang telah

berobat dan putus obat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4) Gagal (failure), yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan dahak

tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau

lebih selama pengobatan.

5) Pindahan (transfer in), yaitu klien yang dipindahkan dari UPK

yang memiliki registrasi TB lain untuk melanjutkan pengobatan.

6) Lain-lain, yaitu semua kasus yang tidak memenuhi kriteria seperti

kasus kronis yang hasil pemeriksaan BTA masih positif meskipun

telah menyelesaikan pengobatan ulang.

4. Etiologi Tuberkulosis

TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang

dapat ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif

mengeluarkan organisme.Individu yang rentan menghirup droplet dan

menjadi terinfeksi. Bakteria di transmisikan ke alveoli dan memperbanyak

diri. Reaksi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan

bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa (Smeltzer&Bare,

2015).

Menurut (Smeltzer & Bare 2015), Individu yang beresiko tinggi

untuk tertular virus tuberculosis adalah:

a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif

Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker,


17

mereka yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi

dengan HIV).

b. Pengguna obat-obat IV dan alkhoholik.

c. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma; tahanan;

etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15 tahun dan

dewasa muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).

d. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan

diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi).

e. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.

f. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan

aktivitas yang beresiko tinggi.

5. Patogenesis Tuberkulosis

a. Infeksi primer (pertama)

infeksi primer adalah waktu pertama kali terinfeksi TB.infeksi TB

primer biasanya menyerang apeks dari paru-paru atau dekat pleura

darilobus bawah. Walaupun infekasi primer, dapat berupa mikroskopi

(sehingga muncul pada rongten dada) ,namun kelanjutan penyakit

seperti di bawah ini sering ditemui.

Muncul suatu bagian kecil yang terserang bronkopnemonia pada

jaringan paru. TB banyak menginfeksi secara fagositosis (di

pencernaan) oleh makrofag yang beredar.namun,sebelum

berkembangannya hipersensivitas dan imunitas,banyak basilus yang

dapat bertahan hidup dalam sel-sel darah tersebut dan terbawa ke


18

bronkopulmonalis (hilus) kelenjar getah bening melalui sistem

limfatik.Basilus bahkan dapat menyerang ke seluruh tubuh.Walaupun

infeksi kecil,tapi penyebarangnya sangat cepat.

Lokasi infeksi primer dapat atau dapat tidak mengalami proses

degenerasi nekrotik ,yang disebut kaseasi karena menghasilkan rongga

yang terisi massa seperti keju yang berisi batil tuberkel, sel darah putih

mati, dan jaringan paru nekrotik.seiring waktu material ini mencair ,dan

keluar ke dalam saluran trakeobronkial ,dan dapat dibatukkan

keluar,kebanyak TB primer dapat sembuh dlam periode beberapa bulan

dengan membentuk jaringan perut dan kemudian lesi kalsifikasi,yang

disebut sebagai kompleks ghon.lesi-lesi tersebut dapat ,mengandung

basilus hidup yang dapat mengalami reaktivitasi,terutama jika klien

mengalami imunitas,bahkan setelah bertahun-tahun,dan menyebabkan

infeksi sekunder.

Infeksi TB primer akan menyebabkan tubuh mengembangkan

reaksi alergi terhadap basilus tuberkel atau protein. Respons imunitas

dimediasi sel ini muncul dalam bentuk sel-T tersensitas dan dapat di

deteksi sebagia reaksi positif pada uji kulit tuberkulin munculnya

sensitivitas tuberkulin ini terjadi pada semua sel tubuh 2 hingga 6

minggu setelah infeksi primer.Sensitivitas ini ada selama basilus hidup

masi berada didala tubuh. Kekebalan yang didapat bisa menghambat

pertumbuhan lebih lanjut dari basil dan perkembangan infeksi aktif.


19

Sekitar 10% orang yang terinfeksi TB pada akhirnya akan

mengalami penyakit aktif dalam hidup mereka.alasan penyakit TB aktif

muncul pada beberapa klien ( alih-alih dapat dikontrol oleh respons

imun yang didapat sehingga tetap dorman ) masih belum pahami

dengan jelas. Namun, faktor faktor yang tampaknya berperan pada

perkembangan dari infeksi TB dorman menjadi penyakit aktif

melibatkan hal-hal berikut;

1. kontak ulang dengan orang yang memiliki TB aktif

2. usia lanjut

3. infeksi HIV

4. imunosupresi

5. terapi kortikosteroid jangka panjang

6. tinggal atau bekerja pada area pada berisiko tinggi

(penjara,fasilitas perawatan jangka panjang)

7. berat badan rendah (10% atau lebih dibawah berat ideal)

8. penyelagunaan narkoba

9. adanya penyakit lain (misalnya,diabets melitus,penyakit ginjal

stadium akhir,atau penyakit ganas).

b. Infeksi sekunder

Penyakit primer progresif ,terinfeksi ulang juga dapat

menyebabkan bentuk klinis TB aktif,atau infeksi sekunder.lokasi infeksi

primer yang mengandung basilus TB mungkin tetap laten bertahun-tahun

dan dapat mengalami reaktivitas jika resintasi klien turun.oleh karena


20

dimungkinkan terjadinya infeksi ulang dan kerena lesi dormal dapat

mengalami reaktivitas ,maka penting bagi klien dengan infeksi TB untuk

dikaji secara periodik terhadaf bukti adanya penyakit aktif. (M.Black &

Hawks,2014).

6. Manifestasi Klinis Tuberkulosis

Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya.Pada tipe

infeksi yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat

berupa gejala neumonia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala TB, primer

dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau dalam

bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri pleura dan sesak napas.

Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat sembuh dengan sendirinya,

hanya saja tingkat kesembuhannya 50%. TB postprimer terdapat gejala

penurunan berat badan, keringat dingin pada malam hari, tempratur

subfebris, batuk berdahak lebih dari dua minggu, sesak napas, hemoptisis

akibat dari terlukanya pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga

menyebabkan bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke batuk darah

yang masif, TB postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga

menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis

dengan fenoma papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis

pada kelenjar limfe dileher, yakni berupa skrofuloderma. (Tabrani Rab,

2016).

Tanda-tanda klinis dari tuberkulosis adalah terdapatnya keluhan

berupa (Nurarif, AH & Kusuma, H 2015 ):


21

1. Demam 40-41 oC,serta batuk darah

2. Sesak nafas

3. Nyeri dada

4. Suara khas pada perkusi dada

5. Bunyi dada

6. Malaise

7. Keringat malam

8. Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit.

9. Pada anak

a. Berkurangnya berat badan 2 bul;an berturut-turut tanpa sebab

yang jelas atau gagal tumbuh.

b. Demam tanpa sebab jelas,terutama jika berlanjut sampai 2

minggu.

c. Batuk kronik lebih 3minggu.

d. Riwayat kontak dengan TB paru dewsa.

e. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local tumbuh

kurang 7 harisetelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan

sistem skoring TB anak.

7. Cara penularan dan pencegahan Tuberkulosis

Cara penularan ,pencegahan penyebaran infeksi dan pencegahan

tuberkulosis paru yaitu :


22

a. Penularan Tuberkulosis Paru

Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar

dengan bakteri Mycobacterium Tuberculosa yang dilepaskan pada saat

penderita TB batuk. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul

didalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak terutama

pada orang-orang dengan daya tahan tubuh yang lemah dan dapat

menyebar melalui pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Sumber

penularan adalah penderita TB BTA positif khususnya TB paru

(Maesaroh, S 2009).

Cara penularan (transmisi) TB menurut (Maesaroh, S, 2009), yaitu:

1) Bersifat langsung melalui droplet (percikan dahak) dalam jarak

dekat ketika batuk/bersin,

2) Airborne (melalui udara) ketika droplet yang mengandung kuman

di udara terhirup kesaluran nafas. Droplet yang mengandung

kuman tersebut dapat bertahan di udara bersuhu kamar selama

beberapa jam.

b. Pencegahan Tuberkulosis Paru

Menurut (M.Black & ,H,2014) Selama rawat inap,pengadilan

infeksi yang tepat dan praktif kesehatan dari karyawan rumah sakit

sangat penting.pertama,identifikasi dini klien dengan TB sangat

penting.klien yang mengalami resiko tinggi dan klien dengan

manefestasi klinis pneumonia hrus ditempatkan segera diruang isolasi

hingga hasil apusan AFB.atau kultur yang diterima. Ruangan isolasi


23

udara harus dijaga dengan tekanan negatif relatif terhadap ruangan

luar,tekanan negatif menegah udara ruangan isolasi mengalir keluar

ketika pintu dibuka, sehingga menghidari penyebaran partikel infeksi

ke luar ruangan.ventilasi tekanan negatif mengirim udara ruangan

langsung ke luar, dengan paling tidak enam kali pergantingan udara

tiap jam. Perlengkapan lain seperti, lampu ultraviolet (terbukti

membunuh mikobkteria) dan filter partikulat udara efisiensi tinggi

(HEPA),harus juga digunakan.

Perlengkapan perlindungan pribadi, partikulate respiratori,

diperlukan bagi semua pekerja kesehatan yang memasuki ruangan

isolasi TB. Jika dikenakan dengan tepat,alat ini akan menyaring nuklei

droplet,ketepatan penggunaan partikulate respiratori harus dikaji

ulang jika ada perubahan bentuk wajah penggunannya.

Memonitor status TB tenaga kesehatan juga penting.ujian kulit

harus dilakukan dengan tiap tahununtuk semua tenaga kesehatan yang

mungkin terpapar TB. Uji setengah tahun sekali harus dilakukan pada

area resiko tinggi atau saat konversi positif dari uji kulit TB sering

ditemukan.

Saat klien ditemukan mengalmi TB, petugas kesehatan (sering

kali perawat) akan berbicara dengan klien dengan mengumpulkan

daftar kontak.setiap orang yang pernah memiliki kontak dengan klien

harus diperiksa dengan uji kulit tuberkulit dengan rontgen dada untuk

mengevaluasi infeksi TB.


24

c. pencegahan penyebaran infeksi TB

menurut (brunner & suddarth 2011).beberapa cara pencegah

penyebaran infeksi TB;

1. Jelaskan dan perlahan kepada pasien tentang tindakan kebersihan

yang penting dilakukan,termasuk perawatan mulut,menutup

mulut dan hidung ketika batuk dan bersin,membuang tisu dengan

benar,dan mencuci tangan.

2. Laporkan setiap kasus TB ke deperteman kesehatan sehingga

orang tidak pernah kontak dengan pasien yang tdrinfeksi selam

atadium menular dapat menjalani skrining dan kemungkinan

terapi,jika diindikasikan.

3. Informasikan pasien mengenai resiko menularan TB ke bagian

tubuh lain ( penyebaran atau perluasan infeksi TB kelokasi lain

selain paru pada tubuh dikenal sebagai TB milier ).

4. Pantau pasien secara cermat untuk mengetahui adanya TB

milier;pantau tanda tanda vital dan pantau lonjakan suhu tubuh

serta perubahan fungsi ginjal dan kognitif;beberapa tanda fisik

dapat diperlihatkan pada pemeriksaan fisik dada,tetapi pada

stadium ininpasien mengalami batuk hebat dan

dispnea.penanganan milier sama seperti penanganan untuk TB

pulmonal.
25

8. Faktor Resiko Tuberkulosis

Menurut (Brunner & Suddarth,2013) beberapa faktor resiko TB

paru:

a. kontak dengan seseorang yang menderita TB aktif

b. status gangguan imun (misalkan,lansia,kanker, terapi kortikosteroid,

dan HIV).

c. Penggunaan obat injeksi dan alkoholisme.

d. Masyarakat yang kurang mendapat layanan kesehatan yang memadai

(misal,gelandangan, atau penduduk miskin, kalangan minoritas, anak-

ank dan dewasa muda).

e. Kondisi medis yang sudah ada, termasukdiabetes, gagal ginjal,

silikosis, dan malnutrisi

f. Imigrasi dari negara dengan insidensi TB yang tinggi (misal,haiti, asia

tenggara ).

g. Institusionalisasi ( misal,fasilitas perawat jangka panjang,penjara).

h. Tinggal dilingkungan yang padat penduduk dan dibawah standar.

i. Pekerjaan 9 misal,tenaga kesahatan, terutama yang melakukan

aktivitas berisiko tinggi ).

9. Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis

Pemeriksan diagnostik menurut (arif muttaqin,2012) yang dilakukan

pada klien dengan tuberkulosis paru, yaitu :

a. Pemeriksaan labolatorium
26

Pemeriksan diagnostik menurut (arif muttaqin,2012) Diagnosa

terbaik dari penyakit tuberkulosis diperoleh dengan pemeriksaan

mikrologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesis

mycrobacterium antara satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat

koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai

media,perbedaan kepekaan terhadap OAT (Obat Anti TB) dan

kemoterapeutik, perbedaan kepekaan terhadap binatang percobaan, dan

percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen

mycrobacterium. Bahan pemeriksaan untuk isolasi mycrobacterium

tuberculosis berupa:

a. sputum klien,sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan yang

pertama keluar. Jika sulit didapatkan maka sputum dikumpulkan

selama 24 jam.

b. urine, urine yang diambil adalah urine pertama dipagi hari atau

urine yang dikumpulkan selama 12-24 jam. Jika klien

menggunakan kateter mak urine yang tertapung didalam urine bag

dapat diambil.

c. Cairan kumbah lambung. Umumnya bahan pemeriksaan ini

digunakanan jika anak-anak atau klien tidak dapat mengeluarkan

sputum. bahan pemeriksaan diambil pagi hari sebelum sarapan.

d. Bahan-bahan lain.misalnya pu,cairan serebrospinal (sumsum tulang

belakang), cairan pleura, jaringan tubunh, fases dan swab

tenggorokan.
27

Bahan pemeriksaan dapat diteliti secara mikroskopi dengan

membuat sediaan dan diwarnai dengan pewarnaan tahan asam serta

diperiksa dengan lensa rendam minyak.hasil pemeriksaan

mikroskopik dilaporkan sebagai berikut:

1. Bila setelah pemeriksaan teliti selama 10 menit tidak

ditemukan bakteri tahan asam, maka diberika lebel (penanda):”

bakteri tahan asam negatif atau BTA ( - )”.

2. Bila ditemukan bakteri tahan asam 1-3 batang pada seluruh

tubuh sediaan,maka jumlah yang ditemukan harus disebut, dan

sebaiknya dibuat sediaan ulangan.

3. Bila ditemukan bakteri-bakteri tahan asam maka harus diberi

label:”bakteri tahan asam positif atau BTA ( + )”.

Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosa TB paru

walaupun kurang sensitif adalah pemeriksaan lanjut endap

darah (LED). Adanya peningkatan LED biasanya disebabkan

peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA.

Pemeriksaan diagnostik menurut (Nurarif, AH &

Kusuma, H, 2015) yang dilakukan pada klien dengan

tuberkulosis paru, yaitu :

a) Laboratorium darah rutin : LED normal/meningkat,

limfositosis

b) Pemeriksaan sputum BTA : untuk memastikan diagnostik

TB paru, namun pemeriksaan ini tidak spesifik karena


28

hanya 30-70% pasien yang dapat didiagnosis berdasarkan

pemeriksaan ini.

c) Tes PAP (Peroksidase Anti Perodsidase)

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat

histogen staining untuk menentukan adanya Ig G spesifik

terhadap basil TB.

d) Tes Mantoux/ Tuberkulin

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat

histogen staining untuk menentukan adanya Ig G spesifik

terhadap basil TB.

e) Tehnik Polymerase Chain Reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi

dalam meskipun hanya satu mikro organisme dalam

spesimen juga dapat mendeteksi adanya resistensi.

f) Becton Dickinson diagnostik instrument sistem (BACTEC)

Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan

dari metabolisme asam lemak oleh mikobakterium

tuberkulosis.

g) MYCODOT

Deteksi antibody memakai antigen liporabinomanan yang

direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik,

kemudian dicelupkan dalam jumlah memadai memakai

warna sisir akan berubah


29

h) Pemeriksaan radiology : Rontgen thorax PA dan lateral

Gambaran foto thorax yang menunjang diagnosis TB, yaitu:

a) Bayangan lesi terletak di lapangan paru atas atau segmen

apikal lobus bawah

b) Bayangan berwarna (Patchy) atau bercak (Nodular)

c) Adanya kavitas, tunggal atau ganda

d) Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru

e) Adanya klasifikasi

f) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu

kemudian

g) Bayangan millie.

b. Pemeriksaan rontgen thoraks

Pada hasilnya pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan

adanya suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan

sebelumya pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila

pemeriksaan rontgen thoraks menemukan suatu kelainan, tidak ada

gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali lokasi di lobus bawah

dan baisanya berada di sekitar hilus,karakterristik kelainan ini terlihat

sebagai daerah bergaris-bergaris opaque yang ukuranya bervariasi

dengan batas lesi yang tidak jelas.kreteria yang kabur dan gambar yang

kurang jelas ini sering diduga sebagi pnemonia atau suatu proses

edukasi, yang akan tampak lebih jelas dengan pemberian kontrak,sebgai

mana gambaran dari penyakit fibrotik kronik, tidak jarang kelainan ini
30

tampak kurang jelas di bagian atas bawah, memanjang di daerah

klavikula atau satu bagia n lengan atas, dan selanjutnya tidak

mendapatkan perhatiaan kecuali dilakukan pemeriksaan rontgen yang

lebih teliti.

Klien dengan kelainan ini sering didapat tidak terdeteksi hingga

mencapai stadium lanjut, sehingga tidak jarang ditemukan kelainan

yang sudah lanjut dengan gambaran kavitas dan penyebaran

bronkhogenik ke paru lain maupun lobus bawah pada paru yang

bisa.pada klein lainnya, foto polos thoraks menampakkan konsolidasi

yang luas pada daerah segmental maupaun lobus paru

yangmenunjukkan adanya pneumonia TB.

Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi

hasil pengobatan dan ini tergantug pada tipe keterlibatan dan

kerentangan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis,apakah

sama sebaiknya dengan respon dari klien.pemyembuhan lengkap sering

kali terjadi di beberapa area daninilah observasi yang dapat terjadi pada

penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak menyolok pada klien

dengan penyakit akut yang relatif dimana prosesnya dianggap berasl

dari tingkat eksudatif yang besar.

Pada klien dengan kelainan progresif yang menyebabkan

nekrosis,penyembuhan yang tidak mungkin terjadi. Pada klien

ini,terjadi fibrosis yang disertai kontraksi dari jaringan parut. Selain

itu,terjadi pula penyusutan volume lobus yang terlibat atau segmen dan
31

hal ini kadang menurunkan ukuran hemithoraks. Struktur mediastinal

retraksi pada bagian yang terlibat,termasuk didalam hilum tertarik ke

lobus atas yang sakit dan kadang memidiafragma ditinggikan. Lesi yang

berisi jaringan granulasi sama baik dengan lesi kaseosi dan sering kali

di temukan sedikit nodulyang memperlihatkan pengurangan ukuran

secara bertahap. Nodul yang individual dapat lebih jelas diidentifikasi

melalui pemeriksaan ronteng. Demikian pula penyebab fibrosis dan

kontraksi.Tipe lesi ini sering kali menjadi tempat pengendapan kalsium

dan beberapa contoh menjadi klasifikasi yang padat seiring perjalanan

penyakit. Banyak dari lesi daerah sentral dengan nekrosis dapat

temukan organisme yang dapat hidup setelah periodi tidak efektif.

c. Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan CT Scan dilakukang untuk menemukan hubungan

kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran

garis-garis fibrotik ireguler,pita parenkimal,klasifikasi nodul, dan

adenopati,perubahan kelengkungan berkas bronkhovaskuler,

bronkhiektasis,dan emfisema, perisikatriksial.sebagiaman pemeriksaan

ronteng thoraks,penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya

berdasarkan pada temuan CT Scan pada pemeriksaan tunggal,namun

selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang negatif dan

pemeriksaan secara serial setiap saat.

Gambaran adanya kavitas sering ditemukan pada klien dengan TB

paru dan sering tampak pada gambar rontgen karena kavitas tersebut
32

membentuk lingkaran yang nyata atau bentuk oval radiolucent dengan

dinding yang cukup tipis,jika penampakan kavitas kurang jelas,dapat

dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk memastikan atau menyingkirkan

adanya gambar kavitas.pemeriksaan CT Scan sangat bermanfaat untuk

mendekteksi adanya pembentukan kavitas dan lebih dapat diandalkan

dari pada pemeriksaan rontgen thoraks biasa.

d. Radiologi TB paru milier

TB Scan milier terbagai menjadi 2 tipe,yaitu TB paru milier akut

dan TB paru milier subakut ( kronik ). Penyebaran milier terjadi setelah

infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh invasi pembuluh dara secara

masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang berat dan

sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT.

Pada bayi dan anak-anak,penyakit ini dapat di sebabkan oleh

penyebaran TB primer dan mengakibatkan manifestasi klinis yang

berat.keadaan ini biasa terjadi pada bayi-bayi dengan gizi buruk atau

penyakit kronis yang biasanya sangat rentang.pada sebgaian besar anak-

anak, jumlah bakteri hamya sedikit dalam tubuhnya ( hospase ), namun

cukup resisten untuk mencegah penyebaran milier sehingga tidak

menimbulkan manifestasi klinis.

Pada orang dewasa ,khususnya orang tua,angka kejadian penyakit

ini cukup tinggi dan sulit sekali diidentifikasi.hasil pemeriksaan rontgen

thoraks tergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier.nodul-nodul

dapat terlihat pada rontgen thoraks akibat tumpang tindih dengan lesi
33

parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul keil. Pada

beberapa klien,didapat kan berupa bentuk granula-granula halus atau

nodu-nodul sangat kecil yang menyebar secara difusi di kedua lapangan

paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus

yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis

tajam.

Pada klien lain,nodul-nodul tersebut dapat berupa garis garis tabel

yang tidak begitu tajam dengan daerah-daerah yang kabut di sekitarnya

.pada beberapa klien TB milier,tidak ada lesi yang terlihat pada hasil

rontgen thoraks,tetapi pada beberapa kasus,bentuk milier klasik

berkembang seiring dengan perjalan penyakit.

10. Penatalaksanaan medis Tuberkulosis

Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi

dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga dapat

dibagi menjadi obat utama dan tambahan. Obat anti tuberkulosis (OAT)

yang dipakai sebagai tatalaksana lini pertama adalah rifampisin, isoniazid,

pirazinamid, streptomisin, dan etambutol, yang tersedia dalam tablet

tunggal maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose combination). Jenis

obat lini kedua adalah kanamisin, kuinolon, dan derivat rifampisin dan

isoniazid.

Dosis OAT adalah sebagai berikut :

a. Rifampisin (R) diberikan dalam dosis 10 mg/KgBB per hari secara oral,

atau 10 mg/kgBB oral dua kali seminggu dengan perlakuan DOT,


34

maksimal 600 mg/hari. Dikonsumsi pada waktu perut kosong agar baik

penyerapannya.

b. Isoniazid (H) diberikan dalam dosis 5 mg/kgBB oral tidak melebihi 300

mg per hari untuk TB paru aktif, sedangkan pada TB laten pasien

dengan berat badan >30 kg diberikan 300 mg oral. Pemberian isoniazid

juga bersamaan dengan Piridoksin (vitamin B6) 25-50 mg sekali sehari

untuk mencegah neuropati perifer

c. Pirazinamid (Z) pada pasien dengan HIV negatif diberikan 15-30

mg/kgBB per hari secara oral dalam dosis terbagi, tidak boleh melebihi

dua gram per hari. Atau dapat diberikan dua kali seminggu dengan

dosis 50 mg/kg BB secara oral

d. Etambutol (E) pada fase intensif dapat diberikan 20 mg/kgBB.

Sedangkan pada fase lanjutan dapat diberikan 15 mg/kgBB , atau 30

mg/kgBB diberikan 3 kali seminggu, atau 45 mg/kgBB diberikan 2 kali

seminggu

e. Streptomisin (S) dapat diberikan 15 mg/kgBB secara intra muskular,

tidak melebihi satu gram per hari. Atau dapat diberikan dengan dosis

dua kali per minggu, 25-30 mg/kgBB secara intra muskular, tidak

melebihi 1,5 gram per hari

Panduan pemberian OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :

a. Kategori 1 : 2RHZE/4RH3
35

Kategori 1 ; OAT Kategori 1 diberikan pada pasien baru, yaitu

pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis, TB paru terdiagnosis

klinis, dan pasien TB ekstra paru. OAT kategori 1 diberikan dengan

cara RHZ diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan RH 4 bulan.

b. Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5RH3E

Kategori 2 ; OAT Kategori 2 diberikan pada pasien BTA

positif yang sudah diberikan tatalaksana sebelumnya, yaitu pada

pasien kambuh, pasien gagal pengobatan dengan kategori 1, dan

pasien yang diobati kembali setelah putus obat.

Terapi MDR-TB Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak

pernah diberikan sebelumnya, dimana obat-obat tersebut masih

sensitif secara in vitro. Jangan gunakan obat yang sudah

resisten. Ada baiknya mengonsultasikan pasien dengan MDR-TB

kepada spesialis penyakit paru.

Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada

pasien dengan MDR-TB, dengan catatan bahwa obat-obat ini masih

sensitif :

a. Grup 1: first- lineterapi oral, misalnya: pirazinamid, etambutol,

rifampisin

b. Grup 2: injeksi, misalnya: kanamisin, amikasin, capreomycin,

streptomisin
36

c. Grup 3: golongan fluoroquinolon, misalnya: levofloksasin,

moxifloksasin, ofloksasin

d. Grup 4: second- lineterapi oral bakteriostatik, misalnya:

cycloserine, terizidone, asam para aminosalisilat (PAS),

etionamide, protionamide

e. Grup 5: obat-obat ini tidak dianjurkan oleh WHO untuk

penggunaan rutin karena efektifitasnya masih belum

jelas. Namun diikutsertakan dengan alasan bahwa bilamana ke 4

grup obat tersebut diatas tidak mungkin diberikan kepada pasien,

seperti pada XDR-TB.

Penggunaan obat ini mesti dikonsultasikan terlebih dahulu dengan

spesialis penyakit paru. Contoh obatnya: clofazimine, linezolid,

amoksisilin klavulanat, thiocetazone, imipenem/cilastatin,

klaritromisin, INH dosis tinggi. Kehamilan ; Pada prinsipnya

pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB

pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk

kehamilan, kecuali streptomisin dan kanamisin yang bersifat ototoksik

pada janin. Pemberian kedua obat tersebut akan menyebabkan

gangguan pendengaran dan keseimbangan pada bayi ketika lahir.

Pada ibu hamil yang mengkonsumsi OAT, dianjurkan pemberian

piridoksin 50 mg/hari. Vitamin K juga dianjurkan diberikan dengan

dosis 10 mg/hari jika rifampisin digunakan pada trimester ketiga.


37

Ibu Menyusui :Pada prinsipnya, pengobatan OAT pada ibu

menyusui tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya.

Semua jenis OAT aman bagi ibu menyusui. Tatalaksana OAT yang

adekuat akan mencegah penularan TB ke bayi. Untuk bayi yang

menyusu dari ibu penderita TB, terapi profilaksis isoniazid dapat

diberikan.rawat inap Umumnya pasien dengan tuberkulosis paru (TB

Paru) tidak perlu dirawat inap. Namun akan memerlukan rawat inap

pada keadaan atau komplikasi berikut :

a. Batuk darah masif

b. Keadaan umum dan tanda vital buruk

c. Pneumotoraks

d. Empiema

e. Efusi pleural masif/bilateral

f. Sesak nafas berat yang tidak disebabkan oleh efusi pleura

Kriteria Sembuh seseorang pasien Tuberkulosis paru (TB

Paru) dianggap sembuh apabila memenuhi kriteria :

a. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan

akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang

adekuat

b. Pada foto toraks, gambaran radiologik tetap sama atau

menunjukkan perbaikan
38

c. Apabila dilakukan biakan, ditemukan biakan negatif

Monitoring pada tuberkulosis paru (TB paru) dilakukan dengan

dua tujuan, yaitu evaluasi pengobatan dan evaluasi komplikasi

maupun efek samping obat.

Evaluasi Pengobatan Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik,

radiologik, dan bakteriologik. Pada evaluasi klinik, penderita diperiksa

setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan, kemudian

dilanjutkan setiap 1 bulan. Hal yang dievaluasi adalah keteraturan

berobat, respon pengobatan, dan ada tidaknya efek samping

pengobatan. Pada setiap kali follow up, pasien dilakukan pemeriksaan

fisik dan berat badan diukur.

Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya

konversi dahak. Evaluasi ini dilakukan sebelum memulai pengobatan,

setelah fase intensif, dan pada akhir pengobatan. Evaluasi dilakukan

berdasarkan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) atau biakan apabila

tersedia.

Evaluasi radiologik dilakukan menggunakan foto rontgen toraks.

Evaluasi dilakukan sebelum memulai pengobatan, setelah fase

intensif, dan pada akhir pengobatan. Pada penderita yang telah

dinyatakan sembuh, evaluasi tetap dilakukan selama 2 tahun pertama

untuk mendeteksi adanya kekambuhan. Pemeriksaan BTA dilakukan

pada bulan ke-3, 6, 12, dan 24 setelah dinyatakan sembuh. Sedangkan


39

pemeriksaan foto rontgen dada dilakukan pada bulan ke-6, 12, dan 24

setelah dinyatakan sembuh.

Evaluasi Efek Samping Obat Pasien TB yang diberikan

pirazinamid harus diperiksa baseline serum asam urat dan tes fungsi

hati. Sedangkan pasien yang diterapi etambutol mesti diperiksa

baseline ketajaman penglihatannya dan juga secara periodik dilakukan

tes buta warna merah-hijau, menggunakan tes Ishihara

Pasien yang mendapat suntikan streptomisin dimonitor ketajaman

pendengarannya, tes fungsi ginjal secara berkala, dan pemeriksaan

neurologis berkala. Monitoring ini terintegrasi dalam program

nasional bersama WHO, yaitu strategi DOTS (Directly Observed

Treatment, Short-course) sejak tahun 1995, yang dalam

perkembangannya menghadapi banyak tantangan, sehingga diperluas

pada tahun 2005 menjadi strategi Stop TB untuk mengoptimalkan

mutu DOTS.

Pembiayaan pengendalian program TB yang lebih banyak

berpusat kepada aspek kuratif masih bergantungan pada pendanaan

dari donor internasional selain alokasi APBD yang masih rendah

[1]. Khusus warga DKI Jakarta yang berobat TB melalui puskesmas,

pemprov DKI memberikan subsidi pengobatan TB secara gratis. Pada

tingkat pertama, pasien yang datang ke puskesmas akan ditangani oleh

seorang dokter umum, dan bilamana dianggap perlu, pasien TB


40

dirujuk ke rumah sakit setempat yang memiliki fasilitas pemeriksaan

spesialistik.

11. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut

menurut (Wahid, A & Suprapto, I, 2013), yaitu:

a. Hemomtisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya

jalan nafas.

b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.

c. Bronkiektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.

d. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps

spontan karena kerusakan jaringan paru.

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal

dan sebagainya.

f. Insufiensi kardio pulmoner.

B. Tinjauan Tentang Multi Drug Resisten ( MDR )

1. Definisi

Tuberkulosis (TB) resisten obat adalah dimana kuman M.tuberkulosis

sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT). Terdapat 5

kategori resisten terhadap obat anti TB (OAT):

a. Mono-resistensi : resistan terhadap salah satu OAT


41

b. Poly-resistance : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT, selain

kombinasi isoniazid (H), dan rifampicin(R).

c. Multidrug Resistance (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampicin

secara bersamaan dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain.

d. Extensively Drug Resistance : TB MDR disertai dengan resistensi

terhadap golongan fluorokuinolon dan salah satu OAT injeksi lini kedua

(Kanamisin, Amikasin, dan Kapreomisin )

e. TB resistan Rifampisin (TB RR) : resistan terhadap rifampisin (mono-

resistance, poli-resitance, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi dengan

menggunakan metode fenotip dan genotip dengan atau tanpa resistan

terhadap OAT lainnya.

2. Diagnosis

Kriteria Terduga TB resisten Obat :

1. Pasien TB gagal dengan pengobatan kategori 2

2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan

pengobatan

3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar

serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal

selama satu bulan

4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal

5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan

pengobatan

6. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2


42

7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default

8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB

MDR

9. Pasien ko-infeksin TB-HIV yang tidak respons secara baik klinis

maupun bakteriologis dengan pemberian OAT (bila penegakkan

diagnosis awal tidak menggunakan Gene Xpert)

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis

dilakukan dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu

metode konvensional dan metode tes cepat (rapid test).

a. Metode Konvesional

1. Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ) atau media

cair (MGIT).

2. Digunakan untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama dan

OAT lini kedua

c. Tes cepat (rapid Test)

1. Menggunakan Xpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan

GeneXpert seperti :

a) Merupakan tes amplikasi asam nukleat secara otomatis

sebagai sarana deteksi TB dan uji kepekaan untuk

rifampisin.

b) Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang

lebih 2 jam.
43

c) Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin

2. Menggunakan Line probe assay (LPA):

a) Dikenal sebagai Hain test/Genotype MTB DR plus

b) Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang

lebih 24-48 jam, tergantung ketersediaan sarana dan sumber

daya yang ada.

c) Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin dan

Isoniasid

4. Klasifikasi Dan Tipe Pasien TB RO

Klasifikasi pasien TB Resistan obat mengikuti klasifikasi baku

untuk pasien TB, yaitu:

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi penyakit :

1. Paru: apabila kelainan ada di dalam parenkim paru.

2. Ekstra paru: apabila kelainan ada pada organ di luar parenkim

paru, dibuktikan dengan hasil pemeriksaan bakteriologis resistan

obat dari sampel pemeriksaan yang diambil di luar parenkim

paru. Catatan:Bila dijumpai kelainan di paru maupun di luar paru

maka pasien di registrasi sebagai pasien TB RR/TB MDR dengan

klasifikasi TB RR/TB MDR Paru.

b. Pasien TB RR/TB MDR diregistrasi sesuai dengan klasifikasi pasien

berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, sebagai berikut:


44

1. Pasien baru: pasien yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau pernah di obati menggunakan OAT kurang

dari 1 bulan.

2. Pengobatan ulang :

1) Kasus gagal pengobatan kategori 1 : pasien memperoleh

pengobatan dengan paduan kategori 1 dengan hasil pemeriksaan

dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan

kelima atau lebih selama pengobatan.

2) Kasus gagal pengobatan kategori 2: pasien yang memperoleh

pengobatan ulangan dengan paduan kategori 2 dengan hasil

pemeriksaan dahaknya positif atau kembali menjadi positif pada

bulan ke lima atau lebih selama pengobatan. Hal ini

ditunjang dengan dengan rekam medis yang menunjukkan adanya

riwayat pengobatan TB sebelumnya.

3) Kasus kambuh (relaps): pasien TB yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap yang kemudian didiagnosis kembali

sebagai kasus TB rekuren berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis dahak baik secara mikroskopis, biakan atau tes

cepat.

4) Kasus lalai berobat/ default/ loss to follow-up: pasien yang

kembali berobat setelah loss to follow-up / berhenti berobat

paling sedikit 2 bulan baik dengan pengobatan kategori-1 atau


45

kategori-2 serta hasil pemeriksaan bakteriologis menunjukkan

hasil positif baik secara mikroskopis, biakan atau tes cepat.

5) Pernah diobati namun tidak diketahui hasilnya: pasien

yang telah mendapatkan pengobatan TB > 1 bulan tetapi

hasil pengobatannya tidak diketahui atau tidak terdokumentasi.

5. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat (MTPTRO)

Indonesia menjadi pelopor dalam pengembangan kebijakan yang

sejalan dengan strategi global untuk mengendalikan TB dan TB RO. Pada

awal tahun 2016, Program Nasional Pengendalian TB Mengembangkan

Strategi Nasional 2016-2020 dengan visi :” Indonesia Bebas TB”, sehingga

tidak ada lagi kematian, penyakit dan penderitaan aibat TB. Dimana tujuan

utama adalah untuk mengakhiri epidemi TB di Indonesia. Program TB

sudah mengadopsi strategi global sejak tahun 1995. Munculnya TB RO

sebagai ancaman di Indonesia telah mendorong program TB untuk

memulai langkah-langkah pencegahan dan pengendalian TB RO di

Indonesia.

Sebagai respon dari munculnya tantangan TB RO, maka program TB

membuat rencana jangkah panjang yang bertujuan untuk mencegah dan

mengendalikan penularan TB resistan obat melalui program Manejemen

Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO). MTPTRO

mempunyai 2 metode yaitu :


46

1. Metode DOTS

Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) merupakan

suatu pengawasan langsung menelan obat jangka pen dek setiap hari

oleh pengawas menelan obat (PMO) (WHO, 2003). DOTS dapat

diartikan dengan keharusan setiap pengelola program untuk memberi

direct attention dalam usaha menemukan penderita. Pengertian lain

adalah setiap pasien harus diobservasi dalam meminum obatnya, setiap

obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Hal inilah

yang disebut DOTS, yang merupakan salah satu komponen dari konsep

DOTS secara keseluruhan (Yoga Tjandra, 2002).

Strategi DOTS adalah strategi pengobatan yang komprehensif

yang digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di dunia untuk

mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB paru. Strategi DOTS

diartikan sebagai berikut ( Wahab, 2003)

a. D ( Directly)

Dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop untuk menentukan

apakah ada kuman TB atau tidak. Jadi, penderita dengan pemeriksaan

sputum BTA positif langsung diobati sampai sembuh

b. O (Observed)

Ada observer yang mengamati pasien dalam minum obatd dengan

dosis tepat, dapat berupa seorang tenaga kesehatan atau kader.


47

c. T (Treatment)

Pasien disediakan pengobatan lengkap serta dimonitor. Pasien

harus diyakinkan bahwa mereka akan sembuh setelah pengobatan

selesai. Alat monitor berupa buku laporan yang merupakan bagian

dari sistem dokumen kemajuan dalam penyambuhan.

d. S (Shortcourse)

Pengobatan TB dengan kombinasi dan dosis yang benar.

Pengobatan harus dilakukan dalam jangka waktu yang benar selama

6 bulan.

2. Komponen Strategi DOT

WHO telah memperkenalkan strategi DOTS sebagai pendekatan

terbaik untuk menanggulangi TB. Sistem DOTS terdiri dari 5

komponen, yaitu:

a. Komiten Politis Pemerintah dengan Peningkatan dan Penjaminan

Pendanaan

Salah satu unsur penting dalam penerapan DOTS adalah komitmen

yang kuat dari pimpinan, termasuk dukungan adminitrasi dan

operasionalnya. Kecukupan anggaran masih harus didukung oleh

SDM di bidang kesehatan khususnya pengelola program TB di semua

tingkat pelayanan kesehatan yang harus dipenuhi tidak hanya dalam

jumlah dan pemerataan penyebarannya, tetapi kompetensi dan

motivasinya. Guna mencukupi kebutuhan diperlukan anggaraan mulai

pendidikan tenaga kesehatan, rekrutmen, peningkatan kapasitas yaitu


48

pelatihan fungsional dan penggajiannya. Program hanya bisa berjalan

jika digerakkan oleh manusia dan semuanya membutuhkan dana yang

cukup dan berkesinambungan di semua level dan jejaring sistem

kesehatan (Muljono, 2013).

b. Penemuan Kasus Melalui Pemeriksaan Dahak Mikropis

Pemeriksaan biasanya dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium

untuk menemukan BTA positif. Metode pemeriksaan dahak sewaktu,

pagi, sewaktu (SPS) dengan pemeriksaan mikroskopis biasanya

menggunaan pewarnaan panas dengan metode Ziehl Neelsen (ZN).

Dahak yang baik untuk diperiksa adalah dahak yang kental dan

purulen berwarna hijau kekuning-kuningan dengan volume 3-5 ml tiap

pengambilan. Untuk menegakkan diagnosa TB paru dibutuhkan 3

spesimen dahak yaitu dahak SPS dan sebaliknya dikumpulkan dua

hari kunjungan yang berurutan. Untuk dapat melihat BTA dalam

dahak penderita, maka dibuat sediaan hapusan lalu difiksasi selama 3-

5 menit. Hapusan dahak yang telah difiksasi tersebut harus dilanjutkan

dengan pewarnaan metode Ziehl Neelsen. Cara pewarnaannya adalah

sebagai berikut:

1. Menyediakan dahak yang telah difiksasi diteteskan Carbol Fuchsin

0,3% sampai menutupi seluruh permukaan sediaan

2. Memanaskan dengan nyala api sampai keluar uap selama 3-5 menit

zat warna tidak boleh mendidih atau kering yang mengakibatkan


49

Carbol Fuchsin 0,3% akan terbentuk kristal yang dapat terlihat

seperti bakteri TB, diamkan selama 5 menit.

3. Membilas dengan air mengalir pelan hingga zat pewarna yang

bebas terbuang, lalu teteskan HCL Alkohol 3% sampai warnaa

merahh Fuchsin hilang.

4. Membilas dengan air mengalir pelan, lalu tetskan Methylene Blue

0,3% hingga menutupi seluruh permukaan dan diamkan 10-20

detik.

5. Membilas dengan air mengalir pelan, lalu keringkan di atas rak

pengering di udara terbuka (jangan di bawah matahari langsung).

6. Sediaan siap untuk dibaca di bawah mikroskop (Kemenkes, 2012)

c. Pengobatan yang Standar dengan Supervisi dan Dukungan Pasien

Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan pengawas

menelan obaat (PMO). Persyaratan PMO adalah seseorang yang

dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun

pasien, selain itu harus disegani dan pasien, seseorang yang tinggal

dekat dengan pasien, bersedia membantu pasien dengan sukarela,

bersedia dilatih atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

pasien.

Tugas PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat

secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada

pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa

ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan


50

pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala

mencurigakan TB untuk memeriksakan diri ke Puskesmas (Kemenkes,

2014)

d. Pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif

Pencapaian angka keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada

efektivitas sistem logistik dalam menjamin ketersediaan obat (untuk

obat lini pertama dan kedua) dan logistik non-obat secara kontinyu.

Berbagai intervensi yang dikembangkan untuk meningkatkan

efektivitas sistem logistik dalam program pengendalian TB mencakup

memfasilitasi perusahaan obat lokal dalam proses pra-kualifikasi (white

listing), memastikan ketersediaan obat dan logistik non-OAT yang

kontinyu, tepat waktu dan bermutu di seluruh fasilitas pelayanan

kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS, termasuk di fasilitas

yang melayani masyarakat miskin dan rentan, menjamin sistem

penyimpanan dan distribusi obat TB yang efektif dan efisien termasuk

kemungkinan untuk bermitra dengan pihak lain, menjamin distribusi

obat yang efisien dan efektif secara berjenjang sesuai kebutuhan,

menjamin terlaksananya sistem informasi manajemen untuk obat TB.

e. Monitoring, pencatatan, dan pelaporan yang mampu memberikan

penilaan terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang

sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TB paru.

Monitoring dan evaluasi program tidak mungkin dapat dilakukan tanpa


51

adanya keseragaman dalam pencatan dan pelaporan. Oleh karena itu,

semua unit pelaksana TB harus dapat melaksanakan sistem pencatatan

dan pelaporan yang baku (Depkes RI, 2001).

2. Manajemen Kasus TB resistan Obat Secara Terstandarisasi

Manajemen tersebut Terbagi menjadi dua kategori yaitu :

a. Rejimen Standar

a) Rejimen TB RO standar (20-26 bulan)

Catatan : Ethambutol diberikan bila masih sensitif dari

hasil pemeriksaan resistensi obat / Drug Sensitivity Test (DST)

b) Rejimen TB RO standar jangka pendek / shorter regiment (9-11

bulan)

b. Rajimen Individual

a) OAT individual untuk pasien TB MDR yang resisten atau alergi

terhadap fluorokuinolon tetapi sensitif terhadap OAT lini kedua

(Pre XDR) Pasien Baru :

b) OAT individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi

terhadap OAT suntik lini kedua tetapi sensitif terhadap

fluorokuinolon (Pre-XDR) Pasien Baru:


52

Pasien Pengobatan Ulang :

c) Paduan OAT individual untuk pasien TB XDR

6. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian MDR

1. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan MDR TB

WHO (2014) menyebutkan apablila penderita TB tidak patuh

dalam meminum obat anti tuberkulosis, maka hasil akhir yang

dikhawatirkan adalah adanya kegagal- an penyembuhan TB ditambah

dengan timbulnya basil-basil TB yang resisten ter- hadap obat

tuberkulosis. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan ada

hubungan langsung antara kepatuhan pasien dalam minum obat

tuberkulosis dengan kejadian MDR TB yang bersifat negatif dan

signifikan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian oleh Hirpa et al.

(2013) yang menyebutkan bahwa faktor yang paling dominan yang

dapat mem- pengaruhi langsung kejadian MDR TB adalah

ketidakpatuhan pengobatan pasien tuberkulosis.

Zhdanov et al., (2017) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan

pengobatan yang sering terjadi pada fase aktif dua bulan pertama yang

diakibatkan karena pasien sudah merasa enakan dan berhenti pengobatan.

Hal tersebut yang dapat memicu terjadinya kekambuhan maupun

resistensi terhadap obat tuberkulosis. Khan et al., (2017) dan Patel et al.
53

(2017) menyebutkan bahwa pasien tuberkulosis yang patuh akan

pengobatan dilaporkan memiliki risiko untuk MDR TB lebih rendah. Hal

ini dapat disebabkan karena dengan pengobatan yang tuntas dan sesuai

anjuran maka tidak terjadi tuberkulosis berulang yang dapat memicu

terjadi kepekaan terhadap obat .

2. Hubungan Merokok dangan MDR TB

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan langsung

antara merokok dengan kejadian MDR yang bersifat positif dan

signifikan. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian

sebelumnya yang menyebutkan bahwa terdapat pengaruh antara

kebiasaan merokok saat ini maupun riwayat merokok dengan keadaan

MDR yang terjadi (Molalign and Wencheko, 2015)

Ditemukan merokok menyebab kansistem kekebalan tubuh

menjadi turun. Selain dapat memperburuk keadaan tuberkulosis

menjadi resisten terhadap obat, juga dapat menyebabkan risiko

kekambuhan ketika tuberkulosis sudah diobati (Mollel and Chilongola,

2017). Akibat tingkat keparahan pada kelompok merokok dapat

menyebabkan semakin tingginya risiko resis- tensi obat hingga

meningkatnya angka kematian. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan

bahwa hampir seperlima beban akibat penyakit tuberkulosis dapat

dicegah dengan mengeliminasi perilaku merokok (Bonacciet al., 2013).

Belchior et al., (2016) menambahkan bahwa merokok dapat

memperburuk manisfestasi penyakit TB.


54

3. Hubungan status gizi dengan MDR TB

Nutrisi dibutuhkan dalam proses memperbaiki jaringan dan

mencegah penyakit. Hubungan antara TB dan gizi buruk sudah lama

diketahui. Kekurangan gizi memperlemah kekebalan tubuh, sehingga

meningkatkan kemungkinan TB yang resisten terhadap obat (WHO,

2013). Hasil analisis menunjukkan ada hubungan langsung antara status

gizi dengan kejadian MDR TB yang bersifat negatif dan signifikan.Hasil

penelitian ini didukung oleh penelitian Hicks et al. (2014) yang

menyebutkan bahwa salah satu faktor mempengaruhi kejadian MDR TB

bahkan berlanjut pada kematian yakni status gizi yang buruk pada

pasien tuberkulosis. Putri et al. (2014) menyebutkan bahwa staus gizi

yang buruk menyebabkan pengobatan pada pasien tuberkulosis menjadi

tidak efektif dan menyebabkan tidak terjadinya konversi kultur sputum

pada tahap awal pengobatan MDR TB.

Dijelaskan oleh Park et al. (2016) dan Tang et al.(2013) bahwa

staus gizi yang buruk banyak ditemukan pada pasien yang mengalami

resistensi obat tuber- kulosis karena menurunnya imunitas tubuh

sehingga mengganggu sistem kekebalan terhadap mycobacteruim

tuberculosis. Imunitas tubuh pasien yang tidak baik akan berpengaruh

pada semakin parahnya penyakit atau menjadi resisten terhadap obat

tuberkulosis(Sun et al., 2017).


55

4. Hubungan Persepsi Kerentanan dengan MDR TB melalui

Kepatuhan Minum Obat

Rosenstock et al., (1988) menyebutkan bahwa HBM merupakan

salah satu model tertua membahas kesiapan untuk melaku- kan perilaku

sehat berdasarkan beberapa keyakinan atau persepsi individu. Hasil

analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara

persepsi kerentanan dengan kejadian MDR TB melalui variabel

kepatuhan pasien dalam minum obat tuberkulosis. Hubungan langsung

antara persepsi kerentanan dengan kepatuhan minum obat bersifat positif

dan signifikan. Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan sebelumnya

yang menyebutkan bahwa peran keyakinan individu yang pada HBM

berpengaruh terhadap keputusan individu dalam meningkatkan perilaku

sehat salah satunya yakni kepatuhan dalam minum obat

tuberkulosis (Johari et al., 2014; Tola et al., 2016).

5. Hubungan Persepsi keseriusan dengan MDR TB melalui kepatuhan

minum obat

HBM menjelaskan mengenai persepsi kese- riusan atau keparahan

yang ada dalam diri individu dan dapat mempengaruhi individu tersebut

dalam bertindak (Simpson, 2015). Hasil analisis menunjukkan bahwa

ada hubungan tidak langsung antara persepsi keseriusandengan kejadian

MDR TB me- lalui variabel kepatuhan pasien dalam minum obat

tuberkulosis. Hubungan langsung antara persepsi kerentanan dengan

kepatuhan minum obat bersifat positif dan signifikan. Tindakan individu


56

untuk melakukan pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong

pula oleh keseriusan penyakit tersebut. Semakin berat risiko penyakit

maka semakin besar kemungkinan individu tersebut merasa terancam.

Ancaman ini mendorong tindakan individu untuk melakukan tindakan

pencegahan dan penyembuhan penyakit (Tang et al., 2015; Woimo et

al., 2017).

6. Hubungan persepsi manfaat dengan MDR TB melalui Kepatuhan


Minum Obat
Sesuai model HBM maka individu memiliki persepsi mengenai

manfaat yang akan dirasakan jika melakukan perubahan peri- laku

(Burke, 2015). Hasil analisis menun- jukkan bahwa ada hubungan tidak

lang- sung antara persepsi manfaat dengan ke- jadian MDR TB melalui

variabel kepatuhan pasien dalam minum obat tuberkulosis. Hubungan

langsung antara persepsi man- faat dengan kepatuhan minum obat

bersifat positif dan signifikan.

Hasil temuan ini sesuai dengan penelitian Horne et al.(2013) yang

menyebutkan bahwa pasien yang meyakini bahwa pengobatan yang

dijalani akan berdampak positif bagi dirinya akan lebih patuh dengan

pengobatan yang dijalani. Selain itu, seseorang memiliki persepsi tinggi

terhadap manfaat dari pengobatan tuberkulosis, maka akan mengurangi

segala kendala atau hambatan yang dirasakan. Berdasarkan penelitian

Viegas et al. (2014), persepsi manfaat dapat ditingkatkan dengan

adanya komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien

TB. Diharapkan dengan komunikasi yang baik, tenaga kesehatan dapat


57

memberikan edukasi yang tepat mengenai manfaat dan pentingnya

pengobatan yang teratur.

7. Hubungan Persepsi Hambatan dengan MDR TB melalui Kepatuhan

Minum Obat

Berdasarkan konsep HBM bahwa individu memiliki persepsi

mengenai hambatan yang dirasakan sehingga dapat mempengaruhi

individu untuk tidak mengubah perilakunya (Burke, 2015). Hasil analisis

menun- jukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara persepsi

hambatan dengan MDR TB melalui variabel kepatuhan pasien dalam

minum obat tuberkulosis. Hubungan langsung antara persepsi hambatan

dengan kepatuhan minum obat bersifat negatif dan signifikan. Hasil

temuan ini didukung oleh penelitian Baral et al. (2014); Boru et al.

(2017); Herrero et al. (2015) yang memaparkan bahwa keyakinan pasien

tuberkulosis mengenai hambatan dapat menurunkan kepatuhan dalam

menjalani pengobatan TB. Secara garis besar hambatan tersebut adalah

hambatan finansial dan hambatan sosial.

Ditambahkan bahwa ketika keyakinan pasien akan hambatan

atau kendala berkurang atau hilang, maka kepatuhan akan meningkat. Hal

ini dibuktikan dengan peningkatan keteraturan pengobatan saat diberikan

bantuan secara gratis selama pengobatan TB. Keteraturan pengobatan

tersebut diharapkan dan diyakini dapat menurunkan kerjadian resistensi

terhadap obat tuberkulosis (Eastment et al.,2017; Tupasi et al.,2017;

Zhang et al.,2015). Shringarpure et al. (2016) menyebutkan bahwa letak


58

geografis juga berpeng- aruh terhadap kepatuhan pasien dalam

pengobatan tuberkulosis. Medan jalan yang sulit ditempuh ke pelayanan

kesehatan, transportasi yang sulit untuk pergi ke fasilitas kesehatan

ataupun karena jarak yang terlalu jauh membuat pasein tuberkulosis

enggan memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan yang terpercaya

8. Hubungan dukungan PMO dengan MDR TB melalui kepatuhan

minum obat

Cues to Action merupakan bagian dari HBM yakni segala sesuatu

yang mendorong keputusan dalam mengubah perilaku (Hoorn et al.,

2016). Hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara

Dukungan PMO dengan kejadian MDR TB melalui variabel kepatuhan

pasien dalam minum obat tuberkulosis. Hubungan langsung antara

dukungan PMO dengan kepatuhan minum obat bersifat positif dan

signifikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian

sebelumnya yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara dukungan pengawas minum obat selama pengobatan

dengan kepatuhan minum obat. Dipaparkan oleh Craig and Zumla

(2015) dan Deshmukh et al.(2015) bahwa setelah dilakukan wawancara

secara mendalam dengan pasien, ditemukan fenomena bahwa pasien

yang tidak memiliki dukungan atau dorongan dari keluarga untuk

minum obat tuberkulosis maka memiliki kecenderungan untuk mudah

putus asa dalam menjalankan pengobatannya. Pengetahuan yang baik

mengenai penya-kit tuberkulosis perlu diimbangi dengan adanya


59

dukungan orang terdekat atau PMO agar tidak memperburuk keada- an

apabila pasien depresi. Pasien tuberkulosis yang hidup sendiri dan jauh

dari keluarga atau tetangga akan lebih memung- kinkan untuk

menghentikan pengobatan tuberkulosis sebelum waktunya (Ali and Prins,

2016; Khanal et al., 2017).

9. Hubungan Efikasi Diri dengan MDR TB melalui Kepatuhan Minum

Obat

Self-Efficacy merupakan salah satu komponen dari HBM. Jika

individu tidak percaya atau yakin dapat berhasil melakukan perubahan

perilaku, maka mereka tidak akan dapat melakukannya (Simpson,

2015). Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung

antara efikasi diri dengan kejadian MDR TB melalui variabel kepatuhan

pasien dalam minum obat tuberkulosis. Hubungan langsung antara efikasi

diri dengan kepatuhan minum obat bersifat positif dan signifikan. Hal ini

didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa

kepercayaan diri yang rendah akan berdampak pada ketidakpatuhan

pengobatan (Diefenbach-Elstob et al., 2017; Muhammed et al., 2015).

Ditambahkan oleh Sanchez-Padilla et al.(2014) bahwa pengetahuan

pasien mengenai pengobatan TB perlu didukung dengan adanya

keyakinan pasien TB untuk mampu atau dapat menjalani pengobatan

tuberkulosis dengan patuh agar tidak putus. Kepercayaan diri pasien

tersebut dapat dibangun dari lingkungan sekitar.


60

10. Hubungan pengetahuan pengobatan dengan MDR TB melalui

kepatuhan Minum obaT

Pengetahuan seseorang dapat di pengaruhi oleh berbagai faktor

seperti pendidikan pekerjaan dan umur, lingkungan sosial dan budaya.

Pengetahuan yang baik sangat dibutuhkan untuk menanggulangi

terjadinya penyakit tuberkulosis. Semakin tinggi tingkat pengetahuan

yang dimiliki seseorang maka akan memberikan kontribusi yang pada

terbentuknya sikap yang baik termasuk mempengaruhi termasuk

mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien. Semakin baik pengetahuan

pasien tentang tentang kepatuhan maka semakin tinggi pula pasien

akan patuh terhadap pengobatan sesuai jadwal. Salah satu faktor yang

mempengaruhi kepatuhan pasien adalah tingkat pemgetahuan, ketika

pengetahuan tentang pasien rendah maka pasien akan cenderung tidak

patuh dalam pengobatan. Ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan

dapat memperburuk resiko berkembangnya masalah kesehatan atau

memperburuk penyakit yang diderita.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Suyanto dan Sarmen

(2017) menunjukkan bahwa gambaran tingkat pengetahuan penderita

tuberkulosis tentang kepatuhan dalam kategori cukup.

11. Hubungan minum alkohol dengan MDR TB melalui merokok

Kebiasaan minum alkohol dapat berdampak pada kebiasaan atau

perilaku seseorang untuk cenderung merokok (Pedro et al., 2017).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung


61

antara minum alkohol dengan kejadian MDR TB melalui variabel

merokok. Hubungan langsung antara minum alkohol dengan merokok

bersifat positif dan signifikan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian

sebelumnya yang menyebutkan bahwa konsumsi alkohol merupakan

salah satu predisposisi perilaku merokok (Kuchuk- hidze et al., 2014;

Zhang et al., 2017).

Berdasarkan hasil temuan Skrahina et al, (2013) bahwa

penyalahgunaan alkohol dan gangguan penggunaan alkohol diketahui

berperan dalam pengembangan TB dan juga hasil pengobatan TB.

Namun, hubung- an antara alkohol dan MDR TB mungkin bukan

hubungan kausal langsung. Gaete and Araya (2017) dan Jawad et al.,

(2014) mendapatkan hasil penelitian bahwa sese- orang yang merokok

setelah ditelusuri merupakan mantan peminum alkohol atau bahkan

masih meminum alkohol. Kon- sumsi alkohol dan perilaku merokok

meru- pakan fenomena yang berdampingan .

12. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan MDR TB melalui Merokok

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung

antara tingkat pendidikan dengan kejadian MDR TB melalui variabel

merokok. Hubungan lang- sung antara tingkat pendidikan dengan

merokok bersifat negatif dan signifikan. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan sebelumnya, bahwa tingkat pendidikan

memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku merokok. Tingkat

pendidikan yang baik maka diharapkan seseorang memiliki kesadaran


62

bahaya merokok bagi dirinya sendiri maupun orang lain (Silva et al.,

2017). Mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah memilkiki

peluang yang lebih tinggi untuk menjadi perokok. Hal ini dapat

disebabkan karena seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih

tinggi akan lebih mudah menerima dan menyerap informasi mengenai

bahaya merokok (Yaya et al., 2017). Diperoleh dari hasil studi Pärna

et al. (2014) bahwa aktivitas me- rokok dikalangan pria dan wanita

dengan pendidikan tinggi cenderung menurun secara signifikan.


BA B III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual Penelitian

Kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian

yang dilakukan dan memberi alasan kuat terhadap topik yang dipilih sesuai

dengan identifikasi masalahnya. Kerangka konsep harus didukung landasan

teori yang kuat serta ditunjang oleh informasi yang bersumber pada berbagai

laporan ilmiah, hasil penelitian, jurnal penelitian dan lainnya (Hidayat, AAA,

2014).

Variabel Independen Variabel Dependen

- Patuhan minum obat


- Pengawas Menelan Obat
- Pengetahuan Pengobatan
- Merokok
- Status Gizi

Kejadian
- Persepsi kerentana MDR TB
- Persepsi manfaat
- Persepsi keseriusan
- Persepsi hambatan
- Efikasi diri
- Minum alkohol
- Tingkat pendidikan

Bagan 3.1 : Kerangka Konsep

63
64

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: variabel yang di teliti

: variabel yang tidak di teliti

B. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini, adalah sebagai berikut :

a. Ha ( Hipotesis Alternatif)

1) Ada hubungan Kepatuhan Menelan Obat dengan kejadian MDR TB.

2) Ada hubungan pengetahuan berobat dengan kejadian MDR TB

3) Ada hubungan Pengawas Menelan Obat dengan kejadian MDR TB

4) Ada hubungan merokok denga kejadian MDR TB

5) Ada hubungan Status gizi dengan kejadian MDR TB


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang akan dilakukan dalam proses

penelitian. Berdasarkan tujuan peneliti, maka jenis penelitian yang digunakan

adalah survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional yaitu rancangan

penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat

bersamaan (sekali waktu) antara faktor yang berpengaruh dengan masalah

(Hidayat, 2014).

Dalam menyusun skripsi, metode penelitian harus diuraikan secara

rinci seperti variabel penelitian, rancangan penelitian, teknik pengumpulan

data, analisis data, cara penafsiran, dan penyimpulan hasil penelitian

(Hidayat, 2014).

B. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas obyek atau

subjek yang mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudian ditarik kesimpulannya

(Hidayat, 2014).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien menderita

penyakit MDR TB yang sedang menjalani pengobatan TB di RSUD

Labuang Baji Makassar sebanyak 88 responden.

65
66

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari sejumlah karakteristik yang dimiliki

oleh populasi yang digunakan untuk penelitian. Sampel merupakan bagian

populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang

dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2014).

3. Besar sampel

Rumus penentuan besar sampel sebagai berikut :

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑)2

Keterangan :

n : Besar sampel

N : Besar populasi

d : Tingkat signifikasi (p) (d= 0.05).

Jadi,sampel yang diambil dalam penelitian ini yaitu:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑)2

40
𝑛=
1 + 40(0,05)2

40
𝑛=
1 + 40(0,05)2

40
𝑛=
1 + 40(0,0025)

40
𝑛=
1 + 0,1

40
𝑛=
1,1
67

𝑛 = 36,3 𝑎𝑡𝑎𝑢 36

Jadi,sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 36

sampel.

a. Kriteria Inklusi

Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2016).

1) Pasien MDR TBn Di RSUD Labuang Baji Makassar

2) Pasien MDR TB yang bersedia menjadi responden.

3) Pasien MDR TB yang mempunyai Pengawas Menelan Obat

b. Kriteria Ekslusi

Kriteria Ekslusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek

yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2016).

1) Penderita TB Paru dengan HIV.

2) Penderita TB anak.

3) Pasien yang tidak koperatif

4. Teknik Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk

dapat mewakili populasi. Teknik sampling yang digunakan adalah

Purposive Sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara

memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki

peneliti (Nursalam, 2016).


68

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Penelitian

Variabel adalah karakteristik yang diamati variasi nilai dan

merupakan operasionalisasi sari suatu konsep agar dapat diteliti

secara empiris dan ditentukan tingkatnya Setiadi, (2013).

a. Variabel Independen

Variabel independen yaitu variabel yang dimanipulasi oleh

peneliti untuk menciptakan suatu dampak pada variabel terikat

(Variabel dependen) yaitu, kepatuhan minum obat,merokok, status

gizi, Pengawas Menelan Obat, dan Pengetahuan Pengobatan

b. Variabel Dependen

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh

variabel independen yaitu kejadian MDR TB


69

2. Definisi Operasional

Tabel Klasifikasi Dan Definisi Operasional

Variabel Devinisi Operasional Parameter Alat ukur Skala Skor


(variabel Kepatuhan minum obat sendiri 1= Patuh Kuesioner Gutman Patuh Jika responden

independen) kembali kepada kesesuaian 2= Tidak patuh (ordinal) memperoleh skor ≥ 3

Kepatuhan penderita dengan rekomendasi


Tidak patuh Jika responden
minum obat pemberi pelayanan yang
memperoleh skor < 3
berhubungan dengan waktu,

dosis, dan frekuensi pengobatan

selama jangka waktu pengobatan

yang dianjurkan
70

(variabel Pengetahuan yang di maksud 1 = baik Kuesioner Gutman - Di katakan pengetahuan


baik jika nilai ≥ 5,5
independen) adalah pengetahuan pengobatan 2 = kurang baik

Pengetahuan responden, semakin tinggi


- Dikatakan pengetahuan
pengobatan tingkat pengetahuan yang kurangaik jika nilai ≤ 5,5

dimiliki seseorang maka akan

memberikan kontribusi yang

pada terbentuknya sikap yang

baik termasuk mempengaruhi

termasuk mempengaruhi

tingkat kepatuhan pasien


71

(Variabel Pengawas Menelan Obat yang 1= berfungsi Kusioner Gutman Berfungsi jika responden

independen) dimaksud disini adalah petugas 2= tidak berfungsi ordinal memperoleh nilai ≥ 2

Pengawas kesehatan atau keluarga yang

mengawasi responden minum obat, Tidak berfungsi jika


Menelan Obat
selain ini bahwa pemahaman responden memperoleh nilai
Pengawas Menelan Obat dalam <2
mendukung pengobatan

(Varaibel 1= aktif Kusioner gutman


Merokok dapat menyebab kan - Dikatakan perokok aktif
independen ) 2= pasif
sistem kekebalan tubuh menjadi jika nilainya ≥3.5
Kebiasaan
turun. Selain dapat -
merokok
memperburuk keadaan

tuberkulosis menjadi resisten

terhadap obat, juga dapat

menyebabkan risiko
72

kekambuhan ketika tuberkulosis

sudah diobati

(variabel Nutrisi dibutuhkan dalam proses Untuk Lembar Ordinall


Jika hasil ukur IMT
independen ) memperbaiki jaringan dan mengetahui status observasi
- ≤18.50 maka di kategorikan
Status gizi mencegah penyakit. gizi pasien, yaitu, penelitian
under wegiht, hasil
Kekurangan gizi memperlemah under weight, status gizi
- 18.50-22,99 maka di
kekebalan tubuh, sehingga normal, over
kategorikan normal
meningkatkan kemungkinan TB weight obesitas

yang resisten terhadap obat


73

D. Alat dan Bahan Penelitian

Pengumpulan data menggunakan lembar kuisioner . Pengisian lembar

kuisioner dilakukan oleh responden dan dibantu oleh peneliti atau keluarga

jika responden tidak mampu menjawab pertanyaan yang ada pada kuisioner.

E. Instrumen Penelitan

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan

instrument penelitian yaitu kuesioner. Kuesioner merupakan alat ukur dengan

beberapa pertanyaan, dan alat ukur ini digunakan bila responden jumlahnya

besar dan tidak buta huruf (Hidayat, 2008). Kuesioner dalam penelitian ini

menggunakan jenis kuesioner checklist atau daftar cek yang merupakan daftar

yang berisi pernyataan atau pertan yaan yang akan diamati dan responden

memberikan jawaban dengan tanda (√) sesuai hasil yang diinginkan.

1. Kepatuhan minum obat

Kuesioner tertutup digunakan untuk menilaikepatuhan minum

obat responden yang terdiri dari 6 pertanyaan yang menggunakan

Skala gutman, jika responden menjawab ya = skor 1,jika responden

menjawab tidak = skor 0, mana dikatakan baik jika nilainya ≥ 3 dan

kurang baik jika nilainya < 3 yang dibuktikan dengan rumus :

(jumlah pertayaan × skor terendah) + ( jumlah pertayaan × skor tertinggi)


2
(6×0)+(6×1)
= 2

6
=2

=3
74

2. Pengetahuan Pengobatan

Kuesioner tertutup digunakan untuk menilai pengetahuan

berobat responden yang terdiri dari 11 pertanyaan yang menggunakan

bentuk pertayaan multiple choice, dengan skala gutman jika

responden menjawab ya maka diberi nilai 1, dan jika responden

menjawab tidak diberi nilai 0, mana dikatakan pengetahuan baik maka

nilai ≥5,5, pengetahuan kurang maka nilainya ≤5,5, yang dibuktikan

dengan rumus :

(jumlah pertayaan × skor terendah) + ( jumlah pertayaan × skor


tertinggi)
2
( 11× 0)+11 ×1)
= 2

(11)
= = 5,5
2

3. Pengawas Menelan Obat

Kuesioner tertutup digunakan untuk menilai Pengawas

Menelan Obat responden yang terdiri dari 4 pertanyaan yang

menggunakan Skala Gutman, jika responden menjawab benar maka

diberi nilai 1, dan jika responden menjawab salah diberi nilai 0, mana

dikatakan baik jika nilainya ≥ 2 dan kurang baik jika nilainya < 2,

yang dibuktikan dengan rumus :

(jumlah pertayaan × skor terendah) + ( jumlah pertayaan × skor


tertinggi)
2
75

( 4× 0)+(4 ×1)
= 2

(4)
= =2
2

4. Merokok

Kuesioner tertutup digunakan untuk menilai kebiasaan

merokok responden yang terdiri dari 7 pertanyaan yang menggunakan

skala gutman, jika responden menjawab benar maka diberi nilai 1, dan

jika responden menjawab salah diberi nilai 0, mana dikatakan aktif

merokok jika nilai ≥ 3,5 dan dikatakan pasif merokok jika nilai ≤ 3,5

yang dibuktikan dengan rumus :

(jumlah pertayaan × skor terendah) + ( jumlah pertayaan × skor


tertinggi)
2
( 7× 0)+(7×1)
= 2

(7)
= = 3,5
2

5. Status gizi

Lembar observasi penlitian ini digunakan untuk menghitung

jumlah IMT yang kemudian akan menentukan kategori under weight

jika pengukuran IMT ≤18.50, normal jika pengukuran IMT 18.50-

22.99,

F. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat

Penelitian ini dilaksanakan “ Di RSUD Labuang Baji Makassar ”.


76

2. Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 12 sampai dengan 19

Desember 2019.

G. Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner yang

dibagikan kepada responden.

2. Data Sekunder

Data sekunder didapatkan dari bagian Rekam medis Di RSUD

Labuang Baji Makassar

H. Pengolahan Data Dan Analisa

1. Pengolahan data

Pengolaan Data menurut Hidayat, (2014), yaitu :

a. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

b. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)

terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini

sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan

komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan
77

artinya dalam satu buku (code book) untuk memudahkan kembali

melihat lokasi dan arti suatu kodedari suatu variabel.

c. Entri data

Data Entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah

dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer, kemudian

membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga dengan membuat

tabel kontigensi.

d. Melakukan teknik analisis

Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian

akan menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan

tujuan yang hendak dianalisis.

2. Analisa Data

Analisis terbagi 2 menutut Notoatmojo, (2010), yaitu :

1) Analisis Univariat

Analisi univariat dilakukan pada suatu variabel dari hasil

penelitian, yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis

ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel yang

diteliti.

2) Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi.


78

I. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya

rekomendasi dari pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan

permohonan izin kepada instansi tempat penelitian. Dalam hal ini, Di Balai

Besar Kesehatan Paru Masyarakat ( BBKPM ) Makassar setelah mendapat

persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika

penelitian.

Hidayat, (2014) menyebutkan etika penelitian, meliputi :

a. Informed Consent (persetujuan)

Informed Consent (persetujuan) merupakan bentuk persetujuan

antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar

persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian

dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi

responden.

b. Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan

atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

akan disajikan.

c. Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah


79

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset.
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dengan judul Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian MDR pada pasien tuberculosis dilakukan di

RSUD Labuang Baji Makassar dilaksanakan pada tanggal 12 Desember

sampai 19 Desember 2019 dengan jumlah sampel 36 responden yang

didapatkan dengan menggunakan teknik Purposive Sampling yang sesuai

dengan kriteria sampel yang telah ditetapkan.

Dari hasil pengolaan data yang telah dilakukan, data kemudian

disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi meliputi analisis univariat dan

bivariat dengan menggunakan analisis uji Chi Square yang dapat dilihat

dalam penjelasan berikut ini :

1. Karakteristik Umum Responden

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Poli Klinik RSUD

Labuang Baji Makassar maka diperoleh data terkait karakteristik

responden yaitu umur, jenis kelamin, status pernikahan dan pendidikan

sebagai berikut:

80
81

a. Umur

Tabel 5.1
Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur
Di poli klinik MDR RSUD Labuang Baji Makassar

Umur Frekuensi (n) Persentase (%)


17-25 7 19.4
26-35 7 19.4
36-45 10 27.8
46-55 7 19.4
56-65 5 13.9
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa distribusi

frekuensi responden berdasarkan umur dimana dari 36

responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi terdapat

pada dewasa akhir sebanyak 10 responden (27.8%) dan terendah

terdapat pada lansia akhir 5 responden (13.9%).

b. Jenis kelamin

Tabel 5.2
Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin
Di poli klinik MDR RSUD Labuang Baji Makassar
Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Perempuan 12 33.3
Laki-laki 24 66.7
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019
82

Berdasarkan pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa distribusi

frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin dimana dari 36

responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi terdapat

pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 24 responden (66.7%)

c. Status pernikahan

Tabel 5.3
Distribusi frekuensi responden berdasarkan status
pernikahan Di poli klinik MDR RSUD Labuang Baji
Makassar
Status pernikahan Frekuensi (n) Persentase (%)
Menikah 25 69,4
Belum menikah 11 30.6
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa distribusi

frekuensi responden berdasarkan status pernikahan dimana dari

36 responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi

terdapat pada menikah sebanyak 25 responden (69.4%) dan

terendah terdapat pada belum menikah sebanyak 11 responden

(30.6%).
83

d. Pendidikan

Tabel 5.4
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan
Di poli klinik MDR RSUD Labuang Baji Makassar

Pendidikan Frekuensi (n) Persentase (%)


SD 6 16.7
SMP 13 36.1
SMA 12 33.3
PT 5 13.9
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa distribusi

frekuensi responden berdasarkan pendidikan dimana dari 36

responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi pendidikan

SMP sebanyak 13 responden (36.1%) dan terendah terdapat pada

PT sebanyak 5 responden (13.9%).

2. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel yang diteliti. Pada analisa univariat ini data

kategori dapat dijelaskan dengan angka atau nilai jumlah data persentase

setiap kelompok.
84

a. Kepatuhan Minum Obat

Tabel 5.5
Distribusi frekuensi responden berdasarkan Kepatuhan
Minum Obat Di poli klinik MDR RSUD Labuang Baji
Makassar
Kepatuhan Minum Obat Frekuensi (n) Persentase (%)
Patuh 17 47.2
Tidak Patuh 19 52.8
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa distribusi

frekuensi responden berdasarkan Kepatuhan Minum Obat dimana

dari 36 responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi

terdapat pada Kepatuhan Minum Obat yang Tidak Patuh sebanyak

19 responden (52.8%), dan terendah terdapat pada Kepatuhan

Minum Obat yang patuh sebanyak 17 responden (47.2%)

b. Pengawas Menelan Obat

Tabel 5.6
Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pengawas
Menelan Obat Di poli klinik MDR RSUD Labuang Baji
Makassar

Pengawas Menelan Obat Frekuensi (n) Persentase (%)


Berfungsi 16 44.4
Tidak Berfungsi 20 55.6
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019
85

Berdasarkan pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa distribusi

frekuensi responden berdasarkan Pengawas Menelan Obat dimana

dari 36 responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi

terdapat pada Pengawas Menelan Obat tidak berfungsi sebanyak 20

responden (55.6%), dan terendah terdapat pada Pengawas Menelan

Obat berfungsi sebanyak 16 responden (44.4%)

c. Pengetahuan Pengobatan

Tabel 5.7
Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pengetahuan
Pengobatan Di poli klinik MDR RSUD Labuang Baji
Makassar
Pengetahuan Pengobatan Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik 14 38.9
Kurang Baik 22 61.1
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa distribusi


frekuensi responden berdasarkan Pengetahuan Pengobatan dimana
dari 36 responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi
terdapat pada Pengetahuan Pengobatan kurang baik sebanyak 22
responden (61.1%), dan terendah terdapat pada Pengetahuan
Pengobatan kurang baik sebanyak 14 responden (38.9%).
86

d. Kebiasaan Merokok

Tabel 5.8

Distribusi frekuensi responden berdasarkan kebiasaan


Merokok Di poli klinik MDR RSUD Labuang Baji
Makassar
Kebiasaan Merokok Frekuensi (n) Persentase (%)
Aktif 21 58.3
Pasif 15 41.7
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa distribusi


frekuensi responden berdasarkan Kebiasaan Merokok dimana dari
36 responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi terdapat
pada Kebiasaan Merokok aktif sebanyak 21 responden (58.3%),
dan terendah terdapat pada Kebiasaan Merokok Pasif sebanyak 15
responden (41.7%)
e. Status Gizi

Tabel 5.9

Distribusi frekuensi responden berdasarkan Status Gizi


Di poli klinik MDR RSUD Labuang Baji Makassar
Status Gizi Frekuensi (n) Persentase (%)
Normal 16 44.4
Under Weight 20 55.6
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan pada tabel 5.9 menunjukkan bahwa distribusi


frekuensi responden berdasarkan Status Gizi dimana dari 36
responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi terdapat pada
Status Gizi under weight sebanyak 20 responden (55.6%), dan
87

terendah terdapat pada Status Gizi normal sebanyak 16 responden


(44.4%)

f. Kejadian Multi Drug Resisten

Tabel 5.10
Distribusi frekuensi responden berdasarkan Kejadian MDR
Di Poli Klinik RSUD Labuang Baji Makassar

Kejadian MDR Frekuensi (n) Persentase (%)


Pasien Lama 26 72.2
Pasien Baru 10 27.8
Total 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan pada tabel 5.10 menunjukkan bahwa distribusi

frekuensi responden berdasarkan Kejadian MDR dimana dari 36

responden (100%) dapat diketahui persentase tertinggi terdapat pada

Kejadian MDR yang pasien Lama sebanyak 26 responden (72.2%)

dan terendah terdapat pada Kejadian MDR yang pasien Baru

sebanyak 10 responden (27.8%).

3. Analisis Bivariat

Untuk melihat hubungan antara Kepatuhan Minum Obat, Pengawas

Menelan Obat, Pengetahuan Pengobatan, Kebiasaan Merokok, dan Status

Gizi responden Tuberculosis dengan Kejadian Multi Drug Resisten Di

Poli Klinik RSUD Labuang Baji Makassar maka digunakan uji statistik

Chi Square dengan tingkat kemaknaan α = 0.05 atau interval kepercayaan

ρ < α 0.05.
88

Maka ketentuan bahwa antara Kepatuhan Minum Obat, Pengawas

Menelan Obat, Pengetahuan Pengobatan, Kebiasaan Merokok, dan Satus

Gizi responden pada pasien Tuberculosis mempunyai hubungan yang

signifikan terhadap Kejadian Multi Drug Resisten apabila nilai ρ < α 0.05.

a. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Dengan Kejadian MDR

Tabel 5.11
Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Kejadian MDR
Di Poli Klinik RSUD Labuang Baji Makassar

Kepatu Kejadian MDR Jumlah Multivariat


han Pasien Pasien
Total P
Minum Lama % Baru % % OR P
Obat (n)
(n) (n)
Patu
6 16.7 9 25 15 31.7.
h

Tida
k 20 55.6 1 2.7 21 58.3 10,2 0,99
0,008
Patu 847 7
h

26 72.3 10 21.2 36 100.0


Jumlah
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan tabel 5.11 dapat diketahui bahwa dari 36 responden

(100%), diperoleh responden yang kepatuhan minum obat yang tidak

patuh dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 20 responden

(55,6%), sedangkan responden yang Kepatuhan Minum Obat yang

tidak patuh dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 1 responden

(2.7.%). Dan responden yang kepatuhan minum obat yang patuh

dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 9 responden (25%),


89

sedangkan responden yang patuh minum obat dengan Kejadian MDR

pasien lama sebanyak 6 responden (16.7%).

Berdasarkan uji statistik uji Chi-Square, diperoleh nilai p = 0,008

atau p <0,05. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan

minum obat dengan Kejadian MDR pada pasien Tuberculosis.

Berdasarkan hasil uji multivariat didapatkan nilai р = 0,997 dan nilai

OR (ratio) = 10,2847. Hal ini berarti bahwa kepatuhan minum obat

mempunyai peluang 10,2847 kali dapat berhubungan dengan kejadian

MDR.

b. Hubungan Pengawas Menelan Obat dengan Kejadian MDR

Tabel 5.12
Hubungan Pengawas Menelan Obat dengan Kejadian MDR
Di Poli Klinik RSUD Labuang Baji Makassar

Kejadian MDR Jumlah Multivariat

Pengawas Pas
Pasie
Menelan ien P
n Tota
Obat La % % % OR P
Baru l (n)
ma
(n)
(n)
Berfungsi 8 22.2 8 22.2 16 44.4
Tidak
18 50.0 2 5.6 20 55.6 0,011 0,093 0,200
berfungsi
Jumlah 26 72.2 10 27.8 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa dari 36 responden

(100%), diperoleh responden yang Pengawas Menelan Obat yang

berfungsi dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 8 responden


90

(22.2%), sedangkan responden yang Pengawas Menelan Obat yang

berfungsi dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 8 responden

(25%). Dan responden yang Pengawas Menelan Obat yang tidak

berfungsi dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 18 responden

(50%), sedangkan responden yang Pengawas Menelan Obat yang

tidak berfungsi dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 2

responden (5.6%).

Berdasarkan uji statistik uji Chi-Square, diperoleh nilai p= 0,011

atau p <0,05. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan antara Pengawas

Menelan Obat dengan Kejadian MDR pada pasien Tuberculosis.

Berdasarkan hasil uji multivariat didapatkan nilai р = 0,200 dan nilai

OR (ratio) = 0,093. Hal ini berarti bahwa pengawas menelan obat

mempunyai peluang 0,093 kali dapat berhubungan dengan kejadian

MDR.

c. Hubungan Pengetahuan Pengobatan dengan Kejadian MDR

Tabel 5.13
Hubungan Pengetahuan Pengobatan dengan Kejadian MDR
Di Poli Klinik RSUD Labuang Baji Makassar

Pengetahu Kejadian MDR Jumlah Multivariat


an Pasien Pasien
Total Р
Pengobata Lama % Baru % % OR P
n (n)
(n) (n)
Baik 7 19.4 7 19.4 14 38.9
0,026 0,000 0,998
19 52.8 3 8.3 22
Kurang 61.1
91

Baik
Jumlah 26 72.2 10 27.8 36 100.
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan tabel 5.13 dapat diketahui bahwa dari 36 responden

(100%), diperoleh responden yang Pengetahuan Pengobatan yang baik

dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 7 responden (19.4%),

sedangkan responden yang Pengetahuan Pengobatan yang mengerti

dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 7 responden (19.4%).

Dan responden yang Pengetahuan Pengobatan yang tidak mengerti

dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 19 responden (52.8%),

sedangkan responden yang Pengetahuan Pengobatan yang tidak

mengerti dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 3 responden

(8.3%).

Berdasarkan uji statistik uji Chi-Square, diperoleh nilai p = 0,026

atau, p<0,05. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan antara

Pengetahuan Pengobatan dengan Kejadian MDR pada pasien

Tuberculosis. Berdasarkan hasil uji multivariat didapatkan nilai р =

0,998 dan nilai OR (ratio) = 0,000. Hal ini berarti bahwa pengetahuan

pengobatan tidak berpeluang dapat berhubungan dengan kejadian

MDR.
92

d. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian MDR

Tabel 5.14
Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian MDR
Di Poli Klinik RSUD Labuang Baji Makassar

Kejadian MDR Jumlah Multivariat


Kebiasaa Pasie
n Pasien P
n Tota
Merokok % Baru % % OR P
Lama l (n)
(n)
(n)
Aktif 12 33.3 9 25 21 58.3.
Pasif 14 38.9 1 2.8 15 41.7 0,024 0,000 0,997
Jumlah 26 72.3 10 27.8 36 100.0
Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan tabel 5.14 dapat diketahui bahwa dari 36 responden

(100%), diperoleh responden yang Kebiasaan Merokok yang aktif

dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 12 responden (33.3%),

sedangkan responden yang Kebiasaan Merokok yang aktif dengan

Kejadian MDR pasien baru sebanyak 9 responden (25.%). Dan

responden yang Kebiasaan Merokok yang pasif dengan Kejadian

MDR pasien lama sebanyak 14 responden (38.9%), sedangkan

responden yang Kebiasaan Merokok yang pasif dengan Kejadian

MDR pasien baru sebanyak 1 responden (2.8%).

Berdasarkan uji statistik uji Chi-Square, diperoleh nilai p = 0,024

atau p <0,05. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan antara Kebiasaan

Merokok dengan Kejadian MDR pada pasien Tuberculosis.

Berdasarkan hasil uji multivariat didapatkan nilai р = 0,997 dan nilai


93

OR (ratio) = 0,000. Hal ini berarti bahwa kebiasaan merokok tidak

berpeluang berhubungan dengan kejadian MDR.

e. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian MDR

Tabel 5.15
Hubungan Status Gizi dengan Kejadian MDR
Di Poli Klinik RSUD Labuang Baji Makassar

Kejadian MDR Multivari


Jumlah
at
Status Pasie
Pasien Р
Gizi n Total
% Baru % % OR P
Lam (n)
(n)
a (n)
Normal 3 8.3 10 27.8 13 36.1.
Under
23 63.9 0 0 23 63.9 13,36
weight 0,011 0,096
9
Jumlah 26 72.2 10 27.8 36 100.0

Sumber : Data Primer Desember 2019

Berdasarkan tabel 5.15 dapat diketahui bahwa dari 36 responden

(100%), diperoleh responden yang Status Gizi yang under weight

dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 23 responden (63.9%),

sedangkan responden yang Status Gizi yang under weight dengan

Kejadian MDR pasien baru tidak ada responden (0.%). Dan responden

yang Status Gizi yang Normal dengan Kejadian MDR pasien baru

sebanyak 10 responden (27.8%), sedangkan responden yang Status

Gizi yang Normal dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 3

responden (8.3%).
94

Berdasarkan uji statistik uji Chi-Square, diperoleh nilai p = 0,011

atau p <0,05. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan antara Status

Gizi dengan Kejadian MDR pada pasien Tuberculosis. Berdasarkan

hasil uji multivariat didapatkan nilai р = 0,096 dan nilai OR (ratio) =

13,369. Hal ini berarti bahwa status gizi mempunyai peluang 13,369

kali dapat berhubungan dengan kejadian MDR.

B Pembahasan

1. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Kejadian MDR

Pada hasil tabulasi silang (tabel 5.11), maka dapat diketahui

tingkat Kepatuhan Minum Obat di Poli Klinik RSUD Labuang Baji

Makassar di dapatkan bahwa dari 36 (100%) responden yang memiliki

Kepatuhan Minum Obat yang tidak patuh di dapatkan sebanyak 21

responden (58.3%), sebagian besar di dapatkan kejadian MDR pasien

lama sebanyak 20 responden (55.6%) dan Kejadian MDR pasien baru

didapatkan 1 responden (2.7%), sedangkan responden tingkat

Kepatuhan Minum Obat yang patuh di dapatkan 15 responden (41.7%)

dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 9 responden (25%),dan

dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 6 responden (16.7%).

Berdasarkan hasil uji Chi Square, di peroleh 1 cells (25%) yang

mempunyai Expected Count <5 sehingga pembacaan hasil diambil uji

alternatif yaitu uji Fisher’s Exact Test di dapatkan nilai Significancy


95

nilai ρ = 0.008 < α (0.05). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan

antara kepatuhan minum obat dengan Kejadian MDR pada pasien

Tuberculosis.

Responden dalam penelitian mayoritas tingkat kepatuhan minum

obat tidak patuh di karenakan responden sudah merasa sembuh dan

berhenti pengobatan.Hal tersebut dapat memicu terjadinya kekambuhan

maupun resisten terhadap obat tuberkulosis dan beberapa responden

selama minum obat observer atau pengawas menelan obatnya tidak ikut

mengawasi sehingga dapat memacu pasien tidak minum obat

dikarenakan pasien bosan minum obat terus menerus sehingga

pengawas menelan obat sangat di perlukan dalam pengobatan pasien

tuberculosis.

Hal ini juga berbanding lurus dengan teori-teori yang

dikemukakan pada bab sebelumnya yang membahas tinjauan teori,

dimana yang memiliki tingkat Kepatuhan Minum Obat yang tidak patuh

akan pengobatan memiliiki resiko untuk MDR TB lebih tinggi.WHO

(2014) menyebutkan apabila penderita TB tidak patuh dalam meminum

obat anti tuberkulosis, maka hasil akhir yang di khawatirkan adalah

adanya kegagalan penyembuhan TB ditambah dengan timbulnya basil-

basil TB yang resisten terhadap obat tuberkulosis. Hasil analisis pada

penelitian ini menunjukkan ada hubungan lansung antara kepatuhan


96

pasien dalam minm obat tuberkulosis dengan kejadian MDR TB yang

bersifat negatif dan signifikan. Hasil penelitian ini di dukung oleh

penelitian Hirpa et al .(2013) yang menyebutkan bahwa faktor yang

dominan yang dapat mempengaruhi lansung kejadian MDR TB adalah

ketidakpatuhan pengobatan pasien tuberkulosis.

Penelitian ini juga sejalan dengan Vera (2017) tentang Health

Belief Model and Precede Proceed on the Risk Factors of Multidrug

Resistant Tuberculosis in Surakarta, Central Java, dimana hubungan

kepatuhan dengan MDR TB dan signifikan. Orng yang patuh memiliki

kemungkinan lebih kecil untuk mengalami MDR TB (b= -1.69; CI

95%= -2.28 hingga -1.09; dengan nilai ρ value = 0.001 .

Hasil penelitian ini sesuai dengan peneltian Chyntia tentang

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Multi Drug Resistance

Tuberculosis (MDR-TB). Terdapat hubungan yang signifikan antara

kepatuhan minum obat dengan MDR TB, berdasarkan hasil analisa

bivariat uji statistik chi-square didapatkan hasil bahwa nilai p = 0,000

dengan OR 10,73. Hal ini menunjukkan bahwa pasien TB dengan

kepatuhan minum obat rendah memiliki resiko 10,73 kali lebih besar

untuk menjadi MDR TB dibandingkan dengan pasien dengan

kepatuhan minum obat tinggi


97

Responden dalam penelitian mayoritas tingkat kepatuhan minum

obat tidak patuh di karenakan responden sudah merasa sembuh dan

berhenti pengobatan.Hal tersebut dapat memicu terjadinya kekambuhan

maupun resisten terhadap obat tuberkulosis.

Dari pembahasan diatas peneliti mengambil kesimpulan ada

hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kejadian MDR.

Dimana tingkat Kepatuhan Minum Obat yang tidak patuh akan

pengobatan memiliiki resiko untuk MDR TB lebih tinggi. Hal ini di

karenakan karena responden merasa telah baikan dan beranggapan

bahwa dirinya sudah sembuh, serta beberapa responden menganggap

pengobatan MDR TB tersebut terlalu lama sehingga membuat mereka

berpikiran bosan meminum obat. Hal ini disebebkan karena tidak

adanya kesadaran atau motivasi responden sehingga tidak patuh

melakukan pengobatan.

2. Hubungan Pengawas Menelan Obat dengan Kejadian MDR

Pada hasil tabulasi silang (tabel 5.12), maka dapat diketahui

Pengawas Menelan Obat responden di Poli Klinik RSUD Labuang Baji

Makassar di dapatkan bahwa dari 36 (100%) responden yang memiliki

Pengawas Menelan Obat yang berfungsi di dapatkan sebanyak 16

responden (44.4%), sebagian besar di dapatkan kejadian MDR pasien

lama sebanyak 8 responden (22.2%) dan Kejadian MDR pasien baru di


98

dapatkan 8 responden (22.2%), sedangkan responden yang memiliki

Pengawas Menelan Obat yang tidak berfungsi didapatkan 20 responden

(55.6%) dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 18 responden

(50%),dan dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 2 responden

(5.6%).

Berdasarkan hasil uji Chi Square, di peroleh 1 cells (25%) yang

mempunyai Expected Count <5 sehingga pembacaan hasil diambil uji

alternatif yaitu uji Fisher’s Exact Test di dapatkan nilai Significancy

nilai ρ = 0.011< α (0.05). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan

antara Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan Kejadian MDR pada

pasien Tuberculosis.

Hal ini juga berbanding lurus dengan teori-teori yang

dikemukakan di bab terdahulu, dimana yang memiliki Pengawas

Menelan Obat yang tidak berfungsi akan pengobatan serta apa yang

menjadi pencapaian PMO itu sendiri yaitu adanya kesadaran responden

untuk sembuh dengan meminum obat dengan patuh dan teratur. Selain

pengetahuan yang baik mengenai penyakit tuberkulosis perlu diimbangi

dengan adanya dukungan orang terdekat atau PMO agar tidak

memperburuk keadaan apabila pasien depresi. Pasien tuberkulosis yang

hidup sendiri dan jauh dari keluarga atau tetangga akan lebih
99

memungkinkan untuk menghentikan pengobatan tuberkulosis sebelum

waktunya. (Ali and Prins, 2016; Khanal et al.,2017)

Penelitian ini juga sejalan dengan Vera (2017) tentang Health

Belief Model and Precede Proceed on the Risk Factors of Multidrug

Resistant Tuberculosis in Surakarta, Central Java, dimana hubungan

PMO dengan MDR TB yang signifikan. Orng yang memiliki PMO

yang tidak berfungsi kemungkinan lebih besar untuk tidak patuh dalam

minum obat (b=1.58; CI 95%= 2.16 hingga 2.88; p< 0.001).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Mutmainna Latif (2015) yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan

dengan tingkat kepatuhan penderita tuberkulosis paru dalam

melaksanakan program pengobatan di RSUD Pangkep, bahwa

menunjukan adanya hubungan antara Pengawas Menelan Obat (PMO)

dengan kepatuhan berobat responden TB Paru. Hasil uji statistik untuk

Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan kepatuhan berobat memiliki

hubungan yang bermakna ρ = 0.001 ( ρ < 0,05).

Responden dalam penelitian ini mayoritas memiliki Pengawas

Menelan Obat yang tidak berfungsi dan setelah dilakukan wawancara

secara mendalam dengan responden, beberapa responden mengatakan

yaitu bosan meminum obat terus secara teratur dan dukungan atau

dorongan dari keluarga responden untuk minum obat masih terbatas.


100

Dari pembahasan diatas peneliti mengambil kesimpulan ada

hubungan antara Pengawas Menelan Obat dengan Kejadian MDR.

Dimana PMO dak t berfungsi dengan baik merupakan salah satu faktor

yang dapat membuat responden tidak patuh dalam minum obat. Selain

pengetahuan yang baik mengenai penyakit tuberkulosis perlu diimbangi

dengan adanya dukungan orang terdekat atau PMO agar tidak

memperburuk keadaan apabila pasien depresi. Pasien tuberkulosis yang

hidup sendiri dan jauh dari keluarga atau tetangga akan lebih

memungkinkan untuk menghentikan pengobatan tuberkulosis sebelum

waktunya.

3. Hubungan Pengetahuan Pengobatan dengan Kejadian MDR

Pada hasil tabulasi silang (tabel 5.13), maka dapat diketahui

Pengetahuan Pengobatan responden di Poli Klinik RSUD Labuang Baji

Makassar di dapatkan bahwa dari 36 (100%) responden tingkat

Pengetahuan Pengobatan yang tidak baik di dapatkan sebanyak 22

responden (61.1%), sebagian besar di dapatkan kejadian MDR pasien

lama sebanyak 19 responden (52.8%) dan Kejadian MDR pasien baru

di dapatkan 3 responden (8.3%), sedangkan responden yang memiliki

Pengetahuan Pengobatan baik didapatkan 14 responden (38.94%)

dengan Kejadian MDR pasien lama dam pasien baru sebanyak 7

responden (19.4%).
101

Berdasarkan hasil uji Chi Square, di peroleh 1 cells (25%) yang

mempunyai Expected Count <5 sehingga pembacaan hasil diambil uji

alternatif yaitu uji Fisher’s Exact Test di dapatkan nilai Significancy

nilai ρ = 0.022< α (0.05). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan

antara Pengetahuan Pengobatan dengan Kejadian MDR pada pasien

Tuberculosis.

Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Vera (2017) tentang

Health Belief Model and Precede Proceed on the Risk Factors of

Multidrug Resistant Tuberculosis in Surakarta, Central Java, dimana

hubungan pengetahuan pengobatan dengan MDR TB yang signifikan.

Orng yang memiliki pengetahuan pengobatan yang kurang baik

kemungkinan lebih besar untuk dapat terjadinya MDR TB (b=1.58; CI

95%= 1.34 hingga 1.81; p< 0.001).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Dwi Sulistiawati Syam (2014) yang berjudul faktor-faktor yang

berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberculosis paru di

Puskesmas Padongko Kecamatan Barru Kabupaten Barru, bahwa

menunjukan adanya hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan

berobat responden TB Paru. Hasil uji statistik untuk tingkat

pengetahuan dengan kepatuhan berobat memiliki hubungan yang

bermakna ρ = 0.010 ( ρ < 0,05).


102

Responden dalam penelitian ini mayoritas pengetahuan

pengobatan kurang baik dikarenakan kebanyakan responden

berpendidikan SD dan SMP sehingga kemampuan serta pemahamannya

tergolong kurang baik dan sulit untuk berfikir dalam mendapatkan

informasi. Namun tidak menutup kemungkinkan juga responden

dengan pendidikan SMA dan PT memiliki pengetahuan pengobatan

yang baik serta pemahaman yang baik dapat terkena MDR itu

dikarenakan ada faktor-faktor lain yang dapat memicunya terjadinya

MDR TB misalnya Status gizi yang buruk responden dan kebiasaan

merokok responden. Pengetahuan juga tidak hanya didapatkan dari

pendidikan formal melainkan juga didapatkan dari pendidikan non

formal seperti didapatkan dari media elektronik. Menurut Lestari

(2015), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah tingkat

pengetahuan, informasi, pengalaman, budaya dan sosial ekonomi.

Dari pembahasan diatas peneliti mengambil kesimpulan ada

hubungan antara pengetahuan pengobatan dengan Kejadian MDR.

Dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang

maka akan memberikan kontribusi yang pada terbentuknya sikap yang

baik termasuk mempengaruhi termasuk mempengaruhi tingkat

kejadian MDR. Semakin baik pengetahuan pengobatan responden

tentang kepatuhan maka semakin tinggi pula pasien akan patuh


103

terhadap pengobatan sesuai jadwal. Salah satu faktor yang

mempengaruhi kepatuhan pasien adalah tingkat pengetahuan, ketika

pengetahuan tentang pasien rendah maka pasien akan cenderung tidak

patuh dalam minum obat dan dapat memicunya terjadinya MDR TB.

4. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian MDR

Pada hasil tabul asi silang (tabel 5.14), maka dapat diketahui

Kebiasaan Merokok responden di Poli Klinik RSUD Labuang Baji

Makassar di dapatkan bahwa dari 36 (100%) responden tingkat

kebiasaan merokok yang aktif di dapatkan sebanyak 21 responden

(58.3%), sebagian besar di dapatkan kejadian MDR pasien lama

sebanyak 12 responden (33.3%) dan Kejadian MDR pasien baru di

dapatkan 9 responden (25%), sedangkan responden yang memiliki

kebiasaan merokok yang pasif didapatkan 15 responden (41.7%)

dengan Kejadian MDR pasien lama sebanyak 14 responden

(38.9%),dan dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 1 responden

(2.8%).

Berdasarkan hasil uji Chi Square, di peroleh 1 cells (25%) yang

mempunyai Expected Count <5 sehingga pembacaan hasil diambil uji

alternatif yaitu uji Fisher’s Exact Test di dapatkan nilai Significancy

nilai ρ = 0.024< α (0.05). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan


104

antara Kebiasaan Merokok dengan Kejadian MDR pada pasien

Tuberculosis.

Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Vera (2017) tentang

Health Belief Model and Precede Proceed on the Risk Factors of

Multidrug Resistant Tuberculosis in Surakarta, Central Java, dimana

hubungan Kebiasaan Merokok dengan kejadian MDR TB yang

signifikan. Orng yang memiliki kebiasaan merokok yang aktif

kemungkinan lebih besar untuk terjadi MDR TB (b=1.32; CI 95%=

1.34 hingga 1.91; p< 0.001).

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Henry Palendeng dkk (2015), yang berjudul hubungan kebiasaan

merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di puskesmas siLoam

Kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan Sangihe,bahwa

menunjukkan adanya hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian

tuberculosis paru. Berdasarkan uji statistik uji Chi-Square, diperoleh

nilai p = 0,01 atau p <0,05 .

Hasil penelitian ini sesuai dengan peneltian Chyntia tentang

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Multi Drug Resistance

Tuberculosis (MDR-TB). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 19

pasien MDR-TB (59,4%) dan 13 pasien TB non MDR (40,6%) yang

memiliki kebiasaan merokok. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa


105

kebiasaan merokok lebih banyak pada pasien MDR-TB dibandingkan

pasien TB non MDR. Terdapat hasil yang bermakna antara kebiasaan

merokok dengan MDR-TB. Hasil analisa bivariat uji statistik chi-square

didapatkan nilai p = 0,000 (p = <0,05) dengan derajat OR sebesar 7,63.

Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok memiliki resiko 7,63

kali lebih besar untuk menderita MDR-TB dibandingkan dengan pasien

TB yang tidak memiliki kebiasaan merokok.

Responden dalam penelitian ini mayoritas kebiasan merokok

yang aktif dikarenakan kebanyakan responden adalah laki-laki,karena

laki-laki dengan gaya hidup yang mengkomsumsi rokok yang dapat

menurunkan sistem pertahanan tubuh sehingga perokok disebut sebagai

agendari penyakit tuberkulosis. Dampak buruk bagi kesehatan

khususnya paru karena rokok tidak berdampak bagi perokok namun

juga bagi orng lain yang berada dilingkungan perokok yaitu perokok

pasif (Aliman, 2011)

Dari pembahasan diatas peneliti mengambil kesimpulan ada

hubungan antara kebiasaan merokok dengan Kejadian MDR. Dimana

merokok dampak buruk bagi kesehatan khusunya paru karena rokok

tidak hanya berdampak bagi perokok namun juga bagi orng lain yang

berada di sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut semakin tinggi tingkat


106

kebiasaan merokok maka semakin tinggi seseorang dapat terkena

penyakit tuberculosis.

5. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian MDR

Pada hasil tabulasi silang (tabel 5.15), maka dapat diketahui

Status Gizi responden di Poli Klinik RSUD Labuang Baji Makassar di

dapatkan bahwa dari 36 (100%) responden tingkat status gizi yang

under weight di dapatkan sebanyak 20 responden (55.6%), sebagian

under weight dengan kejadian MDR pasien lama sebanyak 18

responden (50%) dan sebagian responden yang under weight dengan

kejadian MDR pasien baru didapatkan 2 responden (5.6%) sedangkan

semua status gizi normal di dapatkan sebanyak 16 responden (44.4%)

sebagian responden status gizi normal dengan kejadian MDR pasien

lama sebanyak didapatkan 8 responden (22.2%),dan sebagian status gizi

normal dengan Kejadian MDR pasien baru sebanyak 8 responden

(22.2%).

Berdasarkan hasil uji Chi Square, di peroleh 1 cells (25%) yang

mempunyai Expected Count <5 sehingga pembacaan hasil diambil uji

alternatif yaitu uji Fisher’s Exact Test di dapatkan nilai Significancy

nilai ρ = 0.011< α (0.05). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan

antara Status Gizi dengan Kejadian MDR pada pasien Tuberculosis.


107

Berdasarkan uji multivariat regresi logistik ganda didapatkan hasil

bahwa status gizi dengan nilai p = 0.096, variabel dengan Odds Ratio

terbesar adalah 13.369, menjadi variabel yang paling dominan

mempengaruhi variabel dependen. Dapat disimpulkan bahwa status gizi

yang under weight adalah variabel yang sangat berhubungan dengan

kejadian MDR mempunyai peluang 13,369 kali dapat berhubungan

dengan kejadian MDR.

Penelitian ini juga sesuai dengan Vera (2017) tentang Health

Belief Model and Precede Proceed on the Risk Factors of Multidrug

Resistant Tuberculosis in Surakarta, Central Java, dimana hubungan

Status Gizi dengan kejadian MDR TB yang signifikan. Orng yang

memiliki status gizi yang buruk kemungkinan lebih besar untuk terjadi

MDR TB (b= -0.73; CI 95%= -1.33 hingga -0.13; p< 0.018).

Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Chyntia Devi

Aristiana tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Multi

Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Dimana status gizi pada

pasien MDR-TB dan TB non MDR. Status gizi pasien MDR-TB lebih

banyak yang underweight yaitu sebanyak 13 pasien (51,7%), sedangkan

IMT normal lebih banyak ditemukan pada pasien TB non-MDR

sebanyak 46 orang (78%). Terdapat hasil yang bermakna antara status

gizi dengan MDR-TB (p = 0,005) dengan OR sebesar 3,79. Hal ini


108

menunjukkan bahwa status gizi underweight memiliki resiko 3,79 kali

lebih besar untuk menderita MDR –TB dibandingkan dengan status gizi

normal.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fauziah tahun 2013

yang menunjukkan responden yang menderita MDR TB lebih banyak

diderita oleh responden yang memiliki IMT <18,5. Status gizi yang

memiliki hubungan kuat dengan kejadian MDR-TB dengan OR

adjusted 3,3 yang artinya pasien TB dengan IMT < 18,5 berisiko 3,2

kali menderita MDR-TB.

Responden dalam penelitian ini mayoritas status gizi yang under

weight dikarenakan kekurangan gizi memperlemah kekebalan tubuh,

sehingga meningkatkan kemungkinan TB yang resisten terhadap obat

(WHO, 2013). Status gizi yang buruk menyebabkan pengobatan pada

pasien tuberkulosis menjadi tidak efektif dan menyebabkan tidak

terjadinya konversi kultur sputum pada tahap awal pengobatan MDR

TB. Dijelaskan oleh Park et al.(2016) dan Tang et al.(2013) bahwa

status gizi yang buruk banyak ditemukan pada pasien yang mengalami

resisten obat tuberkulosis.

Dari pembahasan diatas peneliti mengambil kesimpulan ada

hubungan antara status gizi dengan kejadian MDR. Dimana Pasien TB

yang underweight memiliki risiko yang lebih tinggi untuk kambuh


109

setelah pada pengobatan TB atau berkembang menjadi infeksi TB laten.

Status gizi yang buruk dapat menyebabkan kuman yang semakin cepat

berkembang biak sehingga menghambat kejadian konversi, selain itu

juga menyebabkan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mempersulit

penyembuhan dan memudahkan kekambuhan kembali. Menurunnya

status gizi, khususnya tergambar pada turunnya kadar protein plasma

dapat mempengaruhi farmakokinetik obat. Farmakokinetik obat

meliputi proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan eksresi.penelitian

ini membuktikan bahawa status gizi yang under weight dapat

mempengaruhi respon tubuh terhadap obat. Tingginya obat yang tidak

terikat protein berakibat kecepatan pemanfaatan atau detoksifikasi

terhambat, keadaan ini dapat berakibat toksik pada tubuh.

C Keterbatasan Peneliti

a. Penelitian ini hanya menggunakan desain potong lintang yang hanya

menggambarkan variabel yang diteliti, baik independen maupun

dependen pada waktu yang sama sehingga tidak bisa melihat adanya

hubungan sebab akibat.

b. Peneliti tidak melakukan evaluasi secara mendalam terhadap faktor-

faktor perancu yang mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian.


110

c. Terbatasnya waktu penelitian sehingga waktu yang dimiliki responden

terkesan sedikit, karena untuk memperoleh data yang lebih akurat

dibutuhkan waktu selama >6 bulan

d. Kemampuan peneliti masih sangat terbatas dalam bidang ilmu dan

metodologi penelitian (peneliti pemula) yang memungkinkan banyak

kekurangan dalam penulisan dan hasil penelitian.


BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang faktor-faktor

yang berhubungan dengan kejadian MDR pada pasien tuberculosis di

RSUD Labuang Baji Makassar, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kejadian

MDR

2. Terdapat hubungan antara pengawas menelan obat dengan kejadian

MDR

3. Terdapat hubungan antara pengetahuan pengobatan dengan kejadian

MDR

4. Terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian MDR

5. Terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian MDR

6. Dapat disimpulkan bahwa status gizi yang under weight adalah

variabel yang sangat berhubungan dengan kejadian MDR karena

mempunyai peluang 13,369 kali dapat berhubungan dengan kejadian

MDR.

111
112

B. Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan kepada petugas kesehatan khususnya di RSUD Labuang

Baji untuk lebih intensif memberikan informasi MDR TB pada

penderita untuk meningkatkan pengetahuan yang dimiliki, agar pasien

TB dapat mengetahui dampak negatif yang disebabkan oleh MDR TB

sehingga penderita memiliki motivasi untuk melakukan pemeriksaan

ke pelayanan kesehatan.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat menambah buku-buku, referensi dan jurnal tentang

pengetahuan mengenai penyakit MDR TB. Hasil ini hendaknya

dijadikan sebagai bahan acuan ataupun pertimbangan didalam

memberikan pengetahuan dan wawasan dalam program pegabdian

masyarakat yang dilakukan kepada masyarakat.

3. Bagi Peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian

yang sama diharapkan bisa meneliti lebih mendalam tentang penyakit

MDR TB, melakukan penelitian dengan menggunakan variabel yang

lain dan memiliki sampel yang lebih banyak dan lebih luas sehingga

validitas dapat dijamin.


DAFTAR PUSTAKA

Ajeng,T,D,.(2018). Situasi Tuberkulosis di Empat Kabupaten/Kota di Pulau


Sumatera dan Banten. Jurnal Mkmi,Vol. 14 No.2, Juni 2018.
file:///C:/Users/acer/Downloads/3780-10158-1-PB%20(4).pdf

Arif,M,.(2012). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistim


pernafasan;penerbit selemba medika,jakarta.

Brunner & suddarth.(2011). keperawatan medikal-bedah,buku kedokteran,edisi


12,EGC,jakarta.

Danusantoso, H.(2012). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, edisi 2, EGC, Jakarta.

Dinkes Sulsel.(2016). Propil Kesehatan Sulawesi Selatan Makssar 2018


Fernandez,G.J.(2018). Dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik madya
bag/smf ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas udayana
RSUP Sanglah.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/1267ef1a6941f10cd4
36af892efd71b1.pdf

Friedman, M., Bowden, V. & Jones, E.(2014). Buku Ajar Keperawatan Keluarga
Riset, Teori, & Praktik, Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Gough, A.,& Garri K.(2011). Pulmonary Tuberculosis: clinical features and
patient management. Nursing Standard. July 27: vol 25, no 47, page 48-
56.

Hidayat, A A A 2014, Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data,


Edisi I, Salemba Medika, Jakarta.

Ikadini Nuriza.(2018).Gambaran Pengetahuan Tentang Kepatuhan Berobat


Penderita Tuberkulosis sesuai jadwal Di Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat(BBKPM)Surakarta
http://eprints.ums.ac.id/59150/34/Naskah%20publikasi.pdf
Kemenkes RI.(2015). Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014, Jakarta.
Kemenkes RI.(2017). Kesehatan Dalam Rangka Sustainable Development Goals
(SDGs). Jakarta

Latif, M.(2015). Faktor-Faktor Yang Berthubungan Dengan Tingkat Kepatuhan


Penderita Tuberkulosis Paru Dalam Melaksanakan Program
Pengobatan Di RSUD Pangkep, Tesis, Stikes Nani Hasanuddin
makassar, Makassar.
Maesaroh, S.(2009). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan
Berobat Pasien Tuberkulosis Paru Di Klinik Jakarta Respiratory Centre
(JRC)/PPTI Tahun 2009, FKIK UIN Hidayatullah, Jakarta, diakses 20
Maret 2017, Repository.uinjkt.ac.id>dspace>bitstream.
Masita,NR.(2015). Faktor yang berhubungan dengan keraturan berobat
penderita TB paru di balai besar kesehatan paru makassar, tesis Stikes
Nani Hasanuddin Makassar.

M.Black, & Hawks H (2014). keperawatan medikal bedah: manajemen klinis


untuk hasil yang diharapka, edisi 8 buku 3;penerjemahan edisi bahasa
indonesia ini diterbikan oleh Elisiver ( singapore ) Pte Ltd.

Parrangan, SD & Suarniati.(2015). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


TB Paru Di RSUD Labuang Baji Makassar, Stikes Nani
Hasanuddin,Makassar,vol.9,no.2,(https://jurnalstikesnh.files.wordpress.c
om), diakses 20 Maret 2017.
Prayogo, AHE (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum
Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien Tuberkulosi Paru Di Puskesmas
Pamulang Kota Tanggerang Selatan Propinsi Banteng Tahun 2013,
FKIK UIN Hidayatullah, Jakarta,
http.(repository.uinjkt.ac.id>dspace>bitstream), diakses 20 Maret 2017).

Puslitha,V.(2017). Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pada


pasien tb paru di poli paru dan tb rsud labuang baji Makassar,Stikes
Nusantara Jaya Makassar.

Rab, Tabrani. (2016). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Medika

Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
(2019)

Setiadi.(2013). Konsep dan Praktek Penulisan Riset Keperawatan, Edisi 2, Cet. 1,


Graha Ilmu, Yogyakarta.

Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2015). Medical Surgical Nursing (Vol 1). LWW

Wahyuni, H.(2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tuberkulosis


Paru Di Poli Paru RSUD Kota Makassar,Tesis, Stikes Nani Hasanuddin
makassar, Makassar.

World Health Organization. (2018). Global Tuberkulosis Report 2018.

Vera et al. (2017). Journal of Epidemiologyand Public Health (2017),2(3):241-


254
http://doi.org/10.26911/jepublichealth.2017.02.03.06
KUSIONER A

KEPATUHAN MINUM OBAT

A. Identitas Responden

Inisial Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Berilah tanda cek ( √ ) pada jawaban yang anda anggap paling benar..

No. Pertanyaan Ya Tidak

1. Apa bapak/ibu minum obat setiap hari sesuai dianjurkan ?

2. Apa bapak/ibu mengerti tentang jadwal kapan waktunya

minum obat ?

3. Apa obat tuberkulosis yang diberikan oleh dokter habis

anda minum secara teratur ?

4. Apa anda selalu mematuhi petunjuk petugas kesehatan dan

Pengawas Minum Obat (PMO) dalam menelan obat ?

5. Apa anda tahu bahwa pengobatan tuberkulosis memerlukan

waktu jangka panjang?

6. Apa Anda selalu minum obat sesuai dengan jenis obat yang

diberikan oleh dokter?


Jumlah pertayaan :6

skor tertinggi :1

Skor Terendah :0

(jumlah pertayaan × skor terendah) + ( jumlah pertayaan × skor tertinggi)

( ) ( )
=

( )
=

=3
KUSIONER B

PENGAWAS MENELAN OBAT

A. Identitas Responden

Inisial Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pendidikan `` :

Pekerjaan :

Berilah tanda cek ( √ ) pada jawaban yang anda anggap paling benar.

No. Pertanyaan Ya Tidak

1. Apa ada orang yang ditunjuk secara khusus menjadi

Pengawas Menelan Obat (PMO), untuk anda dalam

menelan obat anti TB ?

2. Jika ia, apakah pengawas menelan obat tersebut

menunggui anda dan memastikan sampai obat benar di

telan?

3 Menurut anda, apa Pengawas Menelan Obat (PMO)

sangat membantu anda dalam hal keteraturan berobat?

4. Apa pengawas menelan obat selalu mengingati anda

minum obat ?

Dikutip: Latif, M (2015)


Jumlah pertayaan :4

skor tertinggi :1

Skor Terendah :0

(jumlah pertayaan × skor terendah) + ( jumlah pertayaan × skor tertinggi)

( ) ( )
=

( )
=

=2
KUESIONER C

PENGETAHUAN PENGOBATAN

Identitas Responden :

Inisial Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pendidikan :

Pekerjaan :

1. Menurut anda berapa lama pengobatan TBC ?

a. < 6 bulan

b. 6-8 bulan

c. 8-12 bulan

2. Sampai kapan seorang penderita TBC dinyatakan sembuh?

a. Gejala penyakit hilang

b. Nafsu makan naik

c. Sampai dinyatakan sembuh oleh dokte\r

3. Apakah akibatnya jika obat TB tidak diminum secara teratur hingga habis?

a. Penyakit sembuh dengan sendirinya

b. Kuman kebal terhadap obat

c. Tidak tahu

4. Apa jenis obat yang anda ketahui untuk pengobatan Tuberculosis?

a. Paracetamol dan Mixagrip


b. Isoniazid dan Rifampicin

c. Dextrometropan dan Mexadin

5. Saat anda meminum obat berapa dosis yang anda minum?

a. Sesn uai aturan dosis anda

b. Sesuai dosis dari dokter

c. Sesuai dosis yang dapat pasien minum

6. Bagaimana jika anda tidak teratur minum obat?

a. Akan sembuh

b. Tidak apa-apa

c. Penyakit kambuh

7. Jika anda mengalami tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut setelah minum

obat, sebaiknya?

a. Semua obat diminum siang sebelum tidur

b. Semua obat diminum pagi sesudah makan

c. Semua obat diminum malam sebelum tidur

8. Jika anda mengalami Warna kemerahan pada air seni (urine), sikap anda?

a. Diamkan saja

b. Laporkan kepada dokter

c. Lanjutkan pengobatan

9. Pada saat setelah anda minum obat, kegiatan apa yang tidak boleh

dikerjakan?

a. mengoperasikan mesin atau mengendarai kendaraan

b. pasien dilarang tidur setelah minum obat


c. melakukan kegiatan apa saja yang di inginkan pasien.

10. Apakah efek samping dari obat yang diminum?

a. mulut kering, pandangan buram, konstipasi, gemetar,mengantuk

b. sakit gigi, mual , muntah, diare

c. mengamuk dan membanting benda-benda disekitar

11. Anda selalu patuh dalam meminum obat karena …

a. tidak mematuhi instruksi penggunaan obat secara benar dan harga obat

yang terlalu mahal

b. Anda bosan meminum obat dan kurang motivasi dari keluarga

c. Anda memiliki keinginan untuk sembuh dan menjalani pengobatan

sesuai dengan instruksi

Jumlah pertayaan : 11

skor tertinggi :1

Skor Terendah :0

(jumlah pertayaan × skor terendah) + ( jumlah pertayaan × skor


tertinggi)
2
( ) )
=

( )
= = 5,5
KUESIONER D

Kebiasaan Merokok

Identitas Responden :

Inisial Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Pendidikan :

Pekerjaan :

1. Apakah Anda merokok/ pernah merokok?

a. Ya, lansung no 2

b. Tidak, lansung no 7

2. Jika Ya, apakah setiap hari?

a. Ya

b. Tidak

3. Apakah bapak/ibu menghisap rokok >10 batang/hari?

a. Ya

b. Tidak

4. Apakah rokok filter yang sering dihisap?

a. ya

b. tidak

5. Sudah berapa lama Anda merokok?


a. ...... tahun

6. Apakah ada teman sepermainan Anda yang merokok?

a. Ya

b. Tidak

7. Apakah ada anggota keluarga lainnya yang merokok selain Anda ?

a. Ya

b. Tidak

Jumlah pertayaan :7

skor tertinggi :1

Skor Terendah :0

(jumlah pertayaan × skor terendah) + ( jumlah pertayaan × skor


tertinggi)
2
( ) ( )
=

( )
= = 3,5
LEMBAR OBSERVASI PENELITIAN

STATUS GIZI

Berat Badan Tinggi Badan


NO. Nama Inisial IMT Kategori
(BB) kg (TB) m²
KEPATUHAN MINUM OBAT JML KODE PENGAWAS MENELAN OBAT JML KODE PENGETAHUAN PENGOBATAN
NO ISL UMR KODE JK KODE SP KODE PD KODE
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P1 P2 P3 P4 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
1 NY.S 65 TH 3 p 1 M 1 SD 1 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 4 1 1 0 0 1 0 0 0 0
2 NY. S 25 TH 1 P 1 BM 2 SMA 3 1 1 1 1 1 1 6 1 1 0 0 0 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1
3 NY.R 45 TH 2 P 1 M 1 SD 1 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 4 1 0 0 0 1 0 0 0 0
4 NY.R 49 TH 3 P 1 M 1 SMP 2 1 1 1 0 1 1 5 1 1 0 1 1 3 1 0 1 1 1 1 0 0 1
5 TN.P 57 TH 3 L 2 M 1 SMA 3 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 4 1 0 0 1 1 1 1 1 1
6 TN. A 24 TH 1 L 2 M 1 SMA 3 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 1 0 1
7 TN.S 53 TH 3 L 2 M 1 SMA 3 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 0 1 1
8 TN.AM 54 TH 3 L 2 M 1 SD 1 1 1 1 0 1 1 5 1 1 0 1 1 3 1 0 1 0 0 1 1 0 0
9 TN.H 39 TH 2 L 2 M 1 SMA 3 1 1 1 1 1 1 6 1 1 0 1 1 3 1 0 1 1 1 1 0 1 0
10 TN. F 29 TH 2 L 2 BM 2 SMA 3 1 1 1 0 1 1 5 1 1 0 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1
11 NY.N 18 TH 1 P 1 BM 2 SMP 2 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1
12 NY. N 28 TH 2 P 1 BM 2 PT 4 1 1 1 1 1 1 6 1 1 0 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1
13 NY. N 37 TH 2 P 1 BM 2 SMA 3 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 4 1 1 1 0 1 1 0 0 0
14 TN. D 40 TH 2 L 2 M 1 SMA 3 1 1 1 1 1 1 6 1 1 0 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 0
15 NY.A 42 TH 2 P 1 M 1 SMA 3 1 1 1 1 1 1 6 1 1 0 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1
16 NY.J 39 TH 2 P 1 BM 1 SMA 3 3 1 3 1 2 3 13 2 4 4 4 4 16 1
17 NY. S 57 TH 3 P 1 M 1 SD 1 4 3 4 4 3 4 22 1 4 3 3 2 12 2
18 TN. M 30 TH 2 L 2 M 1 PT 4 4 4 4 4 3 3 22 1 4 4 3 2 13 1
19 NY.MDG 74 TH 3 P 1 M 1 SMP 2 4 4 4 4 4 4 24 1 4 4 4 3 15 1
20 NY.I 26 TH 2 P 1 BM 2 PT 2 4 4 4 4 3 3 22 1 4 4 4 4 16 1
21 TN. CF 29 TH 2 L 2 BM 2 SMA 2 4 4 4 4 4 3 23 1 4 4 4 4 16 1
22 NY.AJP 21 TH 1 P 1 BM 1 PT 2 4 4 4 4 4 4 24 1 4 4 4 4 16 1
23 TN. ATA 17 TH 1 L 2 BM 1 SMA 2 3 3 4 4 4 4 22 1 4 4 4 2 14 1
24 TN. B 38 TH 2 L 2 M 1 PT 2 3 4 3 2 3 2 17 2 4 4 4 2 14 1
25 NY. DHH 28 TH 2 P 1 M 1 PT 2 4 4 4 4 4 4 24 1 4 4 4 4 16 1
26 NY.F 41 TH 2 L 2 M 1 SMA 2 3 4 4 4 4 4 23 1 4 4 2 4 14 1
27 NY. H 54 TH 3 P 1 M 1 SD 2 4 4 4 4 4 3 23 1 4 4 4 2 14 1
28 TN. H 23 TH 1 L 2 BM 2 SMA 2 4 3 4 4 4 3 22 1 4 4 3 3 14 1
29 TN. F 26 TH 2 L 2 BM 2 PT 2 4 4 3 4 3 4 22 1 4 4 4 12 1
30 TN. YR 54 TH 3 L 2 M 1 SD 2 4 2 4 4 4 4 22 1 4 4 4 4 16 1
31 NY. HW 51 TH 3 P 1 M 1 SMP 2 2 3 4 4 4 4 21 1 4 4 4 4 16 1
32 NY. N 53 TH 3 P 1 M 1 SMP 2 3 2 4 4 1 4 18 1 4 4 4 3 15 1
33 NY. VCI 24 TH 1 P 1 BM 2 SMA 2 4 4 4 4 4 4 24 1 4 4 4 4 16 1

KETERANGAN
UMUR JK PD SP KEPATUHAN MINUM OBAT PENGAWAS MENELAN OBAT PENGETAHUAN PENGOBATAN KEBIASAAN MEROKOK
1. 17 - 25 = REMAJA 1. PEREMPUAN 1. SD 1. MENIKAH 1. BAIK= SKOR ≥ 3 1. BERFUNGSI= SKOR ≥ 1.MENGERTI = SKOR ≥ 5,5 1. AKTIF = SKOR ≥3,5
2. 26 - 45 = DEWASA 2. LAKI - LAKI 2. SMP 2. BELUM MENIKAH 2. KURANG BAIK = SKOR ≤ 3 2. TIDAK BERFUNSI =SKOR ≤ 2 2. TIDAK MENGERTI = SKOR ≤5,5 2. PASIF= SKOR ≤3,5
3. 46 - 65 = LANSIA 3. SMA
4. PT
2
ATAN JML KODE KEBIASAAN MEROKOK JML KODE STATUS GIZI
P9 P10 P 11 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 BB TB
0 0 1 3 2 0 0 0 0 1 1 1 3 2 31 155
0 1 1 10 1 0 0 0 0 1 1 1 3 2 39 154
0 0 1 2 2 0 0 0 0 1 1 1 3 2 42 157
0 0 1 6 1 0 0 0 0 1 1 1 3 2 41 156
0 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 7 1 49 167
0 0 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 7 1 47 165
1 1 1 10 1 1 1 1 1 1 1 1 7 1 51 172
0 0 1 4 2 1 1 1 1 1 1 1 7 1 52 170
1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 0 6 1 40 160
0 0 1 9 1 1 1 1 1 1 1 1 7 1 47 168
1 0 1 10 1 0 0 0 0 1 1 1 3 2 38 156
1 0 1 10 1 0 0 0 0 1 1 1 3 2 51 153
1 1 1 7 1 0 0 0 0 1 1 0 2 2 39 159
1 1 1 10 1 0 0 0 0 1 1 0 2 2 53 165
1 1 1 11 1 0 0 0 0 1 1 1 3 2 49 156
0 0
0 0
0
0
0
0
0
0
1 1
0
0
0
0
0
0
0
0
0

STATUS GIZI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Samsudin
Tempat, tanggal lahir : Balung Lama, Sabah, 12 November 1994
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Belum Kawin
Agama : Islam
Alamat : Jalan Mappatoba Karaeng Batara Lr. 2 No. 9
No. HP : 0853 4688 8864
Email : sudin7087@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL
Sekolah Dasar : Tahun 2002-2008 SD 010 Tanjung Palas Timur
Kabupaten Bulungan
Sekolah Menengah Pertama : Tahun 2008-2011 SMPN 7 Tanjung Palas
Timur Kabupaten Bulungan
Sekolah Menengah Atas : Tahun 2011-2014 SMAN 1 Tanjung Palas
Timur Kabupaten Bulungan
Perguruan Tinggi : -Tahun 2014-2017 Fakultas Kesehatan Jurusan
DIII Keperawatan Universitas Borneo Tarakan
- Tahun 2018-2020 Program S1 Keperawatan
STIKES Panakkukang Makassar

Anda mungkin juga menyukai