Anda di halaman 1dari 7

Gempa Vulkanik Gunung Guntur

Indonesia mempunyai 500 gunungapi, 128 diantara tergolong aktif. Gunung api dapat
dikatakan aktif apabila aktivitas dalam gunung dapat diamati. Aktivitas gunungapi tidak
harus aktivitas letusan, tetapi aktivitas harian gunung, seperti gempa vulkanik, gempa
tektonik, gempa tremor dan lainnya.

Gunung Guntur merupakan salah satu gunungapi aktif di Indonesia. Dalam


catatan sejarahnya gunungapi ini sering kali meletus baik secara eksplosif (ledakan)
maupun leleran lava yang dapat membahayakan daerah sekitarnya. Antara 1800-1847
tercatat tidak kurang dari 21 kali letusan. Letusan itu berulang-ulang dalam tempo yang
pendek, berlangsung paling lama 5-12 hari. Pada umumnya kegiatan gunung api ini
terbatas pada letusan abu. Sedang letusan besar yang terjadi berkisar antara 11-90 tahun.
Dari semua kegiatan yang diketahui, letusan pada 1690 dan 1841 merupakan dua dari
diantara letusan paling hebat yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda
(Kusumadinata, 1979 dalam Rasjid 1985).

Data kegempaan Gunung Guntur selama 20 tahun terakhir menunjukkan


kecenderungan peningkatan jumlah gempa vulkanik. Jumlah gempa vulkanik pada
bulan Oktober 1997, Mei 1999, November 2002, dan Juni 2005 telah melebihi angka
100. Kemudian pada bulan September 2011 jumlah gempa vulkanik meningkat menjadi
277 gempa dan pada bulan September 2013 kembali meningkat menjadi 348 gempa
(Basuki, 2015).

Adanya peningkatan kegempaan ini tentunya harus diantisipasi dengan baik.


Salah satu bentuk antisipasi adalah dengan melakukan mitigasi terhadap aktivitas
vulkanik yang terjadi dan memonitoring kegempaan dibawah Gunung Guntur. Hal ini
perlu dilakukan mengingat banyaknya jumlah penduduk yang bermukim di sekitar
Gunung Guntur.

Setiap gunungapi mempunyai pos Pengamatan Gunung Api (PGA) yang


tersebar di area gunung. Dari pos PGA inilah tercatat aktivitas-aktivitas gunungapi,
salah satunya aktivitas seismik. Pos PGA gunung Guntur mempunyai 7 stasiun
pengamatan yang berada dibeberapa tempat yaitu Sodong, Kiamis, Citiis, Masigit,
Papandayan, Legokpulus dan Kabuyutan.
Pemantauan aktivitas Gunung Guntur mempunyai beberapa metode, salah satu metode yang
digunakan adalah Metode seismik. Metode seismik menunjukkan aktivitas dan informasi mengenai
kegempaan pada gunungapi yang berbentuk gelombang seismik.

Gunung Guntur

Gambar II.2. Gunung Guntur (Aminullah, 2015 )

Nama Lain : Gunung Gede

Nama Kawah : Kawah Guntur, Kawah

Masigit Lokasi : Kabupaten Garut, Jawa Barat

Geografi Puncak : 07o8'30" LS dan 107o20' BT

Ketinggian : 2249 m

Tipe Gunungapi : Strato

 Kondisi Geologi

Gunung Guntur adalah nama sebuah puncak dari suatu kelompok gunungapi
yang disebut dengan Komplek Gunung Guntur. Komplek Gunung Guntur ini terdiri atas
beberapa kerucut, yaitu Gunung Masigit / Kawah Masigit (2249) yang merupakan
kerucut tertinggi. Ke arah tenggara dari Gunung Masigit terdapat kerucut Gunung
Parukuyan (2135m) dan Gunung Kabuyutan (2048)
Menurut Buku Data Dasar Gunung Api Indonesia PVMBG, Gunung Guntur tidak
berdiri sendiri sebagai kerucut tunggal, yang mana di bagian puncaknya dicirikan
dengan adanya kerucut-kerucut tua bekas titik erupsi yang merupakan satu kelompok
besar Gunung Guntur. Dari kelompok besar Gunung Guntur ini nampak dua buah
kaldera, yaitu Kaldera Pangkalan di sebelah barat dan Kaldera Gandapura di sebelah
timur.
Dengan terbentuknya kedua kaldera itu maka terbentuk pula rekahan-rekahan
yang memajang dimana kemudian muncul kerucut-kerucut gunungapi, diantaranya
Gunung Gajah, Gunung Gandapura, Gunung Agung, Gunung Picung dan Gunung
Batususun. Deretan gunungapi yang lebih muda adalah Gunung Masigit, Gunung
Sangiang Buruan, Gunung Parupuyan Gunung Kabuyutan dan Gunung Guntur yang
merupakan gunungapi termuda dan paling aktif sampai sekarang. Gunung Putri yang
terletak agak jauh diselatannya mungkin merupakan salah satu kerucut parasit dari
kelompok Gunung Guntur ini. Komplek Gunung Guntur ini di sebelah utara berbatasan
dengan dataran tinggi Leles, sedangkan di sebelah timur dan selatan berbatasan dengan
dataran tinggi Garut dan di sebelah baratnya berbatasan dengan Gunung Kunci,
Sanggar, Rakutak dan Kawah Kamojang.
Morfologi komplek Gunung Guntur mempunyai kemiringan yang sangat
bervariasi antara 20 sampai 750. Kemiringan landai umumnya terdapat di daerah
pemukiman, seperti Kota Garut, Kadung Ora, Leles, Tarogong dan Cipanas. Sedang
kemiringan yang terjal terdapat di sekitar puncak Gunung Guntur.
Purbawinata (1990) menyatakan bahwa bagian paling tua di komplek Gunung
Guntur-Gandapura adalah aktivitas vulkanik di Windu-Malang-Putri (domes), Kancing,
dan Gandapura. Dari Gandapura, aktivitas vulkanik bergerak ke arah selatan dan
tenggara masing-masing di Randukurung dan tengah Putri-Katomas-Cikakak (Basuki,
2015)

Tubuh Gunung Guntur dibangun oleh hasil erupsi eksplosif dan efusif. Hasil
erupsi Gunung Guntur sebagian besar berupa aliran lava bongkah masih segar dan
saling menindih. Lava yang termuda (hasil erupsi tahun 1840) mengalir dari Kawah
Gunung Guntur ke arah tenggara dan selatan dan berakhir di daerah Cipanas (sekitar
300 meter sebelah utara lokasi wisata pemandian Cipanas), dimana ujungnya
membentuk morfologi tapal kuda. Aliran Piroklastika tersebar di sebelah tenggara
Kawah Gunung Guntur dan sebagian tertutupi oleh aliran-aliran lava Guntur yang lebih
muda.
Aliran piroklastika Guntur ada 3 (tiga) jenis, pertama adalah yang tersusun atas
blok-blok lava dengan matruk pasir kasar coklat kekuningan, singkapan endapan ini
bisa dijumpai di sekitar Kampung Pesantren. Jenis Kedua tersusun atas blok-blok lava
dan bom vulkanik dengan matrik pasir kasar dan bersifat kurang padu. Sedangkan yang
termuda tersusun atas fragmen lava basaltis dan andesitis serta bom vulkanik dengan
struktur kerak roti berwarna abu kehitaman. Aliran piroklastika ini memperlihatkan pola
sebaran berbentuk kipas dari Puncak Guntur ke arah tenggara.
Endapan Jatuhan Piroklastika sebagian besar terkonsentrasi di sekitar puncak
Gunung Guntur dan menyebar ke arah utara dan tenggara. Endapan tersusun atas Skoria
dan litik basaltis berwarna hitam, berukuran halus sampai kasar, berlapis baik
denganketebalan berkisar antara 4-34 cm.

Gambar II.3 Peta Geologi Gunung Guntur (Sumber PVMBG)


 Sejarah Letusan
Antara tahun 1800 sampai 1847 tercatat tidak kurang dari 21 kali letusan.
Letusan itu berulang-ulang dalam tempo pendek, berlangsung paling lama 5 sampai 12
hari. Periode letusan berselang-selang antara 1,2 dan 3 tahun dan ada kalanya letusan
terjadi setelah masa istirahat 6 dan 7 tahun. Berikut tabel sejarah letusan Gunung
Guntur yang tercatat. Karakter letusan gunungapi Guntur adalah Eksplosif.

Tahun Aktivitas Letusan


1690 Letusan besar, banyak korban dan daerah rusak
1770 Tidak ada keterangan lebih lanjut
1777 Terjadi letusan
1780 Terjadi aliran lava
1803 Letusan pada tanggal 3-15 april
1807 Terjadi letusan pada tanggal 9 Mei
1809 Tidak ada keterangan lebih lanjut
1815 Terjadi pada 15 Agustus
1815-1816 Terjadi pada 21 September
1816 Terjadi pada 21-24 Oktober
1825 Terjadi pada 14 Juni, hutan sekitar gunung terbakar
1827-1829 Tidak ada keterangan lebih lanjut
1829 Beberapa kampung hancur, beberapa orang menjadi korban
1832 Terjadi pada 16 Januari dan 8-13 Agustus
1833 Terjadi pada 1 September
1834-1836 Bulan Desemmber
1840 Terjadi aliran lava ke Cipanas
1841 Terjadi pada 14 November, letusan sangat besar, lk 400.000 batang
pohon kopi hancur
1843 Terjadi pada 4 Januari dan 25 November. Tanah rusak dan beberapa
kampung terlanda
1847 Tidak ada keterangan lebih lanjut
1885 Tidak ada keterangan lebih lanjut
1887 Tidak ada keterangan lebih lanjut
Tabel 2.1 Sejarah letusan Gunung Guntur (PVMBG, 2011)

 Aktivitas Seismik
Di era 1800-an, Gunung Guntur merupakan gunung paling aktif di Indonesia,
bahkan mengalahkan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Adalah Franz Wilhelm
Junghuhn, seorang naturalis Belanda kebangsaan Jerman, yang rajin menuliskan
laporan tentang betapa aktifnya Gunung Guntur dalam bukunya : 13 Goentoer, Java
Tweede Afduling, De Vulkaan en Vulkanische Verschjnslen West-en Midden-Java
(1850).

Sejak letusan terakhir yang terjadi pada tahun 1847 sampai saat ini (154 tahun)
tidak pernah terjadi letusan lagi. Aktifitas gunung ini selanjutnya dicirikan dengan
terekamnya gempa-gempa vulkanik yang berkisar antara 20-30 kejadian/bulan.
Peningkatan kegiatan yang terjadi hanya berupa peningkatan jumlah gempa vulkanik.
Seperti yang terjadi pada tahun 1997, yaitu dengan terekamnya gempa secara berurutan
yang berasal dari daerah puncak. Kemudian pada bulan Mei 1999 terjadi lagi
peningkatan gempa yang disertai dengan gempa terasa (M=2,7 dan 2,8), dimana
episenternya berada di sekitar 2 km baratlaut dari puncak.

Gambar II.4. Sebaran hiposenter gempa di sekitar Kompleks G. Guntur tersebar


sepanjang sesar (garis merah) Drajat-Kamojang dan Guntur-Gandapura (kiri atas), pusat
gempa di bawah Kamojang lebih dalam daripada di bawah Gandapura-Guntur (kiri
bawah). Kedalaman pusat gempa dalam irisan vertikal selatan utara (kanan atas).
Hiposenter gempa dalam tampilan 3-D (kanan bawah) (Suantika, 2002).

Lokasi hiposenter dihitung dengan asumsi bahwa batuannya homogen dengan


cepat rambat gelombang VP=2,76 km/detik. Sumber gempanya terkonsentrasi secara
vertikal di bawah puncak Kawah Gunung Guntur dengan kedalaman 0-5 km, serta di
sekitar Kaldera Kamojang, Gandapura dan Gunung Putri dengan kedalaman 5-10 km
(Suantika, 1997 dan 2002). Untuk gempa-gempa yang terjadi di bawah puncak diduga
dikarenakan oleh rekahan-rekahan kecil dalam batuan pipa kepundan hasil erupsi
sebelumnya. Dengan melihat penyebaran hiposenter dan struktur geologi permukaan
terlihat bahwa mekanisme sumber gempa di daerah Kamojang umumnya dihasilkan oleh
adanya pergeseran sesar dengan arah timurlaut dan baratdaya.

 Pemantauan Gunungapi

Pemantauan gempa dilakukan dengan memasang seismometer secara permanen


di 7 stasiun. Stasiun MIS dan LGP merupakan stasiun seismik dengan menggunakan 3
komponen seismometer (L4C-3D) sedangkan stasiun seismik CTS, SDG, KBY, PPD dan
MSG menggunakan seismometer komponen vertikal (L4C, Mark Product, To=1 s,
h=0,7). Semua stasiun diatas diperkuat sebanyak 36 dB yang kemudian dipancarkan
dengan gelombang radio menuju Pos Pengamatan Gunungapi. Data kemudian digitasi
sehingga menjadi data digital dengan menggunakan data logger Datamark LS-7000
dengan sampling 100 Hz (Basuki, 2015)
Pos Pengamatan G. Guntur juga berfungsi sebagai “Pos Regional Center”. Yang
menerima juga kegempaan dari G. Papandayan dan G. Galunggung. Data kegempaan
G.Guntur – Papandayan dan G. Galunggung diteruskan ke Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi di Bandung dengan teknologi VSAT.

Stasiun Longitude (UTM) Latitude (UTM) Ketinggian (m dpl)


Sodong (SDG) 107,8456 -7,16168 1582
Citiis (CTS) 107,8592 -7,15287 1450
Kiamis (MIS) 107,7504 -7,19859 1650
Masigit (MSG) 107,8413 -7,14909 2190
Papandayan (PPD) 107,7330 -7,31190 2149
Kabuyutan (KBY) 107,8481 -7,15425 1930
Legokpulus (LGP) 107,8150 -7,17504 1400
Tabel 2.2. Lokasi Stasiun pemantau gunungapi Guntur

Anda mungkin juga menyukai