Pembimbing :
Dr. Maria Ingrid Tjahjadi, Sp.S
Disusun oleh:
Dinda Puspita Dewi
112018011
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang cukup
tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian
besar orang muda, sehat dan produktif. Trauma kepala adalah trauma mekanik yang mengenai
calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya baik secara langsung ataupun tidak
langsung, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang
disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun
psikososial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran, baik permanen
ataupun temporer.
Trauma merupakan penyebab utama pada anak diatas usia 1 tahun di Amerika Serikat.
Menurut Dawodu (2003) insidensi trauma kepala tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun
dengan insidens sebanyak 32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah 3,4 :
1. Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas (bermotor) di mana
pada setiap tahun diperkirakan 1 juta meninggal dan 20 juta cedera. Di Indonesia kejadian
cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10%
penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit.80 % di kelompokan sebagai cedera kepala
ringan, 10%termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai
tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa
yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT
Scan kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik.1,2
II. Anatomi
2.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
• Skin atau kulit
• Connective tissue atau jaringan penyambung
• Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak
• Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
• Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan
merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak
pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.3
2.3 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis.
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.
2.4 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons
medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata
terdapat pusat kardio respiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.3-5
2.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial(terdiri
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).4
2.7 Vaskularisasi
Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-
vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.
III. Epidemiologi
Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan
kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan
kelompok usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih
didominasi oleh kaum laki-laki.3
IV. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan
lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-
sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer
mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Fraktur tulang kepala dapat
terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini mencakup kontusi kortikal,
hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata
telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difus berkaitan dengan
disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis. 2-4
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater,
dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio dibawah are benturan disebut lesi kontusio “coup”,
diseberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika
terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu
mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma
kapitis adalah akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup, dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countercoup.2-4
Gambar 2.1. Mekanisme terjadinya Kontusio
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala sekunder dapat
mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran penderita. Kerusakan sekunder terhadap
otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya
efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga
beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin
secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada
dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan
otak.2-4
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak
untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa
daerah tertentu dalam otak.2-4
V. Klasifikasi Trauma Kapitis
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.7,8
a) Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau
motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembus
disebabkan oleh peluru atau tusukan.
b) Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai
berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
c) Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window
untuk memperjelas garis frakturnya. Fraktur cranium terbuka atau komplikata
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak
karena robeknya selaput duramater. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign),
ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervusfasialis.
2. Lesi Intrakranial
Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio,
dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan. 2-6
a. Komosio cerebri
Gegar otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau
menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak,
termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan
cedera pada kepala. Tanda- tanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran,
sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening,
lemah, pandangan ganda.
b. Kontusio cerebri
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh
pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan
pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan
perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari
hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia pasca
traumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang luka
dan luasnya lesi:
• Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial yang dapat menyebabkan kematian.
c. Hematoma Epidural
d. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater
dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar
30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining . Namun ia
juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk
daripada perdarahan epidural. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan
kronis.
• SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.
• SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak
ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula.
Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,
yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens,
bahkan akhirnya menjadi hipodens
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjadi, darah dikelilingi oleh membrana fibrosa. Dengan adanya selisih
tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma
ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran
atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.
e. Subarachnoid hematoma
1. Patologi
- Komosio cerebri
- Kontusio cerebri
- Laseratio cerebri
2. Lokasi lesi
o Lesi difus
o Lesi kerusakan vaskuler otak
o Lesi fokal
i. Kontusio dan laserasi cerebri
ii. Hematom intrakranial
1. hematom ekstradural
2. hematom subdural
3. hematom intraparenkimal
- hematom sub arachnoid
- hematom intraserebral
- hematom intrserbellar
3. Derajat kesadaran berdasarkan GCS
Kategori GCS Gambaran klinik CT-Scan Otak
Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologi (-) Normal
Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit neurologi (-) Normal
Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s.d 6 jam, defisit Abnormal
neurologi (+)
Berat 3-8 Pingsan >6 jam, defisit neurologi (+) Abnormal
Catatan:
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama:
• Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
A. Hematoma Epidural
Perdarahan yang terjadi diantara tabula interna-duramater. Hematom massif, akibat
pecahnya arteri meningea media atau sinus venosus.
Tanda diagnosis klinik:
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal
• Hematoma Epidural di Fossa Posterior
Gejala dan tanda klinis:
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur cranii oksipital
3. kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan serebellum, batang otak dan pernafasan
5. Pupil Isokor
Penunjang diagnosis:
B. Hematoma Subdural
Jenis :
Penunjang diagnostik:
1. Anterior
- Anosmia
2. Media
3. Posterior
Penunjang diagnostik:
D. Perdarahan Subarakhnoid
Gejala dan tanda klinis :
- Kaku kuduk
- Nyeri kepala
- Bisa didapati gangguan kesadaran
Penunjang diagnostik : CT Scan otak : perdarahan (hiperdens) di ruang subarachnoid
Verbal
Nilai >5 tahun 2-5 tahun 0-2 tahun
5 Orientasi baik & Kata-kata tepat Menangis yang sesuai
berbicara
4 Disorientasi & Kata-kata tidak Menangis
berbicara tepat
3 Kata-kata yang tidak Berteriak Menangis yang tidak
tepat, menangis sesuai/berteriak
2 Suara yang tidak berarti Merintih Merintih
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon
Catatan:
• Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor
verbalnya tidak dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal
tersebut. Pasien dengan intubasi, skor GCS maksimal adalah 10 T dan
minimal 2 T.
• Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka,
diberi tanda C (eye closed) untuk komponen mata.
• Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada
komponen motoriknya.
- Tanda-tanda vital
- Otorrhea/rhinorrhea
- Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
- Gangguan fokal neurologis
- Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
- Refleks patologis
- Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, reflex kornea, doll’s eye phenomen
- Monitor pola pernapasan: Cheyne stokes, central neurogenic, hiperventilasi,
apneustic breath, ataxic breath
- Gangguan fungsi otonom
- Funduskopi
3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
- Linier
- Impresi
- Terbuka/tertutup
5. CT Scan Otak: Untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa
- Gambaran kontusio
- Hematoma epidural
- Hematoma subdural
- Perdarahan Subarachnoid
- Hematom intraserebral
6. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks
7. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
8. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
9. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur
dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
10. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
11. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada
otak.
12. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
13. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
14. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
15. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
16. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
VIII. Tatalaksana
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh
karena kompresi jaringan otak.
• E = Laboratorium
- Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula darah
sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit
- Urin: perdarahan (+/-)
- Radiologi
o Foto polos kepalaAP/lateral
o CT scan kepala
o Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
• F = Manajemen terapi
- Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi Siapkan untuk
masuk ruang rawat
- Penanganan luka luka
- Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan
i. Konsensus di ruang rawat pada trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:
- Lanjutkan penanganan ABC
- Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien sadar
(pantauan dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15)
Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai berikut:
o Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
o Suhu > 38˚C
o Frekuensi nafas > 20x/m
- Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan cara:
o Elevasi kepala 30
o Hiperventilasi
o Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam- 1jam,
drip cept, dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2
jam-1jam, setelah 6 jam dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip
cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian pertama.
o Berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek
- Mengatasi komplikasi
o Kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan
early seizure pada kasus risiko tinggi
o Infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis
infeksi intrakranial selama 10-14 hari.
o Gastrointestinal-pendarahan lambung
o Demam
o DIC
- Pemberian cairan dan nutrisi adekuat.
IX. Prognosis
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala
ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik. Sekitar 10% penderita dengan cedera
kepala sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan
somnolen, mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis.
Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik dan
atau CT-scan. Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi,
penderita mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari kemudian. Penderita yang
tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang sederhana, walaupun
sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas
dan mortalitas yang tinggi.1,2
Daftar Pustaka