Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan hal yang sangat berharga bagi kehidupan

manusia. Kesehatan juga merupakan hak asasi manusia yang diamanatkan

dalam Konstitusi Negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disingkat UUD 1945, yaitu Pasal

28 H dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Pasal 28 H menyatakan bahwa

setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan, sementara Pasal 34 ayat (3)

menyatakan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Arti pentingnya kesehatan juga dituangkan di dalam Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) 2005-2025. Dalam

rangka memenuhi hak dasar warga negara untuk memperoleh pelayanan

kesehatan sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan harus

dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya

manusia dan mendukung pembangunan secara menyeluruh dengan

mengacu pada paradigma sehat. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan upaya

kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia, obat dan

1
perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen

kesehatan dengan memperhatikan dinamika kependudukan, epidemiologi

penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi, serta globalisasi dengan semangat kemitraan, dan kerjasama

lintas sektor. Perhatian khusus diberikan pada peningkatan perilaku dan

kemandirian masyarakat pada upaya promotif dan preventif serta pada

pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, daerah tertinggal dan daerah

bencana. 1

Di dalam RPJP-N dinyatakan pula, pembangunan nasional di

bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan

kesehatan diselenggarakan dengan didasarkan kepada perikemanusiaan,

pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan

manfaat dengan perhatian khusus kepada penduduk rentan, antara lain ibu,

bayi, anak, usia lanjut, dan keluarga miskin. 2

Selain itu, di dalam konsideran Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2014 tentang Tenaga Kesehatan yang selanjutnya disingkat UU

Kesehatan, juga dijelaskan bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia

harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan

kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan

kesehatan yang menyeluruh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan

1
Lihat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
2
Ibid

2
masyarakat secara terarah, terpadu dan berkesinambungan, adil dan

merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat. Oleh

karena itu, penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang

tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus

ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan,

sertifikasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan

pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa

keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi kesehatan. 3

Namun di dalam prakteknya, seringkali semangat pemberian

layanan kesehatan oleh tenaga medis, tidak sejalan dengan apa yang

tertuang di dalam konsideran Undang-Undang Tenaga Kesehatan tersebut.

Hal ini dapat terlihat dari hasil tim investigasi majalah Tempo di

penghujung tahun 2015 yaitu kasus dugaan gratifikasi atas 2.125 dokter

dengan total penerimaan mulai lima juta rupiah sampai 2.5 milyar rupiah

yang dilakukan oleh Perusahaan Farmasi Interbat.4 Mereka tersebar di

lima provinsi, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan

Sulawesi Selatan. Sebagian dokter penerima uang dari Interbat itu

berstatus pegawai negeri dan bekerja di rumah sakit milik pemerintah. 5

Berdasarkan data yang dimiliki Tempo, dokumen yang diduga dimiliki PT

3
Lihat Konsideran Menimbang huruf b dan c Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
4
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/11/173717860/gratifikasi-dokter-menteri-
nila-akan-temui-farmasi-dan-idi Diunduh Jum’at, 22 Januari 2016 Pukul 17.00 Wib.
5
Ibid.

3
Interbat, perusahaan farmasi di Sidoarjo, Jawa Timur, mengeluarkan uang

hingga 131 miliar rupiah dalam tiga tahun, yaitu sejak 2013 hingga 2015.

Uang itu diberikan kepada para dokter, diduga tujuannya agar dokter

meresepkan obat-obatan produksi Interbat.6

Praktek kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi ini dibungkus

dalam bentuk kerja sama. Dalam kerja sama itu, dokter akan menerima

diskon 10-20 persen penjualan obat dari perusahaan farmasi. Diskon

tersebut diberikan dalam bentuk uang dan fasilitas lainnya. 7

Iwan Dwiprahasto, dokter dan guru besar farmakologi dari

Universitas Gadjah Mada, menuturkan, nilai bisnis obat yang fantastis

membuat perusahaan farmasi berlomba melimpahi dokter dengan hadiah

dan komisi. Dana yang dipakai perusahaan untuk melayani dokter bisa

mencapai 45 persen dari harga obat.8 Oleh karena itu, obat yang harus

ditebus oleh pasien menjadi lebih mahal. Bahkan lebih jauh, dokter harus

memberikan resep obat dari perusahaan farmasi yang telah menjalin

kerjasama tersebut meskipun sebenarnya pasien dapat memperoleh merk

obat lain yang lebih murah dengan kualitas obat yang sama.

Praktek tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 49 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran atau

disingkat UU Kedokteran, yang menyebutkan setiap dokter atau dokter

6
http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/3067-menteri-kesehatan-gandeng-kpk-cegah-
gratifikasi-dokter Diunduh Jum’at, 22 Januari 2016 Pukul 17.10 Wib.
7
Ibid.
8
Ibid.

4
gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib

menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.

Penjelasan pasal tersebut menerangkan bahwa yang dimaksud

dengan “kendali mutu” adalah suatu sistem pemberian pelayanan yang

efisien, efektif, dan berkualitas yang memenuhi kebutuhan pasien.

Sedangkan yang dimaksud dengan “kendali biaya” adalah pembiayaan

pelayanan kesehatan yang dibebankan kepada pasien benar-benar sesuai

dengan kebutuhan medis pasien didasarkan pola tarif yang ditetapkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan. 9

Kemudian Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang

Farmasi juga mengatur bahwa untuk kepentingan rakyat, Pemerintah

berusaha agar tercapai harga obat dan alat kesehatan serendah-rendahnya.

Dalam pasal tersebut terkandung maksud agar obat-obat, bahan obat dan

perbekalan kesehatan terutama di bidang pengobatan dan kesehatan,

rakyat tidak dijadikan obyek perdagangan. Sesuai dengan jiwa Undang-

Undang Kesehatan, pemerintah berusaha agar tercapai penyebaran obat

yang luas dan merata dengan harga yang serendah-rendahnya. Yang

dimaksud dengan “harga obat serendah-rendahnya” ialah harga yang

ditetapkan serendah mungkin atas dasar perhitungan mengindahkan

kelangsungan produksi. 10

9
Lihat Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
10
Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1963 tentang
Farmasi.

5
Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) juga

mengatur persoalan kolusi dokter dan perusahaan farmasi dalam

meresepkan obat terhadap pasien. Pasal 3 Kodeki menetapkan bahwa

dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi

oleh pertimbangan keuntungan pribadi. Ketika dokter menerima

pemberian dari perusahaan farmasi dengan perjanjian dokter harus

meresepkan obat yang diproduksi oleh perusahaan farmasi tersebut, hal ini

jelas menunjukkan bahwa dokter telah terpengaruh oleh pertimbangan

keuntungan pribadi dalam melakukan pekerjaannya, bukan lagi atas

pertimbangan upaya mencapai kesembuhan pasien. Tentu pasien sebagai

konsumen penerima jasa layanan kesehatan sangat dirugikan dengan

praktek kolusi dokter dan perusahaan farmasi ini. Jika dilihat pengaturan

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 13 ayat (2) menyebutkan :

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau


mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat
kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan
pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain”

Sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut diatur dalam Pasal

62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00

(dua milyar rupiah). Tapi jelas, pengaturan ini hanya bisa dikenakan

terhadap perusahaan farmasi selaku pihak yang memberikan bonus, komisi

atau hadiah kepada dokter yang meresepkan obat-obatan produksi

6
perusahaan mereka. Sedangkan tenaga dokter yang menerima komisi

tersebut, tidak bisa dijerat dengan UU Perlindungan Konsumen ini.

Sayangnya, kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi ini jelas

terjadi dan sudah banyak aturan hukum yang melarangnya, namun di

dalam prakteknya belum ada konsumen di Indonesia yang menjadikannya

sebagai kasus hukum. Padahal tindakan yang dilakukan oleh tenaga dokter

dan perusahaan farmasi tersebut jelas-jelas dapat merugikan pasien yang

menerima jasa pelayanan kesehatan.

Dari hasil investigasi Tim Majalah Tempo atas kasus pemberian

hadiah dan bonus oleh PT. Interbat terhadap tenaga dokter yang

meresepkan obatnya tersebut, sempat muncul pemikiran bahwa dokter

yang menerima pemberian dari perusahaan farmasi dapat dikenakan

ketentuan tentang gratifikasi. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang disingkat

dengan UU Anti Korupsi, yang berbunyi :

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara


negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut siap
dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda

7
paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Salah satu pihak yang menyatakan bahwa dokter yang menerima

pemberian dari perusahaan farmasi dapat dijerat dengan pasal tentang

gratifikasi, diutarakan oleh Johan Budi S.P yang di tahun 2015 itu

menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Johan Budi menyatakan, uang yang diterima dokter dari perusahaan

farmasi dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Namun, dengan catatan

memenuhi beberapa unsur di antaranya dokter yang menerima uang dari

perusahaan farmasi tersebut berstatus sebagai pegawai negeri atau

penyelenggara negara. 11 Padahal profesi dokter ada yang berstatus

pegawai negeri dan ada yang sebagai pegawai swasta. Jika hanya dokter

yang berstatus pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dapat

dikenakan ketentuan gratifikasi ini, tentu akan menimbulkan diskriminasi

dalam penerapan aturan hukum mengenai perbuatan yang sama. Beranjak

dari latar belakang itulah penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih jauh

mengenai KOLUSI PERUSAHAAN FARMASI DENGAN DOKTER

DALAM PELAYANAN KESEHATAN DARI PERSPEKTIF

HUKUM PIDANA KORUPSI .

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka diperoleh

rumusan masalah sebagai berikut :

11
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/04/173715783/ekslusif-suap-obat-kpk-itu-
gratifikasi-jika. Diunduh Jum’at, 22 Januari 2016 Pukul 17.30 Wib.

8
1. Bagaimana kolusi yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dengan

dokter dalam meresepkan obat kepada pasien?

2. Bagaimana pandangan hukum pidana korupsi atas praktek kolusi

perusahaan farmasi dengan dokter dalam meresepkan obat?

3. Bagaimana menjerat perusahaan farmasi dan dokter yang berkolusi

dalam meresepkan obat terhadap pasien melalui perspektif korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kolusi yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dengan

dokter dalam meresepkan obat kepada pasien.

2. Mengetahui pandangan hukum pidana korupsi atas praktek kolusi

perusahaan farmasi dengan dokter dalam meresepkan obat.

3. Mengetahui cara menjerat perusahaan farmasi dan dokter yang

berkolusi dalam meresepkan obat terhadap pasien melalui perspektif

korupsi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Teoritis

Penelitian ini secara teoritis bermanfat untuk menjawab

permasalahan yang berkaitan dengan delik gratifikasi sebagai bagian

dari tindak pidana korupsi, khususnya gratifikasi yang dilakukan oleh

perusahaan farmasi terhadap profesi dokter dalam meresepkan obat

kepada pasien.

9
2. Praktis

a. Bagi aparat penegak hukum, hasil penelitian ini diharapkan mampu

menjawab persoalan yang berkaitan dengan penanganan kasus

pemberian yang dilakukan oleh perusahaan farmasi terhadap

dokter.

b. Bagi penyelenggara negara, terutama kalangan legislatif dapat

menjadikan penelitian ini sebagai bahan masukan baik dalam

rangka menyempurnakan undang-undang maupun dalam

merumuskan substansi undang-undang.

c. Bagi profesi dokter dan perusahaan farmasi, melalui penelitian ini

mengetahui bahwa tindakan mereka memberi atau menerima

sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan terhadap

masyarakat, memiliki aspek hukum yang bisa dikenakan pidana.

d. Bagi masyarakat terutama penerima layanan kesehatan dari tenaga

dokter, hasil penelitian ini sangat bermanfaat, karena dengan

adanya kolusi antara dokter dengan perusahaan farmasi dalam hal

meresepkan obat yang berujung penerimaan hadiah oleh dokter

dari perusahaan farmasi, maka kualitas pelayanan kesehatan yang

diterima masyarakat dikhawatirkan tidak akan maksimal karena

dokter terpengaruh oleh keuntungan pribadi. Oleh karena itu,

melalui penelitian ini, masyarakat yang dirugikan bisa mengetahui

langkah hukum untuk memenuhi haknya.

10
3. Akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu

memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu

hukum, terutama dalam upaya penanganan kasus gratifikasi yang

menimpa profesi kedokteran.

E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka Teoritis

a. Konsep Negara Hukum

Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini seperti yang

tertuang pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 hasil

amandemen ke tiga yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara

hukum. Selain itu, konsep negara hukum Indonesia juga ditemukan

pada konsideran KUHAP huruf a yang berbunyi :

“bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum


berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala
warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”
Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan

supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Secara

umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum

terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law),

kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan

11
hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due

process of law).12

Berkaitan dengan kolusi perusahaan farmasi dengan dokter dalam

pelayanan kesehatan, khususnya dalam hal meresepkan obat kepada

pasien, jika ditinjau dari ketentuan gratifikasi, hanya dapat menjerat

dokter dengan status pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Padahal di dalam prakteknya, profesi dokter juga ada yang sebagai

pegawai swasta. Jika hukum hanya menyentuh dokter dengan status

pegawai negeri atau penyelenggara negara, tentu bertentangan dengan

konsep negara hukum, terutama prinsip kesetaraan dihadapan hukum

(equality before the law).

b. Teori Keadilan

Teori keadilan ini dikembangkan oleh Plato, Hans Kelsen, H.L.A

Hart, Jhon Stuart Mill dan Jhon Rawls. 13 Kata keadilan berasal dari

kata adil. Dalam Bahasa Inggris, disebut “justice”, sedangkan dalam

Bahasa Belanda disebut dengan “rechtvaardig”. Adil diartikan dapat

diterima secara objektif. 14 Keadilan dimaknai sifat (perbuatan,

perlakuan) yang adil. 15 Ada tiga pengertian adil, yaitu :16

1) Tidak berat sebelah atau tidak memihak;

2) Berpihak pada kebenaran;

12
Jamaluddin Karim, 2013, Politik Hukum Legalistik, Yogyakarta :Imperium, hlm 1.
13
Salim HS dan Erlies Sptiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Disertasi dan Tesis, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, hlm 29.
14
Algra, dkk, 1983, Mula Hukum, Jakarta : Binacipta, hlm 7.
15
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta :Balai Pustaka, hlm 6-7.
16
Kahar Mansyur, 1985, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta :Kalam Mulia, Hlm 71.

12
3) Sepatutnya atau tidak sewenang-wenang.

Konsep keadilan menurut Kahar Mansur ada tiga hal yang

menurutnya dinamakan adil17:

1) Adil ialah: meletakan sesuatu pada tempatnya.

2) Adil ialah: menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain

tanpa kurang.

3) Adil ialah: memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap

tanpa lebih dan tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam

keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang

melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran yang

dilakukannya.

Dalam pembangunan hukum hendaknya hukum lebih difungsikan

untuk mencapai keadilan. Kegagalan pencapaian keadilan akibat

hukum tidak dapat menjalankan fungsinya dengan benar, maka

terjadilah seperti kondisi saat ini yaitu kekerasan, kriminalitas, protes-

protes illegal dan tindakan-tindakan protes lainnya.18

Terkait dengan pernyataan Johan Budi bahwa pemberian yang

diterima dokter dari perusahaan farmasi dapat dikategorikan sebagai

gratifikasi, namun dengan catatan hanya bisa dikenakan terhadap

dokter yang berstatus pegawai negeri atau penyelenggara negara, tentu

18
Esmi Warassih, 2014, Monograf Ilmu Hukum, Endang Sutrisno (Editor), Yogyakarta:
Deepublish, hlm 3.

13
tidak adil karena semestinya ada sanksi pidana juga bagi dokter swasta

atau dokter klinik yang melakukan tindakan yang sama.

c. Teori Melawan Hukum

Ada beberapa pengertian yang ditujukan untuk menafsirkan

“melawan hukum”. Ada yang mengartikan “tanpa hak sendiri” (zonder

eigen recht), “bertentangan dengan hak orang lain” (tegen een anders

recht), “bertentangan dengan hukum objektif (tagen het objective

recht).19 Karena bermacam-macamnya pengertian melawan hukum itu,

Noyon –Langemeijer sebagaimana dikutip Andi Hamzah mengusulkan

agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik tanpa

secara asasi menghilangkan kesatuan artinya. 20

Melawan hukum dibedakan atas melawan hukum secara formil dan

melawan hukum secara materil. Menurut Pompe, melawan hukum

secara materil diartikan sebagai bertentangan dengan hukum, termasuk

hukum yang tidak tertulis, sedangkan melawan hukum secara formil

diartikan bertentangan dengan undang-undang.21

Melawan hukum materil harus berarti hanya dalam arti negatif,

atinya kalau tidak ada melawan hukum materil, maka merupakan dasar

pembenar. Dalam penjatuhan pidana harus dipakai hanya melawan

hukum formil, artinya yang bertentangan dengan hukum positif yang

19
Andi Hamzah, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Perkembangannya,
Jakarta : PT. Sofmedia, hlm 176.
20
Ibid
21
Ibid, hlm 177.

14
tertulis, karena alasan nullum crimen sine lege stricta yang tercantum

di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP. 22

Karena sejauh ini belum ada kasus kolusi perusahaan farmasi

dengan dokter dalam merumuskan obat yang dilaporkan oleh pasien di

Indonesia secara hukum, padahal perbuatan tersebut jelas melawan

hukum secara materil, maka perlu dikaji lebih jauh unsur melawan

hukum dari kolusi dokter dan perusahaan farmasi tersebut untuk dapat

dijerat secara hukum.

2. Kerangka Konseptual

a. Pengertian Kolusi

Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan

membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan

kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau

fasilitas tertentu (gratifikasi) sebagai pelicin agar segala urusannya

menjadi lancar.23 Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia

mendefinisikan kolusi sebagai kerja sama rahasia untuk maksud

tidak terpuji; persekongkolan.24

b. Pengertian Perusahaan Farmasi

Perusahaan farmasi atau perusahaan obat-obatan adalah

perusahaan bisnis komersial yang fokus dalam meneliti,

mengembangkan dan mendistribusikan obat, terutama dalam hal

22
Ibid, hlm 178
23
https://id.wikipedia.org/wiki/Kolusi. Diunduh Kamis, 31 Maret 2016 Pukul 14.15 Wib.
24
http://kbbi.web.id/kolusi. Diunduh Kamis, 31 Maret 2016 Pukul 14.20 Wib.

15
kesehatan. Mereka dapat membuat obat generik atau obat

bermerek. 25

c. Pengertian Dokter

Istilah Dokter berasal dari Bahasa Latin yang berarti

“guru”, adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha

menyembuhkan orang-orang yang sakit. Tidak semua orang yang

menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk menjadi

dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan

mempunyai gelar dalam bidang kedokteran. 26

Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 2 UU Praktik

Kedokteran :

“Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis,


dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”
Untuk dokter dan dokter gigi lulusan dalam negeri dalam

menjalankan praktek kedokterannya, tahap-tahapannya dalam

mendapatkan Surat Izin Praktek (SIP) sangat jelas seperti yang

tertuang dalam Undang-undang Praktek Kedokteran tersebut,

sedangkan bagi dokter atau dokter gigi lulusan luar negeri, maka

tahapan-tahapan dalam rangka mendapatkan SIP bertambah

beberapa tahap, yaitu melakukan adaptasi terhadap standar yang

25
Https://id.wikipedia.org/wiki/perusahaan_farmasi. Diunduh Kamis, 31 Maret 2016
Pukul 14.17 Wib.
26
https://id.wikipedia.org/wiki/Dokter. Diunduh Jum’at, 22 Januari 2016 Pukul 21.35
Wib.

16
telah ditentukan serta peraturan perundang-undangan yang

berlaku.27

Dalam penelitian ini, pengertian dokter mengacu pada UU

Praktek Kedokteran, yaitu dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan

dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau

kedokteran gigi, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui

oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

d. Pengertian Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan

dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Definisi

pelayanan kesehatan menurut Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah

sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah

pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan

kesehatan) dengan sasaran masyarakat.28 Sedangkan menurut

Levey dan Loomba, Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang

diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu

organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan

kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.29

27
Desriza Ratman, 2014, Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktek Kedokteran dan
Malpraktek Medik (Dalam Bentuk Tanya Jawab), Bandung :CV Keni Media, hlm16.
28
http://definisimu.blogspot.co.id/2012/08/definisi-pelayanan-kesehatan.html. Diunduh
Jum’at, 22 Januari 2016 Pukul 21.35 Wib.
29
Ibid

17
Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan

kesehatan secara umum dapat dibedakan atas dua, yaitu: 30

1) Pelayanan kedokteran : Pelayanan kesehatan yang

termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran

(medical services) ditandai dengan cara

pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo

practice) atau secara bersama-sama dalam satu

organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan

penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya

terutama untuk perseorangan dan keluarga.

2) Pelayanan kesehatan masyarakat : Pelayanan kesehatan

yang termasuk dalam kelompok kesehatan masyarakat

(public health service) ditandai dengan cara

pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama

dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan serta

mencegah penyakit, serta sasarannya untuk kelompok

dan masyarakat.

Dalam penelitian ini, pengertian Pelayanan Kesehatan

mengacu pada definisi pelayanan kesehatan menurut Departemen

Kesehatan RI yaitu setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau

secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan

30
Ibid

18
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit

serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan

ataupun masyarakat. 31

e. Pengertian Hukum Pidana Korupsi

Pengertian korupsi sudah banyak didefinisikan oleh para

kalangan hukum. Namun sejauh ini, masih belum ditemukan

definisi tentang korupsi maupun hukum pidana korupsi yang

memenuhi semua unsur dan memuaskan semua pihak. Menurut

Robert O. Tilman, sebagaimana dikutip oleh Elwi Danil,

pengertian korupsi yang sesungguhnya tergantung dari cara dan

dari sudut mana orang memandangnya. Penggunaan suatu

perspektif tertentu akan menghasilkan pemahaman yang tidak

sama tentang makna korupsi dengan penggunaan perspektif

lainnya. Penggunaan pendekatan yuridis untuk memahami makna

korupsi secara konseptual, akan menghasilkan suatu pengertian

yang berbeda dengan penggunaan pendekatan-pendekatan lain,

misalnya pendekatan sosiologis, kriminologis, politis, dan

sebagianya. 32

Dilihat dari sudut terminologi, istilah korupsi berasal dari kata

“corruptio” dalam Bahasa Latin yang berarti kerusakan atau

kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau

31
Ibid
32
Elwi Danil, 2014, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasanya, Jakarta :
Rajawali Pers, hlm 2.

19
perbuatan yang yang busuk. 33 Kemudian Henry Campbell Black

seperti yang dikutip Elwi Danil mengartikan korupsi sebagai

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak

dari pihak lain. 34

A.S. Hornby dan kawan-kawan mengartikan istilah korupsi

sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah

berupa suap (the offering and accepting of bribes), serta kebusukan

atau keburukan (decay).35 Sedangkan David M. Chalmer

menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain

menyangkut masalaah penyuapan yang berhubungan dengan

manipulasi di bidang ekonomi, dan menyangkut bidang

kepentingan umum. 36

Sementara itu, di dalam Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 junto Udang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001, terdapat tujuh pengelompokan

tindak pidana korupsi yang definisinya sesuai dengan masing-

masing pengelompokan. Pertama, korupsi yang merugikan

keuangan negara; Kedua, suap-menyuap; Ketiga, penggelapan

dalam jabatan; Keempat, Pemerasan; Kelima, perbuatan curang;

33
Ibid, hlm 3.
34
Ibid
35
Ibid, Hlm 4.
36
Ibid

20
Keenam, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan; Ketujuh,

Gratifikasi. 37

Banyaknya pengertian korupsi dapat mengakibatkan

timbulnya kesulitan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan

tentang apa yang dimaksud dengan korupsi sebagai sebuah konsep.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini Penulis membatasi pengertian

korupsi seperti yang dituliskan oleh Robert Klitgaard dalam

bukunya Controlling Corruption sebagaimana di terjemahkan oleh

Hermojo dalam Buku Membasmi Korupsi, yaitu:

“tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi


sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang
yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat,
kelompok sendiri) : atau melanggar aturan-aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi”.38

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative

legal research). Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian

hukum doctrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum seringkali

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-

undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau

norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap

37
Indonesia Coruption Watch, 2014, Studi Tentang Penerapan Pasal Gratifikasi yang
Dianggap Suap pada Udang-Undang Tipikor, Policy Paper,Hlm 19.
38
Hermojo (Penerjemah), dalam Robert Klitgaard, 1988, Controlling Corruption, The
Regent of the University of California, Edisi Ketiga, 2005, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta : hlm 31.

21
pantas.39 Disamping itu, penelitian hukum ini dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, sehingga dinamakan

penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.40

Penelitian kepustakaan (Library Reseach) artinya penelitian ini

dilakukan dengan membaca karya-karya yang terkait dengan persoalan

yang akan dikaji kemudian memuat kajian tentang penelitian. 41

Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup :

penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika

hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,

perbandingan hukum dan sejarah hukum. Selain itu penelitian ini juga

mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan, 42 yakni

peraturan perundang-undangan terkait pemberian yang dilakukan oleh

perusahaan farmasi terhadap dokter.

2. Sifat Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan tahapan untuk mencari

kembali sebuah kebenaran. Sehingga akan dapat menjawab pertanyaan

yang muncul tentang suatu objek penelitian. 43 Penelitian ini bersifat

deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk menguraikan objek

39
Amiruddin dan Zainal Asikin, tth, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta :PT.
RajaGrafindo Persada, Hlm 118.
40
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta :Rajawali Pers, hlm 13.
41
Mestika Zed, 2007. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
hlm 3.
42
Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UII Press, hlm 15.
43
Bambang Sugono, 2001. Metode Penelitian Hukum, Jakarta :RajaGrafindo Persada,
hlm 29.

22
penelitiannya, atau penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan

tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.44 Maka

sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif

(descriptive legal study) berupa pemaparan dan bertujuan untuk

memperoleh gambaran lengkap tentang penerapan hukum. Adapun

keadaan yang digambarkan dalam penelitian ini adalah mengenai

pemberian yang dilakukan oleh perusahaan farmasi terhadap dokter.

3. Sumber Bahan Hukum

Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif maka

sumber hukum yang digunakan adalah :

a. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari aturan-aturan hukum

nasional dan hukum internasional yang terkait dengan gratifikasi

sebagai bagian dari tindak pidana korupsi serta peraturan terkait

etika profesi dokter, seperti :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


44
Bambang Waluyo, 2002. Penelitian Hukum dalam Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, hlm
8.

23
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan.

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014

tentang Tenaga Kesehatan.

7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran.

8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

9) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

512/Menkes/Per/IV/2017 Tentang Izin Praktek dan

Pelaksanaan Praktik Kedokteran.

10) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1148/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi.

11) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014 Tentang

pengendalian Gratifiksi di Lingkungan Kementerian

Kesehatan.

12) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011

tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

13) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 5 Tahun 2011

Tentang Legalitas Surat Tanda Registrasi Dokter dan Dokter

Gigi yang sedang dalam Proses Registrasi Ulang.

24
14) Surat Edaran Nomor: SE-007/A/JA/11/2004 Tanggal 26

November 2004 tentang Percepatan Proses Penanganan

Perkara-Perkara Korupsi se-Indonesia.

15) Kode Etik Kedokteran Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.45 Bahan hukum sekunder berasal

dari buku-buku teks yang berisi prinsip-prinsip hukum dan

pandangan-pandangan para sarjana. 46

c. Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder,47 antara lain : Kamus Terminologi Hukum,

Kamus Bahasa Inggris, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan

internet.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan

(library research), yaitu dengan cara mempelajari dan meneliti

literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diuraikan.

Menurut Rianto Adi,. jika data yang diperlukan untuk menjawab

45
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc.Cit.
46
Ronny Hanitijo, 1993.Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indo, hlm 43.
47
Sorjono Soekanto, 2006. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, hlm 61.

25
masalah penelitian terdapat dalam bahan pustaka, maka kegiatan

pengumpulan data itu disebut dengan literatur study.48

Peraturan perundang-undangan, buku-buku, literatur, jurnal, dan

bahan kepustakaan lainnya untuk penulisan ini, diperoleh pada :

a. Perpustakaan Universitas Andalas Padang

b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang

c. Perpustakaan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas

Andalas Padang

d. Perpustakaan Bung Hatta Bukit Tinggi

e. Perpustakaan Kota Payakumbuh

f. Perpustakaan Pribadi.

5. Pengolahan Data Dan Analisis Data

a. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah kegiatan merapikan hasil pengumpulan

data, yaitu dengan cara menyeleksi atas dasar reabilitas dan

validitasnya. 49 Data-data tersebut disusun secara berurutan dan teratur

sesuai dengan permasalahan.

Proses selanjutnya, data yang telah diinventarisasi dilakukan proses

edditing, yaitu meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkas-

berkas, informasi yang dikumpulkan oleh pencari data yang

diharapkan akan dapat meningkatkan mutu kehandalan (reabilitas)

48
Rianto Adi, 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum,Jakarta: Granit, hlm 72.
49
Sumardi Suryabrata, 2006. Metodologi Penelitian, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada,
hlm 40.

26
yang hendak dianalisis. 50 Hal ini bertujuan untuk mendeteksi

kesalahan-kesalahan, kemudian memperbaikinya, sehingga diperoleh

data yang berkualitas.

b. Analisis Data

Analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

metode analisis kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan tidak dengan

menggunakan angka-angka atau rumus statistik, melainkan dengan

menggunakan kata-kata atau uraian kalimat dengan melakukan

penilaian berdasarkan peraturan perundang-undangan, teori atau

pendapat ahli, serta logika sehingga dapat ditarik kesimpulan yang

logis dan merupakan jawaban dari permasalahan. Kemudian penulis

juga menggunakan analisis isi (content analisis) yaitu teknik apapun

yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan

karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan sistematis. 51

50
Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hlm 168-169.
51
Soejono dan Abdurrahman, 2003. Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta,
hlm 16.

27

Anda mungkin juga menyukai