Anda di halaman 1dari 6

Patofisiologis HIV (Human Immunodeficiency Virus)

Oleh: Nur Azizah, 1806140211, KMB Kelas-A

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan penyakit infeksi yang telah


menjadi masalah darurat global. Sebanyak 35 juta orang di dunia hidup dengan HIV dan
sebanyak 19 juta orang tidak mengetahui status HIV positif mereka (UNAIDS, 2014). HIV
juga menjadi masalah kesehatan di Indonesia, dimana Indonesia menempati urutan ke-5
negara paling berisiko HIV/AIDS di Asia (Kemenkes, 2018). Pada tahun 2017 total kasus
HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 48.300 (Kemenkes, 2018). Jumlah kasus HIV cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 2013-2017 sedangkan jumlah kasus AIDS
relatif stabil. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin banyak ODHA yang statusnya
terinfeksi HIV namun belum masuk stadium AIDS. Tingginya kasus HIV beserta
peningkatannya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah, masyarakat, dan tenaga
kesehatan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang HIV dan cara pencegahan serta
penangannya. Berikut ini patofisiologis infeksi HIV.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyerang sistem


kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh tidak mampu melindungi diri dari penyakit yang
menyertainya. HIV termasuk dalam golongan retrovirus yang berarti membawa informasi
genetiknya dalam bentuk RNA (LeMone & Burke, 2017). HIV memiliki dua struktur utama
yang diselubungi oleh lapisan protein, struktur tersebut ialah bagian selubung (envelope) dan
bagian inti (Porth, C.M., & Matfin, G., 2009). Bagian envelope dilapisi lipid bilayer dengan
adanya 70 – 80 buah tonjolan (knoblike projection) yang tertanam pada permukaannya
dengan dua macam glikoprotein yaitu gp120 dan gp41 (Porth, C.M., & Matfin, G., 2009).
Gp120 berperan dalam pengikatan HIV dengan sel yang mempunyai reseptor CD4+
sedangkan gp41 berperan dalam fusi antara virus dengan membrane sel tubuh ketika virus
akan memasuki sel tubuh (Porth, C.M., & Matfin, G., 2009). Bagian inti berbentuk silindris
dengan RNA sebagai struktur genetiknya, dan terdapat enzim-enzim reverse, transcriptase,
integrase, dan protease (Porth, C.M., & Matfin, G., 2009).
Gb. 1 Struktur HIV (Porth, C.M., & Matfin, G., 2009)

Infeksi HIV dimulai ketika virus masuk ke tubuh kemudian menginfeksi sel yang
memiliki antigen CD4+. CD4+ merupakan molekul permukaan yang terdapat pada limfosit T
helper, sel makrofag, sel monosit, dan sel dendritik (APC professional). Limfosit T helper
bertanggung jawab pada pertahanan tubuh, mengatur sel T sitotoksik, mengenali antigen
asing, mengaktifkan sel B penghasil antibodi, mengarahkan aktivitas imun, dan
mempengaruhi aktivitas fagositosit monosit dan makrofag. Hilangnya sel T helper akan
mengarah pada defisiensi imun.

Gambar 3. Proses Patogenensis HIV


Berikut pathogenesis virus HIV di dalam sel tubuh:
1. Binding
HIV memasuki sel ketika glikoprotein 120 (gp120) pada envelope berikatan dengan
reseptor CD4. Akan tetapi ikatan dengan reseptor CD4 belum cukup kuat untuk
menimbulkan infeksi. Gp120 juga harus berikatan dengan chemokine reseptor (CXCR4
atau CCR5) (Ignatavicus, 2017).
2. Fusion
Setelah berikatan, struktur envelope virus berlekatan dengan membran plasma sel host.
Perlekatan tersebut mengakibatkan inti virus (RNA dan protein virus) masuk ke dalam
sel host (Ignatavicus, 2017).
3. Reverse Transcriptation
Untuk dapat melakukan replikasi, RNA virus harus diubah menjadi DNA. Melalui
bantuan enzim reverse transcriptase RNA virus diubah menjadi DNA. DNA virus
kemudian menggandakan diri menjadi double strand DNA.
4. Genome Integration
DNA virus kemudian memasuki inti sel host. Melalui enzim integrase virus, DNA virus
digabungkan dengan DNA asli sel host. Hal ini memiliki dua dampak yaitu pertama,
pada saat replikasi sel, sel baru yang terbentuk otomotis mengandung DNA virus, dan
kedua DNA virus pada genom secara langsung memproduksi virus baru (Lewis et al,
2014).

Gambar 4. Sumber gambar : (Lemone et al., 2017)


5. Genome Replication
Sel kemudian menggunakan DNA virus sebagai template untuk memproduksi genom
mRNA virus. mRNA (messenger RNA) berperan dalam pemberi pesan untuk repikasi
virus baru.
6. Protein Synthesis & Cleavage
Sel kemudian menggunakan RNA virus untuk melakukan sintesis protein virus atau
poliprotein. Poliprotein yang telah terbentuk kemudian dipotong menjadi bagian yang
lebih kecil dengan bantuan enzim protease.
7. New Viral Formed
RNA virus dan protein yang telah jadi kemudian berpindah menuju permukaan sel host
dan virus HIV baru terbentuk.

Setelah virus masuk ke dalam tubuh,, virus akan bertemu dengan sel dendritik dan
berkembang biak, kemudian akan menginfeksi sel T CD4+ yang istirahat (resting) dan juga
sel CD4+ yang teraktivasi (Ignatavicus, 2017). Keduanya akan menjadi tempat
perkembangbiakan virus HIV sehingga virus dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain.
Selain itu, sel limfosit dapat berpindah ke jaringan limfoid atau kelenjar getah bening yang
selanjutnya virus dapat menyebar ke seluruh tubuh. Kemudian akan muncul pertahanan tubuh
yang akan menekan virus HIV, akan tetapi penekanan tersebut hanya bersifat sebagian
sehingga lambat laun virus HIV akan tetap diproduksi.

Gambar 5. Tahapan Infeksi HIV dalam Tubuh Manusia

1. Infeksi akut/infeksi primer

Pada fase awal infeksi jumlah virus HIV sangat besar di ikuti dengan
penurunan jumlah sel CD4+. Selanjutnya muncul reaksi imunitas yang akan menekan
virus tersebut sehingga jumlah virus menurun dan diikuti kenaikan jumlah sel CD4+.
Pada fase tersebut muncul gejala akut yang berlangsung dalam waktu 1 – 3 minggu
setelah tubuh pertama kali terpapar virus HIV. Penderita yang terinfeksi akan
mengalami gejala mononucleosis seperti demam, kelelahan, ruam kulit, malaise, dan
sakit kepala.

2. Infeksi Kronik
Penekanan yang bersifat parsial akan meningkatkan kembali jumlah virus
secara perlahan yang diikuti dengan penurunan CD4+, fase ini berlangsung selama 10
tahun (Ignatavicus, 2017). Jumlah normal sel T CD4+ yaitu 800 – 1200 sel/uL,
selama sel T CD4+ berjumlah 500 atau lebih dari 500 seseorang akan menunjukan
gejala asimptomatik (tanpa gejala).

3. Infeksi Oportunistik
Setelah gejala asimptomatik berjalan selama beberapa tahun selanjutnya
penderita akan mengalami gejala simtomatik. Gejala ini muncul ketika jumlah sel T
CD4+ dibawah 500 atau berada dalam kisaran 200-499 sel/uL. Pada fase ini,
penderita akan mengalami infeksi oportunistik seperti kandisiasis oral, Kaposi
sarcoma, dan lainnya.

4. AIDS
Penderita akan mengalami AIDS ketika jumlah sel T CD4+ kurang dari 200
sel/uL, adanya infeksi oportunistik, malignasi ataupun gangguan sistem saraf
(Ignatavicus, 2017). Beberapa infeksi oportunistik yang muncul pada penderita AIDS
antara lain Pneumocytis Carinii Pneumonia, TBC, diare, wasting syndrome, dan
adanya malignansi atau keganasan kanker.
Daftar Pustaka

Ignatavicius, D. D., Workman, M. L., & Rebar, C. R. (2017). Medical-Surgical Nursing:


Concepts fot Interprofessional Collaborative Care (9th ed.). St. Louis: Elsevier.

Kementrian Kesehatan RI. (2018). General situation of HIV/AIDS and HIV test. In Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (pp. 1–12).

Lemone, Burke, Bauldoff, Gubrud, Jones, L., Hales, … Searl. (2017). Medical Surgical
Nursing: Critical Thinking for Person Centered Care (3rd ed., Vol. 1–3). Meoulborne:
Pearson.

Lewis, S.L.,Dirksen, S.R., Heitkemper, M.M., & Bucher, L.(2014).Medical Surgical


Nursing: Assesment and Management of Clinical Problems (9th ed). Missouri: Elsevier
Mosby.

Porth, C.M., & Matfin, G. (2009). Pathophysyiology: Concepts of Altered Health States. (9 th
ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Simon, V., Ho, D. D., & Abdool Karim, Q. (2020). HIV/AIDS epidemiology, pathogenesis,
prevention, and treatment. Lancet (London, England), 368(9534), 489–504.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(06)69157-5

White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2013). Medical-Surgical Nursing : An Integrated
Approach (3rd ed.). Delmar: Engange Learning.

Anda mungkin juga menyukai