Anda di halaman 1dari 3

Bagaimana Kedudukan Grosse Akta, Arti serta Fungsinya ?

Oleh Dr. Udin Narsudin, S.H., M.Hum., Sp.N

Menurut sistem hukum yang berlaku di Indonesia, akta notaris itu merupakan akta otentik yang
teristimewa.

Pasal 1 angka 1 UUJN-P mengatakan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya”.

Pasal 15 ayat (1) mengatakan : “Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.

Akta otentik menurut Pasal 165 HIR adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang
berkuasa akan membuat aktanya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan
ahliwarisnya, serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang
tersebut dalam surat itu dan juga yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi
yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan langsung berhubungan dengan pokok
dalam akta itu.

Berdasakan ketentuan sebagaimana tersebut diatas nampak jelas bahwa ada kata otentik yang dibuat
oleh, dan ada yang dibuat dihadapan pegawai umum yang berkuasa membuatnya yaitu hakim, notaris,
pegawai pencatat nikah, PPAT dsb.

Akta otentik yang dibuat oleh pegawai umum yang bersangkutan misalnya adalah surat panggilan juru
sita, putusan hakim, sedangkan akta perkawinan, dibuat dihadapan pegawai pencatat nikah dan akta
perjanjian perkawinan, akta perjanjian sewa menyewa dpat dibuat dihadapan notaris.
Apabila ada kreditur dan debitur mengahadap notaris dan dhadapannya dibuat akta pengakuan hutang,
maka akta aslinya setelah dibacakan oleh notaris dihadapan para pihak dan saksi-saksi, ditanda-tangani
oleh para pihak, saksi-saksi dan Notaris.

Asli akta itu tetap akan tersimpan di kantor notaris yang kita sebut sebagai minuta. Notaris kemudian
akan membuat salinan akta untuk masing-masing pihak, salinan pertama, yaitu grosse akta diberi kepala
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan diserahkan kepada Kreditur. Salinan kedua
yang tidak memakai kepala, diserahkan kepada debitur.

Oleh karena itu apabila berbicara mengenai grosse akta, maka hal itu tidak bisa dilepas dari akta
notarisnya itu sendiri, oleh karena grosse tidak lain adalah turunan atau salinan dari akta notaris yang
dibuat dalam minuta dan disimpan di arsip kantor notaris.

Menurut GHS Lumban Tobing, mengemukakan bahwa Grosse akta adalah salinan atau (pengecualian)
kutipan dengan memuat diatasnya (diatas judul akta) kata-kata : “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dibawahnya dicantumkan kata-kata : “Diberikan sebagai grosse
pertama”, dengan menyebut nama orang, yang atas permintaanya grosse itu diberikan dan tanggal
pemberianya.

UUJN-P Pasal 1 angka 11 “Grosse Akta adalah salah satu salinan Akta untuk pengakuan utang dengan
kepala Akta "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", yang mempunyai
kekuatan eksekutorial”.

UUJN-P Pasal 16 (1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:

d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

Yang Wajib mengeluarkan grosse akta menurut Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN-Padalah Notaris. Apabila
notaris menolak tanpa alasan yang mendasar, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan UUJN-P, kecuali penolakan tersebut didasarkan pada alasan yang berdasar.

Jadi apabila disimpulkan ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf d, jelas menyebutkan bukan hanya
berwenang, akan tetapi wajib mengeluarkan grosse atas permintaan orang yang berkepantingan.

Lalu siapa yang berhak meminta dibuatkan grosse akta :


-para pihak yang langsung berkepantingan ;

-para ahli waris dari yang membuat perjanjian ;

-dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka.

Memang dalam UU tidak ditegaskan dengan tegas kapan grosse akta itu bisa diminta. Namun dalam
pasal-pasal yang menyebutkan tentang grosse akta dapat diambil kesimpulan, bahwa grosse akta itu
dapat diminta setiap waktu, bila dikehendaki oleh yang berhak memintanya.

Pasal dalam HIR yang memberi kekuatan eksekutorial kepada grosse akta pengakuan hutang yang
berjudul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah pasal 224 HIR, yang berbunyi :

1. Surat asli daripada surat hipotik dan surat hutang, yang dibuat dohadapan notaris di Indonesia dan
memkai perkataan: “Atas Nama Keadilan” di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat putusan hakim.

2. Dalam Menjalankan surat yang demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai, maka dapat
diperlakukan peraturan pada bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan hanya
boleh dilakukan sesudah diijinkan oleh Putusan Hakim. Jika hal menjalankan putusan itu harus berlaku,
semuaatau sebagian, diluar daerah hukum Pengadilan Negeri, yang ketuanya memerintahkan itu, mak
diturut peraturan-peraturan Pasal 195 ayat kedua dan berikutnya.

Kesimpulannya adalah :

-grosse yang kedudukannya dipersamakan dengan suatu putusan pengadilan adalah grosse akta hipotik
dan akta grosse akta pengakuan hutang ;

-agar grosse akta notaris mempunyai kekuatan eksekutorial, dengan kata lain, agar grosse itu dapat
dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri, maka grosse akta tersebut harus berkepala :
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

-sama halnya dengan suatu putusan pengadilan, Grosse akta notaris, sedemikian itu dapat diaksanakan
oleh para pihak secara damai tanpa turut campur pengadilan. Dalam hal pelaksanaan secara paksa
dilakukan melalui pengadilan.

(UN).

Anda mungkin juga menyukai