Anda di halaman 1dari 8

MONEP (MOTHER NUTRITION EDUCATOR PROGRAM) SEBAGAI

UPAYA PENINGKATAN POLA ASUH IBU DI DESA MELAYU ILIR


Dian Muspitaloka H, Lenny Octavianty, Amalia Fitriani
Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat
Jl. A Yani km 36, Banjarbaru

RINGKASAN
Salah satu masalah terkait status gizi masyarakat di Indonesia adalah
masih besarnya masalah kekurangan gizi pada balita. Berdasarkan hasil Riskesdas
(2013) prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran
yang fluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) kemudian
meningkat lagi menjadi 19,6% (tahun 2013) (3). Desa melayu ilir sebagai salah
satu desa di Indonesia juga mengalami masalah yang sama. Berdasarkan observasi
awal diketahui bahwa jumlah balita yang mengalami gizi kurang (BB/U) adalah
sebanyak 43,48%. Hingga saat ini, pemberdayaan perempuan maupun upaya
untuk meningkatkan status gizi balita terkait pola asuh gizi yang pernah dilakukan
di Desa Melayu Ilir hanya posyandu berbentuk posyandu pratama. Posyandu
tersebut merupakan upaya mengetahui status gizi anak, tetapi jika balita terbukti
gizi kurang atau pun jika anak terkena penyakit seperti diare dan ISPA, kader
hanya memberikan keterangan seadanya, ditinjau dari pengalaman yang pernah
dialami. Pengetahuan kader mengenai perawatan balita gizi kurang atau memiliki
penyakit ini ditinjau dari pengalaman kader yang sebanyak 80% (8 orang) belum
pernah memiliki anak balita (belum menikah). Berdasarkan data sekunder dari
Posyandu Desa Melayu Ilir diketahui bahwa tingkat kunjungan per tahun rata-rata
sebesar 81%. Berdasarkan keterangan tersebut maka diperlukan upaya
peningkatan status gizi balita berupa peningkatan pemberian informasi terkait pola
asuh anak yang tepat.
Mother Nutrition Educator Program (MONEP) merupakan sebuah
gagasan program peningkatan gizi balita. Gagasan MONEP diasumsikan pada
keinginan setiap orang tua agar dapat memiliki anak yang sehat dan cerdas. Salah
satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan memperhatikan, mengawasi dan
merawat anak secara seksama. Khususnya memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya. Meskipun proses tumbuh kembang anak berlangsung secara
alamiah, namun proses tersebut sangat bergantung kepada orang tua khususnya
melalui MONEP. MONEP dilakukan melalaui diskusi yang dipandu oleh mother
yang telah diberikan diberikan pelatihan sebelumnya. Kegiatan ini diadakan di
posyandu atau rumah yang dijadikan tempat diskusi sehari-hari mengingat tingkat
kunjungan Posyandu Desa Melayu Ilir cukup tinggi yaitu sebesar 81%. Materi
yang diberikan oleh mother diantaranya adalah makanan balita sesuai umur,
praktek higine dan sanitasi terhadap anak, dan cara perawatan terhadap anak yang
sakit khususnya pada balita yang terkena penyakit diare dan ISPA. Agar program
ini dapat berlangsung dengan baik, maka diperlukan kerjasama antar instansi
kesehatan terkait untuk memberikan pelatihan kepada peran mother yang
dicanangkan.
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Paradigma pembangunan nasional yang berorientasi global dan berwawasan
ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan terlaksana tanpa adanya peningkatan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (1). Sumber daya manusia yang
sehat dan berkualitas juga merupakan modal utama atau investasi dalam
pembangunan kesehatan. Ukuran kualitas SDM dapat dilihat pada Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara
lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat. Upaya
pengembangan kualitas SDM dengan mengoptimalkan potensi tumbuh kembang
anak dapat dilaksanakan secara merata apabila sistem pelayanan kesehatan yang
berbasis masyarakat dapat dilakukan secara efektif dan efisien dan dapat
menjangkau semua sasaran yang membutuhkan layanan (2).
Salah satu masalah terkait status gizi masyarakat di Indonesia adalah masih
besarnya masalah kekurangan gizi pada balita. Berdasarkan hasil Riskesdas
(2013) prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran
yang fluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) kemudian
meningkat lagi menjadi 19,6% (tahun 2013) (3). Desa melayu ilir sebagai salah
satu desa di Indonesia juga mengalami masalah yang sama. Berdasarkan observasi
awal diketahui bahwa jumlah balita yang mengalami gizi kurang (BB/U) adalah
sebanyak 43,48% (4).
Berdasarkan masalah tersebut, maka upaya perbaikan gizi pada balita perlu
ditingkatkan. Perbaikan gizi memiliki kaitan yang sangat erat dengan kemampuan
menyediakan makanan di tingkat keluarga dan adanya penyakit terutama penyakit
menular. Kedua faktor ini berhubungan dengan pendapatan, pelayanan kesehatan,
pengetahuan dan pola asuh yang diterapkan keluarga (3). Berdasarkan kerangka
UNICEF, pola asuh yang kurang memadai merupakan penyebab tidak langsung
terhadap terjadinya gizi kurang (5).
Pola asuh anak merupakan interaksi orang tua dengan anak, berupa tindakan
penyediaan waktu, perhatian dan dukungan orang tua guna memenuhi kebutuhan
fisik, mental dan sosial (6). Praktek pengasuhan anak yang berkaitan dengan gizi
balita di rumah tangga diwujudkan dengan ketersediaan pangan. Pemberian
makanan untuk kelangsungan hidup untuk pertumbuhan dan perkembangan anak
ini merupakan kunci dalam pola asuh anak balita. Pola asuh balita meliputi
perawatan dan perlindungan ibu, praktek menyusui dan pemberian makanan
pendamping ASI, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktek kesehatan di
rumah tangga dan pola pencarian pelayanan kesehatan (7).
Ibu memiliki peran besar dalam keluarga. Ibu-ibu di Indonesia
bertanggungjawab dalam belanja pangan, mengatur menu keluarga,
mendistribusikan makanan, dan berperan langsung dalam pemeliharaan anak.
Pengetahuan gizi ibu akan sangat berpengaruh terhadap keadaan gizi keluarga.
Pola asuh ibu terhadap balita dibentuk dari pengetahuan ibu yang
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya (8). Tingkat pengetahuan gizi
ibu yang baik akan mempermudah pelaksanaan tanggung jawabnya dalam
pemilihan jenis pangan yang mengandung gizi tinggi untuk seluruh keluarganya
(9).
Salah satu upaya yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kualitas pola
asuh ibu terkait pola konsumsi balita yaitu melalui pendekatan Mother Nutrition
Educator Program (MONEP). Program ini dilakukan di posyandu atau rumah
diskusi khusus. Program mother educator melibatkan para ibu atau mother yang
telah dilatih maupun diberikan pelatihan oleh instansi kesehatan terkait mengenai
kepemimpinan, gizi, dan kesehatan agar dapat memberikan informasi di
daerahnya masing-masing. Program mother educator ini merupakan adaptasi dari
program mother tounge educator yang merupakan kerjasama pemerintah dan
masyarakat khususnya ibu yang telah diterapkan di berbagai negara dan
memanfaatkan unsur budaya dan bahasa untuk melakukan edukasi dalam diskusi
antar ibu. Melalui program ini, diharapkan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan ibu terkait pola asuh gizi anak yang tepat.

TUJUAN
Tujuan dari pembuatan gagasan ini adalah untuk merumuskan suatu upaya
peningkatan pengetahuan dan keterampilan terkait pola asuh gizi anak yang tepat
berupa diskusi kelompok ibu dari balita. Sehingga, diskusi yang dilakukan ibu-ibu
yang memiliki balita memiliki isi yang bermanfaat dan terarah berupa informasi
pola asuh gizi balita yang dilakukan oleh mother.

MANFAAT
1. Sebagai upaya peningkatan status gizi dan pola asuh ibu yag tepat.
2. Sebagai upaya pemberdayaan ibu rumah tangga secara terpadu oleh ibu
rumah tangga di daerah itu sendiri.
3. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

GAGASAN
Salah satu masalah terkait status gizi masyarakat di Indonesia adalah masih
besarnya masalah kekurangan gizi pada balita. Berdasarkan hasil Riskesdas
(2013) prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran
yang fluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) kemudian
meningkat lagi menjadi 19,6% (tahun 2013) (3). Berdasarkan kerangka UNICEF,
pola asuh yang kurang memadai merupakan penyebab tidak langsung terhadap
terjadinya gizi kurang (5). Desa melayu ilir sebagai salah satu desa di Indonesia
juga mengalami masalah yang sama. Berdasarkan observasi awal diketahui bahwa
jumlah balita yang mengalami gizi kurang (BB/U) adalah sebanyak 43,48% (4).
Praktek pengasuhan anak yang berkaitan dengan gizi balita di rumah tangga
diwujudkan dengan ketersediaan pangan. Pemberian makanan untuk
kelangsungan hidup untuk pertumbuhan dan perkembangan anak ini merupakan
kunci dalam pola asuh anak balita. Pola asuh balita juga meliputi perawatan dan
perlindungan ibu, pemberian ASI ekslusif dan pemberian makanan pendamping
ASI, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktek kesehatan di rumah tangga
dan pola pencarian pelayanan kesehatan (7).
Risiko gizi kurang bagi balita terkait pengasuhan anak atau pola asuh balita
juga dapat dilihat penyakit infeksi seperti diare dan ISPA serta pemberian ASI
ekslusif. Depkes (2011) menjelaskan bahwa penyakit ISPA dan diare sangat erat
kaitannya dengan pola asuh terhadap balita, seperti tersedianya air minum bersih
dan sanitasi lingkungan yang higienis (10).
Berdasarkan hasil Riskesdas (2013) diketahui bahwa insiden diare pada
balita adalah sebesar 6,7%. Sedangkan cakupan ASI ekslusif hanya sebesar 38%
(3). Sedangkan di Desa Melayu Ilir pada observasi awal yang dilakukan pada 71
responden diketahui bahwa insiden diare pada balita adalah sebesar 22,54% dan
ISPA sebesar 60,56%. Sedangkan cakupan ASI ekslusif adalah sebanyak 75% (4).
Pertumbuhan balita maupun pencegahan balita terhadap penyakit infeksi
tersebut sangat dipengaruhi beberapa hal diantaranya jumlah dan mutu makanan,
kesehatan balita, tingkat sosial ekonomi, dan pola asuh orang tua khususnya ibu
(11). Ibu memiliki peran besar dalam keluarga. Ibu-ibu di Indonesia
bertanggungjawab dalam belanja pangan, mengatur menu keluarga,
mendistribusikan makanan, dan berperan langsung dalam pemeliharaan anak.
Pengetahuan gizi ibu akan sangat berpengaruh terhadap keadaan gizi keluarga.
Tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik akan mempermudah pelaksanaan
tanggung jawabnya dalam pemilihan jenis pangan yang mengandung gizi tinggi
untuk seluruh keluarganya (12).
Hingga saat ini, pemberdayaan perempuan maupun upaya untuk
meningkatkan status gizi balita terkait pola asuh gizi yang pernah dilakukan di
Desa Melayu Ilir hanya posyandu berbentuk posyandu pratama. Posyandu
tersebut merupakan upaya mengetahui status gizi anak, tetapi jika balita terbukti
gizi kurang atau pun jika anak terkena penyakit seperti diare dan ISPA, kader
hanya memberikan keterangan seadanya, ditinjau dari pengalaman yang pernah
dialami. Pengetahuan kader mengenai perawatan balita gizi kurang atau memiliki
penyakit ini ditinjau dari pengalaman kader yang sebanyak 80% (8 orang) belum
pernah memiliki anak balita (belum menikah). Berdasarkan data sekunder dari
Posyandu Desa Melayu Ilir diketahui bahwa tingkat kunjungan per tahun rata-rata
sebesar 81% (4). Berdasarkan keterangan tersebut maka diperlukan upaya
peningkatan status gizi balita berupa peningkatan pemberian informasi terkait pola
asuh anak yang tepat.
Mother Nutrition Educator Program (MONEP) merupakan sebuah
gagasan program peningkatan gizi balita. Gagasan MONEP diasumsikan pada
keinginan setiap orang tua agar dapat memiliki anak yang sehat dan cerdas. Salah
satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan memperhatikan, mengawasi dan
merawat anak secara seksama. Khususnya memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya. Meskipun proses tumbuh kembang anak berlangsung secara
alamiah, proses tersebut sangat bergantung kepada orang tua khususnya melalui
MONEP (13). Program ini merupakan adaptasi dari program Mother Tongue
Education yang memanfaatkan kesukarelaan ibu untuk meningkatkan kualitas
hidup anaknya melalui diskusi bahasa dan keakraban masing-masing anggota.
Adapun istilah Mother yang dimaksudkan dalam program ini adalah ibu
teladan yang mampu menyebarkan informasi maupun memberikan konseling
sehingga mampu membangun pola pengasuhan anak yang tepat sejak masa
kehamilan hingga balita. Pengetahuan ibu tentang gizi merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi
oleh anaknya. Oleh karena itu, pengetahuan ibu diharapkan berperan dalam
peningkatan status gizi balita (11). Ibu yang dijadikan sebagai mother merupakan
ibu teladan yang sebelumnya telah dilatih oleh instansi kesehatan terkait seperti
puskesmas. Ibu teladan yang dipilih dalam program ini digambarkan sebagai
trend setter yang memiliki kualitas pola pengasuhan anak yang terbaik di antara
ibu lain di lingkungannya.
Metode yang digunakan dalam program ini adalah metode sharing atau
diskusi antar ibu sebagai bentuk penyebaran informasi kepada ibu rumah tangga
lain melalui diskusi yang disesuaikan dengan pola diskusi ibu-ibu di masing-
masing daerah maupun bahasa daerah, tetapi jelas, tepat, dan akurat dan terpimpin
oleh mother sehingga mudah untuk dipahami. Diskusi dilakukan melalui kegiatan
posyandu atau rumah yang dijadikan tempat diskusi yang telah dilengkapi sarana
bermain anak yang dapat dimanfaatkan sebagai selingan sekaligus belajar dan
bermain. Sarana yang ditawarkan adalah gambar-gambar mengenai Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) berbentuk puzzle.
Adapun materi yang dipopulerkan melalui konsep MONEP mencakup:
1. Pentingnya pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan
ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja kepada bayi usia antara
0-6 bulan tanpa ada pemberian makanan lain. Bayi sehat umumnya tidak
memerlukan tambahan makanan sampai usia 6 bulan. Adapun manfaat ASI
sebagai makanan bayi mempunyai kebaikan/sifat sebagai berikut (14):
a. ASI merupakan makanan alamiah yang baik untuk bayi, praktis, ekonomis,
mudah dicerna untuk memiliki komposisi, zat gizi yang ideal sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan pencernaan bayi.
b. ASI mengadung laktosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu
buatan. Didalam usus laktosa akan dipermentasi menjadi asam laktat yang
bermafaat untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen,
merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menghasilkan asam
organik dan mensintesa beberapa jenis vitamin. Selain itu ASI juga
memudahkan terjadinya pengendapan calsium-cassiena serta memudahkan
penyerahan herbagai jenis mineral, seperti calsium, magnesium.
c. ASI mengandung zat pelindung (antibodi) yang dapat melindungi bayi
selama 5-6 bulan pertama, seperti: Immunoglobin, Lysozyme, Complemen
C3 dan C4, Antistapiloccocus, lactobacillus, Bifidus, Lactoferrin.
d. ASI tidak mengandung beta-lactoglobulin yang dapat menyebabkan alergi
pada bayi.
2. Mempertahankan pemberian ASI hingga usia 2 tahun sebagai tambahan
pemenuhan nutrisi.
3. Kebutuhan energi, zat besi, dan vitamin A yang harus dipenuhi dari MP-ASI
berbasis lokal
MP-ASI lokal atau disebut juga ” MP-ASI dapur ibu. Pemberian MP-
ASI lokal memiliki beberapa dampak positif, antara lain; ibu lebih memahami
dan lebih terampil dalam membuat MP-ASI dari bahan pangan lokal sesuai
dengan kebiasaan dan sosial budaya setempat, sehingga ibu dapat
melanjutkan pemberian MP-ASI lokal secara mandiri, meningkatkan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta memperkuat kelembagaan
seperti PKK dan Posyandu maupun program MONEP tersebut. Pemanfaatan
MP-ASI lokal juga berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat melalui
penjualan hasil pertanian dan sebagai sarana dalam pendidikan atau
penyuluhan gizi (15).
4. Jumlah, variasi dan frekuensi pemberian makan dalam sehari
Pada balita, asupan energi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
frekuensi pemberian ASI, porsi makanan dan frekuensi pemberian makanan
atau memberikan makanan yang berkalori tinggi. Sedangkan asupan
mikronutrien dapat ditingkatkan dengan penganekaragaman makanan
termasuk buah-buahan dan sayuran serta makanan hewani. Mengingat
minyak, lemak dan santan merupakan tabahan sumber energi yang berguna
pada masa sapihan, selain dapat meningkatkan energi, dapat membuat
makanan ini menjadi lunak, gurih dan mudah untuk ditelan (16).
5. Pemberian makan pada anak sakit dan masa pemulihan
Karena ketika anak sedang sakit maka anak cenderung tidak nafsu
makan yang mengakibatkan asupan gizinya berkurang sedangkan tubuhnya
memerlukan lebih banyak zat gizi dari biasanya. Pada kondisi seperti inilah
ibu perlu mengetahui cara pemberian makanan yang tepat (17).
6. Pemilihan bahan baku dan penyiapan MP-ASI yang higienis dan bergizi
7. Perawatan dasar bayi dan balita
8. Pola pencarian pelayanan kesehatan yang tepat
Dalam melakukan kegiatan di atas, diperlukan dukungan dari pihak-pihak
terkait, khususnya pembinaan maupun pembekalan terhadap mother educator.
Mother educator perlu diberikan modul maupun petunjuk teknis maupun
dukungan sarana dan prasarana terkait kegiatan MONEP. Diskusi keakraban antar
ibu yang terpimpin melalui MONEP diharapkan dapat meringankan proses
penambahan pengetahuan dan pelatihan mengenai pola asuh yang tepat agar
peningkatan status gizi anak pada setiap daerah dapat tercapai.

KESIMPULAN
Mother Nutrition Educator Program (MONEP) merupakan sebuah gagasan
program peningkatan gizi balita. Gagasan MONEP diasumsikan pada keinginan
setiap orang tua agar dapat memiliki anak yang sehat dan cerdas. Meskipun proses
tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah, namun proses tersebut sangat
bergantung kepada orang tua khususnya melalui MONEP. MONEP dilakukan
melalaui diskusi yang dipandu oleh mother yang telah diberikan diberikan
pelatihan sebelumnya. Kegiatan ini diadakan di posyandu atau rumah yang
dijadikan tempat diskusi sehari-hari mengingat tingkat kunjungan Posyandu Desa
Melayu Ilir cukup tinggi yaitu sebesar 81%. Materi yang diberikan oleh mother
diantaranya adalah makanan balita sesuai umur, praktek higine dan sanitasi
terhadap anak, dan cara perawatan terhadap anak yang sakit khususnya pada balita
yang terkena penyakit diare dan ISPA. Agar program ini dapat berlangsung
dengan baik, maka diperlukan kerjasama antar instansi kesehatan terkait untuk
memberikan pelatihan kepada peran mother yang dicanangkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Morica L. Hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pemberian


makanan pendamping asi dengan status gizi bayi umur 7-12 bulan di
Kelurahan Tengah Sawah Wilayah Kerja Puskesmas Tengah Sawah
Bukittinggi 2012. Skripsi. Padang: Universitas Andalas Padang 2012.
2. Gultom, Parulian D. pengaruh karakteristik ibu balita terhadap partisipasi
dalam penimbangan balita (D/S) di posyandu Desa Binjai Kecamatan Medan
Denai Kota Medan tahun 2010. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara,
2013.
3. Riset kesehatan dasar 2013.
4. Frayoga, Deni, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui Revitalisasi
Posyandu dan Pelatihan Kader di Desa Melayu Ilir sebagai Upaya
Penanggulangan Permasalahan Kunjungan Ibu ke Posyandu Tahun 2013.
Laporan Tahunan. Universitas lambung Mangkurat.
5. Rencana aksi nasional pangan dan gizi 2011-2015.
6. Berek, TDK, dkk. Pola asuh ibu, kejadian diare dan pertumbuhan sampai 4
bulan pada bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan dalam rahim. Media
Medika, 2008. Vol.43; No.3; 122–128.
7. Ulfani, Dian Hani, Drajat Martianto, and Yayuk Farida Baliwati. Faktor-
faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah
gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia: Pendekatan ekologi gizi.
Jurnal gizi dan pangan, 2011. Vol.6; No.1: 59–65.
8. Iswarawanti, Dwi Nastiti. Kader Posyandu: Peranan dan tantangan
pemberdayaannya dalam usaha peningkatan Gizi anak di Indonesia. Jurnal
Manajemen Pelayanan 2010. Vol.13; No.04; 169-173.
9. Cahyani, Chorina Sagita, Hery Tri Sutanto, and M. Si. Pengelompokkan
kabupaten/kota berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk di
jawa timur dengan menggunakan metode ward’s. MATHunesa 2014. Vol.3;
No.1.XOctaviani IA, Margawati A. Hubungan pengetahuan dan perilaku ibu
buruh pabrik tentang kadarzi (keluarga sadar gizi) dengan status gizi anak
balita (studi di kelurahan pagersari, ungaran). Journal Of Nutrition College
2012. Vol.1; No; 46-54.
10. Khomsan, Ali, et al. Studi tentang pengetahuan gizi ibu dan kebiasaan makan
pada rumah tangga di daerah dataran tinggi dan pantai. Jurnal gizi dan
pangan 2012.Vol.1; No.1; 23-28.
11. Lubis, Ritayani. Hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita di
wilayah kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten
Langkat tahun 2008. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2008.
12.
13. 13. RITAYANI LUBIS US. HUBUNGAN POLA ASUH IBU
DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PANTAI CERMIN KECAMATAN TANJUNG PURA
KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2008. 2008.
14. Damanik DR. implementasi program asi eksklusif dan peran petugas kia di
wilayah kerja Puskesmas Bandar Durian Kec. Aek Natas Kabupaten
Labuhanbatu Utara. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
15. Pedoman umum pemberian makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI)
Lokal tahun 2006.
16. Wirawanni, Yekti, Niken Puruhita, and Hermina Sukmaningtyas. Pemberian
makanan pendamping asi dengan penambahan pemberian minyak, santan,
ikan, dan kacang kacangan untuk meningkatkan status gizi anak. Journal of
Nutrition and Health 2013. Vol.1; No.1.
17. Azhari S. Perilaku Ibu dalam pemberian suplemen pada balita di Asrama
Kowilhan Kelurahan Sidorame Barat Kecamatan Medan Perjuangan tahun
2010. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.

18.

Anda mungkin juga menyukai