Oleh :
A. Pendahuluan
Tulisan diatas adalah salah satu pernyataan dalam dokumen testimoni Apple Inc
pada tanggal 21 Mei 2013 lalu. Saat itu, Apple dimintai keterangan terkait kasus
penghindaran pajaknya. Tidak hanya terkenal dengan produk fenomenal seperti iPad
atau iPhone—yang dijual dengan harga dasar rata-rata tiga kali dari harga produksi dan
baru-baru ini dinyatakan telah terjual lebih dari satu miliar buah, Apple sepertinya juga
bisa dibilang terkenal dengan keunikan dan kreatifitasnya dalam menghindari pajak.
Unik karena metode yang digunakan oleh Apple ternyata lebih simpel dari
teknik “double irish with dutch sandwich”; sebuah strategi teknik penghindaran pajak
dengan melibatkan beberapa anak perusahaan yang terdaftar di Irlandia dan Belanda
dengan tujuan memindahkan laba dari negara dengan tarif pajak yang tinggi ke negara
dengan tarif pajak yang lebih rendah. Teknik ini, meski simpel—karena secara prinsip
hanya memanfaatkan celah hukum pajak dua negara (Irlandia dan Amerika), sementara
teknik ‘double irish with dutch sandwich’ seperti yang diterapkan oleh Google dan
banyak perusahaan multinasional seringkali untuk penerapannya memerlukan
keterlibatan grup perusahaan di setidaknya empat negara yang berbeda—ternyata
mampu meminimalisir pajak penghasilan perusahaan Apple dengan sangat signifikan.
Tulisan ini akan membahas lebih detail bagaimana Apple menerapkan teknik
penghindaran pajak untuk menghemat pajak penghasilan senilai 44 milyar US Dollar
(atau sekitar 570 triliun Rupiah) pada tahun 2009 s.d. 2012.
B. Konsep dasar penghindaran pajak internasional
Penghindaran pajak (tax avoidance) pada prinsipnya adalah sesuatu yang legal.
Inilah mengapa banyak otoritas pajak memiliki seperangkat alat penangkal berupa anti
tax-avoidance rules. Hasilnya, ada dua kategori lanjutan untuk penghindaran pajak:
yang dapat diterima (acceptable tax avoidance) dan yang tidak dapat diterima
(unacceptable tax avoidance). Sementara yang acceptable tax avoidance bisa dibagi
lagi ke dalam kategori deferential (santun) dan defiant (kasar), dalam beberapa
kasus unacceptable tax avoidance bisa juga disebut aggressive tax planning. Skema ini
biasanya dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan menggunakan
teknik transfer pricing, treaty shopping, controlled foreign corporation (CFC),
maupun thin capitalisation. Transfer pricing dan CFC sedikit banyak akan dibahas
dalam tulisan ini.
Namun demikian, bagi perusahaan konsep domisili ini tidak berlaku. Yang
berlaku adalah konsep residensi (kriteria untuk menentukan apakah sebuah perusahaan
asing seharusnya diperlakukan sebagai wajib pajak dalam negeri suatu negara). Konsep
ini ditentukan melalui beberapa pertimbangan, misalnya dimana perusahaan terdaftar,
dimana aktivitas bisnis dilakukan, dimana perusahaan dikelola dan dikendalikan.
Setiap negara memiliki pertimbangan yang berbeda dan sangat mungkin berubah
(misalnya, melihat dinamika perkembangan digital economy, pada tahun 2013 Inggris
merevisi konsep ‘residensi’ dalam sistem pajaknya). Prinsip-prinsip ini akan dikaji
lebih lanjut untuk membahas kasus Apple.
Teknik ini berawal ketika induk perusahaan, Apple Inc., mendirikan tiga anak
perusahaan dengan kepemilikan saham 100% (wholly owned subsidiaries) di Irlandia
pada tahun 1980, sesaat sebelum listing di bursa efek New York. Ketiga perusahaan
dimaksud adalah: (i) Apple Operation International (AOI); (ii) Apple Operation
Europe; dan (iii) Apple Sales International (ASI). Secara sederhana, struktur
perusahaan Apple bisa diilustrasikan dalam Gambar 2 dibawah (dimodifikasi dari Ting,
2014).
Pertama, Apple Operations International (AOI). AOI digunakan oleh Apple Inc
untuk memanfaatkan celah hukum yang ada di Irlandia dan Amerika. Yang menarik—
untuk tidak dibilang mengejutkan—meski memiliki tiga direktur, AOI tidak memiliki
pegawai. Tiga dari dua direktur AOI berasal dari Apple Inc dan tinggal di Amerika dan
seluruh rapat direksi dilakukan di Amerika. AOI secara legal terdaftar di Irlandia,
namun pusat manajemen dan pengendaliannya berada di Amerika.
Hal ini cukup mengejutkan melihat posisi AOI yang sangat strategis karena
merupakan perantara perusahaan induk Apple dengan berbagai anak perusahaan Apple
di berbagai negara. AOI juga membawahi ASI dan beberapa anak perusahaan
distributor untuk pangsa pasar di Eropa dan Asia. Dengan penguasaan dominan di
beberapa anak perusahaan, AOI menerima jumlah dividen dengan jumlah yang
signifikan dari grup anak perusahaan (misalnya, antara tahun 2009 – 2011 AOI
menerima dividen sebesar 30 miliar US Dollar atau sekitar 390 triliun Rupiah), tanpa
pernah membayar pajak penghasilan badan di negara-negara dimana anak perusahaan
beroperasi. Selain aset berupa grup anak perusahaan, aset dominan dari AOI adalah
uang kas yang tersimpan di bank-bank di New York.
Kedua, Apple Sales International (ASI). ASI juga terdaftar di Irlandia. Seperti
halnya AOI, ASI juga secara residensi bukan merupakan ‘wajib pajak’ baik di Amerika
maupun di Irlandia. Meski berdiri sejak tahun 1980, ASI baru memiliki pegawai pada
tahun 2012; ketika ada 250 orang staff dipindahtugaskan dari AOE (induk langsung
perusahaan ASI, lihat gambar 3). ASI mempunyai dua fungsi utama: (i) berhubungan
dengan beberapa pabrikan pihak ketiga di China untuk merakit produk-produk Apple
dan (ii) memasarkan produk Apple melalui anak perusahaan distributor di Eropa dan
Asia. Perlu dicatat, khusus untuk pasar China, produk Apple tidak dipasarkan melalui
ASI, tapi oleh grup anak perusahaan yang lain di Irlandia (Apple Distribution
International – ADI). Meski sebagai penjual ASI berlokasi di Irlandia, secara fisik
produk Apple yang dirakit di China tidak pernah singgah di Irlandia.
Hal yang unik dari ASI adalah anak perusahaan ini memiliki skema
pembagian biaya (cost sharing arrangement) dengan sang induk perusahaan, Apple
Inc. Dengan skema ini, ASI memiliki hak ekonomi atas penggunaan hak kekayaan
intelektual dari Apple, meskipun secara legal kepemilikannya tetap berada di Apple
Inc yang berada di Amerika. Artinya, dengan adanya persetujuan ini, ASI memiliki
kewenangan untuk membiayakan biaya riset dan pengembangan (R&D expenses)
secara proporsional dengan besarnya penjualan produk untuk pasar di luar
Amerika. Sebagai contoh, melalui skema cost sharing arrangement ini, pada tahun
2011, karena 60% penjualan Apple secara global berada di luar Amerika, ASI
memiliki kewajiban untuk membebankan 60% dari total biaya R&D Apple sebesar
2,4 miliar US Dollar (sekitar 31 triliun Rupiah), atau sekitar 1,4 miliar US Dollar
(atau sekitar 19 triliun Rupiah).
Tentu saja, dari perspektif bisnis, proporsi pengalokasian biaya ini apabila
dikaitkan dengan jumlah penghasilan yang diterima kurang beralasan. ASI
memperoleh rasio laba yang jauh lebih besar melalui mekanisme cost sharing
agreement ini. Misalnya, rasio laba terhadap biaya (profit to cost ratio) untuk Apple
Inc adalah 7 berbanding 1 (setiap 1 dollar biaya akan berkorelasi dengan
keuntungan 7 dollar), sementara rasio yang sama untuk ASI adalah 15 berbanding
satu. Penting untuk diketahui, Apple Inc telah diaudit secara reguler oleh otoritas
pajak Amerika (IRS), dan mekanisme cost sharing ini tidak pernah
dipermasalahkan dan dinyatakan memenuhi peraturan perpajakan dimana grup
anak perusahaan beroperasi.
Asumsi ini ternyata terbukti jauh dari kebenaran. Kasus Apple ini adalah
salah satu buktinya. Asumsi ini mengabaikan adanya asimetri informasi antara
perusahaan multi nasional dan otoritas pajak. Perusahaanlah yang berada dalam
posisi terbaik untuk memperkirakan apakah riset dan pengembangan produk
mereka akan berhasil atau tidak; bukan otoritas pajak yang tidak memiliki
informasi apa-apa. Bahkan, dalam prakteknya, sebuah perusahaan akan berinisiatif
untuk menggunakan skema ‘cost sharing’ hanya jika menilai sebuah
proyek R&D akan berhasil. Dengan kata lain, skema ini malah memberikan
mekanisme legal bagi perusahaan multinasional untuk menggeser labanya ke
negara dengan tarif pajak rendah. Bahkan, dalam banyak kasus, sebuah perusahaan
multinasional tidak memiliki sebuah alasan yang bagus untuk menggunakan skema
‘cost sharing’ selain karena alasan penghindaran pajak.
Alasan utama mengapa skema pajak Apple lolos dari jaring CFC Amerika
adalah fasilitas ‘manufacturing exception’. Fasilitas ini awalnya diberikan untuk
memberikan pengecualian kepada perusahaan CFC dari pengenaan pajak secara
segera (immediate) jika perusahaan CFC tersebut adalah harus perusahaan pabrikan
(manufacturer) yang memberikan nilai tambah secara substansial terhadap produk
yang dihasilkan. Pengecualian ini pada awalnya mungkin dimaksudkan agar aturan
CFC tidak menghalangi perusahaan multinasional Amerika untuk melakukan
ekspansi operasi manufakturnya di negara lain. Namun demikian, pada tahun 2008
kebijakan ini diperlonggar. Syarat sebuah perusahaan CFC berhak mendapat
fasilitas ‘manufacturing exception’ tidak harus perusahaan pabrikan; syaratnya
berubah menjadi yang penting memberikan ‘kontribusi yang signifikan’ terhadap
produk yang dihasilkan. Hal inilah yang memberikan peluang bagi ASI di Irlandia
untuk mendapatkan fasilitas ‘manufacturing exception’ dari Apple Inc di Amerika
sehingga penghasilan Apple di Irlandia ‘terlindung’ dari pengenaan pajak di
Amerika.
Berdasarkan uraian diatas, ada tiga hal yang bisa disimpulkan. Pertama, sebagai
perusahaan Amerika, Apple memperoleh 60% lebih dari penghasilannya dari luar
Amerika. Meski dari sisi bisnis ini merupakan hal bagus—karena mengindikasikan
eksistensi Apple sebagai perusahaan global, ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian dari sudut pandang perpajakan internasional. Secara global, effective tax
rate penghasilan Apple dari luar Amerika hanya sebesar 1,8%. Ini tentu saja jauh lebih
kecil dari tarif efektif di Amerika maupun di negara sumber dimana lokasi penghasilan
berada. Artinya, Apple tidak membayar pajak sesuai tarif normal yang berlaku di negara
sumber penghasilan. Bahkan, bisa dikatakan Apple berhasil melakukan penghindaran
pajak ganda.
Ketiga, bagaimana hal ini dapat diatasi dan diantisipasi? absennya konsensus global
mengenai apa yang disebut dengan acceptable dan unacceptable tax avoidance, isu besar
terkait interpretasi dan implementasi terhadap norma perpajakan internasional jelas terbuka
lebar. Salah satu usulan yang mungkin bisa dianggap ideal adalah pemberlakuan
‘formulary apportionment’. Sesuai namanya, metode ini menggunakan rumus-rumus
tertentu untuk menghitung besarnya penghasilan yang wajar suatu perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa. Namun demikian, selain rumit, penerapan secara global
tentu masih membutuhkan proses panjang dan adanya konsensus banyak negara. Dan,
seandainya saja metode ini bisa diberlakukan, akan timbul biaya transisi yang signifikan
untuk peralihannya dari metode konvensional yang sekarang ini—karena akan melibatkan
kurang lebih 3.000 perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaties) yang saat ini ada.
Selain itu, ada beberapa metode lain yang saat ini sedang diwacanakan (seperti, misalnya,
metode ‘worldwide tax consolidation’ terhadap perusahaan multinasional atau skema
khusus seperti ‘Google tax’), yang saat ini sedang terus ditelaah secara mendalam
dalam Base Erosion Profit Shifting (BEPS) Project-nya OECD.
DAFTAR PUSTAKA
Rostamaji Korniawan. (2017). Menjaga kepercayaan Investor melalui kasus tax evasion Apple Inc.
Di Irlandia : Literatur Review.