Anda di halaman 1dari 13

Keretakan Ekologis (Ecological Rift)

dan Bencana Industrial (Ekologis)


NUR HIDAYATI
Direktur Eksekutif Nasional WALHI

Disampaikan pada:
Diskusi Publik “Bencana Industrial dan Keadilan Sosial-Ekologis”
18 Februari 2021
PERKUMPULAN EUTENIKA
Keretakan Ekologis (Ecological Rift)[*]
•  IPCC (2018): aktivitas manusia telah mengakibatkan kenaikan suhu bumi rata-
rata sebesar 1,0 derajat Celsius (sejak masa pra-industri). Dengan kecenderungan
laju pelepasan gas rumah kaca (GRK) seperti saat ini (yang mengakibatkan
kenaikan suhu bumi 0,2 derajat Celsius setiap dekade) diperkirakan temperatur
bumi akan mencapai 1,5 derajat Celsius pada kurun 2030-2052.
•  Dampak kenaikan 1,5 derajat C.: diantaranya, akan ada 70% penurunan populasi
terumbu karang, 350 juta populasi manusia mengalami kekeringan parah, serta
135 juta orang akan terdampak kenaikan muka air laut (tanpa ada adaptasi).
•  IPBES (2019): satu juta spesies telah punah dalam 50 tahun terakhir akibat
aktivitas manusia. 240 juta hektar hutan alam sudah hilang dalam kurun
1990-2015. Selain itu, 85% lahan basah telah habis, dan 100-300 juta penduduk
yang mendiami wilayah pantai terancam banjir akibat hilangnya habitat pesisir.

[*] istilah ini diperkenalkan oleh John Bellamy Foster, Profesor Sosiologis Universitas Oregon, AS
Keretakan Ekologis (Ecological Rift) dan Ekonomi Pertumbuhan

•  Menurut International Resource Panel/IRP (2019), sejak tahun 1970 hingga 2017
eksploitasi alam meningkat lebih tiga kali lipat, dan mengakibatkan dampak negatif
terhadap ekosistem dan kesehatan masyarakat. 90% pemusnahan keanekaragaman
hayati dan tekanan terhadap ketersediaan air bersih juga diakibatkan oleh ekstraksi alam
serta industri pemrosesan. Aktivitas yg sama menyumbang pada sekitar 50% emisi GRK
global.
•  UNEP (2016): 60% penyakit menular yang ada saat ini adalah penyakit zoonosis, yang
ditengarai dipicu oleh kerusakan ekologik.
•  Periode lima puluh tahun terakhir ini kita juga menyaksikan kenaikan GDP (Gross
Domestic Product) global sebesar empat kali lipat. [IRP, 2019]
•  Tapi, Oxfam (2020): 1% orang terkaya dunia kekayaannya setara 2 kali lipat total
kekayaan 6,9 milyar penduduk bumi. Pelapr Khusus Kemiskinan Ekstrem PBB (2020):
COVID-19 mengakibatkan tambahan 70 juta orang jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem.
•  Profits are privatized, risks are socialized.
"..the source of our ecological crisis lies in the paradox of
wealth in capitalist society, which expands individual riches at
the expense of public wealth, including the wealth of nature.
In the process, a huge ecological rift is driven between human
beings and nature, undermining the conditions of sustainable
existence ...” [John Bellamy Foster]
Keretakan Ekologis dan Bencana Ekologis
Transformasi dalam Model Ekonomi Ekstraktif Berbasis Growth

Tanah Milik,
Tanah Adat HGU/Konsesi
Paradigma Ekonomi
Ekonomi Lokal
Penguasaan dan Global
Petani, pembudi Pemanfaatan
Pekerja
daya, dll Sumber daya alam
Skala Kecil untuk pertumbuhan Skala Besar
ekonomi
Biodiversitas Monokultur
Kedaulatan/ Ketersediaan
Kemandirian
Pemaknaan Ruang: Ruang Hidup Vs. Ruang Produksi Kapital

•  Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya. [Pasal 1 UU No 26 thn 2007 tentang Penataan Ruang]
•  Ruang merupakan suatu tempat perebutan yang digunakan dan dipertunjukkan
oleh para pihak yang memiliki kepentingan, sehingga pasti akan selalu mencari
cara untuk melakukan dominasi dalam pemakaian/pemanfaatan ruang dengan
membuat pemaknaan melalui wacana, pengetahuan, dan bahkan kekuasaan.
•  Sehingga dalam upaya terus memaknai ruang agar adil dan lestari ini, tentu harus
dapat dioperasionalkan untuk pemenuhan terhadap kebutuhan dasar rakyat dari
Aspek Sosial dan Aspek Ekologis.
Penguasaan Ruang Berbasis Izin SDA: Akar Penyebab Bencana?
Pemaknaan Ruang: Ruang Hidup Vs. Ruang Produksi Kapital

•  Overlay dengan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang


memetakan 5.744 desa rawan bencana di Indonesia, setidaknya ada 8.091
perizinan sektor pertambangan, 307 perizinan untuk sektor tanaman industri,
280 perizinan untuk sektor pengusahaan hutan alam, dan 1783 perizinan untuk
sektor perkebunan yang tumpang tindih dengan wilayah rawan bencana BNPB.

•  Olah data WALHI atas perizinan SDA memperlihatkan bahwa terdapat 8,55 juta
hektar yang berada pada tutupan hutan primer; dan 3,5 juta hektar berada di
tutupun sekunder seperti areal pertanian, sawah, pemukiman, dan transmigrasi
yang juga berada di loksi perizinan pertambangan.
Bencana Bukan Takdir; Hazards are NOT Given –they are made

•  Pendefinisian “bencana” sebagai bencana alam, atau pun bencana


hidrometeorologi semata, melestarikan cara pandang bahwa pemicu hazards
adalah semata-mata faktor alam, tanpa menarik lebih dalam lagi sistem serta
aktor penyebabnya. IPCC pada tahun 2014 menyimpulkan bahwa perubahan
iklim yang terjadi adalah bersifat antropogenik.
•  Yang kita hadapi saat ini di Indonesia sesungguhnya adalah fenomena yang
kompleks; krisis iklim mengakibatkan dampak seperti cuaca ekstrem; sementara
kerusakan ekosistem di Indonesia (yang mengakibatkannya kehilangan carrying
capacity) pun sudah cukup parah. Ditambah, kondisi natural secara geologis
(berada di atas lempeng dan patahan, serta gunung berapi).
•  Di tengah situasi ketidakpastian semacam ini, bagaimana memitigasi bencana?
Membalik Krisis, Memitigasi Bencana

Tanah Milik,
Tanah Adat, HGU/Konsesi
Commons
Ekonomi Lokal, Ekonomi
Regeneratif Global
Pemulihan
Petani, pembudi Sosial-Ekologis Pekerja
daya, dll
Skala Kecil Skala Besar

Biodiversitas Monokultur
Kedaulatan/ Ketersediaan
Kemandirian

Anda mungkin juga menyukai