Anda di halaman 1dari 7

Bali Peringkat 4 Jumlah Penderita

Gangguan Jiwa Berat di Indonesia


Nesa Alicia - Senin, 1 Oktober 2018 | 12:49 WIB

 

 

 

 

iStock
Gangguan jiwa memerlukan penanganan yang baik.

Nationalgeographic.co.id - Provinsi Bali berada pada peringkat keempat untuk


jumlah penderita gangguan jiwa berat di Indonesia. Dari empat juta
warga Bali, sebanyak 0,23 persen merupakan Orang Dengan Gangguan
Jiwa (ODGJ).

Hal ini disampaikan oleh Dr. Bambang Daryanto Putro, dosen Antropologi


Universitas Udayana (Unud), dalam orasinya yang berjudul “Konstruksi
Stigma Gangguan Jiwa” di Universitas Udayana, Kamis (20/9),
melansir Tribun Bali, Senin (1/8/2018).

"Dari data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI,


Provinsi Balimasuk daftar lima besar gangguan jiwa berat," ujarnya.

Baca Juga : Cemburu Buta Pada Pasangan Bisa Jadi Tanda Gangguan Jiwa

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan,


provinsi yang memiliki gangguan jiwa terbesar adalah Daerah Istimewa
Yogyakarta sebanyak 0,27 persen. Pada posisi kedua ditempati oleh Aceh
dengan jumlah 0,27 persen, ketiga adalah Sulawesi Selatan dengan 0,26
persen, dan di posisi keempat ada Bali dan Jawa Tengah sebanyak 0,23
persen. 

Jika penduduk Bali per tahun 2017 berjumlah 4.230.051 jiwa, maka 9.729
warga Bali (mendekati angka 1 juta) mengalami gangguan jiwa berat (ODGJ).
Ini termasuk angka yang sangat tinggi.

Sementara itu, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa ada 540
juta penduduk di dunia menderita gangguan jiwa. Sedangkan angka
kekambuhan pada pasien gangguan jiwa yaitu 50 persen hingga 92 persen.

Hal ini diakibatkan karena kurangnya dukungan sosial dari keluarga maupun
masyarakat.

Menurut Bambang, saat ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa


gangguan jiwa adalah noda akibat dosa yang dilakukannya sehingga
masyarakat menjadi takut dan menghindar.

Anggapan ini menyebabkan orang yang mengalami gangguan jiwa belum


mendapatkan penanganan yang baik. Selain itu, banyak ODGJ yang takut
dan tidak suka ditangani oleh dokter maupun psikolog. Bahkan terkadang ada
yang marah dan tersinggung karena mengganggap dirinya tidak sakit.

"Walaupun sudah di RSJ dan sudah kembali, di masyarakat tetap mendapat


perlakuan diskriminatif. Ini karena adanya diagnosis dokter sebagai seorang
yang memiliki identitas diri sebagai individu berbahaya. Itulah kesalahan
masyarakat berpikir salah dan ketidaktahuan publik," ucap Bambang lebih
lanjut.

Seseorang yang mengidap gangguan jiwa akan selalu mendapatkan stigma


diskriminasi dan marginalisasi. Stigma tersebut membuat keluarga menjadi
malu dan masyarakat semakin takut sehingga ODGJ akan dikucilkan oleh
masyarakat.

“Akibatnya proses pengobatan akan tertunda, memperbesar penderitaan dan


menghambat penyembuhan dan menghambat kembalinya penderita ke
masyarakat,” tambahnya.

Sistem perundangan-undangan dalam dunia kesehatan juga belum


membantu para penderita gangguan jiwa untuk memperoleh kesembuhannya.

Tribun Bali
Provinsi Bali peringkat empat jumlah penderita gangguan jiwa

Potensi Gangguan Jiwa

I Dewa Gede Basudewa, Wakil Direktur Pelayanan RSJP Bali, membenarkan


bahwa Bali menduduki posisi keempat di Indonesia dengan penderita
gangguan jiwa berat. Menurutnya, data tersebut berdasarkan hasil Riskesdas
tahun 2013 lalu. Riset tersebut merupakan penelitian berbasis sampel, dan
bukan survei seluruh masyarakat.

Sedangkan, pada tahun 2018, sedang dilakukan riset ulang oleh litbangkes
khusus di Kementerian Kesehatan dengan gabungan beberapa departemen,
untuk memperbaharui datanya. Meski demikian, sebelum hasil Riskesdas
2018 diumumkan, maka data Riskesdas tahun 2013 masih akan tetap
digunakan.

“Seluruh Indonesia menggunakan data 2013 ini hingga data tahun 2018
diekspos,” kata Basudewa.

Baca Juga : Membebaskan Orang Dengan Gangguan Jiwa dari Pasung

Berada di peringkat empat, membuktikan bahwa hampir 2/1000 penduduk


Bali mengalami gangguan jiwa berat.

Basudewa belum berani memastikan apakah ada peningkatan maupun


penurunan penderita gangguan jiwa berat berdasarkan tahun 2013 hingga
kini. Pihaknya memilih untuk menunggu hasil riset 2018 untuk memantau
perkembangannya.

“Sulit untuk diprediksi. Paling tidak, populasi gangguan jiwa yang sudah
ditangani, baru akan terpantau pada hasil riset 2018. Sebab pada riset
tersebut diungkapkan pula angka kunjungan ke rumah sakit. Dari situ nanti
kita lihat, bukan hanya jumlahnya saja, namun juga seperti apa upaya para
keluarga mencari pertolongan dari pasien-pasien itu,” ujarnya.

Pernah Dipasung

Dari penelitian tersebut ditemukan pula bahwa 14,3 persen seseorang yang
mengalami gangguan jiwa berat pernah dipasung.

“Karena ini sampling, kami beranggap dari 7.000 pasien gangguan jiwa yang
pernah dilayani, berapa kali dalam satu tahun yang kambuh berulang-ulang di
rumah sakit, maka 14,3 persen dari pasien itu pasti ada riwayat dipasung. Ini
yang kami waspadai, mana yang sudah pernah dipasung, mana yang akan
dipasung, dan mana yang kembali dipasung,” tambahnya.
Menurut Bambang, pemasungan terjadi karena keluarga malu, sehingga
mereka menutup diri dari masyarakat. Padahalan kondisi ini membuat
penderita semakin memburuk.

Baca Juga : Membedakan Stres dengan Gangguan Jiwa

 1/
 2/
1.PROGRAM SURVEILANS

a.Kegiatan TH 2019

1) Perivikasi rumor penanggulangan dugaan KLB

2)Kewaspadaan dini program AFP,Rabies, DBD

3) PE DBD

4) Pelacakan K3JH

b) Masalah kendala :

Selama ini kegiatan berjalan lancer, tidak ada masalah

c) Dukungan yang diperlukan dari lintas sector

Aparat desa/ Toma agar secara aktif memotivasi masyarakat agar ikut secara aktif melakukan
pengawasan kesling (PE sederhana), mencegah, dan melaporkan pada petugas bila ada penyakit dilingk.
Sekitarnya yang berpotensi KLB.

2.Program Yankestradkom

a.Kegiatan th 2019

1). Pemantauan dan Pembinaaan Hattra ( Penyehat Tradisional)

2). Sosialisasi Asman (Asuhan Mandiri)

3) Pembinaan Kelompok Asman

b) Masalah/Kendala

!) Hattra belum semuanya terdaftar atau dan berijin

2) SK Pembentukan kelompok Asman dan kader kelomok Asman dari Desa belum ada.

c) Dukungan yang diperlukan dari lintas sector

1) Adanya data yang valid dari desa jumlah Hattra, dan mendorong Hattra untuk mau mendaftarkan
diri serta mengurus ijin praktek sehingga bias memasang plang praktek Hattra

2) Bapak Prebekel agar segera bisa menerbitkan SK Pembentukan Kelompok Asman dan Kader Asman

minimal 1 desa memiliki 1 kelompok Asman .

3. Program Kesehatan Jiwa

a. Kegiatan Th. 2019

1) Pelacakan ODGJ

2) Pelayanan pengobatan ODGJ dalam gedung

3) Konseling dan pemantauan ODGJ di rumah

b) Kendala/masalah

1) Tidak semua ODGJ memiliki KIS BPJS

2) Partisifasi keluarga dalam mengurus dan mendukung pengobatan ODGJ masih kurang

c) Dukungan yang diperlukan dari lintas sector

1) Pihak terkait mohon bantuannya membantu pengurusan dan penerbitan KIS ODGJ

2) Tokoh masyarakat/Aparat desa agar ikut mendorong keluarga agar mau mengurus dan mendukung

pengobatan pas .ODGJ sehingga semua ODGJ mendapatkan pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai