Anda di halaman 1dari 38

BAB I

STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien


No. Rekam Medik : 31.40.08
Tanggal masuk : 22 Maret 2019
Nama : bayi Q
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 16 Maret 2019
Anak Ke : ke-2
Agama : Islam
Alamat : Komplek ramdik Kec. Sekayu Muba Prov Sum-sel

2.1. Anamnesis (dilakukan Alloanamnesis pada tanggal 22 Maret 2019 )


Keluhan Utama :
Bayi mengalami kuning sejak 3 hari yang lalu.

Keluhan Tambahan :
Bayi mudah mengantuk dan lemas

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Sejak 3 hari setelah lahir, ibu pasien mengeluh bayinya tampak
kuning.Warna kuning tampak pertama kali pada mata dan muka yang semakin lama
semakin kuning, kemudian menyebar ke badan, lengan dan tungkai hingga telapak
kaki. Keluhan kuning disertai dengan keluhan bayi tampak mengantuk dan lemas.
Saat menyusui, hisapan bayi tidak kuat sedangkan tangisan bayi masih kuat.
Keluhan kuning tidak disertai demam, kejang ataupun penurunan kesadaran. Buang
air besar tidak seperti dempul dan buang air kecil tidak berwarna teh pekat.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Tidak ada

1
Riwayat Pengobatan :
Bayi sebelumnya belum mendapatkan pengobatan

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat keluhan yang sama disangkal. Ibu golongan darah B dengan rhesus positif.
Sedangkan, ayah golongan darah O dengan rhesus positif

Riwayat Kehamilan Ibu


Ibu G3P1A1, hamil aterm, lahir pervaginam. Lahir langsung menangis. BBL
3100 gram, PBL 47 cm, LK 35 cm, LD 36 cm, dan LP 37 cm. Selama hamil, ibu
pasien mengatakan tidak ada keluhan seperti demam. Kehamilan ini adalah
kehamilan ketiga, ibu pasien melakukan ANC sebanyak 4 kali. Ibu hamil cukup
bulan. Riwayat penyakit ibu seperti DM disangkal. Selama hamil ibu pasien tidak
menggunakan obat-obatan. Selama kehamilan, tidak ada riwayat memelihara
kucing.

Riwayat Kelahiran:
Bayi perempuan lahir pervaginam dari ibu G3P1A1 Pada tanggal 22 Maret
2019, hamil aterm. Bayi lahir langsung menangis, jenis kelamin perempuan, skor
APGAR 9/10, HR = 126 x/menit, Suhu = 36,6 oC , RR= 32 x/menit, ketuban hijau
(-), tali pusat segar, placenta komplit, kental (-), bau (-), KPSW (-), ibu demam (-).
BBL 3100 gram, PBL = 47 cm, LK = 35 cm, LD = 36 cm.

Riwayat Imunisasi :
Sejak lahir telah mendapatkan imunisasi Hepatitis Bo dan Polio O.

Riwayat tumbuh kembang:


(-)

Riwayat gizi:
Sejak lahir, bayi diberikan ASI dengan frekuensi < 12 kali sehari.

2
3.1. Pemeriksaan Fisik Tanggal 22 Maret 2019
KU: Tampak Sakit Sedang
- R. Hisap : Tidak kuat
- R. Tangis : Kuat
- Aktivitas : Hipoaktif
- Anemis : (-)
- Cyanosis : (-)
- Ikterik : (+) Kramer V
- Dispneu : (-)
- Nadi : 130 x/menit, isi dan tegangan cukup
- RR : 30 x/ menit, reguler
- Temperatur : 36,7 0C
- BB : 3100 gram
- PB : 47 cm
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Wajah : Simetris , dismorfik (-) , edema (-)
Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut
Ubun-ubun : Frontanemia mayor dan minor belum menutup. UUB cekung (-)
Mata : CA (-)/(-), SI (+)/(+), sekret (-)/(-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor, edema palpebra(-)/(-), eksoftalmus(-), enoftalmus(-),
strabismus (-), mata cekung (-)/(-)
Hidung : NCH (-), sekret (-), hiperemis(-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-)
Telinga : Simetris, otorea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis (kanan sama dengan kiri) dinamis (tidak ada yang
tertinggal), sela iga melebar (-), retraksi intercostal (-), venektasi
(-), massa (-)

3
Perkusi : Sonor pada semua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+)/(+) normal, ronki (-)/(-) wheezing (-)/(-)

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea parasternalis dextra
Batas kiri atas ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan bawah ICS IV linea parastrenalis dextra
Batas kiri bawah ICS IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Reguler, BJ1 & BJ2 (+) normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), massa (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba,
turgor kulit kembali cepat.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal.

Genitalia
Perempuan

Anus
Ada (+) normal, atresia ani (-)

Ekstremitas Atas
Akral hangat (+)/(+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit ikterik (+)

Ekstremitas Bawah
Akral hangat (+)/(+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit ikterik (+)

4
Pemeriksaan Refleks
1. Rooting refleks : (+) bayi menoleh ke arah akan diberi minum
2. Refleks menghisap : (+) bayi dapat menghisap
3. Refleks terkejut : (+)
4. Refleks memegang/menggenggam : (+)
5. Refleks moro : (+) Lengan kiri dan kanan ekstensi, jari-jari mengembang,
kepala terlempar ke belakang, tungkai ekstensi.

4.1. Diagnosis Banding


- Ikterus neonatorum e.c hepatitis
- Ikterus neonatorum e.c inkompabilitas ABO/rh

5.1. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium:
22 Maret 2019
No. Hasil Nilai normal
1. Hb : 14,4 g/dl 13,4 - 19,9 g/dl
2. Leukosit : 13.200 /uL 5.000 – 21.000/mm3
3. Trombosit : 281.000/uL 300.000 – 600.000/mm3
4. LED : 3 mm/jam < 20 mm3
5. Hematokrit : 40,1 % 42 – 65 %
6. Difcount
- Basofil :0 0–2
- Eosinofil :5 0–5
- Neutrofil : 45 30 – 50
- Limfosit : 32 40 – 60
- Monosit : 18 4 – 12
7. Bilirubin direk : 0,66 mg/dl < 0, 2 mg/dl
8. Bilirubin indirek : 20,66 mg/dl < 12 mg/dl
9. Total billirubin : 21, 32 mg/dl 0,60 – 11, 10 mg/dl
10. CRP Kuantitatif : Negatif < 5 mg
11. HbsAg : Non-reaktif Non- reaktif
12. Golongan darah ABO-rhesus
Golongan darah :B
Rhesus : Positif

5
6.1. Diagnosis Kerja
Ikterus neonatorum e.c breast feeding jaundice

7.1. Penatalaksanaan
Farmakologis
1. Sequest 3 x 1

Non Farmakologis
1. Pemberian ASI/PASI 12 x 10 cc
Kebutuhan cairan untuk bayi aterm pada hari ke-enam adalah 140 cc/kgbb,
BB : 3,1 kg,
sehingga = 4 x 140 cc = 560 cc
560 cc dibagi 12x pemberian = 46,6 cc
2. Kebersihan tangan ibu yang merawat sebelum kontak dengan bayi
3. Fototerapi 24 jam

8.1. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Bonam

2.9. Follow Up
Tanggal Follow Up
22-03-2019 S = Bayi tampak kuning (+)
O = KU : sedang, Refleks Tangis = kuat, Reflek Isap kuat,
Aktivitas = hipoaktif, Sianosis = (-), Dyspneu = (-), Anemis
= (-), Ikterik = (+)
HR = 130 x/m, RR = 30 x/m, T = 36,7oC

Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Wajah : Simetris , dismorfik (-) , edema (-)
Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut

6
Ubun-ubun : Frontanemia mayor dan minor belum
menutup. UUB cekung (-)
Mata : CA (-/-), SI (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor, edema
palpebra(-)/(-), eksoftalmus(-),
enoftalmus(-), strabismus (-), mata cekung
(-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-)
Telinga : Simetris, otorea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid
(-)
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis (kanan sama dengan kiri) dinamis
(tidak ada yang tertinggal), sela iga melebar (-), retraksi
(-), venektasi (-), massa (-)
Perkusi : Sonor pada semua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), normal, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea parasternalis
dextra, batas kiri atas ICS II linea
parasternalis sinistra , batas kanan bawah
ICS IV linea parastrenalis dextra, batas kiri
bawah ICS IV linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Reguler, BJ1 & BJ2 (+)normal, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), massa (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar

7
dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal.
Genitalia
Laki-laki
Anus
Ada (+) normal, atresia ani (-)
Ekstremitas Atas
Akral hangat (+/+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (+)
Ekstremitas Bawah
Akral hangat (+)/(+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (+)
A : Ikterus neonatorum
P :
 Fototerapi 24 jam
 Sequest 3x1
 Asi Lanjutkan
23-03-2019 S = Bayi tampak kuning (+)
O = KU : sedang, Refleks Tangis = kuat, Reflek Isap kuat,
Aktivitas = hipoaktif, Sianosis = (-), Dyspneu = (-), Anemis
= (-), Ikterik = (+)
HR = 139 x/m, RR = 40 x/m, T = 36,5oC
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Wajah : Simetris , dismorfik (-) , edema (-)
Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut
Ubun-ubun : Frontanemia mayor dan minor belum
menutup. UUB cekung (-)
Mata : CA (-/-), SI (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor, edema
palpebra(-)/(-), eksoftalmus(-),
enoftalmus(-), strabismus (-), mata cekung

8
(-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis sirkum oral (-), bibir kering (-)
Telinga : Simetris, otorea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid
(-)
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis (kanan sama dengan kiri) dinamis
(tidak ada yang tertinggal), sela iga melebar (-), retraksi
(-), venektasi (-), massa (-)
Perkusi : Sonor pada semua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), normal, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea parasternalis
dextra, batas kiri atas ICS II linea
parasternalis sinistra , batas kanan bawah
ICS IV linea parastrenalis dextra, batas kiri
bawah ICS IV linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Reguler, BJ1 & BJ2 (+)normal, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), massa (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar
dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal.
Genitalia
Laki-laki
Anus

9
Ada (+) normal, atresia ani (-)
Ekstremitas Atas
Akral hangat (+/+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (+)
Ekstremitas Bawah
Akral hangat (+)/(+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (+)
A : Ikterus neonatorum
P :
 Fototerapi 24 jam
 Sequest 3x1
 Asi Lanjutkan
24-03-2019 S = Bayi tampak kuning (+)
O = KU : sedang, Refleks Tangis = kuat, Reflek Isap kuat,
Aktivitas = hipoaktif, Sianosis = (-), Dyspneu = (-), Anemis
= (-), Ikterik = (+)
HR = 140 x/m, RR = 40 x/m, T = 36,8oC
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Wajah : Simetris , dismorfik (-) , edema (-)
Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut
Ubun-ubun : Frontanemia mayor dan minor belum
menutup. UUB cekung (-)
Mata : CA (-/-), SI (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor, edema
palpebra(-)/(-), eksoftalmus(-),
enoftalmus(-), strabismus (-), mata cekung
(-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis sirkum oral (-), bibir kering (-)
Telinga : Simetris, otorea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid
(-)

10
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis (kanan sama dengan kiri) dinamis
(tidak ada yang tertinggal), sela iga melebar (-), retraksi
(-), venektasi (-), massa (-)
Perkusi : Sonor pada semua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), normal, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea parasternalis
dextra, batas kiri atas ICS II linea
parasternalis sinistra , batas kanan bawah
ICS IV linea parastrenalis dextra, batas kiri
bawah ICS IV linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Reguler, BJ1 & BJ2 (+)normal, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), massa (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar
dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal.
Genitalia
Laki-laki
Anus
Ada (+) normal, atresia ani (-)
Ekstremitas Atas
Akral hangat (+/+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (+)
Ekstremitas Bawah
Akral hangat (+)/(+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit

11
ikterik (+)
A : Ikterus neonatorum
P :
 Fototerapi 24 jam
 Sequest 3x1
 Asi Lanjutkan
25-03-2019 S = Kuning berkurang
O = KU : sedang, Refleks Tangis = kuat, Reflek Isap kuat,
Aktivitas = aktif, Sianosis = (-), Dyspneu = (-), Anemis =
(-), Ikterik = (+)
HR = 139 x/m, RR = 38 x/m, T = 36,5oC
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Wajah : Simetris , dismorfik (-) , edema (-)
Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut
Ubun-ubun : Frontanemia mayor dan minor belum
menutup. UUB cekung (-)
Mata : CA (-/-), SI (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor, edema
palpebra(-)/(-), eksoftalmus(-),
enoftalmus(-), strabismus (-), mata cekung
(-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis sirkum oral (-), bibir kering (-)
Telinga : Simetris, otorea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid
(-)
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis (kanan sama dengan kiri) dinamis
(tidak ada yang tertinggal), sela iga melebar (-), retraksi
(-), venektasi (-), massa (-)
Perkusi : Sonor pada semua lapangan paru

12
Auskultasi : Vesikuler (+/+), normal, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea parasternalis
dextra, batas kiri atas ICS II linea
parasternalis sinistra , batas kanan bawah
ICS IV linea parastrenalis dextra, batas kiri
bawah ICS IV linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Reguler, BJ1 & BJ2 (+)normal, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), massa (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar
dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal.
Genitalia
Laki-laki
Anus
Ada (+) normal, atresia ani (-)
Ekstremitas Atas
Akral hangat (+/+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (+)
Ekstremitas Bawah
Akral hangat (+)/(+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (-)
A : Ikterus neonatorum
P :
 Fototerapi 24 jam
 Sequest 3x1

13
 Asi Lanjutkan
26-03-019 S = Kuning berkurang (+)
O = KU : sedang, Refleks Tangis = kuat, Reflek Isap kuat,
Aktivitas = aktif, Sianosis = (-), Dyspneu = (-), Anemis =
(-), Ikterik = (+)
HR = 132 x/m, RR = 42 x/m, T = 36,7oC
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Wajah : Simetris , dismorfik (-) , edema (-)
Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut
Ubun-ubun : Frontanemia mayor dan minor belum
menutup. UUB cekung (-)
Mata : CA (-/-), SI (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor, edema
palpebra(-)/(-), eksoftalmus(-),
enoftalmus(-), strabismus (-), mata cekung
(-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-)
Telinga : Simetris, otorea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid
(-)
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis (kanan sama dengan kiri) dinamis
(tidak ada yang tertinggal), sela iga melebar (-), retraksi
(-), venektasi (-), massa (-)
Perkusi : Sonor pada semua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), normal, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)

14
Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea parasternalis
dextra, batas kiri atas ICS II linea
parasternalis sinistra , batas kanan bawah
ICS IV linea parastrenalis dextra, batas kiri
bawah ICS IV linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Reguler, BJ1 & BJ2 (+)normal, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), massa (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar
dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal.
Genitalia
Laki-laki
Anus
Ada (+) normal, atresia ani (-)
Ekstremitas Atas
Akral hangat (+/+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (+)
Ekstremitas Bawah
Akral hangat (+)/(+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (-)
A : Ikterus neonatorum

P :
 Fototerapi 24 jam
 Sequest 3x1
 Asi Lanjutkan
27-03-019 S = Tidak ada keluhan
O = KU : ringan, Refleks Tangis = kuat, Reflek Isap kuat,
Aktivitas = aktif, Sianosis = (-), Dyspneu = (-), Anemis =
(-), Ikterik = (-)

15
HR = 138 x/m, RR = 40 x/m, T = 36,6oC
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Wajah : Simetris , dismorfik (-) , edema (-)
Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut
Ubun-ubun : Frontanemia mayor dan minor belum
menutup. UUB cekung (-)
Mata : CA (-/-), SI (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor, edema
palpebra(-)/(-), eksoftalmus(-),
enoftalmus(-), strabismus (-), mata cekung
(-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-)
Telinga : Simetris, otorea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid
(-)
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Statis (kanan sama dengan kiri) dinamis
(tidak ada yang tertinggal), sela iga melebar (-), retraksi
(-), venektasi (-), massa (-)
Perkusi : Sonor pada semua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), normal, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea parasternalis
dextra, batas kiri atas ICS II linea
parasternalis sinistra , batas kanan bawah
ICS IV linea parastrenalis dextra, batas kiri
bawah ICS IV linea midclavicularis

16
sinistra
Auskultasi : Reguler, BJ1 & BJ2 (+)normal, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), massa (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar
dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal.
Genitalia
Laki-laki
Anus
Ada (+) normal, atresia ani (-)
Ekstremitas Atas
Akral hangat (+/+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (-)
Ekstremitas Bawah
Akral hangat (+)/(+), edema (-)/(-), CRT < 3 detik, kulit
ikterik (-)
A : Ikterus neonatorum
P :
 Fototerapi stop
 Asi Lanjutkan
 Boleh pulang

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin

17
dalam darah > 5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya ikterus, dengan
faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik. 5

2.2 Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus: ikterus fisiologis dan patologis.8
a. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:

Timbul pada hari kedua-ketiga.

Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg/dL pada kurang bulan.

Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dL per hari.

Kadar bilirubin direk (larut dalam air) kurang dari 1mg/dL.

Gejala ikterus akan hilang pada sepuluh hari pertama kehidupan.

Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.8

b. Ikterus patologis
Ikterus patologis memiliki karakteristik seperti berikut:

Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.

Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12 mg/dL pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg/dL pada neonatus lahir kurang bulan/prematur.

Ikterus dengan peningkatan bilirubin lebih dari 5mg/dL per hari.

Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.

Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau
keadaan patologis lain yang telah diketahui.

Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dL. 8

2.3. Etiologi
Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu: 3
a. Ikterus Prahepatik
Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah
merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh:
 Kelainan sel darah merah
 Infeksi seperti malaria, sepsis.

18
 Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun yang
berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan
eritroblastosis fetalis.

b. Ikterus Pascahepatik
Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin
konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan
mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki
peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga
ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan
pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja
akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin.

c. Ikterus Hepatoseluler
Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga
bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam
hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati
yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam
aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis
hepatis, tumor, bahan kimia, dll.2

Dasar Penyebab
Peningkatan produksi bilirubin Incompabilitas darah fetomaternal (Rh, ABO)
Peningkatan penghancuran  Defisiensi enzim kongenital (G6PD,
hemoglobin galaktosemia)
 Sepsis
Peningkatan jumlah hemoglobin  Polisitemia (twin-to-twin transfusion,
SGA)
 Keterlambatan klem tali pusat
Peningkatan sirkulasi  Keterlambatan pasase meko-nium, ileus
enterohepatik mekonium, meconium plug syndrome
 Puasa atau keterlambatan minum
 Atresia atau stenosis intestinal
Perubahan clearance bilirubin Imaturitas
hati
Perubahan produksi atau  Gangguan metabolik/endokrin
aktifitas uridine
diphosphoglucoronyl transferase
Perubahan fungsi dan perfusi  Asfiksia, hipoksia, hipotermi,
hati hipoglikemi

19
 Sepsis
 Obat-obatan dan hormone
Obstruksi hepatik  Anomali kongenital (atresia biliaris,
fibrosis kistik)
 Statis biliaris (hepatitis, sepsis)
 Bilirubin load berlebihan

2.4. Metabolisme Bilirubin


Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi hemoglobin
pada sistem retikuloendotelial. Tingkat penghancuran hemoglobin pada neonatus
lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua. Sekitar 1 g hemoglobin dapat
menghasilkan 35 mg bilirubin indirek, yaitu bilirubin yang larut dalam lemak
tetapi tidak larut dalam air.7
Transportasi bilirubin indirek melalui ikatan dengan albumin. Bilirubin
ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit, sedangkan albumin tidak. Di
dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin, serta sebagian kecil pada glutation
S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah,
tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan
diekskresi ke dalam empedu. Di dalam sitosol hepatosit, ligandin mengikat
bilirubin sedangkan albumin tidak.7
Di dalam hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi bilirubin
diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin ter-dapat dalam bentuk monoglukoronid,
yang akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi diglukorinid. Enzim yang
terlibat dalam sintesis bilirubin diglukorinid, yaitu uridin difosfat-glukoronid
transferase (UDPG-T), yang mengatalisis pembentuk-an bilirubin
monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi diglukoronid terjadi di kanalikuli empedu.
Isomer bilirubin yang dapat mem-bentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural
IX dapat diekskresi langsung ke dalam empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer
yang terjadi sesudah terapi sinar. Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin
direk yang larut dalam air, terjadi ekskresi segera ke sistem empedu kemu-dian ke
usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini tidak di absorbsi; sebagian bilirubin direk
dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini disebut siklus
enterohepatik.7

20
2.5. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan .
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu bilirubin ini
akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan
pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam
lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila
bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak
disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.
Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan berat badan lahir rendah , hipoksia, dan hipoglikemia.5

2.6. Gejala Klinis


Gejala Hiperbilirubinemia dikelompokan menjadi 2 fase yaitu akut dan
kronik:1
a. Gejala akut
 Lethargi (lemas)
 Tidak ingin mengisap
 Feses berwarna seperti dempul
 Urin berwarna gelap
b. Gejala kronik
 Tangisan yang melengking (high pitch cry)
 Kejang
 Perut membuncit dan pembesaran hati
 Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
 Tampak matanya seperti berputar-putar

21
2.7. Diagnosis
1. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan
khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya.
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama1
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
 Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.
 Infeksi intrauterin (oleh virus, toxoplasma, dan kadang-kadang bakteri).
 Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir1
 Biasanya ikterus fisiologis.
 Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau
golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin
cepat, misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam.
 Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
 Polisitemia
 Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan
hepar subkapsuler dan lain-lain).
 Hipoksia
 Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
 Dehidrasi asidosis
 Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
 Biasanya karena infeksi (sepsis)
 Dehidrasi asidosis
 Defisiensi enzim G6PD
 Pengaruh obat
 Sindrom Crigler-Najjar
 Sindrom Gilbert

22
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya.

Biasanya karena obstruksi

Hipotiroidisme

“Breast milk jaundice”

Infeksi

Neonatal hepatitis1

2. Pemeriksaan yang perlu dilakukan :


a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih
lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan
pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan
invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.
Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Disarankan pemeriksaan
bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2
minggu.

Tabel 1. Hubungan Kadar Bilirubin (mg/dL) dengan Daerah Ikterus


Menurut Kramer1

Daerah Kadar Bilirubin (mg/dl)


Lokasi Prematur Aterm
Ikterus
1. Kepala dan leher 4-8 4-8
2. Dada sampai pusat 5-12 5-12
3. Pusat sampai bawah lutut 7-15 8-16
4. Lutut sampai 9-18 11-18
pergelangan kaki dan
bahu sampai pergelangan
tangan
5. Kaki dan tangan >10 >15
termasuk telapak kaki
dan telapak tangan

b. Pemeriksaan darah tepi


c. Pemeriksaan penyaring G6PD

23
d. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab

Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan


pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak
mempunyai potensi berkembang menjadi kern ikterus. WHO dalam
panduannya menerangkan cara menentukan ikterus dari inspeksi, sebagai
berikut:

 Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari


dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
 Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
 Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.

2.8. Penatalaksanaan
a. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi,
kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus
pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
 Minum ASI dini dan sering
 Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
 Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang
dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan
sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada
minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia
karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.9

A. Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO):

 Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat

24
 Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir <2,5
kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
 Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin,
tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
- Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar,
hentikan terapi sinar.
- Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai
dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
- Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan
penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di
keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.

B. Mengatasi hiperbilirubinemia

Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian
fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai “enzyme inducer” sehingga
konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu
efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan
bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada
ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.

Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau
konjugasi. Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat
bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan
dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi
tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya
bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang
diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian
glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.

Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun
fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini
tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat.
Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar.
Indikasi terapi sinar adalah:

25
- Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar
bilirubin >10mg/dL.
- Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
- Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12
jam, bila perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.

Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai
berikut:
- Kadar bilirubin tidak langsung >20mg/dL
- Kadar bilirubin tali pusat >4mg/dL dan Hb <10mg/dL
- Peningkatan bilirubin >1mg/dL

Tabel 2. Penatalaksanaan Ikterus Menurut Waktu Timbulnya dan Kadar


Bilirubin9

Bilirubin 24 jam 24-48 jam 48-72 jam >72 jam


serum Jam
(mg/dl)
<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >
<5 Tidak perlu terapi-observasi
5-9 Terapi sinar bila hemolisis
10-14 Transfusi tukar Terapi sinar
Bila hemolisis
15-19 Transfusi tukar Terapi sinar
>20 Transfusi tukar

C. Monitoring
Monitoring yang dilakukan antara lain:

Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna
kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar
bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam
setelah dihentikan.

Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum
dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang
membutuhkan perawatan di RS.9

2.9. Komplikasi

26
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati
bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan
nuclei batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan
interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin
yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas
saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan
permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.8
Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30
mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu
pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara lain:
a. Bentuk akut :
 Fase 1(hari 1-2): menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
 Fase 2 (pertengahan minggu I): hipertoni otot ekstensor, opistotonus,
retrocollis, demam.
 Fase 3 (setelah minggu I): hipertoni.
b. Bentuk kronis :
 Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic
neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
 Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus,
tremor), gangguan pendengaran. 8

2.10. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
 Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/
hari untuk beberapa hari pertama.
 Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan Sekunder

Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa.

27

Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus
yang harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak
kurang dari setiap 8 – 12 jam.9

2.11. Fototerapi
a. Mekanisme fototerapi
Didapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang bulan
menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.
Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan
umur pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus
kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics
(AAP). 9

b. Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang
merupakan suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang
elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan panjang gelombang, yang
menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini
terdiri dari sinar merah, orange, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing
dari sinar memiliki panjang gelombang yang berbeda beda. 9
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar
bilirubin adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm. Sinar biru
lebih baik dalam menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-
hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang
diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas
yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas
sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar,
yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.
Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi.
Intensitas sinar diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer
fototerapi. Intensitas sinar ≥ 30 μW/cm2/nm cukup signifikan dalam
menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi. Intensitas sinar yang
diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk

28
fototerapi standard adalah 30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas
sinar, maka akan lebih besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini
adalah jenis sinar, panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke
neonatus dan luas permukaan tubuh neonatus yang disinari serta penggunaan
media pemantulan sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan
permukaan tubuh. Cara mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah
menggeser sinar lebih dekat pada bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm
kecuali dengan menggunakan sinar halogen. Sinar halogen dapat menyebabkan
luka bakar bila diletakkan terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak
akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10 cm dari bayi. Luas
permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di
pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.
Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi
peningkatan kadar bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau
obstructive jaundice. 9

c. Komplikasi terapi sinar


Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam
penggunaan terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak
memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi,
baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama ini ebrsifat
sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata
cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.

Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :9


- Peningkatan “insensible water loss” pada bayi
Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurangg bulan. Dilaporkan
kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa. Untuk
hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar perlu diperhatikan
dengan sebaiknya.
- Frekuensi defekasi yang meningkat

29
Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan karena
meningkatnya peristaltik. Bakken (1976) mengemukakan bahwa diare yang
terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim lactase
karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan
kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih
belum dapat dipertentangkan.
- Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah muka,
badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan.
Pada beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby
syndrome. Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan
segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini
tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
- Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan. Secara klinis
tidak dapat menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang
mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar
dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang diperlukan.

- Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan
kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan
mematikan sebagian lampu yang dipergunakan.
- Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-
kadang ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan
akan menghilang dengan sendirinya.
- Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti
adalah kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan
metabolisme lain.

Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada
bayi. Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan
dengan manfaat penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar
mempunyai tempat tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada
bayi baru lahir.9

30
BAB III

ANALISIS KASUS

3. 1. Analisis kasus
Pada pasien ini didiagnosis ikterus neonatorum berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang.

Anamnesis Sejak 3 hari setelah lahir, ibu pasien mengeluh


bayinya tampak kuning. Warna kuning tampak
pertama kali pada mata dan muka yang semakin
lama semakin kuning, kemudian menyebar ke

31
badan, lengan dan tungkai hingga telapak kaki.
Keluhan kuning disertai dengan keluhan bayi tampak
mengantuk dan lemas. Saat menyusui, hisapan bayi
tidak kuat dan tangisan bayi juga masih kuat. Keluhan
kuning tidak disertai demam, kejang ataupun
penurunan kesadaran. Buang air besar tidak seperti
dempul dan buang air kecil tidak berwarna teh pekat.
Bayi sebelumnya belum mendapatkan
pengobatan. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya
juga disangkal. Bayi lahir dari Ibu G3P1A1, hamil
aterm, lahir pervaginam. Lahir langsung menangis.
BBL 3100 gram, PBL 47 cm, LK 35 cm, LD 36 cm,
dan LP 37 cm. Selama hamil, ibu pasien mengatakan
tidak ada keluhan seperti demam. Kehamilan ini
adalah kehamilan ketiga, ibu pasien melakukan ANC
sebanyak 4 kali. Ibu hamil cukup bulan. Riwayat
penyakit ibu seperti hepatitis disangkal. Selama hamil
ibu pasien tidak menggunakan obat-obatan. Selama
kehamilan tidak ada riwayat memelihara kucing.
Bayi perempuan ini lahir pervaginam dari ibu
G3P1A1 Pada tanggal 22 Maret 2019, hamil aterm.
Bayi lahir langsung menangis, jenis kelamin
perempuan, skor APGAR 9/10, HR = 126 x/menit,
Suhu = 36,6 oC , RR= 32 x/menit, ketuban hijau (-),
tali pusat segar, placenta komplit, kental (-), bau (-),
KPSW (-), ibu demam (-). BBL 3100 gram, PBL = 47
cm, LK = 35 cm, LD = 36 cm.
Sejak lahir telah mendapatkan imunisasi
Hepatitis Bo dan Polio O dan bayi diberikan ASI
dengan frekuensi < 12 kali sehari.

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan refleks


hisap tidak kuat dan tangis bayi kuat, aktivitas bayi
hipoakif, Anemis (-), Cyanosis (-), Ikterik (+),

32
Dispneu (-), Nadi 130 x/menit, isi dan tegangan
cukupp, RR 30 x/ menit, regular, temperatur 36,7 0C,
BB 3100 gram, PB: 47 cm. Pada pemeriksaan
spesifik, didapatkan ikterik pada sklera (+), badan
(+) hingga ekstremitas atas dan bawah (+).

Pemeriksaan Penunjang Lab:


22 Maret 2019
Hb : 14,4 g/dl
Leukosit : 13.200 /uL
Trombosit : 281.000/uL
LED : 3 mm/jam
Hematokrit : 40,1 %
Difcount : 0/5/45/32/18
Bilirubin direk : 0,66 mg/dl
Bilirubin indirek : 20,66 mg/dl
Total billirubin : 21, 32 mg/dl
CRP Kuantitatif : Negatif, < 5 Mg
HbsAg : Non-reaktif
Golongan darah ABO-rhesus
Golongan darah :B
Rhesus : Positif

Berdasarkan analisis di atas, didapatkan gejala klinis yaitu bayi tampak


kuning sejak 3 hari SMRS, warna kuning tampak pertama kali pada mata
dan muka yang semakin lama semakin kuning, kemudian menyebar ke
badan, lengan dan tungkai hingga telapak kaki. Bayi tampak mengantuk dan
lemas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan, refleks hisap tidak kuat, aktivitas
bayi hipoakif, Ikterik (+). Pada pemeriksaan spesifik, didapatkan ikterik pada
sklera (+), badan (+) hingga ekstremitas atas dan bawah (+).
Hubungan Kadar Bilirubin (mg/dL) dengan Daerah Ikterus Menurut
Kramer:1
Daerah Kadar Bilirubin (mg/dl)
Lokasi Prematur Aterm
Ikterus

33
1. Kepala dan leher 4-8 4-8
2. Dada sampai pusat 5-12 5-12
3. Pusat sampai bawah lutut 7-15 8-16
4. Lutut sampai pergelangan kaki 9-18 11-18
dan bahu sampai pergelangan
tangan
5. Kaki dan tangan termasuk >10 >15
telapak kaki dan telapak tangan
Berdasarkan lokasi ikterus bayi, maka dapat dapat disimpulkan daerah
ikterus bayi yaitu Kramer V.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka pasien didiagnosis
ikterus neonatorum.
Hal ini juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang,
didapatkan bilirubin direk 0,66 mg/dl, bilirubin indirek 20, 66 mg/dl, total
billirubin 21, 32 mg/dl yang menunjukkan adanya peningkatan bilirubin atau
hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi
peningkatan kadar bilirubin dalam darah > 5mg/dL, yang secara klinis ditandai
oleh adanya ikterus, dengan faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik.
Pada kasus ini bayi diberikan ASI dengan frekuensi < 12 kali sehari.
Penyebab ikterus neonatorum pada kasus ini yaitu breast feeding jaundice, akibat
intake neonatus yang masih minim (biasa akibat ibu yang masih sedikit di awal
kelahiran neonatus atau proses menyusui yang belum adekuat) sehingga terjadi
peningkatan sirkulasi eneteropatik bilirubin, hal ini muncul dalam usia satu
minggu pertama neonatus. Dianjurkan kepada ibu untuk menyusui bayinya paling
sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk beberapa hari pertama.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan CRP, Golongan darah
ABO/rhesus, dan HbsAg. Hal ini bertujuan untuk menyingkirkan penyebab lain
terjadinya ikterus neonatorum pada bayi.
Pada hasil golongan darah didapatkan golongan darah bayi B dengan
rhesus positif, hal ini sesuai dengan golongan darah ibu B dengan rhesus positif.
Dimana inkompabilitas ABO/rh merupakan salah satu penyebab terjadinya
ikterus neonatorum. Inkompabilitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu
inkompabilitas ABO dan inkompabilitas rhesus. Inkompabilitas ABO adalah
kondisi medis dimana golongan darah ibu dan bayi berbeda sewaktu masa
kehamilan. Terdapat 4 jenis golongan darah yaitu A, B, AB dan O. Golongan

34
darah ditentukan melalui tipe molekul (antigen) pada permukaan sel darah merah.
Sebagai contoh, individu dengan golongan darah A memiliki antigen A dan
golongan darah B memiliki antigen B, dan golongan darah AB memiliki antigen
A dan B sedangkan golongan darah O tidak memiliki antigen. Golongan darah
yang berbeda menghasilkan antibodi yang berbeda-beda Ketika golongan darah
berbeda tercampur, suatu respon kekebalan tubuh terjadi dan antibodi terbentuk
untuk menyerang antigen yang asing di dalam darah. Inkompabilitas ABO
seringkali terjadi pada ibu dengan golongan darah O dan bayi golongan darah
baik A atau B. Ibu dengan golongan darah O menghasilkan antibodi anti-A dan
anti-B yang cukup kecil untuk memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel
darah merah janin. Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan
bilirubin. Apabila terlalu banyak bilirubin yang dihasilkan, akan menyebabkan
ikterus pada bayi. 4
Sedangkan, inkompabilitas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketika
seorang ibu hamil memiliki darah Rh negatif dan bayi dalam rahimnya memiliki
darah Rh positif. Selama kehamilan, sel darah merah dari bayi yang belum lahir
dapat masuk ke aliran darah ibu melalui plasenta. Jika ibu memilik Rh-negatif,
sistem kekebalan tubuhnya mengidentifikasi sel-sel Rh positif janin sebagai
substansi asing dan membuat antibodi terhadap sel-sel darah janin. Antibodi anti-
Rh dapat masuk kembali melalui plasenta ke bayi yang sedang berkembang dan
menghancurkan sel-sel darah merah bayi. Sel-sel darah merah yang dipecah
menghasilkan bilirubin, hal ini menyebabkan bayi menjadi kuning (ikterus).4
Pada kasus ini, baik inkompabilitas ABO atau Rh bukan merupakan
penyebab terjadinya ikterus pada bayi.
Didapatkan CRP negatif yang menandakan tidak adanya infeksi pada bayi.
Dan pada pemeriksaan HbsAg didapatkan hasil non-reaktif, yang menandakan
bahwa hepatitis bukan merupakan penyebab terjadinya ikterus neonatorum.
Dimana adanya radang hati akut yang biasa disebut hepatitis akan mengakibatkan
peningkatan bilirubin. Pada keadaan ini, terjadi kerusakan sel-sel hati yang
menyebabkan aliran bilirubin/empedu ke usus terhambat, sehingga bilirubin yang
dibuang ke feses berkurang. Akibatnya, terjadi penimbunan bilirubin di hati yang
sebagian masuk ke aliran darah, dan menyebabkan bilirubin terkonjugasi dalam
darah meningkat.

35
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa inkompabilitas ABO/rhesus,
hepatitis, dan infeksi lain bukan penyebab terjadinya ikterus neonatorum pada
kasus ini.
Penatalaksanaan pada pasien meliputi farmakologi yaitu pemberian
sequest 3x1. Dan penatalaksanaan non-farmakologis yaitu fototerapi 24 jam dan
ASI.
Indikasi terapi sinar adalah bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >18
mg/dL dan lama terapi sinar adalah selama 24 jam. Rekomendasi AAP
menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm. Fototerapi saat ini masih menjadi
modalitas terapeutik pada bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada
neonatus dengan hiperbilirubinemia. Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan
mengalami beberapa fotoreaksi apabila terpajan ke sinar dalam rentang cahaya
tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang 420 nm-470 nm) dan dalam hal
ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk
oleh sinar bersifat polar, oleh karena itu akan larut dalam air dan akan lebih
mudah diekskesikan melalui urin.
Selain itu, bayi diberikan sequest atau cholestyramine yang berfungsi
meningkatkan ekskresi bilirubin terkonjugasi dengan mengikat asam empedu
pada usus dan menjadikannya senyawa yang larut dalam air, sehingga bilirubin
dapat diekskresikan melalui feses. Selain itu, dianjurkan pada bayi untuk
diberikan ASI dengan frekuensi 8-12 kali per hari.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Arif Mansjoer. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Edisi III. Jakarta:
Media Aesculapius FK UI.
2. Blackburn ST dalam Sukandi A. 2012. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
3. Etika Risa, dkk. 2007. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo-Surabaya
4. Hassan, R. Staf Pengajar Ilmu Kesehtan Anak FKUI. 2005. Inkompabilitas
ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir dalam Buku Kuliah Kesehatan Anak.
Jakarta: Percetakan Infomedika.
5. Kliegman RM. 2007. Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir.
Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteraan EGC.
6. Kosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Ed.I. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
7. Murray, R.K., et al. 2009. Biokimia Harper 27th edition. Jakarta: EGC

37
8. Stevry, dkk. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Manado: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
9. Suraatmaja dan Soetjiningsih. 2000. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak cetakan II. Denpasar : RSUP Sanglah

38

Anda mungkin juga menyukai

  • Referat PDL Ayu BAB
    Referat PDL Ayu BAB
    Dokumen24 halaman
    Referat PDL Ayu BAB
    Umi Chusnul Chotimah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    alfredadevina
    Belum ada peringkat
  • Form RK
    Form RK
    Dokumen10 halaman
    Form RK
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Borang THT
    Borang THT
    Dokumen3 halaman
    Borang THT
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Obgyn Borang
    Obgyn Borang
    Dokumen1 halaman
    Obgyn Borang
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Case Fix
    Case Fix
    Dokumen37 halaman
    Case Fix
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Lampiran 7 (Format Laporan)
    Lampiran 7 (Format Laporan)
    Dokumen6 halaman
    Lampiran 7 (Format Laporan)
    alfathoni
    Belum ada peringkat
  • Kern Ikterus
    Kern Ikterus
    Dokumen6 halaman
    Kern Ikterus
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Sken D
    Sken D
    Dokumen17 halaman
    Sken D
    alfredadevina
    Belum ada peringkat
  • Yerni
    Yerni
    Dokumen3 halaman
    Yerni
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • ARSIL, S.Ag, M.PD NIP. 196709191998031001 NS
    ARSIL, S.Ag, M.PD NIP. 196709191998031001 NS
    Dokumen19 halaman
    ARSIL, S.Ag, M.PD NIP. 196709191998031001 NS
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Kejang Demam
    Kejang Demam
    Dokumen28 halaman
    Kejang Demam
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Case
    Case
    Dokumen29 halaman
    Case
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • BAB V Case
    BAB V Case
    Dokumen1 halaman
    BAB V Case
    alfredadevina
    Belum ada peringkat
  • Skenario Drama (Keramat)
    Skenario Drama (Keramat)
    Dokumen19 halaman
    Skenario Drama (Keramat)
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Tutorial
    Tutorial
    Dokumen11 halaman
    Tutorial
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • BAB II Thalasemia TPP
    BAB II Thalasemia TPP
    Dokumen11 halaman
    BAB II Thalasemia TPP
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Insipidus
    Diabetes Insipidus
    Dokumen25 halaman
    Diabetes Insipidus
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Struma
    Struma
    Dokumen15 halaman
    Struma
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Oa, Bells Paly, Fraktur (Osteoporosis) Kejang Demam
    Oa, Bells Paly, Fraktur (Osteoporosis) Kejang Demam
    Dokumen54 halaman
    Oa, Bells Paly, Fraktur (Osteoporosis) Kejang Demam
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • Gout Oa
    Gout Oa
    Dokumen18 halaman
    Gout Oa
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat
  • TPP Blok 9
    TPP Blok 9
    Dokumen24 halaman
    TPP Blok 9
    Alfreda Devina Susanti
    Belum ada peringkat