Anda di halaman 1dari 11

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH EVIDANCE NURSING

EVIDANCE BASED NURSING PADA PASIEN GAGAL JANTUNG

Yang di ampu oleh Ns. Supadi, M.Kep, Sp.MB

Di susun oleh :

Dyah Tri Apriliasari / P1337420820006

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

PROGRAM STUDI MAGISTER TERAPAN KEPERAWATAN

JANUARI 2021
BAB 1

LATAR BELAKANG

1.1 Pendahuluan
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung,
otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal
yang kompleks.
Kematian akibat penyakit kardiovaskuler khususnya gagal jantung adalah 27 %. Sekitar 3
- 20 per 1000 orang mengalami gagal jantung, angka kejadian gagal jantung meningkat
seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas 60 tahun. Dari hasil
penelitian Framingham pada tahun 2000 menunjukkan angka kematian dalam 5 tahun
terakhir sebesar 62% pada pria dan 42% wanita, berdasarkan data dari di Amerika terdapat 3
juta penderita gagal jantung dan setiap tahunnya bertambah dengan 400.000 orang,
sedangkan untuk di Indonesia angka kejadian gagal jantung menyebab kematian nomor satu,
padahal sebelumnya menduduki peringkat ketiga. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
beberapa factor yang dapat dihindari dan yang tidak dapat dihindari.
Faktor - faktor penyebab gagal jantung diantaranya adalah kebiasaan merokok, diabetes,
hipertensi, kolestrol, kelebihan berat badan hingga stress. Ada tiga faktor lainnya yang tidak
bisa dihindari oleh manusia yakni faktor keturunan dan latar belakang keluarga, faktor usia
dan jenis kelamin yang banyak ditemui pada kasus kegagalan jantung. Selain hipertensi,
penyebab gagal jantung adalah kelainan otot jantung, ateriosklerosis dan peradangan pada
miokardium.
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung sering disebut dengan gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompakan darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan
oksigen dan nutrisi. Istilah gagal jantung kongestif sering digunakan kalau terjadi gagal
jantung sisi kiri dan kanan. Gagal jantung merupakan suatu keadaan patologis adanya
kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Kasron, 2012) dalam (Anggraeni & Suryandari,
2019).

Decompensasi cordis adalah dimana jantung tidak dapat memompa darah sesuai dengan
kebutuhan manusia. kelainan pada fungsi jantung yang gagal untuk memompa darah yang
sesuai dengan mtabolisme tubuh, sedangkan ga sering disebut kegagalan jantung kongestif
adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac output tidak mencukupi kebutuhan
metabolik tubuh), hal ini mungkin terjadi sebagai akibat akhir dari gangguan jantung,
pembuluh darah atau kapasitas oksigen yang terbawa dalam darah yang mengakibatkan
jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada berbagai organ (Sulaksono &
Darsono, 2015)

2.2 Etiologi Gagal Jantung

Berbagai gangguan penyakit jantung yang mengganggu kemampuan jantung untuk


memompa darah menyebabkan gagal jantung yang biasanya diakibatkan karena kegagalan
otot jantung yang menyebabkan hilangnya fungsi yang penting setelah kerusakan jantung,
keadaan hemodinamis kronis yang menetap yang disebabkan karena tekanan atau volume
overload yang menyebabkan hipertrofi dan dilatasi dari ruang jantung, dan kegagalan jantung
dapat juga terjadi karena beberapa faktor eksternal yang menyebabkan keterbatasan dalam
pengisian ventrikel (Rachma, 2014)

Gagal jantung kongestif terjadi karena adanya kelainan fungsi otot jantung yang
disebabkan karena arteriosklerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif
atau inflamasi. Arteriosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terganggunya aliran darah ke otot jantung
menyebabkan terjadinya hipoksia dan asidosis sehingga terjadi sesak nafas (Oktavianus &
Sari, 2014) dalam(Anggraeni & Suryandari, 2019).

Penyebab umum gagal jantung adalah rusaknya atau berkurangnya massa otot jantung
karena iskemi akut atau kronik, peningkatan resistensi vaskuler karena hipertensi, atau
karena takiaritmia (misalnya fi brilasi atrial). Pada dasarnya semua kondisi yang
menyebabkan perubahan struktur ataupun fungsi ventrikel kiri merupakan predisposisi untuk
gagal jantung. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab terbanyak (60-75%), diikuti
penyakit katup (10%) dan kardiomiopati (10%). Dewasa ini studi epidemiologi menunjukkan
bahwa sekitar setengah pasien gagal jantung memiliki fraksi ejeksi (ejection fraction, EF)
ventrikel kiri yang baik (EF 40-50%), sehingga tidak lagi dipikirkan bahwa gagal jantung
secara primer terjadi akibat penurunan fraksi ejeksi ventikel kiri (Imaligy, 2014)

2.3 Klasifikasi Gagal Jantung

Selain menggunakan kriteria Framingham, terdapat beberapa pembagian kriteria yang


dipakai pada gagal jantung, diantaranya klassifikasi menurut New York Heart Association
(NYHA), dan pembagian stage menurut American Heart Association. Klassifikasi fungsional
yang biasanya dipakai menurut NYHA adalah (Figueroa dan Peters, 2006) dalam (Rachma,
2014):

Klas I : tidak ada keterbatasan dalam melakukan aktifitas apapun, tidak muncul gejala dalam
aktivitas apapun.

Klas II : mulai ada keterbatasan dalam aktivitas, pasien masih bisa melakukan aktivitas
ringan dan keluhan berkurang saat istirahat

Klas III : terdapat keterbatasan dalam melaksanakan berbagai aktivitas, pasien merasa
keluhan berkurang dengan istirahat.

Klas IV : keluhan muncul dalam berbagai aktivitas, dan tidak berkurang meskipun dengan
istirahat. Sedangkan pada tahun 2001, the American College of Cardiology/American Heart
Association working group membagi kegagalan jantung ini menjadi empat stage

Stage A : memiliki resiko tinggi untuk terkena CHF tapi belum ditemukan adanya kelainan
struktural pada jantung

Stage B : sudah terdapat kelainan struktural pada jantung, akan tetapi belum menimbulkan
gejala.

Stage C : adanya kelainan struktural pada jantung, dan sudah muncul manifestasi gejala awal
jantung, masih dapat diterapi dengan pengobatan standard.

Stage D : pasien dengan gejala tahap akhir jantung, dan sulit diterapi dengan pengobatan
standard.
2.4 Patofisiologi Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung,
otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal
yang kompleks.

Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar
vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada
baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin) (harbanu h mariyono,
2007).

Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung.
Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi
dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi
renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal
yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin
dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada
gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic
Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan
natriuresis dan vasodilatsi (harbanu h mariyono, 2007).

Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya
pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel
pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal.
Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan
kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide
pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker
diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal
jantung (harbanu h mariyono, 2007).

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal


jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang
akan menyebabkan hiponatremia Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah
dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1
plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan
dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang
bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin
(harbanu h mariyono, 2007).

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan


dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan pengisian
ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 %
penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita
gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski
dapat timbul sendiri (harbanu h mariyono, 2007)

2.5 Penatalaksanaan Gagal Jantung

American Heart Association (AHA) memberikan terapi farmakologi yang kepada pasien
gagal jantung dengan gejala yang berat dan terdapat tanda gagal jantung serta memiliki
komplikasi adalah berupa pemberian obat golongan diuretik, ACE inhibitor, Bblocker, nitrat,
dan digitalis. Terapi yang diberikan kepada pasien adalah oksigenasi 3 liter per menit,
pemberian oksigen untuk pencegahan hipoksia serta mengurangi beban jantung pada pasien
yang mengalami sesak napas. Pemberian diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis.
Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat
oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila
memungkinkan berupa injeksi furosemid 20 mg per 8 jam, sampai tekanan vena jugularis
normal dan menghilangkan edema (Sari et al., 2016).

Pemberian diuretik secara parenteral diindikasikan pada gagal jantung berat dan edema
paru akut. Pada pasien gagal jantung disertai edema dengan tensi tidak terlalu tinggi dapat
diberikan furosemid per 24 jam.9 Pada pasien ini belum diberikan loop diuretik dikarenakan
tekanan darah pasien cenderung rendah. Furosemid dapat diberikan pada pasien ini jika
tekanan darah sistolik minimal mencapai 100 mgHg. Diberikan spironolakton 1x25 mg
dikarenakan spironolakton merupakan diuretik hemat kalium. Spironolakton digunakan
sebagai obat kombinasi bersama furosemid mengingat furosemid menyebabkan peningkatan
eksresi kalium, spironolakton juga memiliki efek anti aldosteron sehingga tepat digunakan
pada pasien ini. Digoxin 1x0,125 mg bermanfaat untuk mengatasi aritmia. Aspilet 1x80 mg
diberikan untuk mencegah terjadinya trombus di jantung dan mencegah terjadinya emboli.
Omeprazol 1x20 mg diberikan untuk mengatasi efek samping dari aspilet (Sari et al., 2016)
Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya. Pemberian antibiotik sebenarnya harus
berdasarkan dari hasil kultur. Akan tetapi pada pneumonia diberikan terapi empiris.
Pemberian terapi seftriakson pada pasien ini dikarenakan pada pneumonia komunitas
disebabkan kebanyakan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae. Sefriakson merupakan
sefalosporin generasi III yang memiliki aktivitas broad spectrum yang dapat membunuh
bakteri gram positif dan gram negatif termasuk Streptococcus pneumoniae. Pada pasien
diberikan seftriakson 2x1 gram iv(Sari et al., 2016).
BAB 3

3.1 Evidance Based Nursing Gagal Jantung

Jurnal 1

No Aspek Analisa
1 Judul Pengaruh Latihan Nafas Dalam Terhadap Sensitivitas Barorfleks
Arteri Pada Klien Gagal Jantungkongestif Di Rsud Labuang Baji
Kota Makassar
2 Author (Fadli, 2016)
3 Populasi Penelitian ini dilakukan di ruang kardio RSUD Labuang Kota
Makassar dari tanggal 15 Juni-15 Agustus 2016. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua klien yang menderita gagal jantung
dan sampel penelitian ini adalah semua klien gagal jantung kongestif
yang sedang menjalani proses perawatan dan pengobatan, sesuai
dengan kriteria yang Ditentukan dengan jumlah sampel 36
responden
4 Problem Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu jenis penyakit yang
saat ini banyak diteliti dan dihubungkan dengan gaya hidup
seseorang. Salah satu penyakit kardiovaskuler yang banyak di
derita di Indonesia adalah penyakit gagal jantung (WHO, 2013).
Gagal jantung terjadi karena perubahan fungsi sistolik dan
diastolik ventrikel kiri. Jantung mengalami kegagalan karena
efek struktural atau penyakit intrinsik, sehingga tidak dapat
menangani jumlah darah yang normal atau pada kondisi tidak
ada penyakit, tidak dapat melakukan toleransi peningkatan
volume darah mendadak

5 Intervensi Latihan nafas dalam yang di lakukan selama minimal 3 kali


sehari selama 12 menit.
6 Control -
7 Outcome ada perbedaan yang bermakna sensitivitas baroreflek arteri dilihat
pada skor tekanan darah, denyut nadi, dan pernafasan setelah
latihan nafas dalam pada kelompok A dan kelompok B. Ada
peningkatan sensitivitas barorefleks arteri yang dilihat dari
penurunan tekanan darah, denyut nadi, dan pernafasan yang
bermakna pada kelompok intervensi antara sebelum dan setelah
dilakukan latihan nafas dalam. Didapatkan penurunan yang
maksimun pada pengukuran yang ke untuk masing-masing variabel.

Jurnal 2

No Aspek Analisa
1 Judul Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif terhadap Respon
Fisiologis Pasien Hipertensi
2 Author (Ekarini et al., 2019)
3 Populasi Teknik pengambikan sampel dengan cara purposive sampling dari
populasi terjangkau. Penentuan besar sampel menggunakan uji beda
2 mean dengan jumlah sampel penelitian 37 responden kelompok
intervensi dan 37 responden untuk kelompok kontrol.
4 Problem Hipertensi merupakan suatu kondisi medis yang kronis dimana
tekanan darah meningkat diatas tekanan darah yang disepakati
normal. Tekanan darah terbentuk dari interaksi antara aliran darah
dan tahanan pembuluh darah perifer. Tekanan darah meningkat dan
mencapai puncak apabila aliran darah deras misalnya pada waktu
sistol, kemudian menurun pada waktu aliran darah berkurang seperti
pada waktu diastol. Data epidemiologi menunjukkan bahwa
peningkatan tekanan darah sistolik dan atau tekanan darah diastolik
atau tekanan nadi meningkatkan kejadian kardiovaskular
5 Intervensi Relaksasi otot progresif
6 Control -
7 Outcome Adanya perbedaan bermakna frekuensi nadi pada kelompok kontrol
sebelum dan sesudah intervensi dan adanya perbedaan tekanan darah
diastolik pada kelompok intervensi dan kontrol setelah diberikan
terapi relaksasi otot progresif ditambah dengan latihan napas dalam.

Jurnal 3

No Aspek Analisa
1 Judul Pengaruh Pijat Punggung Terhadap Skor Kecemasan Pada Pasien
Gagal Jantung Di Rumah Sakit Pemerintah Kabupaten Garut
2 Author (Adhitya et al., 2018)
3 Populasi 30 responden.
4 Problem Gagal jantung adalah penyakit kronis yang menurunkan
produktivitas penderitanya. Penyakit ini merupakan penyakit kronis
terbanyak di kabupaten Garut (data Pemerintah Kabupaten Garut
tahun 2015). Hasil Wawancara dengan Perawat Rumah Sakit
Pemerintah (2015) pasien penyakit jantung mencari pertolongan ke
unit penyedia layanan kesehatan dalam kondisi buruk. Hal tersebut
karena minimnya pengetahuan masyarakat Garut terkait
penyakitjantung. Berdasarkan Data Instalasi Rawat Inap Mei (2016)
130 orang pasien mengalami gagal jantung, (Januari 2015 - Februari
2016) sebanyak 1680 pasien.
5 Intervensi Intervensi dilakukan pada pagi hari selama 15 menit dengan interval
24 jam selama 3 hari. Pengukuran dilakukan 5 menit pasca
intervensi.
6 Control -
7 Outcome Menunjukan sebagian besar responden mengalami kecemasan
tingkat sedang dengan skor yang bervariasi. Terdapat penurunan
yang bermakna antara skor kecemasan pasien Gagal jantung sebelum
dan sesudah dilakukan intervensi pijat punggung dengan nilai
p=0,001 yang berarti pijat punggung dapat menurunkan skor
kecemasan pada pasien gagal jantung
Jurnal 4

Aspek Analisa
Judul Latihan Fisik Rehabilitatif Out Patient Terhadap Respiratory Rate
Dan Heart Rate Pada Penderita Gagal Jantung
Author (Rini et al., 2019)
Populasi Populasi penelitian ini adalah Semua penderita Gagal Jantung yang
sedang rawat jalan
Problem Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang
menjadi penyebab utama kematian di negara- negara maju dan
tampak adanya kecenderungan meningkat menjadi penyebab
kematian di negara berkembang
Intervensi Latihan Fisik Rehabilitatif Out Patient dilakukan selama 6 kali
latihan dalam waktu 2 minggu dengan durasi 10 menit.
Control -
Outcome penderita gagal jantung yang diberikan Latihan Fisik Rehabilitatif
Out Patient menunjukkan adanya penurunan Respiratory Rate dan
Heart Rate sesudah diberikan latihan fisik rehabilitatif out patient.
Adanya peningkatan cardiac output mengakibatkan suplai oksigen
meningkat sehingga menurunkan sesak nafas dan akan
mengakibatkan respiratory rate dalam batas normal. Latihan fisik
rehabilitatif Out Patient dilakukan selama 6 kali latihan dalam waktu
2 minggu dengan durasi 10 menit. Adanya peningkatan cardiac
output juga akan membuat heart rate menjadi stabil.
Daftar Pustaka

Adhitya, B., Sulastin, & Aisyah. (2018). Pengaruh Pijat Punggung Terhadap Skor Kecemasan Pada Pasien
Gagal Jantung Di Rumah Sakit Pemerintah Kabupaten Garut. Jurnal Kesehatan Holistik (The Journal
of Holistic Healthcare), 1(1), 55–59.

Anggraeni, K., & Suryandari, D. (2019). Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Jantung Kongestif Dalam
Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi.

Ekarini, N. L. P., Heryati, H., & Maryam, R. S. (2019). Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif terhadap
Respon Fisiologis Pasien Hipertensi. Jurnal Kesehatan, 10(1), 47.
https://doi.org/10.26630/jk.v10i1.1139

Fadli. (2016). Pengaruh latihan nafas dalam terhadap sensitivitas barorfleks arteri pada klien gagal
jantung kongestif di rsud labuang baji kota makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 9(2), 222–
226.

harbanu h mariyono, anwar santoso. (2007). GAGAL JANTUNG. Jurnal Kesehatan Unsud, 8, 85–94.

Imaligy, U. E. (2014). Gagal jantung pada Geriatri. Ckd212, 4(1), 19–24.

Rachma, laili nur. (2014). PATOMEKANISME PENYAKIT GAGAL JANTUNG KONGESTIF. Jurnal Kesehatan
Uin Maliki Malang, 2014(June), 81–90.
https://repositories.lib.utexas.edu/handle/2152/39127%0Ahttps://cris.brighton.ac.uk/ws/portalfil
es/portal/4755978/Julius+Ojebode%27s+Thesis.pdf
%0Ausir.salford.ac.uk/29369/1/Angela_Darvill_thesis_esubmission.pdf
%0Ahttps://dspace.lboro.ac.uk/dspace-jspui/ha

Rini, T. E. P., Suwandi, C., & Sujatmiko. (2019). Jurnal sabhanga. Jurnal Sabhanga, 1(1), 74–82. http://e-
journal.stikessatriabhakti.ac.id/index.php/sbn1/article/view/21/21

Sari, P. D., Yonata, A., Haryadi, & Swadharma, B. (2016). Penatalaksanaan Gagal Jantung NYHA II disertai
Pleurapneumonia pada Laki-laki Usia 38 Tahun. Jurnal Medula Unila, 6(1), 114–119.

Sulaksono, J., & Darsono. (2015). Sistem Pakar Penentuan Penyakit Gagal Jantung. Seminar Nasional
Teknologi Informasi Dan Multimedia, 6–8.

Anda mungkin juga menyukai