Anda di halaman 1dari 21

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN KELUARGA

GENDER: IDENTITY AND ROLES

OLEH: KELOMPOK 3

ERLY NOVIANA 131301043

SARAH G JULIANA 131301087

MARSELA GIOVANI 131301091

UTARY MONADEVY 131301095

DEWI SITEPU 131301097

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016
GENDER: IDENTITY AND ROLES

Jenis kelamin menjelaskan siapa kita secara biologis. Kita juga memiliki gender,
personality traits atau perilaku yang menunjukkan apakah kita pria (maskulin) atau wanita
(feminim). Secara pribadi perasaan yang ada dalam diri kita sebagai laki-laki atau
perempuan adalah identitas gender kita. Anak-anak memahai tugas mereka sebagi laki-laki
atau perempuan dan berperilaku dan bertindak sesuai dengan harapan masyarakat atau
kelompok mereka. Anak-anak dan remaja sulit untuk menemukan gender mereka. Mungkin
mereka mengalami gender dysphoria atau sebuah perasaan dimana jenis kelamin tidak sesuai
dengan identitas gender. Seorang transgender bisa saja mengubah identitas gender mereka
secara permanen dengan cara memakai pakaian yang tidak sesuai dengan jenis kelamin
mereka, atau melakukan operasi.

ENVIRONMENTAL INFLUENCE ON GENDER

Jenis kelamin ditentukan faktor biologi atau bawaan. Identitas gender atau peran
gender dipengaruhi lingkungan. Kualitas seorang pria di definiskan maskulin karena
pandangan individu terhadap pria. Masyarakat menentukan bagamaimana cara pria
berperilaku, dan apa peran yang harus dilakukan. Begitu juga dengan wanita, wanita tidak
hanya dibentuk secara genetika, tetapi juga dibentuk oleh faktor psikososial yang
mempengaruhi kepribadian mereka. Berbicara pria maskulin, kita membayangkan nilai-nilai
berdasarkan karakteristik kepribadian dan perilakunya sesuai dengan budaya. Sama halnya
dengan wanita, menentukan karakter female harus sesuai dengan budaya.

Konsep maskulin dan feminim berbeda-beda dalam setiap budaya. Contoh konsep
maskulin dan feminim di United States, pada zaman kolonial pria sejatiadalah pria yang
memaki kaos kaki, powdered wig, dan memakai kemeja. Namun saat ini berpenampilan
seperti itu di sebut feminim. Jadi penilaian maskulin bersifat subjektif, berdasarkan standart
atau nilai-nilai yang sesuai dengan budaya masing-masing.
Societal Expectations

Society berperan penting untuk menentukan kriteria maskulin dan feminim, dan saat
perkembangan pria atau wanita sangat penting untuk mengidentifikasi peran gendernya. Saat
bayi lahir society berharapan mereka berperilaku sesuai dengan laki-laki atau perempuan
lainnya, yang sesuai dengan defenisi mereka. Contoh saat bayi perempuan lahir mereka akan
memakaikan baju berwarna pink, memberi boneka, dan mainan untuk anak perempuan. Dan
jika sudah dewasa diharapkan dapat membantu ibunya menyelasaikan pekerjaan yang
dilakukan wanita. Jadi sejak bayi perempuan tersebut lahir dia sudah di arahkan untuk
berperilaku seperti wanita biasanya.

Parental Influence

Salah satu faktor yang membantu anak untuk mengetahui identitas gendernya dan
melakukan peran gendernya adalah dengan mengidentifikasi dan memodel perilaku
orangtuanya. Parental identification and modeling adalah proses anak mengadopsi nilai,
attitude, perilaku dan karakterisitik keperibadian. Identifikasi terjadi setelah kelahiran karena
anak sanggat tergantung pada orangtuanya. Ketergantungan ini menciptakan keterikatan
emosional. Identitas gender dan operan gender secara tidak sadar terbentuk dari hubungan
antara anak dan orangtua.anak belajar bahwa mungkin ibunya sangat penyayang dan
ayahnya sangat menyenangkan dan kuat. Tidak hanya hanya perbedaan perhatian yang
diterima anak, tetapi juga dia mengobservasi perilaku orangtuanya, cara berbicara, cara
berpakaian, cara berperilaku dengan orangtua yang lain, dengan anak lain, dan pada
seseorang yang bukan keluarga. bahkan sebelum anak memasuki usia sekolah, mereka telah
mengorganisir pola keyakinan tentang gender yang mempengaruhi cara mereka memproses
informasi sosial. Anak belajar bagaima menjadi seorang ibu, ayah, wanita, pria melalui
orangtua mereka.

Peran gender orangtua yang traditional juga dapat mempengaruhi peran gender
anaknya. Anak remaja yang memiliki ibu pekerja peran gendenya kurang traditional
dibandingkan dengan anak remaja yang ibunya tidak bekerja. Studi lain meneumkan bahwa
remaja keturunan dari orangtua yang nontradisional cenderung memiliki peran gender yang
non tradisional juga.
The Influence of Popular Press and Television

Sulit untuk menghindari stereotype pria dan media dikarenakan banyaknya media
seperti buku, televise dan website. Banyak studi yang mengatakan bahwa gambaran
stereotype per gender di media. Dari hasil studi yang meneliti peran gender dalam surat kabar
shari-hari ditemukan bahwa perempuan yang bekerja statusnya akan lebih rendah
dibandingkan pria, dan diutamakan wanita sebaiknya mengerjakan pekerjaan rumah tangga
seperti mengurus anak. Sebuah studi yang meneliti antar atletik menemukan bahwa
perempuan tidak aktif dalam olahraga, tapi lebih aktif dalam hal-hal yang berbau feminim.
Media sangat mempengaruhi peran gender. Dimulai sejak buku bacaan bergambar untuk
anak-anak yang menunjukkan bahwa pria adalah pemimpin dan perempuan adalah pengikut.
Pria dapat mengembangan kemampuan karirnya dan perempuan mengerjakan pekerjaan
rumah. Secara tidak sadar informasi ini tersampaikan kepada anak yang membacanya.

Televisi sangat berperan besar dalam proses sosialisasi untuk anak-anak dan orangtua.
Acara televisi anak-anak menampilkan dan berisi komersial bias tentang gender. Karena
anak-anak tidak hanya menonton program anak-anak saja.

Televisi mempengaruhi niai-nilai orang yang menontonnya. Dalam tiap rumah tangga
individu menonton TV lebih dari 7 jam tiaphari. Pesan yang disampaikan televisi membentuk
sikap, kepercayaan, dan peran gender yang menontonnya. Dalam televisi wanita berpera lebih
muda daripada pria, dan berperan pada usia awal tigapuluhan, dan peran pria di akhir
tigapuluhan. Pria yang berusia 65 basanya berperan lebih muda dan berperan romantic.
Berbeda dengan wanita yang berusia 65 biasanya berperan lebih tua. Meskipun banyak
wanita yang lebih professional dibandingkan pria namun lebih banyak wanita yang memilki
status yang lebih rendah dibandingkan pria. satu studi meneliti apakah paparan iklan televisi
yang menggambarkan perempuan sebagai objek seks menyebabkan peningkatan
ketidakpuasan tubuh antara laki-laki iklan perempuan hasil penelitian menunjukkan bahwa
wanita merasa tubuhnya lebih besar dan menginginkan tubuh yang langsing. Beda dengan
pria yang merasa tubuhnya lebih kecil dan ingin memiliki tubuh yang besar. Penelitian ini
tidak membuktikan sebab dan akibat, tetapi mereka menunjukkan hubungan antara menonton
televisi dan stereotipe gender. Walaupun televisi mempengaruhi gender individu, individu
yang mempercayai gender yang traditional menonton televisi lebih sering, atau ada faktor
lain yang mempengaruhi keduanya.
School Influence

Penelitian menunjukkan bahwa gru memiliki pemahaman yang berbeda beda


mengenai kompetensi murid pria dan wanita. Contohnya stereotype tentang sesorang yang
pintar pada pelajaran matematika adalah pria. Bias gender ini juga dialami oleh orangtua
yang merasa bahw anak laki-laki lebih pintar ilmu pengetahuan alam dibandingkan anak
perempuan. Dan orangtua pun meyakini bahwa lebih baik anak laki-laki pintar di ilmu
pengetahuan alam.

Namun semua hal bias berubah, contoh untuk menyamakan kesempatakan tampil di
tahun 1972, kongres enacted title IXmemberi kesempatakn pada anak perempuan dan wanita
unuk mengikuti kegiatan atletis baik di sekolah ataupun di kampus. Sekolah pun banyak yang
mengikuti hal yang dilakukan tittle IX namun harus dengan syarat:

1. Memberikan kesempatan pada wanita dan pria sebagai atletik dengan proporsional
2. Mmilki program yang konsiten unuk jenis kelamin yang tidak terwakili
3. Menjukkuan kefektifan untuk mewakili jenis keamin yang tidak terwakili

Program title IX ini tidak hanya olahraga saja. Program ini merupakan program
pemerintahan yang melarang disriminasi terhadap sex atau jenis kelamin. Yan berarti setiap
sekolah harus memilki program yang menyetarakan atau menyamakan perempuan dalam hal
merekrut,, konseling, tes dan penerimaan masuk. Sekolah tidak diperolehkan untuk membuat
perbedaan antara laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan karirnya.

Setelah diberlakukan program tittle IX ini the American Council dalam dunia
pendidikan menemukan ditahun 2001 perempuan sebanyak 22% kuliah dierguruan tinggi,
meningkat dari tahun 200 hanya 19,5% dan 9,5% ditahun 1986.

THEORIES OF GENDER ROLE AND IDENTITY

Lima teori yang digunakan untuk menjelaskan peran gender dan identitas adalah:

Social Learning Theory

Teori social learning menekankan bahwa anak laki-laki mengembangkan “maleness”


dan anak perempuan “femaleness” melalui pemaparan untuk memberikan pengaruh,
termasuk orang tua, televisi, sekolah, dan teman sebaya, yang mengajarkan mereka apa
maksudnya menjadi seorang pria atau wanita dalam budayanya dengan cara yang mereka
bawa. Mereka menganjurkan untuk menganggap identitas gender yang tepat dengan diberi
reward untuk beberapa perilaku dan dihukum untuk hal lain. Dengan demikian, konsep peran
gender dan stereotip gender dari suatu budaya tertentu menjadi self-fulfilling prophecies.
Mereka yang mencapai ekspektasi sosial diterima secara normal, mereka yang tidak konform
dikritik dan dipaksa untuk mengikutinya.

Menurut teori ini, model pengasuhan, khususnya mereka yang ajarkan oleh orangtua
berjenis kelamin yang sama, lebih berpengaruh dalam membentuk perilaku gender. Agen
sosialisasi lainnya, seperti televisi, guru, dan teman sebaya, membedakan dan mer-reinforce
peran gender anak. Pada tahun pertama kehidupan, aak-anak mulai menyadari perbedaan
dalam peran gender, dan pada tiga tahun pertama, hal ini sangat memperlihatkan bagaimana
perempuan dan anak laki-laki disosialisasikan untuk berperilaku, bermain, dan berpakaian.
Bukti pendukung yang kuat yang mendukung teori social learning, namun hal itu sendiri
tidak cukup untuk menjelaskan perkembangan peran gender dan identitas gender.

Cognitive Developmental Theory

Teori cognitive developmental menyatakan bahwa gender, seperti hal lainnya, tidak
dapat dipelajari sampai anak mencapai tahap tertentu pada perkembangan intelektual. Teori
ini menyatakan bahwa diantara usia 3 dan 5 anak-anak mempunyai “konstansi gender,”
konsep menetap pada gender yang tidak dapat di ubah oleh hal-hal seuperfisial, seperti
pakaian atau penampilan. Sebelumnya pada perkembangan konstansi gender, anak-anak
mungkin bingung dengan klasifikasi gender dan percaya bahwa klasifikasi dapat berubah
tergantung situasi (secara acak). Menurut teori perkembangan kognitif, sekali anak-anak
mengkategorikan diri mereka sebagai seorang wanita atau pria, mereka akan menggunakan
kategorisasikan diri untuk menggambarkan bagaimana berperilaku. Dalam respon terhadap
reinforcement positif, mereka akan memberikan nilai yang lebih tinggi pada perilaku gender
yang tepat daripada perilaku gender yang tidak tepat, yang menerima reinforcement negatif.
Saat anak-anak mengembangkan model perilaku gender yang tepat, mereka memasuki fase
kekakuan yang lebih. Disekitar usia 6 atau 7, pandangan mereka tentang peran gender terlalu
sederhana dan tidak fleksibel, sangat mengandalkan stereotypes. Misalnya, pada usia ini,
anak-anak berpura-pura memberikan satu sama lain “boy shots” atau “girl shots” untuk
melindungi diri mereka dari menjadi seperti anggota jenis kelamin lain. Tapi dalam beberapa
tahun, anak-anak merasa aman dengan identitas gender mereka dan lebih nyaman dengan
permulaan kebiasaan dari stereotip peran gender.

Sedangkan teori social learning didasarkan pada penggolongan gender, seperti


aktivitas atau pekerjaan jenis kelamin yang tepat, teori cognitive developmental didasarkan
pada aspek kognitif, seperti pengetahuan tentang stereotip dan fleksibilitas dalam
mengaplikasikannya. Walaupun beberapa dukungan yang ada diantara teori-teori, tidak satu
pun yang dapat benar-benar menjelaskan perkembangan dan mempertahankan peran gender
dan identitas gender.

Gender Schema Theory

Suatu skema adalah framework logika dan ide-ide seseorang yang digunakan untuk
mengorganisasikan informasi dan memberi makna pada berbagai hal. Kita semua memiliki
berbagai skema, seperti bagaimana seseorang yang lebih tua seharusnya bertindak, perilaku
apa yang boleh, dan apa yang dimaksud berpakaian dengan tepat. menurut teori gender
schema, seseorang dengan skema gender yang kuat memiliki ide tertentu tentang bagaimana
pria dan wanita seharusnya memandang dan berperilaku. Contohnya, bayi perempuan secara
khusus dipakaikan warna pink, dan bayi pria warna biru. Ada pakaian biru untuk perempuan,
tapi tidak ada pakaian pink untuk bayi laki-laki. Dengan demikian, perempuan sering
berpakaian dengan bahan lace dan bows, sementara laki-laki berpakaian baju dengan kesan
sport atau berhubungan dengan perkakas. Pada awal pertama kehidupan, skema gender
seseorang (dan yang dari orang tua mereka) mempengaruhi bagaimana pria dan wanita
dipikirkan dan diperlakukan.

Orang-orang berbeda dalam tingkat dimana mereka menggunakan skema gender


untuk memproses informasi tentang diri mereka dan orang lain, dengan tipe jenis kelamin
secara kuat individu cenderung memiliki skema gender yang kuat.skema gender dibentuk
melalui sosialisasi anak-anak dan tingkat dimana pria dan wanita diperlakukan secara
berbeda. Jadi, teori gen

Social Structure/ Culture Theories

Jika kita menerima bahwa anak-anak belajar atau berkembang secara kognitif ide-ide
berbeda tentang perilaku gender yang tepat, maka isu pentingnya adalah mengapa masyarakat
mendukung kelanjutan dari perbedaan-perbedaan ini. Menurut social/ cultural gender theory,
kebanyakan perbedaan diantara peran gender pria dan wanita dibentuk karena status, power,
dan pembagian tugas pada masyarakat. Peneliti menunjukkan bahwa perbedaan gender lebih
sering (dan hanya pada beberapa kasus) ketika jenis-jenis kelamin dengan hubungan dominan
pria atau subordinat wanita dan yang hanya disebutkan perilaku ferminim sebenarnya
perilaku powerless. Ahli teori budaya menyatakan bahwa, jika pria dan wanita terlihat setara
(equally powerful) dalam masyarakat, banyak hal seperti ini yang meniadakan perbedaan
gender akan menghilang. Contohnya, perbedaan gender dalam komunikasi nonverbal, seperti
orang yang menyentuh orang lain ketika berbincang, serupa dengan orang yang diantara
orang kurang powerful dan lebih powerful juga, antara pria dan anggota kelompok status
yang lebih tinggi dikarakteristikkan lebih terarah dan lebih dogmatis.

Perbedaan power dan status berhubungan dengan pembagian kerja diantara jenis
kelamin yang masih ada. Sebagai contoh, masih ada eksekutif pria dan sekretaris wanita
daripada vice versa. Namun, hal ini hampir memungkinkan untuk menentukan jika
pembagian kerja dengan jenis kelamin adalah penyebab/ konsekuensi perbedaan status antara
wanita dan pria, dan hampir seluruh proses adalah sejenis lingkaran terus-menerus.

Evolutionary Theories: Sociology & Functionalism

Sosiologi dan fungsionalisme adalah teori yang didasarkan pada konsep genetika
manusia telah berevolusi selama bertahun-tahun dengan demikian pria dan wanita paling baik
beradaptasi dengan fungsi biologis dan keberhasilan reproduksi. Menurut teori evolusioner
seperti warisan genetik lebih penting daripada pengaruh belajar dan budaya pada peran
gender. Pendukung sosiobiologi percaya bahwa gen pria dan wanita telah beradaptasi selama
beberapa waktu sampai menemukan masing-masing sasaran reproduktif jenis kelamin.
Kecenderungan pria untuk berusaha membuahi telur sejauh stem yang memungkinkan dari
innate drive untuk menjamin kelangsungan hidup dari gen mereka, ditingkatkan dengan
memproduksi berjuta sperma dengan pengeluaran energy yang sedikit. Secara kontras,
kecenderungan wanita untuk mencari secara selektif pasangan monogamy berhubungan
dengan jumlah usaha yang diperlukan nuntuk memproduksi sel telur dan untuk mendorong
kehidupan embrio. Demikian pula, fungsionalisme menyatakan bahwa pria dan wanita
berevolusi secara genetis untuk memenuhi tugas reproduktif. Kehadiran “maternal instinct,”
menurut teori ini, secara genetic berhubungan dengan fungsi biologis mengandung,
menyusui, melahirkan. Semua ini membutuhkan energi yang besar. Para ahli teori pada akhir
1800an menyatakan bahwa wanita mencurahkan banyak energy untuk keberfungsian
reproduktif sehingga mereka hanya punya sedikit sisa hal yang dapat mereka kejar, seperti
pendidikan yang lebih tinggi.

TRADITIONAL MASCULINE AND FEMININE STEREOTYPES

Banyak orang mengembangkan konsep stereotype masculinity dan feminimity. Stereotype


gender berupa perbedaan asumsi, norma, sikap, dan ekspektasi mengenai pria dan wanita.

Masculinity

Berdasarkan stereotype maskulin tradisional, pria diharapkan menjadi:

- Aggressive - Adventurous
- Dominant - Courageous
- Strong - Independent
- Forceful - Ambitious
- Self-confident - Direct
- Rugged - Logical
- Virile - Unemotional
- Instrumental
Stereotype dari masculinity masih mempertimbangkan sosial dengan beberapa orang
(walaupun tidak semuanya) dalam masyarakat.
Secara tradisional, ‘maskulin’ seorang pria diharapkan untuk memberi nafkah,
menjadi sukses, memiliki status, dan terpandang. Khususnya, pria yang asertif juga harus
menjadi pengambil keputusan dalam hubungan dan wanita harus mengikutinya. Beberapa
orang peraya bahwa sosialisasi peran gender pria menekan kemampuan emosi pria secara
alami dalam hal self-awareness dan expressivity. Yang berarti bahwa laki-laki tumbuh untuk
menjadi pria yang tidak mudah merasa persaan mereka dan mengungkapkan dengan kata kata
dan sulit dalam emotional empathy (Levant, 2003). “pria cenderung menghubungkan
perasaan mereka yang sensitive (seperti takut, sedih, kessepian, merasa tidak dicintai)
kedalam amarah dan mengubah perasaan peduli (seperti kemesraan, cinta, kedekatan)
hubungan sexualitas” (Levant, 2003, p. 177)
Feminimity

Seperti apa konsep tradisional feminimity dalam masyarakat? Dulunya, wanita


diharapkan menjadi:

- Unaggressive - Sentimental
- Submissive - Softhearted
- Weak - Dependent
- Sensitive]gentle and tender - Aware of the feelings of others
- Kind - Emotional and excitable
- Tactful - Somewhat Frivolous, fickle, illogical, and talkactive
- Warn and affectionate

Wanita yang feminine tidak agresif, berisik, ataupun tidak berkata dan bertindak
kasar. Wanita biasanya menangis pada alasan dan terkadang terlihat kecewa tidak puas pada
peristiwa yang sederhana. Dia diharapkan agar tertarik untuk berada di rumah. Awalnya
gender norm bertugas untuk terlihat keibuan. Perempuan bermain dengan boneka, karena
pada kebanyakan orang berfikir, boneka adalah mainan untuk menjadi seorang ibu.
Konsekuensi lainnya dari peran stereotype gender, wanita diajarkan bahwa peran mereka itu
adalah untuk menyenangkan pria terlebih dahulu dibandingkan perasaannya sendiri. Oleh
karena itu banyak yang merasa tidak puas dan depresi.

Problem with Gender Stereotype

Salah satu masalah dalam stereotype gender yaitu ketika mengaplikasikan standart
gender yang antar satu dengan yang lain, hal itu dapat menyebabkan kepribadian individu
menjadi menyimpang. Setiap orang diharapkan untuk mengikuti stereotype yang ada, tanpa
menghiraukan perbedaan atau kecenderungan individu. Stereotype gender identity dan gender
role menempatkan batas yang cukup jelas yang berhubungan dengan apa yang bisa orang
lakukan dan pekerjaan atau pencapaian atau pencapaian apa yang bisa diraih.

Masalah lain yang ditimbulkan dari stereotype gender adalah hal tersebut
mengarahkan pada ekspektasi dari gaji pekerjaan antar wanita dan pria, bahkan di kalangan
anak-anak juga. Walaupun waktu kerja antara laki laki dan perempuan sama, biasanya wanita
mendapatkan upah yang lebih rendah. Ketidaksetaraan gender yang terjadi antara laki-laki
dan perempuan (masa muda) juga terjadi pad pria dan wanita (sudah dewasa). Sebuah studi
yang menarik menunjukkan dua alasan utama mengapa pemasukan mahasiswi lebih rendah.
Alasan pertama wanita disosialisasikan untuk lebih menghargai aspek sosial dan
interpersonal dari pekerjaan mereka dibandingkan mengejar hadiah yang bersifat moneter.
Alasan yang kedua, perempuan belajar untuk menahan usaha atau kontribusi bekerja mereka
pada saat mempertimbangkan apakah upah yang mereka dapatkan itu pantas dan wanita
sering membandingkan diri mereka dengan wanita lain yang juga mendapatkan upah yang
tidak semestinya, daripada membandingkan diri mereka dengan pria. Penemuan dari National
Opiniom Research Center General Social Survey menunjukkan bahwa peran gender
tradisional-peran ideologi keduanya itu berkontribusi pada wanita dan pria terhadap
penggalian observasi yang lebih rendah pada wanita, terikat pada pengaruh karakteristik
individu

Mencoba mengikuti pria dengan peran gender tradisional juga dapat berbahaya bagi
pria lain kesetiaan pada peran tradisional berhubungan dengan tingginya tingkat dari bunuh
diri, substance abuse, masalah kesehatan, stress, dan masalah emosional (Good and Mintz,
1990)

GENDER ROLE AND BODY IMAGE

Peran gender tidak hanya didefinisi oleh prilaku maskulin dan feminism tetapi juga
penampilan yang ideal terhadap maskulin dan feminism. “body image” dapat mengarahkan
pada perasaan positif atau perasaan negatif pada bagian-bagian tertentu dari tubuh dab
keseluruhan yang terlihat (Feingold ang Matzella, 1998). Sikap orang-orang terhadap body
image bersifat subjektif dan personal.

Tetapi sikap-sikap tertentu bisa saja sama antar satu gender dengan gender yang lain
dan didasarkan pada isyarat sosial. Sekarang ini banyak perempuan muda yang khawatir
dengan bentuk, ukuran, dan otot dari tubuh mereka karena mereka berfikir bahwa tubuh itu
sebagai cerminan dari dirinya. Di kalangan masyarakat sekarang ini baik pria maupun wanita,
secara khusus di dunia perfilman dan pertelevisian lainnya, sudah berani menunjukkan bagian
tubuh atau kulit tersebut mengimplikasikan bagaimana anak remaja memperlakukan
tubuhnya sendiri, hal ini lebih banyak menimbulkan keraguan di kalangan perempuan
dibandingkan laki-laki hal ini disebabkan karena perempuan lebih sering menunjukkan
bagian tubuhnya dan mendapat komentar (Brumberg, 1997)
Preokupasi badan, kesempurnaan dan rasa takut ditolak lebih banyak berasal dari
ekspektasi budaya akan wanita bukan berasal dari psikopatologi individu (Turkey,
1998).walaupun banyak data yang diperoleh pada gender dan body image berfokus pada
wanita, pria juga terpengaruh melalui media.penelitian sekarang ini menguji tentang eating
dan body image pada pria. ketidak pastian pada pria yang berasosiasi dengan penyesuaian
psikologis, eating disorder, penggunaan steroid dan pelatihan yang terikat (Mc Cabe and
Ricciardelli, 2004)

Sterioid juga digunakan dalam maslaah pertumbuhan pada lelaki muda. Steroids
merupakan salah satu bentuk dari hormone terstosteron yang dibuat di labolatorium untuk
membantu dalam pertumbuhan otot, tulang dan kulit. Pria dengan steroid sering kali
mengalami kenaikan dalam kekuatan, bentuk otot tetapi terdapat gangguan dengan
perkembangan tubuh yang normal. Wanita juga menggunakan steroid untuk membentuk
masa otot dan menghilangkan berat badan. Mereka sering menggunakan kombinasi dengan
pil diet, memuntahkan, dan atau obat pencuci perut. Bentuk substance abuse ini dapat
berhubungan sebagai taktik untuk menghilangkan berat badan. (Garry, Morrisey, and
Whetstone, 2003)

GENDER ROLES IN THE FAMILY

Keyakinan tentang maskulinitas dan feminitas sangat mempengaruhi peran laki-laki


dan perempuan dalam keluarga. Beberapa orang dewasa percaya bahwa peran gender itu
adalah bawaan, bahwa laki-laki dan perempuan "dilahirkan" untuk melakukan peran tertentu.
Lelaki dikatakan kurang otoritas berbeda dengan, wanita ditakdirkan untuk merawat suami
dan anak-anak, dan tidak cocok untuk berbagai jenis pekerjaan karena kekurangan fisik,
emosional, dan mental mereka. Menurut pandangan ini, jika mereka dipekerjakan, wanita
tidak bisa mengharapkan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, karena laki-laki yang
dimaksudkan untuk menjadi pencari nafkah utama. Kebanyakan orang percaya bahwa peran
gender adalah kombinasi dari kedua nature dan nurture. Sementara biologi menentukan
susunan genetik yang berbeda dari laki-laki dan perempuan, lingkungan membantu
pembentukan perilaku.
Gender and Brain Differences

Sebuah penelitian menarik menunjukkan perbedaan biologis sebagai dasar dari


perbedaan perilaku antara pria dan wanita. Contohnya, penelitian menunjukkan bahwa otak
wanita menghubungkan antara perasaan dan emosi dengan lebih tajam daripada pria.
Nervouse system juga berbeda antara wanita dan pria yang membuat adanya penguasa dan
pengaplikasian permainan yang kasar pada pria dan adanya kedekatan dan hubungan yang
empati pada wanita.

Dengan demikian, fabes menemukan bahwa pria lebih sensitive oleh distreress
inducing stimuli, dan wanita lebih sympati inducing stimuli evocative. Ini dapat dilihat dari
wanita lebih dapat bernegoisasi dan lebih cooperative ketika bermain dibandingkan pria yang
lebih kompetitif, agresif dan kasar. Penelitian juga menunjukkan bahwa lelaki lebih agresif
dan dominan dan wanita lebih memperhatikan komunikasi yang baik. Perbedaan juga dapat
dilihat dari perilaku wanita dan pria dan perbedaan ini dihubungkan dengan perbedaan
perkembangan gender dalam gaya berinteraksi.

Perbedaan yang terjadi ini juga dapat dilihat dari adanya perbedaan dalam perilaku,
lingkungan, cultural, dan factor sosial. Dan ini menunjukkan bahwa hormonal, sosial, dan
budaya memegang peranan penting dalam perkembangan sex typed behavior.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, sikap pria dan wanita berpegang terhadapa
peranan gender yang memiliki pengaruh yang signifikan dalam banyak aspek material dan
dinamika keluarga. Ini juga membantu memperlihatkan perbedaan pekerjaan pada gender
dalam pendidikan, politics, pemerintahan dan area yang berbeda. Satu tujuan yang penting
dari apa yang dilakukan wanita adalah untuk memotivasi wanita lain untuk memperoleh
kebenaran bahwa peranan dan hak semua orang itu sama. Walaupun suatu hari masih ada
ketidakseimbangan antara ideology dengan prakteknya.

Selama pandangan yang berhubungan dengan sexiest tetap dipertahankan, wanita


akan ditempatkan sebagai subordinate, atau sebagai peranan yang ada dibawah. Pandangan
feminist menekankan pada kesetaraan tapi bukan berarti mereka ingin atau berharap wanita
dan pria menjadi sama atau bertindak secara identic. Tujuan dari segalanya adalah suatu
kebebasan, kebebasan itu sendiri untuk memilih takdir/tujuan dan statusnya sendiri hal ini
dapat diartikan menjadi memilih untuk menetap dirumah sebagai seorang ibu atau menjadi
seorang ibu yang bekerja dalam sebuah perusahaan. Dengan berusaha suatu pasangan dapat
menciptakan peran gendernya sendiri dengan cara memutuskan hal-hal yang berhubungan
dengan pekerjaan, keluarga dan pernikahan. Peran yang mereka pilih dapat bekerja untuk
semua orang dalam suatu keluarga.

Race, Class, and Gender

Sebagian besar yang kita ketahui masalah gender yaitu penelitian yang dilakukan
orang berkulit putih, wanita kalangan sosial menengah. Ada sedikit banyak penelitian tentang
masalah pria dan individu dari etnik yang berbeda dan kelas sosial. Membuat generalisasi
pada grup lain sesuai dengan orang kulit putih tinggal, wanita kalangan sosial menengah akan
salah pengertian dan hasil dari teorical dan empirical dapat dikatakan eror. Saat ini , ada buku
dan alasan yang menyediankan secara specific study mengenai hubungan antara ras, kelas
dan gender, dan kerumitan dari bagaimana ketiga variable ini saling berkaitan adalah lebih
dari teks ini. Walaupun, itu penting untuk mengerti bahwa ras, kelas dan gender
mempengaruhi satu sama lain dipengaruhinya boleh dalam hal tumpang tindih, disilangkan
dan dihubungkan dalam hubungan social. Gender dinyatakan secara berbeda dalam hubungan
dengan ras, kelas, dan sexuality dan itu menghasilkan sesuatu yang berbeda dalam lokasi
social yang berbeda karena ini berhubungan dengan karakter. Jika dipelajari gender itu tidak
bisa terlepas dari ras, kelas, dan kondisi hubungan social.

Sebuah contoh dapat mempertemukan ras, kelas dan gender dapat ditemukan dalam
study tentang wanita dewasa. Menurut L.M. Brown dan Gillingan, wanita kulit putih sering
berjuang menolak untuk kehilangan sesuatu yang mereka pikirpenting: hak suara mereka,
pikiran mereka, dan diri mereka sendiri. Mereka menjadi “kehilangan hak suara” dan
“meninggalkan diri sendiri (keluar dari diri sendiri)” sekitar usia 12 tahun, dalam bermacam
aspek dalam hidup mereka. Sebagai gantinya mereka akan merasa sebagai perempuan yang
sempurna ketika mereka menjadi passive, diam, sopan dan terkait pada lelaki, inilah kualitas
yang membuat sterotype pada tradisional gender wanita. Mereka memperoleh harga mereka
dari hubungan daripada kemampuan dan pencapaian mereka.

Walaupun gender seperti itu, peranan perilaku mungkin umum dikalangan wanita
kulit putih dikelas menengah, tetapi itu tidak bersifat universal. Sekarang, perkembangan
penelitian difokuskan kepada perkembangan identitas gender pada wanita diantara kelompok
orang dewasa dari kalangan social yang berbeda dan latarbelakang etnik yang berbeda.
Dalam suatu sample terdiri dari 362 wanita dari 5 kelompok etnik yang berbeda, hampir
setengah dari wanita memiliki kemampuan athletis daripada kemampuan berhubungan dan
ini membuat mereka merasa diri mereka baik. Wanita dewasa amerika dan afrika sering
dideskripsikan tidak sebagai seseorang yang memiliki hak suara tetapi menjadi assertive,
kuat, ulet, dan memiliki ketahanan diri.

Penelitian lain mendukung ide ini dengan menunjukkan bahwa wanita afrika amerika
dan latin lebih siap berpendapat dalam konflik dan beragumen tentang peran dari sebuah
permainan ketika mereka bermain, dan wanita ddan pria afrika amerika sering terlibat dalam
berpendapat ketika bermain bersama. Diantara keluarga amerika dan afrika, ibu mengajari
anak perempuan mereka untuk lebih mandiri, kuat dan percaya diri daripada pasif. Pesan
yang terpenting yang diperoleh wanita dewasa afrika dan amerika dari ibu mereka yaitu
untuk memiliki ketahanan diri mereka sendiri dan memiliki akal.

Studi lain mengenai feminimitas dilakukan pada wanita amerika meksiko. Penelitian
dilakukan untuk membuktikan asumsi mengenai wanita yang kehilangan hak suara mereka
saat remaja dan menunjukkan pentingnya budaya untuk memahami bagaimana perempuan
merundingkan peran gender. Dilakukan wawancara pada perempuan dan didapatkan
perbedaan ekspektasi antara laki-laki dan perempuan amerika meksiko. Menjadi perempuan
diasosiasikan dengan tingginya level vulnerabilitas dan sikap tunduk pada keluarga. Hasil ini
berdasarkan dengan konteks keluarga, komunitas, sekolah. Menjadi perempuan juga
memberikan kemungkinan untuk mengutarakan pendapat. Mereka menolak pandangan harus
bersikap positif dalam hubungan dan masa depan mereka dan percaya bahwa mereka bisa
menciptakan kesempatan untuk diri mereka sendiri.

Housework and Child Care Roles

Sebagian besar wanita yang menikah memiliki pekerjaan diluar rumah, keadilannya
tergantung pada kemauan suami dalam hal membagi tanggung jawab antara pekerjaan rumah
dan mengurus anak. Beberapa penelitian mengindikasikan stereotip pada peran gender,
terutama di kalangan mahasiswa, menjadi melemah, akan tetapi sebagian besar penelitian
sekarang ini mendapatkan bukti yang berhubungan dengan peran gender tradisional (Cooke,
2004; Davis dan Greenstein, 2004; Evertsson dan Nermo, 2004; Ridgeway dan Smith-Lovin,
1999). Contohnya, walaupun perbedaan waktu yang dihabiskan bersama keluarga antara pria
dan wanita semakin menyusut, wanita tetap lebih banyak mengerjakan pekerjaan yang
berhubungan dengan keluarga dibandingkan proa (Kroska, 2004). Selain itu, wanita dua kali
lipat lebih banyak dibandingkan pria dalam hal melaporkan bahwa tuntutan keluarga
berpengaruh negative terhadap kinerja pekerjaan mereka. Sebagian besar hal ini disebabkan
karena perempuan lebih banyak membuat penyesuaian pada beban kerja mereka seperti
menolak lembur atau menolak tugas demi keluarga (Keene dan Reynolds, 2005). Walaupun
ada juga wanita yang memiliki jumlah waktu kerja di luar rumah yang sama dengan pasanga
mereka, tetap saja wanita akan lebih mengutamakan urusan di rumah dan mengurus anak
(Cooke, 2004; Davis dan Greestein, 2004; Evertsson dan Nermo, 2004; Pleck, 1997).
Walaupun demikian, biasanya pria lebih sedikit melakukan pekerjaan rumah kecuali baik
suami maupun istri memiliki prinsip egalitarian dalam hal peran gender dalam pernikahan
(Greenstein, 1996). Jika dalam sebuah keluarga suami dan istri sama-sama saling mencari
nafkah, seorang ayah lebih terlibat dalam aktivitas dengan anak-anak mereka, dan
keterlibatan ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah waktu pekerjaan di
luar rumah seorang ibu. Pekerjaan di dalam rumah sebagian besar diselesaikan oleh wanita,
sedangkan pekerjaan di luar rumah oleh pria (Gottried, Gottried, Killian, dan Bathurst, 1999;
Kroska, 2004).

Sebagian besar penelitian, menunjukkan bahwa wanita masih menghabiskan lebih


banyak waktu melakukan pekerjaan rumah dan merawat anak dibandingkan pria (Berardo,
Shehan, dan Leslie, 1987; Cooke, 2004; Davis dan Greenstein, 2004; Evertsson dan Nermo,
2004; Ferree, 1991; Kroska, 2004; Levant, Slattery, dan Loiselle, 1987; Levine dan Pittinsky,
1997).

Gender terus menjadi prediktor terbaik dalam hal pembagian tugas pekerjaan rumah
(Davis dan Greenstein, 2004). Penelitian cross-national pada pembagian tugas pekerjaan
rumah mengungkap bahwa rumah tangga yang pihak istrinya memiliki pekerjaan di luar
rumah, memiliki ketergantungan hal ekonomi yang lebih rendah pada suaminya, dan istri
yang memiliki tingkat pendidikan yang setara atau lebih tinggi dari suaminya, memiliki
kemungkinan untuk melakukan pekerjaan rumah yang lebih sedikit disbanding dengan
suaminya.

Banyak penelitian melaporkan bahwa pria ingin menghabiskan lebih banyak waktu
untuk melakukan pekerjaan rumah, seperti merawat anak, akan tetapi sejumlah faktor
mempengaruhi keterlibatan mereka, termasuk di dalamnya fleksibiltas peran gender dan
pandangan egalitarian (Pleck, 1997).
Gender, Marriage, and Depression

Depresi adalah sebuah isu bagi banyak keluarga dan sering kali melibatkan perilaku
negatif seperti menurunkan motivasi, self-focus, dan perilaku mudah tersinggung. Penyebab
dari depreai bervariasi, bisa saja disebabkan karena penggunaan obat yang tidak seimbang,
kepribadian, atau faktor situasi lainnya, tapi secara umum para peneliti menyetujui bahwa
depresi dan hubungan interpersonal saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain.
Contohnya, penelitian yang dilakukan pada isu depresi dan hubungan pernikahan
mengungkap bahwa pengaruh negatif dari salah satu pasangan menjadi salah satu prediktor
munculnya kesulitan hubungan yang paling konsisten, dan sebaliknya, tekanan pernikahan
dapat meningkatkan munculnya perilaku negatif, yang dapat berujung clinical depressin
(Papp, 2003).

Peggy Papp (2003) melakukan observasi, dan kemudian didapatkan hasil bahwa
penyebab pria dan wanita mengalami depresi berbeda-beda, mengatasi simtom depresi secara
berbeda juga, dan cara merespon pasangan mereka masing-masing ketika mengalami depresi
juga berbeda-beda. Depresi pada wanita sering kali berhubungan dengan terganggunya
hubungan pribadi dengan orang-orang dekat, sedangkan pria mengalami depresi lebih sering
disebabkan karena kegagalan ketika ingin melakukan suatu hal. Terdapat juga perbedaan
dalam kemampuan menyadari depresi antara pria dan wanita. Secara umum, wanita lebih
cepat untuk meminta bantuan dan lebih mampu menghubungkan depresi mereka dengan
suatu kejadian atau hubungan tertentu dalam hidupnya dibandingkan dengan pria.

Penelitian Papp's (2003) pada depresi menunjukkan bahwa wanita sering kali lebih
peka pada jarak emosional yang ada pada hubungan pernilahan mereka sehingga wanita akan
cenderung mencari hubungan dan kedekatan. Wanita sering menggunakan kalimat seperti "I
feel I'm living on an emotional desert", "He's not interested in my feelings", dan " We never
talk to each other" (Papp, 2003, p.213). Sebaliknya, pria yang sedang depresi sering kali
terlihat tidak sadar akan kebutuan intimasi, dan sulit untuk meminta bantuan pada pasangan
mereka. Para pria jarang menghubungkan keadaan depresi mereka denhan aspek lain dalam
hubungannya, walaupun ketika mereka mengembangkan hubungan yang lebih suportif dan
terbuka dengan pasangan mereka, pria menjadi lebih baik dalam mengatasi stress yang
mereka alami. Banyak pria merasa segan untuk mengutarakan rasa kekecewaan, cemas,
marah, dan rasa fruatrasi yang mereka alami.ketika bekerja. Hal ini terlihat dari kalimat yang
sering diucapkan pria seperti "I don't want to bring the problems home", atau " I've always
believed in handling my problems myself" (Papp, 2003, p.213).

Roles over the Family Life Cycle

Peran yang dijalankan individu sebagian besar dipengaruhi oleh situasi keluarga.
Contohnya, seorang remaja yang sudah memiliki bayi mau tidak mau akan dipaksa untuk
menjalankan peran sebagai ibu (Krissman, 1990). Memiliki atau mengadopsi bayi sering kali
memaksa wanita untuk menjalankan peran yang seharusnya di wilayah tersebut, paling tidak
dalam kurun waktu tertentu (M. Hill, 1998). Terdapat sebuah bukti mengenai kepuasan
wanita dalam hal tugas rumah menigkat dan menurun dan meningkat lagi selama siklus
kehidupan. Walaupun wanita memikul sebagian besar tugas di rumah,

Secara umum, jika pasangan saling setuju akan ekspektasi dan peforma peran
gender, maka hal ini dapat memunculkan kualitas hubungan pernikahan yang lebih tinggi
dibandingkan jika ada ketidakstujuan (Bowen dan Orthner, 1983). Jika seorang pria tidak
memenuhi perannya sebagai suami yang diharapkan oleh pasangannya, maka pihak wanita
juga tidak akan mencapai kepuasan atas hubungan tersebut. Pria juga memiliki ekpektasi
mengenai peran pasangan yang seharusnya dipenuhi, jika wanita tidak bisa memenuhi
ekpektasi yang ada, kepuasan dalam hubungan pernikahan mereka akan lebih rendah (Bahr,
Chappell, dan Leigh, 1983(. Kebutuhan akan gender-role congruence – yaitu, kesepakatan
antar ekpektasi peran gender pasangan serta peforma mereka – merupakan hal penting yang
harus dipertimbangkan dalam memilih pasangan yang tepat (Bowen, 1989; Lueptow, guss,
dan Hyden, 1989).

ANDROGYNY

Apa yang tampaknya muncul pada masyarakat masa kini sebagai percampuran
bertahap peran jender untuk menghasilkan androgini yang menggabungkan feminism dan
maskulin. Orang androgini bukanlah tipikal jender dengan sebuah peran, meskipun mereka
jelas sebagai wanita atau pria dalam seks. Mereka menyesuaikan perilaku mereka kepada
situasi tertentu, dari pada merasa terbatas karena pemahaman budaya sebagai pria atau
wanita. Contohnya, pria androgini merasa nyaman berpelukan dan perhatian kepada anak
laki-laki; wanita androgini merasa nyaman untuk menganti minyak di mobilnya. Androgini
memperluas jangkauan sikap diterima agar memungkinkan orangorang mengatasi secara
efektif dalam berbagai situasi.

Percampuran peran berguna untuk kedua jenis kelamin. Kedua jenis kelamin dibatasi
oleh perilaku dan hubungan dengan peran jenis gender yang sedikit. Maskulin dan androgini
lebih bebas dan kurang sesuai dengan orang yang diidentifikasi sebagai kewanitaan. Feminim
dan androgini lebih memelihara dari pada dengan orang yang secara tradisional pria
(maskulin). Beberapa pria mulai menyadari bahwa mereka bisa mendapatkan lebih dalam
kehidupan dengan perhatian, mencintai, dan berkolaborasi,, dan mereka tidak butuh untuk
melawan, melengkapi, dan mengalahkan satu sama lain (Freudenberger, 1987).

Secara historis, psikolog telah berpiki bahwa kesehatan mental bergantung pada
kejelasan bagian pemisah antara peran wanita dan pria (E.P. Cook, 1985). Kini, beberapa
studi muncul bahwa androgini memiliki hubungan sosial yang lebih baik dan lebih mudah
disesuaikan daripada orang-orang yang memiliki identitas gender yang lebih tradisional. Dan
beberapa studi yang lain mengungkapkan bahwa banyak androgini memiliki sumber dan
kapabilits dalam beradaptasi, dan baik dalam mengkonsep diri dengan level kekuatan ego
yang tinggi (Small, Teagno, and Selz, 1980).

Bagaimanapun, beberapa orang tidak menyetujui bahwa androgini dapat menjadi


model untuk pria dan wanita. Sebaliknya, mereka merasa bahwa pria dan wanita secara
biologi, emosional, dan atribut psikologis harus dihargai setara.

Meskipun peneliti dapat menggunakan kategori dari maskulin, feminim, dan


androgini, realitanya, konsep diri atas gender kita mungkin berubah dalam berbagai konteks
dimana kita berinteraksi. Contohnya, pada pasangan intim, seorang wanita mungkin
menunjukkan kualitas feminimnya secara tradisional, dimana pada ruang lingkup pekerjaan
wanita dapat menunjukkan kualitas tradisional maskulinnya.

C. J. Smith, Noll, and Bryant (1999) menjelaskan efek dari konteks sosial pada
konsep gender pada diri dan menantang asumsi yang statis dan konsisten di seluruh konteks.
Mereka menemukan bahwa pria lebih suka menunjukkan sifat feminim ketika mereka sedang
bersama para wanita dan menghindari menunjukkan karakter feminim ketika sedang bersama
para pria. Wanita dalam studi ini kurang suka merubah konsep diri feminim dalam semua
konteks. Bagaimanapun, diantara orang-orang awam, pria dan wanita kurang menyukai untuk
mendefenisikan diri mereka berdasarkan stereotip peran jender dan cenderung menyukai
untuk menunjukkan akarakteristik androgini. Ringkasnya, kita tampaknya harus berpikir
lebih luas dan fleksibel dan apat menukar peran jender yang sangat dipengaruhi oleh
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Maty Kay DeGenova. (2008). Intimate Relationships Marriage & Families. (7th Ed). New
York: McGraw-Hill Book Co.

Anda mungkin juga menyukai