Anda di halaman 1dari 5

BAB II

LITERATURE REVIEW
A. Definisi Autis

Menurut soetjiningsih (2013) dalam bukunya yang berjudul ‘’tumbuh kembang


anak’’, autisme merupakan kelainan neurobiologikal yang berat, yang terjadi sejak awal
kehidupan anak. Kelainan ini sering didiagnosis pada umur 18 sampai 30 bulan. Ketika itu
orangtua atau dokter baru menyadari setelah ada keterlambatan bicara yang disertai oleh
gangguan perilaku dan interaksi sosial. Gangguan Menurut PPDGJ (Pedoman
Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III) yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan tahun 1993 dan merupakan terjemahan dari ICD-X (International
Classification Of Disease-X) yang diterbitkan WHO tahun 1992 dan DSM-IV, yang
dimaksud autisme masa anak adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh
adanya abnormalitas dan/atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun,
dan anak mempunyai fungsi abnormal dalam 3 bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi,
dan perilaku yang terbatas dan berulang(Baxter et al., 2015).

Istilah autisme pertama kali diperkenalkan oleh dr. Leo kanner, seorang psikiater
dari universitas john hopkins pada tahun 1943, yang disebutnya sebagai autisme infantil
diobservasi dari 11 anak yang menunjukkan gambaran pola perilaku yang berbeda dari
anak yang mendapat gangguan psikiatrik lainnya (soetjiningsih,2013). Autisme
merupakan salah satu gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental
disorders-pdd) dan termasuk dalam autistic spectrum disorder (asd), menurut klasifikasi
dari diagnostic and statistical manual of mental disorders iv (dsm-iv) yang diterbitkan
oleh american psychiatric association, 1994.

Teori Gluten-Kasein

Penyebab pasti penyakit autisme belum diketahui secara tepat. Dari berbagai
penelitian didapatkan bahwa penyebabnya sangat kompleks dan multifaktorial dan
terutama dipengaruhi faktor genetik. Faktor-faktor secara sendiri atau bersama-sama
mengganggu susunan saraf pusat melalui mekanisme tertentu yang akhirnya
menghasilkan gangguan autisme. Seperti yang terdapat dalam buku karangan
soetjiningsih(2013), salah satunya adalah teori Gluten dan Kasein . Gluten dan kasein
adalah bahan makanan yang mampu menghasilkan opioid yang mana jika mengalami
kelebihan opioid pada anak autisme dapat menyebabkan kehilangan kontrol terhadap
dirinya, seperti kontak mata, ataupun hiperaktifitasnya

B. Penerapan Diet Khusus pada Anak dengan Autisme

Diet khusus yang dimaksudkan adalah suatu metode pemberian nutrisi kepada anak
berkebutuhan khusus dalam upaya meminimalisasi gejala yang dapat memperparah
keadaan fisiknya. Pada anak autisme, respon alergi dapat terjadi karena gangguan sistem
imun pada anak itu sendiri, dimana sistem imun yang bertugas mempertahankan
kekebalan tubuh akan mnyerang dan merugikan tubuh si anak sendiri(Berawi & Puspitha,
2016). Beberapa bahan makanan yang menjadi pemicu utama alergi atau alergen pada
anak autisme adalah gluten dan kasein. Bahan makanan yang mengandung gluten seperti:
jenis-jenis gandum(tepung terigu, oat, barley). Sedangkan bahan makanan yang
mengandung kasein adalah protein alami susu dan segala produk turunannya, seperti keju
dan yogurt. Pengaruh atau efek dalam penerapan diet ini tidak dapat dipastikan karena
gejala yang timbul pada setiap anak atau individu sangat variatif dan
beragam(Ramadayanti, 2013).

Efek dari penerapan diet ini dapat terlihat atau menampakkan hasil dalam intervensi
selama 1 sampai 3 minggu dan hasil maksimal tercapai pada 5 bulan, tetapi jika dalam
beberapa waktu penerapa diet tidak nampak penurunan gejala, dapat dipastikan terapi diet
yang diterapkan tidak cocok dengan anak tersebut(Berawi & Puspitha, 2016).

Saat dalam masa diet, bukan berarti makanan yang harus dihindari tidak boleh
dikonsumsi seumur hidup si anak. namun, diperkenalkan secara perlahan dengan
dukungan orangtua untuk menemukan pola makan yang sesuai. Hampir sebagian besar
sistem imun manusia terletak di saluran usus dan organ-organ pencernaan, namun pada
anak autisme terjadi gangguan dalam usus dan membutuhkan khusus dibanding dengan
anak yang normal. Penelitian ini didukung dengan penelitian lain mengenai hubungan
yang signifikan antara skor frekuensi diet bebas gluten dan kasein terhadap skor perilaku
anak autisme, selain itu juga penelitian lain menyatakan bahwa adanya hubungan anatara
frekuensi diet bebas gluten dan kasein dengan perilaku hiperaktif anak autisme.Namun
terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara
diet tanpa gluten dan kasein dengan perubahan perilaku pada anak autisme(Liena,
Surakarta, 2019).
Sumber makanan yang mengandung gluten sering dikonsumsi masyarakat diantaranya
tepung, terigu, roti, mie, biskuit, makaroni, bakwan bakso, sosis, ayam goreng, kue basah,
bolu kukus, tahu goreng tepung, tempe mendoan, donat terigu, dan olahan gandum
lainnya. Persentase paling banyak yang dikonsumsi anak autisme adalah ayam goreng
tepung, bakso, roti, biskuit dengan frekuensi 1-2x/minggu sampai >6x/minggu, dan yang
jarang dikonsumsi anak autisme adalah kue basah dan bolu kukus. Sedangkan sumber
makanan yang mengandung kasein diantaranya susu sapi, SKM, susu UHT, keju wafer
dengan keju, pudding susu, permen susu, es krim, mentega, coklat, jus dengan susu, serta
olahan lain yang dicampur dengan susu sapi.

Suatu penelitian menyatakan bahwa adanya inflamasi lambung pada anak autisme
disebabkan gluten dan kasein. Hal ini tidak dikatakan sebagai alergi namun respon
inflamasi T-cells terhadap makanan-makanan tersebut, dimana 75% anak autisme
memiliki reaktivitas T-cells pada makanan. Beberapa tahap dalam upaya penerapan diet
CFGF adalah sebagai berikut :

- Perkenalkan makanan pengganti baru sebagai pengganti sumber makanan yang


mengandung gluten dan kasein
- Mengolah makanan GFCF dengan variasi dalam bahan dan penyajian yang
menarik.
- Menghindari konsumsi susu terlebih dahulu dan setelah beberapa minggu
menghindari produk susu atau hasil olahan susu. Setelah itu baru menghindari
produk dengan bahan dasar gandum. Hal ini dengan alasan bahwa gluten lebih
lama hilang dari sistem pencernaan daripada kasein. Berdasarkan tes urin yang
menunjukkan bahwa kasein dapat hilang dari tubuh dalam tiga hari, sedangkan
gluten membutuhkan waktu berbulan-bulan.
- Menghindari produk kedelai (jika berdasarkan tes anak mengalami alergi).
- Menerapkan diet GFCF minimal selam 6 bulan karena pemberian makanann yang
mengandung gluten dan kasein, meskipun dalam jumlah sedikit, dapat
menyebabkan kemunduran pada kesehatan anak
- Membaca label pada kemasan makanan atau tandai makanan yang mengandung
gluten dan kasein.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Fatma&Nia (2018) yang berjudul
Efektivitas Pelaksanaan Terapi Diet Casein Free Gluten Free Pada Anak Autis Di
Pekanbaru yang dilakukan di menggunakan populasi yaitu seluruh anak autis yang berada di
Kota Pekanbaru yang dipilih secara purposive, dengan jumlah sampel sebanyak 50 orang
yang terdiri dari 25 orang kelompok eksperimen dan 25 orang kelompok kontrol Pelaksanaan
diet casein free dan gluten free pada anak autis yang dilaksanakan selama 6 minggu
memperlihatkan penurunan perilaku anak autis. Berdasarkan uji pengaruh menggunakan
Paired sample T- test pada kelompok eksperimen menunjukkan hasil p = 0,000 < 0,05 dan
pada kelompok kontrol p = 0,019 < 0,05. Hal ini menunjukkan adanya efektivitas
pelaksanaan terapi diet casein free gluten free pada anak autis terhadap prilaku autistik anak
autis. Serta berdasarkan uji T Independent T- test didapatkan nilai p = 0,008 < 0,05 dengan
nilai mean pada kelompok eksperimen sebesar 15,720.
Studi lain yang dilakukan oleh Rifmie (2013) yang berjudul Hubungan Skor
Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas Casein Dengan Skor Perilaku Autis dengan populasi
sampel yang diambil dari Pusat Terapi Pendidikan Ananda Bekasi, menunjukkan ada hubungan
bermakna antara frekuensi konsumsi diet bebas gluten bebas casein dengan skor perilaku autis.
Hal ini dibuktikan secara statistik dengan nilai p=0,045; r=0,369. Dalam penelitian tersebut
menunjukkan bahwa ada hubungan korelasi positif antara skor frekuensi diet bebas gluten bebas
casein dengan skor perilaku autis. Artinya semakin tingginya frekuensi konsumsi makanan yang
mengandung gluten maupun casein, maka skor perilaku autis juga akan semakin tinggi.
Studi yang dilakukan oleh Anna (2013) yang berjudul How Nutritional Status, Diet
And Dietary Supplements Can Affect Autism, mengatakan bahwa Salah satu penyebab utama
masalah emosional pada anak-anak penyandang autisme bisa disebabkan oleh diet yang
salah, terutama yang berkaitan dengan konsumsi produk makanan yang mengandung
pewarna, buatan
rasa dan pengawet. Produk makanan yang mengandung zat kimia selama proses pembuatan
juga dapat menyebabkan alergi atau intoleransi dan miliki efek karsinogenik atau mutagenik.
Hal ini yang dapat menjadi alasan orang tua untuk melakukan diet pada anak autisme.
Penelitian lain dilakukan Daniah(2016) yang Berjudul Pola Diet, Pengetahuan,
Sosial Ekonomi Dan Metode Dukungan Visual Terhadap Kemajuan Positif Anak Autis
mengatakan hal yang serupa yaitu Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan yang
signifikan antara pola konsumsi protein dengan kemajuan positif anak autis dimana nilai P
yang diperoleh sebesar 0,003 lebih kecil dari nilai α (0,05). Sedangkan menurut penelitian
febby tahun 2012 66,1 % pada anak autis dilakukan pola diit dengan protein daging lebih
sedikit dibandingkan dengan protein ayam 95%, dan dengan banyaknya mengkonsumsi
potein maka semakin cepat kemajuan positif pada anak Autis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan diet bebas gluten bebas
kasein pada anak autisme merupakan salah satu praktik yang dapat diterapkan dalam dunia
keperawatan di tempat khusus anak berkebuuhan khusus seperti di Rumah Anak Autis Bina
Anggita Magelang.

Anda mungkin juga menyukai