Anda di halaman 1dari 190

Editorial

Student Journal of Business and Management adalah jurnal ilmiah untuk mempublikasikan
tulisan mahasisswa dari hasil penelitian mereka. Jurnal ini dimaksudkan untuk melatih
mahasiswa dalam menulis artikel ilmiah layak dipublikasikan. Pandangan, pikiran, pendapat
dan informasi yang diberikan para penulis dalam tulisan mereka tidak mewakili dan/atau
mencerminkan pandangan atau dukungan dari the Student Journal of Business and
Management. Dalam arti, struktur dan isi tulisan tanggung jawab penulis. Selanjutnya, semoga
informasi yang diberikan jurnal ini bermanfaat untuk pengembangan keilmuan, perumasan
kebijakan dan referensi ilmiah yang relevan.

Artikel direview oleh reviewer yang berkompeten dalam bidang keahliannya. Untuk itu, terima
kasih.

Dipublikasikan dua kali dalam setahun.


STUDENT JURNAL OF BUSINESS AND MANAGEMENT
Volume 3, Number 6, Agustus 2020
ISSN: XXXX-XXXX

Implementasi 4DX Di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu 1147 - 1167


Joffrian M, Willy Abdillah, Trisna Murni

Persepsi Manfaat, Kemudahan Dan Faktor Kepercayaan Terhadap Niat 1168 - 1184
Pengguna Dalam Menggunakan Layanan Non-Tunai: QR Indonesian Standard
(QRIS) di Bengkulu
Leni Dwi Oktaviani, Muhartini Salim, Slamet Widodo

Penerapan Sistem Manajemen Kinerja Balanced Scorecard di P.T. (Persero) 1185 - 1210
UIWS2JB UP3 Bengkulu
Lukmi Agustiansyah, Willy Abdillah, Syaiful Anwar

Pengaruh Manfaat Pelatihan, Promosi dan Mutasi Terhadap Kinerja Pegawai 1211 - 1137
Pada Bank Bengkulu
Malindo Pebrian, Slamet Widiodo, Trisna Murni

Pengaruh Perilaku Pemimpin, Motivasi Kerja Dan Locus Of Control Terhadap 1138 - 1155
Kinerja Melalui Kepuasan Kerja Pada Pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten
Bengkulu Utara
Meylie Muchtar, Slamet Widodo, Trisna Murni

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Keterlibatan Kerja Terhadap 1156 - 1169


Kinerja Perawat
Nico Ardi Putra, Meiliani, Trisna Murni

Pengaruh Penggunaan Media Sosial Facebook Terhadap Minat Beli Konsumen 1170 - 1183
Pada Group Jual Beli Elektronik dan Komputer di Kota Bengkulu
Putri Asyura, Slamet Widodo, Sularsih Anggarawati

Pengaruh Integritas Dan Kepemimpinan Etis Terhadap Kepercayaan Kepada 1184 - 1208
Pemimpin Di Komisi Pemilihan Umum Daerah Se Provinsi Bengkulu
Rahmi Wijayanti, Slamet Widodo, Syamsul Bachri

Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Self Efficacy Terhadap Kinerja Pegawai 1209 - 1226
di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur
Reza Falevi, Kamaludin, Syaiful Anwar

Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Terhadap Kinerja Karyawan P.T. Daria 1227 - 1248
Dharma Pratama di Kabupaten Mukomuko
Rezza Ade Satria, Slamet Widodo, Syamsul Bachri
Implementasi 4DX Di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu

Joffrian M1), Willy Abdillah2), Trisna Murni3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2),3)

Abstract. PT PLN (Persero) had agreed to utilize McChesney, Covey, and Huling’s 4 Disciplines
of Execution (4DX) to guide the action team’goal settings, implementation, and evaluation
processes. The four disciplines of the execution include: (1) Focus on the wildly important-focus
on less so the team can achieve more, (2) Act on lead measures-predictive measures that can be
influenced by team members, (3) Keep a compelling scorecard-must be able to tell quickly if we
are winning or losing, (4) Create a cadence of accountability-hold each other accountable regularly
and rhythmically. This research aims to describe and explain about Implementation of 4DX and to
find out the obstacle factors of the implementation of 4DX at PT PLN (Persero) UPT Bengkulu.
The research employs a qualitative approach. The documentation technique was used to collect data
for this study. The interviews technique was also use to strengthen tha analysis. Respondents are
leaders (in management poisition), supervisors and staff at PT PLN (Persero) UPT Bengkulu. The
results of the research note that the implementation of 4DX at PT PLN (Persero) UPT Bengkulu
run as it was written in the guidance. This research also determined the obstacle factors while the
company was running 4DX, they were (1) Wide working area so it requires more time to execute
the 4DX program, (2) Lack of communication and socialization (refreshment) to all employees at
PT PLN (Persero) UPT Bengkulu, (3) The ability and understanding of coaches in the Unit and
ULTG are not the same, (4) implementation is inconsistent and there is no sense of ownership of
the program from some employees, and (5) There is a Work Program and Workload that becomes
a whirlwind.

Keywords: 4DX, Dicipline, Wildly Important, Lead Measure

Pendahuluan
Penggunaan konsep teori the 4 Disciplines of Execution yang biasa disingkat dengan 4DX
pada perusahaan adalah sebuah rumusan yang sederhana, berulang, dan terbukti untuk mengeksekusi
prioritas strategis yang paling penting di tengah whirlwind. 4DX bukan teori melainkan seperangkat
praktik yang telah terbukti, yang sudah diuji dan dipoles ratusan organisasi dan ribuan tim selama
bertahun-tahun. 4DX mencerminkan cara berpikir dan bekerja baru yang penting untuk mencapai
kemajuan dalam iklim kompetitif masa kini (Huling, 2012). 4DX adalah perangkat yang
mendukung bukan sekedar menu pilihan. Sementara setiap disiplin memiliki nilai, kekuatan,
sebenarnya adalah integrasi dari semua disiplin secara berurut. Setiap disiplin membuka jalan
untuk disiplin berikutnya. Bila salah satu disiplin ditinggalkan, akan mendapatkan hasil yang
kurang efektif (Huling, 2012:21). 4DX mudah dipahami tetapi butuh upaya berkelanjutan dalam
pelaksanaannya. Implementasi pelaksanaan 4DX harus dilakukan dengan seksama dan
membutuhkan komitmen. Komitmen dapat dibangun bila sasaran yang ingin dicapai sangat

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1147


penting. Proses eksekusi 4DX tak hanya berdampak pada pencapaian sasaran saja, tetapi juga
membangun kekuatan dan kemampuan organisasi untuk mencapai sasaran berikutnya (Huling,
2012:21).
4DX bersifat Kontraintuitif sehingga setiap disiplin adalah penggeseran paradigma dan
bahkan mungkin bertentangan dengan intuisi pegawai. Semakin banyak sasaran, semakin sedikit
peluang pegawai akan mencapainya dengan baik. Jika ada sasaran tertentu, jangan fokus pada
sasaran itu tapi berfokuslah pada lead measure yang mendorongnya. 4DX adalah hasil eksperimen
dan uji hipotesa yang serius dan intens selama beberapa tahun; Mengimplementasikan 4DX mungkin
akan terasa berat dan cangguh pada awalnya, tetapi sekalinya sudah terbiasa pada prosesnya, akan
merasa jauh lebih nyaman dan efektif. 4DX mempengaruhi Pencapaian kinerja pegawai selain
dipengaruhi oleh disiplin kinerja juga dan manajemen kinerja. Sistem manajemen kinerja merupakan
suatu pendekatan sistemik untuk memperbaiki kinerja melalui proses berkelanjutan dan berjangka
panjang yang meliputi kegiatan penetapan sasaran stratejik, pengukuran kinerja, serta analisis dan
pelaporan data kinerja untuk digunakan dalam perbaikan berkelanjutan (Mahmudi, 2005).
Penerapan 4DX di PT PLN (Persero) dimulai pada 2016 pada beberapa unit (termasuk Unit
Induk P3B Sumatera) menjadi pilot project menggantikan program Operational Performance
Improvement (OPI) dan evaluasi program kerja pemeliharaan pada tahun 2014-2015 yang
memperlihatkan banyak program kerja yang tidak terlaksana dan pemeliharaan tidak memenuhi
target waktu dan target kualitas. Pada September 2018 ditetapkan pelaksanaan 4DX dilaksanakan di
seluruh unit PT PLN (Persero) dengan Surat Direktur Utama PLN Nomor
0550/AGA.01.01/DIRUT/2018 tanggal 4 September 2018 perihal implementasi 4DX. Pelaksanaan
4DX di P.T. PLN (Persero) dikenal juga dengan X-MAN 4 EXPERT (Execution Management for
Exellence Performance Team).
Berdasarkan pencapaian kinerja semester 1 dan semester 2 tahun 2018, dilihat Pencapaian
kinerja PT PLN (Persero) UPT Bengkulu pada semester 1 2018 adalah 78.89 (K3) dan kinerja pada
semester 2 2018 adalah 83,22 (K2) yang mana target kinerja pada 2018 adalah K1 (di atas nilai 90),
tidak tercapainya kinerja UPT Bengkulu pada 2018 diakibatkan masih adanya gap pelaksanaan
4DX yang diterapkan di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu.
Sesuai dengan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka penulis ingin mengangkat
suatu masalah, yaitu:
• Bagaimana Implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu dan apa yang menjadi
menjadi kendala (gap) dalam implementasinya di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu tidak
seusuai dengan target yang ditetapkan?

1148 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Tinjauan Pustaka
4 Diciplines of Execution (4DX)

The 4 Diciplines of Execution menawarkan lebih dari sekedar teori untuk membuat perubahan
strategis dalam organisasi, tidak saja menjelaskan ‘apa’ tapi juga ‘bagaiamana’ eksekusi dapat
tercapai secara efektif (Huling, 2012).

Gambar 1. The 4 Diciplines of Execution

Penjelasan pengertian The 4 Disciplines of Execution (Huling, 2012:25):


1. Disiplin 1: Fokus pada the Wildly Important
Disiplin pertama adalah memofokuskan upaya terbaik anda pada satu atau dua sasaran yang
akan membuat perbedaan, alih-alih memberi upaya tanggung pada selusin sasaran.

WHIRLWIND SASARAN
(Peerjaan sehari-hari) (Kegiatan Baru)

PERTAJAM
FOKUS DISINI
Gambar 2. Disiplin 1: Fokus pada the Wildly Important

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1149


Sederhananya, Disiplin 1 berbicara tentang membuat prioritas terhadap sasaran dalam jumlah
yang lebih sedikit. Dalam menetapkan jumlah sasaran, semakin banyak jumlah sasaran yang
ditetapkan, semakin sedikit sasaran yang tercapai dengan baik. Ini adalah hal prinsip seperti hukum
gravitasi.

Gambar 3. Prinsip Disiplin 1

Bila sebuah tim fokus pada 2 atau bahkan 3 sasaran di luar whirlwind mereka, tim tersebut
biasanya berhasil mencapainya. Akan tetapi, bila mereka menetapkan 4 hingga 10 sasaran,
pengalaman kami menunjukkan bahwa mereka paling-paling hanya bisa mencapai 1 atau 2 sasaran
saja. Dan bila mereka mencoba mencapai 11 hingga 20 sasaran di luar whirlwind, mereka akan
kehilangan semua fokus. Menghadapi begitu banyak sasaran, para anggota tim akan bingung dan
berhenti mengeksekusi. Prinsip dasar yang berlaku dalam Disiplin I adalah bahwa manusia secara
genetis hanya mampu melakukan suatu hal dengan baik pada suatu waktu. 4DX mempunyai banyak
sasaran penting, tapi hanya satu atau dua sasaran yang sangat penting (Wildly important). Kita
menamakannya WIG. WIG ini adalah sasaran yang harus kita capai dengan sangat baik di atas
prioritas sehari-hari. Upaya terbaik hanya bisa diberikan pada satu atau dua wildly important goals
sekaligus.
2. Disiplin 2: Bertindak pada Lead Measures
Disiplin kedua adalah menerapkan energi pada aktivitas-aktivitas lead measures. Aktivitas ini
merupakan pengungkit untuk mencapai lag measures. Disiplin 2 adalah disiplin leverage
(Pengungkit). Lead measures adalah “ukuran” dari kegiatan yang paling berdampak untuk mencapai
sasaran. Disiplin 1 menentukan wildly important goal sebuah organisasi lalu menguraikannya
menjadi seperangkat target khusus yang dapat diukur samapai tim memiliki wildly important goal.

1150 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Disiplin 2 lalu mendefiniksikan aktivitas-aktivitas pengungkit yang akan memampukan tim untuk
mencapai sasaran (leveraged behavior). Ilustrasi di bawah menunjukkan hubungan antara lag
measure dan lead measure pada tingkat tim.

LAG MEASURE

LAG MEASURE LAG MEASURE LAG MEASURE

LAG MEASURE LAG MEASURE LAG MEASURE

TINGKAT
TIM
LEAD MEASURE

Gambar 4. Hubungan antara lag measure dan lead measure pada tingkat tim

Lag measure memberitahu jika pegawai/karyawan sudah mencapai sasaran, sebuah lead measure
memberitahu anda peluang untuk mencapai sasaran tersebut. Lag measure sulit kendalikan, sebuah
lead measure hampir sepenuhnya dapat dikendalikan.

3. Disiplin 3: Mengelola Scoreboard yang Memotivasi


Disiplin ketiga ini adalah disiplin engagement yaitu memastikan bahwa semua orang
mengetahui skornya setiap saat, sehingga mereka tahu apakah mereka sedang menang atau kalah.
Bila lead dan lag measure tidak ditampilkan pada scoreboard visual dan di-update secara teratur,
lead dan lag measure akan hilang dalam whirlwind.
Dalam Disiplin 3, target berupa lead dan lag measure mereka, diterjemahkan menjadi scoreboard
yang memotivasi dan terlihat. Scoreboard diperuntukkan untuk seluruh tim. Untuk mendorong
eksekusi, dibutuhkan scoreboard yang memiliki beberapa grafik sederhana yang menunjukkan posisi
tim seharusnya.

4. Disiplin 4: Menciptakan Irama Akuntanbilitas


Disiplin keempat adalah menciptakan irama akuntabilitas, sebuah siklus yang berulang untuk
menjelaskan kinerja masa lalu dan rencana untuk menggerakkan skor ke depan. Ekseskusi dilakukan
pada Disiplin 4. Disiplin 1, 2, 3 menyiapkan permainan; tapi sebelum menerapkan didiplin 4, tim

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1151


belum berada dalam permainan. Disiplin 4 ini merupakan disiplin yang menyatukan anggota tim
sehingga disiplin ini mencakup disiplin yang lain.

Tahap – Tahap Perubahan


Karena mengubah perilaku manusia adalah pekerjaan besar, banyak pemimpin menghadapi
tahapan-tahapan seperti ini saat menginstal 4DX, berikut penjelasan tahapan-tahapan dalam
menginstal 4DX (Huling, 2012:23):
1. Tahap 1: Mendapat kejelasan
Pemimpin dan tim berkomitrmen untuk mencapai tingkat kinerja baru. Mereka berorientasi
pada 4DX dan mengembangkan WIG yang sangat jelas, lag measure dan lead measure, dan
scoreboard yang memotivasi. Mereka berkomitmen untuk mengadakan WIG session secara teratur.
Meskipun bisa mengharapkan berbagai tingkat komitmen, anggota timakan lebih termotivasi bila
mereka lebih intens dalam workshop 4DX.

2. Tahap 2: Peluncuran
Tim berada pada garis awal akan mengadakan pembukaan secara resm, atau mengumpulkan
tim secara acak. Acara peluncuran ini bertujuan menggerakkan tim untuk bertindak guna mencapai
WIG. Namun tim membutuhkan keterlibatan intens dari pemimpin pada tahap peluncuran ini.

3. Tahap 3: Adopsi
Anggota tim mengadopsi proses 4DX dan perilaku baru yang mendorong pencapaian WIG.
Bisa diharapkan bahwa penolakan akan luntur dan antusiasme akan meningkat saat 4DX berfungsi.
Mereka akan bertanggung jawab satu sama lain, kinerja akan meningkat, meskipun mengahadapi
tuntutan whirlwind.

4. Tahap 4: Optimalisasi
Pada tahap ini, tim bergeser ke pola piker 4DX, bisa diharapkan menjadi lebih gigih dan
lebih engaged dalam bekerja saat mereka membawa hasil yang membuat perbedaan. Tim akan mulai
mencari cara untuk mengoptimalkan kinerja mereka.

5. Tahap 5: Kebiasaan
Bila 4DX menjadi kebiasaan, tidak hanya sasaran yang tercapai tapi juga peningkatkan
kinerja tim yang berkesinambungan. Sasaran akhir 4DX bukan hanya pencapaian hasil, tapi juga
menciptakan budaya eksekusi unggul.

1152 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


4DX di PT PLN (Persero)
Program 4DX di PT PLN (Perseo) dikenal juga dengan nama X-MAN 4 EXPERT (Eksekusi
Manajemen for Excellence Performance Team). P.T. PLN (Persero) mengeluarkan Peraturan
Direksi Nomor 0062.P/DIR/2019 tentang Pedoman Implementasi X-MAN 4 EXPERT di
Lingkungan PT PLN (Persero). Tujuan ditetapkannya Peraturan ini adalah agar implementasi
program X-MAN 4 EXPERT berjalan seragam, efektif, efisien, transparan dan akuntabel, serta
memiliki batasan kewenangan dan tanggung jawab yang relevan untuk mencapai Kinerja Unggul
yang berkelanjutan di lingkungan PT PLN (Persero).
Pelaksanaan Implementasi program 4DX dilakukan dengan melaksanakan beberapa
kegiatan antara lain (0062.P/DIR, 2019:4):
1. Penetapan Wildly Important Goal (WIG), yang selaras dengan sasaran strategis korporat
sebagai sasaran prioritas penting yang harus dicapai minimal 3 bulan atau maksimal dalam
waktu 1 tahun. Penetapan WIG untuk menunjang pencapaian target yang ditetapkan dapat
ditentukan minimal 1 (satu) dan maksimal 3 (tiga) WIG dan diprioritaskan untuk target yang
membutuhkan sumber daya seminimal mungkin namun menghasilkan hasil semaksimal
mungkin untuk menunjang pencapaian kinerja korporat/unit.

2. Penetapan Lead Measure (LM), yang memiliki dua karakteristik, yaitu:


a. Prediktif, dimana pada saat LM bergerak, maka akan mempengaruhi target yang telah
ditetapkan pada WIG; dan
b. Dapat dipengaruhi, LM yang telah ditetapkan dapat dikendalikan.
Kegiatan LM pada prinsipnya harus mengedepankan kegiatan yang berdampak besar
terhadap WIG, dalam hal ini kegiatan yang memenuhi unsur pengungkit (leverage) 20%
(dua puluh persen) yang dikerjakan lebih berdampak dari pada kegiatan 80% (delapan
puluh persen lain yang dikerjakan. Pengukuran LM dilaksanakan secara periodik setiap
harian atau mingguan. LM bersifat fleksibel sehingga memungkinkan untuk berubah
dengan cepat dan beradaptasi dan tetap mendukung pencapaian WIG.
3. Penyusunan Scoreboard, Untuk melihat kemajuan pencapaian target WIG dan LM harus
dituangkan pada Scoreboard, sehingga seluruh anggota Tim Implementasi dapat mengukur
dan mengetahui pencapaian terkini;
4. Menciptakan Irama Akuntabilitas, dilakukan melalui pelaksanaan WIG session minimal satu
kali setiap minggu. Setiap anggota tim membuat komitmen untuk melakukan beberapa hal
yang paling efektif yang memiliki dampak terbesar pada pencapaian LM dan WIG.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1153


Evaluasi 4DX
Monitoring dan Evaluasi implementasi program 4DX/X-MAN 4 EXPERT harus dilakukan
secara periodic dan konsisten untuk mengetahui kemajuan, hambatan serta rencana tindak lanjut
yang diperlukan untuk memastikan target WIG tercapai. Untuk mengevaluasi implementasi program
4DX yang dilakukan unit maka dilakukan Asesmen. Evaluasi implementasi program 4DX
dilaksanakan menggunakan maturity level setiap 6 (enam) bulan menggunakan metode
(0062.P/DIR, 2019:3):
a. Self assessment yang dilakukan oleh Tim Unit
b. Site Visit yang dilaksanakan oleh Super Coach/Tim Pusat dan atau Tim PLN Pusat
Pendidikan dan Pelatihan
Maturity Level adalah indikator untuk mengukur kematangan implementasi proses bisnis
yang mengasilkan kinerja unggul dan digunakan sebagai salah satu KPI Implementasi X-MAN 4
EXPERT Unit.

Tabel 1. Parameter Asesmen Implementasi 4DX di PT PLN (Persero)


No Parameter Deskripsi Level
I Komitmen Manajemen Komitmen Dukungan Manajemen
Keterlibatan Manajemen
Implementasi 4DX di Bisnis Proses
Ada KPI Implementasi 4DX
II Kapasitas dan Kapabilitas Coach Kemampuan Coach
Program Kerja Coach
Tingkat Keaktifan Coach
III Implementasi Tahapan 4DX Sosialisasi/Informasi/Komunikasi
Install Disiplin 1
Install Disiplin 2
Install Disiplin 3
Install Disiplin 4
Closing Audit
Manajemen inisiatif melalui Aplikasi
IV Dampak Dampak Finansial
Dampak Perilaku
Pencapaian KPI
V Ketersediaan Fasilitas 4DX Ruang/Pos 4DX
Materi Pembelajaran 4DX
Media Komunikasi 4DX
VI Aspek Keberlanjutan & budaya 4DX Budaya 4DX u/ Peningkatan Berkelanjutan
Score GML
Total Maturity Level

1154 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Kerangka Analisis
Penelitian ini merupakan penelitian dengan deskriptif kualitatif dengan meneliti 6 dimensi
pada imlpementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu.

4DX
(4 Diciplines of
Execution)

Kapa
sitas Keter Aspek
Komi dan Keberl
sedia
tmen Taha anjuta
Kapa Dam an
Mana pan pak n dan
bilita Fasilit
jeme 4DX Buday
s as
n Coac a
h

Implementasi
4DX di PT.PLN
(Persero) UPT
Bengkulu
Gambar 5.
Kerangka Analisis Implementasi 4DX di P.T. PLN (Persero) UPT Bengkulu

Hasil dan Pembahasan


Hasil Penelitian

Hasil Asesmen 4DX Tahun 2018 di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu sebagai berikut:

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1155


Tabel 2. Hasil Asesmen 4DX Tahun 2018 di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu

Parameter Deskripsi Level


No
(Dimensi) (Indikator) Semester I Semester II
Komitmen Dukungan Manajemen 2 4
Keterlibatan Manajemen 2 4
I Komitmen Manajemen
Implementasi 4DX di Bisnis Proses 4 4
Ada KPI Implementasi 4DX 4 5
Maturity Level Komitmen Manajemen 3.00 4.25
Kemampuan Coach 2 2
II Kapasitas dan Kapabilitas Coach Program Kerja Coach 2 5
Tingkat Keaktifan Coach 2 4
Maturity Level Kapasitas dan Kapabiltas Coach 2.00 3.67
Sosialisasi/Informasi/Komunikasi 2 5
Install Disiplin 1 4 5
Install Disiplin 2 4 5
III Implementasi Tahapan 4DX Install Disiplin 3 3 4
Install Disiplin 4 4 4
Closing Audit 4 4
Manajemen inisiatif melalui Aplikasi 2 5
Maturity Level Implementasi Tahapan 4DX 3.29 4.57
Dampak Finansial 3 4
IV Dampak Dampak Perilaku 3 5
Pencapaian KPI 4 3
Maturity Level Dampak 3.33 4.00
Ruang/Pos 4DX 4 4
V Ketersediaan Fasilitas 4DX Materi Pembelajaran 4DX 1 4
Media Komunikasi 4DX 3 5
Maturity Level Ketersediaaan Fasilitas 4DX 2.67 4.33
VI Aspek Keberlanjutan & budaya 4DX Budaya 4DX untuk Peningkatan Berkelanjutan 2 4
Maturity Level Aspek Keberlanjutan & Budaya 4DX 2.00 4.00
Score GML 61 89
Total Maturity Level 2.9 4.24

Dari Tabel 2 dapat dilihat pencapaian Maturity Level Implementasi 4DX di UPT Bengkulu
tahun 2018, Nilai maturity level naik dari 2,90 ke 4,24, keenam dimensi yang dinilai mengalami
perbaikan/peningkatan dari semester sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh komitmen dari
Manajemen maupun pegawai PT PLN (Persero) UPT Bengkulu untuk melaksanakan Implementasi
4DX lebih baik dari semsester sebelumnya. Dari pencapaian maturity level indikator, hanya indicator
Pencapaian KPI saja yang mengalami penurunan nilai, hal ini disebabkan pada saat pelaksanaan
Asesmen 4DX, coach 4DX PT PLN (Persero) UPT Bengkulu tidak dapat menunjukkan evidence
yang diminta untuk level 4 tetapi jika dilihat dari pencapaian kinerja sebenarnya penyampaian kinerja
(KPI) mengalami peningkatan dari semester sebelumnya. Dari Gambar 6. juga dapat dilihat bahwa
hanya dimensi kapasitas dan kapabilitas coach yang tidak mencapai nilai 4, hal ini disebabkan oleh
tidak meningkatnya kemampuan coach (tetap di level 2) dalam memahami 4DX, ketika dilakukan

1156 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


wawancara oleh tim asesmen 4DX kepada coach 4DX PT PLN (Persero) UPT Bengkulu, mereka
tidak mampu menjelaskan pemahaman 4DX secara detail.

Gambar 6. Diagram Asesmen 4DX PLN UPT Bengkulu

Dimensi Komitmen Manajemen

Manajemen PT PLN (Persero) UPT Bengkulu berkomitmen melaksanakan 4DX yang


dibuktikan dengan penandatanganan komitemen manajemen yaitu oleh Manager UPT Bengkulu,
Manager Bagian dan Manager ULTG. Dalam implementasi 4DX, Manajemen unit terlibat langsung
pada setiap prosesnya, mulai dari persiapan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Manajemen UPT
Bengkulu juga membuktikan meningkatnya nilai maturity level dari 3,00 ke 4,24 (skala 5) pada tahun
2018.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1157


Tabel 3. Hasil Asesmen Dimensi Komitmen Manajemen

Ada KPI Implementasi 4DX

Implementasi 4DX di…


Semester 2
Keterlibatan Manajemen Semester 1
Komitmen Dukungan…

0 1 2 3 4 5

Berdasarkan Tabel 3, indikator komitmen dukungan manajemen mengalami peningkatan


dari level 2 ke level 4 pada hasil asesmen, hal ini membuktikan Manajemen PT PLN (Persero) UPT
Bengkulu baik Manager UPT, Manager Bagian maupun Manager ULTG berkomitmen
melaksanakan 4DX dan dibuat komitmen pelaksanaannya yang ditanda tangani seluruh
manajemen. Pada indikator keterlibatan manajemen juga mengalami peningkatan level. Pada
semester 1 2018 nilai maturity level hanya bisa sampai level 2 karena WIG Session tidak terlaksana
secara rutin dan manajemen tidak terlibat didalam kegiatan tersebut, tetapi pada semester II 2018
Manajemen PT (PLN) Persero) telah berkomitmen untuk melaksanakan Implementasi 4DX lebih
baik lagi dari periode sebelumnya dan aktif dalam WIG Sesssion setiap minggunya. Pada indikator
implementasi 4DX di bisnis proses, PT PLN (Persero) UPT Bengkulu mampu menjaga maturity
level pada level 4, untuk mencapai level 5 PT PLN (Persero) UPT Bengkulu tidak bisa menunjukkan
evidence yang menyatakan WIG Session tetap terlaksana walaupun tidak dihadiri manajemen.
Untuk meningkatkan nilai maturity level, kedepannya manajemen harus membuat management
note implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu secara rutin (bulanan) agar dapat
menunjukkan komitmen keterlibatan manajemen dan keterlibatan manajemen dalam implementasi
4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu.

Dimensi Kapasitas dan Kapabilitas Coach

Tabel 4. Hasil Asesmen Dimensi Kapasitas dan Kapabilitas Coach

Tingkat Keaktifan Coach

Program Kerja Coach Semester 2


Semester 1
Kemampuan Coach

0 2 4 6

1158 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Kapasitas adalah tingkat kemampuan berproduksi secara optimum dari sebuah fasilitas
biasanya dinyatakan sebagai jumlah output pada satu periode waktu tertentu (Rangkuti, 2005:94).
Setiap tahun Manajemen unit menunjuk coach 4DX. Coach bertanggung jawab terhadap
terlaksananya kegiatan 4DX dimulai dari persiapan, pelaksanaan dan evaluasi, oleh karena itu coach
harus memiliki program kerja Implementasi 4DX setiap periode (semester atau tahun). Coach juga
harus mampu memberi pemahaman tentang apa itu 4DX secara utuh kepada seluruh pegawai di
unitnya, sehingga pegawai dapat paham tujuan dan proses pelaksanaan 4DX dan coach juga
menciptakan regenerasi coach 4DX periode berikutnya. Dari Tabel 4, terlihat dimensi kapasitas dan
kapabilitas coach mengalami peningkatan dari periode sebelumnya atau naik dari maturity level 2,00
ke 3,67 (Tabel 4.2), indikator yang mengalami peningkatan adalah tingkat keaktifan coach dan
program kerja coach, sementara indikator kemampuan coach tidak mengalami peningkatan atau
sama dengan periode sebelumnya. Dari hasil asesmen, coach belum mampu menjelaskan apa itu
4DX secara mendalam dan mendetail kepada tim assessment, seharusnya coach adalah orang yang
mengetahui 4DX secara benar dan mendetail sehingga mampu melaksanakan tugasnya dan
membimbing pegawai dalam implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu.
Dari hasil wawancara didapat Kemampuan coach di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu juga
tidak merata antar kantor unit dengan sub unit, sehingga implementasi 4DX di unit dan sub unit juga
tidak sama pencapaiannya, kemampuan coach di UPT (unit) lebih baik dari pada coach di ULTG.
Dari hasil wawancara juga didapat Dalam pelaksanaan refreshment pemahaman 4DX kepada
pegawai, tim coach di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu tidak melaksanakannya kepada seluruh
pegawai, hanya kepada tim 4DX saja sehingga masih didapati ada pegawai PT PLN (Persero) UPT
Bengkulu yang tidak paham tentang implementasi 4DX dan masih menganggap 4DX sebagai beban
kerja tambahan bukan sebagai tool untuk mencapai kinerja unggul.
Kapasitas dan Kapabilitas Coach di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu masih perlu
ditingkatkan. Program Kerja coach hanya sebatas melaksanakan dan memonitor WIG session dan
belum memiliki program kerja pelaksanaan refreshment pemahaman 4DX dan survey tingkat
pemahaman 4DX pada seluruh pegawai. Sebaiknya sebelum dilakukan resfresment pemahaman
4DX oleh coach UPT/ULTG kepada seluruh pegawai di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu dilakukan
terlebih dahulu refreshment pemahaman 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu kepada Coach
UPT/ULTG dengan mengundang Coach Unit Induk maupun Master Coach 4DX UIP3B Sumatera.
Untuk meningkatkan kualitas implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu khususnya
pada dimensi kapasitas dan kapabilitas coach, kedepannya coach harus mampu menjelaskan secara
detail mengenai alur 4DX, coach aktif melakukan refreshment internal, coach mampu menciptakan
terobosan pelaksanaan 4DX dan mampu membentuk coach baru agar pada periode berikutnya coach

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1159


yang baru dapat mengimplementasikan 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu dengan maturity
level yang lebih baik.

Dimensi Tahapan 4DX

Tabel 5. Hasil Asesmen Dimensi Tahapan 4DX

Manajemen inisiatif melalui Aplikasi

Closing Audit

Install Disiplin 4
Semester 2
Install Disiplin 3
Semester 1
Install Disiplin 2

Install Disiplin 1

Sosialisasi/Informasi/Komunikasi

0 1 2 3 4 5

Dari Tabel 5, terlihat pencapaian maturity level semua indikator dimensi tahapan 4DX adalah
besar atau sama dengan 4, atau nilai maturity level-nya naik dari 3,29 ke 4,57 (Tabel 4.2). WIG
Session rutin dilaksanakan di UPT dan ULTG dilaksanakan secara periodik. WIG Session
dilaksanakan oleh setiap bagian dan dihadiri oleh manajemen, coach dan pegawai bagian tersebut
yang memonitor dan meng-update pencapaian WIG dan LM pada scoreboard maupun pada aplikasi
google drive/spread sheet. Walaupun kegiatan ini dilakukan periodik dengan tujuan dapat
memonitor pencapaian 4DX dan kinerja secara periodik sehingga jika ada kendala dalam
pelaksanaannya dapat segera diatasi, masih ada beberapa pegawai yang menggangap kegiatan ini
hanya sebagai pemenuhan evidence kerja saja sehingga tidak berjalan otomatis atau masih perlu
diingatkan oleh coach. Pelaksanaan WIG Session di ULTG terkadang tidak terlakasana setiap
minggu karena adanya pekerjaan lain (whirlwind) yang harus diselesaikan.
WIG dan LM disusun berdasarkan pencapaian tahun sebelumnya dan KPI unit dan individu,
dan pencapaiannya dimonitor melalui score board sehingga mudah direview dan dievaluasi
pencapaiannya, dan WIG session telah dilaksanakan secara rutin di PT PLN (Persero) UPT
Bengkulu. Hanya saja, beberapa pegawai masih menganggap 4DX adalah beban kerja tambahan
bukan sebagai tools untuk menuju kinerja unggul sehingga pelaksanaan WIG Session di beberapa
sub unit hanya sebagai pemenuhan evidence implementasi 4DX. Eksekusi adalah seperangkat
perilaku dan teknik khusus yang perlu dikuasai perusahaan agar memiliki keunggulan kompetitif
(Charan & Bossidy, 2012). 4 Disciplines of Execution jelas merupakan suatu strategi untuk

1160 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


mengeksekusi suatu rencana menjadi hasil nyata (Covey & Huling, 2012). 4DX di
implemantasikan tahap demi tahapnya adalah merupakan suatu teknik atau tool untuk mencapai
kinerja unggul di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu. 4DX telah diimplementasi di UPT Bengkulu
sejak tahun 2016, sehingga untuk menerapkan ke empat disiplin didalam 4DX sudah tidak
mengalami kendala karena sudah terbiasa melakukannya, walaupun masih ada pegawai yang
berpikiran (mindset) 4DX sebagai beban kerja tambahan bukan sebagai tool untuk meningkatkan
kinerja karena pegawai belum paham sepenuhnya apa itu 4DX dan masih terjebak dengan program
kerja lainnya (whirlwind).
Kedepannya, evaluasi pencapaian WIG dan LM harus dilaksanakan setiap bulan agar
apabila hasil evaluasi pencapaian LM tidak berdampak terhadap WIG maka LM dapat segera diganti
dengan LM yang berdampak terhadap WIG dan apabila pencapaian WIG tidak berdampak terhadap
kinerja maka WIG dapat segera dikoreksi agar pencapaian WIG benar-benar inline dengan
pencapaian kinerja.

Dimensi Dampak
Tabel 6. Hasil Asesmen Dimensi Dampak

Pencapaian KPI

Series2
Dampak Perilaku
Series1

Dampak Finansial

0 1 2 3 4 5

Dampak (impacts) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan, atau
kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kenerja setiap indikator dalam suatu kegiatan
(Dicktus, 2013). Implementasi 4DX memberikan dampak kepada kinerja PT PLN (Persero) baik
pada sisi teknis (kinerja utama) maupun sisi non teknis (produktivitas SDM dan keuangan).
Produktivitas tidak pernah merupakan kecelakaan, itu selalu merupakan hasil dari komitmen untuk

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1161


keunggulan, perencanaan cerdas, dan upaya terfokus (Meyer, 2006). Ini dapat dilihat dengan
meningkatkatnya pencapaian kinerja utama dari 20,19 ke 27,33 yang mengakibatkan naiknya
kinerja UPT Bengkulu dari 78,89 ke 85,21. Hal ini membuktikan LM yang disusun untuk
mendukung kinerja utama sudah tepat seperti yang diterapkan pada ULTG yang proses bisnisnya
terkait langsung dengan kinerja utama UPT Bengkulu.
Dari Tabel 6, terlihat bahwa hanya indikator Pencapaian KPI yang pencapaian maturity level
–nya lebih rendah dari periode sebelumnya, akan tetapi setelah dilakukan cross check ternyata
pencapaian KPI seharusnya bisa pada level 4, hanya saja tim coach UPT tidak bisa memberikan
evidence pada saat asesmen karena data kinerja pada saat asesmen dilaksanakan belum final, jika
dilihat dari pencapaian kinerja 2018 akan terlihat pencapaian kinerja semester 2 lebih baik dari
semester 1. Pelaksanaan Implementasi 4DX berdampak terhadap KPI karena WIG disusun
berdasarkan evaluasi pencapaian kinerja periode sebelumnya dan melihat KPI unit dan pegawai,
sehingga pegawai akan lebih peduli untuk menerapkan 4DX untuk mencapai kinerjanyaUntuk
mendapatkan dampak yang lebih baik dari Implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu,
perlu dilakukan eveluasi WIG dan LM yang dilakukan setiap bagian dan sub unit agar WIG dan LM
yang dilakukan benar-benar berdampak terhadap kinerja dan 100% dari WIG terkait dengan KPI
manajemen (maturity level 5).

Dimensi Ketersediaan Fasilitas 4DX


Tabel 7. Hasil Asesmen Dimensi Dampak

Media Komunikasi 4DX

Semester 2
Materi Pembelajaran 4DX
Semester 1

Ruang/Pos 4DX

0 1 2 3 4 5

Definisi fasilitas adalah segala sesuatu yang berbentuk benda maupun uang yang dapat
memudahkan serta memperlancar pelaksanaan suatu usaha tertentu (Sam, 2008). Manajemen PT
PLN (Persero) telah menyiapkan fasilitas agar Implementasi 4DX dapat berjalan dengan baik.

1162 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Fasilitas yang disiapkan antara lain adalah Ruang 4DX yang terdapat pada Kantor UPT Bengkulu
(kantor ULTG belum ada Ruang 4DX), score board dan google sheet (score board digital), dan
buku saku tentang 4DX sebagai materi pembelajaran serta buku 4DX karya Covey dan Huling yang
dibagikan kepada coach, Manajer Bagian dan Manajer ULTG. Sarana atau fasilitas ini
disiapkan/diadakan karena manajemen PT PLN (Persero) UPT Bengkulu komitmen untuk
melaksanakan implementasi 4DX lebih baik lagi dari periode sebelumnya. Kedepannya, sebaiknya
dibuat sebuah knowledge center 4DX yang disosialisasikan kepada semua pegawai dan bisa diakses
oleh mereka, sehingga semua pegawai mengetahui alur 4DX yang benar dan mampu
mengimplementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu. Dan setiap semester dibuat laporan
implementasi 4DX dimulai dari persipan, pelaksanaan dan evaluasinya, sehingga laporan ini dapat
menjadi acuan implementasi 4DX oleh coach pada periode berikutnya.

Dimensi Aspek Keberlanjutan dan Budaya


Budaya adalah susunan perilaku yang dipelajari dan hasil perilaku yang elemen
komponennya dibagi dan ditularkan oleh anggota masyarakat tertentu (Linton, 1945). Manajemen
PT PLN (Persero) berupaya menjadikan 4DX sebagai budaya perusahaan, tetapi kondisi saat ini
masih terdapat beberapa kendala baik dari faktor alam (wilayah yang luas) dan dari pegawai yang
belum memahami 4DX, sehingga perlu dilakukan sosialiasi/refreshment secara rutin agar seluruh
pegawai paham akan pentingnya 4DX sebagai tool untuk mencapai kinerja unggul sehingga muncul
kesadaran dari masing-masing pegawai untuk melaksanakannya dan akhirnya akan menjadi budaya.
Saat ini kegiatan yang rutin dilaksanakan adalah WIG Session yang dilaksanakan setiap minggu
dengan melaporkan komitmen minggu sebelumnya, mereview pencapaian LM minggu ini dan
menetapkan komitmen untuk minggu depan, dan diharapkan dengan adanya pertemuan setiap
minggu ini dapat disisipkan pemahaman 4DX kepada pegawai dan menghilangkan pemikiran-
pemikiran resistance terhadap Implementasi 4DX seperti menganggap 4DX sebagai beban
pekerjaan tambahan.
Agar implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu dapat menjadi budaya
sebaiknya dilakukan survey pemahaman 4DX kepada seluruh pegawai agar dapat dilihat bagaimana
pemahaman pegawai dan apa saja yang perlu diperbaiki agar Implementasi $DX dapat berjalan
dengan baik di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu. Seteleh ditemukan permasalahannya baru
kemudian dibuat sebuah tool seperti buku saku atau aplikasi knowledge center yang disosialisasikan
kepada seluruh pegawai dan dilakukan refreshment inernal seacara rutin agar pegawai paham bahwa
4DX adalah sebuah tool yang efektif untuk mencapai kinerja unggul di PT PLN (Persero) UPT
Bengkulu seperti yang telah diterapkan oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1163


Faktor-faktor kendala Implementasi 4DX di di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu
Dari hasil wawancara diperoleh beberapa faktor yang menjadi kendala implementasi 4DX di
PT PLN (Persero) UPT Bengkulu, antara lain:
1. Wilayah kerja yang luas sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mengeksekusi program 4DX
2. Kurangnya komunikasi dan sosialisasi (refreshment) kepada seluruh pegawai di PT PLN
(Persero) UPT Bengkulu. Masih adanya pegawai yang tidak mengerti 4DX meskipun
sudah diterapkan selama 3 tahun (sejak 2016) menunjukkan masih perlu dilakukan
refreshment 4DX secara berkala di UPT Bengkulu (termasuk ketiga ULTG-nya).
3. Kemampuan dan pemahaman coach di Unit dan ULTG tidak sama. Dari hasil wawancara
terlihat coach di UPT lebih paham 4DX daripada coach di ULTG, sehingga implementasi
4DX tidak maksimal terlaksana seperti yang dilakukan UPT seperti coach tidak mampu
menilai LM yang disusun ternyata tidak berdampak terhadap WIG.
4. Pelaksanaannya tidak konsisten. Pegawai menganggap WIG dan LM hanya milik dan
tanggung jawab coach, sehingga pelaksanaannya tidak berjalan otomastis tetapi tetap
harus diingatkan oleh coach.
5. Adanya Program Kerja dan Beban Kerja yang menjadi whirlwind. Seharusnya 4DX
menjadi satu kesatuan dengan program kerja sehingga bukan menjadi beban kerja
tambahan.

Implikasi Strategis
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan Implikasi strategis yang mencakup
beberapa aspek terhadap Implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu, di antaranya:
1. Masih diperlukan pengawasan secara intens oleh manajemen terhadap implementasi 4DX
di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu agar WIG dan LM dilaksanakan setiap minggu dan
dievaluasi setiap bulannya.
2. PT PLN (Persero) UPT Bengkulu berkordinasi dengan sub unitnya (ULTG) untuk
mengeksekusi kegiatan LM yang terdekat dengan wilayah kerja ULTG tersebut.
3. Untuk meningkatkan pemahaman 4DX kepada coach dan pegawai UPT Bengkulu, maka
perlu dilakukan sosialisai/refreshment oleh UIP3B Sumatera. Dan masing-masing peserta
wajib mensosialisasikan kepada pegawai yang tidak hadir pada acara tersebut karena
beberapa pegawai berkerja dengan system shift.
4. Melaksanakan survey pemahaman Implemetasi 4DX kepada seluruh pegawai, agar dapat
mengukur tingkat pemahaman masing-masing pegawai serta dapat mememtakan
kemampuan serta tindak lanjut yang akan dilakukan berdasarkan hasil survey tersebut.

1164 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


5. Memberi reward kepada bagaian atau sub unit yang melakukan proses Implementasi 4DX
dengan baik dan benar serta memberi punishment bagi yang implemantasinya tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
6. Melasakanakan penyusunan WIG dan LM dimana WIG dan LM masuk kedalam Program
Kerja yang direncanakan sehingga kegiatan ini tidak dianggap sebagai beban kerja
tambahan.

Penutup
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik mengenai Implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT
Bengkulu adalah:
1. 4DX merupakan sistem manajemen yang mengatur tentang cara mengimplementasikan
strategi untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah organisasi yang dilakukan secara
terstrukstur, tersistem dan berkelanjutan.
2. Hasil Implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu adalah:
1. Dimensi Komitmen Manajemen.
Manajemen PT PLN (Persero) UPT Bengkulu berkomitmen melaksanakan 4DX yang
dibuktikan dengan penandatanganan komitemen manajemen yaitu oleh Manager UPT
Bengkulu, Manager Bagian dan Manager ULTG. Dalam implementasi 4DX, Manajemen
unit terlibat langsung pada setiap prosesnya, mulai dari persiapan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi.
2. Dimensi Kapasitas dan Kapabilitas Coach.
Coach PT PLN (Persero) UPT Bengkulu paham dan mampu melaksanakan implementasi
4DX dimulai dari persiapan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, tetapi kemampuannya
tidak merata, khususnya coach di ULTG pemahaman 4DX-nya masih rendah.
3. Dimensi Tahap 4DX.
Implementasi 4DX berjalan baik di UPT Bengkulu. Proses persiapan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi berjalan di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu.
4. Dimensi Dampak.
Implementasi 4DX memberikan dampak kepada kinerja PT PLN (Persero) baik pada sisi
teknis (kinerja utama) maupun sis non teknis (produktivitas SDM dan keuangan)
5. Dimensi Ketersediaan Fasilitas.
Fasilitas Implementasi 4DX sudah lengkap di kantor UPT Bengkulu dan masih perlu
perbaikan pada fasilitas 4DX di ULTG.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1165


6. Dimensi Aspek Keberlanjutan dan Budaya
Manajemen PT PLN (Persero) berupaya menjadikan 4DX sebagai budaya perusahaan,
tetapi kondisi saat ini masih terdapat beberapa kendala baik dari faktor alam (wilayah yang
luas) dan dari pegawai yang belum memahami 4DX.

Saran
Berdasarkan dari analisis yang membahas tentang Implementasi 4DX di PT PLN (Persero)
UPT Bengkulu, maka dapat diberikan saran:
1. Dimensi Komitmen Manajemen.
Manajemen ULTG lebih terlibat dalam proses implementasi, karena dari hasil
penelitian masih didapati adanya staff ULTG dan Gardu Induk yang tidak mengetahui
tentang implementasi 4DX. Dan manajemen harus membuat management note
implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu secara rutin (bulanan) agar
dapat menunjukkan komitmen keterlibatan manajemen dan keterlibatan manajemen
dalam implementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu.
2. Dimensi Kapasitas dan Kapabilitas Coach.
Perlu dilaksanakan refreshment pemahaman Implementasi 4DX secara rutin/periodik
oleh coach UPT Bengkulu atau coach UIP3B Sumatera. Dan Menjalin komunikasi
yang baik mulai dari pelaksana, coach, manajemen dan kantor induk UIP3B Sumatera
selaku pembina unit.
3. Dimensi Tahap 4DX.
Karena masih ditemukan LM yang tidak berdampak kepada WIG dan anggapan bahwa
4DX menambah beban kerja bukan sebagai tool untuk mencapai kinerja unggul, maka
disarankan dilakukan survey pemahaman 4DX kepada seluruh pegawai sehingga dapa
dipetakan dimana yang menjadi kelemahan dan kendala Implementasinya.
Dalam menyusun WIG dan LM baiknya WIG dan LM tersebut masuk kedalam
program kerja sehingga pencapaiannya terintegritas dan dapat dilaksanakanakan
secara efektif dan efisien.
Agar dilakukan evaluasi pencapaian WIG dan LM setiap bulan agar apabila pencapaian
LM tidak berdampak terhadap WIG maka LM dganti menjadi LM yang berdampak
terhadap WIG pada bulan berikutnya.
4. Dimensi Dampak.
Karena masih ditemukan LM yang tidak berdampak kepada WIG sehingga tidak
memperikan dampak kepada kinerja maka perlu dilakukan evaluasi lebih mendalam
tentang kegiatan LM yang dilaksanakan oleh bagian, ULTG maupun Gardu Induk.

1166 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


5. Dimensi Ketersediaan Fasilitas.
Agar disediakan fasilitas Ruang 4DX di ULTG berserta materi-materi tentang 4DX
dan dokumentasi pencapaian 4DX periode sebelumnya dan setiap pegawai di
tambahkan ke dalam Whats App Group 4X PT PLN (Persero) UPT Bengkulu agar
seluruh pegawai merasa terlibat dalam kegiatan ini dan dapat berkomunikasi terkait
pemahaman, pencapaian dan kendala yang dihadapi.
Dibuat sebuah knowledge center 4DX yang disosialisasikan kepada semua pegawai
dan bisa diakses oleh mereka, sehingga semua pegawai pegawai mengetahui alur 4DX
yang benar dan mampu mengimplementasi 4DX di PT PLN (Persero) UPT Bengkulu.
Dan setiap semester dibuat laporan implementasi 4DX dimulai dari persipan,
pelaksanaan dan evaluasinya, sehingga laporan ini dapat menjadi acuan implementasi
4DX oleh coach pada periode berikutnya
6. Dimensi Aspek Keberlanjutan dan Budaya
Agar dilakukan survey dan sosialisasi/refreshment secara rutin agar seluruh pegawai
paham akan pentingnya 4DX sebagai tool untuk mencapai kinerja unggul sehingga
muncul kesadaran dari masing-masing pegawai untuk melaksanakannya dan akhirnya
akan menjadi budaya. Dan diadakan kompetisi Implementasi 4DX antar bagaian, sub
unit (ULTG) dan Gardu Induk.
7. Untuk penelitian berikutnya, penulis menyarankan dilakukan penelitian pengaruh
Implementasi 4DX terhadap beban kerja dan pencapaian kinerja.

Referensi
Bossidy, L. & Charan, R. (2012). Execution: Seni menyelesaikan pekerjaan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Dicktus. (2013). Definisi, dampak, pengendalian hujan asam niken.
http://www.scribd.com/search?query=definisi+dampak diakses 10 Desember 2019.
Huling, J. & Covey, S. (2012). The 4 disciplines of execution. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahmudi (2005). Manajemen kinerja sektor publik. Yogyakarta: UPP AMP, YKPN.
Peraturan Direksi PT PLN. Nomor 0062.P/DIR/2019. Pedoman Implementasi Execution
Management For Excellent Performance (X-Man 4 Expert) di Lingkungan PT PLN
(Persero). Jakarta.
Rangkuti, F. (2005). Analisis SWOT: Teknik membedah kasus bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1167


Persepsi Manfaat, Kemudahan Dan Faktor Kepercayaan Terhadap Niat
Pengguna Dalam Menggunakan Layanan Non-Tunai: QR Indonesian Standard
(QRIS) di Bengkulu

Leni Dwi Oktaviani1), Muhartini Salim2), Slamet Widodo3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2),3)

Abstract. The purpose of this study aims to analyze factors which influence the behavioural
intention in using non-cash payment instruments: Quick Response Code Indonesian Standard in
Bengkulu. Quick Response Code Indonesian Standard is a (QR) Code standard for payments through
server-based e-money applications, electronic wallets and mobile banking. QRIS, which physically
manifests as a more complex QR pattern, allows users from one payment service to transfer funds to
any rival service within Bank Indonesia’s ecosystem, where launched on 17th Augst 2019. QRIS now
currently growing rapidly in Indonesia in ritail transaction. This research using Theory Acceptance
Model (TAM) by Davis (1989), with independent variable is perceived of usefulness, ease to use,
trust factor and dependent variable is behavioural intention in using QRIS instruments. This research
is a survey research, which uses a questionnaire as an instrument of data collection with the aim of
getting the information. The sample in this study using sensus sampling method and obtained sample
of 150 respondents. All GenBI members in Bengkulu who have the task of being agents of change
in Bank Indonesia Representative Office of Bengkulu Province are sampled. Data analysis used
linear regression model which showed that testing the perceived usefulness, then perceived
convenience and the trust factor, had a significant positive effect on behavioural intentions to use
QRIS services. The results of this research show that dependent variable of behavioural intentions to
use the QRIS non-cash payment service, is considered important and necessary in every non-cash
payment transaction through scanning the QR Code for now and in the future.

Keywords: TAM, QRIS, GenBI, perceived of usefulness, perceived ease of use, trust factor

Pendahuluan
Bank Indonesia memperkenalkan QR Code Indonesian Standard (QRIS) pada tanggal 17
Agustus 2019 yang memungkinkan terjadinya interkoneksi dan interoperabilitas pembayaran melalui
standar QR Code. Secara singkatnya, sebelum adanya QRIS, setiap merchant harus memiliki
beberapa QR Code dan membuka beberapa account pada aplikasi Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran (PJSP) Bank ataupun Non-Bank Berizin. Selanjutnya, mengacu pada data statistik
transaksi pembayaran non tunai (elektronik) oleh Bank Indonesia (2020), nilai secara elektronik
nasional sepanjang tahun 2019 mencapai 145 triliun rupiah, dimana Provinsi Bengkulu menyumbang
andil atas 45 miliar transaksi (Bank Indonesia, 2020). Angka statistik nasional ini meningkat 308%
jika dibandingkan dengan sepanjang tahun 2018 yang hanya terdapat transaksi pembayaran elektronik
senilai 45 triliun rupiah (LPP Februari 2020).

1168 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Kenaikan jumlah transaksi tersebut, halnya tidak lepas dari peran pengguna itu sendiri. Secara
tidak langsung, terdapat niat atas perilaku pengguna dalam menggunakan transaksi QRIS. Konsep
perilaku terhadap penggunaan teknologi dikemukakan oleh Davis (1989) melalui teori Technology
Acceptance Model (TAM), yang menjelaskan tentang sikap pengguna komputer yang didasarkan
pada kepercayaan (belief), sikap (attitude), keinginan (intention), dan hubungan perilaku pengguna
(user behaviour relationship). Jika dihubungkan dengan kenaikan jumlah transaksi tersebut yang
diasumsikan sebagai niat pengguna layanan QRIS meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan
oleh faktor-faktor tertentu. Dalam teori TAM, terdapat istilah Attitude Toward Using oleh Davis
(1989) yang dikonsepkan sebagai sikap terhadap penggunaan sistem yang berbentuk penerimaan atau
penolakan sebagai dampak bila seseorang menggunakan suatu teknologi dalam pekerjaannya.
Melalui TAM, asumsinya niat pengguna atas tingkat penerimaan tesebut saat akan menggunakan
layanan dengan QRIS dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor yaitu: 1) Persepsi Kebermanfaatan (Usefulness
Perceived) dan Persepsi 2) Kemudahan Penggunaan (Ease of Use Perceived). Selaras dengan konsep
TAM yang dilandasi oleh teori TRA, Selvan et al., (2011) mereduksi model TRA dan memodifikasi
dengan menambahkan konstruk keyakinan/ kepercayaan pada variable penelitiannya.
Pemindaian kode QR dalam kanal pembayaran secara non-tunai melalui e-wallet telah dikenal
dalam beberapa tahun terakhir, hal ini terlihat dari kenaikan transaksi elektronik di Indonesia sejak
2015 s.d 2019. Beberapa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) berlomba menerbitkan kode
QR masing-masing dalam produk e-wallet mereka. Hal ini secara tidak langsung, akan sedikit
menyusahkan ketika pelanggan yang hanya memiliki e-wallet merk “A” untuk melakukan
pembayaran pada merchant dengan kode kode QR pada e-wallet “B”. Dengan hadirnya layanan QRIS
yang menyatukan antar beberapa kode QR sebagai wujud implementasi Sistem Pembayaran
Indonesia yang diinisiasi oleh Bank Indonesia pada 2019 lalu, menjawab permasalahan yang selama
ini terjadi pada beberapa merchant dan pelanggan yang akan melakukan transaksi menggunakan
pemindaian kode QR.
Kode QR yang diasumsikan sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi pada kanal
pembayaran elektronik, menurut Davis (1989) pada teori Technology Acceptance Model yang
dikembangkannya, perlu diketahui bagaimana persepsi yang dirasakan oleh seorang pengguna saat
akan menggunakan layanan QRIS sebagai bentuk penerimaan dari teknologi. TAM mengukur niat
seseorang berdasarkan persepsi kebermanfaatan dan kemudahan yang akan dan sudah dirasakan oleh
pengguna layanan QRIS untuk menggunakan layanan tersebut saat ini dan di masa yang akan datang.
Adapun teori TAM tersebut dilandasi oleh teori TRA yang menjelaskan variable kepercayaan/
keyakinan yang dapat menyertai niat sesorang dalam menerima perkembangan teknologi.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1169


Sejak dulu, pemilik usaha ritel sudah mengetahui mengenai pembelian impulsif dan sudah
mengimplementasikan berbagai taktik yang dapat meningkatkan pembelian impulsif di toko tersebut.
Sebagai contoh saja di Indomaret, penempatan barang diatur sedemikian rupa sehingga barang –
barang dengan kebutuhan tinggi ditempatkan di bagian depan dan terlihat pertama oleh pembeli. Hal
ini tentu meningkatkan kemungkinan untuk terjadinya pembelian impulsif. Taktik lain adalah
meletakkan barang yang murah dan berukuran kecil di bagian kasir sehingga meningkatkan
pembelian spontan dari pembeli. Isu yang menjadi perhatian dalam penelitian ini

Sesuai dengan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka penulis ingin mengangkat
suatu masalah, yaitu:
• Bagaimanakah pengaruh antara persepsi kebermanfaatan, kemudahan dan faktor
kepercayaan terhadap niat pengguna dalam menggunakan layanan QRIS?

Tinjauan Pustaka
Faktor yang Mempengaruhi Niat Pengguna Layanan QRIS
Niat pengguna layanan QRIS dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Davis (1989)
pada teori yang dikembangkannya mengenai “Technology Acceptance Model” (TAM): perceived
ease of use (persepsi kemudahan) dan perceived usefulness (persepsi kebermanfaatan), yang
masing-masing memiliki relevancy pusat untuk mengestimasi sikap penerimaan pengguna
terhadap teknologi komputer.

Technology Acceptance Model (TAM)


Teori ini dikenalkan oleh Davis (1989) adalah salah satu model yang dapat digunakan untuk
menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi diterimanya suatu sistem / sistem informasi.
TAM merupakan sebuah teori perbaikan dari model TRA (Theory of Reasoned Action), dengan
mengimplementasikan beberapa komponen sebagai sebuah bagian khusus dari teknologi komputer
dan informasi. Perbedaan teori TRA dan TAM ada dalam penggunaan faktor-faktor sikap dari
TRA, dalam teori TAM terapat dua variabel kunci, yaitu perceived ease of use dan perceived
usefulness, yang masing-masing memiliki relevancy pusat untuk mengestimasi sikap penerimaan
pengguna terhadap teknologi computer.

1170 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Gambar 1. Technology Acceptance Model (TAM)

Persepsi Kebermanfaatan (Perceived Usefulness)


Persepsi kebermanfaatan (perceived usefulness) didefinisikan sebagai sebuah pandangan
subjektif pengguna terhadap seberapa besar kemungkinan penggunaan sebuah sistem (contoh: sistem
pembayaran elektronik) dapat meningkatkan kinerjanya (Lai, 2017). Hal ini dirasa ketika seseorang
semakin meyakini bahwa teknologi dapat meningkatkan kinerjanya, maka minat orang tersebut untuk
menggunakan teknologi juga akan semakin meningkat. Menurut Rahmatsyah (2011), persepsi
Kebermanfaatan merupakan probabilitas subyektif dari pengguna suatu aplikasi yang bertujuan untuk
mempermudah kinerja atas pekerjaannya. Dalam Penelitian Davis (1989) disebutkan bahwa
pengguna memiliki kepercayaan bahwa jika menggunakan sistem informasi maka akan
meningkatkan kinerja. Maksudnya, persepsi ini akan menghasilkan suatu kepercayaan untuk
pengambilan sebuah keputusan dengan menggunakan sistem informasi atau tidak menggunakannya
sama sekali. Pengguna akan mulai berpikir dan percaya bahwa jika suatu sistem informasi tersebut
berguna untunknya maka ia akan menggunakannya, namun sebaliknya ia tidak akan
menggunakannya. Adanya manfaat positif dalam menggunakan suatu sistem informasi tersebut pada
akhirnya akan menjadi alasan seseorang dalam menggunakan sistem informasi. alam hal ini ketika
pengguna menggunakan layanan QRIS berkali-kali, maka pengguna telah merasakan manfaat dari
layanan QRIS tersebut.
Indikator untuk mengukur persepsi kemanfaatan (Davis, 1989) :
1) Mempercepat pekerjaan (work more quickly)
2) Meningkatkan kinerja (improve job performance)
3) Meningkatkan produktivitas (increase productivity)
4) Efektivitas
5) Mempermudah pekerjaan (make job easier); dan
6) Bermanfaat (useful)

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1171


Persepsi Kemudahan (Perceived ease of us)
Persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use) didefinisikan sebagai tingkat
ekspektasi pengguna terhadap usaha yang harus dikeluarkan untuk menggunakan sebuah system
(Fatmawati, 2015). Hal ini dimaksudkan bahwa ketika seseorang semakin meyakini bahwa teknologi
dapat digunakan dengan mudah atau dengan usaha yang minim, maka niat orang tersebut untuk
menggunakan teknologi juga akan semakin meningkat. Selain niat penggunaan, persepsi orang
tersebut mengenai kebermanfaatan teknologi juga akan menjadi semakin baik. Definisi ini
dimaksudkan jika seseorang merasa percaya pada suatu sistem informasi yang mudah digunakan,
maka Ia akan menggunakannya. Persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use) ini
mengartikan bahwa terdapat keyakinan seseorang dalam menggunakan sistem teknologi informasi
yang tidak akan merepotkan atau membutuhkan usaha yang besar pada saat digunakan.
Persepsi kemudahan adalah tingkat dimana individu percaya mengenai sistem yang digunakan
karena sistem tersebut mudah dalam penggunaanya dan mudah untuk dipahami, sehingga tidak
perlu mengeluarkan usaha apapun (free of effort) (Davis, 1989). Masih menurut Davis (1989)
terdapat indikator untuk mengukur persepsi kemudahan, yakni:
1) Mudah dipelajari (easy to learn)
2) Dapat dikontrol (controllable)
3) Jelas dan dapat dipahami (clear and understandable)
4) Fleksibel
5) Mudah untuk menjadi terampil / mahir (easy to become skillful)
6) Mudah digunakan (easy to use)

Kepercayaan
Dalam teori TAM, menurut Davis, (1989) hanya memanfaatkan komponen “Belief” dan
“Attitude” saja, sedangkan Normative Belief dan Subjective Norms tidak digunakan dalam teorinya.
Menurut Davis, perilaku menggunakan Teknologi Informasi diawali oleh adanya persepsi mengenai
manfaat (usefulness) dan persepsi mengenai kemudahan menggunakan teknologi informasi (ease of
use). Kedua komponen ini bila dikaitkan dengan teori TRA yang mendasari TAM tersebut adalah
bagian dari Belief (Kepercayaan). Kepercayaan sebagai kesediaan individu untuk menggantungkan
dirinya pada pihak lain yang terlibat dalam pertukaran karena individu mempunyai keyakinan kepada
pihak lain (Kotler & Keller, 2014). Ketika satu pihak mempunyai keyakinan bahwa pihak lain yang
terlibat dalam pertukaran mempunyai reliabilitas dan integritas, maka dapat dikatakan ada
kepercayaan.
Kepercayaan adalah yakin terhadap orang lain dengan harapan orang lain tidak akan

1172 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


berperilaku oportunis (Liu et al., 2013). Ini merupakan keyakinan bahwa pihak lain akan berperilaku
sesuai etika sosial dan terdapat keyakinan bahwa pihak yang dipercaya akan memenuhi komitmen.
Kotler dan Keller (2014) menyatakan bahwa dalam dunia bisnis, kepercayaan antara perusahaan
membantudalam menentukan indikator-indikator yang berkaitan dengan kinerja seperti jangkauan
pertukaran informasi dan penyelesaian masalah bersama. Adanya kepercayaan akan menciptakan
rasa aman dan mengurangi presepsi konsumen akan risiko negatif. Dalam hal ini kepercayaan muncul
ketika adanya keyakinan dari pihak konsumen yaitu pelanggan pada reliabilitas dan integritas dari
rekan pertukaran. Kepercayaan diartikan berupa kesediaan individu untuk bergantung dengan
individu lain dengan adanya suatu risiko tertentu. Kesediaan akan timbul karena individu paham
terhadap pihak lain berdasarkan masa lalunya, harapan pihak lain yang timbul akan menghasilkan
sumbangan positif (terdapat kemungkinan sumbangan negatif yang diberikan dari pihak lain).
Berdasarkan konsep Selvan et al. (2011) terdapat beberapa indikator untuk mengukur kepercayaan
sebagai berikut:
1) Menjaga kepentingan
2) Dapat dipercaya
3) Informasi yang disediakan
4) Kecenderungan memercayai
5) Memercayai tidak sulit
6) Keamanan; dan
7) Kepercayaan

QR Code Indonesian Standard


Quick Response Information Standard (QRIS) yang diluncurkan pada 17 Agustus 2019
merupakan standar QR Code Pembayaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk digunakan
dalam memfasilitasi transaksi pembayaran di Indonesia dan wajib digunakan dalam setiap transaksi
pembayaran di Indonesia. QRIS sebagai standar nasional QR Code Pembayaran ditetapkan oleh Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai National Payment
Gateway (GPN). Transaksi QRIS menggunakan sumber dana berupa simpanan dan/atau instrumen
pembayaran berupa kartu debet, kartu kredit, dan/atau uang elektronik registered (server based) dan
pada tahap awal nominal transaksi QRIS dibatasi paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah)
per transaksi. QRIS memiliki informasi mengenai data, lokasi, kategori merchant, PJSP, nominal
transaksi (optional), dan lainnya. (Bank Indonesia, 2019)

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1173


Gambar 2. QR sebelum dan setelah dengan QRIS

Seperti ilustrasi di atas, sebelum adanya QRIS merchant harus memiliki beberapa QR dan
membuka beberapa account pada aplikasi PJSP. Setelah menggunakan QRIS, merchant cukup
memiliki 1 (satu) QR Code dan membuka pada 1 (satu) account pada aplikasi PJSP untuk dapat
menerima pembayaran dari berbagai aplikasi PJSP.

Kerangka Analisis
Penelitian ini merupakan penelitian dengan uji beda yang meliputi 1 variabel dependen (Niat
Pengguna Layanan QRIS) dan 3 variabel independen (persepsi kebermanfaatan, kemudahan dan faktor
kepercayaan).

Gambar 3. Kerangka Analisis

1174 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Pengembangan Hipotesis
Berbagai penelitian dilakukan berkaitan dengan pendekatan teori TAM terhadap niat
seseorang dalam menggunakan layanan pembayaran dan transaksi jual beli secara online. Hipotesis
pada penelitian ini, merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan yang dikemukakan dalam
perumusan masalah. Dari penjabaran tentang pendekatan teori TAM yang berkenaan dengan
persepsi kebermanfaatan, kemudahan dan faktor kepercayaan terhadap niat pengguna suatu
teknologi informasi, maka hipotesis pada penelitian ini sebagai berikut:
1. H1: Persepsi Kebermanfaatan berpengaruh positif terhadap niat pengguna dalam
menggunakan Layanan QRIS
2. H2: Persepsi Kemudahan berpengaruh positif terhadap niat pengguna dalam menggunakan
Layanan QRIS
3. H1: Faktor Kepercayaan berpengaruh positif terhadap niat pengguna dalam menggunakan
Layanan QRIS

Hasil Penelitian dan Pembasan


Hasil Analisis Regresi Linear
Analisis regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh persepsi kebermanfaatan, persepsi
kemudahan, dan faktor kepercayaan terhadap niat pengguna dalam bertransaksi non – tunai dengan
menggunakan aplikasi QRIS. Pada penelitian ini, perhitungan regresi menggunakan program SPSS.
Tabel 1 berikut ini menjelaskan ringkasan output regresi pengaruh variabel persepsi kebermanfaatan,
persepsi kemudahan dan faktor kepercayaan terhadap niat pengguna dalam bertransaksi non – tunai
dengan menggunakan layanan QRIS. Data analisis ditampilkan pada tabel di bawah ini.

Table 1. Analisi output regresi linear


Unstandardized Standardized
t Sig.
Variabel Coefficients Coefficients
B Std. Error Beta B Std. Error
Persepsi Kebermanfaatan 0,619 0,226 0,145 2,741 0,007
Persepsi Kemudahan 0,375 0,103 0,241 3,621 0,000
Faktor kepercayaan 0,486 0,058 0,559 8,362 0,000
Uji R2 0,619

Analisi regresi tersebut menggambarkan bahwa koefisien regresi dari persepsi kebermanfaatan
adalah sebesar 0,619 dan bernilai positif, artinya semakin baik layanan QRIS dianggap bermanfaat
maka niat pengguna untuk menggunakan layanan QRIS akan semakin tinggi. Begitu juga dengan

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1175


koefisien regresi dari persepsi kemudahan adalah sebesar 0.375 dan bernilai positif, artinya semakin
baik layanan QRIS dianggap mudah maka niat pengguna untuk menggunakan akan semakin tinggi.
Hal yang sama pula pada koefisien regresi untuk faktor kepercayaan adalah sebesar 0,486 yang
artinya, semakin baik layanan QRIS dipercaya oleh penggunanya maka niat pengguna untuk
menggunakan layanan QRIS akan semakin tinggi pula.
Berdasarkan nilai koefisien tertinggi, dapat disimpulkan bahwa persepsi kebermanfaatan lebih
besar dalam mempengaruhi niat seseorang dalam menggunakan layanan QRIS.
Selanjutnya untuk koefisien determinasi ditunjukkan dengan nilai R2 yaitu sebesar 0,619 yang
memiliki arti bahwa pengaruh variabel persepsi kemanfaatan, persepsi kemudahan dan kepercayaan
terhadap niat pengguna dalam menggunakan layanan QRIS memberi nilai sebesar 0,619 yang dapat
diinterprestasikan bahwa variabel niat pengguna dapat dijelaskan oleh variabel persepsi kemanfaatan,
persepsi kemudahan dan kepercayaan sebesar 61,9 %. Sedangkan sisanya 38,1 % dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis pada penelitian ini dengan membandingkan nilai signifikansi dangan alpa (0,05).
Hasil pengujian hipotesis dapat diuraikan sebagai berikut:
H1: Persepsi kebermanfaatan berpengaruh positif terhadap niat pengguna dalam
menggunakan layanan QRIS

1176 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Berdasarkan Tabeldi atas menunjukkan bahwa nilai signifikansi (sig) persepsi kemudahan
senilai .007 < dari 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama yang
menyatakan persepsi kebermanfaatan dapat mempengaruhi niat pengguna dalam menggunakan
aplikasi QRIS adalah diterima. Artinya bahwa semakin banyak manfaat yang diberika oleh aplikasi
QRIS maka akan meningkatkan niat pengguna dalam bertransaksi non – tunai dengan menggunakan
aplikasi QRIS. Hasil penelitian menunjukkan persepsi kebermanfaatan berpengaruh signifikan
terhadap niat pengguna dalam melakukan transaksi non – tunai dengan menggunakan aplikasi QRIS.
Artinya bahwa, semakin mudah aplikasi QRIS digunakan maka akan meningkatkan niat pengguna
dalam menggunakan aplikasi tersebut dengan kata lain saat ini aplikasi QRIS sudah dapat
memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi non –tunai di Bengkulu. Hal ini menunjukkan
bahwa manfaat yang dirasakan oleh seorang pengguna layanan QRIS memiliki pengaruh dan dampak
positif dalam niat pengguna tersebut untuk menggunakan layanan di masa sekarang dan yang akan
datang. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Jogiyanto (2007) yang dimaksud manfaat
yang dirasakan atau Perceived Usefulness adalah sejauh mana seseorang percaya bahwa dengan
menggunakan suatu teknologi tertentu akan meningkatkan kinerja pekerjaannya.
Persepsi Kebermanfaatan (Usefulness Perceived) dalam teori Technology Acceptance Model (
TAM ) yang dikenalkan oleh Davis (1989), yang menyebutkan bahwa “the degree to which a person
believes that using a particular system would enhance his or her job performance”, jika dikaitkan
dalam penelitian ini maka akan memberikan satu simpulan bahwa manfaat yang dirasakan dapat
menstimulus seseorang dalam hal: dengan menggunakan teknologi pemindaian QR Code pada
layanan QRIS, dapat meningkatkan performa pembayaran non tunai secara lebih efektif, produktif
dan bermanfaat, yang pada akhirnya akan menimbulkan niat seseorang untuk menggunakannya.
Melakukan pemindaian satu kode dalam beberapa merk dagang dompet elektronik akan memberikan
manfaat bagi penggunanya karena dirasa mampu memangkas waktu dalam hal memilih dan
menyamakan kode dari setiap dompet elektronik yang berbeda. Persepsi kebermanfaatan dalam teori
TAM yang dikenalkan oleh Davis (1989) ini memiliki peran penting untuk menentukan niat sesorang
dalam penggunaan layanan QRIS ini sebagai bentuk dari penerimaan teknologi. Hal ini dikarenakan
dengan adanya persepsi yang dirasakannya baik secara langsung maupun tidak langsung
(mendengarkan cerita dari satu orang ke orang lainnya), akan memengaruhi niat seseorang untuk
menerima pembaharuan teknologi dalam hal metode pembayaran secara non-tunai melalui QRIS.
Sehingga persepsi kebermanfaatan dari penelitian ini berdasarkan teori TAM (Davis, 1989) yang
digunakan memberikan simpulan bahwa manfaat yang dirasakan akan menentukan niat sesorang
dalam penggunaan layanan QRIS.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1177


Penerapan kebermanfaatan yang dirasakan menurut teori TAM (Davis, 1989) terhadap niat
seseorang dalam menggunakan layanan QRIS ini mengacu kepada penerimaan penggunaan metode
pembayaran secara nirkabel yang telah mengalami perkembangan, dari tunai kemudian non tunai
berbasis kartu lalu berbasis server. Pada Tabel 4.6 menyebutkan bahwa penerimaan terhadap niat
penggunaan layanan QRIS berdasarkan kebermanfaatan yang dirasakan menyiratkan tingkat
penerimaan sangat tinggi dan dapat diartikan bahwa persepsi kebermanfaatan berdasarkan teori TAM
ini relevan terhadap niat seseorang saat menerima adanya manfaat dari teknologi pembayaran melalui
QRIS.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dewi dan Warmika
(2016) yang menyatakan bahwa persepsi manfaat (kegunaan) memiliki keterkaitan dengan niat
seseorang dalam menggunakan Mobile Commerce. Seperti, membantu kinerja, lebih efektif,
meningkatkan produktifitas dan sebagainya. Hal yang sama juga dilakukan Novindra dan Rasmini
(2017) yang membuktikan bagaimana pengguna teknologi dapat menggunakan dan menerima
teknologi dalam pekerjaannya berdasarkan teori TAM. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh
Hanif Astika Kurniawati, Wahyu Agus Winarno1 pada tahun 2017 mengenai analisis niat
penggunaan Mobile Banking dengan pendekatan teori TAM yang telah dimodifikasi, memberikan
simpulan bahwa persepsi kebermanfaatan dan kemudahan terbukti berpengaruh positif dan signifikan
terhadap niat seseorang untuk menggunakan mobile banking. Hal yang sama juga dilakukan oleh
Rian Maulana, Iskandar, Masrura Mailany pada tahun 2018 yang melakukan penelitian mengenai
pengaruh penggunaan mobile banking terhadap minat nasabah dalam bertransaksi menggunakan
TAM, memberikan simpulan hasil penelitian variabel persepsi kegunaan penggunaan berpengaruh
signifikan terhadap minat bertransaksi menggunakan Mobile Banking.

H2 : Persepsi kemudahan berpengaruh positif terhadap niat pengguna dalam menggunakan


layanan QRIS
Berdasarkan Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai signifikansi (sig) persepsi kemudahan
sebesar .000 < dari 0,005 yang memiliki arti bahwa hipotesis kedua yang menyatakan bahwa persepsi
kemudahan dapat mempengaruhi niat pengguna dalam menggunakan aplikasi QRIS adalah diterima.
Hal ini menunjukkan bahwa kemudahan yang diberikan oleh aplikasi QRIS dapat mendorong niat
pengguna dalam menggunakan layanan QRIS dalam bertransaksi non – tunai. Berdasarkan hasil
penelitian, menunjukkan bahwa persepsi kemudahan berpengaruh signifikan terhadap niat pengguna.
Artinya semakin mudah aplikasi QRIS digunakan maka niat pengguna dalam melakukan transaksi
non – tunai menggunakan aplikasi QRIS akan meningkat pula. QRIS hadir sebagai solusi dengan
banyaknya aplikasi pembayaran berbentuk dompet elektronik (e-wallet) seperti dana, ovo, link aja,

1178 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


dan lain – lain sehingga pengguna harus memiliki aplikasi yang sesuai dengan aplikasi yang dimiliki
oleh merchant/toko. Dengan adanya aplikasi QRIS, pengguna tidak perlu memiliki semua aplikasi
dompet elektronik, karena aplikasi QRIS memudahkan pengguna dengan hanya menggunakan satu
aplikasi dompet elektronik yang bisa diakses keseluruh pemindaian kode QRIS.
Teori TAM (Davis, 1989) melalui Persepsi kemudahan yang digunakan dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa sesorang akan mulai percaya mengenai sistem yang digunakan karena sistem
tersebut mudah dalam penggunaanya dan mudah untuk dipahami, sehingga tidak perlu
mengeluarkan usaha apapun (free of effort). Semakin tinggi kemudahan yang dirasakan dalam
penggunaan layanan QRIS maka semakin tinggi pula niat dalam menggunakan layanan tersebut.
Penggunaan pemindaian QR Code melalui layanan QRIS oleh penggunanya dianggap mudah
karena dalam satu QR Code dapat digunakan oleh beberapa digital payment yang tersedia. Selain
itu, pemindaian kode juga cukup jelas dan mudah dipahami, penggunaan layanan QRIS dianggap
mudah dipelajari sehingga tidak dibutuhkan usaha yang besar untuk mempelajari sistem pada
aplikasi mobile banking. Kemudahan penggunaan yang dirasakan tersebut mendorong keinginan
pengguna digital payment untuk terus menggunakan layanan QRIS dalam bertransaksi dan berniat
untuk tetap menggunakannya di masa mendatang.
Penerapan kemudahan yang dirasakan menurut teori TAM (Davis, 1989) terhadap niat
seseorang pada penelitian ini mengacu kepada tingkat penerimaan dari kemudahan yang dirasakan
pada teknologi pembayaran secara nirkabel melalui pemindaian kode QR yang telah mengalami
perkembangan, dari ketidakseragaman kode QR dari setiap PJSP Bank dan Non Bank menjadi kode
yang terstandarisasi bernama QRIS. Pada Tabel 4.7 menyebutkan bahwa penerimaan terhadap niat
penggunaan layanan QRIS berdasarkan kemudahan yang dirasakan menyiratkan tingkat penerimaan
sangat tinggi dan dapat diartikan bahwa persepsi kemudahan berdasarkan teori TAM ini relevan
terhadap niat seseorang saat menerima adanya kemudahan penggunaan dari teknologi pembayaran
melalui QRIS.
Beberapa studi terdahulu terhadap penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewi dan Warmika
(2016) yang menyatakan bahwa persepsi kemudahan penggunaan memiliki keterkaitan dengan niat
seseorang dalam menggunakan Mobile Commerce. Seperti, tidak menyulitkan pengguna, tahap
instalasi yang mudah, fleksibel, mudah dipelajari dan sebagainya. Hal yang sama dilakukan oleh
Hanif Astika Kurniawati, Wahyu Agus Winarno1 pada tahun 2017 mengenai analisis niat
penggunaan Mobile Banking dengan pendekatan teori TAM yang telah dimodifikasi, memberikan
simpulan bahwa persepsi kemudahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat seseorang
untuk menggunakan mobile banking.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1179


H3: Faktor kepercayaan berpengaruh positif terhadap niat pengguna dalam menggunakan
layanan QRIS
Berdasarkan Tabel di atas, nilai signifikansi (sig) faktor kepercayaan pada table diatas
memiliki nilai sebesar .000 < dari nilai probabilitas 0,05 yang memiliki arti bahwa hipotesis ketiga
yang menyatakan bahwa faktor kepercayaan berpengaruh positif terhadap niat pengguna dalam
menggunakan layanan QRIS adalah diterima. Berarti dengan adanya layanan QRIS dapat
meningkatkan rasa kepercayaan pengguna dalam bertransaksi secara non-tunai menggunakan
pembayaran digital / digital payment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kepercayaan
berpengaruh secara signifikan terhadap niat pengguna, artinya bahwa semakin tinggi rasa percaya
responden terhadap penggunaan aplikasi QRIS, maka akan meningkatkan niat pengguna dalam
bertransaksi non – tunai dengan menggunakan aplikasi QRIS. Kepercayaan disini merupakan
seberapa aman bertransaksi menggunakan aplikasi QRIS, dengan kata lain apabila aplikasi QRIS
dapat memberikan rasa aman dan yakin dari pengguna maka niat pengguna bertransaksi non – tunai
menggunakan aplikasi QRIS juga akan semakin meningkat.
Faktor kepercayaan ini memiliki keterkaitan dengan kedua perilaku dalam menggunakan
teknologi informasi yang mendasari pengembangan teori TAM (Davis, 1989). Hal ini didasari dari
adanya kebermanfaatan dan kemudahan yang dirasakan oleh pengguna, maka akan membentuk suatu
kepercayaan untuk pengambilan keputusan dalam menggunakan layanan dimaksud. Hasil pada
penelitian ini menyebutkan bahwa jika pengguna yakin untuk mempercayai transaksi dengan QRIS,
Ia akan menggunakannya, tetapi sebaliknya jika tidak percaya pasti tidak akan menggunakannya.
Hasil dari penelitian terhadap responden yang disajikan dalam deskripsi variabel penelitian
menunjukan bahwa penilaian reponden terhadap kepercayaan dengan niat menggunakan berada
dalam kategori baik. Responden yakin bahwa kepercayaan mampu meningkatkan niat dalam
menggunakan layanan QRIS sebagai alat transaksi. Hasil penelitian ini mendukung sejumlah
penelitian penelitian serupa terdahulu seperti yang dilakukan oleh Ida Ayu Agung Upadianti Jayantari
dan Ni Ketut Seminari (2018), yang melakukan penelitian terhadap faktor kepercayaan terhadap niat
menggunakan mandiri Mobile Banking di Kota Denpasar menungjukkan adanya pengaruh positif
dari faktor kepercayaan terhadap niat penggunaan. Hal yang sama dilakukan oleh Nurul Hidayat
(2018), yang melakukan penelitian terhadap faktor kepercayaan terhadap niat penggunaan layanan
Mobile Banking, dimana hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa faktor kepercayaan
mempengaruhi niat nasabah dalam menggunakan layanan mobile banking.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan adanya pengaruh antara kebermanfaatan dan
kemudahan yang dirasakan serta dorongan dari faktor kepercayaan terhadap niat pengguna dalam
menggunakan layanaan QRIS di Bengkulu. Sejalan dengan teori TAM (Davis, 1989) yang digunakan

1180 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


dalam instrument penelitian, bahwa layanan QRIS sebagai implementasi dari akseptasi sistem
pembayaran berbasis teknologi informasi dapat diterima oleh niat sesorang dalam menggunakan
teknologi sebagai bagian dari metode pembayaran secara non-tunai. Penggunaan model
pengembangan TAM oleh Davis (1989) yang digunakan dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa
adanya niat pengguna layanan QRIS sebagai pengembangan pembayaran ritel secara nirkabel melalui
pemindaian kode QR sebagai bentuk dari kemajuan teknologi informasi adalah bentuk dari
behavioral intention tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan, faktor yang mempengaruhi niat
seseorang dalam penggunaan teknologi informasi (dalam hal ini layanan QRIS), diantaranya adalah
perceived usefulness (kebermanfaatan yang dirasakan) dan faktor perceived ease of use (kemudahan
yang dirasakan), yang masing-masing memiliki relevancy pusat untuk mengestimasi sikap
penerimaan pengguna terhadap teknologi informasi. Kemudian selain kebermanfaatan dan
kemudahan yang dirasakan oleh pengguna layanan QRIS tersebut, Menurut Davis (1989) kedua
perilaku menggunakan Teknologi Informasi ini bila dikaitkan dengan teori TRA yang menjadi dasar
pada pengembangan teori TAM tersebut adalah bagian dari Belief (Kepercayaan). Sampai dengan
beberapa instrument pengujian yang digunakan, maka faktor kepercayaan pada penelitian ini juga
menunjukkan nilai signifikan terhadap niat pengguna dalam menggunakan transaksi QRIS.

Implikasi Strategis
Merujuk pada hasil penelitian ini dan beberapa penelitian serupa sebelumnya, implikasi
strategis dari adanya pengaruh positif dari ketiga variable yang digunakan dalam konstruk penelitian
ini terhadap niat seseorang dalam menggunakan layanan QRIS, secara tidak langsung dapat
berkontribusi terhadap Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI 2025) yang diusung oleh Bank
Indonesia (2019) dalam hal percepatan Sistem Pembayaran Ritel. QRIS diperlukan untuk
memperluas akseptasi pembayaran non-tunai nasional secara lebih efisien. Selain itu, tingkat
pembayaran tunai melalui uang tunai yang terkendala semisal pada uang tidak layak edar, uang lusuh,
bahkan uang palsu akan meminimalisir risiko pada ketidaklayakan uang tunai yang digunakan.
Melalui penggunaan satu standar QR Code, penyedia barang dan jasa (merchant) tidak perlu
memiliki berbagai jenis QR Code dari penerbit yang berbeda. Hal ini membantu para stakeholder
(penyedia jasa layanan) baik itu Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) Bank maupun non
Bank dan dalam hal pengguna tingkat akhir dalam bertransaksi tanpa harus memiliki banyak jasa
layanan pada aplikasi telepon genggam mereka. Sejalan dengan hal tersebut, dari sisi merchant
popularitas QR Code berasal dari lebih efisiennya biaya investasi infrastruktur dibandingkan dengan
kanal pembayaran lain, seperti EDC yang menggunakan alat tertentu dan kartu debit/kredit dalam
penggunaannya. Dengan karakteristik tersebut, QR Code membuka peluang yang lebih lebar bagi

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1181


efisiensi ekonomi serta inklusi ekonomi dan keuangan. BSPI 2025 akan menavigasi proses
tranformasi ekonomi Indonesia masa depan ke arah digital. Sistem Pembayaran yang lancar akan
menjadi basis bagi pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan stabilitas sistem keuangan.
Pengaruh positif yang dihasilkan pada penelitian ini terhadap kebermanfaatan dan kemudahan
yang dirasakan serta adanya faktor kepercayaan terhadap niat pengguna dalam menggunakan layanan
QRIS, secara tersirat sudah membantu kebijakan dari BSPI 2025 yang diinisiasikan oleh Bank
Indonesia pada tahun 2019. Dalam 5 (lima) tahun kedepan, percepatan digitalisasi sistem pembayaran
ritel yang semula hanya digunakan oleh beberapa kalangan, diprediksi akan semakin merambat ke
berbagai kalangan hingga pada akhirnya akan mendominasi seluruh pengguna yang perlahan beralih
menggunakan non-tunai untuk mempercapt inklusi keuangan di Indonesia. BSPI 2025 merupakan
solusi dari Bank Indonesia tentang bagaimana Sistem Pembayaran dapat berkontribusi nyata dalam
membentuk ekosistem digital yang sehat. Dengan BSPI 2025, arus digitalisasi yang tengah
berlangsung di Indonesia akan mampu memberikan manfaat optimal bagi seluruh rakyat Indonesia
secara merata dan sustainable, melalui proses inklusi ekonomi keuangan yang lebih baik dan lebih
luas. Hal yang sama juga akan dirasakan oleh PJSP Bank maupun non Bank dalam hal pengaruh
positif yang dirasakan nasabah mereka untuk menentukan niat dalam bertransaksi menggunakan
QRIS. Tingkat kebermanfaatan, kemudahan dan faktor kepecayaan yang telah dimiliki oleh nasabah
akan meningkatkan daya jual dan percepatan penghimpuanan serta pembayaran dari produk dan jasa
yang mereka tawarkan. Dalam hal ini, PJSP untung dan pengguna akan merasakan tingkat
penerimaan dari kemajuan teknologi sistem pambayaran non-tunai yang dirasakannya.
Melalui teori TAM (Davis, 1989) terhadap penerimaan teknologi informasi ini, jika dirancang
dan digunakan dengan benar oleh penggunanya, maka teknologi informasi akan membantu dalam
peningkatan output perekonomian. Peranan penerimaan teknologi informasi melalui kebermanfaatan
dan kemudahan yang dirasakan terhadap niat pengguna QRIS menjadi inovasi digital yang dapat
mengubah interaksi sosial ke arah demokratisasi ekonomi, meningkatkan efisiensi karena tambahan
kemampuan agen ekonomi dalam mengakses dan memanfaatkan informasi, serta memungkinkan
lahirnya model bisnis, industri, dan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Semua manfaat ini menjadi
kunci bagi terbukanya peluang inklusi ekonomi-keuangan Indonesia dan akan menjadi kunci bagi
keberhasilan rancangan ekonomi digital untuk Indonesia. Dalam konteks tersebut, Blueprint Sistem
Pembayaran Indonesia 2025 yang dirancang oleh Bank Indonesia (2019) dengan salah satu visinya
dalam akseptasi sistem pembayaran ritel hadir sebagai solusi bagi Indonesia dalam menatap masa
depan ke arah transformasi digital yang terukur dan terarah untuk pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan.

1182 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Penutup
Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat penggunaan teori TAM dalam implementasi teknologi
pada Sistem Pembayaran di Indonesia melalui pemindaian kode QR yang terstandar (QRIS). Teori
TAM yang dikembangkan oleh Davis et al, (1989) menyimpulkan bahwa variable persepsi
kebermnafaatan, kemudahan, dan faktor kepercayaan masing-masing memliki pengaruh secara
signifikan dan positif terhadap niat pengguna dalam menggunakan layanan QRIS di Bengkulu.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pembahasan dan kesimpulan yang
diperoleh, maka saran yang dapat diberikan sebagai berikut:
1. Penelitan ini hanya terbatas pada mahasiswa GenBI sebagai responden yang berjumlah 150
orang yang dirasa masih terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah pengguna layanan QRIS
yang berada di Bengkulu, atau bila dibandingkan dengan jumlah anggota GenBI di seluruh
Indonesia. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menambah jumlah sampel dan
memilih lokasi / tempat penelitian lain supaya jangkauan penelitian dapat lebih luas.
2. Dalam penelitian ini hanya meneliti 3 variabel yaitu persepsi kemanfaatan, persepsi
kemudahan dan faktor kepercayaan, sehingga tidak dapat mencakup dan mengetahui seluruh
variabel yang memengaruhi niat seseorang untuk menggunakan layanan QRIS. Penelitian
selanjutnya disarankan untuk menambah variabel lain yang kemungkinan memiliki pengaruh
terhadap niat pengguna dalam menggunakan layanan QRIS seperti persepsi risiko, inovasi
teknologi, daya tarik promosi dan lainnya.
3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pembuat kebijakan (Bank
Indonesia), untuk terus mensosialisasikan layanan QRIS melalui berbagai media dan
menjaring lebih banyak kalangan di masa sekarang dan yang akan datang. Hal ini
dimaksudkan agar kualitas sistem pembayaran dengan QRIS dapat terus berkembang dan
menjadi andalan terhadap niat seseorang dalam melakukan transaksi pembayaran secara non-
tunai. Dan pada akhirnya, tujuan akhir dari BSPI 2025 dalam hal sistem pembayaran ritel
akan terwujud melalui penerimaan terhadap penggunaan teknologi melalui teori TAM (Davis,
1989) yang tepat guna dan tepat sasaran.
4. Dari hasil analisis deskriptif, adanya kebermanfaatan dan kemudahan yang dirasakan dengan
didorong oleh faktor kepercayaan yang memiliki pengaruh positif terhadap niat seseorang
dalam menggunakan layanan QRIS, tentu menjadi peluang besar bagi stakeholder pendukung.
Dalam hal ini PJSP Bank maupun non Bank agar giat mempromosikan penggunaan kode

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1183


QRIS pada nasabah mereka yang memiliki usaha penjualan agar menjadikan QRIS sebagai
salah satu alternatif metode pembayaran yang dapat digunakan.

Referensi
Bank Indonesia. (2019). Blueprint sistem pembayaran Indonesia (BSPI) 2025, Bank Indonesia:
Menavigasi sistem pembayaran nasional di era digital. Jakarta: Bank Indonesia.
__________(2019). Kajian ekonomi dan keuangan regional Provinsi Bengkulu. Bengkulu: Bank
Indonesia.
_____________ (2019). Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.18. Jakarta: Bank Indonesia.
_____________ (2020). Laporan perekonomian Provinsi Bengkulu. Bengkulu: Bank Indonesia.
Davis, F.D. (1989). Perceived usefulness, perceived ease of ese, and user acceptance of information
technology. MIS Quarterly, 13(5), 319-339.
Fatmawati & Endang. (2015). Technology Acceptance Model (TAM) untuk menganalisis
penerimaan terhadap sistem informasi perpustakaan. Jurnal Iqra, 1(9), 1-13.
Jogiyanto. (2007). Sistem informasi manajemen. Yogyakarta: Andi.
Kotler, Philip & Armstrong, G. (2014). Principle of marketing. New Jersey: Pearson Pretice Hall.
Lai, P.C. (2017). The literature review of technology adoption models and theories for the Novelty
Technology. Journal of Information System and Technology Management, 14(1), 21-38.
Selvan, N., Thamarai, B., Arasu, S. & Sivagnanasundaram, M. (2011). Role of existing channels on
customer adoption of new channels: A case of ATM and internet banking. The Electronic
Journal on Information Systems in Developing Countries, 45(1), 1-15.
Warmika & Dewi, A. (2016). Peran persepsi kemudahan pengunaan, persepsi manfaat, dan persepsi
resiko terhadap niat menggunakan mobile commerce di Kota Denpasar. Jurnal Manajemen
Unud, 5(4), 2606-2636.

1184 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Penerapan Sistem Manajemen Kinerja Balanced Scorecard di P.T.
(Persero) UIWS2JB UP3 Bengkulu

Lukmi Agustiansyah1), Willy Abdillah2), Syaiful Anwar3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2),3)

Abstract. The purpose of this study is to explain the application of the performance management
system at P.T. PLN (Persero) UIWS2JB UP3 Bengkulu,to analyze the supporting factors and
inhibiting factors in achieving organizational performance values at P.T. PLN (Persero) WS2JB
UP3 Bengkulu. The research method used in this research is to use a qualitative analysis method
with a descriP.T.ive evaluative approach, namely the analysis of the data obtained to describe the
results of its processing include measuring the performance of each perspective. Data obtained by
the documentation method of the organizational performance of P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu
from 2015 to 2019 and interviews with informants (managers) related to organizational
performance. The results showed that organizational performance at P.T. PLN (Persero) uses a
balanced scorecard approach with 5 perspectives, namely customer focus perspective, process and
product effectiveness perspective, human resource perspective, financial and market perspective,
leadership perspective. Key Performance Indicators (KPIs) are tailored to corporate strategic
themes. Organizational performance has fluctuated performance from 2015 to 2019. In 2017 is the
lowest organizational performance achievement, this is due to the achievement of value from the
perspective of a customer focus is not good. Changes in the method of taking performance appraisal
data that caused KPIs in the SAIDI SAIFI index to not receive weight values. What can be done by
P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu to improve performance is to improve employee competency so
that they can keep up with company changes.

Keywords: Organizational performance, Balanced scorecard, Customer focus perspective, Process and
product effectiveness perspective, Human resource perspective, Financial and market
perspective, Leadership perspective

Pendahuluan

Tujuan didirikannya suatu perusahaan antara lain mencari keuntungan dan memaksimalkan
kesejahteraan pemegang saham. Semua tujuan perusahaan bisa tercapai jika manajemen perusahaan
bisa mengelola dan menjalankan kinerja perusahaan itu dengan sebaik-baiknya. Menurut Welas
(2012) dijelaskan bahwa semua organisasi baik organisasi sosial maupun organisasi yang
berorientasi laba akan berusaha mencapai rencana yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut
Kusmayadi (2009) manajemen sebagai pihak yang menerima wewenang penuh untuk mengelola
organisasi usaha (agent) dari pemilik (prinsipal) akan berupaya untuk membawa organisasi yang
dipimpinnya ke arah tujuan yang telah ditetapkan.
Penerapan sistem manajemen kinerja pada suatu perusahaan harus diterapkan sesuai dengan
kebutuhan dalam peningkatan kinerja perusahaan tersebut. Selain itu penggunaan manajemen

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1185


kinerja yang tepat akan dapat mempengaruhi perubahan terhadap perusahaan secara signifikan
seperti manajemen semakin memperbaiki kualitas pelayanan terhadap masyarakat, respon terhadap
masyarakat semakin cepat. Sistem manajemen kinerja bukan hanya sekedar suatu sistem yang
mudah untuk dilaksanakan. Kesuksesan dalam menerapkan sistem manajemen kinerja tergantung
pada kerja keras, tekad yang dan disiplin. Banyak organisasi yang sulit membuat komitmen yang
kuat dalam menerapkan sistem manajemen kinerja, sehingga yang terjadi adalah kegiatan yang
membuang-buang waktu, tenaga dan uang.
Oleh karena itu, sistem manajemen kinerja perlu didesain sebagai bagian terpadu sistem
manajemen strategik berbasis balanced scorecard. Pengelolaan perusahaan untuk memasuki
lingkungan bisnis yang bergolak dan kompetitif perlu dilakukan secara bersistem dengan balanced
scorecard sebagai intinya. Melalui sistem manajemen strategik berbasis balanced scorecard,
perusahaan akan mampu beroperasi sesuai dengan tuntutan lingkungan bisnis bergolak dan
kompetitif. Oleh karena itu, seluruh personel (manajer dan karyawan) perusahaan perlu diukur
kinerjanya, karena mengelola perusahaan melalui sistem manajem strategik berbasis balanced
scorecard. Dengan demikian, sistem pengelolaan kinerja semestinya didesain selaras dengan sistem
manajemen berbasis balanced scorecard (Mulyadi, 2007).
Definisi sederhana dari balanced scorecard adalah kartu skor yang digunakan untuk
mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan,
antara jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan faktor internal dan eksternal (Rangkuti,
2011). Balanced scorecard menawarkan suatu peta jalan yang sistematik dan komprehensif untuk
organisasi-organisasi mengikuti dalam menerjemahkan pernyataan visi dan misinya ke dalam
sekumpulan ukuran kinerja yang saling berkaitan. Ukuran-ukuran ini tidak digunakan untuk
mengendalikan perilaku, tetapi digunakan untuk mengartikulasikan strategi organisasi,
mengkomunikasikan strategi organisasi, dan membantu menyesuaikan inisiatif-inisiatif individu,
lintas departemen, organisasi, untuk mencapai tujuan bersama (Gaspersz, 2011:228).
Untuk saat ini perusahaan menggunakan balanced scorecard untuk mengkomunikasikan
rencana-rencana strategis kepada para manajer. Balanced scorecarddapat digunakan untuk
melakukan penilaian kinerja yang konsepnya berupa keseimbangan antara perspektif keuangan dan
perspektif non-keuangan. Balanced scorecard memberikan suatu kerangka kerja bagi pihak
manajemen untuk mengimplementasikan visi, misi, dan strategi perusahaan kedalam tujuan dan
ukurannya sebagai bagian dari strategi organisasi di masa datang (Rizky, 2015:2). Menurut Hansen
& Mowen (dikutip dalam Surya, 2014:281) balanced scorecard adalah sistem manajemen kinerja
terintegrasi yang menghubungkan berbagai tujuan dan ukuran kinerja dan strategi organisasi.

1186 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Balanced scorecard adalah sistem manajemen strategis yang mendefinisikan sistem akuntansi
pertanggungjawaban berdasarkan strategi.
P.T. PLN (Persero) Unit Pelaksana Pelayana Pelanggan (UP3) Bengkulu adalah perusahaan
nasional yang bergerak di bidang kelistrikan. P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu merupakan unit
dari P.T. PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Sumatra Selatan Jambi Bengkulu (UIWS2JB) pada
regional Sumatra yang berorientasi menyediakan tanaga listrik bagi setiap masyarakat sekitar
Provinsi Bengkulu. P.T. PLN (Persero)UP3 Bengkulu sebagaiamana tergambar pada laporan
kinerja harus dilihat secara luas dengan mengidentifikasi keberhasilan organisasi dalam memenuhi
kebutuhan listrik bagi masyarakat. Selain itu P.T. PLN (Persero)UP3 Bengkulu berupaya untuk
menerapkan sistem manajemen kinerja.
Pengukuran kinerja pada P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu menggunakan alat ukur kinerja
performa kinerja yang diadaP.T.asi dari balanced scorecard disebut Nilai Kinerja Organsasi
(NKO). Masing-masing perspektif terdapai indikator-indikator yang disebut dengan Key
Performance Indicators (KPI). Setiap keberhasilan sebuah KPI akan menambah nilai kinerja
organisasi, yang menindikasikan bahwa organisasi tersebut berhasil. KPI tersebut harus mencakup
seluruh visi, misi dan tujuan PLN, yang kemudian diterjemahkan dalam beberapa prespektif hingga
mempermudah pengukuran, dan penentuan target.
Dalam perspektif pelanggan, pertumbuhan pelanggan dan kehandalan menjadi indikator
utama yang dinilai oleh PLN UP3 Bengkulu. Pertumbuhan pelanggan setiap tahun bertambah 6-7%
dengan penambahan paling banyak terjadi pada pelanggan golongan tarif rumah tangga (R) rata-rata
daya listrik 900VA. Persentase jumlah golongan tarif terbesar berada pada golongan tarif Rumah
Tangga (R) sebesar 94% dari total pelanggan. Untuk pelanggan rumah tangga yang termasuk tarif
non subsidi pada tahun 2015-2016 sebesar 17,5% namun semenjak adanya program subsidi listrik
tepat sasaran untuk golongan tarif rumah tangga menyebabkan jumlah pelangggan Rumah Tangga
non subsidi menjadi sebesar 60%. Dengan berkurangnya jumlah pelanggan subsidi dapat menaikan
rupiah pendapatan perusahaan karena subsidi listrik pemerintah merupakan piutang P.T. PLN
(Persero).Disisi kehandalan, indikator pengukurannya menggunakan indeks SAIDI (lama padam
per pelanggan) dan SAIFI (jumlah kali padam per pelanggan). Pada tahun 2016 terjadi perubahan
yang dalam perhitungan indeks SAIDI SAIFI yaitu mulai mengimplementasikan aplikasi
pengaduan dan keluhan terpadu (APKT) dimana sebelumnya perhitungan dilakukan secara manual
menggunakan laporan dari setiap unit.
Kinerja perspektif efektifitas produk dan proses di P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu yang
menjadi indikator utama dalam pengukuran adalah susut distribusi. Setiap tahun kinerja susut
distribusi ditargetkan harus turun dari realisasi sebelumnya. Dengan menurunkan susut distribusi

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1187


maka dapat meningkatkan penjualan tenaga listrik dan rupiah pendapatan perusahaan karena
semakin turun energi yang terbuang. Kinerja susut distribusi P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu
setiap tahun terus menunjukan tren menurun dari tahun 2015 sebesar 11,11% dan pada tahun 2019
menjadi 9,24%.
Selanjutnya pada kinerja perspektif keuangan dan pasar yang menjadi indikator utama
adalah pengendalian piutang untuk percepatan cash in flow dalam pendapatan rupiah P.T. PLN
(Persero) UP3 Bengkulu.Pengendalian piutang diukur melalui rasio umur piutang dalam satuan
hari, namun pada tahun 2019 pengendalian piutang diukur menggunakan rasio tunggakan terhadap
saldo pendapatan penjualan tenaga listrik. Kinerja pengendalian piutang dari 2015 sampai tahun
2019 mengalami penurunan pencapaian realisasi terhadap target.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut:
 Bagaimana peneparan balanced scorecardpada pengukuran nilai kinerja organsisasi P.T.
PLN (Persero) UIWS2JB UP3 Bengkulu?
 Apa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pencapaian kinerja di P.T. PLN (Persero)
WS2JB UP3 Bengkulu?

Tinjauan Pustaka
Sistem Manajemen Kinerja
Gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema
strategis suatu organisasi (Bastian, 2001). Menurut Kusnadi (2003) menyatakan bahwa kinerja
adalah setiap gerakan, perbuatan, pelaksanaan, kegiatan atau tindakan yang diarahkan untuk
mencapaitujuan atau target tertentu.
Sedangkan menurut pendapat Amstrong (2004) manajemen kinerja adalah suatu proses yang
disusun untuk meningkatkan kinerja organisasi, kinerja tim dan individu. Hal ini dicapai dengan
cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar, persyaratan-
persyaratan atribut/kompetensi terencana yang telah di sepakati.

Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja atau mengukur hasil karya merupakan alat manajemen untuk menilai
keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan strategi untukmencapai tujuan sasaran organisasi.
Pengukuran kinerja perlu selaludiartikulasikan dengan visi, misi organisasi tujuan, maupun sasaran
organisasi. Pengukuran kinerja merupakan keharusan karena apabila kinerja tidak diukur, maka
tidak mudah membedakan antara keberhasilan dan kegagalan (Dally, 2010:35). Pengukuran kinerja

1188 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


berfungsi untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, progam, atau kegiatan. Pengukuran
kinerja diperlukan untuk menilai tingkat besarnya terjadinya penyimpangan antara kinerja aktual
dan kinerja yang diharapkan. Dengan mengetahui penyimpangan tersebut, dapat dilakukan upaya
perbaikan dan peningkatan kinerja (Rai, 2008:17).

Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja


Penilaian kinerja menurut Werther & Davis (1996) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat
bagi organisasi maupun bagi pegawai yang dinilai, yaitu:
1. Performance Improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil
tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2. Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa
saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3. Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4. Training and development needs. Mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan
bagi pegawai agar kinerja mereka lebih oP.T.imal.
5. Carrer planning and development. Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir
yang dapat dicapai.
6. Staffing process deficiencies. Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7. Informational inaccuracies and job-design errors. Membantu menjelaskan apa saja
kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama dibidang
informasi job-analysis, job-design dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8. Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9. External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal
seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya faktor ini tidak
terlalu kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini
akan kelihatan sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan
bantuan bagi peningkatan kinerja pegawai.
10. Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu
sendiri.

Pengertian Balanced Scorecard


Balanced scorecard terdiri dari dua kata (Kaplan & Norton, 1996) yaitu:

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1189


1. Scorecard. Berarti kartu yang digunakan untuk mencatat skor/nilai hasil kinerja seseorang
yang nantinya akan digunakan untuk membandingkan antara dengan hasil kinerja yang
sesungguhnya dengan apa yang diharapkan atau ditetapkan sebelumnya.
2. Balanced. Dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja personel atau karyawan diukur
secara seimbang , yang harus dilihat dari dua aspek yaitu: keuangan dan non keuangan,
jangka pendek dan jangka panjang, serta intern maupun ekstern.
Definisi sederhana dari balanced scorecard adalah kartu skor yang digunakan untuk
mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan,
antara jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan faktor internal dan eksternal (Rangkuti,
2011). Balanced scorecard merupakan kerangka kerja manajemen terintegrasi, mencakup semua
faktor yang mendefinisikan organisasi, proses-proses operasional, dan hasil-hasil kinerja yang jelas
dan terukur (Gaspersz, 2011).

Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard


Manajemen strategik berbasis balance scorecard adalah manajemen strategik yang
dilaksanakan secara bersistem yang menggunakan balanced scorecard dalam sistem perencanaan
strategik sebagai alat penerjemah visi, misi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar, dan strategik
organisasi (Mulyadi, 2005:45). Perusahaan atau organisasi menggunakan fokus pengukuran
balanced scorecard untuk menghasilkan proses manajemen penting, yaitu:
a) Menterjemahkan visi, misi dan strategi perusahaan. Untuk menentukan ukuran kinerja, visi
organisasi dijabarkan dalam tujuan dan sasaran. Visi adalah gambaran kondisi yang akan
diwujudkan oleh perusahaan di masa datang. Tujuan juga menjadi salah satu landasan bagi
perumusan strategi untuk mewujudkannya. Dalam proses perencanaan strategi, tujuan ini
kemudian dijabarkan dalam sasaran strategi dengan ukuran pencapaiannya.
b) Mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis balanced
scorecard. Dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan kepada tiap karyawan apa yang
dilakukan perusahaan untuk mencapai apa yang menjadi keinginan para pemegang saham
dan konsumen. Hal ini bertujuan untuk mencapai kinerja karyawan yang baik.
c) Merencanakan, menetapkan sasaran, menyelaraskan berbagai inisiatif rencana bisnis
memungkinkan organisasi mengintegrasikan antara rencana bisnis dan rencana keuangan
mereka. Balanced Scorecard sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya dan
mengatur mana yang lebih penting untuk diprioritaskan, akan menggerakkan kearah tujuan
jangka panjang perusahaan secara menyeluruh.

1190 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


d) Meningkatkan Umpan balik dan pembelajaran strategis. Proses keempat ini akan
memberikan strategis learning kepada perusahaan. Dengan Balanced Scorecard sebagai
pusat sistem perusahaan, maka perusahaan melakukan monitoring terhadap apa yang telah
dihasilkan perusahaan dalam jangka pendek.

Keunggulan Balanced Scorecard


Dalam perkembangannya balanced scorecard telah banyak membantu perusahaan untuk
sukses mencapai tujuannya. Balanced scorecard memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki
sistem strategi manajemen tradisional.Strategi manajemen tradisional hanya mengukur kinerja
organisasi dari sisi keuangan saja dan lebih menitik beratkan pengukuran pada hal-hal yang bersifat
tangible, namun perkembangan bisnis menuntut untuk mengubah pandangan bahwa hal-hal
intangible juga berperan dalam kemajuan organisasi.
Keunggulan utama sistem balanced scorecard dalam mendukung proses manajemen
strategis, antara lain (Rangkuti, 2011):
1. Memotivasi personel untuk berpikir dan bertindak strategis. Untuk meningkatkan kinerja
keuangan perusahaan, personel perlu menempuh langkah-langkah strategis dalam hal
pemodalan yang memerlukan langkah besar berjangka panjang.
2. Sistem balanced scorecard menuntut personel untuk mencari inisiatif-inisiatif strategis
dalam mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.
3. Menghasilkan program kerja yang menyeluruh. Sistem balanced scorecard merumuskan
sasaran strategis melalui keempat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis
internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran.
4. Menghasilkan rencana bisnis yang terintegrasi. Sistem balanced scorecard dapat
menghasilkan dua macam integrasi, yaitu: integrasi antara visi dan misi perusahaan dengan
program dan integrasi program dengan rencana meningkatkan profit bersih.

Perspektif dalam Balance Scorecard


Balance scorecard menurut Kaplan dan Norton (2000), secara umum terdiri dari empat
perspektif, yaitu keuangan (financial), pelanggan (customer), proses bisnis internal (internal
processes), serta pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth).
1. Perspektif keuangan
Keuangan merupakan sebagai fokus bagi tujuan-tujuan strategis danukuran-ukuran semua
perspektif dalam balanced scorecard. Setiap ukuran yang dipilihseyogianya menjadi bagian dari

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1191


suatu keterkaitan berdasarkan hubungansebab akibat yang memuncak pada peningkatan kinerja
keuangan.
Pada perusahaan profit oriented keuangan merupakan komponen yang sangat penting
dalampenyusunan balanced scorecard. Pada sektor publik, perspektif ini memastikan bahwa
hasilmaksimal didapatkan dengan cara yang sangat efisien.
2. Perspektif pelanggan
Suatu organisasi harus mengidentifikasi pelanggan yang dilayani agarpelayanan yang
diberikan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.Kekuatan kompetitif organisasi harus
diidentifikasi terlebih dahulu agar dapatdiketahui secara tepat. Hal tersebut berguna untuk lebih
memaksimalkanpelayanan yang diberikan.
Terdapat tiga kategori dalam perspektif pelanggan menurut Treacydan Wieserma (1995)
yaitu operational excellence, product leadership, dan customer intimacy. Menurut Niven (2002)
Operational excellence fokus padaharga yang kompetitif, product leadership fokus pada inovasi
dan penawaran produk yang terbaik untuk pasar, serta customer intimacy fokus pada penyediaan
solusi untuk pelanggan yang membutuhkan.
3. Perspektif Proses Bisnis Internal
Perspektif ini menampilkan proses kritis yang memungkinkan suatu unit usaha dalam
memberi value proposition yang bisa menarik serta mempertahankan pelanggannya pada segmen
pasar yang diinginkan. Secara umum terdapat tiga pedoman dasarnya yaitu :
a) Inovasi. Dalam proses inovasi ini, perusahaan berusaha mencari apa kebutuhan
konsumennya dan kemudian menciP.T.akan produk atau jasa yang dapat memenuhi
kebutuhan konsumennya tersebut. Identifikasi yang dilakukan adalah berapa besarnya
pangsa pasar, kebutuhan pelanggan, tingkat harga yang ditargetkan pada produk
tersebut
b) Proses operasi. Pada proses operasi yang dilakukan oleh masing-masing organisasi
bisnis, lebih menitikberatkan pada efisiensi, konsistensi dan ketepatan waktu dari
barang dan jasa yang diberikan kepada pelanggan.
c) Pelayanan purna jual. Tahap terakhir dalam pengukuran proses bisnis internal adalah
dilakukannya pengukuran terhadap pelayanan purna jual kepada pelanggan. Pengukuran
ini menjadi bagian yang cukup penting dalam proses bisnis internal karenapelayanan
purna jual ini akan berpengaruh terhadap tingkat kepuasanpelanggan.
4. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
Dalam perspektif ini perusahaan berusaha mengembangkan tujuan danukuran yang
mendorong pembelajaran dan pertumbuhan suatu perusahaan.Tujuan dari perspektif pembelajaran

1192 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


dan pertumbuhan adalah menyediakaninfrastruktur yang memungkinkan tujuan yang berkaitan
dengan ketiga perspektiflainnya dapat terwujud, sehingga pada akhirnya tujuan perusahaan dapat
tercapai.Pada intinya tujuan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah sebagaifaktor
pendorong dicapainya hasil kinerja yang memuaskan atas perspektifkeuangan, pelanggan
(customer), dan proses internal bisnis.

Interkoneksi atau hubungan antara Balanced Scorecard dengan Visi, Misi dan Sasaran
Strategis Perusahaan
Pentingnya penciP.T.aan model balanced scorecard yang mengkomunikasikan suatu
strategi bisnis unit dengan mengkorelasikan visi dan misi perusahaan serta sasaran strategis yang
akan dicapai. Adapun gambarannya adalah sebagai berikut (Kaplan & Norton, 1996, 2000) dan
Mackay (2004) :
a. Model balanced scorecard harus mampu dalam menjelaskan dan menerangkan visi masa
depan perusahaan. Oleh sebab itu, model balanced scorecard harus memberikan
pemahaman yang sama kepada seluruh elemen organisasi.
b. Balanced scorecard harus mampu menciP.T.akan model yang holistik dari sasaran strategis
sehingga memberikan gambaran pada para karyawan perusahaan tentang sejauh mana
kontribusi mereka terhadap keberhasilan perusahaan, tanpa adanya gambaran seperti itu,
para pekerja atau karyawan perusahaan akan lebih mementingkan kinerja departemen yang
menjadi tanggung jawab mereka, efeknya adalah kegagalan dalam mewujudkan tujuan
strategis perusahaan.
c. Model balanced scorecard lebih fokus kepada upaya perubahan strategi menyeluruh
perusahaan, seandainya tujuan dan ukuran strategtis sudah diidentifikasikan dan ditentukan,
kemungkinan tujuan strategis akan mudah dilaksanakan. Sebaliknya, jika model balanced
scorecard tidak mampu mengidentifikasikan tujuan strategis, maka investasi yang telah di
lakukan serta inisiatif yang telah dibuat akan menjadi sia-sia.
Namun demikian, menyusun balance scorecard bukanlah hal yang mudah, banyak
organisasi gagal membuat balanced scorecard. Sama halnya dengan masalah klasik strategi yang
terletak pada aspek implementasi strategi, maka kegagalan balanced scorecard juga banyak terjadi
karena implementasinya.
Menurut Niven (2002) dan Gaspersz (2011), hambatan-hambatan yang sering terjadi dalam
penerapan strategi antara lain:
1. Visi. Tidak banyak orang dalam suatu organisasi yang mengerti strategi organisasinya.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1193


2. Manusia. Insentif dalam jangka pendek dapat meningkatkan fokus organisasi. Insentif
juga memiliki sisi buruk, terutama apabila dalam bentuk finansial, yaitu manajer sering
kali mengorbankan pertumbuhan jangka panjang organisasi untuk meraih tujuan jangka
pendek yang berkaitan dengan insentif yang didapat.
3. Manajemen. Manajemen yang baik seharusnya membina komunikasi yang baik dengan
karyawan, sehingga dapat dipastikan terjadi komunikasi dua arah sehingga bermanfaat
untuk kedua belah pihak. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, komunikasi dua
arah tersebut jarang terjadi. Manajemen jarang mengadakan pertemuan untuk membahas
strategi dengan para karyawan, sehingga tidak ada umpan balik dari karyawan terhadap
strategi organisasi.
4. Sumber daya. Organisasi sering kali tidak mengaitkan anggaran dengan strategi. Selain
itu,waktu, energi, dan uang tidak dialokasikan pada hal-hal yang kritis. Bagibeberapa
organisasi, anggaran disusun berdasarkan anggaran tahun sebelumnya ditambah
kenaikan akibat faktor tertentu. Hal tersebut sangat mengganggu pelaksanaan strategi di
dalam organisasi.

Kerangka Analisis

Dalam penelitian ini dapat disusun kerangka pemikiran dari penilaian kinerja organisasi

dengan penerapan model balanced scorecarddi P.T. PLN (Persero) UIWS2JB UP3 Bengkulu

sebagai berikut:

1194 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Visi dan
Misi PT
PLN
(Persero)
BSC sebagai alat
untuk mengukur
kinerja perusahaan

Indikator
pengukuran yang
digunakan

Perspektif Perspektif Perspektif Perspektif Perspektif


Fokus Produk dan Fokus Keuangan Kepemimp
Pelanggan proses Tenaga dan Pasar inan
Kerja

Indikator KPI Indikator KPI Indikator KPI Indikator KPI Indikator KPI
Perspektif Perspektif Perspektif Perspektif Perspektif
Fokus Produk dan Fokus Tenaga Keuangan dan Kepemimpinan
Pelanggan Proses Kerja Pasar

Kinerja
Organisasi
Perusahaan

Gambar 1. Kerangka pemikiran model Balanced Scorecard di PT PLN (Persero) UP3 Bengkulu

Metode Analisis
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah menggunakan metode
analisis deskritif yaitu analisis yang datanya dapat dihitung untuk menghasilkan penafsiran
kuantitatif yang meliputi pengukuran kinerja masing-masing perspektif. Setelah pengolahan data,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan kegiatan analisis demi mendapatkan kesimpulan dari
permasalahan yang ada.
Dalam penelitian ini terdapat lima prerspektif adalah perspektif Keuangan dan Pasar,
Perspektif Pelanggan, Perspektif Efektifitas Produk dan Proses, Perspektif SDM, serta Perspektif
Kepemimpinan. Masing-masing perspektif diukur berdasarkan Lampiran 1 hal. 1-69 Edaran Direksi
No 0001.E/DIR/2019 sesuai dengan pengukuran masing-masing indikator.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1195


Perspektif Pelanggan
Perspektif Pelanggan yang diterapkan oleh manajemen P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu
sebagai key performance indicator dalam penilaian kinerja organisasi
a) Penambahan jumlah Pelanggan Rumah
Penambahan jumlah pelanggan rumah tangga merupakan jumlah pelanggan golongan tarif
rumah tangga yang baru berlangganan dalam suatu periode.
= 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 ( 𝑁 − 1) − 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 .................. (3.1)
b) Kehandalan Jaringan
Dalam perspektif pelanggan terdapat kehandalan jaringan yang mana terdiri dari Kehandalan
JaringanSystem Average InteruP.T.ion Duration Index (SAIDI) dan System Average InterP.T.ion
InteruP.T.ion Frequency Index (SAIFI). Perhitungan SAIDI dan SAIFI mencakup seluruh
pemadaman di sisi pembangkit, transmisi dan distribusi, baik Pemadaman karena Gangguan
maupun karena Pemadaman Terencana. Dalam hal perhitungan lama padam dan atau kali padam
adalah tidak sama ketika dikonfirmasi dengan aplikasi lain yang terkait, maka yang diambil sebagai
penilaian kinerja adalah jumlah terbesar.
System Average InteruP.T.ion Duration Index (SAIDI) adalahRata-rata lama padam per
pelanggan dalam suatu periode tertentu.
∑𝑛
1=1[𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑚 𝑥 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑚]
= ................................................ (3.2)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒

Kehandalan Jaringan - System Average InteruP.T.ion Frequency Index (SAIFI) adalahrata-


rata kali padam per pelanggan dalam suatu periode tertentu.
∑𝑛
𝑖=1[𝐾𝑎𝑙𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑚 𝑥 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑚]
....................................................... (3.3)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒

Perspektif Efektifitas Produk dan Proses


Mengoperasikan proses bisnis dalam rangka menghasilkan produk dan jasa yang memiliki
nilai bagi pelanggan, organisasi memerlukan personil yang produktif dan berkomitmen (Sunarto,
2007:191)
a) Susut Distribusi
Persentase energi listrik yang hilang pada jaringan terhadap kwh siap salur dalamsatu
periode.
𝑘𝑊𝐻 𝑠𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟−𝑘𝑤ℎ 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑘𝑎𝑖𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖−𝑘𝑤ℎ 𝑗𝑢𝑎𝑙
= 𝑥 100% .............. (3.4)
𝑘𝑊𝐻 𝑠𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟
Keterangan:

1196 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


a. kwh siap salur adalah kwh yang diterima dari sistem pembangkitan (Produksi total netto)
sistem transmisi maupun diterima dari unit lain.
b. PS merupakan kwh Pemakaian Sendiri Gardu lnduk dan sistem Distribusi
c. kwh jual merupakan kwh penjualan real yaitu energi yang terjual kepada pelanggan tanpa
tambahan kwh yang timbul akibat perhilungan rekening minimum pelanggan.
b) Jumlah Gangguan Penyulang
Gangguan Penyulang adalah Jumlah gangguan penyulang setiap 100 kms penyulang yang
menyebabkan pemadaman, baik gangguan permanen maupun temporer pada suatu periode.Formula
:
= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑢𝑟𝑢𝑛𝑔 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 1 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 .................... (3.5)
c) Rasio Kerusakan Trafo Distribusi
Rasio Kerusakan Trafo Distribusi adalah Rasio jumlah trafo yang rusak terhadap jumlah
trafo beroperasi pada suatu periode.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑡𝑟𝑎𝑓𝑜 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘
= × 100%................................................... (3.6)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑡𝑟𝑎𝑓𝑜 𝑏𝑒𝑟𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖

Keterangan :
a. Perhitungan jumlah unit trafo yang rusak didasarkan pada jumlah unit trafo beroperasi
yang mengalami kerusakan/gangguan yang mengakibatkan pemadaman.
b. Jumlah unit trafo beroperasi merupakan jumlah unit trafo milik PLN yang beroperasi
sampai dengan periode berjalan.

Perspektif SDM
Perspektif keempat dalam Balanced Scorecard adalah mengembangkan tujuan dan ukuran-
ukuran yang mengendalikan pembelajaran dan pertumbuhan organisasi. Tujuan dalam perspektif ini
adalah pengendali untuk mencapai keunggulan keluaran dari perspektif lainnya (Gaspersz,
2011:73).
a) Human Capital Readines (HCR)
Pengukuran aspek perspektif SDM dengan tingkat kesiapan/ ketersediaan kompetensi
perusahaan dari pegawai dalam mengeksekusi pekerjaan (pegawai pada bisnis inti dan pegawai
penunjang) yang diukur dari assessment terhadap Maturity Level Human Capital Readiness (HCR)
pada periode tertentu.
= 𝑀𝑎𝑡𝑢𝑟𝑖𝑡𝑦 𝐿𝑒𝑣𝑒𝑙 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑠𝑠𝑚𝑒𝑛𝑡 𝐻𝐶𝑅 𝑠𝑘𝑎𝑙𝑎 1 − 5 .............................................. (3.7)

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1197


b) Organization Capital Reasiness (OCR)
Organization Capital Reasiness (OCR) adalah tingkat kesiapan organisasi dalam
mengintegrasikan dan menyelaraskan faktor yang mendorong perbaikan dan pembelajaran
berkelanjutan meliputi aspek kepemimpinan, alignment terhadap Maturity Level Organization
Capital Readiness (OCR) pada periode tertentu.
= 𝑀𝑎𝑡𝑢𝑟𝑖𝑡𝑦 𝐿𝑒𝑣𝑒𝑙 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑠𝑠𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑂𝐶𝑅 𝑠𝑘𝑎𝑙𝑎 1 − 5 ................................ (3.8)
c) Produktivitas Pegawai
Produktivitas Pegawai adalah ukuran produktifitas pegawai yang diukur dari jumlah kWh
yang terjual dibandingkan dengan jumlah pegawai pada periode berjalan.
𝐾𝑊ℎ 𝐽𝑢𝑎𝑙
= .................................................................................................. (3.9)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑔𝑎𝑤𝑎𝑖

Perspektif Keuangan dan Pasar


Membangun suatu balanced scorecard harus mengaitkan unit-unit bisnis kepada tujuan
keuangan yang berkaitan dengan strategi perusahaan.Tujuan keuangan berperan sebagai fokus
untuk tujuan-tujuan strategik dan ukuran-ukuran dalam semua perspektif yang laindari balanced
scorecard (Gaspersz, 2011:39).
a) BPP (Biaya Pokok Penyediaan)
Pengukuran perspektif keuangan dan pasar dapat dilakukan dengan pengukuran BPP (Biaya
Pokok Penyediaan) adalah Total biaya yang diperlukan untuk membangkitkan tiap kWh energi
listrik / menyalurkan tiap kVA/ menjual tiap kWh energi listrik
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖+𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑝𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚𝑎𝑛
= ........................................ (3.10)
(𝑘𝑊𝐻 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑁𝑒𝑡𝑡𝑜/𝑘𝑊𝐻 𝑆𝑎𝑙𝑢𝑟/𝑘𝑊𝐻 𝑗𝑢𝑎𝑙)

b) Perputaran material Non bahan bakar


Rata-rata pemanfaatan material terhadap saldo material yang tersedia pada suatuperiode
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑘𝑎𝑖𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙
= .................................................................. (3.11)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙

Keterangan:
a. Jumlah pemakaian material mengacu pada besarnya Pemakaian Material untuk
Pemeliharaan ditambah Pemakaian material sesuai SE 011.E/DIR/2007
b. Perhitungan rata-rata merupakan rata-rata nilai saldo material dalam suatu periode
berjalan, yaitu : (Saldo Material Desember tahun lalu + Saldo Material Bulan pelaporan)/2.
c) Pengendalian Piutang

1198 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Pengendalian Piutang – Penekanan Umur Piutang adalah Lama waktu rata-rata penagihan
dan pelunasan piutang listrik.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑠ℎ 𝑠𝑎𝑙𝑑𝑜 𝑝𝑖𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 (𝑙𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑃𝐴𝐿+𝑇𝑎𝑔𝑠𝑢𝑠)
= 𝑥 100% ..................... (3.12)
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝐿𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖𝑘

Keterangan :
a. Piutang Aliran Listrik (PAL) dan Tagihan Susulan (Tagsus)mengacu pada TUL IV-04.
b. Pendapatan Penjualan Tenaga Listrik mengacu pada TUL III-09

Perspektif Kepemimpinan
Perspektif kepemimpinan merupakan pendukung dalam kunci indikator kinerja di P.T. PLN
(Persero).
a) Implementasi K2 (Keselamatan Ketenagalistrikan)
Implementasi K2 Keselamatan Ketenagalistrikan merupakan lmplementasi Zero Accident
pada perusahaan yang diukur dari jumlah kecelakaan kerja yang mengakibatkan pekerja
(Pegawai dan OS) meninggal dunia diluar Force Majeur yang merupakan angka konsolidasi
dari kejadian kecelakaan di Unit maupun di Anak Perusahaan.
= 𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑠𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟𝑖𝑡𝑦 𝑖𝑚𝑝𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑖 𝐾2 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑇𝑖𝑚 𝐾2 𝑃𝐿𝑁 ................ (3.13)

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Penilaian Kinerja Organisasi P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu
Pengukuran kinerja organisasi di P.T. PLN (Persero) menggunakan pendakatan Balanced
Scorecard yang tidak hanya fokus pada perspektif keuangan saja, namun juga pada perspektif non
keuangan. Terdapat 5 persektif pengukuran kinerja yaitu perspektif fokus pelanggan, perspektif
efektifitas produk dan proses, perspektif fokus tenaga kerja, perspektif keuangan dan pasar serta
perspektif kepemimpinan. Masing-masing perspektif terdapat indikator KPI yang mempunyai nilai
bobot berbeda-beda dan ditentukan berdasarkan tema strategi perusahaan.

Tabel 2. Nilai Kinerja Organisasi P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu

P.T. PLN (Persero) UP3 BENGKULU


N
PERSPEKTIF
2015 2016 2017 2018 2019
o

Bobot Nilai % Bobot Nilai % Bobot Nilai % Bobot Nilai % Bobot Nilai %

Perspektif
21,0 96 15,2 95 18,7 20,1
I Fokus 22,00
6 %
16,00
4 %
16,00 6,46 40% 19,00
4
99% 21,00
7
96%
Pelanggan
Perspektif
Efektifitas 27,3 88 29,0 97 26,3 20,6 22,2
II 31,00 30,00 30,00 88% 24,00 86% 24,00 93%
Produk dan 3 % 9 % 1 7 2
Proses

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1199


Perspektif
II 12,8 98 12,6 97 10,0 100 100
I Fokus 13,00
0 %
13,00
4 %
9,00 7,60 84% 10,00
0 %
9,00 9,00
%
Tenaga Kerja
Perspektif
I 18,5 84 25,3 88 24,7 29,0 26,7
V Keuangan 22,00
3 %
29,00
8 %
33,00
7
75% 36,00
2
81% 30,00
9
89%
dan Pasar
Perspektif
11,1 93 11,0 92 12,0 100 11,0 100 14,9
V Kepemimpin 12,00
2 %
12,00
4 %
12,00
0 %
11,00
0 %
16,00
9
94%
an
100,0 90,8 91 100,0 93,3 93 100,0 77,1 100,0 89,4 100,0 93,1
Total Bobot NKO 0 4 % 0 9 % 0 5
77%
0 4
89%
0 8
93%

Sumber : data kinerja P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu

Penilaian perspektif fokus pelanggan P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu pada tahun 2015,
2016, 2018 dan 2019 sangat baik dengan pencapaian bobot nilai >90% realisasi terhadap target,
sedangkan pada tahun 2017 kurang baik dengan hanya pencapaian bobot nilai 6,46 dari total bobot
16 atau hanya mencapai realiasasi 40% terhadap target.

Gambar 1. Grafik kinerja perspektif fokus pelanggan


Penilaian perspektif efektifitas produk dan proses P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu pada
tahun 2016 dan 2019 sangat baik dengan perolehan bobot nilai >90% realisasi terhadap target,
sedangkan pada tahun 2015, 2017 dan 2018 cukup baik dengan perolehan bobot nilai ≥80%
hingga<90% realisasi terhadap target.

Gambar 2 Grafik kinerja perspektif efektifitas proses dan produk

1200 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Penilaian perspektif fokus tenaga kerja P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu pada tahun 2015,
2016, 2018 dan 2019 baik dengan peroleah bobot nilai >90% realisasi terhadap target, sedangkan
pada tahun 2017 hati-hati dengan perolehan bobot nilai >80% bobot nilai <90% realisasi terhadap
target.

Gambar 3 Grafik kinerja perspektif fokus tenaga kerja


Penilaian perspektif keuangan dan pasar P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu pada tahun
2015, 2016, 2018 dan 2019 cukup baik dengan perolehan bobot nilai >80% bobot nilai <90%
realisasi terhadap target, sedangkan pada tahun 2017 kurang baik dengan perolehan bobot nilai
>70% bobot nilai <80% realisasi terhadap target.

Gambar 4. Grafik kinerja perspektif keuangan dan pasar


Penilaian perspektif kepemimpinan P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu pada tahun 2015,
2016, 2017, 2018 dan 2019 baik dengan peroleah bobot nilai >90% realisasi terhadap target.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1201


Gambar 5. Grafik kinerja perspektif kepemimpinan
Pengukuran kinerja organisasi di P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu menggunakan prinsip-
prinsip dari balanced scorecard mulai dari penjabaran visi misi perusahaan, kemuadian akan
ditentukan tema strategi korporat yang dijabarkan kedalam indikator-indikator yang dikelompokan
berdasarkan perspektif balanced scorecard.

Gambar 6. Grafik nilai kinerja organisasi


Berdasarkan dari analisa pengukuran kinerja organisasi di P.T. PLN (Persero) UP3
Bengkulu dari tahun 2015-2019 mengalami fluktuasi pencapaian kinerja. Masih ada beberapa target
indikator KPI yang belum dicapai secara maksimal, untuk mendapatkan faktor-faktor yang
mendukung dan menghambat dari pencapaian target kinerja maka dilakukan wawancara dengan
manajer-manajer yang ada di P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu.
Pengukuran kinerja organisasi di P.T. PLN (Persero) tidak hanya fokus pada satu perspektif
keuangan saja, tetapi juga mengukur empat perspektif dan satu perspektif pendukung. Perspektif
yang diukur dalam penilaian kinerja organisasi yaitu perspektif fokus pelanggan, perspektif
efektifitas produk dan proses, perspektif fokus tenaga kerja, perspektif keuangan dan pasar serta
perspektif kepemimpinan. Hal ini sesuai dengan konsep dari Balanced Scorecard menurut Kaplan

1202 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


& Norton (2000) yang secara umum terdiri dari 4 perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Strategi adalah suatu pernyataan tentang apa yang harus dilakukan oleh organisasi untuk
bertindak dari satu titik referensi ke titik referensi lain. Strategi merupakan sekumpulan tindakan
terintegrasi yang konsisten dengan visi jangka panjang organisasi yang memberikan pencapaian
keunggulan hasil yang berkelanjutan. Strategi biasanya dikembangkan pada tingkat atas organisasi,
tetapi dilaksanakan oleh tingkat bawah organisasi (Gaspersz, 2005:19). Balanced Scorecard
menerjemahkan visi, misi dan strategi perusahaan ke dalam berbagai sudat pandang dan ukuran
yang tersusun kedalam empat perspektif.
Berdasarkan data-data yang diperoleh serta analisis data, dapat dibuat peta penerapan
balanced scorecard pada P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu seperti berikut:

Gambar 7. Penerapan Balanced Scorecard

Dalam menerjemahkan visi dan misi jangka panjang perusahaan yakni "Diakui sebagai
Perusahaan Kelas Dunia yang Bertumbuh kembang, Unggul dan Terpercaya dengan bertumpu pada
Potensi Insani" P.T. PLN (Persero) menjadi tema strategis yang akan menjadi target jangka pendek

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1203


dalam 1 tahun. Kemudian tema strategis korporat tersebut dijabarkan menjadi sasaran indikator-
indikator yang dikelompokan menjadi empat perspektif utama dan satu perspektif pendukung.Inilah
yang menjadi tolak ukur penilaian kinerja organisasi di P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu.
Dengan pengukuran kinerja Organization Capital Reasiness (OCR), perusahaan akan
menyiapkan dan merencanakan (01) kesiapan kompetensi SDM dan (02) material yang diperlukan
guna mencapai semua target kinerja yang diberikan. Dengan kesiapan kompetensi SDM (03) dalam
memahami dan mengeksekusi pekerjaan akan meningkatkan produktifitas pegawai.Hal ini tentu
sejalan dengan visi perusahaan yang ingin menjadi perusahaan kelas dunia yang bertumpu pada
potensi insani dari pegawai-pegawai yang bekerja di P.T. PLN (Persero).
Kompetensi pegawai yang meningkat dalam memahami dan mengeksekusi (04) penurunan
gangguan penyulang, (05) penurunan rasio kerusakan trafo, (06) penurunan susut distribusi dan (07)
marketing penambahan pelanggan akan sangat berdampak terhadap kinerja di perspektif efektifitas
produk dan proses serta perspektif fokus pelanggan. Dengan memperbaiki kinerja gangguan
penyulang dan rasio kerusakan trafo distribusi maka sangat mempengaruhi kinerja di perspektif
fokus pelanggan yaitu kehandalan indeks (08, 10) SAIDI dan (09, 11) SAIFI. Perbaikan kinerja
indeks SAIDI SAIFI akan meningkatkan kepercayaan dan loyalitas pelanggan kepada perusahaan.
Ini sejalan dengan visi perusahaan yang ingin menjadi perusahaan kelas dunia yang Unggul dan
terpercaya.
Pada perspektif fokus pelanggan, peningkatan kinerja kehandalan indeks SAIDI SAIFI
sehingga pelanggan tidak padam akan meningkatkan loyalitas pelanggan sehingga secara tidak
langsung pelanggan akan lebih loyal dalam membayar rekning listrik (12, 13). Dengan begitu
percepatan cash inpendapatan rupiah dari penjualan listrik akan semakin lancar dan memperbaiki
keuangan perusahaan.
Penambahan pelanggan (15) tentu akan meningkatkan pendapatan rupiah dan dapat
menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) energi listrik. Selain penambahan jumlah pelanggan,
dengan semakin efisiennya penyaluran energi listrik atau susut distribusi (15) maka energi yang
tidak tersalur akan semakin kecil. Hal ini tentu akan memperkecil biaya operasional yang tidak
diperlukan dan menurunkan BPP. Perputaran material/ITO (16) yang semakin cepat menandakan
semua pekerjaan berjalan atau dikerjakan secara maksimal oleh pegawai. Dengan rata-rata saldo
material yang semakin kecil maka anggaran yang mengendap/tidak terserap semakin kecil sehingga
akan memperkecil BPP energi listrik.
Biaya pokok penyediaan (BPP) energi listrik yang semakin rendah akan menjadikan
keuntungan/laba perusahaan akan semakin besar. Dengan demikian implementasi KPI balanced
scorecard yang diterapkan P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu sesuai dengan visi perusahaan yang

1204 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


ingin diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, unggul dan terpercaya
dengan bertumpu pada potensi insani.

Pendukung dan hambatan Balanced Scorecard di P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu
Berdasarkan hasil perhitungan balanced scorecard maka diperoleh adalah kinerja organisasi
pada P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu fluktuasi pencapaian dimana pada tahun 2015 hingga 2016
meningkat namun pada tahun 2017 menurun dan meningkat kembali di tahun 2018 dan 2019. Agar
perusahaan dapat meningkatkan kinerjanya maka perusahaan harus mampu mengoP.T.imalkan
pencapaian pengendalian piutang dan penurunan gangguan penyulang setiap tahunnya. Sehingga
terjadi peningkatan kinerja perspektif keuangan dan pasar serta perspektif efektitifas produk dan
proses sehingga dapat meningkatkan kinerja keseluruhannya.
Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Sri Wahyuni (2017) yang
membuktikan bahwa analisis balanced sorecard merupakan pengukuran yang sangat tepat dalam
menilai kinerja perusahaan karena sudah mencakup keseluruhan kinerja masing-masing bagian.
Penelitian kinerja menggunakan balanced scorecard dengan objek pada P.T. Semen Tonasa
Pangkep yang memperlihatkan hasil dalam perspektif keuangan terdapat penurunan return on
equity (ROE) namun terjadi fluktuasi kinerja pada return on investment (ROI), cash ratio, total
assets turn over (TATO). Dalam perspektif pelanggan terjadi fluktuasi pencapaian kinerja pada
cutomer retention, number of complain (jumlah keluhan), customer acquisitionnamunpada indeks
kepuasan pelanggan menunjukan pencapaian yang baik. Dalam perspektif proses bisnis internal
pada indikator supplier lead time tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun namun pada
number of transaction terjadi fluktuasi penilaian.Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
terjadi fluktuasi penilaian kinerja pada employee training, absenteeism, produktifitas namun pada
indeks kepuasan karyawan berada pada kategori cukup puas.Begitu juga hasil penelitian Maya Sari
(2015) yang membuktikan bahwa analisis balanced sorecard dapat meningkatkan kinerja
perusahaan disebabkan adanya sistem pengukuran yang tepat dari masing-masing perspektif
sehingga dapat diambil langkah perbaikan maupun peningkatan.
Menurut Hendricks et.all (dikutip dalam Widilestari, 2011) unsur-unsur keberhasilan
balanced scorecard antara lain: memahami konsep balanced scorecard yang merupakan terjemahan
strategis perusahaan, dukungan pemimpin, visi yang jelas, menerapkan balanced scorecard
keseluruh tingkat organisasi, komunikasi perencanaan dan anggaran serta perluasan balanced
scorecard termasuk cara kerja.
Dukungan manajemen dalam melakukan evaluasi kinerja secara periodik triwulan akan
mempengaruhi pencapaian kinerja keseluruhan. Dengan adanya evaluasi periodik, manajemen

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1205


dapat memberikan ide dan solusi terbaik untuk unit dan bagian yang belum maksimal. Hal ini
sejalan dengan penelitian Widilestari terhadap unsur-unsur keberhasilan balanced scorecard.
Jumlah aset jaringan yang menjangkau hampir seluruh daerah dan kecukupan kapasitas daya
listrik akan sangat membantu P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu dalam pencapaian kinerja
perspektif fokus pelanggan pada penambahan jumlah pelanggan. Selain itu di provinsi Bengkulu
masih banyak industri-industri yang menggunakan pembangkit tenaga listrik sendiri dapat menjadi
peluang akusisi pemakain tenaga listriknya dengan agressive marketing sehingga mau menjadi
pelanggan PLN.
Inovasi teknologi yang terus berkembang dari pegawai-pegawai PLN dalam usaha
peningkatan kehandalan dan efektifitas penyaluran menjadi unsur pendukung tercapaianya kinerja
perspektif efektifitas produk dan proses. Tahun 2019 tim teknik ULP Nusa Indah berhasil membuat
inovasi alat penangkal tupai sehingga dapat menurunkan gangguan penyulang sehingga pencapaian
kinerja efektifitas produk dan proses meningkat dari tahun sebelumnya.
Pada perspektif fokus tenaga kerja, ketersediaanya unit diklat akan menjadi unsur penting
dan efektif dalam meningkatkan kompetensi pegawai dan produktifitas pegawai. Dengan
meningkatkan kompetensi pegawai maka pegawai akan lebih memahami dan mengeksekusi
pekerjaan dengan lebih maksimal sehingga pencapaian kinerja secara keseluruhan akan meningkat.
Semakin berkembangnya tempat pembayaran rekening listrik dan dukungan dari stakeholder
akan memudahkan PLN dalam meningkatkan perncapaian kinerja perspektif keuangan dan pasar.
Pilihan cara pembayaran rekening listrik yang semakin beragambahkan sekarang bisa melalui
pembayaran virtual via online shopmemudahkan pelanggan dalam membayar tagihan listrik. Selain
itu sosialisasi dari pemerintah daerah untuk membayar listrik tepat waktu sebagai kontribusi
masyarakat terhadap pembangunan daerah menjadi unsur pendukung dalam peningkatan
pencapaian kinerja pengendalian piutang dalam perspektif keuangan dan pasar.
Menurut Niven (2002) hambatan-hambatan yang sering terjadi dalam penerapan strategi
balanced scorecard antara lain: tidak banyak orang yang mengerti strategi organisasi, kegagalan
manajer dalam menentukan prioritas, manajemen komunikasi hanya satu arah, perencanaan sumber
daya yang tidak tepat. Sejalan dengan Niven, konsultan bernama Arthur M Schneiderman sekaligus
sebagai senior examiner diMalcom Baldrige National Quality Award, memaparkanfaktor-faktor
yang menyebabkan balanced scorecardgagal sebagai berikut: faktor independen pada scorecard
tidak didefinisikan secara benar, parameter didefinisikan secara minim, terjadi negosiasi, tidak ada
sistem deployment yang terintegrasi, tidak ada sistem improvement dan tidak mampunya membuat
quantitative linkage antar perspektif (Widilestari, 2011).

1206 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Banyak pegawai dan karyawan di P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu yang masih belum
memahami strategis organisasi dalam balanced scorecard sehingga pegawai tidak bisa menentukan
prioritas pekerjaan. Pemahaman strategis korporat dan formula perhitungan hanya disampai di level
pejabat struktural sehingga pelaksanaan pekerjaan tidak maksimal dalam mencapai target yang
diberikan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Niven (2002) dan Arthur dikutip dalam Widilestari
(2011) mengenai hambatan dalam balanced scorecard.
Keterbatasan sumber daya resource seperti material, anggaran dan jumlah petugas menjadi
kendala yang sering dalam mencapai target kinerja. Besarnya target kinerja yang diberikan sering
tidak diimbangi dengan kesiapan material digudang sehingga ketika permintaan tinggi namun
material, anggaran dan petugas sedikit. Hal ini tentu akan menghambat pencapaian kinerja
perspektif fokus pelanggan pada penambahan pelanggan dan semua indikator dalam perspektif
efektifitas produk dan proses.
Pada perspektif efektifitas produk dan proses yang menjadi hambatan kurang maksimalnya
pencapaian kinerja disebabkan banyak peralatan distribusi yang rusak dan material pengganti yang
terbatas menjadikan eksekusi pekerjaan sering menggunakan material bekas (asal selesei tidak
sesuai standar).Selain itu cuaca yang ekstrim sering menyebabkan gangguan padam dan askes jalan
yang sulit menyebabkan waktu perbaikan kerusakan lebih lama menjadikan faktor eksternal yang
tidak bisa dikendalikan.Hal ini berdampak pada indikator gangguan penyulang yang tidak bisa
mendapat nilai bobot maksimal.
Dalam perspektif keuangan dan pasar, kinerja pengendalian piutang merupakan indikator
KPI yang tidak maksimal dalam pencapaian nilai. Hal yang menjadi hambatan dalam pencapaian
target kinerja pengendalian piutang disebabkan kurang taatnya pelanggan dalam membayar listrik
tepat waktu. Alokasi pembayaran rekening listrik sering dikesampingkan oleh pelanggan padahal
saat ini listrik merupakan kebutuhan primer pelanggan.Selain itu daerah rawan konflik dibeberapa
unit masih menjadi kendala dalam upaya penagihan tunggakan rekening listrik pelanggan.

Implikasi Strategis
Kinerja organisasi di P.T. PLN (Persero) pada perspektif efektifitas proses dan produk,
perspektif fokus tenaga kerja dan perspektif kepemimpinan sangat baik dengan pencapaian realisasi
terhadap target di atas 90%. Pada kinerja perspektif fokus pelanggan dan perspektif keuangan dan
pasar masih belum oP.T.imal dan belum mencapai target yang diberikan.
Pada perspektif fokus pelanggan, kinerja perusahaan cukup baik dari segi pertumbuhan
pelanggan dan tingkat kehandalan SAIDI SAIFI. Dengan semakin baik tingkat kehandalan yang
diukur menggunakan indeks SAIDI SAIFI akan membuat pelanggan semakin loyal terhadap

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1207


perusahaan.Langkah yang dapat diterapkan untuk menambahkan jumlah pelanggan dengan
melibatkan unit lisdes untuk menjangkau pemukiman desa yang belum ada jaringan listrik.
Pada perspektif efektifitas proses dan produk kinerja perusahaan sudah baik dengan
pencapaian 90%. Perusahaan sudah dapat memperbaiki tujuan strategis dalam penyaluran energi
listrik secara efektif dan efisien.Namun pada indikator penurunan jumlah gangguan padan masih
perlu diperbaiki.Langkah yang dapat diterapkan adalah dengan mengganti peralatan-peralatan dan
aset jaringan yang sudah rusak.Inovasi dalam memanfaatkan meterial bekas layak pakai menjadi
solusi terbaik dalam keterbatasan material dan anggaran.
Perspektif fokus tenaga kerja pada P.T. PLN (Persero) sangat baik dimana pencapaian HCR,
OCR dan produktifitas pegawai selalu mendapat nilai maksimal.Langkah yang dapat diterapkan
dengan monitoring bertingkat dari level manajer unit hingga ke manajer UP3 dalam pelaksanaan
maturity level.
Pada perspektif keuangan dan pasar, kinerja perusahaan cukup baik pada indikator BPP dan
perputaran material non BBM.Namun pada kinerja pengendalian piutang kurang baik dimana nilai
yang diperoleh masih dibawah 70%.Hal ini mempengaruhi cashin pendapatan perusahaan yang
berdampak kurang baik laporan keuangan perusahaan.Langkah yang dapat diterapkan dalam
memperbaiki pengendalian piutang dengan melakukan pendekatan khusus melalui kepala desa atau
tokoh adat yang dihormati dilokasi yang sulit dilakukan penagihan piutang listrik.
Pada perspektif kepemimpinan, kinerja perusahaan sangat baik dimana keselamatan
ketenagalistrikan (k2) menjadi prioritas utama perusahaan. Hal ini akan memperngaruhi citra
perusahaan yang semakin baik dalam melindungi pekerjanya. Perusahaan dapat menjadi prioritas
yang sangat menarik di bursa jobfair.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh manajer unit untuk menentukan stratetgis
dalam penentuan prioritas sebagai berikut:
 Focus GroupDiscussion(FGD) bersama dengan para supervisor PIC masing-masing bagian
 manajer menginformasikan ke seluruh supervisor PIC mengenai indikator-indikator KPI dan
target yang akan dicapai
 pada FGD dapat dibuat tabel semua sasaran kinerja dan diurutkan tingkat kemudahan dan
dampak terhadap pencapaian kinerja keseluruhan
 kemudian dari hasil FGD dibuat matriks prioritysehingga dapat membagi sumber daya yang
dimiliki pada target kinerja yang paling berdampak
 membuat workplan pekerjaan dan menunjuk PIC pada setiap kinerja untuk mencapai target
 membuat papan/tabel monitoring pencapaian kinerja harian. mingguan, bulanan

1208 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


 melakukan evaluasi bersama setiap akhir bulan untuk bertukar pikiran terhadap kendala dan
solusi yang dihadapai pada kinerja yang belum tercapai

Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada bab sebelumnya serta pembahasan disertaiteori dan
penelitian terdahulu yang membahas penerapan pengukuran kinerja perusahaan menggunakan
balanced scorecard dan unsur pendukung dan hambatan yang dihadapi dalam pencapaiannya dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Penerapan konsep balanced scorecardpada P.T. PLN (Persero) UP3 Bengkulu
menerjemahkan visi dan misi perusahaan menjadi strategis korporat yang kemudian
dijabarkan dalam lima perspektif balanced scorecard beserta tujuan strategis, tolak ukur,
analisis hubungan sebab akibat, penentuan inisiatif, perencanaan peta strategis hingga
rencana implementasi. Pencapaian nilai kinerja organasasi P.T. PLN (Persero) UP3
Bengkulu pada perspektif fokus pelanggan cukup baik. Pada perspektif efektifitas produk
dan proses sudah baik, namun pada penurunan gangguan kurang baik belum mancapai
target. Pada perspektif fokus tenaga kerja sangat baik. Pada perspektif keuangan dan pasar
cukup baik, namun pada indikator pengendalian piutang kurang baik belum mancapai target.
Pada perspektif kepemimpinan sangat baik. Secara keseluruhan penilaian kinerja pada P.T.
PLN (Persero) UP3 Bengkulu sudah baik.

Saran
Berdasarkan kesimpulan dan keterbataan penelitian diatas, maka saran-saran yang dapat diajukan
adalah sebagai berikut:
1. setiap manajer menginformasikan ke seluruh pegawai dan karyawan OutSourcing (OS)
diunitnya masing-masing mengenai target dan strategi yang akan dicapai
2. pengembangan kompetensi pegawai disesuaikan dengan kebutuhan dari sasaran kinerja dan
perkembangan perusahaan
3. melakukan monitoring rencana kerja, realisasi dan evaluasi secara harian ke masing-masing
bagian seusai tanggung jawab pekerjaannya
4. melakukan mapping prioritas strategi terhadap kinerja dengan bobot nilai yang besar dan
mudah dikerjakan hingga kinerja dengan bobot kecil tapi sulit dikerjakan

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1209


Referensi
Dally, D. (2010). Balanced scorecard suatu pendekatan dalam implemetasi MBS. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Edaraan Direksi P.T. PLN (Persero) nomor: 0001.E/DIR/2019 tentang petunjuk pelaksanaan perhitungan
nilai kinerja organisasi direktorat, departemen, satuan pengawasan intern sekretariat perusahaan
divisi, unit induk, pusat-pusat dan anak perusahaan.
Gaspersz, V. (2011). Sistem manajemen kinerja terintegrasi balanced scorecard dengan malcolm baldrige
dan lean six sigma supply chain management. Bogor: Vinchristo Publication.
Laporan Kinerja Tahunan (2015-2019). P.T.. PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Sumatera Selatan Jambi
Bengkulu (UIWS2JB) Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Bengkulu.
Mulyadi. (2005). Sistem manajemen strategik berbasis balanced scorecard. Yogyakarta: PP AMP YKPN.
Mulyadi. (2007). Sistem perencanaan & pengendalian manajemen (ed.3). Jakarta: Salemba Empat.
Niven, P.R. (2002). Balanced scorecard step-by-step for government and nonprofit agencies (2nd
edition). New Jersey: John Wiley & Sons.
Peraturan Direksi P.T. PLN (Persero) Nomor: 0100.P/DIR/2019 tentang manajemen kinerja korporasi dan
penilaian kinerja organisasi. P.T. PLN (Persero).
Rai, I.G.A. (2008).Audit kinerja pada sektor publik konsep, praktik, dan studi kasus. Jakarta: Salemba
Empat.
Rangkuti, F. (2011). SWOT balanced scorecard: teknik menyusun strategi korporat yang efektif plus cara
mengelola kinerja dan risiko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Retnawan, W.A.D et al. (2016). Analisa kinerja perusahaan dengan menggunakan pendekatan balanced
scorecard (studi kasus pada P.T. united tractor, tbk). Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, 16(03), 219-
229.
Rizky, C.H. (2015). Penerapan audit manajemen kinerja P.T.. superindo utama surabaya menggunakan
balanced scorecard. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi, 4(9), 1-18.
Sari, M. & Arwinda, T. (2015).Analisis balance scorecard sebagai alatpengukuran kinerja perusahaan P.T.
jamsostekcabang belawan. Jurnal Riset Akuntansi Dan Bisnis, 15(1), 28-42.
Sharma, A. (2009). Implementing balanced scorecard for performance measurement. The Icfai University
Journal of Business Strategy, 6(1).7-16.
Striteska, M. & Spickova, M. (2012).Review and comparison of perfomance measurement systems. IBIMA
Publishing Journal of Organizational Management Studies, 1-13.
Soegoto, E.S. (2011). Penerapan manajemen kinerja dengan pendekatan balanced scorecard dalam
meningkatkan akuntabilitas pengelolaan perguruan tinggi. Majalah Ilmiah Unikom. 6(2).131-142.
Soemohadiwidjojo, A.T. (2015). Panduan praktis menyusun KPI. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Sugiyono. (2009). Metode penelitian bisnis (pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D). Bandung:
Alfabeta.
Sunarto. (2007). Sistem pengendalian manajemen. Yogyakarta: Amus.
Surya, L.P. (2014). Analisis kinerja berbasis balanced scorecard pada koperasi xyz. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana, 8(2), 279-293.
Utama, I.G. (2016). Pengantar industri pariwisata. Yogyakarta: Deepublish.
Visalakshi, S.& Kasilingam, R. (2015). Balanced scorecard approach to measure performance of banks. NBR
E-Journal, 1(1).
Wahyuni, S. (2017). Analisis balanced scorecard pada P.T. Semen Tonasa Pangkep. Jurnal Ilmiah Akuntansi
Peradaban, 3(1), 63-87.
Welas. (2012). Analisis kinerja keungan dengan pendekatan sistem du pont (studi empirik pada perusahaan
rokok yang sudah go public periode tahun 2000-2004). Jurnal Akuntansi dan Keuangan. 1(1), 58-71.
Werther, W.B. & Davis, K.(1996). Human resources and personnel management (5th ed). Boston: McGraw-
Hill.
Widilestari, C. (2011). Konsep balanced scorecard dan kendala penerapannya. Jurnal STIE Semarang, 3(2),
1-13.

1210 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Pengaruh Manfaat Pelatihan, Promosi dan Mutasi Terhadap Kinerja Pegawai
Pada Bank Bengkulu

Malindo Pebrian1), Slamet Widiodo2), Trisna Murni3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2),3)

Abstract. The Purpose of this research is (1) analyzing the effect of training benefits on
employees ' performance at the Bank Bengkulu; (2) analyzing the influence of promotion on
performance of employees at the Bank Bengkulu; and (3) analyzing the influence of mutation on
employee performance in the Bank Bengkulu. This method of research uses quantitative methods.
The data used in this research is the primary data obtained from the results of the dissemination of
questionnaires to employees at the PT. Bank Bengkulu Branch Head. The research population
amounted to 86 people. The data analysis methods used are descriptive analysis and regression
analysis. Based on the results of the study, it is known that (1) the benefits of training positively
influence on the performance of Bank Bengkulu employees. These results show that if the
education and training that is followed increasingly provide benefits, the performance of the
employees of Bank Bengkulu is increasing; (2) promotion variables are positively influential on the
employee's performance, which means that the promotion is more appropriate, will be able to
improve the employee's performance; and (3) the position variables positively effect on the
employee's performance, meaning that the more appropriate mutations will be able to improve the
employee's performance.
Keyword: Benefits of training, Promotion, Mutation, Performance

Pendahuluan
Pengembangan sumber daya manusia (human resources development) merupakan aspek
penting dalam new public management. Pengembangan sumber daya manusia adalah adanya
kesempatan belajar (learning opportunities) yang didesain guna membantu para karyawan atau
karyawan di dalam organisasi/perusahaan. Sumberdaya manusia (SDM) merupakan modal investasi
(human capital) sekaligus penggerak utama organisasi/perusahaan untuk mencapai tujuannya. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Caple (2009) bahwa sumber daya manusis merupakan aktor atau
pelaku utama dalam pelaksanaan tugas-tugas organisasi atau perusahaan. Pengembangan SDM
merupakan keharusan, karena melalui pengembangan SDM yang baik, organisasi/perusahaan akan
memiliki kekuatan kompetitif yang lebih berdaya guna dan mampu bersaing secara positif dalam
percaturan nasional dan global serta sulit untuk ditiru oleh organisasi/perusahaan lain (Biech, 2005).
Berbagai metode dalam manajemen perusahaan/organisasi dipikirkan banyak peneliti, akademisi
juga praktisi dalam ilmu manajemen perusahaan untuk mengembangkan SDM dalam sebuah
perusahaan yakni pelatihan, promosi dan mutasi (Tyson, 2006).
Pelatihan mengacu pada metode yang digunakan untuk memberikan atau yang ada saat ini
dengan keterampilan yang mereka butuhkan umtuk melakukan pekerjaan (Tyson, 2006). Pelatihan

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1121


merupakan bagian dari pengembangan karyawan dalam suatu organisasi. Hal ini dikarenakan
pelaksanaanya nanti akan menguntungkan individu karyawan khususnya dan organisasi pada
umumnya, sehingga nantinya karyawan akan mampu melaksanakan tugas-tugas yang diberikan.
Pelatihan dapat meningkatkan kinerja seorang karyawan baik dalam penanganan pekerjaan yang
ada saat imi maupun pekerjaan yang ada pada masa yang akan datang sesuai dengan bidang tugas
yang diemban dalam organisasi (Robbins, 2015).
Selain pelatihan, pengembengan SDM juga dapat dilakukan dengan melakukan program
promosi dan mutasi karyawan (Tyson, 2006). Promosi dan mutasi adalah suatu perubahan
posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang dilakukan baik secara horizontal maupun vertikal
(promosi/demosi) di dalam suau organisasi (Robbins, 2015). Promosi dan mutasi bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas kerja karyawan dan menciptakan keseimbangan antara tenaga kerja
dengan komposisi pekerjaan atau jabatan. Alasan dilakukannya promosi dan mutasi agar
meningkatkan efektivitas dan efisiensi karena perlu ada evaluasi pada setiap pekerja secara
berkesinambungan secara objektif (Caple, 2009).
Kinerja (prestasi kerja) karyawan adalah prestasi actual karyawan dibandingkan dengan
prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar
yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya
dibandingkan dengan standar yang dibuat (Dessler, 2009). Selain itu dapat juga dilihat kinerja dari
karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya. Tujuan dari kinerja agar dapat memotivasi karyawan
untuk dapat berbuat lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang
terdahulu. Untuk meningkatkan kinerja karyawan dapat dilakukan dengan cara mutasi karyawan
dan memberikan kompensasi (Chan, 2010).
Bank Bengkulu adalah salah salah satu perbankan yang berkompetisi dalam pelayanan jasa
finansial di Bank Bengkulu. Bank Bengkulu merupakan bank daerah Bank Bengkulu. Saat ini
performa Bank Bengkulu terus ditingkatkan, sejak pembaharuan sistem organisasi dan penerapan
prinsip-prinsip service core value (SCV). Semua segmen pelayanan jasa finansial di dalam Bank
Bengkulu terus mengalami peningkatan performa, baik dari segi layanan kepada nasabah maupun
peningkatan sertifikasi ataupun kemampuan karyawan, penempatan karyawan sesuai dengan pada
bidang pendidikannya. Salah satu permasalahan yang terdapat di Bank Bengkulu adalah pelatihan
yang diberikan kepada pegawai belum merata ke semua karyawan khususnya karyawan yang
berada didaerah atau kabupaten diluar Kota Bengkulu. Pelatihan juga masih di khususkan kepada
bagian tertentu saja, belum menyeluruh ke semua unit ataupun bagian yang ada. Keadaan tersebut
karena Bank Bengkulu terkendala penghematan pengeluaran yang diterapkan pihak manajemen
Bank Bengkulu, sehingga beberapa pelatihan yang dianggap penting belum dapat terlaksana.

1122 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Permasalahan lainnya adalah setelah karyawan diberi pelatihan pada bagian tertentu, ada kalanya
karyawan tersebut dimutasikan atau dipromosikan ke bagian yang lain, yang tidak ada hubungan
sebelumnya dengan pelatihan yang telah diterimanya. Hal ini membuat dampak pelatihan yang
telah diterima pada bidang terdahulu belum dapat diaplikasikan dengan baik dan tidak terlalu
bermanfaat di tempat atau unit baru tempat karyawan tersebut dimutasikan ataupun di promosikan.
Program pelatihan yang diselenggarakan oleh Bank Bengkulu bagi karyawan baru yang
direkrut melalui program Bank Bengkulu Development (BBD), yakni: (1) Pelatihan Front Liner.
Pemberian pelatihan kepada karyawan MB dilakukan selama tiga tahap pelatihan, yakni Pelatihan
CSO & Teller Tahap Dasar (Tahun Pertama MB), Tahap Terampil (Tahun Kedua MB) dan Tahap
Mahir (Tahun Ketiga MB). Pelatihan lainnya adalah pelatihan lanjutan seperti pelatihan basic
banking, pelatihan specific skill, pelatihan program layanan, pelatihan account officer dan program
E-Learning mencakup materi pembelajaran semua bidang baik operasional, kredit, budaya
perusahaan, dan sebagainya dengan metode elektronik.
Dari sisi mutasi dan promosi karyawan dilingkungan Bank Bengkulu, masih sering terjadi
mutasi yang dilakukan belum mempertimbangkan pelatihan – pelatihan. Karyawan yang
dimutasikan atau di promosikan di tempat unit kerja yang baru harus mendapatkan pelatihan yang
baru di tempat unit baru tersebut dikarnakan karyawan tersebut belum pernah menenpati unit kerja
tersebut. Kondisi ini akan menambah biaya pelatihan yang harus dilakukan oleh Bank Bengkulu.
Selain itu, program promosi dan mutasi juga masih belum sepenuhnya mempertimbangkan
kompetensi ataupun sertifikasi yang dibutuhkan karyawan tersebut jika menempati posisi baru
tarsebut. Berikut beberapa kompetensi ataupun sertifikasi yang dibutuhkan pada jabatan di Kantor
Pusat Bank Bengkulu

Tabel 1. Sertifikasi Jabatan pada Bank Bengkulu

No Jabatan Sertifikat Kondisi Sekarang


Pemimpin Divisi Sertifikasi Manajemen 88% telah memenuhi
1
Risiko LV 3-4, Sespibank Setifikasi
Wakil Pemimpi Sertifikasi Manajemen 25% telah memenuhi
2
Divisi Risiko LV 2-3, Sespincab Setifikasi
Pemimpin Bagian Sertifikasi Manajemen 68% telah memenuhi
3
Risiko LV 2, Manajer Lini Setifikasi
Karyawan Tetap General Banking, Officer 68% telah memenuhi
4 Development Program, On Setifikasi
Job Training.
Calon Karyawan General Banking 100% telah memenuhi
5
Tetap Setifikasi
Karyawan Kontrak General Banking 100% telah memenuhi
6
Setifikasi
Sumber: Divisi SDM BB, 2019.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1123


Hal ini tersebut diatas sebagai salah satu contoh setifiksi ataupun pelatihan yang wajib
dimiliki oleh karyawan yang akan menuju jenjang jabatan tertantu, tetapi pada kenyataannya masih
banyak terdapat karyawan yang telah menduduki jabatan tertentu tapi belum memiliki sertifikasi
yang sesuai dengan jabatan yang diembannya tersebut, hal ini tentunya akan berdampak pada
performa karyawan yang bersangkutan, performa unit kerja yang bersangkutan dan performa Bank
Bengkulu keseluruhan. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik meneliti tentang,
 Pelatihan karyawan, promosi dan mutasi karyawan pada Bank Bengkulu sebagai
tempat meneliti dan mengukur lebih jelas serta melakukan analisis lebih mendalam
pada permasalahan ini.

Tinjauan Pustaka
Pengertian Kinerja
Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau
sesungguhnya yang dicapai seseorang). Kinerja juga disebut result (Robbins, 2008) yang berarti apa
yang telah dicapai atau dihasilkan oleh karyawan. Kinerja atau prestasi kerja adalah prestasi aktual
karyawan dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan (Dessler, 2019). Prestasi
kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat
kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Selain itu
dapat juga dilihat kinerja dari karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya. Williams (2004)
berpendapat bahwa kinerja merupakan batasan dimana ide mereka tersampaikan, metode kerja yang
digunakan, dan semua output bekerja yang dihasilkan adalah produk baru dan berguna. Kreativitas
dalam organisasi tidak terlepas dari apa yang disebut dengan pemikiran divergen. Pemikiran
divergen juga membedakan pemecahan masalah kreatif dari pemecahan masalah lainnya.

Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja merupakan upaya membandingkan kinerja aktual karyawan dengan
kinerja kerja yang diharapkan darinya (Dessler, 2013). Pengukuran kinerja memainkan peranan
yang sangat penting dalam peningkatan motivasi di tempat kerja. Karyawan menginginkan dan
memerlukan balikan berkenaan dengan kinerja mereka dan penilaian menyediakan kesempatan
untuk memberikan balikan kepada mereka. Jika kinerja tidak sesuai dengan standar, maka penilaian
memberikan kesempatan untuk meninjau kemajuan karyawan dan untuk menyusun rencana
peningkatan kinerja (Dessler, 2009).
Penilaian kinerja karyawan tidak hanya dinilai dari fisik, tetapi juga dinilai dari pelaksanaan
pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan kerja,

1124 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang atau tingkat pekerjaan.
Suatu pekerjaan dapat diukur melalui jumlah, kualitas, ketepatan waktu mengerjakannya, kehadiran,
kemampuan bekerjasama yang dituntut suatu pekerjaan tertentu. Adapun indikator dari penilaian
kinerja menurut Bangun (2012):
1. Jumlah pekerjaan.
Menunjukan jumlah pekerjaan yang dihasilkan individu atau kelompok sebagai persyaratan
yang menjadi standar pekerjaan.
2. Kualitas pekerjaan.
Setiap karyawan dalam perusahaan harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat
menghasilkan pekerjaan sesuai kualitas yang dituntut suatu pekerjaan tertentu.
3. Ketepatan waktu.
Setiap pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda untuk jenis pekerjaan tertentu harus
diselesaikan tepat waktu.
4. Kehadiran.
Suatu jenis pekerjaan tertentu menuntut kehadiran karyawan dalam mengerjakannya sesuai
waktu yang ditentukan.
5. Kemampuan kerjasama.
Tidak semua pekerjaan dapat diselesaikan oleh satu orang karyawan saja. Ada beberapa
jenis pekerjaan tertentu yang memungkinkan diselesaikan oleh dua orang atau lebih
sehingga membutuhkan kerjasama antar karyawan.
Kinerja meliputi beberapa aspek, yaitu: Quality of work (kualitas hasil pekerjaan);
Promptness (kecepatan atau ketangkasan); Initiative (inisiatif); Capability (kemampuan) dan
Communication (komunikasi) menurut Mitchell (1990:109) sedangkan menurut Dessler (2004)
indikator pengukuran kinerja karyawan adalah sebagai berikut:
1. Kualitas Kerja adalah mengacu pada penyelesaian tugas secara baik dan benar serta sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan, akurasi kerja atau marjin kesalahan yang melakukan
pekerjaannya dan melakukan kiat-kiat tertentu untuk meminimalisir terjadinya kesalahan
kerja.
2. Kuantitas Kerja adalah (mengacu pada jumlah produksi atau hasil). Kuantitas kerja yang
dimaksud disini adalah kuantitas kerja atau jumlah produksi atau hasil kerja.
3. Tanggung jawab (mengacu pada penyelesaian tugas). Tanggung jawab disini adalah
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua pekerjaan yang telah ditentukan pada
masing-masing bagian, serta memberikan pelayanan prima.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1125


4. Ketepatan waktu (mengacu kepada ketepatan dan ketaatan jadwal kerja sebagaimana yang
telah ditugaskan). Ketepatan waktu kerja dimaksud disini adalah ketepatan waktu dalam
menyelesaikan tugas dan ditetapkan dan bagaimana karyawan yang datang tepat waktu
ketika masuk kerja, pulang kerja sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, serta disiplin
dalam menjalankan jam kerjanya.
5. Kerjasama dengan orang lain (mengacu pada kerjasama dan komunikasi pada rekan kerja).
Kerjasama dengan yang lain yang dimaksud disini adalah berhubungan secara efektif dan
positif dengan atasan, rekan kerja, bawahan dan stackholders lainnya dan menunjukkan
rasa menghargai kepada setiap individu.
Armstrong dan Baron (2008) mengemukakan bahwa, kinerja dipengaruhi oleh empat faktor
yang dominan, yaitu:
1. Faktor kepemimpinan yang meliputi kualitas, bimbingan dan motivasi.
2. Faktor pribadi yang meliputi motivasi dan komitmen, keterampilan serta kompetensi.
3. Faktor sistem yang meliputi pelatihan, promosi/mutase, fasilitas kerja dan sistem pekerjaan.
4. Faktor situasional yang meliputi suasana lingkungan kerja, unsur internal dan eksternal.

Manfaat Pelatihan
Pelatihan adalah proses mengajar keterampilan yang dibutuhkan karyawan baru untuk
melakukan pekerjaannya. Pelatihan mengacu kepada metode yang digunakan untuk memberikan
karyawan baru atau yang ada saat ini dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk melakukan
pekerjaan. Memiliki karyawan-karyawan yang berpotensi tinggi bukanlah suatu jaminan bahwa
pekerjaan mereka akan baik. Karyawan selalu mengetahui apa yang organisasi ingin mereka
lakukan dan bagaimana cara melakukannya. Para karyawan yang tidak mengetahui caranya akan
mengerjakan pekerjannya dengan cara mereka sendiri yang tidak sesuai dengan organisasi inginkan
(Dessler, 2011:280).
Pengertian pelatihan menurut Mathis dan Jackson (2016:5), yang memberikan definisi
mengenai bahwa “Pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu
untuk membantu mencapai tujuan organisasi oleh karna itu, Proses ini terikat dengan berbagai
tujuan organisasi, pelatihan dapat dipandang secara sempit ataupun luas”. Menurut Mathis dan
Jackson (2016:301), “Pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan
tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi”. Oleh karena itu, proses ini terikat dengan
berbagai tujuan organisasi, pelatihan dapat dipandang secara sempit maupun luas. Secara
terbatas, pelatihan menyediakan para karyawan dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat
diketahui serta keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini.

1126 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Pelatihan sebagai sarana motivasi yang mendorong para karyawan untuk bekerja dengan
kemampuan yang optimal, yang dimaksudkan untuk meningkatkan performa dari karyawan
tersebut. Pemberian pelatihan dimaksudkan agar dapat memenuhi standar kerja yang telah
ditetapkan oleh perusahaan. Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha yang terencana untuk
memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian dan
perilaku oleh para karyawan. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman karyawan terhadap pekerjaan serta merupakan sikap
yang selalu siap untuk merespon pekerjaan secara objektif dan konsisten. Sikap terhadap objek
tertentu yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai
oleh kecenderungan untuk bertindak yang didukung oleh pengetahuan kerja dan keterampilan kerja

Promosi Jabatan
Promosi atau kenaikan jabatan merupakan peningkatan dari seorang tenaga karyawan pada
suatu bidang tugas yang lebih baik, dibandingkan dengan sebelumnya dari sisi tanggung jawab
lebih besar, prestasi, fasilitas, status yang lebih tinggi, dan adanya penambahan upah atau gaji,serta
tunjangan lainnya. Promosi pekerjaan atau jabatan merupakan perkembangan yang positif dari
seorang pekerja atau karyawan karena tugasnya dinilai baik oleh pejabat yang berwenang. Oleh
karena itu pemberian tanggung jawab dan kewenangan yang lebih tinggi patut diberikan kepada
mereka yang berprestasi. Penilaian seorang karyawan dilakukan oleh pejabat yang membawahinya
dan unit biro yang mempunyai tugas untuk mengolah kegiatan administrasi kekaryawanan (Mathis
dan Jackson, 2016). Promosi adalah apabila seseorang karyawan dipindahkan dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lain yang lebih tinggi dalam pembayaran, tanggung jawab dan level. Nasution (2010)
promosi adalah kenaikan jabatan seseorang dari tingkat lebih rendah ke tingkat lebih tinggi dan
disertakan gaji, wewenang dan tanggung jawab (Rivai, 2012). Harsono (2011) mengatakan bahwa
promosi adalah perubahan kedudukan seorang pejabat pada jabatan yang lebih tinggi lebih lanjut
dikatakan lebih tingginya ini tercermin dalam tugas jabatan yang lebih berat dan sukar”
Promosi jabatan memberikan peran penting bagi setiap karyawan, bahkan menjadi idaman
yang selalu dinanti-nantikan. Dengan promosi berarti adakepercayaan dan pengakuan mengenai
kemampuan serta kecakapan karyawan bersangkutan untuk menduduki suatu jabatan yang lebih
tinggi. Dengan demikian promosi akan memberi status sosial, wewenang ,tanggung jawab, serta
penghasilan yang semakin besar bagi karyawan. Jika ada kesempatan bagi setiap karyawan
dipromosikan berdasarkan azas keadilan dan objektivitas, karyawan akan terdorong bekerja giat,
bersemangat, berdisiplin, dan berprestasi kerja sehingga sasaran perusahaan secara optimal dapat
dicapai. Begitu besarnya pelaksanaan promosi karyawan maka sebaiknya manajer personalia harus

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1127


menetapkan program promosi serta menginformasikannya kepada para karyawan. Program promosi
harus memberikan informasi tentang asas-asas, dasardasar, jenis-jenis, dan syarat-syarat karyawan
yang dapat dipromosikan dalam perusahaan bersangkutan. Program promosi harus diinformasikan
secara terbuka. Jika hal ini diinformasikan dengan baik, akan menjadi motivasi bagi karyawan
untuk bekerja sungguh-sungguh.
Promosi merupakan salah satu bentuk motivasi bagi para karyawan untuk menunjukkan
prestasi-prestasi yang besar. Pemberian promosi kepada karyawan akan menaikkan kegairahan
bekerja karyawan, menaikkan moral dan efisiensi kerja karyawan dan dapat pula berarti
mendudukkan orang yang tepat pada jabatan yang tepat. Pedoman untuk promosi menurut Mathis
dan Jackson (2016) adalah:
1. Sistem merit, kecakapan dalam bekerja
2. Sistem senioritas, atas dedikasi dan kesetiaan kepada perusahaan
3. Sistem spoil atau nepotisme
4. Kombinasi pengalaman dan kecakapan
Menurut Mathis & Jackson (2016) promosi jabatan dapat diketahui dari aspek-aspek sebagai
berikut:
1. Peningkatan jabatan
Peningkatan jabatan adalah kegiatan pemindahan karyawan dari jabatan ke jabatan lain yang
lebih tinggi dari jabatan yang diduduki sebelumnya. Berarti, peningkatan jabatan adalah
menerima kekuasaan dan tanggungjawab yang lebih besar dari kekuasaan dan
tanggungjawab sebelumnya dalam struktur organisasi suatu organisasi atau perusahaan,
sehingga kewajiban, hak dan penghasilannya bertambah besar. Promosi ini juga harus
didasari dengan keadilan dalam pemilihannya, sehingga tidak akan terjadi kesenjangan antar
karyawan.
2. Peningkatan tanggungjawab
Adanya peningkatan tanggungjawab atau risiko seseorang karyawan, karena memiliki bebas
tugas yang lebih tinggi.
3. Peningkatan tugas
Apabila seseorang memiliki motivasi dan pengetahuan yang memadai terhadap bidangnya
dan tanggungjawabanya terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
4. Peningkatan hak
Adanya suatu umpan balik dari organisasi atau perusahaan terhadap karyawan dalam bentuk
gaji atau kompensasi yang diberikan kepadanya, biasanya kompensasi tersebut akan naik
tergantung sejauh mana karyawan tersebut menduduki suatu jabatan.

1128 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


5. Peningkatan otoritas (kewenangan)
Dalam hal ini karyawan yang mendapatkan promosi akan memiliki kekuasaan dalam
melakukan suatu tindakan di dalam perusahaan atau organisasi dalam bentuk wewenang,
gagasan dan kebijakan perusahaan atau organisasi.

Mutasi
Kata mutasi atau pemindahan oleh sebagian masyarakat sudah dikenal, baik dalam
lingkungan maupun di luar lingkungan perusahaan (pemerintahan). Mutasi adalah kegiatan
memindahkan tenaga kerja dari satu tempat tenaga kerja ke tempat kerja lain. Akan tetapi mutasi
tidak selamanya sama dengan pemindahan. Mutasi meliputi kegiatan memindahkan tenaga kerja,
pengoperan tanggung jawab, pemindahan status ketenagakerjaan, dan sejenisnya. Adapun
pemindahan hanya terbatas pada mengalihkan tenaga kerja dari satu tempat ke tempat lain.
Selanjutnya (Mathis & Jackson, 2016) menyatakan bahwa mutasi adalah suatu perubahan
posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang dilakukan baik secara horizontal maupun vertikal
(promosi/demosi) di dalam suau organisasi. Pada dasarnya mutasi termasuk dalam fungsi
pengembangan karyawan, karena tujuannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja
dalam perusahaan (pemerintahan) tersebut. Tujuan pelaksanaan mutasi menurut Dessler (2009)
antara lain, adalah:
1. Untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan.
2. Untuk menciptakan keseimbangan antara tenaga kerja dengan komposisi pekerjaan
atau jabatan.
3. Untuk memperluas atau menambah pengetahuan karyawan.
4. Untuk menghilangkan rasa bosan/ jemu terhadap pekerjaannya.
5. Untuk memberikan perangsang agar karyawan mau berupaya meningkatkan karier yang
lebih tinggi.
6. Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan.
7. Untuk mengatasi perselisihan antara sesama karyawan.
8. Untuk mengusahakan pelaksanaan prinsip orang tepat pada tempat yang tepat.
Pada dasarnya mutasi termasuk dalam fungsi pengembangan karyawan, karena tujuannya
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dalam perusahaan atau organisasi tersebut.
Mutasi sebagai proses perpindahan karyawan dari satu jabatan ke jabatan lain baik dalam satu
wilayah atau berbeda wilayah. Sedarmayanti (2012:46) pemutasian dimaksudkan untuk
menempatkan karyawan pada tempat yang tepat, agar karyawan yang bersangkutan mendapat kerja
setinggi mungkin dan dapat memberikan prestasi yang sebesar-besarnya.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1129


Mutasi adalah pemidahan secara horizontal dengan gaji status dan tanggung jawab yang
sama. Mutasi memberikan tekana sosial, psikologis dan organisasional kepada karyawan. Segi
negatif pelaksanaan mutasi bahwa mutasi merupakan hukuman dalam bidang kekaryawanan.Sisi
positifnya adalah:
1 Mutasi adalah usaha untuk menempatkan karyawan pada pekerjaan dan jabatan yang sesuai
dengan kecakapan dan kemampuannya.
2 Mutasi adalah usaha ntuk meningkatkan semangat dan gairah kerja karyawan
3 Mutasi adalah salah satu usha menciptakan persaingan sehat diantara para karyawan
Pengukuran mutasi kerja menurut Mathis dan Jackson (2016) dapat dilihat dari dua aspek,
yakni:
1. Alih tugas (mutasi)
Alih tugas adalah mutasi karena kehendak manajemen atau organisasi untuk meningkatkan
produktivitas kerja perusahaan atau organisasi dengan menempatkan karyawan dengan
jabatan atau pekerjaan yang sesuai dengan kecakapannya. Alasan lain dari alih tugas adalah
didasarkan pada kemampuan, sikap dan disiplin karyawan. Indikator alih tugas antara lain:
a) Alih tugas karena kebijakan manajemen
b) Alih tugas berdasarkan prinsip kompetensi kerja
c) Alih tugas atas permintan karyawan yang bersangkutan
2. Rotasi tugas/jabatan
Rotasi adalah perpindahan karyawan dari satu unit/bagian ke unit/bagian yang lain di dalam
organsiasi atau perusahaan. Rotasi memiliki arti filosofi yang lebih dalam dari mutasi
karena mutasi le bih bersifat teknis juga memiliki peranan dan manfaat dari sisi kedinasan,
kepentingan individu dan lain sebagainya. Rotasi atau rolling merupakan memutar atau
menggilir penempatan karyawan structural maupun fungsional dari jabatan tertentu ke
jabatan lainnya yang ditetapkan dalam sebuah kebijakan. Indikator rotasi kerja/jabatan
adalah:
a) Alih tugas sebagai media penyegaran atau tingkat kejenuhan kerja
b) Alih tugas untuk meningkatkan produktivitas kerja
c) Alih tugas untuk menambah pengalaman kerja

KerangkaAnalisis
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pelatihan, promosi jabatan dan mutasi
terjadap kinerja karyawan Bank Bengkulu. Pelatihan, promosi dan mutasi merupakan faktor
organisasional yang dapat meningkatkan kinerja karyawan (Caple, 2009; Tyson, 2006 & Chan,

1130 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


2010). Pelatihan dalam bidang pekerjaan akan membantu seseorang memperoleh kemampuan agar
dapat melakukan tugas atau pekerjaan secara memadai dan menyadari potensi yang mereka miliki
(Caple, 2009). Sementara itu, promosi dan mutasi akan membuat penyegaran kepada karyawan agar
tidak jenuh pada rutinitas yang berlangsung lama (Biech, 2005). Mathis dan Jackson (2016) juga
mengungkapkan bahwa pentingnya pelatihan, promosi dan mutasi sebagai upaya pengembangan
SDM guna meningkatkan kinerjanya. Sejalan dengan uraian teori yang telah disajikan sebelumnya,
pelatihan memiliki dampak positif bagi pencapaian kinerja karyawan. Pelatihan memberikan
peranan penting terhadap kemajuan kemampuan para karyawan yang akan dikembangkan serta
dapat memberikan semangat serta membina karyawan agar mampu untuk bekerja mandiri juga
dapat menumbuhkan kepercayaan diri karyawan sehingga prestasi kerjanya semakin meningkat.
Promosi adalah satu bentuk motivasi bagi para karyawan untuk menunjukkan prestasi-
prestasi yang besar. Pemberian promosi kepada karyawan akan menaikkan kegairahan bekerja
karyawan, menaikkan moral dan efisiensi kerja karyawan dan dapat pula berarti mendudukkan
orang yang tepat pada jabatan yang tepat.
Mutasi adalah suatu perubahan posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang dilakukan baik secara
horizontal maupun vertikal (promosi/demosi) di dalam suau organisasi. Pada dasarnya mutasi
termasuk dalam fungsi pengembangan karyawan, karena tujuannya untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas kerja dalam perusahaan (pemerintahan ) tersebut.
Jadi, secara umum dapat dinyatakan bahwa pengaruh dari Pelatihan, Promosi dan Mutasi
terhadap kinerja sangatlah penting. Dari pemaparan tersebut, maka kerangka analisis pada
penelitian ini digambarkan sebagai berikut.

Manfaat Pelatihan (X1) H1

Promosi Jabatan (X2) H3 Kinerja Karyawan (Y)

Mutasi (X3) H3

Gambar 1. Kerangka Analisis

Pengembangan Hipotesis
Pelatihan adalah usaha secara sistematis untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja
tenaga kerja pada posisi pekerjaannya saat ini. Pelatihan mengakibatkan terjadinya perubahan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan prilaku seorang kearah yang lebih baik atau lebih sesuai
dengan tuntutan pekerjaan dan masalah-masalah yang dihadapi.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1131


Promosi jabatan dapat dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat kerjasama antar
karyawan. Promosi memberikan peran penting bagi setiap karyawan, bahkan menjadi idaman yang
selalu dinanti-nantikan. Dengan promosi berarti ada kepercayaan dan pengakuan mengenai
kemampuan serta kecakapan karyawan bersangkutan untuk menduduki suatu jabatan yang lebih
tinggi, dengan demikian promosi akan memberikan status sosial, wewenang, tanggungjawab, serta
penghasilan yang semakin besar bagi karyawan.
Salah satu yang perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan kinerja karyawan yaitu
pelaksanaan mutasi yang baik agar menempatkan karyawan pada tempat yang tepat, supaya
karyawan yang bersangkutan memperoleh suasana baru atau kepuasan kerja setinggi mungkin dan
dapat meningkatkan kinerja yang lebih tinggi. Mutasi akan membuat penyegaran kepada karyawan
agar tidak jenuh pada rutinitas yang berlangsung lama (Biech, 2005). Mathis dan Jackson (2016)
juga mengungkapkan bahwa pentingnya mutasi sebagai upaya pengembangan SDM guna
meningkatkan kinerjanya.
Berangkat dari konsep dan penelitian sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh di antara
ketiga variabel yang diteliti. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis
alternatif dengan penjelasan berikut ini.
Dari uraian di atas, maka hipotesis penelitian yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
H1: Manfaat Pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan Bank
Bengkulu
H2: Promosi jabatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan Bank
Bengkulu
H3: Mutasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan Bank Bengkulu

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Hasil Analisis Data
Hasil analisis regresi yang dilakukan terhadap pengaruh manfaat pelatihan, promosi dan
mutase terhadap kinerja karyawan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Regresi

Nilai Beta Standard


Variabel (Standardized) Error t-test Sig.
Manfaat Pelatihan 0,540 0,063 6,716 0,000
Promosi 0,274 0,124 3,303 0,001
Mutasi 0,181 0,237 2,747 0,007
Korelasi Berganda (R) 0,844
Determinasi (R2) 0,713
Adjusted R2 0,703
F-hitung 67,915
Signifikansi (p-value) 0,000
*) Signifikansi: 0,05 (%)

1132 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Berdasarkan hasil perhitungan regresi, diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:
Y = 0,540X1 + 0,274X2 + 0,181X3
Interpretasi persamaan regresi di atas adalah: Pertama, koefisien regresi variabel manfaat pelatihan
(1) sebesar 0,540 menunjukkan bahwa pelatihan kepada karyawan Bank Bengkulu berpengaruh
positif terhadap kinerja, artinya semakin tinggi manfaat pelatihan maka kinerja karyawan semakin
tinggi. Kedua, koefisien regresi variabel promosi (2) sebesar 0,274 menunjukkan bahwa promosi
jabatan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, artinya semakin sesuai promosi yang
dilakukan, akan dapat meningkatkan kinerja karyawan. Ketiga, koefisien regresi variabel promosi
(3) sebesar 0,181 menunjukkan bahwa mutasi jabatan berpengaruh positif terhadap kinerja
karyawan, artinya semakin sesuai mutasi yang dilakukan, akan dapat meningkatkan kinerja
karyawan.

Pengujian Kelayakan Model Regresi


Kelayakan model regresi yang dilakukan dapat diidentifikasi dengan melihat nilai koefisien
determinasi. Koefisien determinasi digunakan untuk menguji kelayakan model regresi yang
digunakan. Menurut Ghozali (2011) koefisien determinasi yang dapat dipergunakan untuk regresi
berganda (jika variabel independent lebih dari satu) adalah adjusted R2. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (adjusted R2) sebesar 0,703, yang berarti bahwa variasi
peningkatan atau penurunan kinerja karyawan dapat dijelaskan oleh manfaat pelatihan, promosi dan
mutasi sebesar 70,3%. Sedangkan sisanya 29,7% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.
Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa variabel independent memiliki kemampuan prediktif yang
baik terhadap variabel dependent (Ghozali, 2011).

Hasil Pengujian Hipotesis


Hasil Pengujian Hipotesis Pertama (H1)
Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa variabel penerapan manfaat pelatihan
berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar
6,716 dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,000. Jika dibandingkan antara nilai p-value
dngan alpha 0,05 maka nilai p-value < 0,05. Dengan demikian, hipotesis pertama yang dirumuskan
dalam penelitian ini yang berbunyi manfaat pelatihan berpengaruh signifikan terhadap kinerja
karyawan diterima. Hasil ini bermakna jika pelatihan yang diberikan kepada karyawan semakin
tinggi, maka kinerja karyawan juga akan semakin tinggi.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1133


Hasil Pengujian Hipotesis Kedua (H2)
Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa variabel promosi berpengaruh signifikan
terhadap kinerja karyawan. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 3,303 dengan nilai
probabilitas (p-value) sebesar 0,001. Jika dibandingkan antara nilai p-value dngan alpha 0,05 maka
nilai p-value < 0,05. Dengan demikian, hipotesis kedua yang dirumuskan dalam penelitian ini yang
berbunyi promosi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan diterima. Hasil ini bermakna
jika promosi semakin baik dan sesuai, maka kinerja karyawan semakin tinggi.

Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga (H3)


Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa variabel mutasi berpengaruh signifikan
terhadap kinerja karyawan. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 2,747 dengan nilai
probabilitas (p-value) sebesar 0,007. Jika dibandingkan antara nilai p-value dngan alpha 0,05 maka
nilai p-value < 0,05. Dengan demikian, hipotesis ketiga yang berbunyi mutasi berpengaruh
signifikan terhadap kinerja karyawan diterima. Hasil ini bermakna jika mutasi semakin baik dan
sesuai maka kinerja karyawan semakin tinggi.

Pembahasan
Pembahasan dalam Penelitian ini akan dijelaskan mengenai hasil-hasil penelitian dan
pengujian hipotesis yang telah diperoleh sebelumnya. Pembahasan juga akan dilakukan dengan
menguraikan masing-masing keterkaitan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen
yang didukung dengan analisis deskriptif, dukungan teori dan penelitian terdahulu.

Pengaruh Manfaat Pelatihan terhadap Kinerja Karyawan


Data awal menunjukkan bahwa sebagian karyawan telah mengikuti peltihan-pelatihan yang
diselenggarakan oleh Bank Bengkulu. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa manajemen Bank
Bengkulu telah mendukung peningkatan kinerja karyawan melalui pemberian pelatihan, terutama
pelatihan pelayanan dan pelatihan adminstrasi perbankan. Dukungan manajemen ini diharapkan
lebih meningkat lagi, baik dari sisi frekuensi maupun materi pelatihannya, sehingga memberikan
manfaat yang lebih baik lagi bagi karyawan dalam bidang tugasnya. Manfaat-manfaat yang
diperoleh karyawan karyawan setelah mengikuti diklat di antaranya adalah: Pertama, peningkatan
wawasan berfikir yang meliputi penambahan wawasan pengetahuan terhadap pekerjaan,
kemampuan mengidentifikasi kelemahan-kelemahan metode kerja yang dilakukan saat ini,
meningkatkan pengetahuan mengenai metode kerja baru dan mampu membuat karyawan berfikit
analitis.

1134 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Kedua, peningkatan penguasaan konsep yang meliputi pengetahuan mengenai isi pekerjaan,
membantu dalam mengetahui pemecahan masalah pekerjaan, meningkatan pengetahuan konseptual
dan membantu karyawan karyawan memahami seluk-beluk pekerjaannya. Ketiga, peningkatan
pengetahuan pekerjaan yang meliputi peningkatan ketekunan karyawan karyawan dalam bidang
pekerjaan, meningkatan pengetahuan teknis pekerjaan, meningkatkan kemampuan
mengindentifikasi dan menyelesaikan pekerjaan.
Keempat, peningkatan kemampuan menyelesaikan tugas yang meliputi pengetahan dalam
bidang tugas yang dikerjakan, meningkatkan profesionalisme kerja, meningkatkan karir karyawan,
dan meningkatkan tanggungjawab kerja karyawan. Kelima, peningkatan kapasitas individu
karyawan karyawan yang ditunjukkan dengan peningkatkan kemampuan kerja karyawan,
peningkatan kemahiran karyawan, peningkatan kemampuan manajerial dan peningkatan keahlian
dalam bidang tugas secara memadai.

Pengaruh Promosi terhadap Kinerja Karyawan


Promosi jabatan merupakan bentuk kepercayaan dan pengakuan instansi atau organisasi atas
kemampuan serta kecakapan karyawan. Promosi jabatan dapat dilakukan dengan tujuan untuk
memperkuat kerjasama antar karyawan. Promosi memberikan peran penting bagi setiap karyawan,
bahkan menjadi idaman yang selalu dinanti-nantikan. Dengan promosi berarti ada kepercayaan dan
pengakuan mengenai kemampuan serta kecakapan karyawan bersangkutan untuk menduduki suatu
jabatan yang lebih tinggi, dengan demikian promosi akan memberikan status sosial, wewenang,
tanggungjawab, serta penghasilan yang semakin besar bagi karyawan.
Promosi jabatan memberikan peran penting bagi setiap karyawan,bahkan menjadi idaman
yang selalu dinanti-nantikan. Dengan promosi berarti adakepercayaan dan pengakuan mengenai
kemampuan serta kecakapan karyawan bersangkutan untuk menduduki suatu jabatan yang lebih
tinggi. Dengan demikian promosi akan memberi status sosial, wewenang ,tanggung jawab, serta
penghasilan yang semakin besar bagi karyawan. Jika ada kesempatan bagi setiap karyawan
dipromosikan berdasarkan azas keadilan dan objektivitas, karyawan akan terdorong bekerja giat,
bersemangat, berdisiplin, dan berprestasi kerja sehingga sasaran perusahaan secara optimal dapat
dicapai. Begitu besarnya pelaksanaan promosi karyawan maka sebaiknya manajer personalia harus
menetapkan program promosi serta menginformasikannya kepada para karyawan. Program promosi
harus memberikan informasi tentang asas-asas, dasardasar, jenis-jenis, dan syarat-syarat karyawan
yang dapat dipromosikan dalam perusahaan bersangkutan. Program promosi harus diinformasikan
secara terbuka. Jika hal ini diinformasikan dengan baik, akan menjadi motivasi bagi karyawan
untuk bekerja sungguh-sungguh.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1135


Pengaruh Mutasi terhadap Kinerja Karyawan
Salah satu yang perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan kinerja karyawan yaitu
pelaksanaan mutasi yang baik agar menempatkan karyawan pada tempat yang tepat, supaya
karyawan yang bersangkutan memperoleh suasana baru atau kepuasan kerja setinggi mungkin dan
dapat meningkatkan kinerja yang lebih tinggi.

Implikasi Strategis
Berkaitan dengan hasil tersebut, manajemen Bank Bengkulu memerlukan upaya
mempertahankan dan memperbaiki kualitas SDM terutama kapabilitasya, sehingga mampu
meningkatkan kinerjanya. Dari hasil tersebut, implikasi yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1) Manfaat pelatihan berpengaruh positif pada kinerja karyawan. Hasil yang diperoleh dari
mengikuti program pendidikan dan pelatihan dalam bentuk peningkatan wawasan berfikir,
peningkatan penguasaan konsep, peningkatan pengetahuan pekerjaan, peningkatan pengetahuan
dalam penyelesaian pekerjaan dan peningkatan kapasitas individu. Pelatihan yang diberikan
kepada karyawan tidak hanya membuat karyawan mampu melaksanakan tugas, namun juga
akan menambah pengalaman karyawan dalam menjalan tugas sehari-hari.
2) Promosi dan mutasi merupakan kebijakan internal di dalam organisasi. Oleh karena itu,
kebijakan promosi dan mutasi disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini dilakukan
sebagai upaya penyegaran bagi karyawan agar selalu bersemangat dan ceria dalam
melaksanakan pekerjaannya.

Penutup
Kesimpulan
Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
kesimpulan yang dapat ditarik adalah:
1. Manfaat pelatihan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan Bank Bengkulu. Hasil ini
menunjukkan bahwa jika semakin tinggi atau besar manfaat pendidikan dan pelatihan yang
dilaksanakan, maka kinerja karyawan Bank Bengkulu semakin meningkat.
2. Variabel promosi jabatan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, artinya semakin sesuai
promosi yang dilakukan, akan dapat meningkatkan kinerja karyawan.
3. Variabel mutasi jabatan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, artinya semakin sesuai
mutasi yang dilakukan, akan dapat meningkatkan kinerja karyawan.

1136 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Saran
Berdasarkan kesimpulan masalah di atas, maka saran yang dilakukan adalah:
1. Dari hasil penelitian diketahui bahwa indikator pelatihan mendapatkan nilai terendah. Oleh
karena itu, kinerja karyawan Bank Bengkulu dapat ditingkatkan jika karyawan mendapatkan
pelatihan tentang tugas-tugas di dalam organisasi. Bank Bengkulu dapat menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan khusus kepada karyawan agar lebih terampil dalam melaksanakan tugas.
2. Promosi dan mutasi merupakan kebijakan internal di dalam organisasi. Indikator promosi dan
mutasi yang mendapatkan nilai rendah adalah masalah kebijakan perusahaan. Oleh karena itu,
kebijakan promosi dan mutasi disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini dilakukan
sebagai upaya penyegaran bagi karyawan agar selalu bersemangat dan ceria dalam
melaksanakan pekerjaannya.

Referensi

Armstrong, G. (2008). Human resources management. New Jersey: Prentice Hall.


Bangun, Wilson. (2012). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Erlangga.
Biech, E. (2005). Training for dummies. Indianapolis. New York: Willey Publishing.
Chan, J.F. (2010). Training fundamentals. San Francisco: John Willey and Son.
Dessler, G. (2004). Manajemen sumber daya manusia (edisi 9, Jilid 1). Jakarta: Gramedia.
_________ (2009). Manajemen sumber daya manusia (edisi 10, Jilid 1). Jakarta: Indeks.
_________ (2011). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Indeks.
_________ (2013) Manajemen sumber daya manusia human reources (jilid 2). Jakarta: Prenhalindo.
Ghozali, Imam. (2011). Aplikasi analisis multivariat dengan program SPSS. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Harsono. (2011). Etnografi pendidikan sebagai desain penelitian kualitatif. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Mathis, R.L & Jackson. (2016). Manajemen sumber daya manusia (edisi 1&2), (alih Bahasa: Bayu
Brawira). Jakarta: Salemba Empat.
Mitchel, T.R. (1990). Manajemen sumber daya manusia, Jakarta: Prenhalindo.
Nasution. (2010). Manajemen personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rivai, V. (2012). Manajemen personalia dan sumber daya manusia, Jakarta: Rineka Cipta.
Robbins, S.P. (2008). Perilaku keorganisasian, Jakarta: Erlangga.
__________ (2015). Perilaku organisasi, Jakarta: Erlangga.
Sedarmayanti. (2012). Good governance. Bandung: Alfabeta.
Sekaran, U. (2016). Metodologi penelitian untuk bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
Tyson, S. (2006). Essentials of human resource management. United Kingdom: Elsevier.
Williams, S. (2004). Human resources management. New York: John Wiley & Sons.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1137


Pengaruh Perilaku Pemimpin, Motivasi Kerja Dan Locus Of Control Terhadap
Kinerja Melalui Kepuasan Kerja Pada Pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten
Bengkulu Utara

Meylie Muchtar1), Slamet Widodo2), Trisna Murni3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2),3)

Abstract. The quality of human resources give optimum support on organization performance that
generally established to achieve its goal. An Officer as a civil servant has an important role on it. It
requires to be loyal, valued, good mentality and professional as well as a good requirements for being
a good officer. The purpose of this research are: (1) to determine the influence of leadership attitude
on officers work satisfaction in Government Secretariat of North Bengkulu Regency office; (2) to
determine the influence of work satisfaction on the officers job satisfaction Government Secretariat
of North Bengkulu Regency office; (3) to determine the influence of locus of control on officer job
satisfaction of Government Secretariat of North Bengkulu Regency; (4) To determine the mediation
role of job satisfaction on the influence of leadership attitude, work motivation and locus of control
on officer performance of Government Secretariat of North Bengkulu Regency. The sample used in
the analysis is 122 respondents. The data analysis method used is descriptive analysis and mediate
regression analysis. From the hypothesis testing results obtained: First, leadership attitude, work
motivation and locus of control has positive and significant effect on officers job satisfaction. It means
that if the leadership attitude, work motivation and locus of control is higher, then the job satisfaction
of the Government Secretariat of North Bengkulu Regency will be higher. Second, the work
satisfaction has a positive and significant effect on performance officer of Government Secretariat of
North Bengkulu Regency. Third, work satisfaction has a mediating variable on the influence of
leadership attitude, work motivation and locus of control on officer performance of the Government
Secretariat of North Bengkulu Regency office.

Keywords: Leadership attitude, Work Motivation, Locus of Control, Work Satisfaction and
Performance

Pendahuluan
Perkembangan era globalisasi yang ditandai dengan kemudahan informasi dan arus informasi
yang cepat membutuhkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan mampu menganalisa informasi
dan mengambil keputusan dengan cepat dan akurat. Kemampuan tersebut dapat diperoleh dari sumber
daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan teknologi serta sikap yang sesuai dengan tuntutan
tugasnya. Oganisasi tidak hanya semata-mata mengejar pencapaian produktivitas yang tinggi saja,
tetapi juga lebih memperhatikan kinerja dalam proses pencapaiannya. Kinerja (performance)
merupakan faktor kunci bagi setiap individu dan organisasi dalam pencapaian produktivitas. Kinerja
adalah suatu pengukuran metode kerja yang dilakukan setiap perkerjaan dengan mengunakan sumber
daya yang terbatas untuk mencapai setelah perkerjaan tersebut selesai di kerjakan (Siagian, 2009).

1138 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Peningkatan kinerja merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh setiap organisasi baik swasta
maupun instansi pemerintah dalam usaha mencapai tujuananya. Keberhasilan usaha tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang paling penting adalah tenaga kerja atau
pegawai. Pegawai yang memiliki locus of control akan melaksanakan perkerjaan dengan penuh
percaya diri, sehingga perkerjaan tersebut akan diselesaaikan dengan hasil yang baik (Manhub, 2007).
Perilaku pemimpin merupakan salah satu elemen penting dalam mencapai, mempertahankan
dan meningkatkan organisasi, karena keefektifan anggota-anggota organisasi dalam melakukan
pekerjaan tergantung pada pengaruh yang diterima dari pimpinan mereka. Usaha meningkatkan
kinerja bawahan, pemimpin sebaiknya dapat mempengaruhi bawahannya supaya merasa senang dan
bahagia, sehingga akan mempunyai keinginan untuk berkontribusi (Bass et.al, 2003). Berhasil
tidaknya dalam menjalankan usaha pada suatu organisasi tergantung kepada kinerja pegawai nya.
Perilaku pemimpin adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang
didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-
tujuan yang diinginkan kelompok (Tead, 2003). Menurut Heidjrachman dan Husnan (2006) seorang
pemimpin haruslah paling sedikit mampu untuk memimpin para bawahannya untuk mencapai tujuan
organisasi dan juga harus mampu untuk menangani hubungan antar pegawai. Hubungan kerja antara
pemimpin dan bawahannya sangat berpengaruh terhadap kesuksesan pencapaian tujuan organisasi
karena pada dasarnya bawahan akan bekerja lebih efektif bila dilakukan dalam kondisi yang
menyenangkan. Menyenangkan berarti seluruh komponen fisik dan non fisik bebas dari tekanan,
menyenangkan juga berarti keadaan yang amat rileks tidak ada ketegangan yang mengancam,
sehingga kinerja pegawai dapat lebih baik.
Motivasi dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai (Robbins, 2006),
termasuk motivasi kerja dan kepuasan pegawai akan mempengaruhi kinerja pegawai tersebut.
Motivasi adalah dorongan yang muncul dari seorang pegawai baik yang berasal dari dalam diri
maupun dari luar diri pegawai (Schuller, 2008). Pegawai yang memiliki motivasi yang tinggi,
cenderung akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula.
Faktor lain yang juga mempengaruhi kinerja pegawai adalah kepuasan kerja. Hal tersebut
sebagaimana dinyatakan oleh Robbins (2006) bahwa kepuasan kerja seseorang akan mempengaruhi
seseorang tersebut dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Kepuasan kerja pegawai tersebut mencakup
kepuasan terhadap pekerjaan, mekanisme kerja, sistem bayaran, dan perilaku pemimpin yang ada di
dalam organisasi (Sedarmayanti, 2007). Sama halnya motivasi kerja, pegawai yang puas dengan
pekerjaannya tentu saja akan sangat mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Sebaliknya, jika
pegawai tidak puas dengan pekerjaan, maka pegawai cenderung tidak bersemangat melaksanakan

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1139


kerja, bermalas-malasan, dan menghasilkan kinerja yang tidak maksimal. Selanjutnya, faktor locus
of control juga mampu mempengaruhi kinerja seseorang.
Hubungan antara kepribadian dengan kinerja seseorang dipengaruhi oleh keadaan dan
kecenderungan individu untuk berperilaku berbeda dan menyimpang dari karakteristik sifat ketika
berada diluar lingkungan kerja (Barrick dan Mount, dalam Kreitner dan Kinicki, 2014). Model
kepribadian yang populer dan banyak digunakan oleh para praktisi sumber daya manusia dalam
memprediksi kinerja adalah kepribadian lima besar (the big five), kepribadian tipe A, evaluasi diri
inti, marchiavellianisme, narsisme, pemantauan diri, pengambilan resiko, dan letak kendali (Robbins
& Judge, 2017).
Dari hasil survey pendahuluan yang dilakukan melalui wawancara dengan Pimpinan Kantor
Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu Utara pada tanggal 12 Januari 2019 terlihat bahwa motivasi
kerja dan kepuasan kerja pegawai masih belum optimal, yang ditunjukkan dengan: (1) Semangat kerja
yang ditunjukkan oleh pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu Utara juga belum tinggi dan
ditunjukkan dengan tingkat penyelesaian pekerjaan yang belum sesuai target waktu yang ditetapkan.
Pegawai masih ada yang bermalas-malasan dalam melaksanakan tugas; (2) Rendahnya kepuasan
kerja pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu Utara terutama dari sisi tujangan beban kerja
yang dibayarkan tidak tepat waktu. Padahal tunjangan beban kerja sangat penting bagi pemenuhan
kebutuhan pegawai dan keluarganya; dan (3) Masih ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat
diselesaikan dengan tepat waktu, sehingga pekerjaan tersebut belum dapat dievaluasi pimpinan.
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
mengambil fokus pada:
 Apakah perilaku pemimpin, motivasi kerja dan locus of control berpengaruh terhadap
kinerja melalui kepuasan kerja pada pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu
Utara

Tinjauan Pustaka
Kinerja
Kinerja (performance) sama dengan prestasi kerja (Wasistiono, 2002). Selanjutnya
Mangkunegara (2001) mengatakan bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau
actual performance (kinerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Pengertian
kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya, sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Selanjutnya
Ulrich (dalam Mathis & Jackson, 2001) mengatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja dari induvidu adalah tenaga kerja, kemampuan mereka, motivasi, dukungan yang diterima,

1140 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan, hubungan mereka dengan organisasi. Menurut Suyadi
(dalam Widodo, 2007) kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai
dengan tanggung jawab dengan hasil yang diharapkan.
Penilaian kinerja (Performance Appraisal) merupakan upaya membandingkan kinerja aktual
pegawai dengan kinerja kerja yang diharapkan darinya (Dessler, 2002). Penilaian kinerja memainkan
peranan yang sangat penting dalam peningkatan motivasi di tempat kerja. Pegawai menginginkan dan
memerlukan balikan berkenaan dengan kinerja mereka dan penilaian menyediakan kesempatan untuk
memberikan balikan kepada mereka. Jika kinerja tidak sesuai dengan standar, maka penilaian
memberikan kesempatan untuk meninjau kemajuan pegawai dan untuk menyusun rencana
peningkatan kinerja (Dessler, 2002).
Kinerja (performance) adalah keberhasilan pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya.
Kinerja pegawai negeri sipil adalah keberhasilan pegawai yang bersangkutan dalam melaksanakan
tugas pokok yang dibebankan kepadanya. Meirer (dalam As‟ ad, 2005) memberikan konsep tentang
kinerja sebagai successfull role achievement, sehingga dapat diartikan lebih luas dalam berbagai
jenjang dan bidang masing-masing. Definisi tersebut lebih relevan untuk mengukur kinerja pegawai
negeri pada level manajemen menengah, yaitu keberhasilan dalam peran dan posisi masing-masing.
Kinerja dapat dinyatakan secara kualitatif maupun kuantitatif, dapat juga secara relatif maupun
absolut.
Untuk mempertahankan kesetiaan pegawai, manajemen harus mampu mengerti keinginan
pegawai, dalam hal ini kebutuhan manusia (Human needs). Meskipun keinginan ini bisa bermacam-
macam, beberapa keinginan (wants) berikut ini merupakan berbagai keinginan yang umum
dinyatakan, yang terdiri dari:
1. Gaji/upah yang baik. Gaji bisa dipakai untuk memuaskan kebutuhan psikologis, sosial,
maupun egoistis. Karena itu tidak heran kalau sebagian besar pegawai menginginkan gaji
yang tinggi dari pekerjaannya.
2. Pekerjaan yang aman secara ekonomis. Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang
merupakan salah satu harapan para pegawai. Keinginan ini bisa dibuktikan dari
banyaknya peminat untuk menjadi pegawai negeri (karena adanya jaminan pensiun).
3. Rekan kerja yang kompak. Keinginan ini merupakan cermin dari kebutuhan sosial,
seorang pegawai mungkin keberatan untuk dipromosikan, hanya karena tidak
menginginkan kehilangan rekan kerja yang kompak.
4. Penghargaan terhadap pekerjaan yang dijalankan. Keinginan ini berasal dari kebutuhan
egoistis, yang bisa diwujudkan dengan pujian, hadiah (dalam bentuk uang maupun tidak),
diumumkan kepada rekan-rekan sekerjanya dan sebagiannya.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1141


5. Pekerjaan yang berarti. Keinginan ini merupakan perwujudan dari kebutuhan untuk
berprestasi. Mungkin pada abad ini keinginan agak sukar terpenuhi, terutama dengan
timbulnya spesialisasi yang tajam.
6. Kesempatan untuk maju. Meskipun mungkin tidak semua pegawai ingin dipromosikan
(karena alasan sosial) tetapi pada umumnya setiap orang menginginkan untuk maju
dalam hidupnya.
7. Kondisi kerja yang aman, nyaman dan menarik. Kondisi kerja yang aman berasal dari
kebutuhan akan rasa aman (safety needs). Tempat kerja yang nyaman dan menarik
sebetulnya lebih merupakan suatu prestise (simbol status), dan pengalokasian hal-hal
yang bersifat status symbols juga cukup sukar, sebagaimana pengalokasian dana.
8. Pimpinan yang adil dan bijaksana. Pimpinan yang baik menjamin bahwa pekerjaan akan
tetap bisa dipertahankan (physiological dan security needs). Demikian juga, pimpinan
yang tidak berat sebelah, akan menjamin ketenangan kerja. Dipisahkan dari pimpinan
yang bijaksana. Pengarahan diperlukan menjaga agar pelaksanaan tidak menyimpang,
dan perintah yang wajar diperlukan untuk keberhasilan pelaksana.
9. Organisasi/tempat kerja yang dihargai masyarakat. Keinginan ini merupakan
pencerminan dari kebutuhan sosial.

Selanjutnya Menurut Dessler (2002), menyatakan bahwa indikasi kinerja di dalam


organisasi adalah sebagai berikut:
1. Kualitas kerja, pada pegawai dinilai berdasarkan penyelesaian tugas atau pekerjaan akhir
sesuai dengan norma, standar prosedur dan kriteria yang telah ditetapkan oleh organisasi.
Pekerjaan dilakukan dengan memperkecil tingkat kesalahan dan kekeliruan, oleh karena
itu diharapkan individu memiliki kemampuan dan keterampilan dibidang masing-
masing untuk menjaga kualitas hasil pekerjaan.
2. Kuantitas Kerja, adalah hasil kerja yang berkaitan dengan jumlah produksi atau jumlah
pekerjaan yang telah diselesaikan sesuai dengan ketentuan
3. Kehadiran dan ketetapan waktu. Adalah tingkat kedisiplinan pegawai untuk mengikuti
jadwal pekerjaan yang telah disediakan oleh organisasi.
4. Tanggung jawab adalah bersedia mengambil resiko atas pekerjaan yang dilakukan
adalah salah satu bentuk tanggung jawab terhadap pekerjaan dalam sebuah organisasi.
5. Ketepatan waktu kerja, Merupakan tingkat aktivitas pekerjaan yang diselesaikan
berdasarkan jadwal yang telah ditentukan sesuai dengan awal pelaksanaan pekerjaan

1142 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan
waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
6. Kerja sama, adalah kemampuan pegawai untuk bekerja sama dalam tim, baik itu didalam
organisasi atau melakukan komunikasi yang baik diluar organisasi dalam hal
penyelesaian pekerjaan.

Perilaku pemimpin
Anthony dan Govindarajan (2003) menyatakan bahwa setiap organisasi terdiri dari elemen-
elemen atau bagian yang telah ditentukan fungsi-fungsinya, untuk saling bekerjasama dan saling
mempengaruhi, dan tidak ada yang lebih dominan atau lebih utama dari sebagian yang lain, kecuali
harus terkoordinasi dalam tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Perilaku pemimpin oleh Blanchard
(2001) adalah proses dalam mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok dalam
usahanya mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Tanpa perilaku pemimpin organisasi hanya
merupakan kelompok manusia yang kacau tidak teratur dan tidak akan melahirkan perilaku bertujuan
(Davis dalam Sudarwan, 2004: 18). Pemimpin yang berpusat pada pegawai percaya dalam
mendelegasikan pengambilan keputusan dengan cara membentuk suatu lingkungan suportif (Gibson,
2001). Pemimpin yang berpusat pada pegawai memiliki perhatian terhadap kemajuan, pertumbuhan
dan prestasi para pengikutnya. Konsiderasi melibatkan perilaku yang menunjukan persahabatan,
saling percaya, menghargai, kehangatan dan komunikasi antara pimpinan dan pengikutnya.
Pemimpin yang mempunyai konsiderasi yang tinggi menekankan pentingnya komunikasi yang
terbuka dan partisipasi.

Motivasi Kerja
Motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti “dorongan” atau “daya penggerak”
(Sadili, 2006). Konsep motivasi kerja sendiri telah di definisikan oleh Wexly & Yulk (2007),
mengatakan bahwa: “Motivasi kerja adalah pemberian dorongan atau sesuatu yang melatar belakangi
seseorang untuk melakukan sesuatu atau tingkah laku”. Motivasi merupakan hal penting dalam
kelangsungan hidup suatu organisasi dan mencapai tujuannya secara optimal. Hal ini disebabkan
dengan motivasi diharapkan setiap pegawai mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai
produktifitas kerja yang tinggi. Menurut Hasibuan (2009: 34) beberapa alasan dasar mengapa
motivasi penting dilakukan pimpinan organisasi terhadap pegawai nya adalah: (1) Pimpinan
membagi-bagikan pekerjaan kepada pegawai bawahan untuk dikerjakan dengan baik; (2) Ada
pegawai yang mampu untuk mengerjakan pekerjaanya, tetapi ia malas atau kurang bergairah
mengerjakannya; (3) Untuk memelihara dan atau meningkatkan kegairahan kerja bawahan dalam

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1143


menyelesaikan tugas-tugasnya; dan (4) Untuk memberikan penghargaan dan kepuasan kerja kepada
bawahan.
Faktor intrinsik seperti prestasi, pengakuan, kerja itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan dan
pertumbuhan dikaitkan dengan kepuasan kerja Herzberg (dalam Robbin, 2013). Jika pegawai merasa
tidak puas maka muncul faktor ekstrinsik diantaranya kebijakan dan pimpinan perusahaan,
penyeliaan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan gaji dan telah dicirikan oleh Herzberg sebagai
factor-faktor higiene. Jadi motivasi menurut Hezberg dikaitkan dengan kepuasan individu atas apa
yang dikerjakan. Menurut Maslow (dalam Robbins, 2008) motivasi adalah pendorong yang
merupakan suatu usaha yang didasari untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang untuk bertindak
melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil dan tujuan tertentu. Maslow mengemukakan dimensi
untuk mengukur motivasi, yakni: pemenuhan kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan
sosial, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri.

Locus of Control
Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan
sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri. Menurut
Schemerhorn (2011), locus of control adalah sejauh mana seseorang percaya bahwa suatu hal yang
terjadi berada dalam kendali dirinya. Sedangkan Myers (2013), menyatakan bahwa locus of control
adalah persepsi tentang bagaimana seseorang dapat mengendalikan takdirnya. Robbins dan Judge
(2017) juga mendefinisikan locus of control sebagai tingkatan kepercayaan seseorang dalam
mengendalikan takdirnya. Dari berbagai macam definisi yang diterangkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa locus of control merupakan sebuah sebuah kecenderungan yang ada dalam setiap individu
dalam menyikapi hal-hal yang terjadi dalam hidupnya, apakah berada dalam kontrol dirinya sendiri
atau hal lain di luar dari dirinya.
Locus of control dibagi menjadi dua jenis, yaitu internal dan external. Ada beberapa hal yang
membedakan antara seseorang yang memiliki kecenderungan internal locus of control dengan
external locus of control. Robbins & Judge (2017) menyatakan bahwa seseorang dengan
kecenderungan internal locus of control secara aktif mencari informasi sebelum membuat keputusan,
memiliki motivasi tinggi dalam mencapai suatu target, dan berupaya untuk mengatur lingkungan di
sekitarnya. Sedangkan Schermerson (2011) menyatakan bahwa seseorang dengan kecenderungan
internal locus of control memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri dan menerima tanggung jawab
atas segala tindakan yang mereka lakukan.

1144 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Penilaian Kinerja
Menurut Anthony (2007) sistem penilaian kinerja sebaiknya mengandung indikator kinerja
yaitu :
1. Memperhatikan setiap aktivitas organisasi dan menekankan pada perspektif pelanggan.
2. Menilai setiap aktivitas dengan menggunakan alat ukur kinerja yang mengesahkan
pelanggan.
3. Memperhatikan semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang mempengaruhi
pelanggan.
4. Menyediakan informasi berupa umpan balik untuk membantu anggota organisasi
mengenai permasalahan dan peluang untuk melalakukan perbaikan.
Banyak parah ahli dan peneliti yang telah menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja pegawai. Armstrong dan Baron (2008: 16) meliputi:
1. Personal Factors, ditunjukan oleh tingkat keterampilan, locus of control yang dimiliki,
motivasi, dan komitmen individu.
2. Leadership factor, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan dan dukungan yang
dilakukan manejer dan team leader.
3. Team factors, ditunjukan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan sekerja.
4. System factors, ditujukan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang diberikan
organisasi.
5. Contextual/situational faactors, ditunjukan oleh tingginya tingkat teknan dan perubahan
lingkungan internal dan eksternal.

Kerangka Analisis
Dalam penelitian ini digunakan faktor motivasi kerja dan kepuasan kerja sebagai variabel
independent (Gibson, 2006; Mangkunegara (2001). Penelitian Mahesa (2010) membuktikan motivasi
kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai dan Devi (2009) membuktikan kepuasan kerja
berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Perilaku
Pemimpin

(Y)
Motivasi Kerja Kepuasan Kerja
Kinerja pegawai

Locus of
control

Gambar 1.Kerangka Analisis

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1145


Pengembangan Hipotesis
Pengaruh Perilaku Pemimpin terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja
H1: Diduga perilaku pemimpin berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai
Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu Utara.
H2 : Diduga perilaku pemimpin berpengaruh terhadap kinerja pegawai Sekretariat
Daerah Kabupaten Bengkulu Utara.

Pengaruh Motivasi terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja


H3 : Diduga motivasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai Sekretariat Daerah
Kabupaten Bengkulu Utara.
H4 : Diduga motivasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai Sekretariat Daerah
Kabupaten Bengkulu Utara.

Pengaruh Locus of Control terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja


H5 : Diduga locus of control berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai Sekretariat
Daerah Kabupaten Bengkulu Utara.
H6 : Diduga locus of control berpengaruh terhadap kinerja pegawai Sekretariat Daerah
Kabupaten Bengkulu Utara.

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja


H7 : Diduga kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai Sekretariat Daerah
Kabupaten Bengkulu Utara.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Hasil Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Hierarchical Multiple Regression
Analysis (HMRA). Hierarchical Multiple Regression Analysis merupakan metode analisis hirarki
yang bersifat untuk menguji hipotesis yang eksplisit (Tabachnick & Fidell, 2007). Analisis HMRA
yang digunakan adalah metode regresi pemediasi (mediated regression analysis/MRA). Dalam
metode MRA, posisi variabel mediasi (M) adalah sebagai variabel perantara dari pengaruh variabel
independen (X) terhadap variabel dependen (Y). Sesuai dengan namanya, metode HMRA memiliki
4 tahapan pengujian, sebagai berikut:

1146 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Tahap Pertama: Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen
Pengujian pertama dalam metode MRA adalah menguji pengaruh langsung variabel
independen (X) terhadap variabel dependen (Y). Pada penelitian ini pengujian dilakukan pada
pengaruh variabel perilaku pemimpin (X1), motivasi kerja (X2) dan locus of control (X3) terhadap
variabel kinerja pegawai (Y). Berdasarkan hasil perhitungan dengan program SPSS, diperoleh hasil
sebagai berikut:

Tabel 1. Ringkasan Output uji: Pengaruh Variabel Independen (X) terhadap Variabel Dependen (Y)
Hasil
Keterangan
Independent Variable Coeff Beta t-stat p-value

Perilaku pemimpin (X1) 0,721 18,146 0,000 Signifikan

R-Square 0,673
F-Statistic 329,285
Prob (F-statistic) 0,000

Motivasi Kerja (X2) 0,529 7,984 0,000 Signifikan

R-Square 0,285
F-Statistic 63,743
Prob (F-statistic) 0,000

Locus of control (X3) 0,821 24,743 0,000 Signifikan

R-Square 0,793
F-Statistic 612,238
Prob (F-statistic) 0,000

a. Pengaruh Variabel Perilaku Pemimpin terhadap Kinerja


Berdasarkan Tabel diatas diketahui nilai koefisien regresi (β) sebesar 0,721, bermakna bahwa
pengaruh perilaku pemimpin terhadap kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika
perilaku pemimpin (X1) meningkat, maka kinerja pegawai juga akan meningkat. Pada tahap pertama
dapat dibuktikan bahwa variabel perilaku pemimpin memiliki pengaruh langsung positif dan
signifikan terhadap kinerja pegawai. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 18,146 dengan
nilai p-value sebesar 0,000 < alpha 0,05. Sehingga hipotesis yang berbunyi: Perilaku pemimpin
berpengaruh terhadap kinerja pegawai diterima.

b. Pengaruh Variabel Motivasi Kerja terhadap Kinerja


Nilai koefisien regresi (β) sebesar 0,529, bermakna bahwa pengaruh motivasi kerja terhadap
kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika motivasi kerja (X2) meningkat, maka
kinerja pegawai juga akan meningkat. Pada tahap pertama dapat dibuktikan bahwa variabel motivasi
kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Hal ini dibuktikan

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1147


dengan nilai t-hitung sebesar 7,984 dengan nilai p-value sebesar 0,000 < alpha 0,05. Sehingga
hipotesis yang berbunyi: Motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai diterima.

c. Pengaruh Variabel Locus Of Control terhadap Kinerja


Nilai koefisien regresi (β) sebesar 0,821, bermakna bahwa pengaruh locus of control terhadap
kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika kompetensi (X3) meningkat, maka kinerja
pegawai juga akan meningkat. Pada tahap pertama dapat dibuktikan bahwa variabel locus of control
memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Hal ini dibuktikan
dengan nilai t-hitung sebesar 24,743 dengan nilai p-value sebesar 0,000 < alpha 0,05. Sehingga
hipotesis yang berbunyi: Locus of control berpengaruh terhadap kinerja pegawai diterima.

Tahap Kedua: Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Mediasi


Pada tahap kedua metode MRA, melakukan regresi sederhana pengaruh langsung variabel
independen (X) terhadap variabel mediasi (M), yakni pengaruh perilaku pemimpin (X1), motivasi
kerja (X2) dan locus of control (X3) terhadap kepuasan kerja (M).

Tabel 2. Ringkasan Output uji Tahap Kedua: Pengaruh Variabel Independen (X) terhadap
Variabel Mediasi (M)
Hasil Keterangan
Independent Variable Coeff Beta t-stat p-value

Perilaku pemimpin (X1) 0,437 6,796 0,000 Signifikan

R-Square 0,224
F-Statistic 46,188
Prob (F-statistic) 0,000

Motivasi Kerja (X2) 0,225 3,277 0,001 Signifikan

R-Square 0,063
F-Statistic 10,809
Prob (F-statistic) 0,000

Locus of control (X3) 0,415 6,389 0,000 Signifikan

R-Square 0,203
F-Statistic 40,815
Prob (F-statistic) 0,000
Keterangan:
*) Signifikan pada level 5%
Sumber: Hasil penelitian 2020, diolah

Berdasarkan Tabel diatas diketahui bahwa persamaan regresi pengaruh variabel independent
(perilaku pemimpin, motivasi kerja dan locus of control) terhadap kepuasan kerja pegawai (Y) adalah
sebagai berikut:
a. Pengaruh Perilaku Pemimpin terhadap Kepuasan Kerja.
Nilai koefisien regresi (β) sebesar 0,437, bermakna bahwa pengaruh perilaku pemimpin
terhadap kepuasan kerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika perilaku pemimpin (X1)

1148 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


meningkat, maka kepuasan kerja pegawai juga akan meningkat. Pada tahap pertama dapat dibuktikan
bahwa variabel perilaku pemimpin memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap
kepuasan kerja pegawai. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 6,796 dengan nilai p-value
sebesar 0,000 < alpha 0,05. Sehingga hipotesis yang berbunyi: Perilaku pemimpin berpengaruh
terhadap kepuasan kerja pegawai diterima.

b. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja


Nilai koefisien regresi (β) sebesar 0,225, bermakna bahwa pengaruh motivasi kerja terhadap
kepuasan kerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika motivasi kerja (X2) meningkat,
maka kepuasan kerja pegawai juga akan meningkat. Pada tahap pertama dapat dibuktikan bahwa
variabel motivasi kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja
pegawai. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 3,277 dengan nilai p-value sebesar 0,001 <
alpha 0,05. Sehingga hipotesis yang berbunyi: Motivasi kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja
pegawai diterima.

c. Pengaruh Locus of Control terhadap Kepuasan Kerja


Nilai koefisien regresi (β) sebesar 0,415, bermakna bahwa pengaruh locus of control terhadap
kepuasan kerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika locus of control (X3) meningkat,
maka kepuasan kerja pegawai juga akan meningkat. Pada tahap pertama dapat dibuktikan bahwa
variabel locus of control memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja
pegawai. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 6,389 dengan nilai p-value sebesar 0,000 <
alpha 0,05. Sehingga hipotesis yang berbunyi: Locus of control berpengaruh terhadap kepuasan kerja
pegawai diterima.

Tahap Ketiga: Pengaruh Variabel Mediasi terhadap Variabel Dependen


Pada tahap ketiga metode MRA, melakukan regresi sederhana pengaruh langsung variabel
mediasi (M) terhadap variabel dependen (Y), yakni pengaruh kepuasan kerja (M) terhadap kinerja
pegawai (Y). Hasil perhitungan dengan program SPSS, diperoleh hasil seperti terangkum pada Tabel
berikut.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1149


Tabel 3. Ringkasan Output Uji Tahap Ketiga: Pengaruh Variabel Mediasi (M) terhadap Variabel
Dependen (Y)
Hasil
Keterangan
Variabel Coeff Beta t-stat p-value

Kepuasan Kerja 0,584 9,105 0,000 Signifikan

R-Square 0,341
F-Statistic 82,902
Prob (F-statistic) 0,000

Nilai koefisien regresi (β) sebesar 0,584, bermakna bahwa pengaruh kepuasan kerja terhadap
kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika kepuasan kerja (M) meningkat, maka
kinerja pegawai (Y) juga akan meningkat. Pada tahap ketiga pengujian MRA, dapat dibuktikan bahwa
variabel kepuasan kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai.
Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 9,105 dengan nilai p-value sebesar 0,000 < alpha
0,05, sehingga hipotesis yang berbunyi: Kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai
diterima.

Tahap Keempat: Pengaruh Variabel Independen dan Variabel Mediasi terhadap Variabel
Dependen (Full Model)
Pada tahap keempat metode MRA, melakukan regresi berganda (full model) pengaruh
variabel independent (X) dan variabel mediasi (M) terhadap variabel dependen (Y). Hasil perhitungan
dengan program SPSS, diperoleh hasil seperti terangkum pada Tabel.

Tabel 4. Hasil Pengujian MRA Tahap Keempat: Pengaruh Variabel Independen (X)
dan Variabel Mediasi (M) terhadap Variabel Dependen (Y)

Hasil

Keterangan
Coeff
Independent Variable t-stat p-value
Beta

Perilaku pemimpin (X1) 0,701 14,777 0,000 Signifikan


Kepuasan Kerja (M) 0,225 5,324 0,000 Signifikan

R-Square 0,722
F-Statistic 206,949
Prob (F-statistic) 0,000

1150 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Motivasi Kerja (X2) 0,413 7,134 0,000 Signifikan
Kepuasan Kerja (M) 0,480 8,298 0,000 Signifikan

R-Square 0,501
F-Statistic 79,822
Prob (F-statistic) 0,000

Locus of control (X3) 0,787 21,789 0,000 Signifikan


Kepuasan Kerja (M) 0,229 6,352 0,000 Signifikan

R-Square 0,835
F-Statistic 401,576
Prob (F-statistic) 0,000

Nilai koefisien regresi (β1) sebesar 0,701, bermakna bahwa pengaruh perilaku pemimpin
terhadap kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika perilaku pemimpin (X1)
meningkat, maka kinerja pegawai juga akan meningkat. Pada tahap keeampat juga dapat dibuktikan
bahwa variabel perilaku pemimpin memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap
kinerja pegawai. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 14,777 dengan nilai p-value sebesar
0,001 < alpha 0,05.
Nilai koefisien regresi (β2) sebesar 0,225, bermakna bahwa pengaruh kepuasan kerja terhadap
kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika kepuasan kerja meningkat, maka kinerja
pegawai (Y) juga akan meningkat. Pada tahap keempat pengujian MRA, dapat dibuktikan bahwa
variabel kepuasan kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai.
Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 5,324 dengan nilai p-value sebesar 0,000 < alpha
0,05.
Nilai koefisien regresi (β1) sebesar 0,413, bermakna bahwa pengaruh motivasi kerja terhadap
kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika motivasi kerja (X2) meningkat, maka
kinerja pegawai juga akan meningkat. Pada tahap keeampat juga dapat dibuktikan bahwa variabel
motivasi kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Hal ini
dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 7,134 dengan nilai p-value sebesar 0,000 < alpha 0,05.
Nilai koefisien regresi (β2) sebesar 0,480, bermakna bahwa pengaruh kepuasan kerja terhadap
kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika kepuasan kerja meningkat, maka kinerja
pegawai (Y) juga akan meningkat. Pada tahap keempat pengujian MRA, dapat dibuktikan bahwa
variabel kepuasan kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai.
Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 8,298 dengan nilai p-value sebesar 0,000 < alpha
0,05.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1151


Nilai koefisien regresi (β1) sebesar 0,787, bermakna bahwa pengaruh locus of control terhadap
kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika locus of control (X3) meningkat, maka
kinerja pegawai juga akan meningkat. Pada tahap keeampat juga dapat dibuktikan bahwa variabel
locus of control memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Hal ini
dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 21,789 dengan nilai p-value sebesar 0,000 < alpha 0,05.
Nilai koefisien regresi (β2) sebesar 0,229, bermakna bahwa pengaruh kepuasan kerja terhadap
kinerja pegawai adalah positif. Hal ini memberikan arti jika kepuasan kerja meningkat, maka kinerja
pegawai (Y) juga akan meningkat. Pada tahap keempat pengujian MRA, dapat dibuktikan bahwa
variabel kepuasan kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai.
Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung sebesar 6,352 dengan nilai p-value sebesar 0,000 < alpha
0,05.

Implikasi Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan, kepuasan kerja, motivasi kerja dan locus
of control berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Berkaitan hasil tersebut,
implikasi dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan locus of control yang agar terjadi peningkatan kinerja pegawai melalui upaya
pengendalian diri internal yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan, hal ini disebabkan
indikator ini memperoleh nilai paling rendah dibandingkan dengan indikator lainnya. Oleh
karena itu, pemberian otonomi pekerjaan dalam pelaksanaan tugas diperlukan untuk
meningkatkan tanggungjawab pegawai.
2. Meningkatkan motivasi kerja pegawai untuk mencapai prestasi kerja yang tinggi dengan
mendorong pegawai untuk dapat bekerja secara maksimal dengan cara menempatkan pegawai
atau memberikan tugas kepada pegawai sesuai dengan keinginannya, memberikan kewenangan
penuh pada tugas yang telah diberikan dan memberikan pengembangan kepada pegawai sesuai
dengan tanggungjawab dan prestasinya.
3. Kepuasan kerja adalah faktor yang sangat penting artinya bagi pegawai. Dengan kepuasan kerja
tersebut, pegawai akan bersemangat melaksanakan aktivitas atau pekerjaan sehari-hari. Tanpa
kepuasan kerja, orang cenderung malas dan hanya pasrah pada kondisi yang ada. Upaya
meningkatkan kepuasan kerja pegawai terutama berkaitan dengan pelayanan kepada pegawai
seperti pemberian informasi mengenai regulasi (aturan) baru, mendukung pegawai untuk
meningkatkan kreativitas dalam pekerjaan dan adanya saling keterbukaan antara sesama
anggota organisasi.

1152 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


4. Meningkatkan kinerja pegawai terutama berkaitan dengan standar dan prosedur tugas,
memotivasi pegawia untuk terus masuk kerja dan mendorng pegawai untuk memanfaatkan
waktu sebaik-baiknya, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu.

Penutup
Kesimpulan
Dari hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, kesimpulan yang dapat diambil
adalah sebagai berikut.
1) Variabel perilaku pemimpin memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap
kinerja pegawai. Hasil ini memberikan makna bahwa perilaku pemimpin yang dipersepsikan
baik oleh pegawai, amak mendorong pegawai mencapai kinerja yang tinggi.
2) Variabel perilaku pemimpin memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap
kepuasan kerja pegawai. Hal ini berarti bahwa perilaku pemimpin yang sesuai dengan
keinginan pegawai, akan membuat pegawai merasa puas dalam organisasinya.
3) Variabel motivasi kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja
pegawai. Hal ini berarti jika motivasi kerja tinggi, maka kinerja yang dihasilkan oleh pegawai
juga semakin tinggi.
4) Variabel motivasi kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kepuasan
kerja pegawai. Hal ini berarti jika motivasi kerja tinggi, maka kepuasan kerja pegawai juga akan
semakin tinggi.
5) Variabel locus of control memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja
pegawai. Hal ini berarti jika tingkat pengendalian semakin baik, maka kinerja yang dihasilkan
oleh pegawai juga semakin tinggi.
6) Variabel locus of control memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kepuasan
kerja pegawai. Hal ini berarti jika tingkat pengendalian diri pegawai semakin tinggi, maka
kinerja yang dihasilkan oleh pegawai juga semakin tinggi.
7) Variabel kepuasan kerja memiliki pengaruh langsung positif dan signifikan terhadap kinerja
pegawai. Hal ini berarti jika kepuasan kerja semakin tinggi, maka kinerja yang dihasilkan oleh
pegawai juga semakin tinggi.
8) Efek medasi kepuasan kerja pada pengaruh perilaku pemimpin terhadap kinerja terpenuhi. Hasil
ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja menjadi partially mediation pada pengaruh perilaku
pemimpin terhadap kinerja pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu Utara.
9) Efek mediasi kepuasan kerja pada pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja pegawai Sekretariat
Daerah Kabupaten Bengkulu Utara juga merupakan partially mediation.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1153


10) Efek mediasi kepuasan kerja pada pengaruh locus of control terhadap kinerja pegawai
Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu Utara juga merupakan partially mediation.

Saran
Beberapa saran yang dapat dipertimbangkan oleh Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu
Utara berkenaan dengan kinerja pegawainya, yakni:
1. Dalam rangka terwujudnya locus of control pegawai dalam melaksanakan tugas-tugasnya perlu
peningkatan locus of control pegawai khususnya mengenai keterampilan yang dibutuhkan
dalam menyelesaikan pekerjaan, hal ini disebabkan indikator ini memperoleh nilai paling
rendah dibandingkan dengan indikator lainnya. Oleh karena itu, peningkatan keterampilan kerja
perlu dilakukan dengan cara pemberian kesempatan kepada pegawai untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan (diklat) khusus, peningkatan pendidikan formal dan non formal,
sehingga locus of controlnya meningkat;
2. Meningkatkan motivasi kerja pegawai untuk mencapai prestasi kerja yang tinggi dengan
mendorong pegawai untuk dapat bekerja secara maksimal dengan cara menempatkan pegawai
atau memberikan tugas kepada pegawai sesuai dengan keinginannya, memberikan kewenangan
penuh pada tugas yang telah diberikan dan memberikan pengembangan kepada pegawai sesuai
dengan tanggungjawab dan prestasinya;
3. Meningkatkan kepuasan kerja pegawai terutama berkaitan dengan pelayanan kepada pegawai
seperti pemberian informasi mengenai regulasi (aturan) baru, mendukung pegawai untuk
meningkatkan kreativitas dalam pekerjaan dan adanya saling keterbukaan antara sesama
anggota organisasi;
4. Meningkatkan kinerja pegawai terutama berkaitan dengan standar dan prosedur tugas,
memotivasi pegawia untuk terus masuk kerja (menurunkan absensi), dan mendorong pegawai
untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu.

Referensi

Anthony, B. (2007). Perencanaan Starategi Organisasi Social (edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Anthony, N.R. & Govindarajan (2003). Sistem pengendalian manajemen (edisi 11). Jakarta: Salemba
Empat.
Armstrong, M. & A. Baron (2008). Performance management-the new realities. London:
Institute of Personnel and Development.
Bass, B.M. (2003). Bass and stogdill’s handbook of leadership: Theory, research, and managerial
Application (3th edition). New York: Free Press.
Blanchard, H.P. (2001). The relationship between self-esteem and demographic characteristics of
black women on welfare Florida State: College of Education.

1154 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Dessler, G. (2002). Manajemen sumber daya manusia (terjemahan: Dadi Kayana Abadi). Jakarta:
Indeks.
Devi (2009). Pengaruh komitmen, dan locus of control pegawai terhadap kinerja pegawai. Jakarta:
Universitas Budi Luhur.
Ghozali, I. (2011). Analisis data dengan program SPSS. Semarang: Undip Press
Gibson, L.J. (2001). Manajemen personalia dan sumber daya manusia. Jakarta: Rineka Cipta
__________ (2006). Organisasi, perilaku, struktur, proses (edisi kedelapan, jilid I) Jakarta: Binarupa
Kreitner, R. & Kinicki, A. (2014). Perilaku organisasi (edisi 9, buku I ). Jakarta: Salemba Empat
Mahesa (2010). Pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja pegawai PT. Coca Cola Amatil Indonesia
Jawa Tengah.
Mangkunegara, A.A.P. (2001). Manajemen sumber daya manusia organisasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Manhub, J. (2007). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Rineka Cipta
Robbins, S.P. (2006). Perilaku organisasi. Jakarta: Indeks Gramedia Group.
____________(2008). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Prehalindo
___________ (2017). Perilaku keorganisasian. Jakarta: Prehalindo.
Sadili, H. (2006). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Yogyakarta: BPFE.
Schuller, R.S. (2008). Human resources management. New Jersey: Prentice-Hall.
Sedarmayanti (2007). Tata kerja dan produktivitas kerja. Bandung: Mandar Maju.
Siagian, P.S. (2009). Teori motivasi dan aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudarwan, D. (2004). Manajemen sumber daya manusia pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Tead, K. (2003). Psikologi sosial untuk manajemen: Perusahaan dan industri. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Wasistiono, S. (2002). Penyelenggaraan kinerja pemerintah daerah. Bandung: Fokus Media.
Widodo, J. (2007). Good governance: Akuntabilitas dan kontrol birokrasi, Surabaya: Insan Cendikia.
Yulk, G. (2007). Prilau pemimpin dalam organisasi (edisi kelima). Jakarta: Indeks.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1155


Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Keterlibatan Kerja Terhadap
Kinerja Perawat

Nico Ardi Putra1), Meiliani2), Trisna Murni3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2)

Abstract. The research aimed to analyse whether the transformational leadership and work
engagement had an effect on the performance of nurses. One hundred nurses who worked at state
hospital in City of Bengkulu were chosen as the sample for the study. Data on the three variables
were gathered using a hand-delivered survey and analysed employing a multiple regression analysis.
The findings indicated that both simultaneously and partially, the transformational leadership and
work engagement have a significant and positive influence on the performance of nurses at the
Hospital. Further, the result showed that the work engagement was more dominant than the
transformational leadership in influencing the performance. Nurses who have high engagement at
work will have a greater effect on their performances with regard to the leadership style. Working
effectively, involving and commiting to the job, having high motivation to care patients and having
a high attendance list reflect high engagement in achieving a high performance. In the meantime, the
transformatonal leadership style supports the nurses’work. The study suggested that all nurses should
get more trainings based on their skills and related to their nursing jobs for involving at work and
increasing their performances. Providing more up-to-date modules in the nursing science and work
in surgery, dianogsis, physical examination, nursing procedures are encouraged.

Keywords: Transformational leadership, work enggagement, Nurses, performances, Public


Hospital, Bengkulu City

Pendahuluan
Perubahan lingkungan organisasi yang semakin kompleks dan kompetitif, menuntut setiap
organisasi (termasuk perusahaan) untuk bersikap lebih responsif agar sanggup bertahan dan terus
berkembang. Untuk mendukung perubahan organisasi tersebut, maka diperlukan adanya perubahan
individu (Cameron & Quinn, 2011:5). Proses menyelaraskan perubahan organisasi dengan perubahan
individu ini tidaklah mudah. Pemimpin sebagai panutan dalam organisasi, sehingga perubahan harus
dimulai dari tingkat yang paling atas yaitu pemimpin itu sendiri. Maka dari itu, organisasi
memerlukan pemimpin reformis yang mampu menjadi motor penggerak yang mendorong perubahan
organisasi (Day et al., 2014; Dessler, 2010:52). Peran kepemimpinan sangat strategis dan penting
dalam sebuah organisasi sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam pencapaian visi, misi dan
tujuan suatu organisasi. Maka dari itu, tantangan dalam mengembangkan strategi organisasi yang
jelas terutama terletak pada organisasi di satu sisi dan tergantung pada kepemimpinan (Sunarsih,

1156 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


2011). Greenberg dan Baron (2010:72) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu unsur
kunci dalam keefektifan organisasi. Selain itu, kepemimpinan harus menjadi komponen kunci dalam
menentukan berkembangnya sebuah organisasi (Humphreys, 2012).
Seorang pemimpin yang efektif tanggap terhadap perubahan. Pemimpin tersebut harus
mampu mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan
bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan
kolektif untuk mencapai tujuan bersama (Yulk, 2010). Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap
pemimpin berkewajiban untuk memberikan perhatian sungguh-sungguh dalam membina,
menggerakkan dan mengarahkan seluruh potensi karyawan di lingkungannya agar dapat mewujudkan
stabilitas organisasi. Model kepemimpinan modern seperti kepemimpinan transformasional
memainkan peranan penting bagi organisasi. Bass et al. (1992 dalam Hall et al. 2012:40)
mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk
mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu. Bawahan merasa percaya, kagum, loyal dan
hormat terhadap atasannya sehingga bawahan termotivasi untuk berbuat lebih banyak dari pada apa
yang biasa dilakukan dan diharapkannya. Avolio et al. (2010) juga menyatakan bahwa kepemimpinan
transformasional meliputi pengembangan hubungan yang lebih dekat antara pemimpin dengan
pengikutnya, bukan hanya sekedar sebuah perjanjian tetapi lebih didasarkan kepada kepercayaan dan
komitmen.
Kepemimpinan transformasional dianalisis melalui aspek pengaruh ideal, motivasi
inspirational, stimulasi intelektual dan pertimbangan individual (Bass et al., 1992 dalam Hall et al.,
2012:41). Pengaruh ideal mencerminkan seorang pemimpin transformasional harus kharismatik yang
mampu “menyihir” bawahan untuk bereaksi mengikuti pimpinan. Motivasi inspirasional mengacu
karakter seorang pemimpin yang mampu menerapkan standar yang tinggi akan tetapi sekaligus
mampu mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut. Stimulasi intelektual melalui
pemimpin yang menekankan pada aktualisasi kreativitas, penemuan dan menggunakan cara-cara baru
dalam melakukan pekerjaan. Pertimbangan individual merupakan karakter pemimpin yang mampu
memahami perbedaan individual para bawahannya. Dalam hal ini, pemimpin transformasional mau
dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, dan melatih bawahan. Banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berhubungan dengan kinerja (Wang et al.,
2011). Namun, pertanyaan tentang bagaimana kepemimpinan transformasional mempengaruhi
kinerja (Bass dalam Hall et al., 2012:45) tetap menjadi topik yang menarik dengan beberapa jawaban
yang belum jelas. Jawaban untuk pertanyaan ini dimungkinkan terletak pada konsep keterlibatan
karyawan, yang mengacu pada keterlibatan karyawan dari tugas-tugas kerja yang dilakukan pada
pekerjaannya (Macey & Schneider, 2011; Kahn, 2010)

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1157


Pada dasarnya keterlibatan kerja dipandang sebagai suatu harga diri individu yang
dipengaruhi oleh tingkat performansinya ketika bekerja. Menurut Sonnentag (2013), keterlibatan
kerja merujuk pada identifikasi psikologis dengan pekerjaan seseorang atau tingkat dimana situasi
kerja merupakan pusat dari identitasnya. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja yang
tinggi memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins,
2011:67). Memupuk tingkat keterlibatan kerja antar karyawan dapat menjadi efektif untuk
meningkatkan kinerja dan mendorong lebih positif sikap dan perilaku (Chunghtai, 2012). Sharagay
dan Ahearon (2011) menyatakan bahwa hubungan antara keterlibatan kerja dan perilaku individu
secara psikologis adalah kompleks untuk mencapai nilai pekerjaan yang tinggi. Maryanto (2016)
dalam penelitiannya menemukan bahwa gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, OCB dan komitmen
organisasional berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Keterlibatan karyawan juga terkait dengan
kepemimpinan transformasional (Zhu, 2008) dan kinerja (Harter et al., 2012; Xanthopoulou et al.,
2009). Namun, meskipun pada studi-studi tersebut menemukan keterlibatan kerja membuat karyawan
berkinerja lebih baik dan bahwa pemimpin transformasional melahirkan keterlibatan karyawan,
belum banyak penelitian menemukan adanya peran keterlibatan karyawan dalam hubungan antara
kepemimpinan transformasional dan kinerja, sehingga belum memberikan kejelasan bagaimana
kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harapan dan Doa Kota Bengkulu merupakan organisasi
pemerintah yang bergerak di bidang kesehatan. Secara struktural, rumah sakit ini berada langsung di
bawah Pemerintah Daerah Kota Bengkulu yang mempunyai andil dan peranan dalam peningkatan
kesehatan masyarakat Kota Bengkulu. Pelayanan yang profesional menjadi yang utama melalui peran
perawat yang waktunya lebih banyak berhubungan baik dengan pasien, dokter dan manajemen
maupun dengan hal-hal yang berhubungan dengan administrasi. RSUD Harapan dan Doa Kota
Bengkulu memberikan kesempatan kepada pasien atau keluarga untuk melakukan komplain baik
secara langsung maupun tidak langsung. Komplain secara langsung biasanya pada saat jam kerja
kepada petugas yang ada di unit terkait ataupun langsung ke bagian humas dan komplain secara tidak
langsung melalui media massa, call center dan kotak saran yang disediakan. RSUD Harapan dan Doa
Kota Bengkulu juga menyediakan layanan komplain melalui lembar kuisioner. Berbagai masalah
yang dikomplain pada tahun 2019 adalah administrasi dengan 69 kasus, perilaku dan komunikasi
petugas 34 kasus, pengobatan 27 kasus, waktu tunggu 25 kasus, fasilitas saranan dan prasarana 15
kasus dan respon time atau kecepatan proses 12 kasus
Data komplain pasien atau keluarga pasien tersebut mengindikasikan hal-hal yang terkait
dengan kinerja perawat. Berdasarkan laporan bagian keperawatan RSUD Kota Bengkulu pada tahun
2019, penampilan kemampuan kerja perawat di unit rawat inap hanya sebesar 60,5% masih kurang

1158 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


dari target sebesar 75%. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil kinerja perawat dalam bentuk
dokumentasi asuhan keperawatan 6 bulan terakhir menunjukkan bahwa dari 530 pasien yang
menjalani rawat inap ternyata hanya 41,5% rekam medik asuhan keperawatan yang terisi dengan
lengkap. Walaupun secara umum, kegiatan dokumentasi keperawatan sudah dilakukan, namun tidak
seluruhnya terisi sesuai dengan standar yang ada.
Permasalahan kinerja perawat RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu disinyalir karena
pengaruh gaya kepemimpinan dan keterlibatan kerja perawat. Riset empiris menunjukkan hasil yang
berbeda-beda dari pengaruh kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja terhadap kinerja,
seperti Senewe (2013), Mondiani (2012) dan Satriowati et al (2016) yang mendapatkan adanya
pengaruh signifikan kepemimpinan transformasional terhadap kinerja. Sedangkan untuk keterlibatan
kerja adanya pengaruh secara signifikan didukung oleh Sarafia (2013) dan Trimurti (2015), namun
terdapat juga penelitian yang dilakukan terhadap variabel tersebut memiliki hasil yang berbeda. Hasil
dari penelitian yang dilakukan oleh Muarif (2015) terhadap bank syariah Mandiri cabang Manado
menunjukan tidak adanya pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja, tidak adanya
pengaruh keterlibatan kerja terhadap kinerja. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk
membuktikan pengaruh kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja terhadap kinerja
perawat di Rumah Sakit Umum Kota Bengkulu, sehingga dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan
dapat memberikan masukan kepada pihak rumah sakit dan menambah literatur empiris mengenai
perilaku organisasi.

Tinjauan Pustaka
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Keterlibatan Kerja terhadap Kinerja
Kepemimpinan transformasional merupakan kepemimpinan yang memiliki visi, keahlian
retorika dan pengelolaan kesan yang baik dan menggunakannya untuk mengembangkan ikatan
emosional yang kuat dengan karyawannya (Avey et al., 2010). Kepemimpinan transformasional
berhubungan positif dengan kinerja karyawan (Humphreys, 2012). Semua dimensi kepemimpinan
transformasional bersama-sama mengarahkan terhadap peningkatan kinerja (Shin & Zhou, 2013).
Fungsi kepemimpinan yang paling penting adalah memberikan motivasi kepada bawahannya,
kepemimpinan transformasional diyakini memiliki pengaruh terhadap organisasi dalam bentuk non
keuangan seperti kepuasan kerja dan kinerja karyawan (Yammarino & Dubinsky, 2010). Pemimpin
transformasional memotivasi pengikutnya untuk melakukan sesuatu (kinerja) diluar dugaan (beyond
normal expectation) melalui transformasi pemikiran dan sikap mereka untuk mencapai kinerja diluar
dugaan tersebut (Hall et al., 2012:33), pemimpin transformasional menunjukkan berbagai perilaku

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1159


pengaruh idealisme, motivasi insporasional, stimulasi intelektual dan konsiderasi individual (Bass et
al. dalam Wang et al., 2011).
Dengan demikian dari seorang pemimpin transformasional dapat berpengaruh terhadap
kinerja. Banyak penelitian tentang kepemimpinan telah menguji antara kepemimpinan dengan
kinerja. Yukl (2010) mengatakan bahwa teori plath goal tentang kepemimpinan telah dikembangkan
untuk menjelaskan bagaimana perilaku seorang pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja
pegawai. Pengaruh antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja individu atau pegawai dari
hasil penelitian Muarif (2015) bahwa ada korelasi positif antara kepemimpinan transformasional
berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Avolio et al. (2010) dan Pounder (2012) yang menunjukkan pengaruh
positif kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai.
Keterlibatan kerja merupakan konsep baru diperkenalkan untuk menggambarkan dampak
positif dari keterlibatan untuk bekerja. Saks (2016) mempelajari konsekuensi dari keterlibatan
karyawan yaitu fenomena tingkat individu yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja atau
keberhasilan organisasi dengan memberikan hasil tingkat individu yang positif. Keterlibatan
membawa hasil seperti berkurangnya kelelahan, kepuasan, komitmen dan kinerja yang lebih tinggi
(Maslach, 2013). Keterlibatan kerja dari para karyawan sangat berdampak positif pada organisasi.
Karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi akan menunjukkan peningkatan produktivitas
dan nantinya berdampak pada pencapaian nilai dan tujuan dari organisasi. Sebaliknya, karyawan yang
memiliki tingkat keterlibatan kerja yang rendah, akan menunjukkan penurunan produktivitas
sehingga standar dan tujuan organisasi tidak dapat dicapainya (Stevanie, 2015). Macey dan Schneider
(2011) menemukan pengaruh yang nyata antara keterlibatan kerja terhadap kinerja pegawai. Muarif
(2015) juga mendapatkan korelasi positif antara keterlibatan kerja terhadap peningkatan kinerja.
Jadi, secara umum dapat dinyatakan bahwa pengaruh dari gaya kepemimpinan
transformasional dan keterlibatan kerja terhadap kinerja sangatlah penting. Dimana seorang leader
(pemimpin) yang nantinya berfungsi untuk menggerakkan dan memotivasi mereka. Untuk
menggerakkan dan memotivasi kerja mereka diperlukan taktik dan praktik gaya kepemimpinan yang
tepat dan efektif yang dapat meningkatkan kinerja karyawan dan yang menginspirasi dan
mengembangkan potensi serta kemampuan karyawannya.

Kerangka Analisis

Gaya kepemimpinan transformasional meningkatkan kualitas operasional secara keseluruhan


dalam organisasi (Pounder, 2012). Komponen stimulasi intelektual mendorong karyawan untuk
berpikir pada area perbaikan dan membawa hasil yang terbaik. Semua dimensi kepemimpinan

1160 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


transformasional bersama-sama mengarahkan terhadap peningkatan kinerja (Shin & Zhou, 2013).
Pengaruh antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja individu dari hasil penelitian oleh
Muarif (2015), Avolio et al. (2010) dan Pounder (2012) menemukan adanya pengaruh positif antara
kepemimpinan transformasional dan peningkatan kinerja.
Kepemimpinan akan menjadi baik dan kinerja akan meningkat jika setiap individu yang
terlibat di dalamnya aktif bekerja. Keterlibatan kerja merupakan identifikasi psikologis dengan
pekerjaan seseorang atau tingkat dimana situasi kerja merupakan pusat dari identitasnya dalam
menunjukan kinerja (Sonnentag, 2013). Karyawan atau individu yang bekerja dengan tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka
lakukan (Stevanie, 2015; Robbins, 2011:67). Saks (2016) mempelajari konsekuensi dari keterlibatan
karyawan yaitu fenomena tingkat individu yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja atau
keberhasilan organisasi dengan memberikan hasil tingkat individu yang positif. Keterlibatan
membawa hasil seperti berkurangnya kelelahan, kepuasan, komitmen dan kinerja yang lebih tinggi
(Maslach, 2013). Menurut Chughtai (2012), memupuk tingkat keterlibatan kerja antar karyawan
dapat menjadi efektif untuk meningkatkan kinerja serta dan mendorong lebih positif sikap dan
perilaku. Temuan ini mendapatkan keterlibatan kerja membuat karyawan berkinerja lebih baik dan
bahwa pemimpin transformasional melahirkan terlibat karyawan. Berdasarkan uraian pendapat di
atas dan mempermudah memahami penelitian ini, maka digambarkan kerangka analisis seperti pada
Gambar 1.

Pengaruh idealis

Motivasi inspirasi
Kepemimpinan
transformasional
Stimulasi intelektual

Pertimbangan
Kinerja
individu

Keterlibatan kerja Keterlibatan kerja


tinggi

Keterangan:
Pengaruh :
Dimensi :

Gambar 1. Kerangka Analisis

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1161


Pengembangan Hipotesis

Hipotesis adalah praduga atau asumsi yang harus di uji melalui data atau fakta yang diperoleh
melalui penelitian dan juga merupakan penuntun bagi peneliti dalam menggali data yang diinginkan
(Dantes, 2012:80). Terdapat dua jenis hipotesis, yaitu hipotesis null dan hipotesis alternatif (Cooper
& Schindler, 2010:67). Menurut Sekaran (2012:117), hipotesis null (Ho) merupakan proposisi yang
menyatakan hubungan yang definitif dan tepat di antara dua variabel. Pernyataan null diartikan
sebagai tidak ada hubungan (signifikan) antara dua variabel. Sedangkan hipotesis alternatif (Ha)
adalah kebalikan dari hipotesis null (Ho) yang mengungkapkan bahwa adanya hubungan antara dua
variabel. Berdasarkan konsep gaya kepemimpinan transformasional, keterlibatan kerja dan kinerja,
maka penelitian sekarang menggunakan hipotesis null (Ho) dan hipotesis alternatif (Ha).
Keterlibatan kerja sebagai sesuatu yang penuh dengan nilai-nilai positif yang terkait dengan
pekerjaan dan pikiran ditandai dengan semangat, dedikasi dan penyerapan seperti dinyatakan oleh
Schreuder dan Coetzee (2011). Keterlibatan lebih mengacu sesuatu yang mirip dan memegang
karakter afektif dan persuasif, dan pernyataan kognitif yang tidak terfokus pada objek tertentu,
peristiwa tertentu, perilaku, atau individu. Dengan keterlibatan kerja yang tinggi, karyawan dapat
meningkatkan kinerja pada tugas dan bertanggung jawab. Untuk dorongan tersebut diperlukan bagi
karyawan mencapai tingkat kinerja yang tinggi; dengan demikian, para pemimpin perlu
memperhatikan kesesuaian pekerjaan dan kemampuan karyawan. Maka, hipotesis penelitian
dirumuskan sebagai berikut:
Ha1: Gaya kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perawat

Hasil studi yang dilakukan oleh Thamrin (2012) menyatakan kepemimpinan transformasional
berpengaruh terhadap kinerja. Pemimpin transformasional adalah mereka yang merangsang dan
menginspirasi para pengikutnya, baik untuk mencapai sesuatu yang besar dan, dalam proses, untuk
mengembangkan kapasitas kepemimpinan mereka sendiri. Pemimpin transformasional membantu
pengikut mereka berkembang dan membuat mereka menjadi pemimpin baru dengan cara yang
merespon kebutuhan pengikut individu. Kepemimpinan transformasional berhubungan positif
dengan kinerja karyawan (Humphreys, 2012). Gaya kepemimpinan transformasional meningkatkan
kualitas operasi secara keseluruhan dalam organisasi (Pounder, 2012). Stimulasi intelektual
mendorong karyawan untuk berpikir pada area perbaikan dan membawa hasil yang terbaik. Semua
dimensi kepemimpinan transformasional bersama-sama mengarahkan terhadap peningkatan kinerja
(Shin & Zhou, 2013). Maka, hipotesis penelitian sebagai berikut:

1162 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Ha2: Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perawat RSUD Kota Bengkulu.

Keterlibatan kerja merupakan konsep baru diperkenalkan untuk menggambarkan dampak


positif dari keterlibatan untuk bekerja. Schaufeli dan Bakker (2014) memperkenalkan konsep
keterlibatan kerja ditujukan untuk menangkap keadaan positif, emosi, dan pikiran yang ditandai
dengan semangat, dedikasi dan penyerapan. Penerapan kepemimpinan transformasional sesuai
dengan kepentingan bawahan akan dapat meningkatkan semangat dan motivasi karyawan yang sangat
terlibat dengan pekerjaan mereka. Saks (2016) mempelajari konsekuensi dari keterlibatan karyawan
yaitu fenomena tingkat individu yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja atau keberhasilan
organisasi dengan memberikan hasil tingkat individu yang positif. Keterlibatan membawa hasil
seperti berkurangnya kelelahan, kepuasan, komitmen dan kinerja yang lebih tinggi (Maslach, 2013).
Karyawan merasa memiliki organisasi dengan niat rendah untuk meninggalkan (Schaufeli & Bakker,
2014). Keterlibatan karyawan dianggap menjadi konstruk keterlibatan karyawan dalam tugas
pekerjaannya (Saks, 2016). Maka, hipotesis penelitian keempat dapat dirumuskan sebagai berikut:

Ha3: Keterlibatan kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat RSUD Kota
Bengkulu.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan transformasional dan
keterlibatan kerja terhadap kinerja perawat. Ringkasan Hasil dari perhitungan regresi tersebut dapat
dilihat pada Tabel 17.

Tabel 1. Ringkasan Output Regresi Linier Berganda

Standardized
Variabel ttest Sig.
Coefficients
Kepemimpinan transformasional 0,151 2,248 0,027
Keterlibatan Kerja 0,728 10,865 0,000
Ftest = 63,399
Sig. = 0,000
R2 =
0,567

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1163


Tabel 1 menggambarkan bahwa kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja
memiliki arah pengaruh yang positif terhadap kinerja perawat. Koefisien regresi kepemimpinan
transformasional adalah sebesar 0,151 dan bernilai positif, artinya semakin pemimpin mencirikan
kepemimpinan transformasional maka kinerja perawat akan semakin tinggi. Koefisien regresi
keterlibatan kerja adalah sebesar 0,728 dan juga bernilai positif, artinya semakin tinggi keterlibatan
kerja perawat maka kinerjanya juga akan semakin tinggi. Berdasarkan nilai koefisien tertinggi, dapat
disimpulkan bahwa keterlibatan kerja lebih dominan dalam mempengaruhi kinerja perawat di RSUD
Harapan dan Doa Kota Bengkulu dibandingkan dengan kepemimpinan transformasional.
Nilai R2 sebesar 0,567. Nilai ini memiliki makna bahwa variabel kepemimpinan
transformasional dan keterlibatan kerja memberikan kontribusi sebesar 56,7 persen dalam
mempengaruhi kinerja perawat RSUD Kota Bengkulu. Sedangkan sisanya, sebesar 43,3 persen,
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model ini.

Pengujian Hipotesis
Uji F (Ftest)

Ftest digunakan untuk mengetahui pengaruh secara simultan variabel kepemimpinan


transformasional dan keterlibatan kerja terhadap kinerja perawat. Berdasarkan Tabel 1, diketahui
bahwa secara simultan kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja berpengaruh signifikan
terhadap kinerja perawat RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu (sig=0,000<0,05). Berarti,
hipotesis yang menyatakan gaya kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perawat adalah diterima.

Uji t (ttest)

Pengujian ttest digunakan untuk mengetahui pengaruh secara parsial antara variabel
kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja terhadap kinerja perawat. Berdasarkan Tabel
1, diketahui bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat
RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu (sig=0,027<0,05). Maka, hipotesis yang menyatakan gaya
kepemimpinan transformasional berhubungan signifikan dengan kinerja perawat RSUD Harapan dan
Doa Kota Bengkulu adalah diterima. Semakin baik kepemimpinan transformasional yang diterapkan
di RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu maka kinerja perawat akan semakin tinggi.
Dari Tabel 1 diketahui bahwa keterlibatan kerja juga berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perawat (sig=0,000<0,05). Maka, hipotesis yang menyatakan keterlibatan kerja berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perawat RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu adalah diterima.

1164 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Semakin tinggi keterlibatan kerja perawat di RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu maka kinerja
perawat akan semakin tinggi.

Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan kepemimpinan transformasional dan
keterlibatan kerja berpengaruh terhadap kinerja perawat. Artinya, kinerja perawat RSUD Harapan
dan Doa Kota Bengkulu dapat dijelaskan oleh kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja.
Analisis determinasi menunjukkan bahwa variabel kepemimpinan transformasional dan keterlibatan
kerja memberikan kontribusi sebesar 56,7 persen dalam mempengaruhi kinerja perawat RSUD
Harapan dan Doa Kota Bengkulu. Hasil ini mendukung penelitian Muarif et al. (2015) bahwa
kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap kinerja karyawan.
Perawat yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi akan berkinerja lebih tinggi dan benar-
benar peduli dengan pekerjaan mereka. Perawat yang menyumbangkan ide untuk kemajuan rumah
sakit dengan senang hati mematuhi peraturan dan mendukung kebijakan. Perawat dengan tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar
peduli dengan jenis kerja itu, misalnya perawat menyumbangkan ide untuk kemajuan pekerjaan,
dengan senang hati memenuhi peraturan-peraturan rumah sakit dan mendukung kebijakan rumah
sakit. Sebaliknya perawat yang kurang senang terlibat dengan pekerjaannya adalah perawat yang
kurang memihak kepada rumah sakit dan perawat yang demikian cenderung hanya bekerja secara
rutinitas.

Secara parsial kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja


perawat.. Artinya, semakin pemimpin memiliki tipe kepemimpinan transformasional maka kinerja
perawat RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu akan semakin tinggi. Pimpinan Rumah Sakit Kota
Bengkulu menjalankan tipe kepemimpinan ini dengan berpegang teguh pada visi dan harapan yang
ingin dicapai. Penyampaian visi RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu ditekankan oleh pimpinan
pada saat apel pagi, acara peningkatan hari besar nasional, setiap perawat yang berkonsultasi atau
saat diskusi informal. Hal ini tercermin dari tanggapan perawat bahwa pemimpin memberikan
motivasi inspirasi dengan cara mengkomunikasikan harapan-harapan yang ingin dicapai (lihat Tabel
1).
Pimpinan di RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu juga memberikan simulasi intelektual
dengan cara memberikan dukungan, bimbingan dan pembelajaran kepada perawat sehingga
kemampuan para perawat dapat terus berkembang. Selain itu, pimpinan juga meningkatkan

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1165


pengetahuan perawat dalam bentuk pelatihan. Pimpinan di RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu
memberikan pengaruh idealis perawat melalui misi rumah sakit. Pimpinan ingin mencapai misi
RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu dengan cara menyampaikan secara jelas misi yang harus
dicapai. Hal ini dilakukan supaya seluruh komponen rumah sakit dapat mengetahui dan menjalankan
misi tersebut. Dengan demikian, perawat dalam menjalankan keseharian tugasnya mempunyai misi
yang sama, yaitu menjadikan RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu sebagai pemberi pelayanan
yang bermutu dan terjangkau, berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
Secara parsial keterlibatan kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat. Artinya,
semakin tinggi keterlibatan kerja perawat maka kinerja perawat RSUD Harapan dan Doa Kota
Bengkulu juga akan semakin tinggi. Keterlibatan kerja perawat RSUD Kota Bengkulu ditunjukkan
dengan para perawat yang menjalankan tugas menurut deskripsi kerja masing-masing untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok atau masyarakat. Mulai
pelayanan kesehatan yang sederhana sampai pelayanan kesehatan yang kompleks berdasarkan
dengan diagnosa masalah yang terjadi. Pelayanan kesehatan yang dilakukan perawat RSUD Harapan
dan Doa Kota Bengkulu berdasarkan Standard Operating Procedure yang diterapkan RSUD Harapan
dan Doa Kota Bengkulu. Standar prosedur tersebut untuk menjaga pasien, merawat, memberikan
obat, menjaga kesehatan, memberikan motivasi dan perhatian.
Keterlibatan kerja tinggi juga ditunjukkan perawat selalu masuk kerja setiap kerja, kecuali
sakit dengan menggunakan surat izin dari dokter. Berdasarkan daftar kehadiran perawat tahun 2016,
perawat selalu datang tepat waktu yang menunjukkan tingkat kehadiran yang tinggi. Artinya, ada
keinginan perawat untuk selalu terlibat dalam bekerja. Selain itu, perawat merasa puas dengan
pekerjaannya sebagai perawat karena bekerja sesuai dengan minat mereka. Perawat juga merasa
pimpinan selalu memberikan arahan dan informasi kepada mereka. Hubungan dengan atasan yang
harmonis akan membuat bawahan menjadi respek terhadap atasan dan setiap tugas yang diberikan
akan dikerjakan dengan baik dan penuh kesungguhan sehingga proses pendelegasian berjalan baik

Implikasi Strategis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja


berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu. Hal ini
berimplikasi kepada peningkatan kinerja perawat melalui kepemimpinan transformasional dan
keterlibatan kerja. Berdasarkan tanggapan terendah responden, perlu fasilitasi potensi yang miliki
perawat. Pimpinan dapat memfasilitas pendidikan formal berkelanjutan maupun pendidikan informal
bersertifikat, seperti pelatihan-pelatihan dan short course sesuai dengan bidang peminatan. Kemudian
pada keterlibatan kerja perawat RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu adalah dengan terlibat aktif

1166 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


dalam organisasi profesi dan badan kelengkapan peminat, seperti perkumpulan, himpunan atau
ikatan, sehingga dapat mencegah sedini mungkin ketinggalan informasi terhadap tren dan isu yang
berkembang tentang kesehatan dan keperawatan, khususnya di lingkungan RSUD Harapan dan Doa
Kota Bengkulu. Pihak rumah sakit perlu melakukan terobosan dalam bentuk kegiatan terprogram
dalam upaya pengembangan sumber daya manusia untuk peningkatan kompetensi, termasuk
dukungan dana yang disediakan.

Penutup
Kesimpulan

1. Kepemimpinan transformasional dan keterlibatan kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja


perawat pada RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu. Artinya, semakin pemimpin mengarah ke
tipe kepemimpinan transformasional dan semakin tinggi keterlibatan kerja maka kinerja perawat
akan semakin meningkat.
2. Kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja perawat
pada RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu. Artinya, semakin pemimpin mengarah ke tipe
kepemimpinan transformasional maka perawat akan menunjukkan kinerja yang tinggi.
3. Keterlibatan kerja berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja perawat pada RSUD
Harapan dan Doa Kota Bengkulu. Artinya, semakin tinggi keterlibatan kerja perawat maka
kinerjanya pun akan semakin meningkat.

Saran

Saran yang didapat diberikan dari hasil penelitian ini supaya pihak RSUD Harapan dan Doa
Kota Bengkulu, khususnya pimpinan dapat memfasilitas potensi perawat, misalnya dengan
pendidikan formal berkelanjutan maupun pendidikan informal bersertifikat, seperti pelatihan-
pelatihan dan short course sesuai dengan bidang peminatan perawat. Kemudian perawat hendaknya
terlibat aktif dalam organisasi profesi dan badan kelengkapan peminat, seperti perkumpulan,
himpunan atau ikatan yang ada di RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu maupun tempat lainnya,
sehingga dapat mencegah sedini mungkin ketinggalan informasi terhadap trend dan isu yang
berkembang tentang kesehatan dan keperawatan. Pihak rumah sakit dapat melakukan terobosan
dalam bentuk kegiatan terprogram dalam upaya pengembangan sumber daya manusia untuk
peningkatan kompetensi, termasuk dukungan dana yang disediakan.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1167


Referensi
Avey, J.B., Hughes, L.W., Norman, S.M. & Luthans, K.W. (2010). Using positivity, transformational
leadership and empowerment to combat employee negativity. Leadership & Organization
Development Journal, 29(2), 110-126.
Avolio, B.J., Bass, B.M. & Jung, D.I. (2010). Re-examining the components of transformational and
transactional leadership using the multifactor leadership questionnaire. Journal of
Occupational and Organizational Psychology, 2(4), 441-426.
Cameron, K.S. & Quinn, R.E. (2011). Diagnosing and changing organizational culture (3th edition).
San Fransisco: Jossey - Bass.
Chughtai, A.C. (2012). Impact of job involvement on in-role job performance and organizational
citizenship behaviour. Journal of Behavioral & Applied Management, 9(2),169-183.
Cooper, D.R. & Schindler, P. (2010). Metode riset bisnis. Jakarta: Media Global Edukasi.
Dantes, N. (2012). Metode penelitian. Yogyakarta: Andi.
Day, D.V., Gronn, P. & Salas, E. (2014). Leadership capacity in teams. Leadership Quarterly, 15(6),
857–880.
Dessler, G. (2010). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Kelompok Gramedia.
Greenberg, J. & Baron, R.A. (2010). Perilaku organisasi. Jakarta: Prentice Hall.
Hall, J., Shannon, J., Allen, W., Karl, K., Derek, F. & Jennifer L. (2012). Transformational
leadership: the transformation of managers and associates. Florida: University of Florida
Harter, J.K., Schmidt, F.L. & Hayes, T.L. (2012). Business-unit-level relationship between employee
satisfaction, employee engagement, and business outcomes: A meta-analysis. Journal of
Applied Psychology, 87(2), 268-279
Humphreys, J.H. (2012). Transformational leader behavior, proximity and successful service
marketing. Journal of Service Marketing, 16(6), 487-502.
Kahn, W.A. (2010). Psychological conditions of personal engagement and disengagement at work.
Academy of Management Journal, 33(4), 692-724.
Macey, W. H. & Schneider, B. (2011). The meaning of employee engagement. industrial and
organizational psychology. Society for Industrial and Organizational Psychology, 1(1), 3-30.
Maryanto. (2016). Pengaruh kepemimpinan, lingkungan kerja, organizational citizenship behavior
(ocb) dan komitmen organisasi terhadap kinerja pegawai di Kantor Kecamatan Gondangrejo
Kabupaten Karanganyar. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3(2), 59-168
Maslach, C. (2013). Job burnout new directions in research and intervention. Current Directions in
Psychological Science, 12(5), 189-192.
Muarif, M.R. (2015). Gaya Kepemimpinan transformasional, budaya organisasi, keterlibatan kerja
pengaruhnya terhadap kinerja karyawan Bank Syariah Mandiri Cabang Manado. Jurnal Riset
Ekonomi, Manajemen dan Bisnis, 3(3), 363-372.
Pounder, J.S. (2012). Employing transformational leadership to enhance the quality of management
development instruction. Journal of Management Development, 22(1), 6-13.
Robbins, S.P. (2011). Perilaku organisasi. Jakarta: Prenhalindo.
Saks, A.M. (2016). Antecedents and consequences of employee engagement. Journal of Management
Psychology, 27(7), 600-619.
Sekaran, U. (2012). Research methods for business (terjemahan). Jakarta: Salemba Empat.
Shin, S.J. & Zhou J. (2013). Transformational leadership conservation, and creativity: Evidence from
Korea. The Academy of Management Journal, 46(6), 703-714.
Sonnentag, S. (2013). Recovery, work engagement, and proactive behavior: a new look at the
interface between nonwork and work. Journal of Applied Psychology, 88(2), 518-528.
Stevanie, V.N. (2015). Pengaruh keterlibatan karyawan, gaya kepemimpinan dan komitmen
organisasional dalam meningkatkan kinerja karyawan pada Bank Rakyat Indonesia cabang
Probolinggo. Media Mahardhika, 13930, 329–338.
Sunarsih. (2011). Kepemimpinan transformasional dalam era perubahan organisasi. Jurnal
Manajemen dan Bisnis, 5(2), 12-25.

1168 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Thamrin, H.M. (2012). The influence of transformational leadership and organizational commitment
on job satisfaction and employee performance. International Journal of Innovation,
Management and Technology, 3(5), 566-572.
Wang, G., Oh, I., Courtright, S.H. & Colbert, A.E. (2011). Transformational leadership and
performance across criteria and levels: A meta-analytic review of 25 years of research. Group
& Organization Management, 36(2), 223-270.
Yulk, G.A. (2010). Concept of leadership in the organization. Journal of Management, 4(2), 123-143.
Zhu, W. (2008). The effect of ethical leadership on follower moral identity: The mediating role of
psychological empowerment. Leadership Review, 8, 62-73.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1169


Pengaruh Penggunaan Media Sosial Facebook Terhadap Minat Beli Konsumen
Pada Group Jual Beli Elektronik dan Komputer di Kota Bengkulu

Putri Asyura1), Slamet Widodo2), Sularsih Anggarawati3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2)

Abstract. The presence of social media with all its advantages allows users to interact, share,
collaborate, and communicate with other social media users via the internet. Social media is very
helpful for businesses in promoting the products or services they provide to consumers, so it can
certainly have an impact on buying interest. Consumer buying interest in a product is important in
the business world, because buying interest is the basis for consumers to buy a product. This study
aims to Analyze the Influence of the amount of time, Media Content, Frequency, Purchase Interest
of Facebook Social Media Use on Consumer Purchase Interest in the Electronic and Computer
Buying and Selling Group in Bengkulu City. This type of research used in this research is quantitative
research using a survey approach. The sample in this study was taken by accidental sampling as many
as 182 people. Data analysis in this study used descriptive statistical data analysis and Multiple Linear
Regression analysis. The results showed that the amount of time, the contents of the media, the
frequency of use of social media partially influence the consumer buying interest of members of the
Electronic and Computer Purchasing Group in Bengkulu City. The implications of this study are used
as input for sellers and consumers. for sellers to provide good service, create satisfaction with
consumers, provide a complete explanation of what is sold in accordance with the reality of the goods.
Likewise for consumers to remain vigilant in the transaction, must know clearly the condition of the
goods or services to be purchased, as well as the security of the goods or services.

Keywords: Amount of Time, Media Content, Frequency, Purchase Interest.

Pendahuluan
Kehadiran media dengan segala kelebihannya memungkinkan pengguna untuk berinteraksi,
berbagi, bekerjasama, dan berkomunikasi dengan pengguna media lain melalui internet. Media sosial
merupakan media yang digunakan secara online dalam penggunanya lebih mudah untuk
berpartisipasi, dan berbagi serta dapat menciptakan isi dalam media sosial (Nasrullah, 2016). Sudah
selayaknya bagi para pengusaha di bidang online maupun offline memanfaatkan kecanggihan
teknologi untuk menarik minat konsumen. Penggunaan media sosial secara tepat akan menarik minat
para konsumen untuk membeli produk atau jasa. Dari sekian banyak media sosial yang muncul, ada
beberapa yang sangat direkomendasikan untuk dipakai sebagai sarana berpromosi sebagai contoh
Facebook, Twitter, Instagram, Path, Line, WhatsApp, Massanger, Youtube dan lain sebagainya
(Raheni, 2018). Penelitian Apriliana (2019) menemukan bahwa terdapat pengaruh antara intensitas
melihat iklan jual beli kosmetik di Instagram dengan perilaku konsumtif kosmetik remaja putri.
Sedangkan Priatni (2019) yang dalam studinya menemukan bukti empiris bahwa Social Media

1170 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Marketing berpengaruh positif signifikan terhadap Brand Awareness, Brand Awareness berpengaruh
positif signifikan terhadap Purchase Intention, Social Media Marketing berpengaruh positif
signifikan terhadap Purchase Intention dengan Brand Awareness sebagai varibel independen.
Pada media sosial facebook memiliki menu market dan juga tersedia grup jual beli yang di
buat oleh pengguna media sosial facebook. Salah satu grup yang ada pada media sosial facebook
adalah Group Jual Beli Elektronik dan Komputer Kota Bengkulu. Banyaknya pengguna facebook
yang menjadi anggota grup jual beli menunjukkan besarnya ketertarikan pengguna facebook terhadap
kegiatan jual beli online melalui facebook. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengetahui
besarnya pengaruh penggunaan media sosial facebook terhadap minat beli konsumen.
Hasil survey pendahuluan dengan melakukan wawancara kepada beberapa anggota Group
Jual Beli Elektronik dan Komputer Kota Bengkulu, mengatakan bahwa perlu kehati-hatian apabila
ingin membeli produk secara online melalui grup di facebook, agar terhindar dari penipuan yang
dilakukan oleh penjual yang ada dalam grup tersebut. Hal ini dikarenakan masih seringnya terjadi
penipuan oleh penjual kepada konsumen yang ingin membeli produk yang di tawarkan, termasuk
penipuan yang terjadi dalam Group Jual Beli Elektronik dan Komputer Kota Bengkulu (Hasil
Wawancara Pra Penelitian, April 2020). Hasil wawancara dengan salah satu konsumenyang
berbelanja Group Jual Beli Kota Bengkulu mengatakan bahwa:
“Saya pernah mengalami penipuan saat membeli laptop seharga Rp 3.000.000,- (tiga juta
rupiah). Pada saat sudah melakukan transfer uang kepada penjual di Group Jual Beli
Elektronik dan Komputer Kota Bengkulu, sampai saat ini barang tersebut tidak sampai ke
alamat rumahnya. Saya sempat menanyakan dengan admin group, yang kebetulan saya
kenal, waktu saya telpon dia juga tidak mengetahui akun yang melakukan penipuan tersebut,
karena di dalam group siapa saja bisa mendaftar, asal pemilik akun facebook ingin
bergabung”.

Kemudian penulis juga melakukan wawancara dengan anggota group yang lain mengatakan
bahwa:
“E-commerce melalui Facebook sangat membantu sekali. Karena kita dapat menawarkan
produk yang kita jual melalui Facebook, atau group jual beli. Kalau ada konsumen yang
berminat biasanya mereka langsung chat ke akun facebook milik saya. Memang kalau di
group banyak penjual yang tidak jelas akun facebooknya, tapi kita harus tetap hati-hati saja,
utamakan untuk bertemu langsung dengan penjual, kalau bisa memang penjual tersebut
berada di kota Bengkulu, jangan penjual yang ada di luar daerah, agar terhindar dari
penipuan”.

Hasil wawancara ini, senada juga dengan salah satu Aparatur Sipil Negara di Kota Bengkulu,
mengatakan bahwa:
“Prinsipnya untuk belanja produk online di group jual beli kehati-hatian yang perlu
diutamakan, walaupun penjual berada di kota Bengkulu tapi dia menggunakan akun
facebook yang tidak jelas, mesti hati-hati karena walaupun kita bertemu, kadangkala
mereka mengajak kita bertemu di luar, bukan di toko atau alamat mereka.Memang produk

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1171


yang diperlihatkan bagus saat kita bertemu, tetapi setelah beberapa minggu dan beberapa
bulan baru ketahuan produk tersebut bermasalah, karena itu sebaiknya kalau ingin membeli
carilah penjual yang akunnya jelas, toko, dan alamat tokonya itu jelas”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, sebagai calon pembeli produk elektronik dan komputer
pada Group Jual Beli Kota Bengkulu di Media Sosial Fecabook perlu sangat hati-hati dan cermat
dikarenakan rawan sekali mengalami penipuan. Kondisi yang terjadi ini, tentunya dapat menurunkan
minat konsumen dalam membeli produk Elektronik dan Komputer pada Group Jual Beli Kota
Bengkulu di Media Sosial Facebook. Padahal dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, jual beli online
seharusnya bisa menjadi peluang besar bagi para pedagang untuk tetap bisa bertahan dan
menggerakkan perekonomian dalam situasi yang sulit.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka yang menjadi
masalah pokok dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah jumlah waktu berpengaruh terhadap minat beli konsumen pada group jual beli elektronik
dan komputer di Kota Bengkulu?
2. Apakah isi media berpengaruh terhadap minatbeli konsumen pada group jual beli elektronik dan
komputer di Kota Bengkulu?
3. Apakah frekuensi penggunaan media sosial facebook berpengaruh terhadap minat beli konsumen
pada group jual beli elektronik dan komputer di Kota Bengkulu?

Tinjauan Pustaka
Minat Beli
Minat merupakan salah satu aspek psikologis yang mempunyai pengaruh cukup besar
terhadap perilaku dan juga merupakan sumber motivasi yang akan mengarahkan seseorang dalam
melakukan sesuatu.Selain itu minat juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang pribadi dan
berhubungan dengan sikap. Individu yang berminat terhadap suatu obyek akan mempunyai kekuatan
atau dorongan untuk melakukan serangkaian tingkah laku untuk mendekati atau mendapatkan objek
tersebut (Retnowulan, 2017). Minat beli adalah tahap kecenderungan responden untuk bertindak
sebelum keputusan membeli benar-benar dilaksanakan (Nurjanah, 2019). Minat beli (willingness to
buy) merupakan bagian dari komponen perilaku dalam sikap mengonsumsi. Minat beli konsumen
adalah tahapan dimana konsumen membentuk pilihan mereka diantara beberapa merek yang
tergabung dalam perangkat pilihan, kemudian pada akhirnya melakukan suatu pembelian pada suatu
alternatif yang paling disukainya atau proses yang dilalui konsumen untuk membeli suatu barang atau
jasa yang didasari oleh bermacam pertimbangan (Yoebrilianti, 2018).
Minat beli dibentuk oleh pengaruh sikap konsumen terhadap suatu produk dan keyakinan
mereka akan kualitas dan harga. Dalam hal ini pemasar harus mengerti keinginan konsumen

1172 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


(Yoeblianti, 2018). Minat beli konsumen meliputi sikap, minat dan tindakan yang dilakukan
konsumen dalam proses pengambilan keputusan dan merencanakan pembelian terhadap sejumlah
merk. Minat konsumen sangat dipengaruhi oleh karakteristik produk, pemilihan terhadap manfaat
dari suatu produk dan harga yang ditentukan oleh pemasar. Menurut Adinda (2019) minat beli
konsumen adalah sesuatu yang timbul setelah menerima rangsangan dari produk yang dilihatnya, dari
sana timbul keinginan untuk membeli agar dapat memilikinya.
Keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh nilai produk yang dievaluasi. Bila manfaat yang
dirasakan lebih besar dibandingkan pengorbanan untuk mendapatkannya, maka dorongan untuk
membelinya semakin tinggi. Sebaliknya bila manfaatnya lebih kecil dibandingkan pengorbanannya
maka biasanya pembeli akan menolak untuk membeli dan pada umumnya beralih mengevaluasi
produk lain yang sejenis (Nainggolan, 2018). Minat beli dibentuk oleh pengaruh sikap konsumen
terhadap suatu produk dan keyakinan mereka akan kualitas dan harga. Dalam hal ini pemasar harus
mengerti keinginan konsumen (Yoebrilianti, 2018). Minat beli konsumen meliputi sikap, minat dan
tindakan yang dilakukan konsumen dalam proses pengambilan keputusan dan merencanakan
pembelian terhadap sejumlah merk. Minat konsumen sangat dipengaruhi oleh karakteristik produk,
pemilihan terhadap manfaat dari suatu produk dan harga yang ditentukan oleh pemasar. Menurut
Adinda (2019) minat beli konsumen adalah sesuatu yang timbul setelah menerima rangsangan dari
produk yang dilihatnya, dari sana timbul keinginan untuk membeli agar dapat memilikinya.
Minat beli merupakan bagiandari komponen perilaku dalam sikap mengkonsumsi (Susanti,
2009). Minat beli konsumen adalah tahap dimana konsumen membentuk pilihan mereka diantara
beberapa produkyang tergabung dalam perangkat pilihan, kemudian padaakhirnya melakukan suatu
pembelian pada suatu alternatif yang paling disukainya atau proses yang dilalui konsumen untuk
membeli suatu barang atau jasa yang didasari oleh berbagai macam pertimbangan. Lokasi bagi sebuah
usaha pertokoan merupakan suatu masalah yang sangat penting karena pemilihan lokasi yang
strategis dapat menimbulkan minat beli konsumen dan keberhasilan dalam menentukan lokasi akan
memberikan kontra prestasi terhadap perusahaan yaitu naiknya tingkat penjualan dan laba.Konsumen
dalam membeli barang tidak semata-mata hanya mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga
yang wajar dan kualitas yang baik sesuai dengan yang diharapkan tetapi juga cenderung melihat
beberapa aspek pendukung seperti lokasi toko, kelengkapan jenis produk, bahkan ada yang
mengarahkan pada pembelian untuk mendapatkan diskon penjualan atau penjualan yang berhadiah.
Maka minat adalah kecenderungan atau keinginan individu terhadap suatu objek yang timbul dalam
dirinya yang dapat menjadi motivasi untuk melakukan pembelian terhadap barang/jasa yang
diinginkannya baik pembelian secara offline maupun online.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1173


Dimensi Minat Beli
Minat beli dapat diidentifikasi melalui indikator-indikator sebagai berikut: (Nainggolan,
2018)
1. Minat transaksional, yaitu kecenderungan seseorang untuk membeli produk.
2. Minat referensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk mereferensikan produk kepada orang
lain.
3. Minat preferensial, yaitu minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang memiliki
prefrensi utama pada produk tersebut. Preferensi ini hanya dapat diganti jika terjadi sesuatu
dengan produk prefrensinya.
4. Minat eksploratif, minat ini menggambarkan perilaku seseorang yang selalu mencari informasi
mengenai produk yang diminatinya dan mencari informasi untuk mendukung sifat-sifat positif
dari produk tersebut.

Faktor Pembentuk Minat Beli


Beberapa faktor yang membentuk minat beli konsumen (Yoebrilianti, 2018), yaitu:
1. Sikap orang lain, maksudnya sejauh mana sikap orang lain itu dapat mengurangi alternatif yang
disukai seseorang akan bergantung pada dua hal yaitu, intensitas sifat negatif orang lain terhadap
alternatif yang disukai konsumen dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain.
2. Faktor situasi yang terantisipasi, faktor ini nantinya akan dapat mengubah pendirian konsumen
dalam melakukan pembelian. Hal tersebut tergantung dari pemikiran konsumen sendiri, apakah
dia percaya diri dalam memutuskan akan membeli suatu barang atau tidak.

Media Sosial
Media sosial dan perangkat lunak sosial merupakan alat untuk meningkatkan kemampuan
pengguna untuk berbagi, bekerja sama diantara pengguna, dan melakukan tindakan secara kolektif
yang semuanya berada diluar kerangka institusional maupun organisasi (Nasrullah, 2016). Media
sosial adalah sekumpulan aplikasi berbasis internet, beralaskan pada ideologi dan teknologi web 2.0
sehingga memungkinkan penciptaan dan pertukaran konten oleh penggunanya (Anwar, 2017). Lebih
lanjut Wilga (2018) mengatakan media sosial (social networking) adalah sebuah media online dimana
para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog,
sosial network atau jejaring sosial, wikipedia, forum dan dunia virtual.Oleh karena itu, media sosial
merupakan jejaring sosial dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung
dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi.

1174 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Dimensi Penggunaan Media
Media dapat dioperasionalisasikan dengan jenis media yang digunakan, frekuensi
penggunaan, maupun durasi penggunaan. Menurut Lometti etal. (1977) penggunaan media oleh
individu (Kriyantono, 2009), yaitu:
1. Jumlah waktu, hal ini berkaitan dengan frekuensi, intensitas, dan durasi yang digunakan dalam
mengakses situs.
2. Isi media, yaitu memilih media dan cara yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan dapat
dikomunikasikan dengan baik.

Macam-Macam Media Sosial


Teknologi media sosial sekarang ini memiliki berbagai bentuk seperti misalnya majalah
digital, forum internet, weblog, blog sosial, microblogging, wiki, jejaring sosial, podcast, foto atau
gambar, video, rating dan bookmark sosial. Masing–masing memiliki kelebihannya sendiri seperti
blogging, berbagi gambar atau foto, video blogging, wall-posting, berbagi musik atau lagu, chating,
bahkan VoIP atau Voice over IP, dan lain sebagainya (Wilga, 2018). Ada beberapa klasifikasi jejaring
sosial berdasarkan fungsi dan kegunaannya:
1. Konten kolaborasi (contohnya, Wikipedia)
2. Blog dan microblog (contohnya, Twitter)
3. Situs jejaring sosial berita (contohnya, Digg)
4. Konten Video (contohnya, YouTube)
5. Situs jejaringan sosial (contohnya, Facebook)
6. Game dunia maya (contohnya, World of Warcraft)
7. Situs dunia sosial virtual (contohnya, Second Life)

Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen adalah sebuah studi dari proses yang berkembang ketika individu atau
sekelompok orang memilih, menggunakan atau membuang sebuah produk, pelayanan, ide atau
pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan (Nurjanah, 2019). Dalam perilaku
konsumen tentunya memiliki beberapa aspek pengertian. Pertama, perilaku konsumen merupakan
proses pengambilan keputusan. Kedua, perilaku konsumen merupakan kegiatan fisik dan mental
untuk mendapatkan dan menggunakan barang atau jasa ekonomis. Keberhasilan atau kegagalan
pemasaran tergantung dari reaksi perorangan atau kelompok konsumen yang dinyatakan dalam
bentuk pembelian ataupun pengguna jasa (Alfansi, 2016).Sementara itu, Willem (2020) menjelaskan
bahwa keputusan pembelian adalah tindakan dari konsumen untuk membentuk referensi di antara

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1175


merek-merek dalam kelompok pilihan dan membeli produk yang paling disukai dan dari berbagai
faktor yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian suatu produk atau jasa, biasanya
konsumen selalu mempertimbangkan kualitas, harga dan produk yang sudah dikenal masyarakat.

Kerangka Analisis
Penelitian ini meneliti tentang pengaruh jumlah waktu, isi media, dan frekuensi dalam
penggunaan media sosial facebook terhadap minat beli konsumen pada group jual beli elektronik dan
komputer di kota Bengkulu. Maka diperoleh kerangka analisis sebagai berikut:

Jumlah Waktu (X1)

Isi Media (X2) Minat Beli (Y)

Frekuensi (X3)

Gambar 1. Kerangka Analisis

Pengembangan Hipotesis
Hipotesis menurut (Martono, 2012) adalah jawaban dari sebuah penelitian atau karya tulis
sementara yang kebenarannya masih harus diuji. Dalam penelitian ini adalah:
H1 : Jumlah waktu dalam penggunaan media sosial facebook berpengaruh positif signifikan
terhadap minat beli konsumen pada Grup Jual Beli Elektronik dan Komputer Kota Bengkulu.
H2 : Isi Media berpengaruh positif signifikan terhadap minat beli konsumen pada Grup Jual Beli
Elektronik dan Komputer Kota Bengkulu
H3 : Frekuensi penggunaan media sosial facebook berpengaruh positif signifikan terhadap minat
beli konsumen pada Grup Jual Beli Elektronik dan Komputer Kota Bengkulu

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Uji Normalitas
Tabel 1. Uji Normalitas

X1 X2 X3 Y
N 182 182 182 182
a,b
Normal Parameters Mean 18,5934 19,1484 19,4560 39,3462
Std. 2,82834 3,03478 3,08010 4,24211
Most Extreme Deviation 0,99 0,089 0,097 0,086

1176 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Differences Absolute 0,78 0,068 0,097 0,073
Positive -0,99 -0,089 -0,089 -0,086
Kolmogorov-Smirnov Z Negative 1,339 1,194 1,313 1,157
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,055 0,115 0,064 0,138

Berdasarkan hasil uji normalitas di atas menunjukkan bahwa nilai p value (Asymp. Sig (2-
tailed) seluruh variabel mempunyai nilai > 0,05 yang berarti variabel penelitian ini mempunyai
sebaran data yang normal.

Uji Multikolinearitas
Tabel 2. Uji Multikolinearitas
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1 (Constant)
Jumlah Waktu 0,515 1,943
Isi Media 0,436 2,296
Frekuensi 0,450 2,222

Berdasarkan hasil uji multikolinearitas di atas menunjukkan bahwa pada setiap variabel
independent (jumlah waktu, isi media dan frekuensi) mempunyai nilai Tolerance > 0,01 dan nilai VIF
< 10 yang berarti tidak terjadi multikolinearitas.

Uji Heteroskedastisitas

Tabel 3. Uji Heteroskedastisitas

Model Unstandardized Standardized t Sig


Coefficients Coefficients
B Std. Error Beta
1 (constant) 4,079 1,014 4,021 0,000
Jumlah Waktu -0,080 0,064 -0,121 -1,175 0,242
Isi Media -0,052 0,069 -0,086 -0,762 0,447
Frekuensi 0,036 0,067 0,060 0,541 0,589

Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas diatas menunjukkan bahwa seluruh variabel


independent mempunyai nilai p value (sig.) > 0,05 yang berarti tidak ada gejala heteroskedastisitas.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1177


Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh ketergantungan
dan arah pengaruh ketergantungan, apakah positif atau negati, antara dua atau lebih variael bebas dan
terikat (Hair et al., 2010). Dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh jumlah waktu,
isi media, dan frekuensi penggunaan media sosial facebook terhadap minat beli konsumen pada
Group Jual Beli Elektronik dan Komputer Kota Bengkulu. Perhitungan dilakukan menggunakan
SPSS.

Tabel 4. Perhitungan Regresi


Coefficientsa Berganda
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) 17,628 1,632 10,802 ,000
Jumlah Waktu ,301 ,109 ,201 2,755 ,006 ,515 1,943
Isi Media ,236 ,111 ,169 2,135 ,034 ,436 2,296
Frekuensi ,596 ,107 ,433 5,551 ,000 ,450 2,222
a. Dependent Variable: Minat Beli

Berdasarkan hasil analisis regresi pada Tabel 4. terbentuk persamaan sebagai berikut:
Y = 17,628 +0,301 X1 + 0,236 X2 + 0,596 X3

Persamaan tersebut dapat diinterprestasikan bahwa nilai koefisien regresi variabel jumlah
waktu sebesar 0,301 memberikan makna bahwa jika variabel jumlah waktu meningkat satu satuan,
maka minat beli juga akan meningkat sebesar 0,301 satuan. Nilai koefisien regresi variabel isi media
sebesar 0,236 memberikan makna bahwa jika variabel isi media meningkat satu satuan, maka minat
beli juga akan meningkat sebesar 0,236 satuan. Nilai koefisien regresi variabel frekuensi sebesar
0,596 memberikan makna bahwa jika variabel frekuensi meningkat satu satuan, maka minat beli juga
akan meningkat sebesar 0,596 satuan.

Analisis Korelasi Berganda

Tabel 5. Analisis Korelasi Berganda

1178 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Berdasarkan Tabel di atas dapat ditentukan besarnya nilai koefisien determinasi dengan melihat
besarnya nilai Adjusted R2yaitu sebesar0,505, yang berarti besarnya nilai koefisien determinasi adalah
sebesar 0,505 x 100% = 50,5%. Nilai tersebut berarti bahwa besarnya pengaruh jumlah waktu, isi
media dan frekuensi terhadap minat beli adalah sebesar 50,5%. Sedangkan sisanya sebesar 49,5%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah waktu berpengaruh signifikan terhadap minat
beli konsumen pada grup jual beli elektronik dan komputer di Kota Bengkulu. Artinya, semakin tinggi
jumlah waktu konsumen dalam penggunaan social media facebook pada grup jual beli elektronik dan
komputer di Kota Bengkulu, maka akan semakin tinggi pula ketertarikan dan daya minat konsumen
untuk berbelanja. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah jumlah waktu konsumen dalam
penggunaan sosial media facebook pada grup jual beli elektronik dan komputer di Kota Bengkulu,
maka semakin rendah pula ketertarikan dan daya minat konsumen untuk berbelanja. Jumlah waktu
konsumen dalam penggunaan media sosial facebook pada grup jual beli elektronik dan komputer di
Kota Bengkulu memiliki jumlah waktu dengan intensitas yang tinggi. Artinya konsumen
menghabiskan waktu yang lama dalam penggunaan media sosial facebook pada grup jual beli
elektronik dan komputer di Kota Bengkulu. Dengan demikian konsumen memiliki banyak waktu
dalam memilih-milih produk yang mana yang paling mereka minati. Sehingga kualitas produk dan
persaingan harga perlu diperhatikan oleh penjual.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa isi media berpengaruh signifikan terhadap minat beli
konsumen pada grup jual beli elektronik dan komputer di Kota Bengkulu. Artinya, semakin tinggi
kualitas iklan-iklan yang berada grup jual beli elektronik dan komputer di Kota Bengkulu, maka akan
semakin tinggi pula ketertarikan dan daya minat konsumen untuk berbelanja. Begitu juga sebaliknya,
semakin rendah kualitas iklan-iklan yang berada grup jual beli elektronik dan komputer di Kota
Bengkulu, maka akan semakin rendah pula ketertarikan dan daya minat konsumen untuk berbelanja.
Isi media Grup Jual Beli Elektronik dan Komputer Kota Bengkulu memiliki isi media yang
memberikan semua informasi tentang kualitas barang yang dijual sesuai dengan keadaan barang atau
jasa yang sebenarnya. Selain itu harga produk juga dicantumkan. Hal tersebut tentu mempermudah
calon pembeli dalam memperkirakan dana yang diperlukan untuk membeli produk tersebut.
Keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh nilai produk yang dievaluasi. Bila manfaat yang
dirasakan lebih besar dibandingkan pengorbanan untuk mendapatkannya, maka dorongan untuk
membelinya semakin tinggi. Sebaliknya bila manfaatnya lebih kecil dibandingkan pengorbanannya
maka biasanya pembeli akan menolak untuk membeli dan pada umumnya beralih mengevaluasi
produk lain yang sejenis (Nainggolan, 2018). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi
penggunaan sosial media facebook berpengaruh signifikan terhadap minat beli konsumen pada grup

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1179


jual beli elektronik dan komputer di Kota Bengkulu. Artinya, semakin tinggi frekuensi penggunaan
sosial media facebookpada grup jual beli elektronik dan komputer di Kota Bengkulu, maka akan
semakin tinggi pula ketertarikan dan daya minat konsumen untuk berbelanja. Begitu juga sebaliknya,
semakin rendah frekuensi penggunaan sosial media facebookpada grup jual beli elektronik dan
komputer di Kota Bengkulu, maka akan semakin rendah pula ketertarikan dan daya minat konsumen
untuk berbelanja. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Raheni (2018)
dengan judul penelitian “Pengaruh Media Sosial Terhadap Minat Beli Konsumen Studi Kasus
Mahasiswa” maka diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Media Sosial
Terhadap Minat Beli Konsumen Studi Kasus Mahasiswa. Semakin sering konsumen menggunakan
sosial media maka akan mudah untuk menarik perhatian konsumen agar berminat untuk membeli
suatu produk yang dipasarkan oleh penjual.
Frekuensi penggunaan sosial media facebook pada grup jual beli elektronik dan komputer di
Kota Bengkulu memiliki fekuensi yang tinggi. Artinya responden sring menggunakan akun facebook
mereka dan berkunjung ke grup jual beli. Oleh sebab itu untuk penjual harus selalu mempunyai ide-
ide baru untuk menaikkan produk yang dijualnya dengan cara selalu memposting produknya namun
dengan daya tarik yang berbeda, sehingga dapat menimbulkan rasa keingintahuan konsumen yang
tinggi dan konsumen lebih sering menggunakan sosial media pada grup jual beli elektronik dan
komputer di Kota Bengkulu ini.
Minat merupakan salah satu aspek psikologis yang mempunyai pengaruh cukup besar terhadap
perilaku dan juga merupakan sumber motivasi yang akan mengarahkan seseorang dalam melakukan
sesuatu.Selain itu minat juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang pribadi dan berhubungan dengan
sikap. Individu yang berminat terhadap suatu obyek akan mempunyai kekuatan atau dorongan untuk
melakukan serangkaian tingkah laku untuk mendekati atau mendapatkan objek tersebut (Retnowulan,
2017). Minat beli adalah tahap kecenderungan responden untuk bertindak sebelum keputusan
membeli benar-benar dilaksanakan (Nurjanah, 2019). Minat beli (willingness to buy) merupakan
bagian dari komponen perilaku dalam sikap mengonsumsi. Minat beli konsumen adalah tahapan
dimana konsumen membentuk pilihan mereka diantara beberapa merek yang tergabung dalam
perangkat pilihan, kemudian pada akhirnya melakukan suatu pembelian pada suatu alternatif yang
paling disukainya atau proses yang dilalui konsumen untuk membeli suatu barang atau jasa yang
didasari oleh bermacam pertimbangan (Yoebrilianti, 2018).
minat beli dibentuk oleh pengaruh sikap konsumen terhadap suatu produk dan keyakinan
mereka akan kualitas dan harga (Yoebriliant, 2018). Dalam hal ini pemasar harus mengerti keinginan
konsumen. Minat beli konsumen meliputi sikap, minat dan tindakan yang dilakukan konsumen dalam
proses pengambilan keputusan dan merencanakan pembelian terhadap sejumlah merk. Minat

1180 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


konsumen sangat dipengaruhi oleh karakteristik produk, pemilihan terhadap manfaat dari suatu
produk dan harga yang ditentukan oleh pemasar. Menurut Kotler (2005) minat beli konsumen adalah
sesuatu yang timbul setelah menerima rangsangan dari produk yang dilihatnya, dari sana timbul
keinginan untuk membeli agar dapat memilikinya.

Implikasi strategis
1. Jumlah waktu penggunaan sosial media facebook di grup jual beli elektronik dan komputer di
kota Bengkulu berdasarkan hasil penelitian diketahui berpengaruh terhadap minat beli
konsumen. Hal ini dikarenakan semakin intens dan lama durasi konsumen berada didalam jual
beli elektronik dan komputer di kota Bengkulu ini maka semakin tumbuh rasa keinginan atau
minat untuk memiliki suatu barang tersebut. Namun jumlah waktu penggunaan sosial media
facebook di grup jual beli elektronik dan komputer di kota Bengkulu yang terlalu lama akan
menyebabkan kejenuhan pada konsumen, oleh sebab itu penjual harus bisa menciptakan agar
konsumen tidak bosan dan juga tertarik untuk menawar barang atau jasa yang dijual dengan cara
memberikan foto-foto barang yang menarik dan jelas.
2. Isi media facebook di grup jual beli elektronik dan komputer di kota Bengkulu berdasarkan hasil
penelitian diketahui berpengaruh terhadap minat beli konsumen. Oleh sebab itu agar penjual
harus menjelaskan dengan lengkap tentang barang atau jasa yang dijual, mulai dari harganya,
kualitasnya, keunggulan maupun kelemahannya. Sehingga tidak terjadi kesalah pahaman antara
iklan dengan barang nyatanya.
3. Frekuensi penggunaan sosial media facebook di grup jual beli elektronik dan komputer di kota
Bengkulu berdasarkan hasil penelitian diketahui berpengaruh terhadap minat beli konsumen.
Oleh sebab itu penjual harus bisa memberikan kepuasan kepada konsumen dalam hal pelayanan
yang cepat dalam menjawab pesan, ramah dan melayani konsumen secara sopan serta memiliki
produk-produk yang lengkap. Sehingga konsumen akan menyukai grup jual beli elektronik dan
komputer di kota Bengkulu ini dan akan selalu menggunakannya untuk bertransaksi mencari
apasaja yang dibutuhkannya.

Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan bagi penjual maupun konsumen. bagi penjual
agar memberikan pelayanan yang baik, menciptakan kepuasan kepada konsumen, memberikan
penjelasan yang lengkap atas apa yang dijual sesuai dengan kenyataan barangnya. Begitu juga bagi
konsumen agar tetap waspada dalam bertransaksi, harus tahu secara jelas kondisi barang atau jasa
yang akan dibeli, serta keamanan barang atau jasa tersebut.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1181


Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti dengan judul “Pengaruh Penggunaan Media
Sosial Facebook Terhadap Minat Beli Konsumen Pada Group Jual Beli Elektronik dan Komputer di
Kota Bengkulu” maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah waktu, isi media, dan frekuensi penggunaan media sosial facebook secara simultan
berpengaruh positif signifikan terhadap minat beli konsumen pada Group Jual Beli Elektronik
dan Komputer Kota bengkulu. Artinya semakin besar jumlah waktu, semakin lengkap isi media,
dan semakin tinggi frekuensi penggunaan media sosial facebook maka minat beli konsumen akan
semakin tinggi. Sebaliknya semakin rendah jumlah waktu, semakin kurang lengkap isi media,
dan semakin rendah frekuensi penggunaan media sosial facebook maka minat beli konsumen
akan semakin kecil.
2. Jumlah waktu secara parsial berpengaruh berpengaruh positif signifikan terhadap minat beli
konsumen pada Group Jual Beli Elektronik dan Komputer Kota bengkulu. Artinya semakin
banyak jumlah waktu yang dihabiskan untuk menggunakan media sosial facebook, minat beli
konsumen akan semakin tinggi. Sebaliknya semakin rendah jumlah waktu, maka minat beli
konsumen akan semakin kecil.
3. Isi media secara parsial berpengaruh positif signifikan terhadap minat beli konsumen pada Group
Jual Beli Elektronik dan Komputer Kota bengkulu. Artinya semakin lengkap isi media berupa
informasi yang dibutuhkan konsumen terkait produk yang ditawarkan, maka minat beli
konsumen akan semakin tinggi. Sebaliknya semakin sedikit informasi yang diberikan penjual
saat melakukan promosi, maka minat beli konsumen akan semakin kecil.
4. Frekuensi penggunaan media sosial secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap
minat beli. Artinya semakin sering seseorang membuka laman facebooknya dan mengunjungi
grup jual beli, akan semakin meningkatkan minat beli. Sebaliknya semakin jarang seseorang
menggunakan facebook dan mengunjungi grupjual beli, maka minat beli akan semakin rendah.

Saran
Selaras dengan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan di atas,maka perlu disarankan,
sebagai berikut:
1. Berdasarkan temuan penelitian, pengaruh penggunaan media sosial facebook dalam Group Jual
Beli Elektronik dan Komputer di Kota Bengkulu cukup tinggi, maka perlu disarankan kepada
pelaku usaha membuat dapat juga mempromosikan produk-produk yang ada di toko mereka

1182 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


melalui media facebook, baik di laman akun facebook pribadi maupun di grup-grup yang
tersedia.
2. Penjualan produk melalui media sosial seperti facebook di saat pandemi seperti sekarang ini
sangat bermanfaat dalam membantu menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Hal tersebut
karena penjual tetap dapat memasarkan produknya dengan aman di tempat masing-masing.
3. Baik penjual maupun pembeli, saat melakukan transaksi hendaknya tetap mengikuti protokol
keamanan terhadap Covid-19.
4. Kepada para pelaku usahadisarankan untuk melengkapi informasi terkait alamat toko/usaha
mereka dan detil produk yang mereka jual seperti harga, merk, kualitas, dan ada tidaknya garansi
yang diberikan penjual kepada pembeli.
5. Untuk menghindari penipuan yang dilakukan oleh oknum penjual, sebaiknya calon pembeli
terlebih dahulu melihat akun facebook pribadi milik penjual, dan sebisa mungkin mencari penjual
yang sudah lebih dulu dikenal.

Referensi
Adinda, S. & Pangestuti E. (2019). Pengaruh media sosial instagram @exploremalang terhadap minat
berkunjung followers ke suatu destinasi (Survei Pada Followers @exploremalang). Jurnal
Administrasi Bisnis, 72(1), 176-183.
Anwar, F. (2017). Perubahan dan permasalahan media sosial. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora,
dan Seni. 1(1), 137-144.
Apriliana, NS. & Utomo, EP. (2019). Pengaruh intensitas melihat iklan di instagram terhadap
pengetahuan dan perilaku konsumtif remaja putri. Jurnal Komunikasi 13(2), 179-190.
Nainggolan, N.P. (2018). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen dalam
membeli rumah di Kota Batam. Journal of Accounting & Management Innovation, 2(2), 41-
54.
Nasrullah, R. (2016). Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, Sosioteknologi (Cetakan kedua).
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Nurjanah, S. & Willy. (2019). Pengaruh kemasan produk dan rasa terhadap minat beli yang
berdampak pada keputusan pembelian pelanggan minuman energi. Jurnal Ilmu Manajemen,
2(2), 65-74.
Priatni, B.S., Hutriana T. & Hindarwati, E.N. (2019). Pengaruh social media marketing terhadap
purchase intention dengan brand awareness sebagai variable intervening pada martha tilaar
salon day spa. Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Perbankan, 5(3), 145-155.
Raheni, C. (2018). Pengaruh media sosial terhadap minat beli konsumen studi kasus mahasiswa.
Jurnal Sinar Manajemen, 5(2), 82-85.
Retnowulan, J. (2017). Pengaruh kualitas produk dan persepsi harga terhadap minat beli smartphone
Xiaomi. Jurnal Cakrawala, 17(2), 139-145.
Yoebrilianti, A. (2018). Pengaruh promosi penjualan terhadap minat beli produk fashion dengan gaya
hidup sebagai variabel moderator (survei konsumen pada jejaring sosial). Jurnal
Manajemen, 8(1). 20-41

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1183


Pengaruh Integritas Dan Kepemimpinan Etis Terhadap Kepercayaan Kepada
Pemimpin Di Komisi Pemilihan Umum Daerah Se Provinsi Bengkulu

Rahmi Wijayanti1), Slamet Widodo2), Syamsul Bachri3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2)

Abstract. The purpose of this research to know and analyze: (1) the effect of integrity on ethical
leadership; (2) the effect of integrity on trust for leaders; (3) the effect of ethical leadership on trust
for leaders; and (4) the mediating of ethical leadership the effect of integrity on trust for leaders.
Research is a type of quantitative research, data collection by distributing questionnaires to staff of
regional election commission (leaders of secretariat in Bengkulu Province as many as 170. Of the 10
questionnaires distributed, 149 questionnaires could be processed. Data analysis using the causal step
method and sobel test. The results showed (1) Integrity positive effect on ethical leadership. That is,
the more integrity of a leader, the more ethical leadership, conversely the lower the integrity of a
leader, the more unethical leadership, (2) Integrity positive effect on trust for leaders. That is, the
more integrity of a leader the more ethical leadership, conversely the lower the integrity of a leader,
the more unethical leadership, (3) Ethical leadership positive effect on trust for leaders. That is, the
more ethical the leadership of a leader, the subordinates' trust in them will increase, conversely the
more unethical the leadership of a leader, the less trust they will get, and (4) Ethical leadership is able
to mediate the relationship of the influence of integrity on trust for leadership at the Regional Election
Commission Bengkulu Province. That is, this ethical leadership will be a significant driver for leaders
with greater integrity in an effort to gain the trust of followers

Keywords: Integrity, Ethical Leadership, Trust in Leaders

Pendahuluan
Saat ini kepemimpinan dinilai membawa pengaruh yang kuat bagi proses interaksi sumber
daya manusia dan keberhasilan organisasi. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa perilaku
kepemimpinan etis dapat menghasilkan banyak hasil positif, seperti meningkatkan kinerja karyawan,
kepercayaan pada pemimpin, komitmen organisasional, extra role, kepuasan kerja, dan affective
commitment (Kuo, 2013; Avey, Reichard, Luthans & Mhatre, 2011; Walumbwa, Wang, Schaubroeck,
& Avolio, 2011). Beberapa penelitian tersebut telah memberikan wawasan yang berharga dan
menyoroti pentingnya kepemimpinan etis yang kemudian mendorong banyak peneliti untuk
berkontribusi dalam pemahaman mengenai sifat dasar perilaku etika kepemimpinan.
Kepemimpinan etis didefinisikan sebagai demonstrasi perilaku normatif yang tepat melalui
tindakan pribadi dan hubungan interpersonal, dan perilaku promosi tersebut dilakukan kepada
bawahan melalui komunikasi dua arah, penguatan, dan pengambilan keputusan (Brown, Trevino &
Hartman, 2006). Karakter pemimpin yang etis memiliki tingkat integritas yang tinggi, menetapkan

1184 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


standar etika, membuat keputusan yang etis dan menjadi peduli kepada bawahan (Brown, Trevino &
Hartman, 2006). Northouse (2013) dengan mengutip beberapa studi terdahulu merangkum prinsip
yang dimiliki oleh pemimpin yang etis yaitu menghargai orang lain, melayani orang lain,
menunjukkan keadilan, menampilkan kejujuran, dan membangun komunitas. Para peneliti juga telah
menghubungkan kepemimpinan etis dengan sikap positif para pengikut di tempat kerja, seperti
kepuasan kerja, komitmen organisasional, motivasi kerja (Toor & Ofori, 2009).
Banyak ahli ilmu organisasi dan juga para praktisi sekarang ini percaya bahwa kepemimpinan
tanpa integritas dapat membawa organisasi dalam bahaya serius (Morgan, 1993). Seperti diketahui
bahwa keputusan seorang pimpinan akan memberi pengaruh besar pada organisasi. Jika seorang
pemimpin memiliki cara berpikir dan bertindak bijaksana, hal itu akan membawa pengaruh terhadap
seluruh bagian dalam organisasi. Demikian juga sebaliknya, ketika seorang pemimpin membuat suatu
keputusan atau melakukan suatu tindakan buruk, yang biasanya menyentuh wilayah moral, maka
dampak negatifnya pun akan sangat besar bagi organisasi. Bagaimana pemimpin menjalankan
kepemimpinannya dapat memiliki pengaruh pada sejauh mana pengikut akan mempercayai
pemimpin. Beberapa gaya kepemimpinan berbasis nilai seperti kepemimpinan transformasional,
autentik, pelayan, dan etika dikaitkan dengan kepercayaan (Hartog & Belschak, 2012; Sendjaya &
Pekerti, 2010; Avolio et al., 2005). Kepemimpinan etis, khususnya, sangat penting untuk kredibilitas
seorang pemimpin dan kemampuannya untuk memberikan pengaruh yang berarti. Kredibilitas
pemimpin etis ini cenderung memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepercayaan antara
pemimpin dan pengikut (Piccolo et al., 2010).
Dalam penelitiannya Zhu, May & Avolio (2004), mendapatkan bahwa pemimpin etis yang
memiliki keberanian untuk mengubah niat moral mereka menjadi perilaku etis dan pengikut melihat
konsistensi ini, kepercayaan pada pemimpin akan dihasilkan. Dadhich dan Bhal (2008) menemukan
bahwa kepercayaan afektif dan kepercayaan kognitif diprediksi oleh kepemimpinan etis. Kalshoven
dan Den Hartog (2009); Vanden et al. (2009) menemukan bahwa kepemimpinan etis secara signifikan
terkait dengan tingkat kepercayaan pengikut dalam pemimpin. (Johnson, Shelton & Yates, 2012;
Wong, Spence-Laschinger & Cummings, 2010) melaporkan hubungan positif antara kepemimpinan
etis dan kepercayaan organisasi.
Nilai-nilai etika harus dianggap penting untuk mengadopsi gaya kepemimpinan yang etis.
Satu nilai etis yang penting bagi kepemimpinan etis dan kepercayaan adalah integritas (Palanski &
Yammarino, 2011; Van Aswegen & Engelbrecht, 2009). Integritas, yang mengacu pada kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip moral, menangkap esensi nilai-nilai etis dan karenanya dapat dilihat sebagai
penggerak penting dari kepemimpinan etis. Seseorang juga dapat mempertimbangkan integritas

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1185


dampak pada konsep kepercayaan, di mana pengikut memiliki keyakinan pada pemimpin yang
dianggap sebagai menunjukkan integritas (Mayer, Davis & Schoorman, 1995).
Para sarjana perilaku organisasi dan manajemen sumber daya manusia telah memberikan
perhatian luas terhadap masalah integritas. Selain itu, teori kepemimpinan dan peneliti telah
menemukan bahwa integritas adalah ciri utama para pemimpin yang efektif (Bass, 1990; Kirkpatrick
& Locke, 1991; Yukl & Van Fleet, 1992). Integritas merupakan otentikasi dari orang yang
menampilkan prinsip moral dan etika yang kuat di tempat kerja. Orang yang mendemonstrasikan
integritas memperoleh yang lain karena mereka dapat diandalkan. Mereka etis dan dapat diandalkan
untuk tampil dengan cara yang bereputasi baik dan benar bahkan ketika tidak ada yang melihat. Ini
adalah ciri-ciri individu yang sering akomodatif, welas asih, jernih, jujur, dan etis. Sifat kepercayaan
dipadukan erat dengan integritas.
Van Aswegen dan Engelbrecht (2009) melihat seseorang dengan integritas sebagai jujur dan
dapat dipercaya. Mayer et al. (1995) berpendapat bahwa, agar dapat dipercaya, integritas harus ada.
Mayer dan Gavin (2005) juga mempelajari model kepercayaan dari Mayer et al. (1995) dan integritas
yang dilaporkan secara signifikan dan positif terkait dengan kepercayaan pada pemimpin. Kannan-
Narasimhan dan Lawrence (2012); Palanski dan Yammarino (2011); Simons (2002); Engelbrecht dan
Cloete (2000) menemukan bahwa integritas perilaku pemimpin memiliki dampak positif pada
kepercayaan pengikut terhadap pemimpin.
Model kepemimpinan karakter Turknett, yang dikembangkan oleh psikolog Robert Turknett,
integritas adalah fondasi model, dan tanpa integritas, tidak ada pemimpin yang bisa berhasil. The
Turknett Leadership Group mencatat bahwa individu-individu yang berintegritas tidak akan
memutarbalikkan fakta demi keuntungan pribadi; mereka bersedia membela dan membela apa yang
benar; mereka akan berhati-hati untuk menepati janji; dan mereka dapat diandalkan untuk
mengatakan yang sebenarnya. Dalam model mereka, integritas adalah fondasi kepemimpinan dan ini
melibatkan keseimbangan yang cermat antara rasa hormat dan tanggung jawab (Turknett, 2009).
Integritas di tingkat organisasi berhubungan dengan budaya, administrasi, dan prinsip
kepemimpinan. Budaya integritas harus dimulai dari atas dan dirasakan dalam perilaku dan aktivitas
para eksekutif. Kepemimpinan harus mengembangkan kesepakatan tentang nilai timbal balik.
Sebagaimana Kouzes dan Posner (2004) tunjukkan, pengembangan nilai-nilai bersama memperkuat
keefektifan pribadi, loyalitas perusahaan, perilaku etis, memupuk kerja tim, kebanggaan dan
konsensus organisasi. Dalam setiap kategori kehidupan, tampaknya ada kegagalan etis di antara
kepemimpinan. Misalnya, dunia korporat memiliki Enron, WorldCom, Arthur Anderson, Tyco,
Health South, dan bahkan Palang Merah Amerika. Menurut beberapa penelitian, dilema integritas
tidak hanya menyengsarakan para pemimpin kita, tetapi juga budaya kita. Integritas nilai karyawan

1186 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


dan kejujuran sebagai Komponen kunci untuk kepemimpinan. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Kouzes dan Posner (2004), karakteristik kepemimpinan yang diinginkan nomor satu adalah
kejujuran. Ini adalah penelitian yang penting karena konstan dari waktu ke waktu dan konsisten di
seluruh negara, budaya, dan organisasi. Pengikut tidak hanya keinginan, tetapi juga ingin tahu bahwa
pemimpin mereka jujur, bermoral, dan penuh integritas.
Kepemimpinan etis berhubungan positif dengan kepemimpinan transformasional, yang
mengarah pada kesimpulan bahwa integritas memiliki efek positif pada kepemimpinan etis (Toor &
Ofori, 2009). Sementara itu, Brown, et al. (2006) mengusulkan bahwa kombinasi integritas, standar
etika, dan perlakuan yang adil terhadap karyawan adalah fondasi kepemimpinan etis. Oleh karena itu
integritas dapat digambarkan sebagai komponen kepemimpinan etis; tetapi konsep integritas adalah
suatu konstruksi komprehensif yang juga memiliki dampak penting pada kepemimpinan etis. Hartog
dan Belschak (2012) juga menyatakan bahwa para pemimpin etis mengintegrasikan integritas,
kepercayaan dan berbagi nilai dalam identitas mereka sendiri. Jelaslah bahwa para pemimpin etis
adalah pemimpin dengan integritas.
Kepemimpinan yang etis dianggap penting untuk kinerja karena, bersama dengan integritas
dan rasa saling percaya, meningkatkan interaksi yang efektif antara pemimpin dan pengikut dengan
berfokus pada perilaku etis di tempat kerja. Menurut Brown et al. (2006), para pemimpin etis
dianggap jujur dan dapat dipercaya. Ini diperlukan untuk hubungan kerja yang sehat, dan itu mungkin
memiliki dampak positif pada hasil kerja. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menggunakan riset teoretis yang sehat dan penalaran yang logis untuk menganalisis pengaruh
integritas dan kepemimpinan etis atas kepercayaan pada pemimpin di Komisi Pemilihan Umum
(KPU) se Provinsi Bengkulu.
Usaha pemerintah patut mendapat apresiasi yang telah berupaya memetakan berbagai
permasalahan terkait patologi birokrasi dengan melaksanakan gerakan reformasi birokrasi.
Berdasarkan Grand Design Reformasi Birokrasi disebutkan bahwa fenomena yang berkaitan dengan
birokrasi telah diidentifikasi sebagai berikut (Aptery, 2015):
1. Organisasi pemerintahan yang belum tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing).
2. Peraturan perundang-undangan di bidang aparatur Negara masih ada yang tumpang tindih,
inkonsisten, tidak jelas dan multitafsir.
3. Sumber Daya Manusia Aparatur yang tidak seimbang serta tingkat produktivitas Pegawai Negeri
Sipil masih rendah.
4. Kewenangan dalam proses pemerintahan masih adanya praktik penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang serta belum mantapnya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
5. Pelayanan publik belum mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belum
memenuhi hak-hak dasar warga negara.
6. Pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) birokrat belum sepenuhnya mendukung
birokrasi yang efisien, efektif dan produktif dan profesional.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1187


Dari beberapa fenomena utama diatas, persoalan integritas lebih terkait dengan disebabkan
oleh permasalahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) birokrat. Oleh karena itu
gerakan reformasi birokrasi diharapkan dapat mendorong perubahan pola pikir (mind set) dan budaya
kerja (culture set) birokrat yang memiliki integritas yang tinggi. Hal ini juga sesuai dengan semangat
Nawa Cita Pemerintah yang gencar mengampanyekan revolusi mental, yang mana karakter SDM
sebagai ujung tombak reformasi birokrasi haruslah memiliki mind set yang baru, leadership yang
handal, mampu menjadi aparatur yang disiplin dan peduli.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilu di tingkat daerah
harus memiliki integritas, dengan integritas individu akan bersikap jujur dan transparan, berani,
bijaksana dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas, sehingga pelaksanaan pemilu dapat
lebih jujur, adil, bebas, rahasia, damai, dan demokratis. Namun demikian, permasalahan terkait
integritas dan kepemimpinan etik khususnya di KPUD wilayah Provinsi Bengkulu yaitu masih ada
individu yang tergiur akan iming-iming uang ataupun jabatan yang bertujuan untuk mempengaruhi
kebijakan yang dapat menguntungkan salah satu peserta pemilu. Misalnya beberapa kasus berikut:
1. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memecat ketua dan dua komisioner KPUD
Kota Bengkulu dan memberikan sanksi tertulis kepada dua komisioner lainnya. Mereka terbukti
melakukan pelanggaran kode etik dan melakukan pelanggaran pemilu terkait dengan penundaan
pelaksanaan verifikasi syarat calon pengganti antar waktu (https://news.detik.com)
2. Polres Bengkulu Utara menahan salah seorang anggota KPUD Kabupaten Bengkulu Tengah
karena melakukan korupsi Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) di Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Benteng. Anggota KPUD ini juga menjabat sebagai Ketua Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Al Hijrah di Kabupaten Benteng, tidak pernah melakukan
kegiatan pembelajaran kepada masyarakat untuk mendapatkan paket B, sedangkan bantuan dari
Diknas dicairkannya (https://bengkuluekspress.com)
3. Anggota KPUD Kabupaten Benteng dinikahkan warga karena kedapatan berkunjung secara rutin
ke rumah seorang janda. Pernikahan ini adalah murni tuntutan masyarakat desa setelah menggelar
sidang di balai desa hingga lewat tengah malam. Awalnya, anggota KPUD Kabupaten Benteng
meminta waktu hingga tiga hari, namun ditolak warga dengan alasan takut melarikan diri. Surat
yang ditanda tangani istri syah korban mengatakan bahwa ia rela suaminya menikah lagi
(http://kupasbengkulu.com)
4. Dua anggota KPUD Kabupaten Kaur diduga melakukan pungli terkait penerimaan PPK dan PPS
PPK (https://harianrakyatbengkulu.com)

Berdasarkan fenomena di atas dapat dinyatakan bahwa integritas dan kepemimpinan etis
KPUD lingkup Provinsi Bengkulu masih rendah. Pimpinan yang berintegritas tentu saja tidak akan
mudah korupsi atau memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang mengerahkan segala
daya upaya untuk bekerja sesuai dengan jalurnya. Pimpinan yang berintegritas akan menjaga dari hal-
hal yang mendestruksi dirinya dari tujuan mulia, karena pimpinan yang memiliki integritas lebih
menyukai proses yang benar untuk menghasilkan sesuatu yang benar. Dengan adanya integritas dan
kepemimpinan etis maka akan menumbuhkan kepercayaan, bukan saja terhadap bawahan tetapi
terhadap masyarakat yang mengharapkan penyelenggaraan pemilu yang baik.

1188 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Berdasarkan permasalahan dan studi empiris bahwa kepercayaan tidak akan tumbuh jika
pimpinan tidak memiliki integritas dan berperilaku etik. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis
akan menguji tentang permasalahan:
 Pengaruh integritas dan kepemimpinan etis terhadap kepercayaan kepada pimpinan
di Komisi Pemilihan Umum Daerah se Provinsi Bengkulu.

Tinjauan Pustaka
Kepercayaan Kepada Pimpinan
Trust merupakan suatu fenomena yang dinamis yang terjadi secara intrinsik pada suatu
keadaan yang alamiah, dimana trust merupakan hal yang menyangkut masalah mental yang
didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya, misalnya ketika seseorang untuk mengambil
suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih
dapat ia percayai dari pada yang kurang ia percayai. Begitu juga dengan lingkup perusahaan,
Karyawan akan memahami apa saja kebijakan perusahaan, tanpa adanya perasaan dicurangi atau
dimanfaatkan kelemahannya jika karyawan telah percaya kepada organisasi. Ketika karyawan telah
memberikan kepercayaan terhadap perusahaan maka karyawan akan menerima berbagai risiko yang
mungkin muncul atas keputusan ataupun kebijakan dari organisasi perusahaan. Pengalaman tidak
mengecewakan mungkin menjadi peranan yang juga mempengaruhi kepercayaan antar karyawan
kepada organisasi (Falcone & Castelfranci, 2004).
Hal tersebut juga diperkuat oleh Joseph dan Winston (2004) yang mengatakan bahwa trust
tidak hanya tergantung pada pengalaman tetapi juga melibatkan hubungan dengan proses mental
dimana terdapat adanya aspek kognitif dan afektif di dalamnya. Seseorang akan melibatkan proses
berpikir dan penerimaan dan pengolahan perasaan atas apa yang diberikan oleh pemimpin, Hal ini
menjelaskan bahwa kepercayaan tidak hanya tergantung pada pengalaman sebagai informasi yang
diperoleh dari waktu ke waktu, tetapi juga melibatkan respons emosi dan perasaan yang berhubungan
dengan pengalaman tersebut.
Seseorang untuk dapat kepercayaan akan mengharapkan adanya sense of responsibility,
percaya bahwa mereka akan berperilaku pada cara-cara yang dapat dipercaya. Untuk dapat
kepercayaan, seseorang akan berharap bahwa orang yang ingin ia percaya akan mengerti harapannya
dan mengetahui cara untuk mengatasi keterbatasannya, karena itu hal yang paling esensial dari
kepercayaan adalah keterbukaan. Keterbukaan karyawan diharapkan dapat memberikan stimulus
kepada organisasi untuk memahami keterbatasan ataupun kendala-kendala yang menghambat kinerja
dari karyawan.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1189


Hal tersebut juga diperkuat oleh Falcone dan Castelfranci (2004) yang mengatakan bahwa
kepercayaan merupakan suatu kemungkinan yang subjektif dari seorang individu, yang
mengharapkan individu lain untuk menunjukkan suatu tindakan tertentu, segala kemungkinan yang
terjadi tergantung pada bagaimana perilaku yang ditunjukkan orang yang kita percayai tersebut
kepada kita, bagaimana mereka dapat memenuhi perilaku yang kita harapkan. Karyawan akan
menaruh kepercayaan bila dari pihak organisasi perusahaan menunjukkan perilaku yang diharapkan
oleh karyawannya. Untuk itu karyawan harus memahami bagaimana cara yang tepat untuk
membangun kepercayaan. Membangun kepercayaan diawali dengan menghargai dan menerima
kepercayaan tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari dan latihan yang terus menerus. Dengan
keadaan yang stabil akan memberikan kualitas kepercayaan yang didapat. Tanpa adanya perilaku
nyata, pemahaman dan penerimaan akan kepercayaan pun tidak berarti apapun.
Membangun kepercayaan berarti memikirkan suatu kepercayaan dalam cara yang positif,
membangun langkah demi langkah, komitmen demi komitmen. Jika kepercayaan dianggap sebagai
sebuah bentuk risiko dan penuh ancaman, maka tidak ada hal positif yang bisa kita dapatkan.
Kepercayaan selalu berdampingan dengan ketidakpastian, tapi kita harus berusaha membuat diri kita
sendiri untuk berpikir bahwa ketidakpastian tersebut sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan,
bukan sebagai halangan (Solomon, 2004). Pendapat Johnson & Johnson (1997) menyatakan bahwa
menerima dan mendukung kontribusi orang lain tidak berarti kita harus setuju dengan segala sesuatu
yang mereka katakan. Kita bisa mengungkapkan rasa menerima dan mendukung atas keterbukaan
dan sharing dari anggota lain dan saat yang sama mengungkapkan ide dan pandangan yang berbeda.
Sejumlah penelitian telah menguji variabel sebagai anteseden atau predator kepercayaan pada
pemimpin. Kemampuan karyawan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan telah
ditunjukkan secara empiris untuk mengarah pada kepercayaan yang lebih besar pada pemimpin
(Chawla & Kelloway, 2004; Dirks & Ferrin, 2002; Korsgaard, Whitener & Brodt, 2002). Kualitas
komunikasi dan informasi juga tampaknya untuk memprediksi kepercayaan (Chawla & Kelloway,
2004; Nikandrou, Papalexandris & Bourantas, 2000). Pemberdayaan yang dirasakan menunjukkan
peningkatan tingkat kepercayaan pada pemimpin (Moye, Hinkin & Egley, 2005). Prosedural,
distribusi, dan interaksional keadilan telah ditunjukkan untuk memprediksi kepercayaan pada
pemimpin (Chawla & Kelloway, 2004; Dirks & Ferrin, 2002; Tan & Tan, 2005). Penelitian yang
dilakukan oleh Tan dan Tan (2005) membedakan kepercayaan kepada pimpinan dan organisasi. Tan
berpendapat bahwa meskipun kedua variabel berhubungan satu sama lain, mereka berbeda dalam
anteseden dan hasil. Kemampuan, kebajikan, dan integritas menyumbang proporsi yang signifikan
dari varians dalam kepercayaan pada pimpinan. Keadilan prosedural, keadilan distributif, dan

1190 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


dukungan organisasi menyumbang proporsi yang signifikan dari varians dalam kepercayaan
organisasi.
Korsgaard et al. (2002) mengeksplorasi peran atributi dalam membentuk kepercayaan
karyawan pada pimpinan mereka dalam konteks peristiwa negatif. Para peneliti memeriksa perilaku
pimpinan yang dapat dipercaya dalam dua bentuk: komunikasi terbuka dan menunjukkan kepedulian
terhadap karyawan. Temuan menunjukkan bahwa komunikasi terbuka dan menunjukkan kepedulian
terhadap karyawan mengarah pada kepercayaan pada pimpinan yang lebih besar. Menurut Moye et
al. (2005) bahwa mereka merasa bahwa diberdayakan dalam lingkungan kerja mereka memiliki
tingkat kepercayaan antarpribadi yang jauh lebih tinggi pada pemimpin. Para peneliti juga
menemukan pekerjaan mereka sebagai pekerjaan yang bermakna, memiliki tingkat otonomi yang
tinggi dan memiliki pengaruh yang substansial dalam lingkungan kerja mereka memiliki tingkat
kepercayaan interpersonal yang dirasakan lebih tinggi secara signifikan pada pemimpin mereka.
Faktor kepemimpinan juga mengarah pada kepercayaan. Tingkat kesadaran diri seorang
pemimpin berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepercayaan yang dimiliki karyawan dalam
dirinya (Sosik, 2001). Karyawan yang merasa bahwa nilai-nilai mereka selaras dengan organisasi
memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi (Testa, 2002). Karyawan yang menemukan bahwa
mereka takut akan pemimpin mereka tampaknya memiliki tingkat kepercayaan yang lebih rendah.
Joseph dan Winston (2004) menemukan bahwa para pemimpin yang dianggap sebagai pemimpin
yang melayani menikmati tingkat kepercayaan yang lebih tinggi. Beberapa peneliti secara empiris
menunjukkan pengaruh signifikan terhadap kepercayaan pada pemimpin dan organisasi (Butler,
Cantrell & Flick, 1999; Dirks & Ferrin, 2002; Jung & Avolio, 2000; MacKenzie, Podsakoff & Rich,
2001).
Tiga anteseden kepercayaan pada pemimpin dan organisasi yang dikembangkan oleh Mayer
et al. (1995), mencakup integritas, kebajikan, dan kemampuan (kompetensi) Beberapa studi secara
empiris mendukung model ini. Mayer dan Davis (1999) melakukan studi lapangan selama 14 bulan
atas kepercayaan karyawan untuk manajemen puncak mengenai administrasi penilaian kinerja.
Ketika para pemimpin melakukan penilaian kinerja yang menunjukkan perilaku yang lebih dapat
dipercaya, hasilnya menunjukkan efek dari perubahan penilaian kinerja pada kepercayaan pada
pemimpin dimediasi oleh variabel kepercayaan: kemampuan, kebajikan, dan integritas. Davis,
Schoorman, Mayer & Tan (2000) menemukan bahwa integritas, kebajikan dan kemampuan
menjelaskan proporsi yang signifikan dari varian dalam kepercayaan pada pemimpin. Mayer & Gavin
(2005) melakukan penelitian yang menyelidiki hubungan antara kepercayaan karyawan pada
pimpinan. Anteseden dari semua kepercayaan berkorelasi secara signifikan dengan kepercayaan pada
pimpinan.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1191


Integritas
Integritas merupakan sesuatu yang terkait langsung dengan individu, bukan dengan kelompok
atau organisasi. Kepemilikan integritas hanya bisa dikatakan kepada individu, bukan kepada
keluarga, orang tua atau saudara. Integritas seorang ayah tidak serta merta menjadi integritas anaknya.
Dalam cerita tersebut, kerapian kerja kelompok, berhasil membangun tembok yang baik dan kuat,
tidak serta merta menjamin bahwa individu-individu yang ada di dalamnya juga otomatis memiliki
ketahanan diri yang kuat. Penguatan utama yang mesti dilakukan adalah penguatan diri individu, yang
menguatkan diri masing-masing anggota kelompok atau generasi berikutnya, untuk memiliki
integritas diri yang baik dan kuat (Trevinyo-Rodríguez, 2007).
Dari uraian tersebut, integritas diri dapat diartikan sebagai suatu ketahanan diri untuk tidak
tergoda berbagai desakan untuk memikirkan dan mengutamakan kepentingan dan atau keuntungan
diri sendiri dan mengabaikan kepentingan dan nasib orang banyak, dengan tanggung jawab hal itu
sedang berada di tangannya. Integritas diri berkaitan dengan sikap selalu mengedepankan tanggung
jawab, kepercayaan, dan kesetiaan terhadap janji. Integritas berkaitan dengan kemampuan menahan
dan mengendalikan diri dari berbagai godaan yang akan menghancurkan harkat dan martabat mulia
diri sendiri. Orang yang memiliki integritas adalah orang yang bisa diandalkan, dipercaya, dan
diteladani.
Menurut Simons et al. (2007) ketika berbicara tentang integritas, kita berbicara tentang
menjadi orang yang utuh, yang terpadu, dan seluruh bagian diri kita yang berlainan bekerja dengan
baik dan berfungsi sesuai rancangan. Ini mengenai keutuhan dan keefektifan sebagai orang. Ini benar-
benar “bekerja dengan kekuatan penuh”. Di dalam konteks pemerintahan secara umum, integritas
dapat juga dikaitkan dengan komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
bersih dari praktik korupsi. Integritas disajikan sebagai sesuatu yang ideal, dikutip sebagai karakter
yang penuh kebajikan, dan dikreditkan di bawah kecenderungan sikap moral yang positif. Meski
pengertian integritas sendiri sangat lekat dengan konteks moral, pembahasan integritas tidak
dilakukan hanya di dalam literatur-literatur etika, tetapi juga di dalam kajian manajemen modal
insani, perilaku organisasi, psikologi, teori kepemimpinan, dan lainnya (Trevinyo-Rodríguez, 2007).
Hal ini menunjukkan luasnya cakupan penerapan istilah tersebut dan anggapan bahwa integritas
adalah hal yang demikian penting. Kajian integritas merumuskan bagaimana integritas sebaiknya
dipahami dalam konteks kesadaran moral. Pemahaman ini diharapkan akan dapat memberikan
gambaran lebih baik bagaimana konsep integritas diterapkan di dalam tindakan sehari-hari maupun
organisasi pemerintahan.
Pada level individu, integritas lebih dari etika; ini semua tentang karakter individu. Ini adalah
karakteristik seseorang yang secara konsisten mempertimbangkan, welas asih, transparan, jujur, dan

1192 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


etis. Karakteristik kepercayaan sangat terkait dengan integritas. Meskipun definisi ini mungkin
tampak tidak jelas, kami mencirikan individu dengan integritas sebagai individu yang dapat kita
andalkan untuk melakukan secara konsisten apa yang "benar" dan apa yang diharapkan dari mereka.
Mereka dapat diandalkan dan dapat diprediksi dalam berurusan dengan orang lain dan dengan
masalah, dan mereka adalah pembela apa yang adil, adil, dan dapat diterima.
Model kepemimpinan karakter Turknett, yang dikembangkan oleh psikolog Robert Turknett,
menyatakan bahwa integritas adalah fondasi model, dan tanpa integritas, tidak ada pemimpin yang
bisa berhasil. The Turknett Leadership Group mencatat bahwa individu-individu yang berintegritas
tidak akan memutarbalikkan fakta demi keuntungan pribadi; mereka bersedia membela dan membela
apa yang benar; mereka akan berhati-hati untuk menepati janji; dan mereka dapat diandalkan untuk
mengatakan yang sebenarnya. Dalam model mereka, integritas adalah fondasi kepemimpinan dan ini
melibatkan keseimbangan yang cermat antara rasa hormat dan tanggung jawab (Turknett, 2009).
Dalam diskusinya tentang nilai-nilai individu dan perusahaan, Quigley, CEO Global Deloitte
Touche Tohmatsu, menekankan peran penting kepercayaan dalam kesuksesan profesional seorang
individu. Dia menyatakan: “Sederhananya, mereka yang membengkokkan aturan tidak dianggap
dapat dipercaya, dan tanpa kepercayaan, nilai seseorang sangat berkurang. Tanpa kepercayaan dan
keyakinan, pasar tidak berfungsi, dan nilai hancur” (Quigley, 2007). Quigley melanjutkan untuk
mencatat pentingnya integritas dan karakter di tempat kerja. Kurang percaya, kompetensi tidak ada
artinya. Individu yang tidak dapat dipercaya tidak akan diberikan kesempatan atau tanggung jawab,
dan mereka tidak akan diinginkan sebagai anggota tim oleh klien atau karyawan lain.
Profesional yang telah bekerja dengan personel yang tidak memiliki integritas berbicara
tentang ketidakmampuan untuk mengandalkan individu untuk melakukan apa yang telah mereka
katakan akan mereka lakukan, lingkungan di mana fokus telah pergi dari pelanggan untuk melindungi
diri sendiri, dan di mana para pemimpin tidak mau hidup dengan nilai-nilai yang mereka secara
terbuka mendukung. Di tingkat korporat, integritas mengacu pada budaya, kebijakan, dan filosofi
kepemimpinan. Budaya integritas harus dimulai dari atas dan dilihat dalam perilaku dan aktivitas para
eksekutif. Kepemimpinan perusahaan harus mengembangkan konsensus di sekitar nilai-nilai
bersama. Sebagaimana Kouzes dan Posner (2004) tunjukkan, pengembangan nilai-nilai bersama
memperkuat keefektifan pribadi, loyalitas perusahaan, dan perilaku etis, memupuk kerja tim,
kebanggaan dan konsensus perusahaan.

Kepemimpinan Etis
Studi tentang etika merupakan hal yang penting dalam rangka pengembangan dan
peningkatan peran profesi akuntan terhadap perilaku tidak etis di dalam bisnis (Stouten, Van Dijke &

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1193


De Cremer, 2012). Perilaku yang beretika dalam organisasi adalah melaksanakan tindakan secara fair
sesuai hukum konstitusional dan peraturan pemerintah yang dapat diaplikasikan (Reiss & Mitra,
1998). Yukl et al. (2013) mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Mengutip pendapat Yulk
mengungkapkan bahwa etika (ethos) adalah sebanding dengan moral (mos), yang mana keduanya
merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Sitten dalam perkataan Jerman menunjukkan arti
moda (mode) tingkah laku manusia, suatu konstansi tindakan manusia. Karenanya secara umum etika
atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang moda-moda tingkah laku manusia atau konstansi-
konstansi tindakan manusia.
Brown et al. (2006) didefinisikan kepemimpinan etis sebagai demonstrasi perilaku normatif
yang tepat melalui tindakan pribadi dan hubungan interpersonal. Studi tentang kepemimpinan etis
dibangun atas dasar pembelajaran sosial. Sosial pembelajaran mengusulkan bahwa para pemimpin
akan mempengaruhi perilaku etis dari orang lain melalui pemodelan. Ini adalah tanggung jawab
pemimpin untuk model perilaku etis yang mereka inginkan dari pengikut. Wimbush dan Shepard
(1994) menemukan bahwa bawahan meniru perilaku supervisor 'karena pengawas yang memegang
bawahan jawab atas tindakan mereka.
Etika merupakan suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa seseorang
mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana seseorang harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Johnson et al., 2012). Menurut
Robbins dan Coulter (2014), istilah etika lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip
yang merumuskan perilaku benar dan salah. Artinya etika menjadi faktor penentu keberhasilan suatu
kepemimpinan. Dalam organisasi, kepemimpinan yang dinilai baik apabila fungsi-fungsi
kepemimpinan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip beretika sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
organisasi. Kepemimpinan beretika akan menciptakan suasana kerja dalam organisasi lebih nyaman,
produktivitas lebih tinggi, dan menyelesaikan konflik yang ada di dalam organisasi
Etika biasanya mengacu pada bagian atau hak standar perilaku antara individu-individu dalam
situasi tertentu. Standar ini dapat didefinisikan sebagai prinsip-prinsip sosial yang melibatkan
keadilan dan kewajaran (Eisenbeiss & Giessber, 2012). Lebih lanjut Eisenbeiss & Giessber
mengatakan bahwa etika melibatkan hubungan manusia yang mendasar antara pihak dalam proses
pertukaran, yaitu, anggota organisasi (atasan, rekan-rekan, dan bawahan), pesaing, pelanggan, dan
masyarakat umum. Masing-masing pihak dalam proses pertukaran adalah berhutang tugas dan
tanggung jawab. Menurut Resick et al. (2006) etika ialah karakter dan sikap, kebiasaan serta
kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia.
Sebagaimana dikatakan Mayer et al. (2012), etika kepemimpinan berkaitan dengan interaksi dan

1194 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


tanggungjawab pemimpin terhadap bawahan, masyarakat luas, sektor bisnis, luar negeri, atau
terhadap instansi publik itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin perlu menjalin
hubungan baik dengan siapa saja berdasarkan standar etika tertentu yang dianggap baik.
Di antara etika yang dikembangkan adalah jujur, tanggung jawab, tidak menipu, menepati
janji, murah hati (Ciulla, 2004). Kejujuran diartikan secara luas seperti tidak berbohong, tidak
mengada-adakan fakta, tidak berkhianat dan tidak pernah mengingkari janji. Senada dengan
pernyataan tersebut, hubungan antara etika individu dengan etika organisasi khususnya antara atasan
dengan pegawainya dapat dikembangkan dengan nilai-nilai etika yang tinggi. Dalam operasionalisasi
program organisasi diperlukan kesamaan perilaku untuk memperoleh tujuan kolektif. Kesemuanya
itu harus direpresentasikan dalam perilaku seperti kejujuran (honest), keterbukaan (open),
penghormatan (respectful), sepenuh hati (conscientious) dan bersungguh mengabdikan diri kepada
organisasi tempatnya bekerja (loyal toward the organization) (Ciulla, 2004). Etika kepemimpinan
harus fokus pada usaha menciptakan kondisi yang tepat pada budaya organisasi untuk membantu
perkembangan perilaku yang beretika dari pada membangun kepatuhan infrastruktur. Dengan kata
lain, mereka harus membuat landasan etika untuk melakukan bisnis dengan berlatih berperilaku etis
dalam kehidupan pribadi mereka, dalam bisnis mereka, dan dalam hubungan mereka.

Kerangka Analisis
Berdasarkan tinjauan literatur mendalam dan argumen teoretis yang disajikan di atas, model
struktural yang menunjukkan hubungan didalilkan antara integritas, kepemimpinan etis dan
kepercayaan pada pemimpin dibangun. Integritas dimodelkan sebagai variabel independen atau
eksogen, sementara kepemimpinan etis dan kepercayaan pada pemimpin disajikan sebagai variabel
endogen. Kerangka analisis pada penelitian ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.

H2 Kepercayaan
Integritas
kepada Pemimpin

H1 H4 H3
Kepemimpinan
Etis

Gambar 1. Kerangka Analisis

Gambar 1. menjelaskan pengaruh antar variabel, kepemimpinan etis terhadap kepercayaan,


pengaruh kepemimpinan etis terhadap integritas, pengaruh integritas terhadap kepercayaan dan
pengaruh integritas terhadap kepercayaan dengan kepemimpinan etis sebagai variabel mediasi.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1195


Pengembangan Hipotesis
Kepemimpinan etis terdiri dari karakteristik yang berbeda yang jelas dalam hubungan
kepercayaan antara pemimpin dan pengikut. Menurut Brown et al. (2006) bahwa para pemimpin etis
dicirikan sebagai individu yang jujur, peduli dan berprinsip yang membuat keputusan yang adil dan
seimbang. Para pemimpin etis juga memiliki keberanian untuk mengubah niat moral mereka menjadi
perilaku etis, yang dapat disebut sebagai konsistensi perilaku yang tinggi (Zhu et al., 2004). Ketika
pengikut melihat konsistensi ini, kepercayaan pada pemimpin akan dihasilkan.
Kepercayaan afektif dan kepercayaan kognitif diprediksi oleh kepemimpinan etis (Dadhich &
Bhal, 2008). Kalshoven dan Den Hartog (2009); Vanden Akker et al. (2009) menemukan bahwa
kepemimpinan etis secara signifikan terkait dengan tingkat kepercayaan pengikut dalam pemimpin.
Johnson et al. (2012) melaporkan hubungan positif antara kepemimpinan etis dan kepercayaan
organisasi. Wong et al. (2010) juga menemukan bahwa kepemimpinan etis memiliki pengaruh yang
signifikan, positif dan langsung pada kepercayaan.
Kombinasi integritas, standar etika, dan perlakuan yang adil terhadap karyawan adalah
fondasi kepemimpinan etis (Brown et al., 2006). Oleh karena itu integritas dapat digambarkan sebagai
komponen kepemimpinan etis; tetapi konsep integritas adalah suatu konstruksi komprehensif yang
juga memiliki dampak penting pada kepemimpinan etis. Integritas dipandang sebagai nilai,
sedangkan kepemimpinan etis adalah perilaku dalam proses menciptakan iklim etika.
Fokus kepemimpinan etis pada pengelolaan etika, jika integritas seseorang sangat dihargai,
dia akan menunjukkan konsistensi dalam perilaku pribadi, yang didasarkan pada nilai-nilai moral
(Palanski dan Yammarino, 2009). Perilaku kepemimpinan etis ini akan menjadi pendorong yang
signifikan bagi integritas dalam mempengaruhi kepercayaan kepada pimpinan dalam upaya
mempengaruhi pengikut. Menurut Palanski dan Yammarino (2011) bahwa kepemimpinan etis
berperan dalam memperkuat dampak integritas terhadap kepercayaan kepada pimpinan. Sebagaimana
pernyataan Hartog dan Belschak (2012) bahwa para pemimpin etis mengintegrasikan integritas,
kepercayaan dan berbagi nilai dalam identitas mereka sendiri. Jadi, jelas bahwa para pemimpin etis
akan dipercayai para pengikut karena perilaku mereka merupakan nilai-nilai dari integritas, seperti
kejujuran, tanggung jawab dan lainnya. Peran kepemimpinan etis terhadap pengaruh integritas
dengan kepercayaan melalui perilaku etik yang akan tercermin dalam bentuk value dari sebuah
integritas, value inilah yang akan membuat para pengikut percaya kepada pimpinannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diduga bahwa integritas berpengaruh langsung terhadap
kepemimpinan etis dan kepercayaan. Kepemimpinan etis merupakan variabel mediasi antara
integritas dengan kepercayaan kepada pimpinan, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut.
H1: Integritas berpengaruh positif terhadap kepemimpinan etis

1196 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


H2: Integritas berpengaruh positif terhadap kepercayaan kepada pemimpin
H3: Kepemimpinan etis berpengaruh positif terhadap kepercayaan kepada pemimpin
H4: Kepemimpinan etis memediasi pengaruh antara integritas dengan kepercayaan kepada pimpinan

Hasil Penelitian
Pengujian Hipotesis (t-test)
Pengujian hipotesis pengaruh langsung antar variabel berdasarkan hasil uji model regresi
dengan SPSS, menggunakan tiga variabel yaitu integritas sebagai variabel independen,
kepemimpinan etis sebagai mediator dan kepercayaan kepada pimpinan sebagai variabel dependen.
Perhitungan regresi dilakukan sebanyak dua kali, pertama regresi sederhana antara integritas terhadap
kepemimpinan etis dan yang kedua regresi berganda antara integritas dan kepemimpinan etis terhadap
kepercayaan kepada pimpinan. Pengujian kedua model ini merupakan langkah dalam menentukan
pengujian selanjutnya. (uji mediasi). Hasil pengujian kedua model regresi tersebut dapat dilihat
sebagai berikut.

Tabel 1. Regresi Model 1 (Kepemimpinan Etis sebagai Variabel Dependen)

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 6,992 2,790 2,506 0,013
Integritas 1,218 0,063 0,848 19,405 0,000

Nilai signifikansi integritas pada Tabel 1. sebesar 0,000 lebih rendah jika dibandingkan
dengan alpha=0,05. Dapat disimpulkan bahwa integritas berpengaruh langsung terhadap
kepemimpinan etis. Dengan demikian hipotesis awal (H1) yang menyatakan bahwa integritas
berpengaruh positif terhadap kepemimpinan etis dapat Diterima. Hasil ini memiliki makna bahwa
ada pengaruh yang linier (searah) antara integritas terhadap kepemimpinan etis, dimana semakin
berintegritas seorang pemimpin maka kepemimpinannya semakin etik, sebaliknya semakin rendah
integritas seorang pemimpin maka kepemimpinannya semakin tidak etis.

Tabel 2. Regresi Model 1 (Kepercayaan kepada Pimpinan sebagai Variabel Dependen)

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients t Sig.
Model B Std. Error Beta
1 (Constant) 14,721 3,509 4,195 0,000
Integritas 1,044 0,079 0,737 13,234 0,000

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1197


Tabel 2. dapat diketahui nilai signifikansi integritas terhadap kepercayaan kepada pimpinan
sebesar 0,00 lebih rendah jika dibandingkan dengan alpha=0,05. Artinya, integritas berpengaruh
langsung terhadap kepercayaan kepada pimpinan, sehingga hipotesis awal (H2) yang menyatakan
bahwa integritas berpengaruh positif terhadap kepercayaan kepada pemimpin dapat Diterima. Hasil
ini memiliki makna bahwa terdapat pengaruh yang linier (searah) antara integritas terhadap
kepercayaan kepada pemimpin, dimana semakin berintegritas seorang pemimpin maka kepercayaan
bawahan kepada mereka akan semakin meningkat, sebaliknya semakin rendah integritas seorang
pemimpin maka akan semakin tidak dipercaya.

Tabel 3. Regresi Model 1 (Kepercayaan pada Pimpinan sebagai Variabel Dependen)

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients t Sig.
Model B Std. Error Beta
1 (Constant) 12,742 2,976 4,282 0,000
Kepemimpinan etis 0,791 0,049 0,802 16,292 0,000

Tabel 3. diketahui nilai signifikansi kepemimpinan etis terhadap kepercayaan kepada


pimpinan sebesar 0,000 lebih rendah jika dibandingkan dengan alpha=0,05. Artinya, kepemimpinan
etis berpengaruh langsung terhadap kepercayaan kepada pimpinan, sehingga hipotesis awal (H3)
yang menyatakan bahwa kepemimpinan etis berpengaruh positif terhadap kepercayaan kepada
pemimpin dapat Diterima. Hasil ini memiliki makna bahwa terdapat pengaruh yang linier (searah)
antara kepemimpinan etis terhadap kepercayaan kepada pemimpin, dimana semakin etis
kepemimpinan seorang pemimpin maka kepercayaan bawahan kepada mereka akan semakin
meningkat, sebaliknya semakin tidak etis kepemimpinan seorang pemimpin maka mereka akan
semakin tidak mendapat kepercayaan.

Tabel 4. Regresi Model 2 (Kepercayaan kepada Pimpinan sebagai Variabel Dependen)

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients t Sig.
Model B Std. Error Beta
1 (Constant) 10,375 3,126 3,319 0,001
Integritas 0,287 0,130 0,203 2,213 0,028
Kepemimpinan etis 0,622 0,090 0,630 6,870 0,000

Hasil analisis regresi berganda pada Tabel 8, ditemukan kepemimpinan etis berpengaruh
positif terhadap kepercayaan kepada pimpinan, setelah mengontrol variabel integritas (0,000 < 0,05)
dengan koefisien regresi (b) = 0,622. Pengujian sebelumnya (pengaruh langsung) integritas terhadap
kepercayaan pada pimpinan sebesar 1,044 yang lebih kecil setelah adanya kontrol kepemimpinan etis

1198 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


menjadi 0,287, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis mediasional. Diterima (H4). Dalam hal
ini terjadi partial mediation, artinya integritas mampu mempengaruhi kepercayaan kepada pimpinan
di KPUD se Provinsi Bengkulu tanpa melalui atau melibatkan kepemimpinan etis.

Uji Mediasi Jalur (Sobel Test)


Selain uji clausal step, pengujian analisis jalur juga menggunakan Uji Sobel tes, sebagai
perluasan dari analisis regresi linear berganda. Menurut Baron dan Kenny (1986); Ghozali (2009),
suatu variabel disebut variabel mediasi jika variabel tersebut ikut mempengaruhi hubungan antara
variabel prediktor (independen) dan variabel criterion (dependen). Pengujian hipotesis mediasi dapat
dilakukan dengan prosedur yang dikembangkan oleh Sobel (1982) dan dikenal dengan Uji Sobel
(Sobel Test). Uji Sobel ini dilakukan dengan cara menguji kekuatan pengaruh tidak langsung variabel
independen (X) kepada variabel dependen (Y) melalui variabel intervening (M).
Pendekatan yang digunakan dalam Sobel Test adalah product of coefficient, yang menguji
signifikansi pengaruh tak langsung atau indirect effect (perkalian efek langsung atau direct effect
variabel independen terhadap mediator, a dan direct effect mediator terhadap variabel dependen, b
atau ab). Uji signifikansi terhadap koefisien indirect effect ab diakui memberikan pengujian yang
lebih langsung terhadap hipotesis mediasional, dibanding pendekatan (Preacher and Hayes., 2004;
Preacher, Rucker dan Hayes., 2007). Uji signifikansi indirect effect ab dilakukan berdasarkan rasio
antara koefisien ab dengan standard error yang akan menghasilkan nilai z statistik (z-value). Standard
error koefisien ab (Sab) dihitung berdasarkan versi Aroian dari Sobel test yang dipopulerkan dan
direkomendasikan oleh Baron and Kenny (1986), yaitu akar kuadrat. Apabila digambarkan akan
terbentuk model:

Kepercayaan
Integritas
kepada Pemimpin

a=1,218
SEa = 0,063 b=0,622
SEb = 0,090

Kepemimpinan
Etis

Gambar 2. Model Mediator

Model pada Gambar 2 merupakan model yang terbentuk dari hasil regresi pertama dan kedua
sehingga membentuk model analisis jalur (path analysis) dengan variabel kepemimpinan etis sebagai

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1199


mediatornya. Nilai Z value dari Sobel test tidak dapat dihasilkan langsung dari hasil regresi tetapi
dengan perhitungan secara manual dengan rumus Sobel Tes. Hasil perhitungan nilai Z value dari
Sobel Test adalah :
𝑎𝑏
𝑧=
√(𝑏 2 𝑆𝐸𝑎2 ) + (𝑎2 𝑆𝐸𝑏2 )

1,218 × 0,622
𝑧=
√(0,6222 × 0,0632 ) + (1,2182 × 0,0902 )

0,758
𝑧=
√0,013552

0,758
𝑧=
0,116

𝑧 = 6,508

Berdasarkan hasil perhitungan Sobel Test di atas didapat nilai Z value sebesar 6,508, karena
nilai Z value (6,508) nilai Z mutlak (1,96) dengan tingkat signifikansi 5% maka membuktikan bahwa
kepemimpinan etis mampu memediasi pengaruh integritas terhadap kepercayaan kepada pimpinan di
Komisi Pemilihan Umum Daerah se Provinsi Bengkulu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hipotesis awal (H4) yang menyatakan kepemimpinan etis memediasi pengaruh antara integritas
dengan kepercayaan kepada pimpinan dapat Diterima.
Kepemimpinan etis merupakan variabel mediasi, yaitu partial mediation, dimana tanpa
melalui atau melibatkan kepemimpinan etis, integritas mampu mempengaruhi kepercayaan kepada
pimpinan di KPUD se Provinsi Bengkulu. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa fokus kepemimpinan
etis ada pada pengelolaan etika, perilaku kepemimpinan etis akan menjadi pendorong yang signifikan
bagi integritas dalam mempengaruhi kepercayaan kepada pimpinan. Pemimpin etis mengintegrasikan
integritas dan berbagi nilai dalam identitas mereka, dengan nilai dan kepercayaan ini mereka mudah
untuk dapat dipercaya para pengikutnya.

Pembahasan
Pengaruh Integritas terhadap Kepemimpinan Etis
Selain berpengaruh langsung terhadap kepercayaan kepada pimpinan, integritas juga
berpengaruh langsung terhadap kepemimpinan etis. Artinya, semakin berintegritas seorang pemimpin
maka kepemimpinannya semakin etik, sebaliknya semakin rendah integritas seorang pemimpin maka
kepemimpinannya semakin tidak etis. Hasil ini mendukung Six, De Bakker & Huberts (2007) bahwa
kepemimpinan etis dimotivasi oleh nilai-nilai moral. Salah satu nilai moral yang penting adalah

1200 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


integritas. Serta sejalan dengan Engelbrecht, Heine & Mahembe, (2015) bahwa integritas adalah
prediktor yang signifikan dari kepemimpinan etis.
Organisasinya KPUD di Provinsi Bengkulu terdiri atas dua unsur yaitu komisioner dan
sekretariat. Komisioner adalah anggota KPUD yang berjumlah lima orang, berasal dari kalangan
independen dengan beragam latar belakang, dipimpin oleh seorang ketua KPUD. Sedangkan
sekretariat adalah birokrat yang berasal dari aparatur sipil negara (ASN), dengan pimpinan
tertingginya adalah sekretaris KPUD. Terkait dengan pimpinan (anggota KPUD) telah dilakukan
upaya mendapatkan kepemimpinan yang berintegritas, salah satunya melalui proses rekrutmen
anggota KPUD yang begitu masif, terbuka, dan dilakukan assessment yang komprehensif hingga fit
and proper test oleh parlemen. Syarat sebagai anggota KPUD diperberat satu di antaranya tidak
terdaftar sebagai anggota partai politik, mengundurkan diri dari jabatan politik dan organisasi
kemasyarakatan, dan tidak pernah dipidana penjara merupakan indikator KPUD diisi oleh orang-
orang yang berintegritas. Integritas dari anggota KPUD sepatutnya menjadikan KPUD sebagai
lembaga yang sangat independen, mandiri, dan bebas dari intervensi pihak lain.
Berdasarkan temuan penelitian, perlu peningkatan sinergi antara Komisioner KPUD dengan
Sekretariat KPUD, adanya perbedaan latar belakang dari kedua jabatan ini dapat menyebabkan
perbedaan interpretasi terhadap tugas dan kewenangan yang berdampak pula terhadap kelancaran
pekerjaan. Bagaimana menyinergikan antara Komisioner KPUD dengan Sekretariat KPUD adalah
masalah penting yang harus diutamakan dalam rangka memperbaiki tata kelola pemilu karena
kualitas tata kelola pemilu tidak akan meningkat jika SDM yang ada di dalam organisasinya tidak
dapat bekerja sama dengan baik.

Pengaruh Integritas terhadap Kepercayaan kepada Pimpinan


Dari hasil penelitian yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, diketahui bahwa
integritas berpengaruh positif terhadap kepercayaan kepada pemimpin. Artinya, semakin
berintegritas seorang pemimpin maka kepemimpinannya semakin etik, sebaliknya semakin rendah
integritas seorang pemimpin maka kepemimpinannya semakin tidak etis. Hasil ini sejalan dengan
Kannan-Narasimhan dan Lawrence (2012) bahwa integritas perilaku pemimpin memiliki dampak
positif pada kepercayaan pengikut. Dimana dilaporkan adanya hubungan yang kuat dan positif antara
integritas dan kepercayaan pada pemimpin.
Secara umum pimpinan di KPUD se Provinsi Bengkulu memiliki integritas, hal ini dapat
dilihat dari tanggapan responden dengan penilaian berintegritas. Namun demikian, KPUD se Provinsi
Bengkulu perlu membuat standar perilaku berupa kode etik yang memuat prinsip-prinsip umum untuk
memandu perilaku dan kode perilaku yang mengatur ihwal yang lebih operasional dan dipatuhi oleh

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1201


pimpinan KPUD, termasuk pegawai kesekretariatan. Diperlukan upaya transformasi peraturan KPUD
tentang tata kerja dengan memasukkan standar perilaku merupakan turunan dari kode etik
penyelenggara pemilu yang sudah diatur dan menjadi domain dari dewan kehormatan penyelenggara
pemilu.
Mayer et al. (1995) berpendapat bahwa, agar dapat dipercaya, integritas harus ada, dan bahwa
hubungan antara integritas dan kepercayaan melibatkan persepsi perwalian bahwa wali amanat
mematuhi seperangkat prinsip yang dapat diterima oleh pemberi kepercayaan. Seorang pemimpin
dengan integritas akan konsisten dalam perilakunya. Jika perilaku didasarkan pada prinsip dan nilai
yang dapat diterima oleh pengikut, pengikut akan cenderung mempercayai pemimpin dan perilaku
pemimpin di masa depan. Menurut Colquitt, Scott & LePine (2007), integritas menawarkan alasan
yang sangat logis untuk mempercayai seseorang. Perasaan keadilan atau karakter moral memberikan
tingkat prediktabilitas yang dapat membantu individu mengatasi ketidakpastian. Seorang pemimpin
dengan integritas oleh karena itu akan dianggap dapat dipercaya, yang akan mengarah pada
kepercayaan pada pemimpin itu.

Pengaruh Kepemimpinan Etis terhadap Kepercayaan kepada Pimpinan


Hasil penelitian ini juga membuktikan kepemimpinan etis berpengaruh langsung terhadap
kepercayaan kepada pimpinan. Artinya, semakin etis kepemimpinan seorang pemimpin maka
kepercayaan bawahan kepada mereka akan semakin meningkat, sebaliknya semakin tidak etis
kepemimpinan seorang pemimpin maka mereka akan semakin tidak mendapat kepercayaan.
Penelitian ini mendukung Johnson et al. (2012) dan Wong et al. (2010) bahwa ada hubungan positif
antara kepemimpinan etis dan kepercayaan pimpinan.
Kepemimpinan etis pemimpin KPUD se Provinsi Bengkulu termasuk dalam kategori beretika,
hal ini ditampilkan dengan cara pimpinan berhubungan dengan pengikut melalui keterbukaan dan
kebenaran. Namun demikian, pimpinan tidak hanya berinteraksi melalui itu saja, dari hasil temuan
penelitian hendaknya pimpinan KPUD se Provinsi Bengkulu dapat meningkatkan interaksi dengan
semua orang yang terlibat bersamanya dalam sebuah tugas ataupun pekerjaan. Interaksi menjadi
sangat penting untuk memastikan bahwa semua orang yang terlibat bersama pemimpin tidak
tersingkir oleh jarak komunikasi. Tetapi semua orang dapat mengerjakan tugas dan tanggung jawab
masing-masing dalam etika yang membangun kerjasama dan keyakinan dalam kepercayaan diri yang
tinggi.
Pemimpin KPUD se Provinsi Bengkulu harus mempertahankan etika dan wajib bertanggung
jawab kepada orang yang dipimpinnya. Dengan kepemimpinan yang beretika maka akan tercipta
keharmonisan dalam menjalin hubungan kerja dengan bawahannya tanpa ada status kedudukan.

1202 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Mereka juga harus memilik tanggung jawab, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk
orang-orang dibawah kepemimpinannya. Brown et al. (2006) menambahkan bahwa pemimpin etis
harus menunjukkan etika mereka kepada karyawan mereka dan menetapkan standar yang jelas
tentang bagaimana hal-hal harus dilakukan dalam organisasi. Para pemimpin etis harus memiliki
keberanian untuk mengubah niat moral mereka menjadi perilaku etis, yang dapat disebut sebagai
konsistensi perilaku yang tinggi. Ketika karyawan melihat konsistensi ini, kepercayaan pada
pemimpin akan dihasilkan.
Kepemimpinan KPUD se Provinsi Bengkulu harus melibatkan pegawai dalam prosedur
pengambilan keputusan dan memfasilitasi kesejahteraan dan pertumbuhan potensi pegawai. Mereka
pada gilirannya akan cenderung mempercayai pemimpin karena kredibilitas dan perilaku mereka
yang dapat dipercaya. Dadhich dan Bhal (2008) menemukan bahwa kepercayaan afektif (ikatan
emosional antara individu) dan kepercayaan kognitif (di mana kepercayaan diperlukan dalam kasus-
kasus pengetahuan yang tidak sempurna) diprediksi oleh kepemimpinan etis.

Mediasi kepemimpinan Etis atas Pengaruh Integritas terhadap kepercayaan kepada pemimpin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan etis merupakan variabel mediasi
pengaruh integritas terhadap kepercayaan kepada pimpinan di Komisi Pemilihan Umum Daerah se
Provinsi Bengkulu. Mediasi yang terjadi adalah partial mediation, artinya walaupun sebagai variabel
mediasi, integritas mampu mempengaruhi kepercayaan kepada pimpinan di KPUD se Provinsi
Bengkulu tanpa melalui atau melibatkan kepemimpinan etis. Kepemimpinan etis ini akan menjadi
pendorong yang signifikan bagi pimpinan yang lebih berintegritas upaya mendapatkan kepercayaan
pengikut. Hasil ini sesuai dengan Hartog dan Belschak (2012) bahwa para pemimpin etis
mengintegrasikan integritas, kepercayaan dan berbagi nilai dalam identitas mereka sendiri. Jelaslah
bahwa para pemimpin etis adalah pemimpin dengan integritas, dan oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa kepemimpinan etis memediasi integritas terhadap kepercayaan kepada pimpinan.
Kombinasi integritas, standar etika, dan perlakuan yang adil terhadap pegawai adalah fondasi
kepemimpinan etis. Oleh karena itu, menurut Brown et al. (2006) bahwa integritas dapat digambarkan
sebagai komponen kepemimpinan etis; tetapi konsep integritas sebagai suatu konstruksi
komprehensif yang juga memiliki dampak penting pada kepemimpinan etis. Integritas dipandang
sebagai nilai, sedangkan kepemimpinan etis adalah perilaku dalam proses menciptakan iklim etika.
Oleh karena itu, fokus kepemimpinan etis pada pengelolaan etika. Jika integritas seseorang sangat
dihargai, dia akan menunjukkan konsistensi dalam perilaku pribadi, yang didasarkan pada nilai-nilai
moral (Palanski & Yammarino, 2009). Karakteristik integritas ini akan menjadi pendorong yang

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1203


signifikan bagi orang untuk terlibat dalam perilaku etis dan kepemimpinan etis dalam upaya
mempengaruhi pengikut.

Implikasi Penelitian
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kepemimpinan etis mampu memediasi hubungan
pengaruh integritas terhadap kepercayaan kepada pimpinan di Komisi Pemilihan Umum Daerah se
Provinsi Bengkulu. Oleh sebab itu, implikasi secara praktis dari hasil penelitian ini.
1. Adanya standar perilaku berupa kode etik yang memuat prinsip-prinsip umum untuk memandu
perilaku dan kode perilaku yang mengatur ihwal yang lebih operasional dan dipatuhi oleh
pimpinan KPUD, termasuk pegawai kesekretariatan. Diperlukan upaya transformasi peraturan
KPUD tentang tata kerja dengan memasukkan standar perilaku merupakan turunan dari kode etik
penyelenggara pemilu yang sudah diatur dan menjadi domain dari dewan kehormatan
penyelenggara pemilu
2. Pimpinan KPUD se Provinsi Bengkulu dapat berinteraksi dengan semua orang yang terlibat
bersamanya dalam sebuah tugas ataupun pekerjaan. Interaksi menjadi sangat penting untuk
memastikan bahwa semua orang yang terlibat bersama pemimpin tidak tersingkir oleh jarak
komunikasi. Tetapi semua orang dapat mengerjakan tugas dan tanggung jawab masing-masing
dalam etika yang membangun kerjasama dan keyakinan dalam kepercayaan diri yang tinggi.
3. Pemimpin KPUD se Provinsi Bengkulu harus mempertahankan etika dan wajib bertanggung
jawab kepada orang yang dipimpinnya. Dengan kepemimpinan yang beretika maka akan tercipta
keharmonisan dalam menjalin hubungan kerja dengan bawahannya tanpa ada status kedudukan.
Mereka juga harus memilki tanggung jawab, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk
orang-orang dibawah kepemimpinannya
4. Adanya sinergi antara Komisioner KPUD dengan Sekretariat KPUD, adanya perbedaan latar
belakang dari kedua jabatan ini dapat menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap tugas dan
kewenangan yang berdampak pula terhadap kelancaran pekerjaan. Bagaimana menyinergikan
antara Komisioner KPUD dengan Sekretariat KPUD adalah masalah penting yang harus
diutamakan dalam rangka memperbaiki tata kelola pemilu karena kualitas tata kelola pemilu tidak
akan meningkat jika SDM yang ada di dalam organisasinya tidak dapat bekerja sama dengan baik.

Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, hasil penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:

1204 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


1. Integritas berpengaruh langsung terhadap kepemimpinan etis. Artinya, semakin berintegritas
seorang pemimpin maka kepemimpinannya semakin etik, sebaliknya semakin rendah integritas
seorang pemimpin maka kepemimpinannya semakin tidak etis.
2. Integritas berpengaruh positif terhadap kepercayaan kepada pemimpin. Artinya, semakin
berintegritas seorang pemimpin maka kepemimpinannya semakin etik, sebaliknya semakin
rendah integritas seorang pemimpin maka kepemimpinannya semakin tidak etis.
3. Kepemimpinan etis berpengaruh langsung terhadap kepercayaan kepada pimpinan. Artinya,
semakin etis kepemimpinan seorang pemimpin maka kepercayaan bawahan kepada mereka akan
semakin meningkat, sebaliknya semakin tidak etis kepemimpinan seorang pemimpin maka
mereka akan semakin tidak mendapat kepercayaan.
4. Kepemimpinan etis mampu memediasi hubungan pengaruh integritas terhadap kepercayaan
kepada pimpinan di Komisi Pemilihan Umum Daerah se Provinsi Bengkulu. Artinya,
kepemimpinan etis ini akan menjadi pendorong yang signifikan bagi pimpinan yang lebih
berintegritas upaya mendapatkan kepercayaan pengikut.

Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan integritas, diperlukan upaya menerapkan standar perilaku berupa kode etik yang
memuat prinsip-prinsip umum untuk memandu perilaku anggota KPUD secara konsisten. KPUD
se Provinsi Bengkulu dapat membuat fakta integritas yang ditanda tangani di atas materai,
membuat komitmen seluruh penyelenggara pemilu di Provinsi Bengkulu bahwa siap mendapat
sanksi dan mengundurkan diri apabila melanggar kode etik.
2. Kepemimpinan etis dapat lebih meningkat apabila pimpinan dapat melayani kebutuhan bawahan.
Oleh sebab itu, poin yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepemimpinan etis dalam
melayani bawahan adalah pemimpin harus memosisikan para bawahannya sebagai partner untuk
mencapai tujuan bersama dan diberi ruang yang bebas untuk mengembangkan potensi masing-
masing. Kemudian pimpinan harus peka membaca situasi dan mendengarkan apa yang tersirat
maupun tersurat dari kondisi yang dialami bawahan.
3. Untuk membangun kepercayaan, yang merupakan kondisi penting untuk membangun
kepemimpinan, maka pimpinan harus dapat menunjukkan teladan dan konsistensi antara kata dan
perbuatan.

Referensi
Aptery, A.P. (2015). Integritas dalam kepemimpinan (integrity in leadership). Jurnal Administrasi
Publik, 11(2), 101-110.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1205


Avey, J.B., Reichard., R.J. Luthans, F. & Mhatre, K.H. (2011). Meta-analysis of the Impact of
Positive Psychological Capital on Employee Attitudes, Behaviors, and Performance. Articles
Human Resource Development Quarterly, 22(2), 27-152.
Avolio, B.J., Gardner, W.L., Walumbwa, F.O., Luthans, F. & May, D.R. (2004). Unlockingthe mask:
a look at the process by which authentic leaders impact follower attitudes andbehaviors. The
Leadership Quarterly, 15, 801–823
Bass, B.M. (1990). From transactional to transformational leadership: Learning to share the vision,
Organizational Dynamics, 18, 19-31.
Brown, M., Treviño, L.K. & Hartman, L.P (2006), A qualitative investigation of perceived executive
ethical leadership: Perceptions from inside and outside the executive suite, Human Relation,
56(5), 5-37.
Butler, J.K., Cantrell, R.S. & Flick, R.J. (1999). Transformational leadership behaviors, upward trust,
and satisfaction in self-managed work teams. Organization Development Journal, 17, 13-28.
Ciulla, J.B. (2004). Ethics and leadership effectiveness. In J. Antonakis, A.T. Cianciolo, & R. J.
Sternberg (Eds.), The nature of leadership. Thousand Oaks, CA, US: Sage Publications.
Colquitt, J.A., Scott, B.A. & LePine, J.A. (2007).Trust, trustworthiness, and trust propensity: A meta-
analytic test of their unique relationships with risk taking and job performance. Journal of
Applied Psychology, 92(4), 909-927.
Davis, I.H., Schoorman, F.D., Mayer, R.C. & Tan, H.H. (2000). The trusted general manager and
business unit performance: Empirical evidence of a competitive advantage. Strategic
Management Journal. 21, 562-576.
Dirks, K.T. & Ferrin, D.L. (2002). Trust in leadership: meta-analytic findings and implications for
research and practice. Journal of Applied Psychology, 87, 611-628.
Eisenbeiss, S.A. & Giessber, S.R. (2009), The emergence and maintenance of ethical leadership in
organizations: A question of embeddedness?. Journal of Personnel Psychology, 11(1), 7-19.
Engelbrecht, A.S., Heine, G. & Mahembe, B. (2015). The influence of integrity and ethicalleadership
on trust in the leader, Management Dynamics, 24(1), 1-10.
Falcone & Castelfranchi. (2004). Trust dynamics: how trust is influenced by direct experiences and
by trust itself. In Proceedings of the 3rd Internasional Conference on Autonomous Agents and
Multi-Agent System (AAMAS-04). New York, ACM.
Ghozali, I. (2009). Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS (cetakan Keempat).
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hartog, D.N. & Belschak, F.D. (2012). Work engagement and machiavellianism in the ethical
leadership process. Journal Of Business Ethics. 107(1), 35-47.
Johnson & Johnson. (1997). Emotional intellegence, Ney Jersey: Prentice Hall.
Johnson, C.E., Shelton, P.M. & Yates, L. (2012). Nice guys (and gals) finish first: Ethical leadership
and organizational trust, satisfaction and effectiveness, International Leadership Journal,
4(1), 3-19.
Joseph, E.E. & Winston, B.E. (2004). A correlation of servant leadership, leader trust and
organizational trust. Leadership and Organization Development Journal, 26, 6-22.
Jung, D.I., & Avolio, B.J. (2000). Opening the black box: An experimental investigation of the
mediating effects of trust and value congruence on transformational and transactional
leadership. Journal of Organizational Behavior, Vol. 21, Hal. 949-964.
Kannan-Narasimhan, R., & Lawrence, B.S. (2012), Behavioural integrity: How leader referents and
trust matter to workplace outcomes, Journal of Business Ethics, 111(2), 165-178.
Korsgaard, M.A., Whitener, E.M. & Brodt, S.E. (2002). Trust in the face of conflict: The role of
managerial trustworthy behavior and organizational context. Journal of Applied Psychology,
87, 312-319.
Kouzes, J.M. & Posner, B.Z. (2004). Leadership the challenge: tantangan kepemimpinan (alih
Bahasa Wisnu Chandra Kristiaji). Jakarta: Erlangga

1206 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Kuo, S.Y. (2013). Occupational stress, job satisfaction, and affective commitment to policing among
taiwanese police officers. Police Quarterly, 18(1), 27–54.
Mayer, R.C., Davis, J.H. & Schoorman, F.D. (1995). An integration model of organizational trust,
Academy of Management Review, 20(3), 709-73.
Mayer, R.C. & Davis, J.H. (1999). The effect of the performance appraisal system on trust for
management: A field quasi-experiment. Journal of Applied Psychology, 84,123-136.
Mayer, R.C. & Gavin, M.B. (2005). Trust in management and performance: Who minds the shop
while the employees watch the boss? The Academy of Management Journal, 48(5), 874-888.
Mayer, D.M., Aquino, K., Greenbaum, R.L. & Kuenzi, M. (2012), Who displays ethical leadership,
and why does it matter? an examination of antecedents and consequences of ethical leadership,
Academy of Management Journal, 55(1), 151-171.
MacKenzie, S.B., Podsakoff, P.M. & Rich, G.A. (2001). Transformational and transactional
leadership and salesperson performance. Academy of Marketing Science Journal, 29, 115-
134.
Morgan, R.B. (1993). Self and co-worker perceptions of ethics and their relationships to leadership
and salary. Academy of Management Journal, 36(1), 200-213.
Moye, M.J., Hinkin, A.B. & Egley, R.J. (2005). Teacher principle relationships: Exploring linkages
between empowerment and interpersonal trust. Journal of Educational Administration, 43,
260-277.
Nikandrou, I., Papalexandris, N. & Bourantas, D. (2000). Gaining employee trust after acquisition:
Implications for managerial action. Employee Relations, 22, 334-346.
Palanski, M.E. & Yammarino, F.J. (2009). Integrity and leadership: A multi-level conceptual
framework. The Leadership Quarterly, 20(3), 405-420.
Palanski, M.E. & Yammarino, F.J. (2011). Impact of behavioural integrity on follower job
performance: Athree-study examination., The Leadership Quarterly, 22, 765-786.
Piccolo, R.F., Greenbaum, R., Hartog, D.M. & Folger, R. (2010). The relationship between ethical
leadership and core job characteristics. Journal of Organizational Behavior, 31, 259-278.
Preacher, K.J. & Hayes, A.F. (2004). SPSS and SAS procedures for estimating indirect effects in
simple mediation models. Behavior Research Methods, Instruments, & Computers. 36(4),
717-731.
Quigley, J.H. (2007). Trust – an essential asset: Creating individual and corporate value. the
raytheon lectureship in business ethics. Waltham: Bentley College.
Reiss, M.C. & Mitra. (1998). The effects of individual different factors on the acceptability of ethical
and unethical workplace behaviors. Journal of Business Ethics. 17, 581-1593
Resick, C.J., Hanges, P.J., Dickson, M.W. & Mitchelson, J.K. (2006), A cross-cultural examination
of the endorsement of ethical leadership. Journal of Business Ethics, 64(4), 345-359.
Robbins, P.S. & Coulter, M. (2014). Management (12th.edition), United State: Pearson Education
Limited.
Sendjaya, S. & Pekerti, A. (2010). Servant leadership as antecedent of trust in organization.
Leadership and Organization Development Journal, 31(7), 643-663.
Simons, T.L., Friedman, R., Liu, L.A. & McLean-Parks, J. (2007). Racial differences in sensitivity
to behavioral integrity: Attitudinal consequences, in-group effects, and ‘‘trickle down’’
among black and non-black employees. Journal of Applied Psychology, 92, 650–665.
Six, F., De Bakker, F.G.A. & Huberts, L.W.J.C. (2007). Judging a corporate leader’s integrity: An
illustrated three-component model. European Management Journal, 25(3), 185-194.
Solomon, M.R. (2004). Consumer behavior: Buying, having dan being (6th. edition). Prentice Hall.
Sosik, J. (2001). Self-other agreement on charismatic leadership: Relationships with work attitudes
and managerial performance. Group & Organization Management, 26, 484-511.
Stouten, J., Van Dijke, M. & De Cremer, D. (2012), Ethical leadership: An overview and future
perspectives, Journal of Personnel Psychology, 11(1), 1-6.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1207


Testa, M.R. (2002). Leadership dyads in the cruise industry: The impact of cultural congruency.
International Journal of Hospitality Management, 21, 25-441.
Toor, S.R. & Ofori, G., (2009). Ethical leadership: Examining the relationships with full range
leadership model, employee outcomes, and organizational culture, Journal of Business Ethics,
90(4), 533-547.
Trevinyo-Rodríguez, R.N. (2007). Integrity: A systems theory classification, Journal of Management
History, 13(1), 74-93.
Turknett, Leadership Group. (2009). The leadership Character Model online. Retrieved from
http://www.leadershipcharacter.com/model.php.
Van Aswegen, A.S. & Engelbrecht, A.S. (2009). The relationship between transformational
leadership, integrity and an ethical climate in organisations. South African Journal of Human
Resource Management, 7(1).
Vanden Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N. & Plomp, T. (2009). Design approaches
and tools in educational and training. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Vanden, A.L., Heres, L., Lasthuizen, K. & Six, F. (2009). Ethical Leadership and trust: It’s all about
meeting expectations. Internasional Journal of Leadership Studies, 5(2), 102-122.
Walumbwa, F.O., Wang, P., Wang, H., Schaubroeck, J. & Avolio, B.J. 2011. Psychological Processes
Linking Authentic Leadership to Follower Behaviors. Leadership Quarterly, 21(5), 901-914.
Wong, C.A., Spence-Laschinger, H.K. & Cummings, G.G. (2010). Authentic leadership and nurses’
voice behaviour and perceptions of carequality. Journal of Nursing Management, 18, 889-
900.
Yukl, G.A. & Van Fleet, D.D. (1992). Theory and research on leadership in organizations, dalam
dunnette, m.d. dan hough, l. m. (ed), Handbook of Industrial & Organizational Psychology,
2(3), Palo Alto: Consulting Psychologists Press.
Yukl, G.A., Mahsud, R., Hassan, S. & Prussia, G.E. (2013). An improved measure of ethical
leadership, 38(1), 38-48.
Zhu, W., May & Avolio, B.J. (2004). The impact of ethical leadership behaviour on employee
outcomes: The role of psychological empowerment and authenticity. Journal of Leadership
and Organizational Studies, 11(1),16-26.
https://bengkuluekspress.com/oknum-anggota-kpu-benteng-ditahan/
https://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2018/03/09/jelang-pelantikan-ppk-dan-pps-beredar-isu-
dugaan-pungli-di-kpu/
https://news.detik.com/berita/2180236/dkpp-pecat-ketua-dan-2-anggota-kpu-kota-bengkulu

1208 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Self Efficacy Terhadap Kinerja Pegawai di
Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur

Reza Falevi1), Kamaludin2), Syaiful Anwar3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2),3)

Abstract. The research objectives are to (1) analyze the effect of emotional intelligence on
employee performance in the Kaur District Regional Secretariat, (2) analyze the effect of self efficacy
on employee performance in the Kaur District Regional Secretariat, and (3) analyze the effect of
emotional intelligence and self efficacy on employee performance in the Kaur Regency Regional
Secretariat. This type of research is quantitative research, the population is all employees in the
Regional Secretariat of Kaur Regency amounting to 96 people, samples taken by census method as
much as a whole of a population of 96 people. Data collection using an online questionnaire survey,
with the amount of data that can be used as many as 86 or 89.58% responses. Data collected, analyzed
using multiple linear regression analysis, test of determination and hypothesis testing. The results
showed that emotional intelligence positive and significant effect on employee performance. That is,
the higher the emotional intelligence the higher employee performance. Self efficacy positive and
significant effect on employee performance. That is, the higher the self efficacy, the employee's
performance will also be higher. Emotional intelligence and self efficacy positive and significant
effect on employee performance. That is, the higher the emotional intelligence and self efficacy, the
higher employee performance. This result implies that employees are able to deal with work situations
that are stressful and can positively control emotions. Therefore, professional employees must be able
to familiarize themselves with training in difficult and stressful conditions. The more often employees
practice, the more able to calm themselves in even the most dire circumstances. A calm attitude in
various circumstances shows that the individual is able to complete the task professionally. The
Regional Secretariat of Kaur Regency must be able to improve the performance of employees,
especially the increase in attendance, safety and comfort of the workplace.
Keywords: Emotional Intelligence, Self Efficacy, Employee Performance

Pendahuluan
Sumber daya manusia yang berkualitas menjadi penting seiring dengan pesatnya
perkembangan teknologi dan lingkungan kerja yang terus berubah. Artinya, sumber daya manusia
adalah individu yang akan selalu ada dalam organisasi (Robbins & Coulter, 2010). Suatu organisasi
dapat berjalan efektif apabila individu sebagai penggerak berkinerja tinggi. Pernyataan ini
berimplikasi bahwa bagaimana organisasi dapat maju, hampir sebagian besar dipengaruhi individu
yang terlibat.
Kinerja karyawan mengacu pada bagaimana karyawan berperilaku di tempat kerja dan
seberapa baik mereka melakukan tugas pekerjaan yang diwajibkan kepada mereka (Shore & Wayne,
2013). Organisasi biasanya menetapkan target kinerja untuk karyawan perorangan dan perusahaan
secara keseluruhan dengan harapan karyawan menunjukkan kinerja yang tinggi. Untuk seorang

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1209


karyawan, kinerja dapat merujuk pada efektivitas, kualitas, dan efisiensi kerja di tingkat tugas.
(Robbins & Judge, 2011).
Organisasi adalah sistem sosial tempat anggota berinteraksi satu sama lain serta dengan
konstituen eksternal (masyarakat, pelanggan, pemasok). Interaksi ini melibatkan dan memohon,
secara alami, emosi yang mendasari perilaku manusia. Dengan demikian, untuk memfasilitasi
interaksi yang efektif, sangat penting bahwa individu mengembangkan kemampuan mereka untuk
memahami dan mengelola emosi mereka sendiri dan orang lain. Sebuah studi baru-baru ini
melaporkan bahwa kecerdasan emosional berhubungan positif dengan kualitas interaksi sosial (Stein
& Book, 2012)
Interaksi yang efektif adalah landasan kinerja. Namun, lebih penting untuk bisa bertahan
dalam menghadapi kesulitan dan bergaul dengan rekan kerja dan bawahan. Hal yang sama berlaku di
banyak pekerjaan lain. Ini memberikan beragam alasan untuk hubungan positif antara kecerdasan
emosional dan keberhasilan pekerjaan individu (Miller, 2009). Ditemukan perbedaan di antara
individu yang diberi masalah sedang dan sangat sulit untuk dipecahkan. Individu dengan kecerdasan
emosi tinggi lebih sukses daripada individu dengan kecerdasan emosi rendah dalam menyelesaikan
lebih banyak masalah dan menyelesaikan tugas kognitif mereka (Bar & Parker, 2010).
Menurut Salovey dan Mayer (2010) bahwa kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk
memahami, menilai, dan mengatur emosi dalam diri seseorang dan orang lain. Apa artinya ini adalah
bahwa orang "cerdas secara emosional" adalah orang yang mampu memproses informasi yang sarat
emosi dan kemudian menggunakan informasi ini dalam tugas-tugas kognitif dan perilaku yang
diperlukan lainnya (Palmer et al., 2011).
Riset empiris memberikan beberapa bukti untuk mendukung efek positif dari kecerdasan
emosional dan kinerja kerja. Law dan Wong (2012) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional
berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
mengakibatkan seseorang mampu memahami emosinya lebih baik daripada sebagian besar orang.
Emosional yang baik mengakibatkan seseorang lebih sensitif pada emosi orang lain dan baik dalam
memprediksi respon emosi orang lain, seseorang yang mampu mengelola kecerdasan emosional
dengan baik mampu menggunakan emosi sebagai motivasi untuk menciptakan kinerja yang tinggi,
baik di tempat kerja maupun di kehidupan pribadinya. Salovey et al. (2015) mengemukakan bahwa
ada perbedaan individual dalam kecerdasan emosional yang berkaitan dengan perbedaan kemampuan
untuk menilai emosi sendiri dan orang lain. Mereka lebih lanjut menyarankan bahwa individu yang
lebih tinggi dalam kecerdasan emosional mungkin lebih terbuka untuk pengalaman internal dan lebih
mampu memberi label dan mengkomunikasikan pengalaman tersebut.

1210 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Sejak konseptualisasi kecerdasan emosional dari Salovey dan Mayer (2010), tiga model
alternatif dari konstruk telah diusulkan, mulai dari model kemampuan (Salovey et al., 2015), hingga
model non-kognitif (Bar & Parker, 2010) dan model berbasis kompetensi (Goleman, 2001). Model
kemampuan Salovey et al. (2015) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “kecerdasan” dalam
pengertian tradisional, yaitu, sebagai seperangkat kemampuan mental yang berkaitan dengan emosi
dan pemrosesan informasi emosional yang merupakan bagian dari dan berkontribusi terhadap
pemikiran logis dan kecerdasan secara umum. Kemampuan-kemampuan ini disusun secara hierarkis
dari proses-proses psikologis dasar ke yang lebih terintegrasi secara psikologis dan kompleks, dan
diperkirakan berkembang dengan usia dan pengalaman dalam banyak cara yang sama. Penelitian
yang menguji kegunaan kecerdasan emosi dalam memprediksi kinerja mendapatkan momentum
psikologi (Palmer et al., 2011; George, 2013; Barling et al., 2015; Dulewicz, 2014). Individu yang
cerdas secara emosi dianggap lebih bahagia dan lebih berkomitmen pada organisasinya (Abraham,
2014), mencapai kesuksesan yang lebih besar (Miller, 2009), lebih efektif dan berkinerja tinggi
(George, 2013).
Kinerja juga dapat diaktualisasi oleh self-efficacy. Self-efficacy didefinisikan sebagai
keyakinan individu pada kemampuan mereka untuk melakukan tugas dengan sukses (Bandura, 2005).
Ini telah menjadi topik penting dalam penelitian perilaku organisasi, terutama yang berkaitan dengan
kinerja. Stajkovic dan Luthans (1998) melakukan meta-analisis dan menemukan hubungan positif
yang signifikan antara self-efficacy dan kinerja terkait pekerjaan. Karena self-efficacy merupakan
anteseden dari motivasi dan kinerja (Bandura & Locke, 2003), kinerja meningkat ketika self-efficacy
ditingkatkan. Individu dengan self-efficacy yang tinggi mengerahkan lebih banyak upaya yang
berhubungan dengan tugas dan bertahan lebih lama dalam menghadapi rintangan, yang, pada
gilirannya, meningkatkan peluang keberhasilan mereka. Sebaliknya, individu dengan efikasi diri
yang rendah cenderung memiliki aspirasi yang rendah untuk mengejar tujuan mereka dan gagal
menyelesaikan tugas (Feltz et al., 2008).
Tims et al. (2014) meneliti hubungan antara self-efficacy dan kinerja pada satu hari dan
menemukan bahwa karyawan dengan self-efficacy yang lebih tinggi mencapai kinerja yang lebih baik
daripada yang lain pada hari itu. Namun, beberapa peneliti telah menemukan hubungan negatif antara
self-efficacy dan kinerja. Peneliti sebelumnya dari self-efficacy-kinerja hubungan kerja terutama
berfokus pada variabel pribadi dan kontekstual yang memoderasi (Schmidt & DeShon, 2010; Tims
et al., 2014). Self-efficacy dianggap sebagai korelasi keterlibatan kerja (Hirschi, 2012), karena
karyawan dengan self-efficacy tinggi secara intrinsik termotivasi untuk mengejar tujuan mereka dan
percaya bahwa mereka mampu memenuhi tuntutan pekerjaan, ini memicu keterlibatan tinggi dalam
pekerjaan mereka (Luthans & Youssef, 2007). Sejalan dengan teori sumber daya pribadi, karyawan

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1211


yang memiliki sumber daya pribadi memiliki kepercayaan pada kemampuan mereka, yang mengarah
pada pencapaian tujuan dan, akibatnya, untuk keterlibatan kerja (Xanthopoulou et al., 2007). Telah
dibuktikan bahwa efikasi diri adalah sumber daya pribadi yang terkait dengan kinerja (Xanthopoulou
et al., 2009).
Beberapa peneliti ini memandang keterlibatan sebagai pendorong utama sikap, perilaku, dan
kinerja individu. Sebagai contoh, Gruman dan Saks (2011) menunjukkan bahwa cara terbaik untuk
mencapai kinerja yang unggul adalah dengan membina dan mengelola keterlibatan kerja karyawan.
Karyawan yang mengalami keterlibatan tinggi lebih cenderung memiliki emosi positif dalam
pekerjaan. Menurut teori broad-and-build (Fredrickson, 2001), emosi positif, seperti kebahagiaan dan
kegembiraan, memperluas pemikiran-tindakan sesaat individu-repertoar, sehingga meningkatkan
pemikiran kreatif dan pemecahan masalah. Dengan demikian, karyawan yang terlibat dengan tidak
terlibat dapat mencapai kinerja yang lebih baik.
Kinerja merupakan hasil kerja yang bisa dicapai oleh seseorang atau kelompok dalam
organisasi yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, sedangkan menurut Mathis dan Jackson
(2012), kinerja merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan
merupakan apa yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi pada
organisasi. Penelitian ini dilakukan di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur karena belum begitu
optimalnya kinerja pegawai organisasi ini. Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur memiliki pegawai
sebanyak 96 orang dan masing-masing memiliki kinerja yang bervariasi.
Fakta kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur dapat dilihat dari tidak disiplin
yang dilakukan oleh pegawai. Peraturan pegawai yang diharuskan datang tepat waktu, namun
kenyataannya banyak pegawai yang datang ke kantor lewat dari jam yang diharuskan, sehingga
banyak pegawai yang tidak mengikuti kegiatan apel pagi, padahal pembina apel pagi sudah
memberikan arahan pada pegawai agar tidak datang terlambat, akan tetapi masih banyak pegawai
yang mangkir. Untuk lebih jelas kehadiran rekap kehadiran pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten
Kaur dari bulan Oktober sampai Desember 2019 dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 1. Rekap Kehadiran Pegawai (Oktober-Desember 2019)


Bagian Tanpa Terlambat Terlambat
keterangan absen pagi siang
Bagian Pemerintahan dan Otonomi Daerah 2 15 6
Bagian Kesejahteraan Rakyat - 6 4
Bagian Hukum 1 10 5
Bagian Ekonomi dan Sumber Daya Alam 4 2 1
Bagian Administrasi Pembangunan - 9 7
Bagian Pengadaan Barang dan Jasa 3 5 13

1212 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Bagian Umum 5 2 4
Bagian Organisasi dan Tata Laksana - 2 11
Bagian Humas dan Protokol 7 6 2
Jumlah 22 57 53
Sumber: Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur, 2019

Permasalahan kinerja lainnya adalah pengetahuan yang kurang, seperti bawahan yang lebih
mengetahui tata kerja dibandingkan dengan atasan pada bagian tersebut. Hal ini dikarenakan sering
terjadi rotasi kerja (mutasi) antar pimpinan di Pemda Kabupaten Kaur, menyebabkan pimpinan belum
sempat memahami tata kerja bagiannya saat itu, sudah harus pindah kebagian yang lain. Masih
banyak pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur yang tidak memiliki kemampuan di dalam
menggunakan peralatan komputer, terutama para pegawai yang sudah berumur. Hal ini diketahui dari
hasil observasi intensif peneliti di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur (Observasi, Januari 2019).
Fenomena di atas menunjukkan kinerja pegawai yang kurang optimal di Sekretariat Daerah
Kabupaten Kaur terutama layanan dalam internal organisasi. Pelayanan yang kurang baik dari seorang
pegawai merupakan salah satu bentuk dari kinerja kontraproduktif karena tidak dapat menjalankan tugas
dan tuntutannya untuk selalu bersikap profesional. Pegawai yang tidak mampu menjalankan tugas dan
fungsinya dengan baik disinyalir merupakan dampak
dari rendahnya kecerdasan emosi dan keyakinan diri yang dimiliki oleh pegawai dalam
mengatasi setiap situasi. Oleh sebab itu, pengukuran kecerdasan emosional dan self efficacy sangat
diperlukan. Berdasarkan latar belakang seperti yang telah dijabarkan diatas maka penulis ingin
membahas masalah: Apakah Kecerdasan Emosional Dan Self Efficacy berpengaruh terhadap kinerja
Pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur.

Kajian Pustaka
Kinerja, Kecerdasan Emosional dan Self-Efficacy
Kinerja pekerjaan adalah output individu dalam hal kualitas dan kuantitas yang diharapkan
dari setiap karyawan dalam pekerjaan tertentu (Gruman & Saks, 2011). Kinerja individu sebagian
besar ditentukan oleh motivasi dan kemauan serta kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Pada
tingkat yang sangat umum, kinerja dapat didefinisikan sebagai “semua perilaku yang dilakukan
karyawan saat bekerja” (Jex, 2002). Namun, ini adalah deskripsi yang agak kabur. Sejumlah besar
perilaku karyawan yang ditampilkan di tempat kerja tidak selalu terkait dengan aspek spesifik
pekerjaan (Amstrong, 2010). Lebih umum, kinerja pekerjaan mengacu pada seberapa baik kinerja
seseorang di pekerjaannya. Definisi berkisar dari aspek umum ke spesifik dan dari dimensi kuantitatif
ke kualitatif (Cherian & Jacob, 2013). Awalnya, para peneliti optimis tentang kemungkinan untuk

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1213


mendefinisikan dan mengukur kinerja pekerjaan. Namun, segera mereka mulai menyadari bahwa
menentukan dimensi pekerjaan dan persyaratan kinerjanya bukanlah proses yang mudah (Cherian &
Jacob, 2013; Gruman & Saks, 2011). Saat ini secara umum disepakati bahwa kinerja pekerjaan terdiri
dari serangkaian variabel yang saling berhubungan yang rumit terkait dengan aspek pekerjaan,
karyawan dan lingkungan (Mathis & Jackson, 2012). Jadi, kinerja pada penelitian ini didefinisikan
sebagai perilaku atau tindakan-tindakan yang mencerminkan tingkat keberhasilan seseorang dalam
pekerjaannya selama periode tertentu yang berhubungan dengan tujuan organisasi.
Kecerdasan emosional secara historis didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan
penalaran yang akurat yang berfokus pada emosi dan kemampuan untuk menggunakan emosi dan
pengetahuan emosional untuk meningkatkan pemikiran (Salovey et al., 2015). Fokus utamanya
berkaitan dengan penalaran tentang emosi dan penggunaan emosi nuntuk meningkatkan pemikiran.
Dengan demikian, kecerdasan emosional mewakili kemampuan yang menggabungkan kecerdasan
dan emosi untuk meningkatkan pemikiran.
Banyak mengira bahwa kecerdasan emosional berasal dari konstruksi kecerdasan sosial yang lebih
luas (Goleman, 2011). Perspektif kontemporer tentang kecerdasan sosial memiliki asal-usul dalam divisi
intelijen tripartit Thorndike yang berpengaruh ke dalam kelas-kelas luas berikut: (a) kecerdasan abstrak-
skolastik: kemampuan untuk memahami dan mengelola ide, (b) kecerdasan spasial-mekanik-visuo-
spasial: kemampuan untuk memahami dan memanipulasi objek konkret; dan (c) kecerdasan sosial
(praktis): kemampuan untuk memahami dan mengelola orang dan bertindak bijak dalam konteks sosial.
Namun, meskipun banyak minat dan banyak upaya untuk mendefinisikan dan mengukur
kecerdasan sosial selama delapan dekade terakhir, upaya ini terbukti bermasalah (Kumar, 2017).
Ketidakmampuan untuk membedakan antara kecerdasan umum dan sosial, ditambah dengan kesulitan
dalam memilih kriteria eksternal yang dapat digunakan untuk memvalidasi skala eksperimental,
menyebabkan penurunan dalam penelitian yang berfokus pada kecerdasan sosial sebagai entitas
intelektual yang berbeda, hingga peningkatan minat baru-baru ini pada kecerdasan emosional.
Sejarah self-efficacy dimulai dalam teori pembelajaran sosial (Bandura, 1997) yang berganti nama
menjadi teori kognitif sosial pada tahun 1986. Salah satu konsep utama Bandura dalam teorinya adalah
self-efficacy. Menurut teori dan penelitian Bandura (2005), self-efficacy membuat perbedaan dalam
bagaimana orang merasakan, berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri mereka sendiri. Dalam hal
perasaan, rasa efikasi diri yang rendah dikaitkan dengan stres, depresi, kecemasan, dan ketidakberdayaan.
Orang-orang semacam itu juga memiliki harga diri yang rendah dan menjadi pesimis tentang pencapaian
dan pengembangan pribadi mereka. Dalam hal berpikir, rasa kemanjuran yang kuat memfasilitasi proses
kognitif dan kinerja dalam berbagai pengaturan, termasuk kualitas pengambilan keputusan dan prestasi
akademik. Dalam hal berperilaku, efikasi diri dapat memengaruhi pilihan aktivitas orang.

1214 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Tingkat self-efficacy dapat meningkatkan atau menghambat kinerja. Orang dengan efikasi diri
tinggi mendekati tugas-tugas sulit sebagai tantangan dan tidak mencoba menghindarinya. “Keyakinan
self-efficacy orang menentukan tingkat motivasi mereka, sebagaimana tercermin dalam berapa
banyak upaya yang akan mereka lakukan dalam upaya dan berapa lama mereka akan bertahan dalam
menghadapi hambatan” (Bandura & Locke, 2003). Menurut Bandura (2005) pentingnya self-efficacy
sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai "seperangkat penentu proksimal dari motivasi, pengaruh, dan
tindakan manusia. Keyakinan ini merupakan bentuk tindakan melalui proses intervensi motivasi, kognitif,
dan afektif. Contoh dari proses kognitif berkaitan dengan menetapkan tujuan pribadi. Semakin tinggi
tingkat efikasi diri yang dirasakan, semakin tinggi pula tingkat sasaran yang ditetapkan orang untuk
diri mereka sendiri, yang mengarah pada tingkat komitmen yang lebih tinggi terhadap sasaran.
Contoh lain dari self-efficacy signifikansi berkaitan dengan percobaan oleh Collins (Bandura,
1997). Collins membagi anak-anak menjadi dua kelompok berdasarkan kemampuan matematika
mereka. Dia juga memperoleh pendapat siswa tentang keterampilan matematika mereka. Hasil
penelitian menunjukkan siswa dalam kelompok tingkat yang lebih tinggi mengungguli mereka yang
berada di kelompok tingkat bawah. Menariknya, efikasi diri yang dirasakan memainkan peran dalam
hasil ini. Dalam setiap kelompok kemampuan, anak-anak yang percaya bahwa mereka pandai
matematika memecahkan lebih banyak masalah, memilih untuk bekerja pada lebih banyak masalah
yang mereka gagal dan menunjukkan sikap yang lebih positif terhadap matematika (Cherian & Jacob,
2013).
Istilah pengganti adalah kata-kata yang digunakan secara bergantian untuk mengekspresikan
konsep self-efficacy. Istilah self-efficacy yang dirasakan telah diganti dalam literatur untuk mewakili
self-efficacy (Bandura, 1997). Definisi kata mempersepsi adalah untuk mencapai kesadaran atau
pemahaman atau menjadi sadar melalui indra (Shafig & Taleb, 2016). Self-efficacy didefinisikan
sebagai penilaian seseorang atas kemampuan untuk melakukan aktivitas tertentu untuk mencapai
hasil tertentu. Istilah mempersepsikan tersirat dalam definisi self-efficacy dan tidak mengubah artinya.

Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Kinerja


Sejumlah penelitian telah dilakukan pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan
kinerja pekerjaan. Temuan tidak selalu mendukung satu sama lain, tetapi setiap studi menambahkan
informasi baru dan berharga. Beberapa studi menunjukkan hubungan positif antara kecerdasan
emosional dan kinerja (Abraham, 2014; Dulewicz, 2014; Law & Wong, 2012), sementara peneliti
lain berpendapat sebaliknya, menyatakan bahwa ada tidak ada hubungan atau tidak konsisten antara
dua variabel ini (Bar & Parker, 2010)

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1215


Rexhepi dan Berisha (2017); Goleman (2011) mendukung pandangan bahwa kecerdasan
emosional bertanggung jawab atas perbedaan dalam kinerja pekerjaan.
Karimi et al. (2019) bekerja sama dengan para ahli lainnya, mengembangkan daftar periksa
tidak ada tindakan kognitif di mana orang menerima pelatihan. Setelah penelitian disimpulkan, para
peserta menjadi fasilitator yang melatih orang lain tanpa keterampilan kognitif. Meskipun banyak
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosional dan kinerja, kecerdasan
kognitif tidak dapat diabaikan.

Kerangka Analisis

Kecerdasan H1
Emosional (X1)
Kinerja Pegawai (Y)
H3
Self Efficacy
H2
(X2)

Gambar 1. Kerangka Analisis


Gambar 1 menjelaskan pengaruh secara parsial dan simultan antara kecerdasan emosional dan
self-efficacy sebagai variabel independen terhadap kinerja pegawai sebagai variabel dependen di
Sekretariat Kabupaten Kaur. Kerangka ini didasarkan pada riset empiris mengenai kecerdasan
emosional (Abraham, 2014; Dulewicz, 2014; Law & Wong, 2012) dan self-efficacy (Bandura, 2005;
Shafig & Taleb, 2016).

Pengembangan Hipotesis
Kecerdasan emosional memungkinkan individu untuk menciptakan dan mempertahankan
keadaan afektif positif yang telah disarankan untuk menguntungkan perilaku kerja dengan
memperluas repertoar perilaku di tempat kerja (George, 2013). Dengan demikian, kecerdasan
emosional adalah karakteristik individu (Salovey et al., 2015) dan ini berdampak pada hasil pekerjaan
dan kehidupan terutama karena kemampuan seseorang untuk mengubah kemampuan internal ini
menjadi penggunaan emosi yang efektif dalam interaksi dengan orang lain.
Seseorang dengan kecerdasan emosional yang tinggi mampu menafsirkan suasana hatinya sendiri
dan suasana hati orang lain, dengan benar, dan karenanya memiliki kesempatan lebih tinggi untuk
membentuk hubungan yang baik dan mendapatkan dukungan sosial secara umum (Law & Wong, 2012).
Karena interaksi interpersonal adalah komponen dasar pekerjaan manajerial, kita dapat berhipotesis
bahwa kecerdasan emosional perlu mengkristal menjadi perilaku membantu di tempat kerja yang dapat

1216 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


dirasakan oleh orang lain, dan bahwa jenis perilaku ini akan memoderasi hubungan kecerdasan emosional
dengan efektivitas pimpinan.
Riset empiris memberikan beberapa bukti untuk mendukung efek positif dari kecerdasan
emosional dan kinerja kerja. Law dan Wong (2012) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional
berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
mengakibatkan seseorang mampu memahami emosinya lebih baik daripada sebagian besar orang.
Emosional yang baik mengakibatkan seseorang lebih sensitif pada emosi orang lain dan baik dalam
memprediksi respon emosi orang lain, seseorang yang mampu mengelola kecerdasan emosional
dengan baik mampu menggunakan emosi sebagai motivasi untuk menciptakan kinerja yang tinggi,
baik di tempat kerja maupun di kehidupan pribadinya.
Salovey et al. (2015) mengemukakan bahwa ada perbedaan individual dalam kecerdasan
emosional yang berkaitan dengan perbedaan kemampuan untuk menilai emosi sendiri dan orang lain.
Mereka lebih lanjut menyarankan bahwa individu yang lebih tinggi dalam kecerdasan emosional
mungkin lebih terbuka untuk pengalaman internal dan lebih mampu memberi label dan
mengkomunikasikan pengalaman tersebut.
Stajkovic dan Luthans (1998) melakukan meta-analisis dan menemukan hubungan positif yang signifikan
antara self-efficacy dan kinerja terkait pekerjaan. Individu dengan self-efficacy yang tinggi mengerahkan
lebih banyak upaya yang berhubungan dengan tugas dan bertahan lebih lama dalam menghadapi
rintangan, yang, pada gilirannya, meningkatkan peluang keberhasilan mereka. Sebaliknya, individu
dengan efikasi diri yang rendah cenderung memiliki aspirasi yang rendah untuk mengejar tujuan
mereka dan gagal menyelesaikan tugas (Feltz et al., 2008)
Tims et al. (2014) meneliti hubungan antara self-efficacy dan kinerja pada satu hari dan
menemukan bahwa karyawan dengan self-efficacy yang lebih tinggi mencapai kinerja yang lebih baik
daripada yang lain pada hari itu. Namun, beberapa peneliti telah menemukan hubungan negatif antara
self-efficacy dan kinerja. Sebagai contoh, Vancouver et al. (2002) melakukan dua studi eksperimental
melalui permainan analitik dan menemukan bahwa efikasi diri peserta menyebabkan kepercayaan diri
yang berlebihan dan meningkatkan kemungkinan mereka melakukan kesalahan logika selama permainan.
Kesalahan logika menunjukkan bahwa peserta belum cukup memikirkan tebakan mereka mengingat
umpan balik yang diberikan.
Peneliti sebelumnya terkait self-efficacy-kinerja hubungan kerja terutama berfokus pada
variabel pribadi dan kontekstual yang memoderasi (Schmidt & DeShon, 2010; Tims et al., 2014).
Self-efficacy dianggap sebagai korelasi keterlibatan kerja (Hirschi, 2012), karena karyawan dengan
self-efficacy tinggi secara intrinsik termotivasi untuk mengejar tujuan mereka dan percaya bahwa
mereka mampu memenuhi tuntutan pekerjaan, ini memicu keterlibatan tinggi dalam pekerjaan
mereka (Luthans & Youssef, 2007). Sejalan dengan teori sumber daya pribadi, karyawan yang

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1217


memiliki sumber daya pribadi memiliki kepercayaan pada kemampuan mereka, yang mengarah pada
pencapaian tujuan dan, akibatnya, untuk keterlibatan kerja (Xanthopoulou et al., 2007). Telah
dibuktikan bahwa efikasi diri adalah sumber daya pribadi yang terkait dengan kinerja (Xanthopoulou
et al., 2009). Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai di Sekretariat


Daerah Kabupaten Kaur.

H2 : Self-efficacy berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah


Kabupaten Kaur.

H3 : Kecerdasan emosional dan self-efficacy berpengaruh signifikan terhadap kinerja


pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur.

Alat analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan dalam
penelitian ini adalah analisis regresi berganda dengan bantuan Software SPSS (Statistical Package
For Social Science). Analisis regresi berganda dilakukan untuk mengetahui pengaruh tiap variabel
independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2006). Sugiyono (2013) menyatakan bahwa
analisis regresi berganda adalah pola pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Persamaan regresi penelitian ini adalah:
Y = b1X1+ b 2X2

Koefisien Determinasi (R2) bertujuan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model
dalam menerangkan variasi variabel dependen berdasarkan Tabel Model Summary. Nilai yang dilihat
dari tabel tersebut adalah nilai R2 yang disesuaikan (Adjusted R Square). Ketentuan dalam uji
koefisien determinasi sebagai berikut (Ghozali, 2006):
1. Nilai R2 mendekati 0, artinya kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan
variasi variabel dependen amat terbatas.
2. Nilai R2 mendekati 1, artinya kemampuan variabel-variabel independen memberikan hampir
semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen

Untuk menilai lebih lanjut pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen
yang signifikan melalui Ftest dan ttest pada tingkat signifikasi atau taraf kesalahan (α)
= 0,05. Ftest digunakan untuk menguji apakah ada regresi yang signifikan antara variabel independen
yang diuji secara bersama dengan variabel dependen dan menguji variabel independen secara
individu dengan variabel dependen.

1218 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tingkat Pengembalian Kuesioner dan Deskripsi Demografi Responden
Responden pada penelitian ini berjumlah 96 orang dan sejumlah 86 kuesioner yang telah diisi
oleh responden atau 89,58% respon dapat digunakan sebagai sumber data, sisanya sejumlah 10
kuesioner tidak diisi oleh responden. Penyebab tidak diisinya kuesioner ini dikarenakan waktu
penyebaran kuesioner (1 minggu) telah berakhir.

Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional dan self-
efficacy terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Ringkasan Hasil dari
perhitungan regresi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Ringkasan Output Regresi Linier Berganda
Standardized
Variabel ttest Sig.
Coefficients
Kecerdasan Emosional 0,476 5,176 0,000
Self Efficacy 0,468 5,089 0,000
Ftest = 53,001
Sig. = 0,000
=
R2 0,537
Sumber: data diolah, 2020

Berdasarkan Tabel 2 bahwa didapat persamaan regresi linier berganda sebagai berikut:
Y = 0,476 X1 + 0,468 X2
Persamaan regresi tersebut menggambarkan bahwa kecerdasan emosional dan self-efficacy
memiliki arah pengaruh yang positif terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur.
Koefisien regresi kecerdasan emosional adalah sebesar 0,476 dan bernilai positif, artinya semakin
pegawai memiliki kecerdasan emosional maka kinerja pegawai akan semakin tinggi. Koefisien
regresi self-efficacy adalah sebesar 0,468 dan juga bernilai positif, artinya semakin tinggi self-efficacy
maka kinerja pegawai juga akan semakin tinggi.
Berdasarkan nilai koefisien tertinggi, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy lebih dominan
dalam mempengaruhi kinerja pegawai dibandingkan dengan kecerdasan emosional.

Analisis Koefisien Determinasi


Berdasarkan Tabel 10 diketahui nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,537, nilai ini memiliki

makna bahwa variabel kecerdasan emosional dan self-efficacy memberikan kontribusi sebesar 53,7 persen
dalam mempengaruhi kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Sedangkan sisanya, sebesar
46,3 persen, dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukan dalam model ini. Faktor tersebut misalnya,

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1219


faktor dari individual (kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat
sosial, dan demografi). Faktor psikologis misal, persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi, dan
kepuasan kerja). Faktor organisasi (struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, dan
penghargaan).

Pengujian Hipotesis t-test


Pengujian ttest digunakan untuk mengetahui pengaruh secara parsial antara variabel kecerdasan
emosional terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Berdasarkan Tabel 10,
diketahui bahwa kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai di Sekretariat
Daerah Kabupaten Kaur (sig=0,000<0,05). Maka, hipotesis yang menyatakan bahwa kecerdasan
emosional berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur dapat
diterima. Semakin pegawai memiliki kecerdasan emosional maka kinerja pegawai akan semakin tinggi.
Tabel 10 diketahui bahwa self-efficacy juga berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai di
Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur (sig=0,000<0,05). Maka, hipotesis yang menyatakan bahwa self-
efficacy berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur dapat
diterima. Semakin tinggi self-efficacy maka kinerja pegawai juga akan semakin tinggi

Pengujian Hipotesis F-test


Digunakan untuk mengetahui pengaruh secara simultan variabel kecerdasan emosional dan
self-efficacy terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Berdasarkan Tabel 2,
diketahui bahwa secara simultan kecerdasan emosional dan self-efficacy berpengaruh terhadap
kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur (sig=0,000<0,05). Berarti, hipotesis yang
menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan self-efficacy berpengaruh signifikan terhadap kinerja
pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur dapat diterima.

Pembahasan
Bagian ini akan dibahas pengaruh masih-masing variabel, yaitu kecerdasan emosional dan
self-efficacy terhadap kinerja pegawai.

Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Kinerja Pegawai

Hasil penelitian diketahui kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Artinya, semakin tinggi kecerdasan
emosional maka kinerja pegawai akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan
emosional maka kinerja pegawai juga akan semakin rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Pratama dan Suhaeni, (2017) yang juga menemukan kecerdasan emosional terhadap kinerja.

1220 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Kecerdasan emosional yang baik akan membuat seseorang mampu membuat keputusan yang
tegas dan tepat walaupun dalam keadaan tertekan. Kecerdasan emosional juga membuat seseorang
dapat menunjukkan integritasnya. Orang dengan kecerdasan emosional yang baik mampu berpikir
jernih walaupun dalam tekanan, bertindak sesuai etika, berpegang pada prinsip dan memiliki
dorongan berprestasi. Kecerdasan emosional berarti menggunakan emosi secara efektif untuk
mencapai tujuan dengan tepat, membangun hubungan kerja yang produktif dan meraih keberhasilan
di tempat kerja. Kecerdasan emosional pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur rata-rata
sangat mampu, artinya pegawai rata-rata Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur sangat mampu untuk
memahami intra pribadi dan antar pribadi, dapat menyesuaikan diri, dapat mengendalikan stres dan
memiliki suasana hari yang baik dalam bekerja. Pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur dapat
membina dan memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota organisasi, hubungan yang
baik antar pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur terlihat dari tindakan pegawai yang selalu
menyapa, senyum dan mengucapkan salam. Penelitian Goleman (2005) mengungkapkan bahwa
kecerdasan intelektual menyumbang sekitar 20 persen bagi faktor yang menentukan kesuksesan
dalam hidup, sedangkan 80 persen lainnya dipengaruhi oleh kekuatan lain termasuk kecerdasan
emosional. Dalam pernyataan tersebut menunjukkan bahwa di dalam lingkungan kerja, aspek
perilaku manusia mengambil peran yang sangat penting. Sikap perilaku terhadap pekerjaan sangat
menentukan keberhasilan suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya.
Menurut Mangkunegara (2009) mengemukakan bahwa dalam hubungannya dengan
pencapaian kinerja karyawan yang tinggi, perlu dilandaskan pada beberapa pendekatan, salah satunya
adalah pendekatan psikologis dari karyawan itu sendiri dan organisasi. Pendekatan psikologis dan
organisasi terhadap kinerja ini diantaranya adalah pendekatan terhadap kecerdasan emosional dari
sumber daya manusia yang ada di dalam perusahaan. Sedangkan menurut Goleman (1995)
mengetahui bagaimana kesadaran diri akan mempengaruhi kinerja sebab menentukan sasaran yang
akan dicapai diperlukan pengetahuan terhadap diri sendiri. Hasil ini sejalan dengan penelitian
(Abraham, 2014; Dulewicz, 2014; Law & Wong, 2012) bahwa antara kecerdasan emosional dengan
kinerja pekerjaan signifikan, juga sesuai dengan pendapat (Rexhepi & Berisha, 2017; Goleman, 2011)
bahwa kecerdasan emosional bertanggung jawab atas perbedaan dalam kinerja pekerjaan.
Mendukung teman (Dhani & Sharma, 2017) bahwa antara kecerdasan emosional dan kinerja terdapat
pengaruh yang nyata.

Pengaruh self-efficacy terhadap Kinerja Pegawai


Hasil penelitian diketahui bahwa self-efficacy berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Artinya, semakin tinggi self-efficacy maka

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1221


kinerja pegawai juga akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah self-efficacy maka kinerja
pegawai juga akan semakin rendah. Hasil ini mendukung penelitian Gharetepeh et al. (2015) bahwa
struktur self-efficacy berpengaruh terhadap kinerja. Mangkuprawira (2012) menyebutkan bahwa
kinerja karyawan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Salah satu faktor intrinsik
diantaranya adalah self-efficacy. Self-efficacy pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur
termasuk tinggi, artinya pegawai percaya dan yakin atas kemampuan dalam mengatasi beraneka
ragam situasi yang muncul dalam kehidupan kerjanya. Dilihat dari di menensi self-efficacy, dimensi
keyakinan akan kemampuan mencapai target yang telah ditetapkan, mewakili self-efficacy pegawai
di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Pegawai konsistensi pegawai terhadap target kerja yang
ditetapkan. Target yang dimaksud bukanlah target yang ditetapkan organisasi, namun yang di set oleh
individu pegawai sendiri. Target yang tercapai akan memberi kepercayaan diri lebih dalam bekerja.
Selain itu, pencapaian tersebut juga akan jadi motor yang mendorong untuk terus maju dalam
pekerjaan. Keyakinan berhubungan dengan dorongan atau motivasi yang dimiliki karyawan untuk lebih
percaya diri dan memiliki keyakinan terhadap kemampuan sendiri. Self-efficacy sangat dibutuhkan dalam
diri para pegawai, dengan meningkatkan kemampuan dalam mengerjakan tugas yang diberikan agar
organsiasi berjalan secara optimal dan kinerja pegawai akan meningkat. Oleh karena hal tersebut, maka
self-efficacy sangat diperlukan untuk dapat membuat pegawai mampu bekerja dengan baik dan
mempunyai juga kinerja yang tinggi.
Pegawai dengan self-efficacy yang tinggi akan mencapai suatu kinerja yang lebih baik
disebabkan karena pegawai tersebut memiliki motivasi yang kuat, tujuan yang jelas, emosi yang stabil
dan kemampuannya untuk memberikan kinerja atas aktivitas atau perilaku dengan sukses (Kreitner
& Angelo, 2014). Menurut Bandura (1997), efikasi diri mencerminkan suatu keyakinan individu pada
kemampuannya dalam melaksanakan suatu tugas pada tingkatan kinerja yang spesifik. Hasil ini
mendukung meta-analisis (Stajkovic & Luthans, 1998) yang menemukan hubungan positif yang
signifikan antara self-efficacy dan kinerja terkait pekerjaan, serta penelitian (Tims et al., 2014; Tzur
et al., 2016). Individu dengan self-efficacy yang tinggi mengerahkan lebih banyak upaya yang
berhubungan dengan tugas dan bertahan lebih lama dalam menghadapi rintangan, yang, pada
gilirannya, meningkatkan peluang keberhasilan mereka. Sebaliknya, individu dengan efikasi diri
yang rendah cenderung memiliki aspirasi yang rendah untuk mengejar tujuan mereka dan gagal
menyelesaikan tugas.

Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Self Efficacy terhadap Kinerja


Hasil penelitian diketahui bahwa kecerdasan emosional dan self-efficacy berpengaruh terhadap
kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Artinya, semakin tinggi kecerdasan emosional
dan self-efficacy maka kinerja pegawai akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan

1222 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


emosional dan self-efficacy maka kinerja pegawai juga akan semakin rendah. Kecerdasan emosional
dan self-efficacy memberikan kontribusi sebesar 53,7 persen dalam mempengaruhi kinerja pegawai
di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Artinya, lebih dari setengah variabel kinerja dapat dijelaskan
oleh kecerdasan emosional dan self-efficacy. Hasil ini mendukung penelitian Efendi dan Nugroho
(2018) bahwa kecerdasan emosional dan self-efficacy dan memiliki efek simultan langsung pada
kinerja.
Hasil temuan ini sesuai dengan Goleman (1998) bahwa kecerdasan emosional menentukan 80
persen pencapaian kinerja individu, sedangkan kecerdasan pikiran hanya 20 persen menentukan
kinerja. Kecerdasan emosional tersebut antara lain kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi
frustrasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati, berempati serta kemampuan bekerja sama,
sehingga kecerdasan emosi dapat dikembangkan tanpa batas waktu dengan demikian kecerdasan
emosi berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Proses untuk menghasilkan sumber daya manusia
harus didukung dengan kecerdasan emosional yang tinggi dari karyawan agar mampu mengendalikan
segala ego dan keinginannya serta mampu memahami orang lain atau rekan kerjanya sehingga
terciptanya suasana kelompok kerja yang dinamis dan menjalankan tugas dengan baik.
Mangkuprawira (2012) menyebutkan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh faktor
intrinsik diantaranya adalah self-efficacy. Individu self-efficacy yang tinggi akan mencapai suatu
kinerja yang lebih baik disebabkan karena individu tersebut memiliki motivasi yang kuat, tujuan yang
jelas, emosi yang stabil dan kemampuannya untuk memberikan kinerja atas aktivitas atau perilaku
dengan sukses.
Karyawan membutuhkan self-eficacy yang tinggi agar tetap memiliki keyakinan yang kuat
walaupun sedang menghadapi masalah. Adanya self eficacy dalam diri karyawan dapat mengurangi
reaksi stres dan mengubah kecenderungan emosional yang negatif dan penilaian yang salah dari
keadaan fisik mereka. Seseorang membutuhkan rasa yakin terhadap kemampuannya dalam
menjalankan setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Seseorang dengan tingkat self-eficacy
yang tinggi akan percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah hambatan di
sekitarnya, sedangkan seseorang dengan self-eficacy rendah menganggap dirinya tidak mampu
mengerjakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

Implikasi Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan self-efficacy berpengaruh
terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Hasil ini berimplikasi pada
Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur, terutama dalam peningkatan kecerdasan emosional dan self-
efficacy. Pegawai harus mampu menghadapi situasi kerja yang penuh tekanan dan dapat

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1223


mengendalikan emosi secara positif. Oleh sebab itu, pegawai profesional harus mampu membiasakan
diri dengan berlatih dalam keadaan yang sulit dan penuh tekanan. Semakin sering pegawai berlatih,
maka semakin mampu menenangkan diri dalam keadaan paling gawat sekalipun. Sikap tenang dalam
berbagai keadaan menunjukkan bahwa individu mampu menyelesaikan tugas secara profesional.

Penutup
Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai di Sekretariat
Daerah Kabupaten Kaur. Artinya, semakin tinggi kecerdasan emosional maka kinerja pegawai
akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional maka kinerja pegawai
juga akan semakin rendah..
2. Self-efficacy berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah
Kabupaten Kaur. Artinya, semakin tinggi self-efficacy maka kinerja pegawai juga akan semakin
tinggi. Sebaliknya, semakin rendah self-efficacy maka kinerja pegawai juga akan semakin rendah.
3. Kecerdasan emosional dan self-efficacy berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
pegawai di Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur. Artinya, semakin tinggi kecerdasan emosional
dan self-efficacy maka kinerja pegawai akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah
kecerdasan emosional dan self-efficacy maka kinerja pegawai juga akan semakin rendah.

Saran-saran

Saran yang didapat diberikan dari hasil penelitian ini supaya pegawai dapat berlatih dalam
menenangkan diri dalam keadaan kerja yang penuh tekanan, pegawai dapat menunjukkan tenang dan tetap
menyelesaikan tugas secara profesional. Saling berbagi cerita dengan rekan kerja juga akan meningkatkan
kontrol emosi untuk berpikir dengan lebih realistis, serta mendapatkan masukan yang mungkin tidak
pernah terpikirkan sebelumnya. Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur harus dapat mengantisipasi
kecurangan-kecurangan dalam hal disiplin kerja, khususnya masalah kehadiran (absensi) pada saat jam
istirahat dan pulang kerja. Banyak pegawai yang absen setelah waktu istirahat, setelah itu pulang ke
rumah dan absen kembali habis magrib. Sekretariat Daerah Kabupaten Kaur dapat menempatkan
CCTV di tempat absensi finger print, sehingga dapat melihat siapa dan waktu apa pegawai tersebut
mengabsen. Dengan demikian, pegawai akan merasa di awasi dan merasa takut untuk melanggar
aturan disiplin kerja.

1224 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Referensi
Abraham, R. (2014). Emotional intelligence in organizations: A conceptualization. Genetic, Social,
and General Psychology Monographs, 125(2), 209-219.
Amstrong, M. (2010). Human resource management. Great Britain and The United States: Kogan
Page Limited.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy :Toward a unifying theory of behavioral change. Psychology
Review, 84(15), 191-215.
Bandura, A. (2005). Self-efficacy the exercise of control. New York: W.H. Freemanand.
Dulewicz, V. (2014). Emotional intelligence: The key to future successful corporate leadership?.
Journal of General Management, 25(3), 1-14.
Feltz, D.L., Short, S.E. & Sullivan, P.J. (2008). Self-efficacy in sport. Champaign, IL: Human
Kinetics.
Fredrickson, B.L. (2001). The role of positive emotions in positive psychology: The broaden-and-
build theory of positive emotions. American Psychologist, 56(12), 218-226.
George, J.M. (2013). Emotions and leadership: The role of emotional intelligence. Human Relations,
53(8), 1027-1055.
Gharetepeh, A., Safari, Y. & Pashaei, T. (2015). Emotional intelligence as a predictor of self-efficacy
among students with different levels of academic achievement at Kermanshah University of
Medical Sciences. Journal of Advances in Medical Education & Professionalism, 3(2), 50-55.
Ghozali, I. (2006). Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Ginn., Treffinger, D.J. (2010). Research on creativity. Uyun: Gifted Child Quarterly..
Goleman, D. (1998). Working with emotional intelligence. New York: Bantam.
__________ (2001). An EI-based theory of performance. San Francisco: Cherniss.
__________ (2011). Leadership: The power of emotional intelligence: Northampton: More Than
Sound LLC.
Hirschi, A. (2012). Callings and work engagement: Moderated mediation model of work
meaningfulness, occupational identity, and occupational self-efficacy. Journal of
Counseling Psychology, 59(13), 479-485.
Jex, S.M. (2002). Organizational psychology: A scientist-practitioner approach. New York: John
Wiley & Sons.
Kumar, R. (2017). Impact of emotional intelligence on employees’ performance: A study of
employees working in himachal pradesh University Shimla. Human Resource Management
& Organizational Behavior eJournal, 7(2), 1-13.
Miller, M. (2009). Emotional intelligence helps managers succeed. Union Magazine, 65(3), 25-35.
Palmer, B., Walls, M., Burgess, Z. & Stough, C. (2011). Emotional intelligence and effective
leadership. Leadership and Organization Development Journal, 22(1), 5-10.
Pratama, A.Y. & Suhaeni, T. (2017). Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Kinerja Karyawan.
Jurnal Riset Bisnis & Investasi, 3(2), 51-62.
Salovey, P. et al. (2015). Emotional attention, clarity, and repair: Exploring emotional intelligence
using the trait metamood scale. Washington DC: Pennebaker.
Stajkovic, A.D. & Luthans, F. (1998). Self-efficacy and work-related performance: A meta-analysis.
Psychological Bulletin,124, 240-261.
Tims, M., Bakker, A. & Derks, D. (2014). Daily Job Crafting and The Self-efficacy – Performance
Relationship. Journal of Managerial Psychology, 29(5), 5-15.
Tzur, K.S., Ganzach, Y. & Pazy, A. (2016). On the positive and negative effects of self-efficacy on
performance: Reward as a moderator. Journal Human Performance, 22(5), 362-377.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 | 1225


Xanthopoulou, D., Bakker, A.B., Demerouti, E. & Schaufeli, W.B. (2007). The role of personal
resources in the job demands-resources model. International Journal of Stress Management,
1(4), 121-141.
Xanthopoulou, D., Bakker, A.B., Demerouti, E. & Schaufeli, W.B. (2009). Reciprocal relationships
between job resources, personal resources, and work engagement. Journal of Vocational
Behavior, 7(4), 235-244.

1226 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Terhadap Kinerja Karyawan P.T. Daria
Dharma Pratama di Kabupaten Mukomuko

Rezza Ade Satria1), Slamet Widodo2), Syamsul Bachri3)


Mahasiswa PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu1)
Dosen PS Magister Manajemen, Universitas Bengkulu2)

Abstract. The objective of this research to determine the influence of motivation and ability
toward employee’s performance at the Daria Dharma Pratama Company in the Mukomuko
Regency. This research is descriptive research type quantitative which is an examination of the
issues in the form of the current facts of a certain phenomenon using the calculation of statistical
figures. The type of the data were used is the primary data obtained through the distributing
questionnaire as data collect. The respondents of the this research is employees of the Daria Dharma
Pratama Company in Mukomuko Regency as many as 165 respondents. Methods of data analysis
used the descriptive analysis and multiple linear regression analysis. Based on field research,
obtained as a result that: (1) the motivation and ability have significant effect toward employee’s
performance at the Daria Dharma Pratama Company in the Mukomuko Regency. It’s means is if the
motivation and ability have increasing, will be increasing of employee’s performance at the Daria
Dharma Pratama Company in the Mukomuko Regency; (2) the motivation have significant effect
toward employee’s performance at the Daria Dharma Pratama Company in the Mukomuko Regency.
It’s means is if the motivation have increasing, will be increasing of employee’s performance at the
Daria Dharma Pratama Company in the Mukomuko Regency; and (3) the ability have significant
effect toward employee’s performance at the Daria Dharma Pratama Company in the Mukomuko
Regency. It’s means is if the ability have increasing, will be increasing of employee’s performance
at the Daria Dharma Pratama Company in the Mukomuko Regency.

Keywords: Motivation, Ability, Employees’ Performance.

Pendahuluan
Perkembangan organisasi akan terjadi jika sumber daya manusia (SDM) yang ada di
dalam organisasi berkontribusi maksimal dalam bidang pekerjan. Kontribusi SDM tersebut dapat
diketahui dari perilakunya yang diukur melalui kinerjanya. Artinya, jika organisasi ingin
berkembang dengan pesat, organisasi harus mempunyai sumber daya manusia yang dapat
menampilkan kinerja yang baik. Mangkunegara (2015) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Akan tetapi terkadang
ketidaksesuaian antara tanggung jawab dengan hasil yang diterima oleh karyawan juga menjadi salah
satu faktor menurunnya performa atau kinerja karyawan. Untuk itu, perlu adanya keseimbangan
antara tanggung jawab dengan hasil yang diterima oleh karyawan.
Kinerja SDM perlu ditunjang dengan peralatan dan fasilitas yang memadai, sehingga
karyawan mampu mencapai kinerja yang diharapkan bahkan lebih. Kinerja dapat diukur dengan dua

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1227


pengukuran yakni pengukuran pada pevel organisasi dan pengukuran pada level individu
(Sedarmayanti, 2014; Robbins, 2015). Pada level organisasi, pengukuran kinerja adalah dasar untuk
menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan, sesuai sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi. Pada level individu, pengukuran
kinerja berguna untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas-tugas anggota
organisasi (pegawai/karyawan) dalam periode waktu tertentu (Sedarmayanti, 2014).
Kinerja karyawan merupakan output dari aktivitas karyawan di dalam organisasi (Wibowo,
2018). Oleh karena itu, kinerja dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari internal individu dan faktor
eksternal individu. Faktor internal adalah faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri individu
itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang bersumber dari luar diri individu
tersebut (Dessler, 2017; Luthans, 2016). Dua faktor internal karyawan yang mempengaruhi
kinerja adalah motivasi dan kemampuan (Robbins, 2015; Dessler, 2017; Gibson, 2016).
Secara empiris, sejumlah penelitian telah memberi bukti bahwa motivasi dan kemampuan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Manik dan Sidharta (2017) memberi
bukti bahwa motivasi dan kemampuan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan
di lembaga sektor publik di Bandung. Begitupula Fahrurozi, Suharto dan Chaeriah (2017) memberi
bukti bahwa kemampuan dan motivasi mempengaruhi kinerja pegawai di Badan Pertanahan
Nasional Indonesia.
Motivasi kerja merupakan dorongan yang berasal dari internal (intrinsik) dan dari luar
(ekstrinsik) individu untuk melakukan aktivitas pekerjaan tertentu (Robbins, 2015; Dessler, 2017).
Motivasi menjadi pendorong seorang karyawan melaksanakan suatu pekerjaan guna mendapat hasil
yang terbaik (Luthans, 2016). Wibowo (2018) menjelaskan bahwa motivasi adalah dorongan
individu untuk bertindak yang menyebabkan individu tersebut berperilaku dengan cara tertentu yang
mengarah pada tujuan.
Motivasi yang tinggi menentukan sejauhmana kinerja yang akan dihasilkan oleh karyawan.
Dalam pelaksanannya, motivasi kerja yang tinggi terlihat dari orientasi karyawan dalam
melaksanakan pekerjaan, semangat dalam pekerjaan, datang dan pulang kerja sesuai jam kerja serta
mematuhi aturan di tempat kerja. Semua perilaku seperti ini berpengaruh pada kinerja individu
karyawan itu sendiri, yang juga berdampak pada kinerja organisasi (Robbins & Judge, 2017). Hasil
studi Mensah dan Tawiah (2015); Ghaffari, Shah, Burgoyne, Nazri dan Salleh (2017); dan
Kurniawan dan Sodikin (2018) memberikan bukti bahwa motivasi kerja memiliki efek positif pada
kinerja karyawan.
Selain motivasi, kemampuan kerja (work ability) juga mempengaruhi kinerja (Robbins, 2015;
Dessler, 2017; Gibson, 2016). Kemampuan kerja merupakan potensi yang ada dalam diri seseorang

1228 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


untuk berbuat, sehingga memungkinkan seseorang itu untuk dapat melakukan pekerjaan ataupun
tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut (Wibowo, 2016). Kemampuan juga merupakan
penilaian terkini atas apa yang dapat dilakukan oleh seseorang seperti sikap penilaian diri,
pengetahuan, dan penguasaan karyawan atas teknis pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang
diberikan (Robbins & Judge, 2017).
Kemampuan kerja merupakan kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai
tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan kerja dapat berupa bakat dan minat yang dimiliki oleh
karyawan, apabila karyawan mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan bakat yang dimiliki
serta menggunakannya secara tepat akan berpengaruh pada perkembangan perusahaan. Melalui
kemampuan yang dimilikinya, para karyawan dapat menjalankan dan menyelesaikan tugas
secara baik dengan hasil yang maksimal (Bangun, 2017). Studi Mensah dan Tawiah (2015);
Ghaffari, Shah, Burgoyne, Nazri dan Salleh (2017); dan Kurniawan dan Sodikin (2018) memberikan
bukti bahwa kemampuan kerja memiliki efek positif pada kinerja karyawan.
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa motivasi dan kemampuan kerja merupakan prediktif
kinerja individu. Pada penelitian ini, model yang diuji juga model pengaruh motivasi dan
kemampuan kerja terhadap kinerja karyawan. Pengujian model dilakukan pada karyawan P.T.
Daria Dharma Pratama (P.T. DDP) Kabupaten Mukomuko. Keberhasilan kinerja karyawan
P.T. DDP Kabupaten Mukomuko adalah pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi dari waktu ke
waktu.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah motivasi dan kemampuan karyawan secara bersama-sama berpengaruh
terhadap kinerja karyawan P.T. Daria Dharma Pratama?
2. Apakah motivasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan P.T. Daria Dharma Pratama?
3. Apakah kemampuan karyawan berpengaruh terhadap kinerja karyawan P.T. Daria
Dharma Pratama?

Tinjauan Pustaka
Kinerja
Teori untuk menjelaskan kinerja (job performance) adalah path goal theory. Teori ini
didefinisikan sebagai proses tingkah laku seseorang dalam mencapai tujuan dari pekerjaan. Teori ini
dikemukakan Locke dan Lewin’s pada Tahun 1987 (Robbins, 2015). Dalam teori tingkah laku
manusia banyak didasarkan untuk mencapai suatu tujuan. Path goal theory merupakan fungsi dari
facilitating process dan inhibiting process ((Meyer, Becker, Hautes, & Vandenberghe,

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1229


2004). Prinsip dasar teori ini adalah jika individu memandang kinerja yang tinggi itu merupakan
sebuah jalur (path) dalam memuaskan needs (goal) tertentu, maka individu tersebut akan bertindak
untuk mengikuti jalur tersebut sebagai bagian fungsi dari level of needs yang bersangkutan
(facilitating process) (Robbins, 2015).
Teori path goal dikembangkan dari teori atribusi atau expectancy theory
yang dikemukakan oleh Heider. Formulasi mengenai kinerja dirumuskan:
P=MxA
dimana:
P = Performance
M = Motivation
A = Ability

Konsep Heider tersebut menjadi sangat popular ketika Maiter, Lawler, Porter dan Vroom terus
melakukan pengkajian dan pembuktian (Wibowo, 2016). Menurut teori ini kinerja adalah
hasil interaksi antara motivasi dengan ability (kemampuan). Dengan demikian, orang yang
tinggi motivasinya tetapi memilki ability yang yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang
tinggi. Begitu pula halnya dengan orang yang mempunyai motivation dan ability rendah akan rendah
kinerjanya.
Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai dalam bidang pekerjaan. Kinerja berasal dari kata
performance. Ada pula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi
kerja, namun kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja termaksut
bagaimana proses perkerjaan berlangsung (Wibowo, 2016). Kinerja adalah hasil aplikasi kombinasi
antara sustaining dan accelerating leadership behavior (Amstrong, 2010). Kinerja individu
mengacu pada prestasi kerja individu yang diatur berdasarkan standar atau kriteria yang telah
ditetapkan oleh suatu organisasi. Kinerja individual yang tinggi dapat meningkatkan kinerja
organisasi secara keseluruhan (Robbins, 2015).
Kinerja merupakan tolak ukur keberhasilan dari pencapaian tujuan organisasi. Griffin (2016)
mengatakan bahwa kinerja merupakan alat yang dapat membantu seluruh komponen organisasi
dalam mencapai hasil yang diharapkan ke depan dan membantu mengukur kesuksesan para pekerja
dalam pekerjaannya. Menurut Dessler (2017) kinerja karyawan dapat diukur enam aspek
pengukuran, yakni:
1) Kuantitas kerja, yang mengacu pada pada jumlah produksi atau hasil kerja.
2) Kualitas kerja, yang mengacu pada akurasi dan marjin kesalahan.
3) Kehadiran, yang mengacu pada ketaatan pada jadwal kerja yang
ditetapkan.
4) Tanggung jawab, yang mengacu pada penyelesaian tugas.

1230 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


5) Ketepatan waktu, yang mengacu pada ketepatan penyelesaian tugas.
6) Kerjasama, yang mengacu pada kerjasama dan komunikasi dengan rekan kerja

Menurut Moeheriono (2016) pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang
digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas, serta untuk
menilai pencapaian tujuan dan saran (goals and objectives). Indikasi pengukuran kinerja terdiri dari
kemajuan pekerjaan, efsiensi dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan organisasi.
Penelitian Mensah dan Tawiah (2015) menggunakan indikator-indikator pengukuran kinerja
karyawan sebagai berikut:
1) Kualitas. Tingkat dimana hasil aktivitas yang akan dilakukan mendekati sempurna dalam
arti penyesuaian beberapa cara ideal dari penampilan aktivitas ataupun memenuhi
tujuan-tujuanyang diharapkan dari suatu aktivitas. Indikator pengukuran kualitas hasil
kerja adalah:
a. Hasil kerja sesuai standar
b. Hasil tidak memiliki risiko
c. Hasil kerja tidak ada yang salah
d. Kerapian hasil kerja
e. Kelengkapan hasil kerja
f. Akurasi hasil kerja
2) Kuantitas. Jumlah yang dihasilkan, dinyatakan dalam istilah-istilah seperti dollar, jumlah
unit, jumlahsiklus aktivitas yang diselesaikan. Indikator pengukuran kuantitas hasil kerja
adalah:
a. Dapat menyelesaikan beberapa tugas
b. Banyak tugas yang dikerjakan
c. Dapat melaksanakan pekerjaan
d. Dapat melaksanakan tugas administratif

3) Kehadiran. Kehadiran adalah frekuensi kehadiran di tempat tugas dan melaksanakan


tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Indikator pengukuran kehadiran adalah:
a. Tingkat absensi
b. Taat pada jam pulang
c. Taat pada jam masuk
d. Kehadiran pada acara-acara organisasi
e. Kehadiran jika dibutuhkan organisasi

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1231


4) Tanggung jawab. Tingkat pelaksanaan aktivitas dilakukan sesuai dengan penuh rasa
tanggung jawab penuh. Indikator pengukuran tanggung jawab adalah:
a. Menyelesaikan pekerjaan
b. Membuat laporan pekerjaan
c. Mempertangungjawabkan hasil kerja
d. Bekerja dengan semangat
e. Tidak mudah menyerah
f. Menyukai tantangan kerja

5) Ketepatan waktu. Tingkat suatu aktivitas diselesaikan pada waktu awal yang diinginkan,
dilihat dari suatu koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia
untuk aktivitas lain. Indikator ketepatan waktu adalah:
a. Tepat waktu dalam menyelesaikan tugas
b. Tepat waktu dalam evaluasi pekerjaan
c. Tepat waktu menyampaikan laporan

6) Kerjasama. Tingkat dimana pegawai mengemukakan perasaan harga diri, jasa baik dan
kerja samaantara rekan kerja di unit kerjanya. Indikator pengukuran kerjasama adalah:
a. Menjaga hubungan komunikasi
b. Kerjasama dengan tim kerja
c. Kerjasama dengan orang di luar organisasi
d. Koordinasi dalam pekerjaan
e. Tepat waktu dalam menentukan prioritas pekerjaan

Motivasi Kerja
Motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk
mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Sikap dan nilai tersebut merupakan
suatu kekuatan untuk mendorong individu bertingkah laku dalam mencapai tujuan. Dorongan
tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu: arah perilaku kerja (kerja untuk mencapai tujuan) dan
kekuatan perilaku (sebagai kuat usaha individu dalam bekerja) (Luthans, 2016). Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Robbins (2015) bahwa motivasi sebagai proses yang menjelaskan
intensitas, arah dan ketekunan seseorang individu untuk mencapai tujuan.
Menurut Griffin (2013) motivasi adalah serangkaian kekuatan yang menyebabkan orang-
orang berperilaku dengan cara tertentu. Manajer berjuang untuk memotivasi orang-orang dalam
organisasi untuk berkinerja pada tingkat tinggi. Hal ini berarti, menyuruh mereka bekerja keras,
datang ke tempat kerja secara teratur dan memberikan kontribusi positif pada misi organisasi. Sejalan

1232 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


dengan pendapat tersebut, Widodo (2015) mengungkapkan bahwa motivasi adalah kekuatan yang
ada dalam seseorang, yang mendorong perilakunya untuk melakukan tindakan.
Dalam teori motivasi Herzberg (Luthans, 2016) motivasi diidentifikasi menjadi dua jenis
motivasi, yakni motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Uraian dua jenis motivasi tersebut
diuraikan berikut ini
1) Motivasi instrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang mendorong seseorang untuk berprestasi
yang bersumber dari dalam diri individu tersebut, yang lebih dikenal dengan faktor
motivasional. Menurut Herzberg yang dikutip oleh Luthans (2016), yang tergolong
sebagai faktor motivasional antara lain:
1. Achievement (keberhasilan). Keberhasilan seorang karyawan dapat dilihat dari prestasi
yang diraihnya agar sesorang karyawan dapat berhasil dalam melakasanakan
pekerjaannya, maka pemimpin harus mempelajari bawahannya dan pekerjaannya
dengan memberikan kesempatan kepadanya agar bawahan dapat berusaha mencapai
hasil yang baik. Bila bawahan terlah berhasil mengerjakan pekerjaannya, pemimpin
harus menyatakan keberhasilan itu.
2. Recognition (pengakuan/penghargaan). Sebagai lanjutan dari keberhasilan
pelaksanaan, pimpinan harus memberi pernyataan pengakuan trhadap keberhasilan
bawahan dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
a) Langsung menyatakan keberhasilan di tempat pekerjaannya, lebih baik dilakukan
sewaktu ada orang lain
b) Surat penghargaan
c) Memberi hadiah berupa uang tunai
d) Memberikan medali, surat penghargaan dan hadiah uang tunai e)
Memberikan kenaikan gaji promosi
3. Work itself (pekerjaan itu sendiri). Pimpinan membuat uasaha-usaha ril dan
meyakinkan, sehingga bawahan mengerti akan pentingnya pekerjaan yang
dilakukannya dan usaha berusaha menghindar dari kebosanan dalam pekerjaan
bawahan serta mengusahakan agar setiap bawahan sudah tepat dalam pekerjaannya.
4. Responsibility (tanggung jawab). Agar tanggung jawab benar menjadi faktor
motivator bagi bawahan, pimpinan harus menghindari supervise yang ketat, dengan
membiarkan bawahan bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan
menerapkan prinsip partisipasi.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1233


Diterapkannya prinsip partisispasi membuat bawahan sepenuhnya
merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya.
5. Advencement (pengembangan). Pengembangan merupakan salah satu faktor
motivator bagi bawahan. Faktor pengembangan ini benar-benar berfungsi sebagai
motivator, maka pemimpin dapat memulainya dengan melatih bawahannya untuk
pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. Bila ini sudah dilakukan selanjutnya
pemimpin member rekomendasi tentang bawahan yang siap untuk pengembangan,
untuk menaikkan pangkatnya, dikirim mengikuti pendidikan dan pelatihan lanjutan.

2) Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang bersumber dari luar diri yang turut menentukan
perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang yang dikenal dengan teori hygiene factor.
Menurut Herzberg yang dikutip oleh Luthans (2016), yang tergolong sebagai hygiene
factor antara lain:
1. Policy and administration (kebijakan dan administrasi). Yang menjadi sorotan disini
adalah kebijaksaan personalia. kantor personalia umumnya dibuat dalam bentuk
tertulis. Biasanya yang dibuat dalam bentuk tertulis adalah baik, karena itu yang utama
adalah bagaimana pelaksanaan dalam praktek. Pelaksanaan kebijakasanaan dilakukan
masing masing manajer yang bersangkutan. Dalam hal ini supaya mereka berbuat
seadil-adilnya.
2. Quality supervisor (supervisi). Dengan technical supervisor yang menimbulkan
kekecewaan dimaksud adanya kurang mampu dipihak atasan, bagaimana caranya
mensupervisi dari segi teknis pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya atau
atasan mempunyai kecakapan teknis yang lebih rendah dari yang diperlukan dari
kedudukannya. Untuk mengatasi hal ini para pimpinan harus berusaha memperbaiki
dirinya dengan jalan mengikuti pelatihan dan pendidikan.
3. Interpersonal relation (hubungan antar pribadi). Inteprsonal relation menunjukkan
hubungan perseorangan antara bawahan dengan atasannya, dimana kemungkinan
bawahan merasa tidak dapat bergaul dengan atsannya. Agar tidak menimbulkan
kekecewaaan karyawan, maka minimal ada tiga kecakapan harus dimiliki setiap atasan
yakni:
a) Technical skill (kecakapan teknis). Kecakapan ini sangat bagi pimpinan
tingkat terbawah dan tingkat menengah, ini meliputi kecakapan menggunakan

1234 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


metode dan proses pada umumnya berhubungan dengan kemampuan
menggunakan alat.
b) Human skill (kecakapan kemanusiaan) adalah kemampuan untuk bekerja di
dalam atau dengan kelompok, sehinnga dapat membangun kerjasama dan
mengkoordinasikan berbagai kegiatan.
c) Conseptual skill (kecakapan konseptual) adalah kemampuan memahami kerumitan
organisasi sehingga dalam berbagai tindakan yang diambil tekanan selalu dalam
uasaha merealisasikan tujuan organisasi keseluruhan.
4. Working Condition (kondisi kerja). Masing-masing manejer dapat berperan
dalam berbagai hal agar keadaan masing-masing bawahannya menjadi lebih sesuai.
Misalnya ruangan khusus bagi unitnya, penerangan, perabotan suhu udara dan kondsi
fisik lainnya. Menurut Hezberg seandainya kondisi lingkungan yang baik dapat
tercipta, prestasi yang tinggi dapat tercipta, prestasi tinggi dapat dihasilkan melalui
kosentrasi pada kebutuhan-kebutuhan ego dan perwujudan diri yang lebih tinggi.
5. Wages (gaji). Pada umumnya masing-masing manajer tidak dapat menentukan sendiri
skala gaji yang berlaku di dalam unitnya. Namun demikian masing-masing manajer
mempunyai kewajiban menilai apakah jabatan-jabatan di bawah pengawasannya
mendapat kompensasi sesuai pekerjaan yang mereka lakukan. Para manajer harus
berusaha untuk mengetahui bagaimana jabatan di dalam kantor diklasifikasikan dan
elemen-elemen apa saja yang menentukan pengklasifikasian itu.

Kemampuan Kerja

Kemampuan adalah sifat yang dibawa dari lahir atau dipelajari yang memungkinkan
seseorang menyelesaikan pekerjaannya (Wibowo, 2016).
Seseorang yang memiliki kemampuan berarti akan sanggup melakukan tugas- tugas yang
dibebankan kepadanya. Seperti yang diungkapkan oleh Robbins (2015) bahwa kemampuan (ability)
adalah kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kreitner dan
Kinicki (2007) mendefinisikan kemampuan yaitu karakteristik stabil yang berkaitan dengan
kemampuan maksimum fisik dan mental seseorang.
Hersey dan Blanchard (2011) kemampuan kerja terdiri dari tiga komponen dasar, yakni:
1) Technical skill, yang meliputi pengetahuan, metode, mekanisme dan pemahaman
yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan dan pelatihan.
2) Social skill, yang meliputi aspek motivasi dan kepemimpinan.

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1235


3) Conceptual skill, yang meliputi pemahaman mengenai kompleksitas tugas di dalam
organisasi.
Sejalan dengan pendapat sebelumnya, mangkunegara (2016) mengemukakan dua komponen
dalam kemampuan kerja karyawan, yakni: 1) pengetahuan (knowledge) yang merupakan kemampuan
yang didapatkan dari pemahaman, proses belajar dan pengalaman dari pekerjaan individu itu
sendiri dan 2) keterampian (skill) yang merupakan kemampuan karyawan dalam penyelesaian tugas
yang diperoleh dari pengalaman kerja masa lalu.
Selanjutnya, Robbins (2015) mengemukakan dua faktor dalam pengukuran kemampuan kerja
karyawan, yakni:
1) Kemampuan intelektual
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan
mental, seperti berpikir, menalar, dan memecahkan masalah. Menurut Robbins (2015)
kemampuan intelektual adalah kemampuan yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan mental
(Robbins, 2003). Tes IQ, misalnya dirancang untuk memastikan kemapuan intelektual untuk
seseorang. Biasanya test IQ ini sering digunakan sebagai bahan untuk menguji dan menyeleksi
seseorang apabila ingin melanjutkan pendidikan atau mendapatkan pekerjaan. Kemampuan
intelektual diketahui dari indikator:
a) Kecerdasan. Kecerdasan adalah kemampuan untuk melakukan pekerjaan menggunakan
kemampuan otak, seperti kemampuan numerik, kemampuan verbal dan kecepatan
perseptual.
b) Penalaran. Penalaran adalah kemampuan menelaah sesuatu secara cepat dari berbagai
sumber informasi. Penalaran meliputi: penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi
ruang dan ingatan.

2) Kemampuan fisik

Kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas


yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan yang semacamnya. Kemampuan fisik
adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan yang menuntut stamina, kecekatan,
kekuatan dan keterampilan serupaJadi kemampuan ini lebih pada menuntut stamina dan
ketangkasan dalam menyelesaikan setiap pekerjaannya. Kemampuan fisik dapat diketahui dari
indokator:
a) Kekuatan. Kekuatan adalah kemampuan menggunakan tenaga dalam tubuh dalam
melaksanakan pekerjaan. Kekuatan terdiri dari: kekuatan dinamis, kekuatan tubuh,
kekuatan verbal, kekuatan statis dan stamina.

1236 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


b) Keluwesan. Keluwesan kemampuan bergerak dalam melaksanakan aktivitas fisik.
Keluwesan terdiri dari keluwesan extent, keluwesan dinamis, koordinasi tubuh dan
keseimbangan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan kemampuan kerja
karyawan, pengukuran kemampuan kerja karyawan pada penelitian ini didasarkan pada pendapat
Robbins (2015), terdiri dari kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.

Kerangka Analisis
Kerangka analisis merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan
faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal penting (Sekaran, 2006). Penelitian ini bertujuan
mengetahui pengaruh motivasi dan kemmapuan terhadap kinerja karyawan. Model penelitian
diambil dari konsep teori path goal dikembangkan Heider Tahu 1982. Formulasi mengenai
kinerja dirumuskan dengan P = M x A. Menurut teori ini kinerja adalah hasil interaksi antara
motivasi dengan ability (kemampuan). Dengan demikian, orang yang tinggi motivasinya tetapi
memilki ability yang yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang tinggi. Begitu pula halnya
dengan orang yang mempunyai motivation dan ability rendah akan rendah kinerjanya.
Dari pemaparan di atas, maka kerangka analisis dari penelitian Pengaruh motivasi dan
kemampuan karyawan terhadap kinerja karyawan adalah:

Gambar 1. Kerangka Analisis

Pengembangan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Jawaban tersebut
baru didasarkan pada teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh
melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2016). Hipotesis juga didefinisikan sebagai hubungan yang
diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1237


pernyataan yang dapat diuji. Dengan menguji hipotesis dan menegaskan perkiraan hubungan,
diharapkan dapat ditemukan sebuah solusi terhadap sebuah masalah (Sekaran, 2009).
Pada penelitian, hipotesis alternative (Ha) dikembangkan dari konsep utama dan hasil studi
empiris yang memperkuat konsep utama, yakni pengaruh motivasi dan kemampuan kerja terhadap
kinerja karyawan. Pemaparan hipotesis alternatif dipaparkan berikut ini.
H1 : Motivasi dan kemampuan karyawan berpengaruh terhadap kinerja karyawan
H2 : Motivasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan
H3 : Kemampuan karyawan berpengaruh terhadap kinerja karyawan

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Hasil Analisis Data
Analisis Regresi linear berganda digunakan untuk menguji hipotesis pengaruh secara bersama-
sama dan parsial antara variabel independen terhadap dependen. Berdasarkan estimasi regresi linear
berganda dengan menggunakan program SPSS Versi 207,0 for Windows, seperti terangkum pada
tabel 5.
Tabel 1. Analisis Regresi Linear Berganda
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) -17.444 3.205 -5.444 .000
Motivasi Kerja 1.359 .092 .731 14.730 .000
Kemampuan Kerja .230 .060 .189 3.803 .000
Sumber: Hasil penelitian 2020, diolah

Berdasarkan Tabel 1. dapat dikatehui persamaan regresi yang diperoleh adalah:


Y =17,444 + 1,359X1 + 0,230X2
Berdasarkan persamaan di atas, diketahui bahwa nilai konstanta (a) sebesar -17,444
menunjukkan bahwa jika diasumsikan motivasi kerja dan kemampuan kerja karyawan P.T. Daria
Dharma Pratama Region Bengkulu sama dengan nol (0), maka kinerja karyawan akan cenderung
menurun sebesar 17,444. Oleh karena itu, untuk menjaga kinerja karyawan semakin menurun upaya
perusahaan adalah meningkatan kemampuan kerja dan motivasi kerja karyawan ke tingkat yang lebih
tinggi.
Selanjutnya, nilai koefisien regresi variabel motivasi kerja (b1) sebesar 1,359. Hasil ini
memberikan arti bahwa jika motivasi kerja karyawan meningkat, maka kinerja karyawan P.T. Daria
Dharma Pratama Region Bengkulu juga akan mengalami peningkatan. Karyawan yang memiliki

1238 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


motivasi kerja yang tinggi akan dapat meningkatkan kinerjanya, sehingga berdampak pada kinerja
perusahaan.
Nilai koefisien regresi variabel kemampuan kerja (b2) sebesar 0,230. Hasil ini memberikan arti
bahwa jika kemampuan kerja karyawan meningkat, maka kinerja karyawan P.T. Daria Dharma
Pratama Region Bengkulu juga akan mengalami peningkatan. Kemampuan Kerja yang tinggi
akan mendukung pencapaian kinerja yang telah ditetapkan.
Kemudian, dari hasil analisis data, diperoleh nilai koefisien determinasi sebagai ditampilkan
pada Tabel 7.

Tabel 2. Nilai Koefisien Determinasi (R2)


Model Std. Error of the
R R Square Adjusted R Square Estimate
1 .849a .720 .717 1.93449

Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,720. Hasil ini memberikan arti
bahwa motivasi kerja dan kemampuan dalam menjelaskan kinerja karyawan P.T. Daria Dharma
Pratama Region Bengkulu sebesar 72%. Sedangkan sisanya 28% dipengaruhi oleh faktor lain yang
tidak diteliti. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ghozali (2012) yang menyebutkan bahwa

koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam
menerangkan variabel terikat, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar model.

Hasil Pengujian Hipotesis


Untuk mengetahui tingkat signifikan pengaruh variabel bebas secara bersama- sama terhadap
variabel terikat digunakan uji F. Sedagkan untuk pengujian pengaruh secara parsial (sendiri-
sendiri) digunakan uji t. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh nilai F-hitung dan nilai p-
valuenya sebagaimana terangkum pada Tabel 8.
Tabel 3. Hasil Uji F
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 1559.328 2 779.664 208.340 .000a
Residual 606.247 162 3.742
Total 2165.576 164
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa koefisien uji F diperoleh sebesar 208,340 dengan tingkat
kepercayaan 95%. Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikan (p-value) 0,000 <
0,05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara bersamaan motivasi kerja dan kemampuan
berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan P.T. Daria Dharma Pratama Region Bengkulu.
Pengertian lain dari pengujian ANOVA adalah menguji kelayakan model (model goodness of fit).

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1239


Nilai signifikansi (p-value) yang diperoleh sebesar 0,000< alpha 0,05 memberikan arti bahwa moder
regresi yang digumakan tepat atau layak (fit).
Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat signifikan pengaruh motivasi kerja dan kemampuan
terhadap kinerja karyawan P.T. Daria Dharma Pratama Region Bengkulu digunakan pengujian
individual (uji t). Pengambilan keputusan diperoleh dengan membandingkan nilai p-value dengan
alpha 0,05. Jika nilai p-value < alpha 0,05, maka terdapat pengaruh signfikan antara variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial.
1) Nilai p-value variabel motivasi kerja sebesar 0,000. Nilai tersebut lebih kecil dari
0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja berpengaruh signifikan
terhadap kinerja karyawan P.T. Daria Dharma Pratama Region Bengkulu.
2) Nilai p-value variabel kemampuan sebesar 0,000. Nilai p-value 0,000 < 0,05,
sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpengaruh signifikan terhadap kinerja
karyawan P.T. Daria Dharma Pratama Region Bengkulu.

Implikasi Strategis
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, variabel motovasi dan kemampuan berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kinerja karyawan P.T. Daria Dharma Pratama Region Bengkulu. Hasil ini
bermakna bahwa jika motivasi dan kemampuan kerja karyawan semakin meningkat, maka kinerja
yang dihasilkan pun semakin meningkat. Hal ini berarti bahwa kinerja yang baik akan dipengaruhi
oleh dua hal yaitu motivasi dan tingkat kemampuan kerja yang baik.
Dari hasil penelitian tersebut, maka implikasi dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Meningkatkan motivasi kerja karyawan.
Meningkatkan motivasi kerja karyawan untuk mencapai prestasi kerja yang tinggi dengan
mendorong pegawai untuk dapat bekerja secara maksimal dengan cara:
a) Menempatkan pegawai atau memberikan tugas kepada karyawan sesuai dengan
kemampuannya
b) Memberikan kewenangan penuh pada tugas yang telah menjadi tanggungjawab
karyawan.
c) Memberikan pengembangan kepada karyawan sesuai dengan tanggungjawab
dan prestasinya.
2) Meningkatkan kemampuan kerja karyawan.

1240 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020


Meningkatnya pengetahuan kerja pegawai yang ditunjukkan dengan meningkatnya
wawasan berfikir, pengetahuan konseptual, pengetahuan tentang pekerjaan,
pengetahuan penyelesaian pekerjaan, dan peningkatan kapasitas individu secara umum.
a) Pendidikan dan pelatihan harus selalu dilakukan karena merupakan kegiatan strategis
dalam peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan pegawai dalam
melaksanakan tugas-tugasnya.
b) Program pendidikan dan pelatihan disesuaikan dan berkaitan langsung dengan tugas-
tugas pegawai, sehingga hasil pekerjaan yang ditekuni saat ini dapat diaplikasikan di
tempat kerja.
c) Pembagian jadwal dan personil yang akan mengikuti program pekerjaan yang ditekuni
saat ini secara baik dan proporsional, agar setiap pegawai memiliki kemampuan kerja
yang seragam sehingga pegawai dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat
dengan baik.

Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1) Motivasi dan kemampuan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan
P.T. Daria Dharma Pratama Region Bengkulu. Artinya, jika motivasi dan kemampuan kerja
karyawan semakin meningkat maka kinerja karyawan akan meningkat.
2) Motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan P.T. Daria
Dharma Pratama Region Bengkulu. Artinya, jika motivasi semakin meningkat maka kinerja
karyawan akan meningkat.
3) Kemampuan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan P.T.
Daria Dharma Pratama Region Bengkulu. Artinya, jika kemampuan kerja semakin
meningkat maka kinerja karyawan akan meningkat.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Meningkatkan motivasi karyawan dengan cara memberikan penghargaan atas keberhasilan
kerja yang dilakukan oleh karyawan, sehingga karyawan merasa dihargai atas setiap pekerjaan
yang dilakukannya
2. Memberikan fasilitas yang memadai pada karyawan sehingga karyawan dapat bekerja dengan
baik dan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya tepat waktu

Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020 |1241


3. Memberikan gaji yang layak kepada karyawan agar karyawan merasa puas dan terus
semangat dalam bekerja
4. Meningkatkan kemampuan kerja dengan memberikan pelatihan-pelatihan dan program
pengembangan agar karyawan lebih memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih baik
sehingga kemampuannya meningkat baik itu intelektual maupun fisik
5. Memberikan waktu istirahat yang cukup agar karyawan memiliki stamina yang stabil.

Referensi
Bangun, Wilson (2017). Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: Andi offset.
Dessler, G. (2017). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Prenhalindo.
Fahrurozi, D. Suharto & Chaeriah, E.S. (2017). The influence of working ability and work
environment to the performance of civil servants by motivation of employees work
information defense of land arrangement Indonesia. International journal of
multidisciplinary research and development, 4 (12), 163-171.
Ghaffari, S., Shan, I.M., Burgoyne, D, Nazri, M. & Salleh, J.R. (2017). The influence of
motivation on job performance: A case study at University Teknologi Malaysia. Australian
journal of basic and applied sciences, 11(4), 92-99.
Ghozali, I. (2012). Aplikasi analisis multivariat dengan program IBM SPSS 21 (edisi 8). Semarang:
Universitas Diponegoro.
Gibson, J.L. (2016). Organizations behavior, structure, processes (14th ed.) New York: McGraw-
Hill
Hersey & Blanchard (2011). Human resourses management. New Jersey: McGraw Hill
Kreitner, R. & Kinicki, A. (2007). Organizational behavior (7th ed). New York : Mc Graw Hill.
Kurniawan, D.A., Guwandi & Sodikin, A. (2018). The effect competence and motivation on
employee performance through employees capabilitatieson PT. Biasinar Amity. International
journal of research science & management, 5 (5), 48-60.
Luthans, F. (2016). Perilaku organisasi. Jakarta: Prenhalindo.
Mangkunegara, A.A.P. (2015). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
___________________(2016). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rivai, V. (2011). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Grafindo Persada.
Robbins, S.P. (2003). Perilaku organisasi (edisi bahasa Indonesia). Jakarta: Indeks, Kelompok
Gramedia.
____________(2015). Perilaku organisasi. Jakarta: Indeks, Kelompok Gramedia.
Robbins, S.P. & Judge, T. (2017). Prinsip-prinsip perilaku organisasi. Jakarta: Erlangga.
Sekaran, U. (2006). Research methods for business (edisi 2). Jakarta: Salemba Empat
__________ (2009). Research methods for business (edisi 4). Jakarta: Salemba Empat
Wibowo. (2016). Manajemen kinerja. Jakarta: Rajawali Pers.
_______ (2018). Manajemen kinerja. Jakarta: Rajawali Pers.
Widodo. (2015). Manajemen kinerja. Jakarta: Rajawali Press.

1242 | Volume 3 | Number 6 | Agustus 2020

Anda mungkin juga menyukai