Anda di halaman 1dari 9

Nama : Deva Etna Meliana

NIM : 180331616060

ANALISIS JURNAL INTERNASIONAL (Q1): JURNAL STUDIES IN SCIENCE


EDUCATION

2019 Five-Year Impact Factor: 5.815


2019 Impact Factor: 3.7
Ranking: 12/263 (Education & Educational Research), 4/41 (Education, Scientific Disciplines)
SJR: 2.319
H-index: 42
2019 CiteScore 6.3 - values from Scopus

Models of Conceptual Change in Science Learning: Establishing


an Exhaustive Inventory Based on Support Given by Articles
Published in Major Journals

Masalah kesulitan khusus yang muncul saat ini yaitu mengenai 'membangun ide-ide baru
dalam konteks yang lama' (diSessa, 2006, hlm. 265), hal ini telah ada cukup lama dalam literatur
psikologi pendidikan dan pendidikan. Guru masih membutuhkan solusi konkrit, efektif dan
efisien atas kesulitan pedagogis dan miskonsepsi yang muncul di kelasnya. Oleh karena itu,
pengembangan bidang penelitian perubahan konseptual tetap penting untuk peningkatan
pendidikan sains dan dengan demikian untuk semua manfaat yang menyertainya, baik di tingkat
ekonomi, sosial, lingkungan, dan sebagainya.
Model-model perubahan konseptual ini sangat penting dalam memahami lapangan karena
memberikan ilustrasi konkret dari ide-ide utama yang dianggap fundamental oleh penulis serta
memberikan strategi pendidikan yang efektif. Namun, meskipun model semacam itu biasanya
ditemukan dalam tinjauan komprehensif dan di bagian pendahuluan dan latar belakang artikel
penelitian, tidak mudah untuk mengevaluasi perkiraan bobot dan tingkat pengenalan yang
diterima masing-masing model ini, juga tidak mudah untuk mengevaluasi jumlah total mereka.
Karena belum ada evaluasi sistematis dari tingkat dukungan yang diberikan kepada masing-
masing model CC yang telah dilakukan, penyebutan model dalam publikasi tidak lebih dari
sekadar argumen anekdot yang mendukung nilainya.
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu;1) Pemilihan artikel untuk korpus, 2)
Pengembangan dan validasi rubrik dan panduan, 3) Analisis korpus, 4) Pengembangan daftar model CC
secara bersamaan. Kemudian dari penellitian ini diperoleh beberapa hasil diantaranya; 1) deskripsi
korpus. Korpus terakhir berisi 245 artikel (186/245 artikel adalah tentang penelitian empiris dan 59/245
secara eksklusif bersifat teoritis), didistribusikan di lima jurnal terkaya (dalam hal artikel yang relevan),
2) Dukungan untuk model (Q1 & Q2), sebagian besar dukungan diberikan melalui penyebutan eksplisit
(40,5%), diikuti oleh penyebutan implisit (19,5%), 3) Sebutan eksplisit (Q1a & Q2a), 4) Sebutan implisit
(Q1b & Q2b), 5) Pernyataan posisi yang menguntungkan (Q1 c & Q2 c), 6) Pernyataan posisi yang tidak
menguntungkan (Q1d & Q2d), 7) Konfirmasi empiris (Q1e & Q2e), 8) Sanggahan empiris (Q1 f & Q2 f),
9) Daftar model CC (Q3).
Dalam studi review ini, penulis menganalisis 245 artikel untuk mengevaluasi dukungan yang
diberikan oleh literatur untuk masing-masing model CC yang direkam sepanjang sejarah lapangan (1980-
an dan seterusnya). Analisis ini telah memberi kita sekilas tentang kepentingan relatif dari semua model
CC dan kemungkinan lintasannya sebagai kemungkinan yang kredibel di mata penulis. Hasilnya
menunjukkan bahwa sebagian besar dukungan biasanya berpusat di sekitar enam atau tujuh model,
sedangkan sisanya biasanya berbagi sisanya. Model-model ini, dalam urutan menurun dari dukungan
mereka yang terekam: Model umum perubahan konseptual Posner et al. (1982), modifikasi model Mental
Vosniadou (1994), pergeseran kategori Ontologis Chi (1994), hampir terikat dengan tangkapan
Konseptual Hewson dan Pertukaran konseptual (1980), Pintrich et al. Beyond Cold Conceptual Change
(1993), Reorganisasi P-prim diSessa (1993), dan Kategorisasi Penalaran Epistemologis Mahasiswa Driver
et al (1996). Di antara model-model ini, yang dikembangkan pada awal 1990-an tampaknya menguasai
model yang muncul pada 1980-an.
Sejumlah besar model CC yang telah diusulkan dapat menimbulkan kebingungan dan mungkin
dapat menghambat sintesis dan kejelasan resep pedagogis / didaktik. Oleh karena itu, penulis yakin
bahwa upaya yang lebih besar dapat dilakukan untuk menemukan konstanta yang ada di semua model ini,
dan untuk menyoroti komponennya yang telah menjadi subjek konfirmasi atau sanggahan terbaik atau
paling sering. Penting untuk diingat bahwa siswa dan guru masih menunggu rekomendasi yang realistis
dan lebih efektif. Analisis ini memungkinkan penulis untuk menawarkan daftar hierarki. Isi dan urutan
elemen yang menyusun daftar ini tetap dapat diperdebatkan. Penulis berharap pembaca akan merasakan
manfaatnya, dan mereka akan mampu menafsirkan informasi dengan cara yang konvergen tetapi asli.
Hasil ini diharapkan akan membantu untuk lebih memahami bidang dan keadaan dan tren saat ini, dan
pada akhirnya memungkinkan peneliti untuk menempatkan pemahaman mereka sendiri tentang fenomena
perubahan konseptual dalam spektrum proposisi yang tersedia, karena ini kurang lebih didukung oleh
masyarakat.
ANALISIS JURNAL INTERNASIONAL (Q2): JURNAL PENDIDIKAN IPA
INDONESIA

Two-Year Impact Factor: 1.95


SJR: 0.450
H-index: 12
2019 CiteScore 2.7 - values from Scopus

COMPARISON OF STUDENTS’ SCIENTIFIC LITERACY IN INTEGRATED


SCIENCE LEARNING THROUGH MODEL OF GUIDED DISCOVERY AND
PROBLEM BASED LEARNING

Tujuan utama dari kurikulum pendidikan sains adalah untuk memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk menggunakan pemahaman mereka tentang sains dalam debat publik, membuat
informasi dan keputusan yang seimbang tentang masalah sosiologi yang mempengaruhi kehidupan
mereka (American Association for the Advencement of Science, 2000). Pemikiran ini mendasari gagasan
literasi ilmiah. Robert (dalam Dawson & Venville, 2009) menjelaskan bahwa literasi sains adalah nilai
kehidupan siswa, terlepas dari karir dan kebutuhan ilmiahnya. Pentingnya literasi sains dalam pendidikan
sains telah dijabarkan, oleh karena itu literasi sains telah diakui secara internasional sebagai tolak ukur
tingkat kualitas pendidikan sains.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, mayoritas pengembangan literasi sains siswa dilakukan
dengan menggunakan masalah sosiologi melalui proses pembelajaran. Namun, di artikel ini para peneliti
mencoba mengeksplorasi perkembangan tersebut literasi ilmiah siswa melalui integrasi pembelajaran
dengan menggunakan model berbasis literasi sains. Model itu dipandu penemuan dan masalahmodel
pembelajaran berbasis (PBL). Penemuan terpandu model dipilih untuk inkuiri dalam pembelajaran
Langkah. Langkah inkuiri cocok untuk melatih kompetensi/ domain literasi ilmiah. Sedangkan PBL
model dipilih karena dapat berkembang keterampilan berpikir kritis siswa. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan perbandingan peningkatan literasi sains siswa dalam pembelajaran IPA terintegrasi
melalui model pembelajaran guided dicovery dan problem based learning.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu dengan desain Non
Randomaized Static Group Pretest-Posttest Design. Penggunaan desain ini dimaksudkan untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap subjek penelitian (Fraenkel et al., 2012). Populasi penelitian
adalah seluruh siswa SMP Negeri di Bandung tahun pelajaran 2014/2015 dan subjek penelitian berjumlah
70 siswa yang terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama mendapatkan pembelajaran IPA terpadu
dengan model penemuan terbimbing sedangkan kelompok kedua menggunakan model PBL. Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal pilihan ganda yang digunakan untuk menilai kemampuan
literasi sains siswa pada aspek isi dan kompetensi IPA. Data tersebut diperoleh dan dianalsisis secara
kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap data nilai prestasi literasi sains siswa
keduanya sedangkan observasi proses pembelajaran dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan prestasi belajar literasi sains siswa yang
memperoleh pembelajaran IPA terpadu melalui model penemuan terbimbing dan pembelajaran berbasis
masalah tidak berbeda secara signifikan. Pembelajaran IPA terpadu melalui model disovery terbimbing
dapat meningkatkan prestasi literasi siswa dengan perolehan 0,37 (kategori sedang), sedangkan dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan literasi sains dengan perolehan
0,41 (kategori sedang). Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA
terintegrasi dengan model penemuan terbimbing dan PBL dapat digunakan untuk membangun literasi
sains siswa baik pada aspek isi maupun kompetensi IPA. Pencapaian penguasaan konten dan kompetensi
sains siswa pada kedua kelompok setelah proses pembelajaran mengalami peningkatan yang cukup
memuaskan, hal ini dikarenakan pembelajaran (baik penemuan terbimbing maupun PBL) dirancang
dengan mengadopsi metode pendekatan saintifik, mengedepankan pembelajaran mandiri, dan mendorong
berfikir siswa. keterampilan. Sedangkan peran multimedia dalam proses pembelajaran memudahkan
siswa dalam memahami konsep abstrak. Dari hasil penelitian, pembelajaran IPA di SMP harus
memberikan keterampilan inkuiri kepada siswa. Apabila siswa telah dilatih dengan kegiatan inkuiri maka
dapat memfasilitasi guru dalam melaksanakan pembelajaran IPA terpadu dengan menggunakan model
pembelajaran penemuan terbimbing dan berbasis masalah. Penelitian ini tidak menggunakan penilaian
otentik dalam mengungkapkan keterampilan literasi sains siswa. Oleh karena itu, jika hendak melakukan
penelitian serupa perlu dikembangkan asesmen otentik untuk mengungkap kemampuan literasi sains
siswa.
ANALISIS JURNAL INTERNASIONAL (Q3): CAKRAWALA PENDIDIKAN

Two-Year Impact Factor: 0.6


SJR: 0.205
H-index: 3
2019 CiteScore 0.6 - values from Scopus
THE EFFECT OF PROJECT BASED LEARNING WITH VIRTUAL MEDIA
ASSISTANCE ON STUDENT’S CREATIVITY IN PHYSICS
Pada dasarnya sains mencakup proses, produk, dan sikap. Sebagai suatu proses, sains berfokus
pada bagaimana memperoleh pengetahuan. Sebagai produk, ini lebih menekankan pada apa yang bisa
menjadi hasil dari pengetahuan. Sedangkan sebagai sikap, sains lebih memperhatikan upaya membekali,
melatih, dan menanamkan nilai-nilai positif kepada siswa. Mahasiswa yang mempelajari IPA harus
dibantu dalam mengembangkan potensinya dan juga dibekali dengan keterampilan yang dibutuhkan agar
mampu kreatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Peran guru pada hakikatnya sangat penting
dalam mendampingi siswa dalam ketiga aspek tersebut di atas. Selama proses pembelajaran guru harus
dapat merancang model dan media pembelajaran yang sesuai agar dapat menciptakan suasana yang
menggembirakan dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Berbagai
masalah yang dialami siswa ternyata dapat diatasi dengan pemilihan model pembelajaran yang sesuai
(Luthvitasari & Linuwih, 2012: 93). Penerapan model pembelajaran yang tidak tepat akan memberikan
hasil yang kurang optimal. Model dan media pembelajaran yang digunakan harus dapat membantu guru
dalam membangun interaksi yang baik dengan siswa sehingga mampu memahami materi pembelajaran
dan kreatif dalam memecahkan suatu masalah. Salah satu model yang berpotensi untuk diterapkan adalah
pembelajaran berbasis proyek.
Pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang mampu mengajarkan kepada
siswa tentang proses dalam menyelesaikan berbagai masalah (Thomas, 2000: 2). Pembelajaran berbasis
proyek mampu membimbing siswa dalam melakukan penelitian kelompok terhadap suatu proyek
sehingga mereka dapat memperoleh wawasan baru dan memecahkan suatu masalah dengan
pengetahuannya (Bell, 2010: 39). Keefektifan project based learning juga disampaikan oleh Amanda,
Subagia & Tika (2014: 6) yang menyatakan bahwa model tersebut cocok digunakan dalam pembelajaran
IPA karena mampu meningkatkan self efficacy siswa yaitu teguh keyakinan dan diri sendiri. -percaya diri
dalam melakukan tugas. Pembelajaran fisika harus dapat memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk berkreasi dalam memahami hal-hal yang dipelajari. Salah satu upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran fisika adalah dengan menerapkan model
pembelajaran berbasis proyek dengan media virtual. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
pengaruh model berbantuan media virtual terhadap kreativitas siswa.
Metode yang dilakukan pada penelitian ini berupa eksperimen semu yang dilakukan pada siswa
SMA di Mataram. Sampel penelitian ditentukan dengan metode cluster random sampling dan dibagi
menjadi dua kelas. Kedua kelas sampel tersebut kemudian dibagi menjadi kelas eksperimen dan kelas
kontrol, dengan jumlah siswa yang sama yaitu tiga puluh siswa di setiap kelas. Penelitian ini juga
menggunakan desain kelompok kontrol pretes-postes. Variabel dalam penelitian ini ada dua; variabel
bebas dan variabel terikat. Variabel terikat adalah model pembelajaran berbasis proyek dengan bantuan
media virtual. Kelas eksperimen diberi perlakuan model dengan bantuan media virtual, sedangkan kelas
kontrol diberi perlakuan model konvensional dengan menggunakan pembelajaran langsung. Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah kreativitas siswa, sedangkan variabel kontrol lainnya dalam kondisi
stabil. Data kreativitas siswa diperoleh melalui tes uraian yang meliputi tes verbal dan figural yang telah
divalidasi oleh ahli. Uji hipotesis dilakukan dengan uji-t dengan varian bersurvei. Uji homogenitas dan uji
normalitas data dilakukan sebelum uji hipotesis dilakukan.
Berdasarkan temuan dan analisis penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif
model pembelajaran berbasis proyek dengan bantuan media virtual terhadap kreativitas siswa dalam
pembelajaran fisika. Kelas eksperimen yang diberi perlakuan memperoleh rata-rata skor kreativitas yang
lebih tinggi daripada kelas kontrol. Kedua kelas mencapai peningkatan kemampuan kreatif pada tingkat
rata-rata. Secara umum peningkatan kreativitas kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol.
Dilihat dari setiap aspek, peningkatan kreativitas baik verbal maupun figural terjadi di kedua kelas. Di
kedua kelas, kreativitas verbal meningkat lebih besar daripada kreativitas figural. Kreativitas verbal dan
figural kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Peningkatan kreativitas verbal baik kelas
eksperimen maupun kelas kontrol berada pada kategori sedang, sedangkan peningkatan kreativitas figural
pada kedua kelas tersebut masih pada kategori rendah. Hal ini menandakan temuan bahwa kemampuan
siswa pada kelas eksperimen dan kontrol lebih tinggi dalam berpikir divergen untuk menggabungkan ide
secara verbal daripada kemampuan mereka untuk menegosiasikan ide melalui bentuk dan gambar.
ANALISIS JURNAL INTERNASIONAL (Q4): JOURNAL OF TECHNOLOGY AND
SCIENCE EDUCATION

Two-Year Impact Factor: 0.27


SJR: 0.159
H-index: 6
2017 CiteScore 0.27 - values from Scopus
EXPLORING THE IMPORTANCE OF SOFT AND HARD SKILLS
AS PERCEIVED BY IT INTERNSHIP STUDENTS AND
INDUSTRY: A GAP ANALYSIS
Peran profesional Teknologi Informasi (TI) di industri dan organisasi telah berkembang
pesat selama beberapa tahun terakhir. Dari pengkodean dasar transaksi bisnis dan pembuatan
laporan, TI telah berkembang menjadi sarana penting untuk pengembangan perangkat lunak dan
aplikasi, rekayasa dan pemeliharaan jaringan, dan baru-baru ini, pusat panggilan, transkripsi
medis dan hukum, animasi, dan berbagai bentuk bisnis. proses outsourcing. Singkatnya, ini dapat
diterapkan secara luas di semua sektor industri (Sipin, Lloyd & Malabanan 2014). TI adalah
bidang keterampilan tinggi lain yang terus berkembang yang membutuhkan pekerja berkualitas
untuk mengimbangi perubahan yang sedang berlangsung. Menurut CompTIA, "lebih dari 15 juta
bisnis menilai tingkat keterampilan agregat staf TI mereka sebagai kurang optimal, dan 93 persen
pemberi kerja menunjukkan bahwa ada kesenjangan keterampilan secara keseluruhan di antara
karyawan" (American Society for Training and Development, 2012) .
Di dunia di mana pengetahuan dan keterampilan TI merupakan elemen penting bagi
negara untuk makmur dan bersaing, keunggulan ditempatkan pada kualitas dan relevansi
pendidikan dan bagaimana memastikan bahwa lulusan memiliki pengetahuan, keterampilan,
sikap, dan nilai yang memadai untuk memenuhi tuntutan industri. Sifat lingkungan kerja yang
berubah, munculnya proses berbasis teknologi, dan kebutuhan klien yang beragam adalah
tantangan yang muncul dari Lembaga Pendidikan Tinggi (HEI) untuk memenuhi permintaan
lulusan yang dapat dipekerjakan (Same Inanotech, 2014). Penelitian mengusulkan metodologi
kesenjangan keterampilan yang memanfaatkan pengalaman responden dalam program magang
untuk mengukur pentingnya kesenjangan keterampilan Teknologi Informasi (TI) yang dirasakan
oleh mahasiswa TI dan industri. Kuesioner dirumuskan berdasarkan studi sebelumnya, namun
sedikit dimodifikasi, divalidasi dan diujicobakan agar sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Sebuah survei deskriptif dirancang dan
digunakan untuk memeriksa keterampilan penting yang dibutuhkan seperti yang dirasakan oleh
industri dan keterampilan memperoleh akademis oleh mahasiswa magang TI. Responden
penelitian ini adalah mahasiswa IT yang mendaftar magang sedangkan responden partner
industri adalah supervisor magang mahasiswa IT di industri yang bersangkutan. Mahasiswa IT
magang dipilih karena mereka memiliki latar belakang yang kuat tentang kebutuhan perusahaan
berdasarkan pengalaman magang mereka. Kuesioner survei terdiri dari dua bagian. Bagian 1
berfokus pada profil responden perusahaan yang meliputi jenis perusahaan, jumlah karyawan,
dan layanan yang diberikan. Bagian kedua diselaraskan untuk meminta responden menilai
tingkat pentingnya soft skill dan keterampilan teknis di industri / perusahaan yang ditugaskan.
Item menggunakan skala tipe Likert lima poin untuk mengukur tingkat persetujuan atau
ketidaksetujuan responden dengan pernyataan (1 = "Paling Tidak Penting" dan 5 = "Sangat
Penting"). Instrumen divalidasi dari segi isi dan reliabilitas oleh sepuluh (10) orang, yang terdiri
dari dosen IT, mitra industri dan koordinator OJT universitas. Hasil uji reliabilitas menunjukkan
reliabilitas konsistensi internal yang baik ditinjau dari nilai alpha Cronbach sebesar 0,833
(Andale, 2017). Selain itu, komentar dan saran dimasukkan ke dalam instrumen survei.
Instrumen yang direvisi dan diujicobakan menggunakan mahasiswa IT tingkat sarjana yang tidak
dimasukkan dalam survei sebenarnya, untuk menghilangkan ambiguitas pertanyaan survei dan
meningkatkan keandalan instrumen. Kuesioner survei diubah berdasarkan hasil dan umpan balik
dari studi percontohan.
Hasil menunjukkan bahwa soft skill utama, misalnya, kerja tim dan keterampilan
komunikasi adalah yang paling relevan, yang berarti bahwa ini adalah keterampilan yang paling
dibutuhkan oleh siswa untuk mereka tingkatkan seperti yang disepakati oleh responden.
Meskipun keterampilan lain-negosiasi dan keterampilan berpikir kritis juga perlu perbaikan,
mereka tidak begitu penting pada status entry-level yang cocok untuk mahasiswa IT. Soft skill
sama pentingnya dengan skill teknis yang dirasakan oleh industri dan pelajar, terutama bagi
perusahaan yang terlibat dalam menyediakan layanan pelanggan. Pentingnya soft skill sebagai
alat komunikatif berorientasi pelanggan diakui dan diakui sebagai keterampilan yang sangat
diperlukan oleh industri. Namun teknis tingkat pemula seperti operasi perangkat keras komputer
dan aplikasi perangkat lunak standar juga merupakan keterampilan penting yang mereka miliki.
KESIMPULAN ANALISIS KUALITAS JURNAL INTERNASIONAL

Impact factor adalah salah satu cara untuk mengevaluasi kualitas jurnal yang dilakukan
oleh ISI Journal Citation Reports (JCR). Indikator ini telah dipandang menjadi indikator utama
untuk mengukur secara kuantitatif kualitas sebuah jurnal, paper risetnya,  peneliti yang menulis
paper tersebut dan bahkan institusi dimana mereka bekerja. Impact factor jurnal adalah ukuran
seberapa sering rata-rata artikel pada sebuah jurnal telah disitasi pada tahun tertentu. Impact
factor membantu kita mengevaluasi pentingnya jurnal relatif, khususnya ketika membandingkan
dengan jurnal lain dalam bidang yang sama. Impact factor dihitung dengan membagi jumlah
sitasi pada tahun sekarang pada artikel yang dipublikasi dalam dua tahun sebelumnya dengan
jumlah artikel total yang dipublikasi dalam dua tahun sebelumnya.Ada berbagai macam
pengukuran untuk menentukan kualitas jurnal, misalnya: Impact Factor (IF),
CiteScore, Scimago Journal Ranking (SJR), Source Normalized Impact per Paper (SNIP), dan
nilai h-index.  
Berdasarkan data jurnal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas jurnal
berbanding lurus dengan instrumen pengukuran jurnal (Impact factor, H-indeks, SJR, Cite
Score). Semakin tinggi nilai Impact factor, H-indeks, SJR, Cite Score maka semakin bagus
kualitas jurnalnya. Sehingga ke empat variabel tersebut linier dengan Q1-Q4. Salah satu
instrument untuk mengukur reputasi jurnal adalah nilai h-index. H-index mengukur reputasi
jurnal berdasarkan produktifitas dan dampak/sitasi secara bersamaan.
 Nilai h-index jurnal Q1 adalah 42 yang artinya jurnal ini sudah mempublikasi minimum
42 artikel yang sudah memiliki jumlah sitasi minimum 42 sitasi per artikel.
 Nilai h-index jurnal Q2 adalah 12 yang artinya jurnal ini sudah mempublikasi minimum
12 artikel yang sudah memiliki jumlah sitasi minimum 12 sitasi per artikel.
 Nilai h-index jurnal Q3 adalah 3 yang artinya jurnal ini sudah mempublikasi minimum 3
artikel yang sudah memiliki jumlah sitasi minimum 3 sitasi per artikel.
 Nilai h-index jurnal Q4 adala h 6 yang artinya jurnal ini sudah mempublikasi minimum 6
artikel yang sudah memiliki jumlah sitasi minimum 6 sitasi per artikel.

Anda mungkin juga menyukai