Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

K4
(KEPERAWATAN, KEDARURATAN, KELAUTAN DAN KEBAHARIAN)

TENTANG
KERACUNAN O2

KELOMPOK 4

DELVI O PASARIBU (1901011)

APRILIA KAKOTI (190121)

GABRIElla waluba (1901022)

Prisilia onas (1901023)

KEPERAWATAN IV A

JURUSAN KESEHATAN

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

POLITEKNIK NUSA UTARA

T/A 2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kami Panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,karena atas berkat dan
penyertaannya, Kami boleh menyelesaikan Makalah K4 Tentang Keracunan O2.

Semoga Makalah ini bermanfaat bagi pembaca agar lebih mengetahui tentang keracunan
O2.

Dalam Pembuatan Makalah ini, jauh dari kata sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Penulis

Tahuna, 24 February 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
LATAR BELAKANG.................................................................................................................4
1.2 PERUMUSAN MASALAH..................................................................................................4
1.1 TUJUAN...........................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
2.1 PENGERTIAN TOKSILOGI................................................................................................6
2.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERACUNAN.......................................................6
2.3 FAKTOR PENYEBAB KERACUNAN OKSIGEN.............................................................7
2.4 GEJALA KERACUNAN OKSIGEN....................................................................................8
2.5 MEKANISME TOKSISITAS OKSIGEN.............................................................................9
2.6 MANIFESTASI KLINIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG.....................................12
2.7 TERAPI DAN PENCEGAHAN..........................................................................................13
2.8 PENGGUNAAN OKSIGEN...............................................................................................14
BAB III......................................................................................................................................14
PENUTUP.....................................................................................................................................14
3.1 KESIMPULAN...............................................................................................................15
3.2 KRITIK DAN SARAN...................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Setiap sel tubuh manusia membutuhkan oksigen untuk melaksanakan fungsi metabolisme,
sehingga oksigen merupakan zat terpenting dalam kehidupan manusia. Mempertahankan
oksigenasi adalah upaya untuk memastikan kecukupan pasokan oksigen ke jaringan atau sel.
Oksigen adalah bagian dari udara terpeting kedua yaitu sebanyak 20,93% setelah nitrogen
(78,10%). Oksigen memiliki fungsi yang sangat penting untuk kehidupan. Priestly, penemu yang
pertama kali mengenali oksigen, termasuk juga yang pertama kali mengemukakan adanya efek
samping pada pemberian “udara murni”.Keracunan oksigen pada pasien sakit kritis masih
kontroversial namun demikian pada kondisi tertentu kelebihan oksigen dapat merupakan racun
yang berbahaya.

1.2 PERUMUSAN MASALAH


1. Pengertian Toksilogi
2. Faktor yang mempengaruhi keracunan
3. Faktor penyebab keracunan oksigen
4. Gejala keracunan oksigen
5. Mekanisme toksisitas oksigen
6. Manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang
7. Terapi dan pencegahan
8. Penggunaan oksigen

1.1 TUJUAN
1. Untuk mengetahui Toksilogi
2. Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi keracunan
3. Untuk mengetahui penyebab keracunan oksigen
4. Untuk mengetahui gejala keracunan oksigen
5. Untuk mengetahui mekanisme toksisitas oksigen
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang
7. Untuk mengetahui terapi dan pencegahan
8. Untuk mengetahui penggunaan oksigen
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN TOKSILOGI


Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejala-gejala
dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang
meninggal. Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai disiplin ilmu
yang sudah ada seperti ilmu kimia, Farmakologi, Biokimia, Forensic Medicine dan lain-
lain. Disamping itu ilmu ini terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu lainnya,
dan ini semua pada gilirannya akan menyulitkan kitadalam membuat definisi yang singkat dan
tepat mengenai Toksikologi. Sebagai contoh, menurut AhliKimia Toksikologi adalah ilmu yang
bersangkutan paut dengan efek-efekdan mekanisme kerja yang merugikan dari agen-agen Kimia
terhadap binatang dan manusia. Sedangkan dari para ahli Farmakologi Toksikologi merupakan
cabang Farmakologi yang berhubungan dengan efek samping zat kimia didalam sistem biologik.
Dengan keluasan Toksikologi maka sejumlah besar ahli-ahli dibidang yang masing-masing
turut terlibat dalam Toksikologi dalam bidang yang sesuai dengan keahliannya.
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.

2.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERACUNAN


Beberapa hal yang mempengaruhi seberapa besar sebuah racun merusak tubuh ada
beberapa hal antara lain:
1. Cara masuk
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi. Cara masuk lain
secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular, intraperitoneal, subkutan, peroral
dan paling lambat ialah melalui kulit yang sehat.
2. Umur
Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi prematur
lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal belum sempurna dan
aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup.
3. Kondisi tubuh
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan. Pada
penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih lambat.
4. Kebiasaan
Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin di karenakan terjadi toleransi pada orang
yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol.
5. Idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran maka akan makin
cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun yang bersifat lokal,
misalnya asam sulfat.

2.3 FAKTOR PENYEBAB KERACUNAN OKSIGEN

1. Lamanya paparan terhadap oksigen

Seseorang yang biasanya terkena paparan terhadap oksigen terlalu lama akan
mengkonsumsi oksigen secara berlebih. Sehingga hal ini menyebabkan seseorang yang terkena
paparan terhadap oksigen terlalu lama mengalami keracunan oksigen karena mengkonsumsi
oksigen secara berlebihan.

2. Daya serap oksigen pada setiap orang

Setiap orang memiliki daya serap terhadap oksigen berbeda-beda. Bagi mereka yang
memiliki daya serap terhadap oksigen terlalu tinggi dapat menyebabkan seseorang mengalami
keracunan oksigen.

3. Tekanan Oksigen yang tidak sesuai

Memberikan tekanan Oksigen yang tidak sesuai juga dapat menjadi salah satu faktor
penyebab seseorang mengalami keracunan oksigen. Untuk itu jangan sekali-sekali memberikan
tekanan oksigen kepada seseorang tanpa pengawasan dari dokter
Selain dari faktor-faktor Penyebab seseorang mengalami keracunan oksigen alangkah lebih
baik jika anda juga mengetahui apa saja gejala-gejala yang dapat ditimbulkan dari seseorang
yang mengalami keracunan oksigen.

2.4GEJALA KERACUNAN OKSIGEN

1. Kejang-kejang

Seseorang yang mengalami keracunan pada oksigen biasanya memiliki gejala-gejala


salah satunya seperti kejang-kejang. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor penyebab
yang telah dijelaskan di atas. Untuk itu bagi Anda yang tidak ingin mengalami kejang-kejang
karena keracunan oksigen maka hindarilah berbagai macam penyebab yang dapat
menyebabkan atau dapat memicu keracunan oksigen.

2. Tidak sadarkan diri


Selain mengalami kejang-kejang seseorang yang keracunan Oksigen dapat mengalami
pingsan atau tidak sadarkan diri atau koma. Perhatikan dalam menggunakan oksigen atau
jangan pernah sekali-sekali menggunakan oksigen tanpa dosis dari dokter karena dapat
menyebabkan seseorang mengalami keracunan oksigen. 

3. Sesak nafas
Mengalami sesak nafas juga menjadi salah satu gejala yang disebabkan karena seseorang
mengalami keracunan oksigen. Sesak nafas terjadi karena adanya Oksigen yang berlebih di
dalam tubuh. Hindarilah penggunaan oksigen yang terlalu berlebih agar anda dapat terhindar
dari sesak nafas. 
4. Sakit dada
Selain mengalami sesak nafas ternyata sakit dada juga dapat ditimbulkan karena
seseorang mengalami keracunan oksigen. Hal ini disebabkan karena sesak nafas yang terus-
menerus akan menyebabkan dada terasa sakit sehingga Anda mengalami sakit pada dada.
5. rabun jauh
Selain pernafasan seseorang yang mengalami keracunan pada Oksigen dapat mengalami
gejala seperti rabun jauh. Meskipun ada banyak Faktor atau penyebab yang menyebabkan
seseorang mengalami rabun jauh namun pada kenyataannya seseorang yang mengalami
keracunan oksigen juga dapat terkena rabun jauh.
Itulah beberapa gejala-gejala dari seseorang yang mengalami keracunan oksigen, untuk
mengetahui lebih lanjut tentang keracunan oksigen ada baiknya jika anda mengetahui apa saja
bahaya bahaya Ketika seseorang mengalami keracunan oksigen.

2.5 MEKANISME TOKSISITAS OKSIGEN


Hiperoksia adalah suatu keadaan terjadinya kelebihan jumlah oksigen dalam jaringan dan
organ. Toksisitas oksigen terjadi saat tekanan parsial oksigen di alveolar (PaO 2) meningkat.
Keadaan terjadinya paparan secara terus menerus pada kondisi konsentrasi oksigen yang
suprafisiologik, keadaan hiperoksia terbentuk. Pada kondisi hiperoksi yang patologis terjadi
influks besar-besaran dari oksigen reaktif (reactive O2 species/ROS). Pada sistem biologis baik
intraselular maupun ekstraselular, efek peningkatan ROS yang diakibatkan oleh paparan oksigen
berlebihan akan mengganggu keseimbangan antara oksidan dan antioksidan, dan gangguan
homeostasis ini menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Lamanya paparan, tekanan atmosfer,
dan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) menentukan dosis oksigen kumulatif yang bisa
berakibat terjadinya toksisitas oksigen.
Oksigen akan menjadi zat beracun di paru jika dihirup dengan FiO 2 yang tinggi, yaitu
>0,60 dalam waktu yang lama (≥24 jam) pada tekanan barometrik normal, yaitu 1 atm
(atmospheres absolute (ATA)). Tipe paparan ini disebut keracunan oksigen bertekanan rendah,
toksisitas pulmoner, atau efek LorraineSmith. Paparan oksigen setelah hampir 12 jam akan
berakibat terjadinya kongesti jalan napas, edem paru, dan atelektasis yang disebabkan oleh
kerusakan dinding bronkus dan alveolus. Terbentuknya cairan di paru menyebabkan sesak dan
rasa terbakar pada tenggorokan dan dada, sehingga akan terasa sakit saat menarik napas.
Penyebab terjadinya efek ini pada paru, namun tidak pada jaringan lain adalah karena ruangan
udara paru-lah yang terpapar langsung oleh oksigen bertekanan tinggi tersebut. Oksigen
diantarkan ke jaringan tubuh lain dengan PaO2 yang hampir normal karena adanya sistem buffer
hemoglobin-oksigen.
Toksisitas juga terjadi saat tekanan atmosfer tinggi (1,6 – 4 atm) dan lamanya paparan
dengan FiO2 tinggi hanya sebentar. Tipe paparan ini disebut keracunan oksigen tekanan tinggi
atau efek Paul Bert dan efek utamanya adalah pada sistem saraf pusat (SSP).Toksisitas pada SSP
menyebabkan terjadinya kejang yang diikuti dengan koma pada hampir seluruh korban dalam
waktu 30 hingga 60 menit. Kejang sering terjadi tanpa didahului gejala sebelumnya dan
cenderung mematikan. Gejala lain termasuk nausea, twitching otot, rasa berputar, gangguan
penglihatan, iritabilitas, dan disorientasi dengan keadaan sekitar.Yang lebih sering mengalami
toksisitas SSP adalah pada kasus penyelam.Endotel kapiler paru dan sel epitel alveolar adalah
target dari ROS yang berakibat pada edem paru yang diakibatkan oleh cedera sel, perdarahan,
dan deposit kolagen, elastin, dan membran hyalin. Di atas PaO 2 kritis, terjadi kegagalan
mekanisme buffer hemoglobin-O2 dan PO2 jaringan dapat meningkat hingga ratusan atau ribuan
mmHg.Pada O2 kadar tinggi, sistem enzim antioksidan endogen yang bersifat protektif akan
menjadi “mangsa” ROS yang akan mengakibatkan kematian sel.

Sumber: Sawatzky D. Oxygen toxicity – signs and symptoms. Sport Diving Medicine 2012; 12:
55.

Seperti terlihat pada diagram, efek toksik dari tekanan parsial oksigen antara 0,5 – 1,6 atm
akan mengenai paru, sedangkan efek toksik pada tekanan parsial lebih dari 1,6 atm lebih
mengganggu otak.
Toksisitas oksigen yang disebabkan oleh ROS menyebabkan fase-fase cedera terjadi
tumpang tindih sesuai dengan keparahan dan reversibilitas cedera. Fase tersebut adalah inisiasi,
inflamasi, proliferasi, dan fibrosis.Diawali dengan peningkatan ROS dan kekurangan kadar
antioksidan, kemudian paru akan gagal membersihkan mukus yang ada. Fase inflamasi atau fase
eksudatif memiliki karakteristik adanya destruksi dari dinding paru dan migrasi leukosit dan
mediator inflamasi lain ke tempat cedera. Fase proliferasi merupakan fase subakut dan terjadi
hipertrofi sel, peningkatan sekresi dari sel alveolar tipe 2 yang mensekresi surfaktan dan
peningkatan monosit.Fase akhir adalah fase fibrotik dimana terjadi perubahan yang telah
ireversibel dan permanen.Terjadi deposisi kolagen dan penebalan ruang interstisial paru dan
terjadi fibrosis jaringan.Secara klinis, hipoksemia yang progresif atau peningkatan tekanan O 2
dalam darah, memerlukan peningkatan FiO2 dan bantuan ventilasi, yang menyebabkan
perburukan perubahan patofiologis yang berkaitan dengan toksisitas oksigen.Foto rontgen dada
bisa memperlihatkan adanya bentukan distribusi ireguler dari interstisial alveolar dengan adanya
gambaran atelektasis sedang, meskipun tidak banyak gejala klinis yang terlihat jelas.Biopsi
spesimen paru dapat memperlihatkan perubahan konsisten dengan toksisitas O 2, namun nilai
primer biopsi adalah untuk menyingkirkan penyebab lain dari cedera paru. Perubahan tekanan
udara bersamaan dengan tertutupnya kavitas paru dan cedera yang berkaitan dengan ventilator
juga dapat menyertainya dan sulit dibedakan dengan toksisitas paru itu sendiri. Keracunan
oksigen dapat diminimalisir dengan menjaga PaO 2 kurang dari 80 mmHg atau FiO 2 di bawah 0,4
sampai 0,5.
Respon selular paru terhadap paparan hiperoksik dan peningkatan ROS telah dapat
dijelaskan.Secara anatomis, permukaan epitel paru mudah terpapar respon inflamasi yang
bersifat detruktif. Proses inflamasi ini merusak barrier kapiler alveolar yang akan
mengakibatkan gangguan pertukaran udara dan edem paru. ROS merangsang sekresi
kemoatraktan oleh sel paru dan sitokinmenstimulasi pergerakan dan akumulasi makrofag dan
monosit menuju paru, yang akan semakin menambah ROS. Interaksi ROS dengan leukosit akan
mengeksaserbasi cedera yang lebih lanjut.

2.6 MANIFESTASI KLINIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Cedera paru akut atau sindrom distress napas akut(acute respiratory distress
syndrome/ARDS) merupakan hal sekunder yang biasa menyertai. Perubahan patologis yang
berkaitan dengan cedera paru akut akibat hiperoksik mirip dengan cedera paru akut yang
disebabkan oleh penyebab-penyebab lain seperti syok hemoragik, cedera reperfusi, pneumonia,
sepsis, atau inhalasi paraquat.
Sindrom cedera paru akut biasanya mulai terlihat dalam 24 hingga 48 jam setelah adanya
paparan. Awalnya pasien akan merasakan sesak, batuk, nyeri dada, takipnea, takikardi,
penggunaan otot bantu napas, sianosis, kulit mottled, dan muncul suara napas abnormal
(merintih, ronkhi, dan wheezing).
Menurut tahapannya, tanda awal dari keracunan oksigen pada paru diawali dengan iritasi
pada trakea yang akan semkain memberat saat menarik napas dalam-dalam. Pasien akan mulai
batuk, yang jika iritasi makin berat maka akan membuat nyeri saat menarik napas dan batuk
menjadi tidak terkendali. Jika paparan terus berlanjut, pasien akan merasakan sesak, kesulitan
bernapas, hingga gagal napas dan terjadi kematian. Kerusakan paru yang progresif ini tidak
memungkinkan pertukaran oksigen ke darah berjalan normal. Onset terjadinya gejala beragam
tapi biasanya seseorang masih dapat mentoleransi pemberian oksigen 1 atm selama 12 hingga 16
jam, 1,5 atm selama 8 hingga 14 jam, dan 2 atm selama 3 hingga 6 jam sebelum pada akhirnya
muncul gejala keracunan ringan.
Ada beberapa hal cara untuk mendeteksi terjadinya keracunan oksigen pada paru dan cara
yang paling sensitif dan akurat adalah melihat gejala pada pasien.yang kedua adalah dengan
memonitor kapasitas vital pasien tersebut. Kapasitas vital (banyaknya udara yang dapat masuk
saat menarik napas maksimal) menurun pada kondisi memburuknya keracunan oksigen.
Penurunan sekitar 2% berhubungan dengan gejala ringan dari keracunan hingga penurunan 10%
pada gejala yang berat. Efek ringan ini cenderung reversibel dan tidak ada kerusakan paru yang
permanen. Bagaimanapun juga, jika telah terjadi kerusakan paru maka memerlukan waktu 2
hingga 4 minggu untuk penyembuhannya.
Pada penyelam, tanda pertama dari keracunan oksigen pada SSP adalah terjadinya kejang
tipe grand mal. Ada banyak gejala dan tanda keracunan oksigen namun tidak ada yang bisa
memprediksikan akan terjadinya kejang. Bahkan gambaran EEG tampak normal sampai mulai
terjadinya kejang. Kejang pada keracunan oksigen diyakini tidak akan menyebabkan masalah
yang permanen karena tubuh berada pada kondisi surplus oksigen. Namun jika kejang terjadi
saat penyelam sedang menyelam, maka penyelam tersebut dapat tenggelam.
Gejala lain yang berkaitan dengan SSP adalah terjadinya gangguan penglihatan serta
telinga berdenging. Kemudian diikuti kejang setelah adanya penurunan kesadaran secara
mendadak.
Pada analisa gas darah dapat terlihat perburukan kondisi hipoksemia yang dapat berujung
pada gagal napas. Pada rontgen dada dapat terlihat adanya infiltrat bilateral dengan adanya edem
paru namun tanpa adanya gambaran jantung yang menandakan peningkatan tekanan atrial kiri.

2.7 TERAPI DAN PENCEGAHAN


Pengobatan pada kondisi ini hingga memerlukan ventilasi mekanik diikuti dengan
pengobatan suportif.Karena pengobatan pada kasus ini lebih pada simtomatik, maka pencegahan
dan pengawasan untuk mengenali kondisi hiperoksik secara dini lah yang lebih penting. Namun
harus diingat juga bahwa penghentian secara mendadak pemberian oksigen pada saat onset
keracunan dimulai justru akan memunculkan efek oxygen off dan memperburuk kondisi.
Penurunan kapasitas vital dapat digunakan sebagai indikator untuk mengawasi kemungkinan
terjadinya keracunan oksigen. Penurunan pemberian oksigen maksimal yang dapat diterima
adalah 10%. Komplians paru yang dinamis serta kapasitas difusi karbon monoksida juga akan
menurun.
Pada pemeriksaan dengan elektroensefalogram, tidak ada hasil yang bermakna dalam
memonitor adanya toksisitas oksigen terhadap otak.
Tidak ada obat yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kejang pada keracunan
oksigen pada SSP. Pada percobaan dengan hewan, kejang dapat dicegah dengan obat namun
kerusakan sel otak akibat kejang yang berkelanjutan masih akan ada. Cara paling efektif untuk
menurunkan resiko keracunan oksigen pada SSP adalah dengan membatasi tekanan oksigen yang
diberikan, membatasi waktu paparan, dan istirahat menghirup oksigen murni saat melakukan
penyelaman.
Namun menurut Patel et al antioksidan eksogen seperti vitamin E dan C dapat diberikan
sebagai pencegahan pada bayi dengan resiko keracunan oksigen, mengingat mekanisme
keracunan ini didasarkan pada ROS sebagai radikal bebas. Dosis yang direkomendasikan adalah,
vitamin E 100mg/kgBB/hari selama 4 – 6 minggu.
Adrenalektomi, hipofisektomi, dan kondisi hipotiroid berkaitan dengan penurunan
keparahan terjadinya keracunan karena sebagai penyekat alfa adrenergik.
Pengobatan pada kondisi ini hingga memerlukan ventilasi mekanik diikuti dengan
pengobatan suportif.

2.8 PENGGUNAAN OKSIGEN


Pada pasien dengan hipoksemia kronis, lebih bijak jika menggunakan oksigen yang
membantu pernapasan seminimal mungkin. PaO2 sekitar 50 – 55mmHg biasanya cukup pada
kondisi ini.
Positive end-expiratory pressure (PEEP) harus digunakan selama pemberian ventilasi
mekanik jika konsentrasi oksigen yang diinspirasi >50% gagal memperbaiki keadaan hpoksia.
Namun jika tidak terjadi hal demikian maka PEEP tidak diperlukan pada pasien.Pada kondisi
akut dengan hipoksia berat, konsentrasi oksigen harus cukup untuk mempertahankan saturasi di
atas 90%.
Hipoksia yang mengancam nyawa harus selalu dikoreksi walaupun harus menggunakan
oksigen 100% dalam jangka waktu yang cukup lama.
BAB III

PENUTUP

3.1KESIMPULAN
Oksigen, merupakan zat yang sering digunakan untuk mengobati kondisi hipoksemia pada
berbagai kondisi klinis. Namun oksigen itu sendiri dapat menjadi trigger terjadinya cedera paru
akut jika tidak diberikan pada konsentrasi dan durasi yang sesuai. Paru merupakan organ yang
rawan terjadinya cedera yang diakibatkan oleh oksidan, yang diawalo oleh sinyal protein hingga
ke respon selular. Hal ini berakibat pada ruskanya epitel dan kapiler alveolar. Kemudian
hiperpermeabilitas, mikrotrombi (hasil dari gangguan koagulasi dan fibrinolisis), deposisi
kolagen dan fibrosis mengganggu struktur dan fungsi alveolus.5
Meskipun terapi oksigen sangat berguna pada berbagai kelainan, efek lainnya dapat
menyebabkan efek toksik biasanya pada SSP dan paru. Terapi yang dapat diberikan berupa terapi
suportif namun pencegahan dan deteksi dini merupakan hal yang penting pada keracunan
oksigen ini.

3.2KRITIK DAN SARAN


Makalah ini jauh dari kata sempurna untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Lamb, John S. (1999). The Practice of Oxygen Measurement for Divers. Flagstaff: Best
Publishing, 120 pages. ISBN 0-941332-68-3. OCLC 44018369.

Lippmann, John; Bugg, Stan (1993). The Diving Emergency Handbook. Teddington, UK:
Underwater World Publications. ISBN 0-946020-18-3. OCLC 52056845.

Lippmann, John; Mitchell, Simon (2005). "Oxygen". Deeper into Diving (2nd ed.). Victoria,
Australia: J.L. Publications. pp. 121–4. ISBN 0-9752290-1-X. OCLC 66524750.

Anda mungkin juga menyukai