PRODI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
I. DISKRIPSI
Pengertian Tanah Masam
Tanah masam adalah tanah-tanah dengan pH rendah dibawah 6 karena kandungan
ion hidrogen yang tinggi. Tanah masam dapat berubah menjadi tanah mineral masam dan
tanah organik masam (gambut). Tanah mineral masam umumnya dijumpai pada tanah-
tanah merah yang telah berpelapukan lanjut, sedangkan tanah organik masam umumnya
tersebar pada tanah-tanah di dataran rendah, cekungan atau rawa atau tanah organik di
pegunungan, namun sangat sedikit sekali tanah organik masam yang dijumpai pada
dataran tinggi misal gambut pegunungan. (Yulianti,2007)
Kemasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalam
larutan tanah. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi, maka tanah akan
bereaksi masam dan mempunyai pH tanah yang rendah. Sebaliknya, bila kepekatan ion
hidrogen terlalu rendah, makan tanah akan bereaksi basa atau alkalis yang mempunyai
pH yang tinggi. Proses pembentukan tanah mineral masam menurut Notohadiprawiro
(1986) berasal dari proses pelapukan yang sangat intensif karena berlangsung pada
daerah tropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi.
Ada beberapa penyebab umum yang menyebabkab tanah bereaksi masam. Pertama
adalah curah hujan yang tinggi, secara alami tanah akan menjadi masam akibat pencucian
unsur hara. Kedua adalah pupuk yang dapat berfisiologis masam. Pupuk Nitrogen seperti
Urea, ZA, KCL, ZK adalah pupuk yang mempunyai pengaruh besar dalam mengasamkan
tanah. Ketiga adalah drainase yang kurang baik, genangan air yang terus menerus pada
tanah berawa atau tanah-tanah sawah, akan menjadi masam. Adanya unsur berlebihan
seperti Al, Fe dan Mn dalam kadar berlebih seperti yang terdapat pada tanah Ultisol,
Oxisol, Spodosol dan Andisol. Proses dekomposisi bahan organik, pada tanah-tanah yang
memiliki bahan organik tinggi seperti gambut selalu dijumpai tanah masam dengan pH
rendah, hal itu karena proses dekomposisi bahan organik yang dalam prosesnya akan
mengusir dan mengeluarkan gugus-gugus fungsional yang melepaskan hidrogen dalam
tanah.
Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi.
Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam
karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dalam keadaan tertentu,
yaitu apabila tercapai kcjenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida
,dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah (Yulianti, 2007).
Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kemasaman (reaksi
tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi
hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang
diukur pada pemakaiannya sehari-hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya
kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun
yang terdapat dalam larutan (Hanafiah, 2007).
H
H---Lempung ---> Lempung + 3 H+
H
Ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang dapat digunakan. Alat yang murah ialah
kertas lakmus yang bentuknya berupa gulungan kertas kecil memanjang. Alat lain
yang harganya sedikit mahal tetapi dapat dipakai berulang kali dengan hasil
pengukuran lebih terjamin adalah pH tester dan soil tester.
Pemakaian kertas lakmus sangat mudah, caranya yaitu : mengambil tanah lapisan
dalam, lalu larutkan dengan air murni (aquadest) dalam wadah. Biarkan tanahnya
terendam di dasar wadah sehingga airnya menjadi bening kembali. Setelah bening,
air tersebut dipindahkan ke wadah lain secara hati-hati agar tidak keruh.
Selanjutnya, ambil sedikit kertas lakmus dan celupkan ka dalam air tersebut.
Dalam beberapa saat kertas lakmus akan berubah warna. Cocokan warna pada
kertas lakmus dengan skala yang ada pada kemasan kertas lakmus. Skala tersebut
telah dilengkapi dengan angka pH masing-masing Warna. Angka pH tanah tersebut
adalah angka dari warna pada kemasan yang cocok dengan warna kertas lakmus
Misalnya, angka yang cocok adalah 6 maka pH-nya 6.
Pemakaian soil tester untuk mendapat pH tanah agak berbeda dengan kertas
lakmus. Bentuknya seperti pahat dan berukuran pendek. Oleh karena berbentuk
padatan, ada bagian yang runcing. Bagian runcing inilah yang ditancapkan ke
tanah hingga pada batas yang dianjurkan. Setelah ditancapkan, sekitar tiga menit
kernudian jarum skala yang terletak di bagian atas alat ini akan bergerak. Angka
yang ditunjukkan jarum tersebut merupakan pH dari tanah tersebut.
Penetapan pH tanah sekarang ini dilakukan dengan elektroda kaca. Elektroda ini
terdiri dari suatu bola kaca tipis yang berisi HCL. encer, dan di dalamnya
disisipkan kawat Ag-AgCl, yang berfungsi sebagai elektrodanya dengan tegangan
(voltase) tetap. Pada waktu bola kaca tersebut itu dicelupkan ke dalam suatu
larutan, timbul suatu perbedaan antara larutan di dalam bola dan larutan tanah di
luar bola kaca. Sebelum pengukuran pH dilakukan, kedua elektroda pertama-tama
harus dimasukkan ke dalam suatu larutan yang diketahui pH-nya (misalnya
konsentrasi ion H+ = 1 g/L). Kegiatan ini disebut pembakuan elektroda dan
petunjuk pH (pH meter).
Jenis tanah masam diantaranya terdapat pada tanah ordo Ultisol. Ultisol dibentuk
oleh proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena
berlangsung dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas
dan bercurah hujan tinggi dengan vegetasi klimaksnya hutan rimba. Dalam
lingkungan semacam ini reaksi hidrolisis dan asidolisis serta proses pelindian
(leaching) terpacu sangat cepat dan kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena air
infiltrasi dan perkolasi mengambil CO2 hasil mineralisasi bahan organik berupa
serasah hutan dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan (Yulnafatmawita, 2008).
Pelapukan masam tanah membebaskan basa dari mineral tanah secara cepat
apabila didukung dengan daya lindi yang kuat maka akan terbentuk tanah yang
miskin hara dan Al Fe serta Mn yang tinggi dapat meracun tanaman. Persoalan
akan bertambah berat jika bahan induk tanah sudah bersifat masam kondisi inilah
yang dijumpai di Sumatera.
Kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan
masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung
dalam tanah Ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi,
sehingga sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak
tersedia bagi tanaman maupun biota tanah (Hasanudin dan Ganggo, 2004).
Tekstur tanah ultisol bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan
lempungan (clayey) .Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral
silikat tipe 1:1 serta oksida dan hidroksida Fe danAl , sehingga fraksi lempung
tergolong beraktivitas rendah dan dayamemegang lengas juga rendah. Karena
umumnya memiliki kandungan bahan organik rendah dan fraksi lempungnya
beraktivitas rendah maka kapasitas tukar kation tanah (KTK) tanah Podsolik juga
rendah, sehingga relatif kurang kuatmemegang hara tanaman dan karenanya
unsur haramudah tercuci. Tanah Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan
terubahkan (variable charge), sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai
pH-nya, peningkatan pH akan diikuti oleh peningkatan KTK ,lebih mampu
mengikat hara K dan tidak mudah tercuci.
Tanah Oxisols (oxide, oksida) adalah tanah-tanah yang telah mengalami pencucian
yang intensif dan miskin hara, tinggi kandungan AL dan Fe. Seperti halnya Ultisols,
mereka mendominasi lahan kering dengan intensitas curah hujan yang tinggi.
Tanah-tanah ini sudah tua. Total luas tanah ini sekitar 14.11 juta ha atau 7.5% dari
total lahan Indonesia dan menyebar di Sumatera Selatan (2.82 juta ha), Irian Jaya
(2.41 juta), Kalimantan Tengah (2.06 juta), Kalimantan Barat (1.79 juta), Jambi
(1.14 juta), dan Lampung (1.01 juta ha).
Spodosol merupakan tanah mineral yang mempunyai horizon spodik, suatu horizon
dalam dengan akumulasi bahan organic, dan oksidasi aluminium (Al) dengan atau
tanpa oksidasi besi (Fe). Horizon iluvial ini dijumpai dibawah horizon eluviasi,
biasanya suatu horizon albik (berwarna merah muda, dengan demikian memadai
bila disebut abu kayu). Umumnya terbentuk diwilayah iklim humid, dibawah
vegetasi hutan basah dan berkembang dari bahan endapan dan batuan sediment
kaya kuarsa yang dipercepat oleh adanya vegetasi yang menghasilkan serasah
asam. Senyawa – senyawa organic tercuci kebawah bersama air perkolasi sehingga
tanah permukaan menjadi berwarna terang, sedang horizon bawah menjadi
berwarna gelap karena terjadinya selaput organic pada butir-butir tanah.
Species tumbuhan yang berkadar ion-ion logam rendah, seperti pinus, kelihatannya
merangsang pertumbuhan spodosol. Dengan membusuknya daun-daun yang
rendah kadar ion logamnya, kemasaman tinggi akan terbentuk. Air perkolasi
membawa asam-asam itu kebagian profil tanah yang lenig dalam. Horizon atas
hancur karena pencucian intensif oleh asam. Sebagian besar mineral, dipindahkan
kebagian lebih dalam. Oksida aluminium dan besi serta bahan organic akan
diendapkan di horizon bagian bawah, sehingga menghasilkan profil spodosol yang
menarik.
Spodosol adalah Tanah – tanah yang secara unik berkembang dari endapan pasir
kuarsa, dan/atau batu sedimen berupa batu pasir kuarsa. Vegetasi alami yang
tumbuh biasanya spesifik jenisnya. Yaitu vegetasi yang mampu berkembang subur
di Tanah masam, seperti kantung Semar dan Paku-pakuan.
Banyak tanah dari timur laut amerika serikat, termsuk bagian utara michigan dan
winconsin yang dulunya digolongkan sebagai podsol, podsolik coklat dan podsol air
tanah termasuk dalam spodosol. Sebagian dari mereka adalah orthod, suatu
spodosol umum. Akan tetapi beberapa adalah aquod, karena tanah ini selama
musim tertentu jenuh dengan air dan mempunyai ciri-ciri yang berasosiasi dengan
kebasahan, seperti akumulasi bahan organik yang tinggi, becak-becak pada horizon
albik dan terbentuknya semacam lapisan keras (duripan) pada horizon albik.
Daerah-daerah dari aquod adalah Florida.
Di Indonesia sendiri penyebaran endapan pasir dan batu pasir kuarsa yang secara
geologis sangat luas, terdapat di kalimantan tengah, serta setempat-setempat di
kalimantan barat dan kalimantan timur. Di pulau lain nampaknya tidak luas
penyebaranya dan setempat – setempat terdapat disulawesi dan sumatra. Landform
– nya dimasukkan sebagai dataran tektonik. Lanscape luas tanah spodosol
seluruhnya diperkirakan 2,16 juta ha atau 1,1 % wilayah dataran indonesia.
Penyebaranya paling luas terdapat di kalimantan tengah sekitar 1,51 juta ha,
kemudian dikalimantan barat 0,42 juta dan kalimantan Timur 0,15 juta ha. Di
silawesi tengah, tengah, selatan dan tenggara dipearkirakan terdapat antara 11-25
ribu ha (Himatan, 2006).
Dari empat sub-ordo dalam kelompok spodosol, yang sering kali dibuka untuk
pertanian adalah Haplorthods yaitu spodosol yang terbentuk diwilayah beriklim
basah, dengan curah hujan tunggi dan rezim kelembaban tanah udik dan aquods
yaitu spodosol basah atau jenuh air dengan drainase sangat terhambat dan sering
kali mempunyai permukaan air tanah berada dekat dengan permukaan tanah.
Data dari analisis tanah dari beberapa pedon Spodosol dari kalimantan tengah dan
kalimantan barat menunjukkan bahwa, Spodosol termasuk tanah dengan kelas
besar butir berpasir, dengan kandungan fraksi pasir tinggi (65-96 %). Reaksi tanah
menunjukkan masam ekstrem sampai sangat masam (pH 3,3 – 4,9) di seluruh
lapisan tanah, cenderung menaik kelapisan bawah. Pada permukaan tanah,
bisasanya terdapat lapisan bahan organik (Oi dan Oe) tipis (5-10) cm dan
dibawahnya terdapat Horizon Al dengan kandungan bahan organik termasuk
sedang sampai tinggi (3,1 – 9,5)%. Langsung dibawah horizon ini terdapat horizon
E, berwarna putih dan putih kekelabuan, dengan kandungan bahan organik dangat
rendah (0,2 – 0,95) %. Rasio C/N tergolong tinggi (16-35).
Kandungan P dan K-potensial di lapisan atas dan dilapisan bawah, sangat rendah
sampai rendah. Jumlah basa-basa dapat ditukar termasuk sangat rendah (0,2-1,2
cmol (+)/kg tanah). Kandungan kedua unsur hara ini dilapisan serasah, selalu lebih
tinggi dari pada lapisan bawah yang berpasir. KTK tanah sebagian besar sangat
rendah dilapisan pasir, dan agak tinggi sampai tinggi pada lapisan serasah dan di
horizon Bs (sesquioksida). KB semuanya sangat rendah sampai. Potensi Kesuburan
alami Spodosol dengan demikian disimpulkan sangat rendah sampai rendah
penggunaan tanah (Himatan, 2006)
A. Pengertian
Tanah mineral dalam taksonomi berarti tanah yang mengandung material tanah
berasal dari mineral berdiameter lebih halus dari 2.0 mm yang menyusun lebih dari
setengah sampai kedalaman tanah 80 cm, mengandung bahan organik lebih rendah
dari 20%, ketebalan material organik tanah kurang dari 40 cm apabila telah
terdekomposisi sampai tingkat hemik dan saprik dengan bobot isi sama dengan 1 g cm-
3 atau lebih besar, atau dengan ketebalan material organik tanah kurang dari 60 cm
dan belum banyak mengalami dekomposisi sehingga masih banyak mengandung serat
atau tidak dekomposisi fibrik, atau bobot isi lebih rendah dari 1 g cm-3. Tanah-tanah
yang memiliki ketebalan solum sampai 40 cm dapat juga dimasukkan dalam
pengertian tanah mineral, tetapi keberlanjutan agroekosistem pada tanah ini akan
menuai banyak kendala terutama pada wilayah kering berkelerengan tinggi.
Dalam klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman pangan, tanah berketebalan solum
kurang dari 40 cm sudah termasuk kelas sesuai marjinal atau S-3, dan tidak dapat
ditingkatkan kesesuaiannya walau dengan masukan apapun. Pengelolaannya untuk
agroekosistem memerlukan masukan tinggi, dan apabila tidak diberi masukan, tanah
ini akan mudah mengalami degradasi. Pada ketebalan tanah seperti ini, untuk tanaman
tahunan sudah tidak dapat lagi diusahakan untuk pertanian, karena termasuk kelas
kesesuaian lahan dengan kedalaman efektif tidak sesuai permanen atau N-2, dan
peruntukannya hanya untuk kawasan konservasi.
Tanah mineral masam dalam pengertian sempit yang didasarkan pada taksonomi kelas
reaksi tanah yaitu masam (acid) tanah mineral yang memiliki pH lebih kecil dari 5.0
(0.01 M CaCl2; 2:1) pada seluruh lapisan kontrol (control section) atau sekitar pH 5.5
(H2O; 1:1). Bila pH (H2O; 1:1) <>200 mm bulan-1 dan karena didukung pula oleh
temperatur yang tinggi maka proses pelapukan berjalan lebih cepat bila dibandingkan
dengan daerah-daerah beriklim kering. Tingginya curah hujan tersebut telah
menyebabkan hilangnya hara dari daerah perakaran melalui pencucian sehingga
menimbulkan terbentuknya tanah mineral masam. Proses pembentukan tanah mineral
masam menurut Notohadiprawiro (1986) berasal dari proses pelapukan yang sangat intensif
karena berlangsung pada daerah tropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi.
Kendala sifat dari tanah mineral masam untuk pengembangan agroekosistem meliputi
kendala kimia, fisik, dan biologi tanah.
Kendala kimia yang utama pada tanah mineral masam, yaitu; pertama, pH tanah yang rendah,
dan berimplikasi terhadap karakteristik kimia tanah yang lain seperti kelarutan Al, Fe, dan
Mn yang tinggi, ketersediaan P, Mo yang rendah. Kedua, ketersediaan kation-kation basa dan
kejenuhan basa yang rendah. Pencucian basa-basa yang berlangsung sangat intensif pada
rezim suhu mesik, isomesik mengakibatkan tanah bersifat masam dan miskin hara. Bahan
induk terbentuknya tanah mineral masam adalah bahan induk yang sudah tua yaitu batuan
liat (clay stone) atau batuan vulkanik masam, dan mineral liat yang terbentuk biasanya
didominasi oleh kaolinit dan gibsit (Hardjowigeno, 1993). Tanah mineral masam ini
kebanyakan telah kehilangan mineral primernya dan memiliki mineral kaolinit, dan oksida
besi dan aluminium yang lebih dominan. Ketiga, dominasi mineral liat kaolinit dan oksida-
oksida besi dan aluminium yang merupakan mineral low activity clay menyebabkan tanah ini
memiliki kapasitas tukar kation yang rendah. Keempat, tingginya kandungan mineral-mineral
tersebut apabila terlarut menyebabkan kejenuhan kation didominasi oleh kejenuhan asam dan
kation-kation tersebut pada konsentrasi tertentu akan bersifat toksik bagi tanaman, serta
anion-anion akan mudah terfiksasi menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kelima, rendahnya
kandungan fosfat dan tingginya retensi fosfat dan molibdat karena kelarutan Al dan Fe
menyebabkan fosfat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman. Keenam, muatan
permukaan pada tanah mineral masam umumnya didominasi oleh muatan berubah (pH
dependent charge), dimana daya sangga tanah menjadi tinggi sehingga aplikasi pengapuran
dan pemupukan memerlukan dosis yang lebih tinggi.
Tanah mineral masam memiliki kendala fisik, antara lain; pertama, kandungan bahan organik
yang rendah yaitu sekitar 2% bahkan banyak tanah yang telah diusahakan untuk pertanian
lebih rendah lagi. Daerah tropika yang lembab dan temperatur yang tinggi merangsang
aktivitas mikroorganisme untuk melakukan dekomposisi bahan organik tanah. Kedua,
rendahnya kandungan bahan organik tanah ini menyebabkan stabilitas agregat yang rendah
sehingga tanah akan mudah mengalami erosi. Ketiga, rendahnya kandungan bahan organik
ini juga mempengaruhi daya simpan air dimana daya simpan air pada tanah ini sangat
rendah. Keempat, secara fisiografis tanah umumnya tanah mineral masam terletak pada
wilayah yang berlereng, sehingga dengan curah hujan yang tinggi pada tanah berlereng,
tanah tersebut akan mudah mengalami erosi.
Produktivitas tanah turun karena kombinasi kahat unsur hara, degradasi fisik tanah
dan hilangnya bahan organik karena adanya proses dekomposisi bahan organik
dipercepat dan hilangnya bahan organik oleh adanya erosi. Erosi yang menghilangkan
lapisan tanah atas yang subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawah yang
mengandung Al tinggi dan bersifat toksik sebagai lapisan olah tanah untuk media
tanaman. Penurunan kesuburan tanah ini memberikan peluang yang lebih besar bagi
alang-alang (Imperata cylindrica) untuk mendominasi lahan.
Kendala biologi pada tanah mineral masam bermula dari rendahnya pH tanah dan
kandungan bahan organik tanah. Secara umum aktivitas mikroorganisme tanah
berada pada kisaran pH netral, kecuali fungi dan beberapa bakteri. Beberapa bakteri
dapat berkembang pada pH ekstrim 2 – 5 seperti Thiobacillus ferrooxidans dan
Thiobacillus thiooxidans yang mendapatkan energi dari oksidasi senyawa besi dan
sulfur. Kebanyakan bakteri akan berkembang secara optimum pada pH netral, seperti
bakteri Rhizobium yang bersimbiosis dengan tanaman legum akan aktif membentuk
bintil akar dan mengfiksasi N dari udara pada kisaran pH 6.5 sampai 7.0. Bakteri
dekomposer dan nitrifikasi seperti Nitrobacter dan Nitrosomonas akan aktif
melakukan dekomposisi bahan organik pada pH tanah yang netral. Kandungan bahan
organik tanah sangat mempengaruhi aktivitas cacing tanah. Bahan organik adalah
sumber makanan dan energi bagi aktivitas cacing tanah, dan efek samping dari
aktivitas cacing tanah seperti pembuatan lubang tanah, sekresi yang mengeluarkan
asam organik dan meningkat ketersediaan hara serta mengeluarkan zat atau hormon
pengatur tumbuh. Dengan demikian pemeliharaan bahan organik tanah sangat
menentukan dinamika keberlanjutan agroekosistem pada lahan mineral masam.
D. Kendala Pengelolaan
Tanah mineral masam secara fisik berpotensi tinggi sebagai lahan pertanian, namun
bila pengelolaannya kurang tepat akan menimbulkan dampak yang cukup serius
terhadap lingkungan. Usaha intensifikasi pertanian di Indonesia seringkali
mengakibatkan pengurasan hara dari dalam tanah akibat pengangkutan panen dalam
jumlah besar. Sistem pengelolaan kesuburan tanah hanya ditekankan pada pergantian
hara melalui pemupukan tanpa adanya usaha untuk mempertahankan kesuburan
tanah secara komprehensif. Dengan demikian usaha intensifikasi ini seringkali diikuti
oleh penurunan produksi tanaman dan kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan. Pengelolaan lahan pertanian yang semakin intensif seperti
penggunaan pupuk anorganik dalam dosis tinggi secara terus menerus, atau tanah di
sekitar daerah industri telah banyak memacu terjadinya kemasaman tanah sehingga
luasan tanah masam terus meningkat.
Namun, saat ini penggunaan pestisida telah menimbulkan berbagai masalah. Masalah
pertama adalah timbulnya kekebalan pada berbagai organisme hama, sehingga untuk
memberantasnya memerlukan dosis yang lebih tinggi; kedua, timbulnya residu
pestisida yang mencemari lingkungan; dan ketiga, timbulnya efek merusak dari bahan
kimia terhadap organisme yang bukan sasaran. Banyak pestisida yang dikembangkan
saat ini bersifat selektif terhadap target gulma, hama dan vektor penyakit, tetapi
hampir tidak mungkin pestisida tersebut tidak kontak dengan non target. Pestisida
yang diaplikasikan dalam produksi pertanian dapat berimplikasi pada perubahan
keseimbangan ekosistem tanah, baik merusak organisme non target maupun merubah
karakteristik fisiko-kimia tanah yang berimplikasi pada komposisi organisme tanah.
Tanah yang menjadi tempat tumbuh dan hidupnya organisme menanggung beban
yang amat berat karena dapat menjadi tempat terakumulasinya residu pestisida.
E. Agroekosistem
Tanah-tanah di wilayah beriklim tropika basah yang belum dijamah manusia sangat
produktif menghasilkan biomassa. Jumlah biomassa dalam hutan tropika antara 200
sampai 400 ton bahan kering. Laju pelepasan karbon dari permukaan daratan
sekarang ini dua kali lebih besar dari laju pemendamannya. Ketidakseimbangan ini
terutama disebabkan oleh penebangan hutan dan pembukaan lahan untuk
pengembangan agroekosistem. Penebangan hutan telah menurunkan kapasitas
produksi primer dan adanya percepatan laju dekomposisi dari cadangan karbon yang
tersimpan dalam tanah.
Net produksi primer atau net fotosintesis adalah laju penimbunan karbon organik
melalui fotosintesis dalam jaringan tanaman melebihi laju respirasi. Pada sistem tanah,
net fotosintesis pada tanaman tingkat tingggi adalah penyumbang terbesar produksi
primer. Net fotosintesis sangat beragam antar ekosistem, dan laju tertinggi produksi
dihasilkan pada ekosistem hutan hujan tropika dimana sekitar 11 ton ha-1 dari karbon
atmosfer difiksasi setiap tahun sebagai biomassa pohon. Kapasitas yang tinggi dari
hutan hujan tropika dalam mengfiksasi karbon dioksida dan penyebarannya yang
sangat luas sehingga kehilangan hutan hujan tropika basah ini berimplikasi terhadap
keseimbangan gas rumah kaca di atmosfer.
Pada saat ini, siklus perladangan tersebut banyak terganggu antara lain oleh
pertambahan penduduk yang pesat, pengalokasian lahan untuk keperluan lain,
penguasaan lahan yang berlebih oleh perorangan dan badan usaha. Keterdesakan
masyarakat akan keperluan lahan usaha tani ini menyebabkan perlunya pembinaan
yang intensif pada peladang berpindah karena sistem perladangan berpindah ini tidak
sesuai lagi dengan daya dukung lahan saat ini. Dalam penanganan masalah
perladangan berpindah, pola usaha tani harus merupakan rakitan yang mempunyai
interaksi komplementer atau hasil keterpaduannya yang bersifat sinergis. Beragam
pola usaha tani bukanlah pola yang baru sama sekali, tetapi pola tersebut merupakan
modifikasi dari pola tradisional yang biasa diterapkan oleh petani. Komponen utama
yang harus bersinergis dalam pola usaha tani yang harus diterapkan yaitu pola yang
menyeimbangkan komoditas tanaman pangan dan tanaman tahunan, yang rasionya
merupakan bandingan serasi yang dapat memberikan hasil tinggi, dan pendapatan
petani yang maksimal tanpa mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.