Anda di halaman 1dari 16

Oleh Kelompok 3:

Ahmad Setiadevi (20140210063)


Ayu Putri Ana (20140210059)

PRODI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
I. DISKRIPSI
Pengertian Tanah Masam
Tanah masam adalah tanah-tanah dengan pH rendah dibawah 6 karena kandungan
ion hidrogen yang tinggi. Tanah masam dapat berubah menjadi tanah mineral masam dan
tanah organik masam (gambut). Tanah mineral masam umumnya dijumpai pada tanah-
tanah merah yang telah berpelapukan lanjut, sedangkan tanah organik masam umumnya
tersebar pada tanah-tanah di dataran rendah, cekungan atau rawa atau tanah organik di
pegunungan, namun sangat sedikit sekali tanah organik masam yang dijumpai pada
dataran tinggi misal gambut pegunungan. (Yulianti,2007)
Kemasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalam
larutan tanah. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi, maka tanah akan
bereaksi masam dan mempunyai pH tanah yang rendah. Sebaliknya, bila kepekatan ion
hidrogen terlalu rendah, makan tanah akan bereaksi basa atau alkalis yang mempunyai
pH yang tinggi. Proses pembentukan tanah mineral masam menurut Notohadiprawiro
(1986) berasal dari proses pelapukan yang sangat intensif karena berlangsung pada
daerah tropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi.
Ada beberapa penyebab umum yang menyebabkab tanah bereaksi masam. Pertama
adalah curah hujan yang tinggi, secara alami tanah akan menjadi masam akibat pencucian
unsur hara. Kedua adalah pupuk yang dapat berfisiologis masam. Pupuk Nitrogen seperti
Urea, ZA, KCL, ZK adalah pupuk yang mempunyai pengaruh besar dalam mengasamkan
tanah. Ketiga adalah drainase yang kurang baik, genangan air yang terus menerus pada
tanah berawa atau tanah-tanah sawah, akan menjadi masam. Adanya unsur berlebihan
seperti Al, Fe dan Mn dalam kadar berlebih seperti yang terdapat pada tanah Ultisol,
Oxisol, Spodosol dan Andisol. Proses dekomposisi bahan organik, pada tanah-tanah yang
memiliki bahan organik tinggi seperti gambut selalu dijumpai tanah masam dengan pH
rendah, hal itu karena proses dekomposisi bahan organik yang dalam prosesnya akan
mengusir dan mengeluarkan gugus-gugus fungsional yang melepaskan hidrogen dalam
tanah.

Tanah Mineral Masam dan Penyebarannya

Tanah mineral masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah,


termasuk Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols
dan spodosol, masing-masing sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau seluruhnya
sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia (Nursyamsi et al, 1996). Luasnya
tanah
masam tersebut sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan
usaha pertanian, tetapi sampai sekarang masih belum dapat dimanfaatkan secara
maksimal mengingat beberapa kendala yang terdapat pada tanah masam.Tanah
ordo lain yang bersifat masam adalah inseptisol dan entisol.
Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalam
tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka
tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah
maka tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar kation OH- lebih tinggi dari
ion H+.

Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi.
Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam
karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dalam keadaan tertentu,
yaitu apabila tercapai kcjenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida
,dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah (Yulianti, 2007).

Di daerah rawa-rawa, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam


sulfat yang tinggi. Di daerah ini sering ditemukan tanah sulfat masam karena
mengandung, lapisan cat clay yang menjadi sangat masam bila rawa dikeringkan
akibat sulfida menjadi sulfat.

Kebanyakan partikel lempung berinteraksi dengan ion H+. Lempung jenuh


hidrogen mengalami dekomposisi spontan. Ion hidrogen menerobos lapisan
oktahedral dan menggantikan atom Al. Aluminium yang dilepaskan kemudian
dijerap oleh kompleks lempung dan suatu kompleks lempung-Al-H terbentuk
dengan cepat ion. Al3+ dapat terhidrolisis dan menghasilkan ion H.

Reaksi tersebut menyumbang pada peningkatan konsentrasi ion H+ dalam tanah.


Sumber keasaman atau yang berperan dalam menentukan keasaman pada tanah
gambut adalah pirit (senyawa sulfur) dan asam-asam organik. Tingkat keasaman
gambut mempunyai kisaran yang sangat lebar. Keasaman tanah gambut cendrung
semakin tinggi jika gambut semakin tebal. Asam-asam organik yang tanah gambut
terdiri dari atas asam humat, asam fulvat, dan asam humin. Pengaruh pirit yaitu
pada oksida pirit yang akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai pH 2 -
3. Pada keadaan ini hampir tidak ada tanaman budidaya yang dapat tumbuh baik.
Selain menjadi penghambat pertumbuhan tanaman, pirit menyebabkan terjadinya
karatan (corrosion) sehingga mempercepat kerusakan alat-alat pertanian yang
terbuat dari logam.

Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kemasaman (reaksi
tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi
hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang
diukur pada pemakaiannya sehari-hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya
kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun
yang terdapat dalam larutan (Hanafiah, 2007).

Selanjutnya dijelaskan juga oleh Hanafiah (2007) bahwa sejumlah senyawa


menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam-asam
organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah ,
merupakan konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman tanah.
Respirasi akar tanaman menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3 dalam
air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+. Suatu bagian yang
besar dari ion-ion H+ yang dapat dipertukarkan.

H
H---Lempung ---> Lempung + 3 H+
H

Ion-ion H+ tertukarkan tersebut berdisosiasi menjadi ion-ion H+ bebas. Dcrajat


ionisasi dan disosiasi ke dalam larutan tanah menentukan khuluk kemasaman
tanah. Ion-ion H+ yang dapat dipertukarkan merupakan penyebab terbentuknya
kemasaman tanah potensial atau cadangan. Besaran dari kemasaman potensial ini
dapat ditentukan dengan titrasi tanah. Ion-ion H+ bebas menciptakan kemasaman
aktif. Kemasaman aktif diukur dan dinyatakan sebagai pH tanah. Tipe kemasaman
inilah yang sangat menentukan dan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman.

Ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang dapat digunakan. Alat yang murah ialah
kertas lakmus yang bentuknya berupa gulungan kertas kecil memanjang. Alat lain
yang harganya sedikit mahal tetapi dapat dipakai berulang kali dengan hasil
pengukuran lebih terjamin adalah pH tester dan soil tester.

Pemakaian kertas lakmus sangat mudah, caranya yaitu : mengambil tanah lapisan
dalam, lalu larutkan dengan air murni (aquadest) dalam wadah. Biarkan tanahnya
terendam di dasar wadah sehingga airnya menjadi bening kembali. Setelah bening,
air tersebut dipindahkan ke wadah lain secara hati-hati agar tidak keruh.
Selanjutnya, ambil sedikit kertas lakmus dan celupkan ka dalam air tersebut.
Dalam beberapa saat kertas lakmus akan berubah warna. Cocokan warna pada
kertas lakmus dengan skala yang ada pada kemasan kertas lakmus. Skala tersebut
telah dilengkapi dengan angka pH masing-masing Warna. Angka pH tanah tersebut
adalah angka dari warna pada kemasan yang cocok dengan warna kertas lakmus
Misalnya, angka yang cocok adalah 6 maka pH-nya 6.
Pemakaian soil tester untuk mendapat pH tanah agak berbeda dengan kertas
lakmus. Bentuknya seperti pahat dan berukuran pendek. Oleh karena berbentuk
padatan, ada bagian yang runcing. Bagian runcing inilah yang ditancapkan ke
tanah hingga pada batas yang dianjurkan. Setelah ditancapkan, sekitar tiga menit
kernudian jarum skala yang terletak di bagian atas alat ini akan bergerak. Angka
yang ditunjukkan jarum tersebut merupakan pH dari tanah tersebut.

Pemakaian pH tester lebih sederhana dan soil tester penggunaannya untuk


megukur nilai pH tanah di lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 1-2 ha. Walaupun
demikian, alat ini masih bisa diandalkan. Bagian yang menunjukkan angka pH
berbentuk kotak dengan jarum penunjuk angka. Bagian kotak tersebut
dihubungkan dengan besi sepanjang 25 cm yang ujungnya runcing dan dilapisi
logam elektroda. Besi inilah vang ditancapkan ke tanah. Jumlah besi bisa 1-2 buah.

Penetapan pH tanah sekarang ini dilakukan dengan elektroda kaca. Elektroda ini
terdiri dari suatu bola kaca tipis yang berisi HCL. encer, dan di dalamnya
disisipkan kawat Ag-AgCl, yang berfungsi sebagai elektrodanya dengan tegangan
(voltase) tetap. Pada waktu bola kaca tersebut itu dicelupkan ke dalam suatu
larutan, timbul suatu perbedaan antara larutan di dalam bola dan larutan tanah di
luar bola kaca. Sebelum pengukuran pH dilakukan, kedua elektroda pertama-tama
harus dimasukkan ke dalam suatu larutan yang diketahui pH-nya (misalnya
konsentrasi ion H+ = 1 g/L). Kegiatan ini disebut pembakuan elektroda dan
petunjuk pH (pH meter).

Dalam pengukuran pH, elektroda acuan dan elektroda indikator dicelupkan ke


dalam suspensi tanah yang heterogen yang terdiri atas partikel-partikel padat
terdispersi dalam suatu larutan aquadest. Jika partikel-partikel padat dibiarkan
mengendap, pH dapat diukur dalam cairan supernatant atau dalam endapan
(sedimen). Penempatan pasangan elektroda dalam supernatant biasanya
memberikan bacaan pH yang lebih tinggi dari pada penempatan dalam sedimen.
Perbedaan dalam bacaan pH ini disebut pengaruh suspensi. Pengadukan suspensi
tanah sebelum pengukuran tidak akan memecahkan masalah tersebut, karena
prosedur ini memberikan bacaan yang tidak stabil (Hanafiah, 2007).

Jenis tanah masam diantaranya terdapat pada tanah ordo Ultisol. Ultisol dibentuk
oleh proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena
berlangsung dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas
dan bercurah hujan tinggi dengan vegetasi klimaksnya hutan rimba. Dalam
lingkungan semacam ini reaksi hidrolisis dan asidolisis serta proses pelindian
(leaching) terpacu sangat cepat dan kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena air
infiltrasi dan perkolasi mengambil CO2 hasil mineralisasi bahan organik berupa
serasah hutan dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan (Yulnafatmawita, 2008).

Pelapukan masam tanah membebaskan basa dari mineral tanah secara cepat
apabila didukung dengan daya lindi yang kuat maka akan terbentuk tanah yang
miskin hara dan Al Fe serta Mn yang tinggi dapat meracun tanaman. Persoalan
akan bertambah berat jika bahan induk tanah sudah bersifat masam kondisi inilah
yang dijumpai di Sumatera.

Tanah ultisol memiliki ciri-ciri sebagai berikut ;


1. pH rendah
2. Kejenuhan Al , Fe dan Mn tinggi
3. Daya jerap terhadap fosfat kuat
4. Kejenuhan basa rendah ; kadar Cu rendah dalam tanah yang berasal dari bahan
induk masam (feksil) atau batuan pasir, Zn cukup namun tereluviasi.
5. Kadar bahan organik rendah dan kadar N rendah
6. Daya simpan air terbatas
7. Kedalaman efektif terbatas
8. Derajat agregasi rendah dan kemantapan agregat lemah baik pada lahan
berlereng maupun datar.

Kerentanan terhadap erosi membuat tanah akan semakin cepat berkurang


kesuburannya terutama pada lapisan atas dan akan terakumulasi di bagian yang
lebih rendah (Notohadiprawiro, 2006).

Kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan
masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung
dalam tanah Ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi,
sehingga sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak
tersedia bagi tanaman maupun biota tanah (Hasanudin dan Ganggo, 2004).

Menurut Subandi (2007) Tanah Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang


menyebabkan kandunganAl, Fe, danMn terlarut tinggi sehingga dapat meracuni
tanaman. Jenis tanah ini biasanya miskin unsur hara esensial makro seperti N, P,
K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro Zn, Mo, Cu, dan B, serta bahan organik.
Meskipun secara umum tanah Ultisol atau Podsolik Merah Kuning banyak
mengandung Al dapat ditukar (Al-dd) (20-70%), namun hasil
penelitianmenunjukkan bahwa beberapa contoh tanah tersebut mengandung Al-dd
relatif rendah (< 20%). Tanah di KP. Kayu Agung, Indralaya, dan Prabumulih
Sumatera Selatan, misalnya, mempunyai kejenuhan Al-dd berturut-turut 11,08%,
1,01%, dan 17,26%, di Jawa Barat 13,40% dan 11 dari 28 contoh tanah lapisan atas
yang berasal dari Lampung Tengah jugamemiliki kejenuhanAl-dd yang rendah .

Tekstur tanah ultisol bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan
lempungan (clayey) .Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral
silikat tipe 1:1 serta oksida dan hidroksida Fe danAl , sehingga fraksi lempung
tergolong beraktivitas rendah dan dayamemegang lengas juga rendah. Karena
umumnya memiliki kandungan bahan organik rendah dan fraksi lempungnya
beraktivitas rendah maka kapasitas tukar kation tanah (KTK) tanah Podsolik juga
rendah, sehingga relatif kurang kuatmemegang hara tanaman dan karenanya
unsur haramudah tercuci. Tanah Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan
terubahkan (variable charge), sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai
pH-nya, peningkatan pH akan diikuti oleh peningkatan KTK ,lebih mampu
mengikat hara K dan tidak mudah tercuci.

Ultisols (ultimus-selesai) adalah tanah-tanah yang berwarna kuning merah dan


telah mengalami pencucian yang sudah lanjut. Dikenal luas sebagai podsolik merah
kuning. Tanah-tanah ini mendominasi lahan kering yang ada di Sumatera,
Kalimantan dan Jawa. Total luas adalah sekitar 45.79 juta ha atau 24.3 % dari
lahan Indonesia dan menyebar di Kalimantan Timur (10.04 juta ha), Irian Jaya
(7.62 juta), Kalimantan Barat (5.71 juta), Kalimantan Tengah (4.81 juta), dan Riau
(2.27 juta ha).

Tanah Oxisols (oxide, oksida) adalah tanah-tanah yang telah mengalami pencucian
yang intensif dan miskin hara, tinggi kandungan AL dan Fe. Seperti halnya Ultisols,
mereka mendominasi lahan kering dengan intensitas curah hujan yang tinggi.
Tanah-tanah ini sudah tua. Total luas tanah ini sekitar 14.11 juta ha atau 7.5% dari
total lahan Indonesia dan menyebar di Sumatera Selatan (2.82 juta ha), Irian Jaya
(2.41 juta), Kalimantan Tengah (2.06 juta), Kalimantan Barat (1.79 juta), Jambi
(1.14 juta), dan Lampung (1.01 juta ha).

Spodosol merupakan tanah mineral yang mempunyai horizon spodik, suatu horizon
dalam dengan akumulasi bahan organic, dan oksidasi aluminium (Al) dengan atau
tanpa oksidasi besi (Fe). Horizon iluvial ini dijumpai dibawah horizon eluviasi,
biasanya suatu horizon albik (berwarna merah muda, dengan demikian memadai
bila disebut abu kayu). Umumnya terbentuk diwilayah iklim humid, dibawah
vegetasi hutan basah dan berkembang dari bahan endapan dan batuan sediment
kaya kuarsa yang dipercepat oleh adanya vegetasi yang menghasilkan serasah
asam. Senyawa – senyawa organic tercuci kebawah bersama air perkolasi sehingga
tanah permukaan menjadi berwarna terang, sedang horizon bawah menjadi
berwarna gelap karena terjadinya selaput organic pada butir-butir tanah.

Species tumbuhan yang berkadar ion-ion logam rendah, seperti pinus, kelihatannya
merangsang pertumbuhan spodosol. Dengan membusuknya daun-daun yang
rendah kadar ion logamnya, kemasaman tinggi akan terbentuk. Air perkolasi
membawa asam-asam itu kebagian profil tanah yang lenig dalam. Horizon atas
hancur karena pencucian intensif oleh asam. Sebagian besar mineral, dipindahkan
kebagian lebih dalam. Oksida aluminium dan besi serta bahan organic akan
diendapkan di horizon bagian bawah, sehingga menghasilkan profil spodosol yang
menarik.

Mengikuti definisi kuantitatif taksonomi tanah, tanah diklasifikasi sebagai spodosol,


apabila memiliki horizon dengan semua sifat berikut : i. Tersementasi dengan
kelembaban minimum 10 cm; ii. Terletak langsung dibawah horizon albik, pada 50
% atau lebih dari setiap pedonnya; iii. Batas atas berada dalam kedalaman <50 cm,
apabila kelas besar butirnya berlempung kasar, skeletal berlempung, atau lebih
halus atau <200 cm. Apabila kelas besar butirnya berpasir, dan; iv. Batas bawah
pada kedalaman 25 cm atau lebih, dari permukaan tanah. Dalam hal ini Spodosol
mencakup Tanah-tanah yang disebut : Podzol dan Podzol Air Tanah.

Spodosol adalah Tanah – tanah yang secara unik berkembang dari endapan pasir
kuarsa, dan/atau batu sedimen berupa batu pasir kuarsa. Vegetasi alami yang
tumbuh biasanya spesifik jenisnya. Yaitu vegetasi yang mampu berkembang subur
di Tanah masam, seperti kantung Semar dan Paku-pakuan.

Banyak tanah dari timur laut amerika serikat, termsuk bagian utara michigan dan
winconsin yang dulunya digolongkan sebagai podsol, podsolik coklat dan podsol air
tanah termasuk dalam spodosol. Sebagian dari mereka adalah orthod, suatu
spodosol umum. Akan tetapi beberapa adalah aquod, karena tanah ini selama
musim tertentu jenuh dengan air dan mempunyai ciri-ciri yang berasosiasi dengan
kebasahan, seperti akumulasi bahan organik yang tinggi, becak-becak pada horizon
albik dan terbentuknya semacam lapisan keras (duripan) pada horizon albik.
Daerah-daerah dari aquod adalah Florida.

Di Indonesia sendiri penyebaran endapan pasir dan batu pasir kuarsa yang secara
geologis sangat luas, terdapat di kalimantan tengah, serta setempat-setempat di
kalimantan barat dan kalimantan timur. Di pulau lain nampaknya tidak luas
penyebaranya dan setempat – setempat terdapat disulawesi dan sumatra. Landform
– nya dimasukkan sebagai dataran tektonik. Lanscape luas tanah spodosol
seluruhnya diperkirakan 2,16 juta ha atau 1,1 % wilayah dataran indonesia.
Penyebaranya paling luas terdapat di kalimantan tengah sekitar 1,51 juta ha,
kemudian dikalimantan barat 0,42 juta dan kalimantan Timur 0,15 juta ha. Di
silawesi tengah, tengah, selatan dan tenggara dipearkirakan terdapat antara 11-25
ribu ha (Himatan, 2006).

Dari empat sub-ordo dalam kelompok spodosol, yang sering kali dibuka untuk
pertanian adalah Haplorthods yaitu spodosol yang terbentuk diwilayah beriklim
basah, dengan curah hujan tunggi dan rezim kelembaban tanah udik dan aquods
yaitu spodosol basah atau jenuh air dengan drainase sangat terhambat dan sering
kali mempunyai permukaan air tanah berada dekat dengan permukaan tanah.

Data dari analisis tanah dari beberapa pedon Spodosol dari kalimantan tengah dan
kalimantan barat menunjukkan bahwa, Spodosol termasuk tanah dengan kelas
besar butir berpasir, dengan kandungan fraksi pasir tinggi (65-96 %). Reaksi tanah
menunjukkan masam ekstrem sampai sangat masam (pH 3,3 – 4,9) di seluruh
lapisan tanah, cenderung menaik kelapisan bawah. Pada permukaan tanah,
bisasanya terdapat lapisan bahan organik (Oi dan Oe) tipis (5-10) cm dan
dibawahnya terdapat Horizon Al dengan kandungan bahan organik termasuk
sedang sampai tinggi (3,1 – 9,5)%. Langsung dibawah horizon ini terdapat horizon
E, berwarna putih dan putih kekelabuan, dengan kandungan bahan organik dangat
rendah (0,2 – 0,95) %. Rasio C/N tergolong tinggi (16-35).

Kandungan P dan K-potensial di lapisan atas dan dilapisan bawah, sangat rendah
sampai rendah. Jumlah basa-basa dapat ditukar termasuk sangat rendah (0,2-1,2
cmol (+)/kg tanah). Kandungan kedua unsur hara ini dilapisan serasah, selalu lebih
tinggi dari pada lapisan bawah yang berpasir. KTK tanah sebagian besar sangat
rendah dilapisan pasir, dan agak tinggi sampai tinggi pada lapisan serasah dan di
horizon Bs (sesquioksida). KB semuanya sangat rendah sampai. Potensi Kesuburan
alami Spodosol dengan demikian disimpulkan sangat rendah sampai rendah
penggunaan tanah (Himatan, 2006)

II. PROSES PEMBENTUKAN


III. PENGELOLAHAN/PEMANFAATAN LAHAN
IV. PENUTUP

A. Pengertian
Tanah mineral dalam taksonomi berarti tanah yang mengandung material tanah
berasal dari mineral berdiameter lebih halus dari 2.0 mm yang menyusun lebih dari
setengah sampai kedalaman tanah 80 cm, mengandung bahan organik lebih rendah
dari 20%, ketebalan material organik tanah kurang dari 40 cm apabila telah
terdekomposisi sampai tingkat hemik dan saprik dengan bobot isi sama dengan 1 g cm-
3 atau lebih besar, atau dengan ketebalan material organik tanah kurang dari 60 cm
dan belum banyak mengalami dekomposisi sehingga masih banyak mengandung serat
atau tidak dekomposisi fibrik, atau bobot isi lebih rendah dari 1 g cm-3. Tanah-tanah
yang memiliki ketebalan solum sampai 40 cm dapat juga dimasukkan dalam
pengertian tanah mineral, tetapi keberlanjutan agroekosistem pada tanah ini akan
menuai banyak kendala terutama pada wilayah kering berkelerengan tinggi.

Dalam klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman pangan, tanah berketebalan solum
kurang dari 40 cm sudah termasuk kelas sesuai marjinal atau S-3, dan tidak dapat
ditingkatkan kesesuaiannya walau dengan masukan apapun. Pengelolaannya untuk
agroekosistem memerlukan masukan tinggi, dan apabila tidak diberi masukan, tanah
ini akan mudah mengalami degradasi. Pada ketebalan tanah seperti ini, untuk tanaman
tahunan sudah tidak dapat lagi diusahakan untuk pertanian, karena termasuk kelas
kesesuaian lahan dengan kedalaman efektif tidak sesuai permanen atau N-2, dan
peruntukannya hanya untuk kawasan konservasi.

Tanah mineral masam dalam pengertian sempit yang didasarkan pada taksonomi kelas
reaksi tanah yaitu masam (acid) tanah mineral yang memiliki pH lebih kecil dari 5.0
(0.01 M CaCl2; 2:1) pada seluruh lapisan kontrol (control section) atau sekitar pH 5.5
(H2O; 1:1). Bila pH (H2O; 1:1) <>200 mm bulan-1 dan karena didukung pula oleh
temperatur yang tinggi maka proses pelapukan berjalan lebih cepat bila dibandingkan
dengan daerah-daerah beriklim kering. Tingginya curah hujan tersebut telah
menyebabkan hilangnya hara dari daerah perakaran melalui pencucian sehingga
menimbulkan terbentuknya tanah mineral masam. Proses pembentukan tanah mineral
masam menurut Notohadiprawiro (1986) berasal dari proses pelapukan yang sangat intensif
karena berlangsung pada daerah tropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi.
Kendala sifat dari tanah mineral masam untuk pengembangan agroekosistem meliputi
kendala kimia, fisik, dan biologi tanah.

Kendala kimia yang utama pada tanah mineral masam, yaitu; pertama, pH tanah yang rendah,
dan berimplikasi terhadap karakteristik kimia tanah yang lain seperti kelarutan Al, Fe, dan
Mn yang tinggi, ketersediaan P, Mo yang rendah. Kedua, ketersediaan kation-kation basa dan
kejenuhan basa yang rendah. Pencucian basa-basa yang berlangsung sangat intensif pada
rezim suhu mesik, isomesik mengakibatkan tanah bersifat masam dan miskin hara. Bahan
induk terbentuknya tanah mineral masam adalah bahan induk yang sudah tua yaitu batuan
liat (clay stone) atau batuan vulkanik masam, dan mineral liat yang terbentuk biasanya
didominasi oleh kaolinit dan gibsit (Hardjowigeno, 1993). Tanah mineral masam ini
kebanyakan telah kehilangan mineral primernya dan memiliki mineral kaolinit, dan oksida
besi dan aluminium yang lebih dominan. Ketiga, dominasi mineral liat kaolinit dan oksida-
oksida besi dan aluminium yang merupakan mineral low activity clay menyebabkan tanah ini
memiliki kapasitas tukar kation yang rendah. Keempat, tingginya kandungan mineral-mineral
tersebut apabila terlarut menyebabkan kejenuhan kation didominasi oleh kejenuhan asam dan
kation-kation tersebut pada konsentrasi tertentu akan bersifat toksik bagi tanaman, serta
anion-anion akan mudah terfiksasi menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kelima, rendahnya
kandungan fosfat dan tingginya retensi fosfat dan molibdat karena kelarutan Al dan Fe
menyebabkan fosfat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman. Keenam, muatan
permukaan pada tanah mineral masam umumnya didominasi oleh muatan berubah (pH
dependent charge), dimana daya sangga tanah menjadi tinggi sehingga aplikasi pengapuran
dan pemupukan memerlukan dosis yang lebih tinggi.

Tanah mineral masam memiliki kendala fisik, antara lain; pertama, kandungan bahan organik
yang rendah yaitu sekitar 2% bahkan banyak tanah yang telah diusahakan untuk pertanian
lebih rendah lagi. Daerah tropika yang lembab dan temperatur yang tinggi merangsang
aktivitas mikroorganisme untuk melakukan dekomposisi bahan organik tanah. Kedua,
rendahnya kandungan bahan organik tanah ini menyebabkan stabilitas agregat yang rendah
sehingga tanah akan mudah mengalami erosi. Ketiga, rendahnya kandungan bahan organik
ini juga mempengaruhi daya simpan air dimana daya simpan air pada tanah ini sangat
rendah. Keempat, secara fisiografis tanah umumnya tanah mineral masam terletak pada
wilayah yang berlereng, sehingga dengan curah hujan yang tinggi pada tanah berlereng,
tanah tersebut akan mudah mengalami erosi.

Produktivitas tanah turun karena kombinasi kahat unsur hara, degradasi fisik tanah
dan hilangnya bahan organik karena adanya proses dekomposisi bahan organik
dipercepat dan hilangnya bahan organik oleh adanya erosi. Erosi yang menghilangkan
lapisan tanah atas yang subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawah yang
mengandung Al tinggi dan bersifat toksik sebagai lapisan olah tanah untuk media
tanaman. Penurunan kesuburan tanah ini memberikan peluang yang lebih besar bagi
alang-alang (Imperata cylindrica) untuk mendominasi lahan.

Kendala biologi pada tanah mineral masam bermula dari rendahnya pH tanah dan
kandungan bahan organik tanah. Secara umum aktivitas mikroorganisme tanah
berada pada kisaran pH netral, kecuali fungi dan beberapa bakteri. Beberapa bakteri
dapat berkembang pada pH ekstrim 2 – 5 seperti Thiobacillus ferrooxidans dan
Thiobacillus thiooxidans yang mendapatkan energi dari oksidasi senyawa besi dan
sulfur. Kebanyakan bakteri akan berkembang secara optimum pada pH netral, seperti
bakteri Rhizobium yang bersimbiosis dengan tanaman legum akan aktif membentuk
bintil akar dan mengfiksasi N dari udara pada kisaran pH 6.5 sampai 7.0. Bakteri
dekomposer dan nitrifikasi seperti Nitrobacter dan Nitrosomonas akan aktif
melakukan dekomposisi bahan organik pada pH tanah yang netral. Kandungan bahan
organik tanah sangat mempengaruhi aktivitas cacing tanah. Bahan organik adalah
sumber makanan dan energi bagi aktivitas cacing tanah, dan efek samping dari
aktivitas cacing tanah seperti pembuatan lubang tanah, sekresi yang mengeluarkan
asam organik dan meningkat ketersediaan hara serta mengeluarkan zat atau hormon
pengatur tumbuh. Dengan demikian pemeliharaan bahan organik tanah sangat
menentukan dinamika keberlanjutan agroekosistem pada lahan mineral masam.

D. Kendala Pengelolaan

Tanah mineral masam secara fisik berpotensi tinggi sebagai lahan pertanian, namun
bila pengelolaannya kurang tepat akan menimbulkan dampak yang cukup serius
terhadap lingkungan. Usaha intensifikasi pertanian di Indonesia seringkali
mengakibatkan pengurasan hara dari dalam tanah akibat pengangkutan panen dalam
jumlah besar. Sistem pengelolaan kesuburan tanah hanya ditekankan pada pergantian
hara melalui pemupukan tanpa adanya usaha untuk mempertahankan kesuburan
tanah secara komprehensif. Dengan demikian usaha intensifikasi ini seringkali diikuti
oleh penurunan produksi tanaman dan kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan. Pengelolaan lahan pertanian yang semakin intensif seperti
penggunaan pupuk anorganik dalam dosis tinggi secara terus menerus, atau tanah di
sekitar daerah industri telah banyak memacu terjadinya kemasaman tanah sehingga
luasan tanah masam terus meningkat.

Pengembangan agroekosistem pada areal tanah mineral masam selama ini


menunjukkan tingkat produktivitas yang rendah. Beberapa hasil penelitian dengan
menggunakan beragam jenis tanaman, baik tanaman pangan maupun tanaman
perkebunan menunjukkan hasil yang masih rendah yang belum sesuai dengan potensi
produksi yang semestinya. Tidak tercapainya potensi produksi pada tanah mineral
masam ini antara lain disebabkan oleh pengelolaan tanah yang belum optimal.
Produktivitas kelapa sawit pada tanah mineral masam di beberapa wilayah
perkebunan kelapa sawit di Indonesia ternyata masih rendah dan berada di bawah
standar potensi lahan kelas S-3. Hasil penelitian yang dilakukan pada tanaman
generasi pertama bahwa potensi produksi kelapa sawit pada tanah mineral masam di
beberapa kebun di Kalimantan Barat dan Timur masing-masing baru mencapai 61%
dan 63% terhadap standar potensi lahan kelas S-3, sedangkan di wilayah Riau dan
Sumatera Utara masing-masing baru mencapai 63% dan 77% (Poeloengan, dkk. 2001).
Sejarah manusia kaya dengan peperangan melawan hama. Lebih dari sepuluh ribu
spesies insekta, gulma, nematoda dan penyakit yang dapat menyerang tanaman yang
dibudidayakan. Berbagai cara telah dikembangkan untuk mengubah keseimbangan ke
arah yang menguntungkan manusia seperti pemilihan kultivar tanaman agar dapat
mengatasi dan melawan gulma, hama dan penyakit tanaman tersebut. Penggunaan
bahan kimia untuk mengendalian hama telah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu
seperti penggunaan bubur Bordeaux, campuran kapur dan belerang, larutan arsenik,
ataupun insektisida alami. Hampir di setiap usaha pertanian, sejumlah bahan kimia
digunakan untuk memberantas gulma, hama dan penyakit. Pestisida yang banyak
digunakan saat ini mencakup insektisida, fungisida, herbisida, nematisida, moluskisida,
dan akarisida.

Namun, saat ini penggunaan pestisida telah menimbulkan berbagai masalah. Masalah
pertama adalah timbulnya kekebalan pada berbagai organisme hama, sehingga untuk
memberantasnya memerlukan dosis yang lebih tinggi; kedua, timbulnya residu
pestisida yang mencemari lingkungan; dan ketiga, timbulnya efek merusak dari bahan
kimia terhadap organisme yang bukan sasaran. Banyak pestisida yang dikembangkan
saat ini bersifat selektif terhadap target gulma, hama dan vektor penyakit, tetapi
hampir tidak mungkin pestisida tersebut tidak kontak dengan non target. Pestisida
yang diaplikasikan dalam produksi pertanian dapat berimplikasi pada perubahan
keseimbangan ekosistem tanah, baik merusak organisme non target maupun merubah
karakteristik fisiko-kimia tanah yang berimplikasi pada komposisi organisme tanah.
Tanah yang menjadi tempat tumbuh dan hidupnya organisme menanggung beban
yang amat berat karena dapat menjadi tempat terakumulasinya residu pestisida.

E. Agroekosistem

Agroekosistem adalah ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan secara langsung


atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan/atau
serat-seratan. Konsep agrosistem ini harus berdimensi yang luas, meliputi
produktivitas, stabilitas, keberlanjutan dan kemerataan. Teknologi pertanian terus
berkembang, perubahan fungsi dan manfaat tanah mineral masam dengan faktor
pembatas yang sangat marjinal untuk ekstensifikasi pertanian dapat diatasi dengan
masukan teknologi dan energi. Tetapi, kalau masukan teknologi dan energi terus
ditingkatkan tanpa mempertimbangkan karakteristik tanah, produksi pertanian akan
mengalami pelandaian (levelling off) dan suatu waktu akan mencapai titik balik. Pada
titik balik tersebut sebidang tanah mineral masam dengan masukan teknologi dan
energi tidak akan memberikan hasil yang memadai lagi, bahkan akan mendatangkan
kerugian.

Langkah operasional dalam memantapkan tanah mineral masam sebagai


agroekosistem menyangkut aspek: agro-teknis, perbaikan varietas dan klon,
penyediaan benih unggul, dan pembinaan mutu benih. Pengelolaan tanah dan tanaman
yang baik dapat memberikan produktivitas sumberdaya lahan yang tinggi, lahan tidak
terdegradasi dan terpelihara keberlanjutannya, apalagi pengelolaan tersebut diirngi
dengan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu untuk menjaga stabilitas
produksi. Zonasi pengembangan pertanian harus memperhatikan aspek agro-
klimatologi dan potensi wilayah untuk menjamin kemerataan, sehingga tidak terjadi
produksi yang berlebihan pada satu komoditas, dan kelangkaan terhadap komoditas
lainnya. Aspek sosial-ekonomi berupa kerekayasaan sosial merupakan kegiatan untuk
meningkatkan dinamika sosial, serta diirngi dengan penyuluhan yang bertujuan untuk
meningkatkan inovasi teknologi dan inovasi sosial. Pengembangan tanah mineral
masam sebagai wilayah agroekosistem tidak hanya menyangkut aspek produksi, tetapi
juga aspek pemukiman, sarana sosial, lingkungan dan fasilitas pemasaran produk
pertanian. Langkah operasional yang menjamin terlayaninya aspek agro-teknis dan
sosial ekonomi dapat mengarahkan pengembangan wilayah ini menjadi daerah binaan
baru perekonomian dan pusat-pusat pertumbuhan.

Pengelolaan tanah mineral masam menjadi sumberdaya pertanian dan perkebunan


harus memperhatikan sifat ekosistem secara keseluruhan karena agroekosistem ini
merupakan sub-sistem binaan dari ekosistem wilayah yang sudah stabil.
Pengembangan agroekosistem dengan komoditas tunggal mudah mengalami
instabilitas secara teknis, ekonomis maupun ekologis. Bila suatu wilayah hanya
dikembangkan satu komoditas unggulan, bila terjadi serangan hama atau penyakit
tanaman maka serangannya akan sporadis keseluruhan wilayah, dan kegagalan
panennya akan berimplikasi pada kestabilan ekonomi wilayah. Secara ekonomis,
fluktuasi harga suatu produk sangat ditentukan oleh harga pasar di tingkat regional,
nasional maupun internasional. Jatuhnya harga kopi dunia, sebagai contoh,
menyebabkan keterpurukan ekonomi masyarakat petani kopi di wilayah Sumatera
Selatan, Lampung dan Bengkulu.

Secara ekologis, sistem monokultur pertanian merupakan model kebalikan dari


biodiversitas ekosistem alami. Pola usaha tani yang mendekati model ekosistem alami
agroforestry, yaitu model yang mendekati hutan dalam peranan hidrologinya. Model
agroforestry adalah memadukan tanaman dalam beragam strata, yaitu strata bawah
untuk tanaman pangan dan obat-obatan, strata tengah seperti pisang, kakao dan
tanaman dengan ketinggian batang sedang, dan strata atas adalah tanaman tahunan
seperti karet, kelapa, kelapa sawit. Model agroforestry ini juga menjamin simpanan
karbon biomassa tegakan dan cadangan karbon seresah dan karbon humus akan
mendekati simpanan karbon seperti hutan virgin, sehingga kegamangan akan
percepatan kehilangan simpanan karbon dari hutan tropika Indonesia dapat
diabaikan.

Tanah-tanah di wilayah beriklim tropika basah yang belum dijamah manusia sangat
produktif menghasilkan biomassa. Jumlah biomassa dalam hutan tropika antara 200
sampai 400 ton bahan kering. Laju pelepasan karbon dari permukaan daratan
sekarang ini dua kali lebih besar dari laju pemendamannya. Ketidakseimbangan ini
terutama disebabkan oleh penebangan hutan dan pembukaan lahan untuk
pengembangan agroekosistem. Penebangan hutan telah menurunkan kapasitas
produksi primer dan adanya percepatan laju dekomposisi dari cadangan karbon yang
tersimpan dalam tanah.

Net produksi primer atau net fotosintesis adalah laju penimbunan karbon organik
melalui fotosintesis dalam jaringan tanaman melebihi laju respirasi. Pada sistem tanah,
net fotosintesis pada tanaman tingkat tingggi adalah penyumbang terbesar produksi
primer. Net fotosintesis sangat beragam antar ekosistem, dan laju tertinggi produksi
dihasilkan pada ekosistem hutan hujan tropika dimana sekitar 11 ton ha-1 dari karbon
atmosfer difiksasi setiap tahun sebagai biomassa pohon. Kapasitas yang tinggi dari
hutan hujan tropika dalam mengfiksasi karbon dioksida dan penyebarannya yang
sangat luas sehingga kehilangan hutan hujan tropika basah ini berimplikasi terhadap
keseimbangan gas rumah kaca di atmosfer.

Koversi hutan tropika menjadi agroekosistem pada dasarnya merupakan konversi


total, yaitu pergantian jenis kehidupan menjadi ekosistem lain yang tidak lagi memiliki
sifat-sifat hutan tropika yang asli. Masukan teknologi pada agroekosistem seperti
spesies tanaman, pupuk anorganik, pestisida, pola pengelolaan lahan dan tanaman
tidak lagi sama dengan ekosistem hutan, sehingga perubahan ini sangat mempengaruhi
keseimbangan ekosistem asli. Konversi hutan hujan tropis ke agroekosistem menjadi
sorotan utama penyebab pelepasan gas seperti CO2, CH4, dan N2O ke atmosfer.
Pelepasan energi fosil mencapai 6 milyar ton CO2, hampir sama dengan jumlah CO2
yang dilepaskan dari tanaman dan tanah (Wada, dkk. 1992), sedangkan dinamika NH4
dan N2O sangat berkorelasi dengan upaya peningkatan produksi pertanian yaitu
dihubungkan dengan dekomposisi bahan organik dan volatilisasi pupuk anorganik
dimana peningkatan N2O di atmosfer sekarang sekitar 0.3 persen setiap tahunnya.

Sistem perladangan berpindah dengan tebang-tebas-bakar tidak menimbulkan


kerusakan tanah mineral masam yang menghawatirkan kalau tidak terganggu
siklusnya. Pembakaran yang dilakukan dalam tahap pembersihan lahan (land clearing)
tidak selalu mepunyai pengaruh negatif, karena abu hasil bakaran merupakan sumber
hara yang cukup banyak. Perladangan berpindah dengan waktu istirahat (fallow
period) yang cukup lama tidak menimbulkan kerusakan lahan. Subsidi hara yang
berasal dari seresah atau pembusukan tanaman dalam waktu yang cukup lama akan
dapat mencukupi kebutuhan hara tanaman untuk satu sampai 3 kali musim tanam.
Semakin lama lahan diberakan, akan semakin tinggi hara yang terakumulasi pada
biomassa tegakan dan bahan organik tanah. Tebang-tebas-bakar dari biomassa ini
akan melepaskan abu yang merupakan sumber hara yang dapat meningkatkan
kesuburan tanah.

Pada saat ini, siklus perladangan tersebut banyak terganggu antara lain oleh
pertambahan penduduk yang pesat, pengalokasian lahan untuk keperluan lain,
penguasaan lahan yang berlebih oleh perorangan dan badan usaha. Keterdesakan
masyarakat akan keperluan lahan usaha tani ini menyebabkan perlunya pembinaan
yang intensif pada peladang berpindah karena sistem perladangan berpindah ini tidak
sesuai lagi dengan daya dukung lahan saat ini. Dalam penanganan masalah
perladangan berpindah, pola usaha tani harus merupakan rakitan yang mempunyai
interaksi komplementer atau hasil keterpaduannya yang bersifat sinergis. Beragam
pola usaha tani bukanlah pola yang baru sama sekali, tetapi pola tersebut merupakan
modifikasi dari pola tradisional yang biasa diterapkan oleh petani. Komponen utama
yang harus bersinergis dalam pola usaha tani yang harus diterapkan yaitu pola yang
menyeimbangkan komoditas tanaman pangan dan tanaman tahunan, yang rasionya
merupakan bandingan serasi yang dapat memberikan hasil tinggi, dan pendapatan
petani yang maksimal tanpa mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.

Pengelolaan tanah konservasi di wilayah tropis khususnya di Indonesia menjadi


penting karena untuk menjaga lingkungan dan kelestarian tanah serta peningkatan
produksi, disamping mengurangi degradasi kesuburan tanah, erosi dan kemasaman
tanah. Sistem pengelolaan lahan pada usaha tani konservatif adalah suatu sistem
pengelolaan lahan dan tanaman yang dikaitkan dengan sumber daya alam yaitu tanah
dan iklim, teknologi termasuk konservasi tanah dan air, pola tanam tanaman semusim,
tahunan termasuk ternak dengan tujuan meningkatkan produktivitas lahan dan
tanaman secara berkelanjutan. Dari bagi tersebut, pengelolaan tanah meliputi
kegiatan-kegiatan penyusunan rencana penggunaan tanah, pembukaan lahan,
pencegahan erosi, pengolahan tanah dan pemupukan Pengelolaan tanah konservatif
memberikan arti bahwa penggunaan tanah sesuai dengan kemampuannya dan
memperlakukannya dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas agar tidak
terjadi degradasi tanah. Prinsip pengelolaan tanah konservatif adalah menetapkan
kemampuan dan kesesuaian lahan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas
dan menetapkan model penggunaannya sehingga produktivitas lahan dapat
berkelanjutan, mencegah degradasi tanah dan melakukan restorasi lahan yang telah
mengalami degradasi.

Anda mungkin juga menyukai