Anda di halaman 1dari 6

Oleh Kelompok 3:

Ahmad Setiadevi (20140210063)


Ayu Putri Ana (20140210059)
Rahmana faizah (201402100
Tri Anggoro (201402100

PRODI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
I. DISKRIPSI
Pengertian Tanah Masam
Tanah masam adalah tanah-tanah dengan pH rendah dibawah 6 karena kandungan ion
hidrogen yang tinggi. Tanah masam dapat berubah menjadi tanah mineral masam dan tanah
organik masam (gambut). Tanah mineral masam umumnya dijumpai pada tanah-tanah merah
yang telah berpelapukan lanjut, sedangkan tanah organik masam umumnya tersebar pada tanah-
tanah di dataran rendah, cekungan atau rawa atau tanah organik di pegunungan, namun sangat
sedikit sekali tanah organik masam yang dijumpai pada dataran tinggi misal gambut
pegunungan. (Yulianti,2007)

Pengertian Tanah Mineral Masam

Tanah mineral dalam taksonomi berarti tanah yang mengandung material tanah berasal dari
mineral berdiameter lebih halus dari 2.0 mm yang menyusun lebih dari setengah sampai
kedalaman tanah 80 cm, mengandung bahan organik lebih rendah dari 20%, ketebalan material
organik tanah kurang dari 40 cm apabila telah terdekomposisi sampai tingkat hemik dan saprik
dengan bobot isi sama dengan 1 g cm-3 atau lebih besar, atau dengan ketebalan material
organik tanah kurang dari 60 cm dan belum banyak mengalami dekomposisi sehingga masih
banyak mengandung serat atau tidak dekomposisi fibrik, atau bobot isi lebih rendah dari 1 g
cm-3. Tanah-tanah yang memiliki ketebalan solum sampai 40 cm dapat juga dimasukkan dalam
pengertian tanah mineral, tetapi keberlanjutan agroekosistem pada tanah ini akan menuai
banyak kendala terutama pada wilayah kering berkelerengan tinggi.

Dalam klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman pangan, tanah berketebalan solum kurang
dari 40 cm sudah termasuk kelas sesuai marjinal atau S-3, dan tidak dapat ditingkatkan
kesesuaiannya walau dengan masukan apapun. Pengelolaannya untuk agroekosistem
memerlukan masukan tinggi, dan apabila tidak diberi masukan, tanah ini akan mudah
mengalami degradasi. Pada ketebalan tanah seperti ini, untuk tanaman tahunan sudah tidak
dapat lagi diusahakan untuk pertanian, karena termasuk kelas kesesuaian lahan dengan
kedalaman efektif tidak sesuai permanen atau N-2, dan peruntukannya hanya untuk kawasan
konservasi.

Tanah mineral masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah, termasuk
Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols dan spodosol,
masing-masing sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas
total tanah di Indonesia (Nursyamsi et al, 1996). Luasnya tanah masam tersebut sebenarnya
mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan usaha pertanian, tetapi sampai sekarang
masih belum dapat dimanfaatkan secara maksimal mengingat beberapa kendala yang terdapat
pada tanah masam.Tanah ordo lain yang bersifat masam adalah inseptisol dan entisol.
II. PROSES PEMBENTUKAN

Tanah mineral masam dalam pengertian sempit yang didasarkan pada taksonomi kelas
reaksi tanah yaitu masam (acid) tanah mineral yang memiliki pH lebih kecil dari 5.0 (0.01 M
CaCl2; 2:1) pada seluruh lapisan kontrol (control section) atau sekitar pH 5.5 (H2O; 1:1).
Bila pH (H2O; 1:1) <>200 mm bulan-1 dan karena didukung pula oleh temperatur yang
tinggi maka proses pelapukan berjalan lebih cepat bila dibandingkan dengan daerah-daerah
beriklim kering. Tingginya curah hujan tersebut telah menyebabkan hilangnya hara dari
daerah perakaran melalui pencucian sehingga menimbulkan terbentuknya tanah mineral
masam. Proses pembentukan tanah mineral masam menurut Notohadiprawiro (1986) berasal
dari proses pelapukan yang sangat intensif karena berlangsung pada daerah tropika yang
bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi.

III. PENGELOLAHAN/PEMANFAATAN LAHAN

Tanah mineral masam secara fisik berpotensi tinggi sebagai lahan pertanian, namun bila
pengelolaannya kurang tepat akan menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap
lingkungan. Usaha intensifikasi pertanian di Indonesia seringkali mengakibatkan pengurasan
hara dari dalam tanah akibat pengangkutan panen dalam jumlah besar. Sistem pengelolaan
kesuburan tanah hanya ditekankan pada pergantian hara melalui pemupukan tanpa adanya
usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah secara komprehensif. Dengan demikian usaha
intensifikasi ini seringkali diikuti oleh penurunan produksi tanaman dan kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan. Pengelolaan lahan pertanian yang semakin intensif seperti
penggunaan pupuk anorganik dalam dosis tinggi secara terus menerus, atau tanah di sekitar
daerah industri telah banyak memacu terjadinya kemasaman tanah sehingga luasan tanah
masam terus meningkat.

Pengembangan agroekosistem pada areal tanah mineral masam selama ini menunjukkan
tingkat produktivitas yang rendah. Beberapa hasil penelitian dengan menggunakan beragam
jenis tanaman, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan menunjukkan hasil yang
masih rendah yang belum sesuai dengan potensi produksi yang semestinya. Tidak
tercapainya potensi produksi pada tanah mineral masam ini antara lain disebabkan oleh
pengelolaan tanah yang belum optimal. Produktivitas kelapa sawit pada tanah mineral masam
di beberapa wilayah perkebunan kelapa sawit di Indonesia ternyata masih rendah dan berada
di bawah standar potensi lahan kelas S-3. Hasil penelitian yang dilakukan pada tanaman
generasi pertama bahwa potensi produksi kelapa sawit pada tanah mineral masam di
beberapa kebun di Kalimantan Barat dan Timur masing-masing baru mencapai 61% dan 63%
terhadap standar potensi lahan kelas S-3, sedangkan di wilayah Riau dan Sumatera Utara
masing-masing baru mencapai 63% dan 77% (Poeloengan, dkk. 2001).

Agroekosistem adalah ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan secara langsung atau
tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan/atau serat-seratan.
Konsep agrosistem ini harus berdimensi yang luas, meliputi produktivitas, stabilitas,
keberlanjutan dan kemerataan. Teknologi pertanian terus berkembang, perubahan fungsi dan
manfaat tanah mineral masam dengan faktor pembatas yang sangat marjinal untuk
ekstensifikasi pertanian dapat diatasi dengan masukan teknologi dan energi. Tetapi, kalau
masukan teknologi dan energi terus ditingkatkan tanpa mempertimbangkan karakteristik
tanah, produksi pertanian akan mengalami pelandaian (levelling off) dan suatu waktu akan
mencapai titik balik. Pada titik balik tersebut sebidang tanah mineral masam dengan masukan
teknologi dan energi tidak akan memberikan hasil yang memadai lagi, bahkan akan
mendatangkan kerugian.

Langkah operasional dalam memantapkan tanah mineral masam sebagai agroekosistem


menyangkut aspek: agro-teknis, perbaikan varietas dan klon, penyediaan benih unggul, dan
pembinaan mutu benih. Pengelolaan tanah dan tanaman yang baik dapat memberikan
produktivitas sumberdaya lahan yang tinggi, lahan tidak terdegradasi dan terpelihara
keberlanjutannya, apalagi pengelolaan tersebut diirngi dengan pengendalian hama dan
penyakit secara terpadu untuk menjaga stabilitas produksi. Zonasi pengembangan pertanian
harus memperhatikan aspek agro-klimatologi dan potensi wilayah untuk menjamin
kemerataan, sehingga tidak terjadi produksi yang berlebihan pada satu komoditas, dan
kelangkaan terhadap komoditas lainnya. Aspek sosial-ekonomi berupa kerekayasaan sosial
merupakan kegiatan untuk meningkatkan dinamika sosial, serta diirngi dengan penyuluhan
yang bertujuan untuk meningkatkan inovasi teknologi dan inovasi sosial. Pengembangan
tanah mineral masam sebagai wilayah agroekosistem tidak hanya menyangkut aspek
produksi, tetapi juga aspek pemukiman, sarana sosial, lingkungan dan fasilitas pemasaran
produk pertanian. Langkah operasional yang menjamin terlayaninya aspek agro-teknis dan
sosial ekonomi dapat mengarahkan pengembangan wilayah ini menjadi daerah binaan baru
perekonomian dan pusat-pusat pertumbuhan.

Pengelolaan tanah mineral masam menjadi sumberdaya pertanian dan perkebunan harus
memperhatikan sifat ekosistem secara keseluruhan karena agroekosistem ini merupakan sub-
sistem binaan dari ekosistem wilayah yang sudah stabil. Pengembangan agroekosistem
dengan komoditas tunggal mudah mengalami instabilitas secara teknis, ekonomis maupun
ekologis. Bila suatu wilayah hanya dikembangkan satu komoditas unggulan, bila terjadi
serangan hama atau penyakit tanaman maka serangannya akan sporadis keseluruhan wilayah,
dan kegagalan panennya akan berimplikasi pada kestabilan ekonomi wilayah.

Kendala Pengelolaan

Kendala sifat dari tanah mineral masam untuk pengembangan agroekosistem meliputi
kendala kimia, fisik, dan biologi tanah. Kendala kimia yang utama pada tanah mineral
masam, yaitu; pertama, pH tanah yang rendah, dan berimplikasi terhadap karakteristik kimia
tanah yang lain seperti kelarutan Al, Fe, dan Mn yang tinggi, ketersediaan P, Mo yang
rendah. Kedua, ketersediaan kation-kation basa dan kejenuhan basa yang rendah. Pencucian
basa-basa yang berlangsung sangat intensif pada rezim suhu mesik, isomesik mengakibatkan
tanah bersifat masam dan miskin hara. Bahan induk terbentuknya tanah mineral masam
adalah bahan induk yang sudah tua yaitu batuan liat (clay stone) atau batuan vulkanik
masam, dan mineral liat yang terbentuk biasanya didominasi oleh kaolinit dan gibsit
(Hardjowigeno, 1993). Tanah mineral masam ini kebanyakan telah kehilangan mineral
primernya dan memiliki mineral kaolinit, dan oksida besi dan aluminium yang lebih
dominan. Ketiga, dominasi mineral liat kaolinit dan oksida-oksida besi dan aluminium yang
merupakan mineral low activity clay menyebabkan tanah ini memiliki kapasitas tukar kation
yang rendah. Keempat, tingginya kandungan mineral-mineral tersebut apabila terlarut
menyebabkan kejenuhan kation didominasi oleh kejenuhan asam dan kation-kation tersebut
pada konsentrasi tertentu akan bersifat toksik bagi tanaman, serta anion-anion akan mudah
terfiksasi menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kelima, rendahnya kandungan fosfat dan
tingginya retensi fosfat dan molibdat karena kelarutan Al dan Fe menyebabkan fosfat
menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman. Keenam, muatan permukaan pada
tanah mineral masam umumnya didominasi oleh muatan berubah (pH dependent charge),
dimana daya sangga tanah menjadi tinggi sehingga aplikasi pengapuran dan pemupukan
memerlukan dosis yang lebih tinggi.

Tanah mineral masam memiliki kendala fisik, antara lain; pertama, kandungan bahan organik
yang rendah yaitu sekitar 2% bahkan banyak tanah yang telah diusahakan untuk pertanian
lebih rendah lagi. Daerah tropika yang lembab dan temperatur yang tinggi merangsang
aktivitas mikroorganisme untuk melakukan dekomposisi bahan organik tanah. Kedua,
rendahnya kandungan bahan organik tanah ini menyebabkan stabilitas agregat yang rendah
sehingga tanah akan mudah mengalami erosi. Ketiga, rendahnya kandungan bahan organik
ini juga mempengaruhi daya simpan air dimana daya simpan air pada tanah ini sangat
rendah. Keempat, secara fisiografis tanah umumnya tanah mineral masam terletak pada
wilayah yang berlereng, sehingga dengan curah hujan yang tinggi pada tanah berlereng,
tanah tersebut akan mudah mengalami erosi.

Produktivitas tanah turun karena kombinasi kahat unsur hara, degradasi fisik tanah dan
hilangnya bahan organik karena adanya proses dekomposisi bahan organik dipercepat dan
hilangnya bahan organik oleh adanya erosi. Erosi yang menghilangkan lapisan tanah atas
yang subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawah yang mengandung Al tinggi dan bersifat
toksik sebagai lapisan olah tanah untuk media tanaman. Penurunan kesuburan tanah ini
memberikan peluang yang lebih besar bagi alang-alang (Imperata cylindrica) untuk
mendominasi lahan.

Kendala biologi pada tanah mineral masam bermula dari rendahnya pH tanah dan kandungan
bahan organik tanah. Secara umum aktivitas mikroorganisme tanah berada pada kisaran pH
netral, kecuali fungi dan beberapa bakteri. Beberapa bakteri dapat berkembang pada pH
ekstrim 2 – 5 seperti Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans yang
mendapatkan energi dari oksidasi senyawa besi dan sulfur. Kebanyakan bakteri akan
berkembang secara optimum pada pH netral, seperti bakteri Rhizobium yang bersimbiosis
dengan tanaman legum akan aktif membentuk bintil akar dan mengfiksasi N dari udara pada
kisaran pH 6.5 sampai 7.0. Bakteri dekomposer dan nitrifikasi seperti Nitrobacter dan
Nitrosomonas akan aktif melakukan dekomposisi bahan organik pada pH tanah yang netral.
Kandungan bahan organik tanah sangat mempengaruhi aktivitas cacing tanah. Bahan organik
adalah sumber makanan dan energi bagi aktivitas cacing tanah, dan efek samping dari
aktivitas cacing tanah seperti pembuatan lubang tanah, sekresi yang mengeluarkan asam
organik dan meningkat ketersediaan hara serta mengeluarkan zat atau hormon pengatur
tumbuh. Dengan demikian pemeliharaan bahan organik tanah sangat menentukan dinamika
keberlanjutan agroekosistem pada lahan mineral masam.

IV. PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai