Anda di halaman 1dari 14

Case Science Session

*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A21047


**Pembimbing

HUBUNGAN GANGGUAN PENDENGARAN DENGAN DIABETES


TIPE 2 PADA POPULASI LANJUT USIA
Kiki Pamela, S.Ked* dr. Ismelia Fadlan Sp.THT**

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT


RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Case Science Session


*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A215047
**Pembimbing

HUBUNGAN GANGGUAN PENDENGARAN DENGAN DIABETES


TIPE 2 PADA POPULASI LANJUT USIA
Kiki Pamela, S.ked* dr. Ismelia Fadlan Sp.THT **

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT


RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2016

Jambi, September 2016


Pembimbing,

dr. Ismelia Fadlan, Sp.THT


KATA PENGANTAR

Bismillah, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan


kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas Case Science Session pada Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/SMF
THT RSUD Raden Mattaher Jambi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi yang berjudul ‘’Hubungan Gangguan Pendengram dengan
Diabetes Tipe 2 pada Populasi Lanjut Usia’’.
Tugas ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam mengenai
teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian/SMF THT RSUD Raden Mattaher Jambi dan melihat penerapannya secara
langsung di lapangan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ismelia
Fadlan, Sp.THT selaku preseptor yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis.
Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan, sehingga
diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang
membacanya. Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Jambi, September 2016

Penulis
HUBUNGAN GANGGUAN PENDENGARAN DENGAN DIABETES TIPE
2 PADA POPULASI LANJUT USIA

OBJEKTIF: Mengingat gangguan pendengaran dan diabetes tipe 2 merupakan masalah


kesehatan yang signifikan, penelitian ini sangat bermanfaat untuk menilai hubungan antara
keduanya. Setelah megevaluasi literatur yang ada, tampak jelas belum ada studi prospektif yang
memadai mengenai gangguan pendengaran dan DM2 yang mencakup peserta lansia. Oleh karena
itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk fokus dan mengevaluasi interaksi antara DM2 dan
gangguan pendengaran pada populasi lansia.
METODE: Penelitian ini melibatkan 93 subjek DM2, 65-89 tahun, sebagai kelompok control 90
subjek non diabetes usia 65-85 tahun, yang disesuaikan dengan subjek DM2 berdasarkan usia dan
kelamin.
HASIL: Penelitian ini menghasilkan 5 temuan utama. Penderita diabetes memiliki ambang batas
yang lebih tinggi pada semua frekuensi, kecuali 0,25 kHz, dibandingkan pada kelompok kontrol.
Walaupun terdapat perbedaan yang signifikan pada frekuensi yang rendah, seperti 0.5 dan 1 kHz,
perbedaan yang paling menonjol adalah 2, 4, dan 8 kHz. Ambang batas untuk penerimaan ucapan
pada penderita diabetes lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, tidak ada
perbedaan antara telinga kanan dan kiri pada penderita diabetes atau kelompok kontrol, dan
penderita diabetes memiliki skor diskriminasi pembicaraan yang rendah dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
KESIMPULAN: Diabetes adalah penyakit yang komplek, penyakit sistemik yang dapat
mempengaruhi beberapa organ dan fungsi fisiologis, pada tingkat molekul dan biokimia.
Penelitian ini menunjukkan bahwa suubjek lansia DM2 memiliki tingkat pendengaran yang buruk
jika dibandingkan dengan usia dan jenis kelamin pada subjek non DM2.
KATA KUNCI: usia terkait gangguan pendengaran, presbikusis, diabetes tipe 2, penilaian
audiometri

PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi perkembangan yang pesat dalam
penuaan pada populasi, dan dengan usia lanjut penyakit kronik dan gangguan
fungsional menjadi hal yang lebih umum. Salah satunya adalah keterkaitan usia
dengan gangguan pendengaran (presbikusis), gangguan sensorik dan kondisi
medis yang kronis pada lansia.
Hal ini juga diketahui bahwa presbikusis merupakan berbagai jenis degenerasi
fisiologis akibat penuaan, ditambah dengan paparan bising, merokok, gangguan
medis dan pengobatannya serta resiko keturunan. Hal ini ditandai dengan
bilateral, simetris dan progresif yang lambat pada penurunan sensitifitas
pendengaran dan pemahaman pembicaraan pada lingkungan bising, pengolahan
pusat informasi akustik yang lambat serta gangguan lokalisasi sumber suara.

Diabetes tipe 2 (DM2) merupakan penyakit kronik lainnya yang berhubungan


dengan penuaan, gangguan metabolik yang mengenai hingga 7% populasi
didunia. Penyakit ini ditandai dengan gula darah tinggi disebabkan resistensi
insulin dan defesiensi insulin. Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya
kerusakan neurogeneratif pada diabetes, seperti kerusakan oksidatif, peningkatan
apoptosis dan toksisitas kalsium intraseluler. Perubahan patologis pada tingkat sel,
menimbulkan efek samping utama hiperglikemia, seperti retinopati, neuropati dan
penyakit arteri koroner dan penyakit pembuluh darah tepi. Selain itu, studi
histopatologi menunjukkan bahwa saraf dan pembuluh darah dari telinga pada
penderita DM2 ruusak karena hiperglikemia yang berkelanjutan, dan
kemungkinan dapat menyebabkan degenerasi neuron dalam sistem pendengaran.
Namun, terlepas dari temuan patologis di bagian dalam telinga, evaluasi literatur
yang ada menunjukkan bahwa hubungan antara diabetes dan gangguan
pendengaran masih diperdebatkan. Sementara, beberapa penelitian
mengungkapkan terdapat peningkatan resiko gangguan pendengaran pada pasien
diabetes, penelitian lainnya tidak ditemukan perbedaan pada gangguan
pendengaran antara kelompok kontrol dan penderita diabetes.

Mengingat gangguan pendengaran dan diabetes tipe 2 merupakan masalah


kesehatan yang signifikan, penelitian ini sangat bermanfaat untuk menilai
hubungan antara keduanya. Walaupun sebelumnya perhimpunan lain telah
meneliti antara diabetes dan gangguan pendengaran, hal itu tidak cukup untuk
penelitian prospektif pada gangguan pendengaran dan DM2 yang tercakup peserta
lansia. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk fokus dan
mengevaluasi interaksi antara DM2 dan gangguan pendengaran pada populasi
lansia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada klinik THT Pelatihan Universitas Amasya dan
Rumah Sakit penelitian. Semua penyelidikan dilakukan sesuai dengan Deklarasi
Helsinki pada studi biomedik yang melibatkan subjek manusia, dan persetujuan
diperoleh dari semua peserta penelitian. Penelitian ini disetujui oleh Clinical
Research Ethics Committee of Ankara Numune Training dan Research Hospital.

Relawan direkut untuk berpartisipasi dalam penelitian gangguan pendengaran.


Individu dengan riwayat kerusakan kebisingan, gangguan pendegaran telinga
tengah, dan riwayat cacat fungsi kognitif merupakan kriteria ekslusi. Pengecualian
juga diberikan pada merreka yang telah diobati dengan obat ototoksik, masalah
kesehatan medis yang serius atau kondisi medis neurologist yang didiagnosa
dengan penyakit Meniere atau labirintitis.

Penelitian ini melibatkan penderita DM2 usia 65-89 tahun yang memenuhi
kriteria inklusi diatas atau kriteria ekslusi diatas, serta 90 subjek kelompok control
usia 65-85 tahun yang disesuaikan dengan subjek DM2 berdasarkan usia dan jenis
kelamin. Peserta dengan diabetes telah diikuti perkembangannya setidaknya
selama 10 tahun karena penyakit ini.

Audiometri nada murni diukur pada 0.25, 0.5, 1, 2, 4 dan 8 kHz untuk
mendeteksi ambang batas pendengaran pada setiap frekuensi yang diberikan
menggunakan audiometri klinis AC40 (Interacoustics, Assens, Denmark) di dalam
ruang kedap suara, menurut standar instruksi produsen. Batas ambang konduksi
udara antara 0.25 dan 8 kHz diukur dengan menggunakan earphone TDH-39 dan
dengan penutup MX41/AR. Ambang konduksi tulang antara 0.5 dan 4 kHz diukur
menggunakan Oticon 60273 vibrator (Oticon, Sm’rum, Denmark). Rata-rata nada
murni (PTA) ditentukan berdasarkan ambang batas rata-rata konduksi udara
disetiap telinga 0.5, 1, 2, dan 4 kHz.

Ambang batas penerimaan bicara (SRT) menunjukkan ketajaman dengan


subjek yang benar merasakan dua suku kata yang sama. Dalam tempat yang
tenang, pengukuran ini terutama pada system pendengaran perifer dan
menunjukkan tingkat intensitas yang rendah dimana seorang inividu mampu
mengolah kata-kata (ambang batas didefenisikan sebagai titik 50% pada fungsi
psikometri). SRT yang sangat berkolerasi dengan nada murni rata-rata 0.5, 1.0,
dan 2.0 kHz, juga berfungsi sebagai kriteria validasi untuk pengukuran ambang
nada murni mutlak. Tes diskriminasi bicara sebagai lawan sensitivitas bicara
adalah kemampuan seseorang tidak hanya mendengar kata-kata tetapi juga dapat
mengindentifikasinya. Prosedur meliputi 25 kata-kata yang suku kata dipilih pada
tingkat intensitas yang mudah dideteksi. Skor diskriminasi bicara (SDS) adalah
persentasi kata yang diidentifikasi dengan benar. Patologi telinga dalam, saraf
pendengaran an atau pendengaran sentra dapat mempengaruhi skor ini.
Kemampuan seseorang untuk diskriminasi bicara tidak baik diprediksi oleh nada
murni audiogram. Seorang individu muungkin dapat mendengar suara cukup baik,
tetapi sinyal saraf dapat menurun hingga tingkat suara menjadi tidak mengerti.

Pengukuran timpanometrik dilakukan setelah menelan, pada kedua telinga 93


pasien diabetes dan 90 peserta kelompok kontrol, dengan total 366 telinga
menggunakan impendansi audiometer AZ 7 (interacoustics, Assens, Denmark).
Audiometry konduksi tulang dam timpanometri digunakan untuk
mengesampingkan adanya penyakit telinga tengah yang dapat manghalangi
perolehan valid dari pemeriksaan.

Analisis Statistik
Analisis data dilakukan dengan SPSS 21.0 (Paket Statistik untuk Ilmu sosial;
SPSS Inc, Chicago, IL). Distrbusi normal pertama kali dievaluasi mengguakan uji
Shapiro-Wilk. Data yang ditampilkan sebagai rata-rata standar deviasi untuk
variabel kontinyu dan kategori untuk jumlah kasus yang digunakan. Perbedaan
antara penderita diabetes dengan kelompok kontrol dalam hal usia dan
pengukuran audiologik dibandingkan dengan uji t. Tes chi square digunakan
untuk membandingkan kategori variabel. Tingkat signifikan yang ditentukan
adalah 0.05.

HASIL
Penelitian ini melibatkan 183 subjek dengan usia rata-rata 71±4.8 tahun (65-
89 tahun). Peserta dibagi menjadi dua kelompok sesuai dengan adanya penyakit
diabetes; diabetes dan kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan secara statistik
pada kedua kelompok bedasarkan usia dan jenis kelamin. (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik kelompok penelitian


Diabetes Kelompok kontrol p value
Usia 71.5±4.9 70.2±4.2 0.07
Laki-laki (%) 42 (45%) 39 (43%) 0.88
Perempuan (%) 51 (55%) 51 (57%) 0.86

Saat kedua kelompok dibandingkan, perbedaan yang signifikan ditemukan


antara penderita diabetes dengan kelompok kontrol dalam hal pengukuran
pendengran dari telinga kanan dan kiri. Untuk semua frekuensi kecuali 250Hz,
pada penderita diabetes menunjukkan adanya peningkatan ambang batas
dibandingkan dengan kelompok kontrol. (Gambar 1 dan 2). Di telinga kanan rata-
rata PTA pada penderita diabetes adalah 32.8±11.7 desibel tingkat pendengaran
(dB HL) dan 25.4±12.5 dB HL pada kelompok kontrol. Di telinga kiri rata-rata
PTA pada penderita diabetes adalah 32±11.9 dB HL dan 24±12.7 dB HL pada
kelompok kontrol. Rata-rata perbedaan PTA pada kedua kelompok adalah 7.4 dB
pada telinga kanan dan 8 dB pada telinga kiri. Perbedaan SRT pada kedua
kelompok juga signifikan pada kedua telinga kiri dan kanan. Namun, kelompok
kontrol memiliki SDS yang lebih baik daripada penderita diabetes, perbedannya
tidak signifikan pada kedua teinga kanan dan kiri. (tabel 2 dan 3). Tidak terdapat
perbedaan dalam pengukuran pendengaran antara telinga kanan dan kiri yang
ditemukan pada penderita diabetes atau kelompok kontrol.
Tabel 2. Hasil Pengukuran pendengaran telinga kanan pada kedua grup
Pengukuran pendengaran Diabetes Kelompok kontrol p value
250 Hz 22.5±11.7 20.7±14 0.3
500 Hz 24±11.3 20.5±13.7 0.05
1000 Hz 26±12.3 20±12.8 0.005
2000 Hz 34.9±16.4 24.7±13.4 <0.00
4000 Hz 47.5±18 37.2±19.2 <0.00
8000 Hz 58.2±18.8 50±22.9 0.01
PTA 32.8±11.7 25.4±12.5 <0.00
SRT 32.6±10.6 23.3±9 0.01
SDS (%) 66.9±11.9 73.6±18 0.056

Tabel 3. Hasil Pengukuran pendengaran telinga kiri pada kedua grup


Pengukuran pendengaran Diabetes Kelompok kontrol p value
250 Hz 20.6±10.7 18.8±9.6 0.2
500 Hz 22.3±11.4 20.5±9.5 0.01
1000 Hz 24.6±12.8 19.2±10 0.002
2000 Hz 33.5±15.4 25.2±16.2 0.001
4000 Hz 49.3±17.5 38.5±19.9 <0.001
8000 Hz 58.8±18.7 50.2±20 0.01
PTA 32±11.9 24±12.7 <0.001
SRT 31.8±8.1 31.8±8.1 0.02
SDS (%) 66.7±14.1 74.1±17.7 0.051

PEMBAHASAN
Pada penelitian ini yang mencakup peserta lansia, meghasilkan 5 temuan
utama: (1) Penderita diabetes memiliki ambang batas yang tinggi pada semua
frekuensi kecuali 0.25 kHz, jika ibandingkan dengan kelompok kontrol; (2)
Namun terdapat perbedaan yang signifikan pada frekuensi yang rendah, seperti
0.5 dan 1 kHz, perbedaan yang paling menonjol pada 2, 4 dan 8 kHz; (3) Ambang
batas penerimaan bicara lebih tinggi pada penderita diabetes dibandingkan dengan
kelompok kontrol; (4) Tidak ada perbedaan antara telinga kanan dan kiri pada
penderita diabetes ataupun kelompok kontrol; (5) Penderita diabetes memiliki
nilai lebih rendah diskriminasi bicara dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Gambar 1. Rata-rata ambang batas nada murni telinga kanan pada kedua grup

Gambar 2. Rata-rata ambang batas nada murni telinga kiri pada kedua grup

Penelitian sebelumnya telah melaporkan temuan yang bertentangan mengenai


derajat gangguan pendengaran pada penderita diabetes. Beberapa penelitian telah
melaporkan kehilangan frekuensi tinggi, yang lainnya kehilangan frekuensi
rendah. Studi Cross-sectional yang mencakup 94 peserta dengan diabetes tipe 2
dan 94 kelompok kontrol menemukan kehilangan frekuensi tinggi dan adanya
hubungan penyakut dan umur peserta. Usia rata-rata 50 tahun, lamanya penyakit
7.2 tahun dan pasien dengan paparan bising termasuk kriteria ekslusi.
Pada penelitian ini 50 orang dengan DM2 dan 50 kelompok kontrol, rata-rata
usia penderita diabetes adalah 40.8 tahun dan rata-rata lamanya penyakit adalah 7
tahun. Para peneliti berusaha untuk mengendalikan data dari peserta sehingga
orang dengan gangguan kondisi neurologis dimasukkan kedalam kriteria ekslusi.
Gangguan penedengaran akibat bising dan patologi telinga tengah, masalah
kesehatan yang serius, pengobatan dengan ototoksik dan riwayat penyakit telinga
dalam; merokok; konsumsi alkohol yang terus menerus dan peserta dengan
gangguan kognitif. Peneliti mengidentifikasi adanya gangguan pendengaran
frekuensi tinggi pada peserta diabetes.

Penelitian lain, analisis cross sectional pada veteran militer dewasa (667 laki-
laki dan 27 peremuan), termasuk 342 penderita diabetes dan 352 non diabetes,
ditemukan pada usia dibawah 60 tahun dengan diabetes mengalami gangguan
pendengaran frekuensi tinggi dibandingkan non diabetes. Penelitian ini tidak
menunjukkan diagnosis diabetes tipe 1 atau tipe 2 secara spesifik, tetapi rata-rata
sudah menderita penyakit selama 12.5 tahun.

Namun, dalam sebuah studi ari 30 orang dewasa usia 59-92 tahun diteliti
gangguan pendengarannya pada orang tua dengan DM2 dibandingkan dengan
kelompok kontrol, Frisina eet al. Temuan gangguan pendengaran lebih besar pada
frekuensi rendah dengan penderita diabetes dan pendengarannya buruk pada
telinga kanan dibandingkan telinga kiri.

Pada penelitian ini, kami menemukan bahwa DM2 memilki efek negatif pada
fungsi pendengran penderita diabtes lansia. Uji diskriminasi bicara yang
mengukuur kedua sistem perifer dan sentral pendengaran juga menunjukkan
penurunan pada penderita diabetes. Meskipun perbedaan SDS antara penderita
diabetes dengan kelompok kontrol tidak terlalu signifikan, hasil ini mungkin
tergantung pada desain penelitian, yang mana kriteria ekslusi peserta yaitu pasien
sengan penyakit masalah serius atau kondisi neurologis akibat komplikasi dari
diabetes. Hasil ini konsisten dengan penelitian lain yang dilakukan dengan
sejumlah peserta. Meskipun penelitian ini diyakinkan sebagai penyebab negatif
gangguan pendengaran pada DM2, kurangnya respon batang otak membangkitkan
pendengaran dan emisi yang mungkin menjadi pembatasan penyelidikan. Namun
tes tersebuut tidak dilakukan karena tidak adanya sumberdaya.

Kesimpulannya, diabetes adalah penyakit yang kompleks sistemik uyang


dapat mempengaruhi orga dan fungsi fisiologis pada molekul dan tingkat
biokimia. Penyelidikan saat ini menunjukkan bahwa penderita lansia DM2
memiliki tingkat pendengran yang buruk dibandingkan dengan usia dan jenis
kelamin yang sesuai pada peserta non diabetes.

DAFTAR PUSTAKA
1. Huang Q, Tang J. Age-related hearing loss or presbycusis. Eur Arch
Otorhinolaryngol 2010; 267: 1179-91. [CrossRef]
2. Lin FR, Thorpe R, Gordon-Salant S, Ferucci L. Hearing loss prevalence
and risk factors among older adults in the United States. J Gerontol A Biol
Sci Med Sci 2011; 66: 582-90. [CrossRef]
3. Parham K, Lin FR, Coelho DH, Satalof RT, Gates GA. Comprehensive
management of presbycusis: Central and peripheral. Otolaryngol Head Neck
Surg 2013; 148: 537-9. [CrossRef]
4. Frisina RD. Age-related hearing loss: Ear and brain mechanisms. Ann N
Y Acad Sci 2009; 1170: 708-17. [CrossRef]
5. Gates GA, Mills JH. Presbycusis. Lancet 2005; 366: 1111-20.
[CrossRef]
6. Frisina ST, Mapes F, Kim S, Frisina DR, Frisina RD. Characterization
of hearing loss in aged Type 2 diabetics. Hear Res 2006; 211: 103-13.
[CrossRef]
7. Wackym PA, Linthicum FH Jr. Diabetes mellitus and hearing loss:
clinical and histopathologic relationships. Am J Otol 1986; 7: 176-182.
8. Jorgensen MB. The inner ear in diabetes mellitus. Histological studies.
Arch Otolaryngol 1961; 74: 373-81. [CrossRef]
9. Makishima K, Tanaka K. Pathological changes of the inner ear and
central auditory pathway in diabetics. Ann Otol Rhinol Laryngol 1971; 80:
218-28.
10. Dalton DS, Cruickshanks KJ, Klein R, Klein BE, Wiley TL. Association
of NIDDM and hearing loss. Diabetes Care 1998; 21: 1540-4. [CrossRef]
11. Harner SG. Hearing in adult-onset diabetes mellitus. Otolaryngol Head
Neck Surg 1981; 89: 322-7.
12. Kakarlapudi V, Sawyer R, Staecker H. The efect of diabetes on sensori-
neural hearing loss. Otol Neurotol 2003; 24: 382-6. [CrossRef]
13. Diaz de Leon-Morales LV, Jauregui-Renaud K, Garay-Sevilla ME,
Hernán-dez-Prado J, Malacara-Hernández JM. Auditory impairment in
patients with Type 2 diabetes mellitus. Arch Med Res 2005; 36: 507-10.
[CrossRef]
14. Vaughan N, James K, McDermott D, Griest S, Fausti S. A 5-year
prospec-tive study of diabetes and hearing loss in a veteran population. Otol
Neurotol 2006; 27: 37-43. [CrossRef]
15. Ologe FE, Okoro EO, Oyejola BA. Hearing function in Nigerian
children with a family history of Type 2 diabetes. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol 2005; 69: 387-91. [CrossRef]
16. Sasso FC, Salvatore T, Tranchino G, Cozzolino D, Caruso AA, Persico
M, et al. Cochlear dysfunction in Type 2 diabetes: a complication
independent of neuropathy and acute hyperglycemia. Metabolism 1999; 48:
1346-50. [CrossRef]
17. Tadros SF, Frisina ST, Mapes F, Kim SH, Frisina DR, Frisina RD. Loss
of peripheral right-ear advantage in age-related hearing loss. Audiol Neu-
rootol 2005; 10: 44-52. [CrossRef]
18. Hong O, Buss J, Thomas E. Type 2 diabetes and hearing loss. Dis Mon
2013; 59: 139-46. [CrossRef]
19. Ren J, Zhao P, Chen L, Xu A, Brown SN, Xiao X. Hearing loss in
middle-aged subjects with Type 2 diabetes mellitus. Arch Med Res 2009;
40: 18-23. [CrossRef]
20. Mitchell P, Gopinath B, McMahon CM, Rochtchina E, Wang JJ,
Boyages SC, et al. Relationship of Type 2 diabetes to the prevalence,
incidence and progression of age-related hearing loss. Diabet Med 2009; 26:
483-8. [CrossRef]

Anda mungkin juga menyukai