Anda di halaman 1dari 6

KETERKAITAN NYERI DAN DEPRESI

Kisaran pengalaman nyeri adalah luas dan beragam. Respons seseorang terhadap
nyeri kronis mencerminkan karakteristik rasa sakit, pikiran dan perilaku seseorang yang
berkembang selama perjalanan penyakit yang bergantung pada penguatan positif dan negatif.
Tantangan sehari-hari pada nyeri kronis yang umumnya muncul meliputi penurunan dalam
menikmati aktivitas normal, kehilangan fungsi, perubahan peranan dan kesulitan dalam
hubungan. Munculnya nyeri kronis telah dikaitkan dengan berbagai faktor risiko fisik,
psikologis dan sosial. Faktor-faktor ini berinteraksi dengan cara yang kompleks dan dinamis,
sering dikonseptualisasikan dalam kerangka biopsikososial. Penelitian biologi telah
mengidentifikasi mekanisme potensial untuk nyeri kronis pada nosiseptif, konduksi saraf,
regulasi saraf sumsum tulang belakang, plastisitas neuron dan ekspresi gen. Misalnya, ada
bukti bahwa perubahan neuroplastik timbul dari rasa sakit terus-menerus yang diterapi
dengan buruk dapat menyebabkan sensitisasi yang didefinisikan sebagai suatu peningkatan
respon neuron pada impuls normal atau peningkatan respon terhadap ambang batas bawah
impuls. Perubahan neuroplastik adalah salah satu penjelasan yang mungkin untuk perubahan
persepsi nyeri, nyeri yang menetap setelah penyembuhan jaringan, dan resistensi terhadap
analgesik yang biasa digunakan. Hal ini yang sering ditemukan pada nyeri kronis.
Nyeri akan memprovokasi respons emosional dalam diri setiap orang. Kecemasan,
mudah tersinggung, dan agitasi. Semua ini adalah perasaan yang normal ketika kita sedang
mengalami nyeri. Biasanya bila rasa nyeri sudah reda akan diikuti respon stres yang
membaik. Namun jika rasa nyeri berlangsung terus maka seiring waktu respon stres terus-
menerus diaktifkan sehingga dapat menjadi masalah yang terkait dengan depresi. Masalah
dapat mencakup; kecemasan kronis, tidak dapat berpikir jernih, kelelahan, mudah marah,
gangguan tidur, kehilangan berat badan atau sebaliknya. Ketidakpastian untuk bebas dari rasa
nyeri atau kemungkinan memburuknya nyeri yang timbul disertai dengan perasaan cemas,
sedih, dukacita dan rasa marah. Bagi sebagian orang beban nyeri ini sulit untuk diatasi dan
dapat menyebabkan munculnya gangguan mental.
Respon maladaptif terhadap rasa nyeri dapat memperburuk pengalaman terhadap rasa
nyeri dan gangguan fungsi lebih lanjut. Menjadi suatu masalah besar bila terjadi respon yang
berlebihan terhadap rasa sakit, distress yang berlebihan dan ketidakberdayaan, yang
berhubungan dengan respon yang lebih buruk terhadap pengobatan nyeri dan kecacatan yang
lebih besar. Misalnya pada pasien dengan nyeri punggung: siklus ketakutan yang berlebihan
untuk melakukan gerakan yang mengakibatkan perburukan nyeri lebih lanjut dan ketakutan
yang lebih lanjut disebut sebagai rasa takut “penghindaran”. Perilaku seperti meringis atau
mengerang, mengurangi tingkat aktivitas, menjaga terhadap gerakan, dan penggunaan alat
pelindung sering dikaitkan dengan kognisi negatif terhadap nyeri, dan juga dapat
menghalangi pemulihan. Bila depresi sudah terjadi maka akan memperberat nyeri yang sudah
ada karena mengurangi kemampuan untuk mengatasi keadaan nyeri. Penelitian telah
membandingkan orang dengan nyeri kronis dan depresi dengan yang hanya menderita nyeri
kronis. Mereka dengan nyeri kronis dan depresi maka akan; mengeluhkan nyeri yang lebih
intens, lebih sedikit kontrol atas kehidupannya, dan lebih banyak menggunakan strategi
coping yang kurang sehat. Karena nyeri kronis dan depresi saling terjalin, maka depresi dan
nyeri kronis sering diterapi secara bersama.
Ada beberapa cara nyeri dan depresi mungkin berhubungan, satu atau lebih yang
mungkin ada pada satu pasien; Pertama, tekanan psikologis dan fisik terhadap nyeri persisten
berinteraksi dengan kerentanan individu dan sosial dapat memicu episode depresi berat.
Penanda umum kerentanan terhadap depresi berat adalah riwayat depresi pribadi atau
keluarga sebelumnya, gangguan perkembangan, kehilangan dini orangtua, dan
penyalahgunaan zat. Kedua, depresi bisa menjadi prekusor untuk dan dengan suatu cara
berkontribusi terhadap rasa nyeri. Toleransi terhadap nyeri berkurang pada depresi dan tanda
somatik dapat menjadi gejala yang menonjol terutama pada orang tua. Sebagai catatan, lebih
dari setengah dari pasien dengan depresi dalam perawatan primer dilaporkan mengalami
nyeri. Dalam keadaan ini dapat terjadi keterlambatan dalam membuat diagnosis, terutama
ketika anhedonia lebih mendominasi dan menurunkan suasana mood. Mekanisme lain yang
diajukan adalah bahwa nyeri kronis adalah subtipe depresi. Neurotransmiter serotonergik dan
noradrenergik telah terlibat dalam kedua kondisi ini, dan memberikan pola klinis yang
persisten diluar faktor pencetus. Namun hanya ada sedikit bukti lain untuk mendukung
gagasan ini. Cara terakhir dimana nyeri kronis dan depresi berat mungkin terkait adalah
ketika keduanya timbul dari proses dasar umum. Hal ini mungkin pada penyakit neurologis,
seperti multiple sclerosis, atau dimana mekanisme tersebut belum dipahami dengan baik
seperti fibromialgia.
MEKANISME HUBUNGAN NYERI DAN DEPRESI

Mekanisme yang mendasari hubungan timbal balik antara nyeri dan depresi masih
belum jelas. Namun studi biologis, psikologis, dan pencitraan otak telah membantu dalam
pemahaman.

Hubungan Biologis/Neuropatofisiologi
Hubungan yang kuat antara nyeri kronis dan depresi telah lama diduga. Tidak
mengherankan mengingat serotonin dan norepinefrin yang merupakan neurotransmitter yang
paling terkait dengan depresi memainkan peran kunci dalam modulasi nyeri.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa jalur umum antara rasa nyeri dan
depresi dapat dikaitkan dengan dua neurotransmiter serotonin (5-HT) dan norepinefrin (NE).
Transmisi nyeri terjadi melalui jalur ascending (excitatory) dan descending (inhibitory)
melibatkan NE dan 5-HT. Neuron serotoninergik berasal dari batang otak dan diproyeksikan
pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), termasuk proyeksi desending ke sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan supresi input sensorik, juga diproyeksikan ke daerah otak
termasuk korteks frontal (mediasi mood), hipotalamus (mediasi nafsu makan dan tidur), dan
amigdala (memediasi rasa cemas dan respon rasa takut). Stres kronis dapat mengakibatkan
deplesi serotonin pusat. Penurunan pelepasan serotonin presinaptik dan peningkatan
kompensasi up-regulation 5-HT yaitu serotonin neuron postsinaptik telah ditemukan pada
pasien dengan depresi. Penelitian terbatas juga menunjukkan bahwa nyeri dapat
meningkatkan turnover serotonin.
Sehubungan dengan depresi, bukti yang telah terkumpul mendukung gagasan bahwa
5-HT dan NE mengendalikan banyak aspek fisiologis tubuh dan memainkan peran penting
dalam patofisiologi. Gangguan neurotransmiter ini ditengarai memiliki efek pada rasa
bahagia, motivasi dan bertanggung jawab secara keseluruhan untuk banyak gejala depresi.
Serotonin juga memiliki peran dalam pengolahan rasa nyeri dan persepsi dalam sistem saraf
perifer. Jalur serotonergik dan norepinergik dari batang otak ascending ke otak dan
memediasi berbagai fungsi emosional dan fisik, juga descending ke bawah ke sumsum tulang
belakang yang akan menekan input nociseptive. Dengan demikian disregulasi terhadap 5-HT
dan NE pada sumsum tulang belakang mungkin sebagian memediasi peningkatan respon
nyeri pada individu yang mengalami depresi dengan memodulasi sensasi nyeri yang
ascending dari sumsum tulang belakang.
Penurunan serotonin sentral mungkin juga menyebabkan peningkatan ascending
transmisi nociseptive, terkait dengan radang perifer atau cedera neuropatik. Mekanisme
patologis yang serupa juga dapat menjelaskan penurunan tingkat noradrenalin batang otak
dan sumsum tulang belakang yang mengakibatkan ke peningkatan transmisi nociceptive.
Down-regulation dan kehilangan umpan balik negatif pada reseptor glukokortikoid pada area
seperti sistem limbik juga mungkin memiliki konsekuensi yang merugikan pada penilaian
kognitif terhadap respon nyeri. Dengan demikian ambang nyeri dapat menurun pada pasien
yang menderita depresi yang merupakan manifestasi sebagai bagian dari patologi depresi.
Seperti nyeri akut yang mengaktifkan sumbu HPA (hypothalamic-pituitary-adrenal axis) via
jalur ascending spinal, sehingga adalah layak bahwa nyeri kronis mungkin menyebabkan
gangguan yang mendalam pada fungsi aksis HPA. Telah dibuktikan bahwa disfungsi dari
sumbu HPA terjadi pada pasien dengan depresi, yang ditunjukkan oleh peningkatan hormon
adrenokortikotropik dan konsentrasi kortisol plasma. Sumbu HPA neuroendokrin juga terlibat
dalam memediasi respon stres yang akan diaktifkan sebagai respon terhadap stressor fisik
atau emosional dan membantu dalam adaptasi. Dengan demikian rasa nyeri mungkin terkait
dengan perubahan dalam pusat regulasi sumbu HPA. Mekanisme umpan balik negatif akan
mempertahankan homeostasis, namun tekanan dan stres yang berlanjut atau berkepanjangan
yang berhubungan dengan rasa nyeri akan mengganggu respon tersebut, yang pada gilirannya
dianggap terkait dengan penurunan serotonin pusat dan disregulasi reseptor terkait lainnya
pada depresi. Potensi analgesik dari beberapa kelas obat antidepresan menunjukkan bahwa
setidaknya beberapa mekanisme yang terlibat sama. Dengan demikian, gejala depresi dapat
bermanifestasi pada pasien nyeri kronis sebagai konsekuensi tidak langsung aktivasi
nosiseptif jangka panjang dari sumbu HPA.

Studi Pencitraan Otak (MRI)


Studi menggunakan MRI juga telah mengaitkan nyeri dengan amigdala, serta anterior
cingulate cortex (ACC). ACC adalah wilayah yang terbukti memiliki keterlibatan yang
signifikan pada gangguan mood. Perubahan volume amigdala telah dilaporkan dalam studi
MRI penyandang gangguan afektif. Buffington menemukan aktivasi distribusi cluster yang
luas pada ACC ketika stimulus nyeri (nyeri tekan pada jari telunjuk) diberikan kepada
delapan subyek sehat dan fokus cluster ACC yang berbeda dengan stimulus yang
menyakitkan pada delapan penderita nyeri kronis. Schneider, megidentifikasi peningkatan
sinyal di daerah subkortikal khususnya amigdala pada enam laki-laki yang sehat yang
mengalami nyeri vaskular dengan memperlebar indwelling balon kateter pada vena punggung
kaki. Dengan menerapkan stimulus panas yang menyakitkan dan stimulus hangat yang tidak
menyakitkan pada 12 subjek sehat, Ploghaus menunjukkan bahwa rasa sakit mengaktifkan
bagian caudal ACC, medial insula dan anterior cerebellum sedangkan untuk mengantisipasi
nyeri yang diaktifkan adalah wilayah yang lebih anterior, anterior medial fronta korteks,
insula anterior dan posterior otak serebelum.

Hubungan Psikologis
Rasa sakit dan depresi dapat dilihat sebagai fenomena biopsikososial di mana faktor-
faktor biologis, psikologis dan sosial berinteraksi untuk menghasilkan suatu hasil seperti
nyeri. Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak faktor psikologis seperti penghindaran,
ketidakberdayaan, penderitaan, self-efficacy dan stres memediasi interaksi timbal balik antara
rasa nyeri dan depresi. Suasana hati yang menurun diduga mempengaruhi bagaimana seorang
individu memahami nyeri. Gildenberg menyatakan bahwa pasien depresi mungkin memiliki
toleransi yang lebih rendah terhadap nyeri. Demikian pula, Katon melaporkan bahwa keadaan
mood yang sedih dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri
dengan gejala penyakit medis kronis yang merugikan. Dalam percobaan laboratorium
terkontrol jelas bahwa induksi perasaan depresi dikaitkan dengan perubahan dalam
menanggapi rasa nyeri. Stress fisik dan psikologis dari adanya nyeri memprovokasi atau
memperburuk distress psikologis, dimana depresi diduga mempengaruhi pengalaman
terhadap rasa nyeri. Endler, menemukan bahwa intensitas nyeri dan gangguan kehidupan
yang lebih besar memberikan kontribusi ke tingkat yang lebih tinggi terhadap rasa cemas dan
depresi.
Selanjutnya konseptualisasi individu terhadap nyeri seperti penderitaan atau perasaan
tidak berdaya telah dikaitkan dengan pengalaman nyeri yang lebih intens, gangguan emosi
meningkat, depresi dan disfungsi fisik. Studi yang dilakukan oleh McCracken telah
menunjukkan bahwa penerimaan terhadap rasa nyeri yang terkait dengan penurunan tekanan
psikologis, rasa nyeri dan disabilitas. Jelaslah bahwa adanya depresi, respon kognitif negatif
dan nyeri yang lebih besar mengganggu fungsi dan dapat menjadi target terapi. Endler
menyatakan bahwa peningkatan distress, tingkat nyeri yang lebih besar dan gangguan
kehidupan berkaitan dengan coping styles tertentu seperti; berorientasi emosi, penghindaran,
konfontasi, dan aktif. Selain itu pola pikir tertentu seperti self-efficacy yang rendah diduga
menjadi kontributor penting dalam manajemen nyeri dan depresi. Arnstein menyimpulkan
bahwa keyakinan self efficacy adalah prediktor depresi pada sampel 126 pasien nyeri. Ada
bukti pentingnya penggunaan tindakan self-efficacy sebagai prediktor hasil pengobatan pada
pasien sakit kronis.

Sumber:
Lubis WH, Nasution HH, Sibahariang HE. 2016. Depresi pada Nyeri Kronis. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/62818/1/5_698820805743608056.pdf pada
tanggal 26 Maret 2017

Anda mungkin juga menyukai