Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan diseluruh


dunia adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin
modern dan industrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor psikososialnya,
yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampu
mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.1
Skizofrenia yang menyerang kurang lebih 1% populasi, biasanya bermula di
bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua
kalangan sosial. Baik pasien maupun keluarga sering mendapatkan pelayanan yang
buruk dan pengasingan sosial karena ketidaktahuan yang meluas akan gangguan
ini.2
Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis, banyak
tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula – mula emil kreaplin (1918 –
1926) menyebutkan gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu istilah yang
menekankan proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah
skizofrenia itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857 – 1939), untuk
menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emosi, dan perilaku pada
pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler mengidentifikasi symtom dasar dari
skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain: Asosiasi, Afek, Autisme, dan
Ambivalensi.1
Terdapat tiga aspek dalam mengamati kejadian skizofrenia yang perlu
diperhatikan saat dokter mempertimbangkan penanganan gangguan ini. Pertama,
tanpa memandang kausanya, skizofrenia terjadi pada seseorang dengan profil
psikologis individu, keluarga, dan sosial yang unik. Kedua banyak peneliti
menganggap bahwa angka kejadian bersama sebesar 50% untuk skizofrenia pada
kembar monozigot yang mengisyaratkan bahwa terdapat faktor psikologis dan
lingkungan yang tidak diketahui namun mungkin berperan dalam timbulnya

1
gangguan. Ketiga kompleksitas skizofrenia biasanya membuat pendekatan terpeutik
tunggal namun tidak memadai untuk mengatasi gangguan multiaspek ini.1

2
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Identitas Pasien (Autoanamnesis)


1. Nama : Tn. D
2. Tanggal Lahir/Umur : 11 Desember 1984 /32 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Alamat : Pelawan, Sarolangun
5. Agama : Islam
6. Status Perkawinan : Belum Menikah
7. Pekerjaan : Pemahat Batu
8. Pendidikan : Tamatan SD

Identitas Ayah Pasien (Alloanamnesis)


1. Nama : Tn. F
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Umur : 56 tahun
4. Alamat : Pelawan, Sarolangun
5. Pendidikan : Tamat SD
6. Pekerjaan : Petani
7. Agama : Islam

II. Data Anamnesis

Keterangan / anamnesis di bawah ini diperoleh dari informan


Alloanamnesis/orang tua pasien)

3
Keluhan Utama :

Os suka berbicara sendiri

Riwayat Penyakit Sekarang:

Os dibawa ke RSJD Jambi pada tanggal 22 Februari 2017 sekitar jam


17.00 wib. Os suka berbicara sendiri seperti ada lawan bicaranya kurang lebih
dari sepuluh hari yang lalu. Namun keluarga Os tidak bisa langsung
membawa Os ke RSJD Jambi dikarenakan keluarga Os mengurus surat
rujukan dan persyaratan lainnya, dan juga Os menolak untuk dibawa ke RSJD
Jambi. Selain berbicara sendiri, Os juga suka keluyuran pada siang hari dan
Os bisa pulang sendiri kerumahnya.
Os mengalami keluhan seperti ini sejak satu tahun yang lalu, Os
membicarakan bahwa OS merasa dirinya seorang malaikat dan Os sering
melihat adanya seorang bapak-bapak membawa pedang dan mengajaknya
pergi menyendiri. Os juga mengatakan bahwa ia dapat memunculkan bayi di
tangannya, Os juga merasa bahwa tetangganya iri dan tidak suka padanya. Os
mengatakan bahwa ia sering diajak dan disuruh untuk mengikuti perang dan
menjadi sersan. Os juga mengatakan bahwa tangannya sering dikuliti orangtua
nya, dan tubuh teman-temannya merah serta bolong-bolong.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Os pernah rawat inap di RSJD Jambi satu tahun yang lalu selama dua
bulan. Sebelum sakit (satu tahun yang lalu) Os pernah jatuh dari atap rumah.
Sejak keluar dari RSJD Jambi, Os meminum obat yang diberikan dari RSJD
Jambi hingga habis, tetapi setelah obat habis keluarga Os tidak mengambil
obat lagi karena adanya kendala perjalanan yang jauh.

4
Riwayat Kehidupan Pribadi :

a. Riwayat pranatal
Os merupakan anak yang direncanakan dan diinginkan, dimana ibu Os
mengandung cukup bulan, Os lahir normal dengan bantuan bidan dengan
berat badan 3 kg.
b. Riwayat masa kanak-kanak awal (0-3 tahun)
Os meminum ASI hingga umur satu tahun, saat Os umur 3 bulan Os
telah diberi bubur Promina.
c. Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini normal. Os
berkembang menjadi anak yang suka bergaul dan aktif bersama temannya,
Os juga berteman baik dengan temannya saat disekolah. Os tamat
pendidikan sekolah dasar.
d. Riwayat masa remaja
Saat remaja Os suka bergaul dan membantu orang tuanya, saat MTS
Os berhenti sekolah karena sering bermain-main dan suka bergaul dengan
perempuan.
e. Riwayat dewasa muda
Os lebih cepat emosi dan pekerja keras, jika tidak ada pekerjaan OS
suka berdiam diri dirumah, Os belum menikah, namun tujuh bulan
sebelum sakit Os memiliki teman dekat perempuan yang telah menikah.
Penghasilan Os sebagai pemahat batu cukup untuk makan dan Os terbiasa
merokok dan menghabiskan sehari kurang lebih lima bungkus.
f. Riwayat pendidikan
Os tamat SD dan sekolah MTS namun tidak tamat.
g. Riwayat pekerjaan
Os seorang pemahat batu dan pekerja keras.
h. Riwayat pernikahan

5
Os belum menikah.
i. Riwayat kehidupan beragama
Os beragama Islam, selalu menunaikan sholat dan ibadah lainnya.
j. Riwayat Psikoseksual
Tidak bisa didapatkan data yang mendukung
k. Riwayat pelanggaran hukum
Os tidak pernah melakukan pelanggaran hukum dan terlibat dalam
masalah hukum.

l. Aktivitas sosial
Setelah Os sakit, Os tidak bekerja seperti sebelumnya dan berdiam diri
dirumah.

Riwayat keluarga:

Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal. Os dan


keluarganya tinggal di dusun dan jauh dari tempat pembuangan sampah,
rumah Os 6x18 m dengan ventilasi 15 buah. Orangtua Os bekerja sebagai
petani.

 Struktur keluarga yang tinggal serumah

No Nama L/P Usia Hubungan Sifat


1. Tn. F L 56 th Ayah Kandung Penyayang
2. Ny. T P 51 th Ibu Kandung Baik dan penyayang
3. Tn. D L 32 th Pasien Penyendiri
4. M L 19 th Adik kandung Ceria, Penyayang
5. I L 15 th Adik kandung Ceria

Os tinggal bersama keluarga merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Ia


dibesarkan dalam lingkungan sosiokultural dengan kondisi ekonomi menengah ke

6
bawah. Hubungan pasien dengan ayah dan ibunya cukup dekat sedangkan hubungan
pasien dengan saudara-saudaranya baik. Os belum menikah.

GENOGRAM

Keterangan : : Laki-laki : Perempuan


: Laki-laki (meninggal) :Perempuan(meninggal)
: Pasien

III. PEMERIKSAAN STATUS PSIKIATRI


Pemeriksaan dilakukan di Instalasi Gawat darurat (IGD) RSJD Jambi
pada tanggal 22 Februari 2017, hasil pemeriksaan ini menggambarkan situasi
keadaan pertama kali datang ke IGD RSJD Jambi.

A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Os meracau dan tampilannya kurang rapi serta kooperatif. Tampak sehat,
ketakutan, kebingungan
2. Kesadaran
Kompos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Keadaan Os gelisah dan hiperaktif saat datang ke IGD.

7
4. Pembicaraan
a. Kuantitas : Os menjawab pertanyaan namun tidak sesuai konteks
pertanyaan.
b. Kualitas : Os memberikan respon dengan menjawab pertanyaan
secara cepat, volume bicara keras namun cenderung kurang jelas,
intonasi os berbicara agak tinggi.
5. Sikap terhadap pemeriksa
Os kooperatif, kontak mata kurang. Os tidak dapat menjawab pertanyaan
dengan baik.

B. Keadaan Afektif
1. Mood : ekspansif
2. Afek : inappropriate
3. Keserasian : Serasi
C. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi auditorik dan visual ada
2. Depersonalisasi tidak ada
3. Derealisasi tidak ada
4. Ilusi tidak ada
D. Proses Pikir
1. Bentuk pikir : Psikosis
2. Arus pikir
a. Produktivitas : Pasien tidak terarah dalam menjawab pertanyaan saat
diajukan
b. Kontinuitas : Inkoheren
c. adanya Flight of Ideas
3. Isi pikiran : Waham kebesaran ada, waham curiga ada, waham
dikendalikan ada.

8
E. Fungsi Intelektual / Kognitif
1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
• Taraf pendidikan
Pasien lulusan Sekolah Dasar (SD)
• Pengetahuan Umum
Tidak baik, pasien tidak dapat menjawab dengan tepat siapa
presiden Indonesia dan sistem jaminan kesehatan di Indonesia
sekarang.
2. Daya konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien tidak baik, pasien tidak dapat berfikir 100
dihitung mundur ke 80, pasien juga kurang mampu  mengalikan angka
seperti 4x5 atau 5x10. Perhatian pasien mudah teralihkan, pasien tidak
bisa bisa menyebutkan benda-benda yang berawalan huruf A atau J.
3. Orientasi
• Waktu : Baik, pasien mengetahui saat wawancara di sore hari
• Tempat : Terganggu, pasien tidak mengetahui dia sedang berada
di rumah sakit jiwa jambi
• Orang : Terganggu, pasien tidak mengetahui siapa saja
saudaranya, siapa saja yang tinggal serumah dengannya, dan
mengetahui sedang diwawancara oleh siapa..
4. Daya Ingat
• Daya ingat jangka panjang
Terganggu, pasien tidak ingat siapa nama orang tuanya.
• Daya ingat jangka menengah
Terganggu, pasien tidak dapat mengingat apa yang dilakukan pada
bulan lalu
• Daya ingat jangka pendek
Terganggu, pasien tidak dapat mengingat makan apa kemaren.

9
• Daya ingat segera
Terganggu, pasien tidak dapat mengingat nama pemeriksa  dan
dapat mengulang 5 kata yang disebutkan oleh pemeriksa seperti
kursi, gunting, meja, batu, dan sepatu.
5. Kemampuan baca tulis : Baik
6. Berpikir abstrak : Terganggu, pasien dapat menjelaskan persamaan
apel dan pir.
7. Kemampuan menolong diri sendiri : baik, pasien dapat melakukan
perawatan diri sehari- hari secara mandiri seperti mandi, makan, minum,
dan melakukan pekerjaan rumah sendiri.

F. Daya Nilai
Daya nilai sosial pasien baik. Uji daya nilai realitas pasien juga terganggu.

G. Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls pasien terganggu, selama wawancara pasien tidak dapat
mengontrol emosinya dengan baik.

H. Tilikan
Tilikan derajat 1, karena pasien tidak menyadari bahwa dirinya mengalami
sakit dan pasien tidak memerlukan pengobatan.

I. Taraf Dapat Dipercaya


Kemampuan pasien untuk dapat dipercaya kurang dapat dipercaya. Namun
dalam wawancara, orang tua Os kemampuan dipercayanya dapat dipercaya.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Gambaran Umum:

10
TD : 110/70 mmHg

Nadi : 82x/menit

RR: 20x/menit

Suhu: 36.5oC

TB: 168 cm

BB: 51 kg

V. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I : F20.1 Skizofrenia Paranoid
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : -
Aksis IV : Masalah lingkungan
Aksis V : GAF Scale 50-41 (gejala berat, disabilitas berat)

VI. PROGNOSIS
1. Qua ad vitam : ad bonam
2. Qua ad functional : ad malam

VII. RENCANA TERAPI


Farmakoterapi :
Risperidon 2 mg 2x1
Tryhexylpenydin 2 mg 2x1
Clozapine 25 mg 1x1

BAB III

11
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Skizofrenia

3.1.1 Definisi Skizofrenia


Bleuler mencetuskan istilah skizofrenia, yang menggantikan demensia prekoks
dalam literatur. Ia memilih istilah tersebut untuk menunjukkan adanya skisme
(perpecahan) antara pikira, emosi, dan perilaku pada pasien dengan gangguan ini.
(Kaplan). Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbanan
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai dengan
penyimpanan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh
afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih
(clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara.
Walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.1

3.1.2 Etiologi1
Ada beberapa teori yang menyangkut tentang etiologi dari penyakit ini, seperti :

 Teori Neurotransmitter
Di dalam otak manusia terdapat berbagai macam neurotransmitter, Ada beberapa
neurotransmitter yang diduga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Dua di
antaranya yang paling jelas adalah neurotransmitter dopamine dan serotonin.
penelitian, pada pasien-pasien dengan skizofrenia ditemukan peningkatan kadar
dopamine dan serotonin di otak secara relatif.

 Teori Genetik
Diduga faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia.
Dari penelitian didapatkan prevalensi sebagai berikut:
 Populasi umum 1%

12
 Saudara Kandung 8%-10%
 Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
 Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15%
 Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40%
 Kembar monozigot 47%-50%
Komplikasi kelahiran dan keluarga yang memiliki resiko psikotik terbukti
menyebabkan skizofrenia dengan persentase resiko 38% - 46%.
 Predisposisi Genetika
Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang signifikan, belum ada penanda
genetika tunggal yang diidentifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen.
Penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18, dan 22. Resiko terjangkit
skizofrenia bila gangguan ini ada dalam keluarga, yaitu satu orang tua yang
terkena 12%-15%, kedua orang tua terkena penyakit ini resiko 35%-40%, saudara
sekandung terjangkit resiko 8%-10%, kembar dizigotik yang terkena resiko 12%-
15%, bila kembar monozigotik yang terkena resiko 47%- 50%.
 Abnormalitas Perkembangan Saraf
Penelitian menunjukkan bahwa malformasi janin minor yang terjadi pada awal
gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia.
 Abnormalitas Struktur dan aktivitas Otak
Pada beberapa subkelompok penderita skizofrenia, teknik pencitraan otak (CT,
MRI, dan PET) telah menujukkan adanya abnormalitas pada struktur otak yang
meliputi pembesaran ventrikel, penurunan aliran darah ventrikel, terutama di
korteks prefrontal penurunan aktivitas metaolik di bagian-bagian otak tertentu
atrofi serebri.
 Ketidakseimbangan Neurokimia (neurotransmitter)
Penyakit ini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine,
yakni salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Penelitian terbaru
bahkan menunjukkan serotonin, norepinefrin, glutamate, dan GABA juga

13
berperan dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia. Majorie Wallace,
pimpinan eksekutif yayasan Skizofrenia SANE, London, berkomentar bahwa, di
dalam otak terdapat miliaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi
tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel lainnya.
Di dalam otak penderita skizofrenia, terdapat kesalahan atau kerusakan pada
sistem komunikasi tersebut. Biasanya mereka mengalami halusinasi.

 Proses Psikososial dan Lingkungan


Proses psikososial dan lingkungan sangat berpengaruh untuk menyebabkan
skizofrenia. Setiap orang pada umumnya memiliki kecenderungan untuk
skizofrenia 1%. Pada individu yang memiliki hubungan dekat dengan seseorang
yang terjangkit skizofrenia, kecenderungannya sekitar 10%.
 Model diastesis stress
Mengintegrasikan faktor biologis, psikososial dan lingkungan. Model ini
mennyebutkan bahwa seseorang yang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diastesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Komponen
lingkungan dapat biologis (seperti infeksi) atau psikologis (seperti situasi
keluarga yang penuh tekanan atau kematian kerabat dekat). Dasar biologis
diatesis dapat terbentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti
penyalahgunaan zat, stres psikososial, dan trauma.

3.1.3 Epidemiologi1,2
Prevalensi seumur hidup pada skizofrenia sekitar 0,3% -0,7%, meskipun telah
dilaporkan terdapat variasi dalam ras/etnik, lintas negara, dan oleh geografis untuk

14
imigran dan anak-anak imigran. Rasio jenis kelamin berbeda pada seluruh sampel dn
populasi, contoh, penekanan pada gejala negatif dan durasi yang lebih lama selama
gangguan. Pada usia dan jenis kelamin, terdapat perbedaan awitan dan perjalanan
pada keduanya. Awitan lebih dini pada pria dibanding wanita. Usia puncak awitan
adalah 8 sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 35 tahun untuk wanita. Bila
awitan terjadi setelah usia 45 tahun, gangguan ini diirikan sebagai skizofrenia awitan-
lambat.

3.1.4 Manifestasi Klinis1


1. Gejala Positif dan Negatif
Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek
mendatar atau menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking,
kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara
sosial.
2. Bentuk Pikir
Gangguan bentuk pikir secara objektif dapat diamati pada bahasa tutur atau
tertulis seorang pasien. Gangguan ini mencakup asosiasi longgar, melantur,
inkoherensi, tangensialitas, sirkumtansialitas, neologisme, ekolalia,
verbigerasi, word salad, dan mutisme. Meski asosiasi longgar dahulu disebut
patognomonik untuk skizofrenia, gejala ini juga sering terdapat pada mania.
Membedakan antara asosiasi longgar dan tangensialitas dapat menjadi sulit
bahkan untuk klinis yang paling berpengalaman sedikitpun.
3. Isi Pikir
Gangguan isi pikir mencerminkan ide, kepercayaan, dan interpretasi pasien
terhadap rangsang. Waham, contoh gangguan isi pikir yang paling jelas,
bervariasi pada skizofrenia dan dapat berbentuk kejar (persekutorik),
kebesaran, religious, atau somatic.
Pasien mungkin percaya bahwa suatu entitas luar mengendalikan pikiran atau
sebaliknya, bahwa diri mereka mengendalikan peristiwa di luar dalam suatu

15
cara yang luar biasa (sebagai contoh, menyebabkan matahari terbit dan
terbenam atau mencegah terjadinya gempa bumi). Pasien mungkin mengalami
preokupasi dengan ide esotorik, abstrak, simbolik, psikologis, atau filosofis
yang intens dan menyita perhatiannya. Pasien juga mungkin menghawatirkan
kondisi somatic yang dikatakan dapat mengancam nyawa namun bizar dan
tidak masuk akal, seperti adanya makhluk luar angkasa di dalam testis pasien,
yang mempengaruhi kemampuannya mempunyai anak.
4. Proses Pikir
Gangguan dalam proses pikiran mempermasalahkan cara gagasan dan bahasa
yang dibentuk. Pemeriksa menemukan gangguan apa dan bagaimana pasien
berbicara, menulis, atau menggambar. Pemeriksa juga dapat mengkaji proses
pikir pasien dengan mengamati perilakunya, terutama dalam mengerjakan
tugas yang diskret, contohnya terapi okupasional. Gangguan proses pikir
meliputi flight of idea, bloking pikiran, atensi terganggu, miskin isi pikir,
kemampuan abstraki buruk, perseverasi, asosiasi idiosinkratik (sebagai
contoh, predikat identik dan asosiasi bunyi), overinklusi, dan
sirkumstansialitas.
5. Gangguan Perseptual
Panca indera manapun dapat dipengaruhi pengalaman halusinatorik pada
pasien skizofrenia. Meski demikian, halusinasi yang paling umum adalah
auditorik, dengan suara-suara yang sering kali mengancam, bersifat cabul,
menuduh, atau menghina. Dua atau lebih suara dapat saling bercakap-cakap,
atau satu suara dapat mengomentari kehidupan atau perilaku pasien.
Halusinasi visual juga lazim, namun halusinasi taktil, olfaktori, gustatorik
tidak biasa dijumpai.
6. Mood, Perasaan, dan Afek
Dua gejala afektif yang umum pada skizofrenia adalah menurunnya
responsivitas emosional, terkadang cukup parah hingga dapat disebut sebagai

16
anhedonia, serta emosi yang tidak tepat dan sangat aktif seperti kemarahan,
kebahagiaan, dan ansietas yang ekstrim. Afek yang datar atau menumpul
dapat menjadi gejala penyakit itu sendiri. Pasien yang sangat emosional dapat
menggambarkan kebahagiaan karena merasa omnipoten, kegembiraan
religious, terror akan disintegrasi jiwa nya, atau ansietas, yang melumph
mengenai kehancuran alam semesta. Nada perasaan lain mencakup
kebingungan, terror, perasaan terisolasi, ambivalensi yang berlebihan, serta
depresi.
7. Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh Diri, dan Pembunuhan
Pasien skizofrenia mungkin menjadi teragitasi dan memiliki pengendalian
impuls yang minim saat sedang sakit. Mereka juga mungkin mengalami
sensitivitas social yang berkurang dan tampak impulsif saat, contohnya,
merebut rokok pasien lain, tiba-tiba mengganti saluran televise, atau
melempar makanan ke lantai. Beberapa perilaku yang tampak impulsive,
termasuk percobaan bunuh diri dan pembunuhan, mungkin merupakan
respons terhadap halusinasi yang memerintahkan pasien untuk bertindak.

3.1.5 Klasifikasi3
Berdasarkan PPDGJ III Skizofrenia termasuk dalam F20 yang merupakan
gangguan mental psikotik dengan klasifikasinya sebagai berikut :

a. F 20 Skizofrenia
F 20.0 Skizofrenia Paranoid
F 20.1 Skizofrenia Hebefrenik
F 20.2 Skizofrenia Katatonik
F 20.3 Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)
F 20.4 Depresi Pasca-skizofrenia
F 20.5 Skizofrenia Residual
F 20.6 Skizofrenia Simpleks

17
F 20.8 Skizofrenia Lainnya
F 20.9 Skizofrenia YTT

3.1.6 Diagnosis Skizofrenia3


Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ III), pedoman diagnostik harus memenuhi kriteria dibawah ini :

 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (biasanya dua
lebih atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas):
a. Thought echo: isi pikiran dalam dirinya yang berulang atau bergema di
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan (walaupun isinya sama
namun kualitasnya berbeda); atau
Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar yang
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya dikeluarkan oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); atau
Thought broadcasting: isi pikirannya tersiarkan keluar sehingga orang lain
mengetahuinya.
b. Waham dirinya dikendalikan kekuatan dari luar (delusion of control); atau
waham dirinya dipengaruhi oleh kekuatan dari luar (delusion of influence);
atau waham tentang dirinya yang pasrah atau tidak berdaya terhadap suatu
kekuatan dari luas (delusion of passivity); atau pengalaman inderawi yang
tidak wajar yang dianggap sangat khas bagi dirinya (delusion of
perception).
c. Halusinasi auditorik yang terus menerus.
d. Waham-waham jenis lain yang menetap dan dianggap tidak wajar oleh
budaya setempat.
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja.

18
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang mengakibatkan pembicaraan tidak relevan.
g. Perilaku-perilaku katatonik (seperti gelisah, posturing, stupor)
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, jarang bicara, dan respon
emosional yang menumpul.
 Gejala-gejala khas seperti yang di atas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
 Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam kualitas
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavioral), yang
mengarah pada hilangnya minat, hidup yang tanpa tujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap yang larut dalam dirinya sendiri, dan penarikan diri dari
lingkungan sosial.
Pedoman Diagnosis berdasarkan DSM-V3
Kriteria diagnosis 295.90(F20.9)
A. Dua (atau lebih) dari berikut ini, masing-masing ada dalam jangka waktu
tertentu dalam 1 bulan periode ( atau kurang jika berhasil diobati ).
Setidaknya satu dari berikut ini harus (1), (2), (3) :
1. Delusi
2. Halusinasi
3. Pembicaraan yang tidak terorganisasi ( misalnya inkoherensi , atau sering
keluar dari jalur)
4. Tidak terorganisasi yang tampak jelas sekali atau sikap perilaku katatonik.
5. Gejala negative (hilangnya ekspresi emosional atau avolisi)
B. Untuk jangka waktu yang signifikan sejak terjadinya gangguan tersebut,
derajat fungsi dalam satu atau lebih bidang mayor, seperti pekerjaan ,
hubungan interpersonal, perawatan diri, ditemukan dibawah level yang
biasanya disebabkan oleh terjadinya gejala (atau apabila onset terjadi dalam
masa kanaka tau remaja, ada kegagalan dalam mencapai level yang
diharapkan dari fungsi interpersonal, akademik atau fungsi okupasi)

19
C. Gejala yang berkesinambungan dari gangguan bertahan setidaknya selama 6
bulan. Periode waktu 6 bulan ini harus setidaknya ada gejala 1 bulan (atau
kurang jika berhasil ditangani) yang memenuhi Kriteria A (misalnya , gejala
fase aktif ) dan mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residual.
Selama periode prodromal dan residual ini , tanda-tanda gangguan dapat
bermanifestasi dengan hanya gejala negative atau dua atau lebih gejala yang
didaftar dalam Kriteria A ada dalam bentuk sudah melemah (misalnya,
kepercayaan yang aneh, pengalaman perseptual yang tidak biasa).
D. Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan fitur
psikotik telah dikesampingkan karena diantaranya 1) tidak ada episode manik
atau depresif mayor yang pernah terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif,
atau 2) jika episode mood telah terjadi selama fase aktif , mereka telah ada
untuk jangka waktu yang sedikit dari durasi keseluruhan dari periode aktif dan
residual dari penyakitnya.
E. Gangguan tidak terkait efek fisiologis suatu zat (misalnya penyalahgunaan
obat, atau dalam pengobatan) atau kondisi medis yang lainnya.
F. Jika ada riwayat spektrum gangguan autisme atau gangguan berkomunikasi
yang terjadi pada masa kanak, diagnosa tambahan dari skizofrenia hanya
ditegakkan jika ada delusi atau halusinasi yang menonjol, sebagai tambahan
terhadap gejala lain yang dibutuhkan dari skizofrenia adalah bertahan selama
setidaknya 1 bulan (atau kurang jika berhasil diobati).
Spesifikasikan jika :
Cara pengkhususan hanya digunakan setelah 1 tahun perlangsungan gangguannya
dan jika tidak dalam kontradiksi dengan kriteria diagnostiknya.
Episode pertama, sedang dalam episode akut : manifestasi pertama dari
gangguan sesuai dengan gejala diagnostik dan kriteria waktu. Sebuah episode
akut adalah periode waktu yang mana gejala kriteria terpenuhi.
episode pertama, sedang dalam tahap remisi parsial : remisi parsial adalah

20
suatu periode waktu sepanjang ada peningkatan setelah episode sebelumnya
ditangani dan dimana kriteria definitif dari gangguan tersebut hanya setengah
terpenuhi.
Episode pertama, sedang dalam remisi penuh : remisi penuh adalah suatu
periode waktu setelah episode sebelumnya dimana tidak ada gejala spesifik dari
gangguan tersebut yang muncul/Nampak.
Banyak Episode, sedang dalam episode akut : episode multipel dapat
ditentukan setelah minimal dari 2 episode (misalnya, setelah episode pertama,
sebuah remisi dan minimal sekali relaps)
Banyak episode, sedang dalam remisi parsial
Banyak episode, sedang dalam remisi penuh
Kontinyu , gejala memenuhi kriteria diagnostik dari gangguan yang tersisa
adalah gejala mayor dari gangguan, dengan periode gejala subthreshold menjadi
relatif singkat dari keseluruhan perlangsungan gangguan tersebut.
Spesifikasikan jika :
Dengan katatonia, (merujuk kepada kriteria untuk katatonia yang berhubungan
dengan gangguan mental yang lain , hal 119-120, untuk definisinya)
Catatan penggunaan kode : gunakan kode tambahan 293.89 (F06.1)
katatonia berhubungan dengan skizofrenia untuk mengindikasikan adanya
katatonia komorbid.
Spesifikasikan keparahan saat ini :
Keparahan dinilai dengan penilaian kuantitatif dari gejala primer psikosis,
termasuk delusi, halusinasi , bicara yang tidak terorganisasi , perilaku psikomotor
abnormal , dan gejala negative. Masing-masing dari gejala ini dapat dinilai untuk
keparahannya saat ini (paling parah dalam 7 hari terakhir) dalam skala 5 poin yang
bervariasi mulai dari 0 (tidak ada gejala) sampai 4 (ada dan parah). (lihat bab
mengukur penilaian).
Catatan : diagnosa skizofrenia dapat ditegakkan tanpa menggunakan

21
penspesifikasi ini.

3.1.7 Tatalaksana Skizofrenia


Antipsikosis terbagi menjadi dua generasi, yaitu generasi pertama (tipikal)
dan generasi kedua (atipikal). Pada penggunaan efek terapi dari kedua generasi ini
sama-sama memiliki efek samping spectrum luas. Efek samping dari obat-obatan
ini merupakan aspek yang sangat penting dalam pengobatan karena dapat
menentukan pemilihan dari obat-obatan tersebut dan respon pertama untuk
pengobatan yang tidak dilanjutkan.

1. Generasi pertama (tipikal)

Antipsikosis generasi pertama memiliki efek terapi, seperti efek samping


extrapyramidal, yang menghambat kerja dopamine subtype 2 (D 2), reseptor di
mesolimbokortikal dan area nigrostriatal dari otak.4

Antipsychoti Recommended Chlorpromazine Half-Life


c Medication Dose Equivalents (hours)
Range (mg/day)a (mg/day)b

First-generation agents

Phenothiazines
Chlorpromazi 300–1000 100 6
ne
Fluphenazine 5–20 2 33
Mesoridazine 150–400 50 36
Perphenazine 16-64 10 10
Thioridazine 300-800 100 24
Trifluoperazi 15-50 5 24
ne
Butyrophenone
Haloperidol 5-2 2 21
Others 22
Loxapine 30-100 100 10
Molindone 30-100 10 24
Thiothixene 15-50 5 34
2. Generasi kedua (atipikal)4

Obat-obatan generasi kedua menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang


minimal atau tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamine yang
berbeda dibanding antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor
serotonin maupun glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis
dan endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala
negatif skizofrenia, contohnya penarikan diri. Obat yang juga disebut sebagai
obat psikotik atipikal ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam
kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamine
yang tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk
gejala positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih
sedikit, bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah
disetujui diantaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin,
dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor
dopamine sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.

Antipsikotik dan Efek Samping4

23
Tahap pengobatan dan pemulihan5

1. Terapi fase akut


Pada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intens.
Biasanya pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan
negatif. Pengobatan pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala
psikotik sehingga tidak membahayakan terhadap diri sendiri maupun

24
orang lain. Terapi utamanya adalah dengan menggunakan obat dan
biasanya dibutuhkan rawat inap. Jika pasien terkena serangan psikotik
akut, lebih baik diatasi dengan mengimobilisasi pasien dulu dan diberikan
antipsikotik. Obat injeksi seperti olanzapine 10 mg, haloperidol 5 mg, dan
diazepam 10 mg. Obat oral diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan
dimulai dari dosis anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap
dalam waktu 4-8 minggu sampai dosis optimal yang dapat mengendalikan
gejala.
Pengobatan dengan antipsikotik merupakan indikasi untuk setiap
episode fase akut pada pasien psikosis skizofrenia. Pada guideline
American Psychiatric Association, anti psikotik memiliki beberapa kelas
obat yang terdiri atas pengobatan anti psikotik generasi pertama dan
generasi kedua (sering disebut dengan antipsikotik atipikal) clozapine,
risperidone, olanzapine,quetiapine, ziprasidone, and aripiprazole.
Pengobatan yang gawat darurat sangat dibutukan ketika pasien
psikotik akut yaitu yang menunjukkan perilaku agresif terhadap diri
sendiri dan lingkungan sekitar. Antipsikotik dan benzodiazepine paling
sering membantu dalam menurunkan tingkat agitasi pasien. Jika pasien
diberikan pengobatan oral, bentuk tabel everssecent olanzapine dan
risperidone dapat digunakan untuk efek yang lebih cepat dan mengurangi
ketidakpatuhan.
Pengobatan parenteral dengan memberikan agen antipsikotik generasi
satu dan dua (haldol, ziprasidone dan olanzapine) dengan atau tanpa
benzodiazepine parenteral (contohnya lorazepam) sangat efektif dalam
penatalaksanaan pasien skizofrenia yang agitasi.

25
2. Terapi fase stabilisasi
Pada fase ini pasien masih mengalami gejala psikotik dengan
intensitas yang lebih ringan. Namun pada fase ini pasien masih memiliki
kemungkinan yang besar untuk kambuh sehingga dibutuhkan pengobatan
yang rutin untuk menuju ke tahap pemulihan yang lebih stabil. Sehingga
tujuan dari pengobatan pada fase ini adalah untuk mengendalikan gejala
dan mencegah terjadinya kekambuhan, meminimalisir stress pada pasien,
memberikan dukungan untuk meminimalisir relaps karena faktor
lingkungan, meningkatkan kemampuan adaptasi pasien di komunitas, dan
meningkatkan proses perbaikan
Pada fase ini, jika pasien telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
dengan efek samping yang minimal maka pasien harus dikontrol dengan
pengobatan dan dosis yang sama untuk 6 bulan kedepannya. Penurunan
dosis yang terlalu cepat atau putus obat akan menyebabkan kekambuhan.

3. Terapi Fase Stabil

26
Pada fase ini, pengobatan dilakukan untuk mencegah remisi gejala
atau mengontrol, meminimalisir resiko dan konsekuensi relaps, dan
mengoptimalkan fungsi dan proses pemulihan pasien.
a. Penilaian pasien pada fase stabil
Penilaian pasien pada fase stabil penting dilakukan untuk mengetahui
apakah perlu dilakukan pembaruan program terapi pasien. Penilaian
juga memberikan kesempatan pada pasien dan keluarga untuk
menyampaikan ada tidaknya perubahan gejala dan efek samping
terapi. Memonitoring efek samping terapi selama fase akut dan
stabilisasi harus rutin dilakukan.
b. Pengobatan psikososial pada fase stabil
Pada pasien skizofrenia yang berada pada fase stabil sebaiknya
diberikan kombinasi terapi psikososial dengan farmakoterapi.
Sejumlah terapi psikososial salah satunya adalah intervensi keluarga,
dukungan pekerjaan, pengobatan komunitas, latihan kemampuan
sosial, psikoterapi berorientasi kognitif secara perilaku.
c. Penggunaan antipsikotik pada fase stabil
Ketika pasien skizofrenia yang telah mencapai pengobatan fase stabil
atau pemeliharaan, maka sangat penting bagi psikiater untuk
mengembangkan sebuah rencana manajemen pengobatan jangka
panjang agar dapat meminimalisir resiko kekambuhan, memonitoring
dan meminimalisir keparahan efek samping.
Antipsikotik dan mengurangi relaps pada fase stabil menjadi <30%
setiap tahunnya. Tanpa terapi pemeliharaan, 60-70% pasien
skizofrenia akan kambuh dalam 1 tahun dan hampir 90% relaps dalam
waktu 2 tahun. Psikater harus dapat memberikan dosis yang efektif
untuk mencegah relaps serta memiliki efek samping yang
minimal.Terapinya meliputi obat-obatan dengan dosis mulai

27
diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang
masih mampu mencegah kekambuhan (akut selama 2 tahun dan kronik
selama 5 tahun atau seumur hidup), terapi suportif, pendidikan
keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.
d. Penggunaan antipsikotik untuk keadaan relaps
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat
penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum
obat. Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping
yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter
dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau
mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah.--
Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter
dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting,
diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih
simpel dalam penerapannya.Terkadang pasien dapat kambuh
walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini
merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan
yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan
newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti
dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi
cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas
gagal.
Pengaturan Dosis
Untuk pengaturan dosis perlu dipertimbangkan:
1. Onset efek primer (efek klinis): sekitar 2-4 minggu
2. Onset efek sekunder (efek samping): sekitar 2-6 jam
3. Waktu paruh: 12-14 jam (pemberian obat 1-2 kali perhari)

28
4. Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
menggangu kualitas kualitas hidup pasien
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3
hari sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaran sindrom psikosis),
evaluasi setiap dua minggu dan bila perlu dinaikkan sampai dosis optimal
kemudian dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2
minggu (dosis maintenance) dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi
drug holiday 1-2 hari/minggu) kemudian di tapering off (dosis diturunkan tiap
2-4 minggu baru kemudian distop.

Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang multiepisode, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit 5 tahun. pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali. Efek obat
antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah
dosis terakhir masih mempunyai efek klinis sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan jika obat dihentikan, biasanya satu bulan
kemudian baru gejala sindrom psikosis kambuh kembali.
Pada umumnya pemberian obat antipsikosis sebaiknya dipertahankan
selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama
sekali. Untuk psikosis reaktif singkat penurunan obat secara bertahap setelah
hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu sampai dua bulan.
Pada penghentian mendadak dapat menimbulkan gejala “cholinergic
rebound”: gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dan lain-
lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian antikolinergik agent (injeksi
sulfas atropim 0.25 mg (IM), tablet trihexyphenidyl 3 x 2 mg/hari).

29
Penggunaan Perenteral
Obat antipsikosis long acting (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2-4 minggu) sangat berguna untuk
pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif
terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan perenteral diberikan peroral lebih dahulu
beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat hipersensitivitas. dosis
dimulai ½ cc setiap 2 minggu pada bulan pertama kemudian baru ditingkatkan
menjadi 1 cc perbulan. Pemberian obat antipsikosis long acting hanya untuk
terapi stabilisasi dan pemeliharaan (maintenance terapy) terhadap kasus
skizoprenia. 15-25% kasus menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek
samping ekstrapiramidal.

Rawat Inap
Rawat inap diindikasikan terutama untuk tujuan diagnostik, untuk
stabilisasi pengobatan, untuk keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri
atau pembunuhan, serta untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada
tempatnya, termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti
pangan, sandang dan papan. Tujuan utama rawat inap adalah membangun
hubungan yang efektif antara pasien dan sistem pendukung komunitas. Aspek
lain penatalaksanaan klinis mengalir secara logis dari model medis
penyakitnya. Karena dokter prihatin akan rehabilitasi dan penyesuaian pasien,
mereka harus mempertimbangkan disabilitas spesifik saat merencanakan
strategi penanganan. Dokter harus mengedukasi pasien dan keluarga serta
pelaku rawat tentang skizofrenia.
Rawat inap mengurangi stress pasien dan membantunya menyusun
aktifitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari
keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan.

30
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan
sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien
dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan
kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki
kualitas hidup.
Selama di rawat inap, pasien sebaiknya dikoordinasikan dengan fasilitas
pasca perawatan termasuk rumah keluarga, keluarga angkat, panti perawatan
dan rumah singgah. Pusat rawat jalan dan kunjungan rumah oleh konselor
terkadang dapat membantu pasien untuk tetap tinggal di luar rumah sakit
selama periode yang lama serta dapat meningkatkan kualitas kehidupan harian
mereka.
Selain anti psikosis, terapi psikososial ada juga terapi lainnya yang
dilakukan di rumah sakit yaitu Elektro Konvulsif Terapi (ECT). Terapi ini
diperkenalkan oleh Ugo cerleti(1887-1963). Mekanisme penyembuhan
penderita dengan terapi ini belum diketahui secara pasti. Alat yang digunakan
adalah alat yang mengeluarkan aliran listrik sinusoid sehingga penderita
menerima aliran listrik yang terputus putus. Tegangan yang digunakan 100-
150 Volt dan waktu yang digunakan 2-3 detik.

Terapi Pscyhosurgery (Bedah Otak)

Meski jauh lebih tidak efektif dibanding obat antipsikotik, terapi


elektrokonvulsif mungkin diindikasikan untuk pasien katatonik serta pasien
yang karena alasan tertentu tidak dapat mengkonsumsi obat antipsikotik.
Pasien yang sakit selama kurang dari 1 tahun kemungkinan besar akan
merespon. Terapi elektrokonvulsif yang rumatan mungkin berguna pada
pasien yang nonresponsif terhadap terapi farmakologis.

31
Pembedahan psikis (psycchosurgery) khususnya lobotomi frontal,
digunakan sebagai penanganan skizofrenia dengan hasil akhir yang bervariasi.
Meski pendekatan mutakhir terhadap bedah psikis untuk skizofrenia mungkin
pada akhirnya dapat dikembangkan, namun bedah psikis tidak lagi dianggap
sebagai penanganan yang tepat. Namun hal ini dipraktekkan dalam basis
eksperimental terbatas, untuk kasus parah yang membandel.

Terapi psikososial

Terapi ini mencakup beberapa metode untuk meningkatkan kemampuan


sosial, kecukupan diri, keterampilan praktis dan komunikasi interpersonal
pada pasien skizofrenia. Tujuannya adalah memungkinkan seseorang yang
sakit parah untuk membangun keterampilan sosial dan keterampilan pekerjaan
untuk hidup yang mandiri. Penanganan semacam ini dilaksanakan diberbagai
tempat seperti rumah sakit, klinik rawat jalan, pusat kesehatan jiwa, dan lain-
lain.

A. Psikoterapi Individual
Studi mengenai efek psikoterapi individual dalam penanganan skizofrenia
telah memberikan data bahwa terapi ini bermanfaat dan bersifat tambahan
terhadap efek terapi farmakologis. Pada psikoterapi terhadap pasien
skizofrenia, amat penting untuk membangun hubungan teraupetik sehingga
pasien merasa aman. Realibilitas terapi, jarak emosional antara terapis dan
pasien, serta ketulusan terapis sebagaimana yang diartikan pasien, semua
mempengaruhi pengalaman terapeutik. Psikoterapi untuk pasien skizofrenia
sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan dalam jangka waktu dekade, dan
bukannya beberapa sesi, bualan atau bahkan tahun.
Beberapa klinisi dan peneliti menekankan bahwa kemampuan pasien
skizofrenia untuk membentuk aliansi teraupetik dengan terapis dapat
meramalkan hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu membentuk aliansi

32
teraupetik yang baik cenderung bertahan dalam psikoterapi, tetap patuh
dengan pengobatan serta memiliki hasil akhir yangbaik pada evaluasi tindak
lanjut 2 tahun.
Hubungan antara klinisi dengan pasien berbeda dari yang dihadapi dalam
penanganan pasien non psikotik. Membangun sebuah hubungan sering kali
sulit dilakukan. Orang dengan skizofrenia sangat kesepian namun
mempertahankan diri terhadap kedekatan dan kepercayaan, mereka cenderung
menjadi curiga, cemas, atau bermusuhan atau mengalami regresi ketika
seseorang mencoba mendekati. Terapi harus secara hati-hati mengamati jarak
dan privasi pasien dan sebaiknya menunjukkan kedekatan sederhana,
kesadaran, ketulusan, dan sensitifitas terhadap ketentuan sosial daripada
informalitas prematur serta pengguanaan nama panggilan yang merendahkan
diri. Pasien cenderung menganggap kehangatan yang berlebihan atau
pernyataan persahabatan sebagai upaya menyogok, manipulasi, atau
eksploitasi.
Namun, dalam konteks hubungan profesional, fleksibilitas amat penting
dalam menbangun aliansi kerja dengan pasien. Seorang terapis boleh makan
bersama pasien, duduk di lantai, berjalan-jalan, makan di restoran, menerima
dan memberikan hadiah, bermain tenis meja, mengingat ulang tahun pasien,
atau hanya duduk diam bersama pasien. Tujuan utamanya adalah
menyampaikan ide bahwa terapis patut dipercaya, ingin memahami pasien
dan mencoba melakukannya, serta memilki keyakinan terhadap potensi pasien
sebagai seorang manusia, tanpa memandang bagaimana terganggu,
bermusuhan atau anehnya pasien pada saat ini.
Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal merupakan bentuk
penanganan individual untuk pasien skizofrenia yang baru-baru ini terbentuk.
Tujuannya adalah meningkatnya penyesuaian personal dan sosial serta
mencegah terjadinya relaps. Terapi ini nerupakan metode pilihan

33
menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi
diri, kesadaran diri, serta eksplorasi kerentanan individu terhadap stres.
Terapis menyediakan suatu situasi yang menekankan pada penerimaan dan
empati. Pasien yang menerima terapi personal menunjukkan perbaikan
penyesuaian sosial (ukuran kombinasi yang mencakup performa kerja, hobi,
dan hubungan interpersonal) dan memiliki angka relaps yang lebih rendah
setelah 3 tahun dibanding pasien yang tidak menerima terapi personal.

B. Pelatihan Keterampilan Sosial


Pelatihan Keterampilan Sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi
keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan
berguna untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang
bisa tampak pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas terlihat
melibatkan hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk kontak mata
yang buruk, keterlambatan respon yang tidak lazim, ekspresi wajah yang
aneh, kurangnya spontanitas dalan situasi sosial serta persepsi yang tidak
akurat atau kurangnya persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan keterampilan
perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui penggunaan video tipe berisi orang
lain dan si pasien, bermain drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah
untuk ketrampilan khusus yang dipraktekkan. Pelatihan keterampilan sosial
telah terbukti mengurangi angka relaps sebagaimana telah terukur melalui
kebutuhan rawat inap.

C. Terapi Berorientasi Keluarga


Mengingat pasien skizofrenia sering dilepas pada keadaan hanya
mengalami remisiparsial, keluarga tempat pasien kembali sering dapat
memperoleh manfaat dari terapi keluarga yang berlangsung singkat namun
intensif. Terapi ini difokuskan pada situasi saat ini dan sebaiknya mencakup
identifikasi dan penghindaran situasi yang berpotensi menyusahkan. Ketika

34
benar-benar timbul masalah pada pasien pada keluarga tersebut, tujuan terapi
semestinya adalah menyelesaikan masalah tersebut secepatnya.
Dalam niatnya untuk membantu, anggota keluarga seringkali mendorong
kerabatnya yang menderita skizofrenia untuk kembali ke aktivitas reguler
terlalu cepat, baik akibat ketidaktahanan akan gangguan maupun
penyangkalan akan keparahan. Tanpa bermaksud terlalu mengecilkan hati,
terapis harus membantu keluarga dan pasien untuk memahami dan
mempelajari skizofrenia serta harus menganjurkan diskusi mengenai episode
psikotik dan peristiwa yang mengarah kesana. Mengabaikan episode psikotik,
suatu hal yang lazim terjadi, seringkali meningkatkan rasa malu yang
berkaitan dengan peristiwa tersebut dan tidak mengeksploitasi masih segarnya
episode tersebut untuk dapat memahaminya secara lebih baik. Gejala psikotik
seringkali menakutkan bagi anggota keluarga dan membicarakannya secara
terbuka dengan psikiater serta dengan saudara dengan skozofrenia sering
menentramkan semua pihak. Terapis kemudian dapat mengarahkan terapi
keluarga selanjutnya menuju penerapan jangka panjang strategi mengatasi
masalah dan mengurangi stres menuju reintregasi terhadap pasien ke
kehidupan sehari-hari.
Terapis harus mengendalikan intensitas emosional sesi keluarga dengan
pasien skizofrenia. Ekspresi emosi yang berlebihan dalam suatu sesi dapat
merusak proses penyembuhan pasien serta dapat mengikis suatu terapi
keluarga yang berpotensi sukses di masa depan. Sejumlah studi telah
menunjukkan bahwa terapi keluarga khususnya efektif dalam mengurangi
relaps. Namun, masing-masing studi menggunakan terapi keluarga yang
berbeda. Dan kesamaan antar terapi masuh belum jelas. Dalam studi
terkontrol, terapi keluarga mengurangi angka relaps tahunan, yang besarnya
25-50% pada pasien yang tidak menjalani terapi keluarga, dibandingkan
dengan 5-10% pada mereka yang menjalani terapi tersebut.

35
D. Terapi Kelompok
Terapi kelompok untuk orang dengan skizofrenia umumnya berfokus pada
rencana, masalah dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok dapat
berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.
Sejumlah peneliti meragukan bahwa interpretasi dinamik dan terapi tilikan
bermanfaat untuk pasien skizofrenia tipikal. Namun, terapi kelompok efektif
mengurangi isolasi sosial, meningkatkan rasa keterikatan, serta memperbaiaki
kemampuan uji realitas untuk pasien skizofrenia. Kelompok yang
mengarahkan keperilaku suportif, dan bukannya cara interpretatif, tampaknya
paling berguna untuk pasien skizofrenia

E. National Alliance For The Mentally Ill (NAMI)


NAMI dan organisasi serupa merupakan kelompok pendukung untuk
anggota keluarga dan teman pasien yang sakit jiwa serta untuk pasien itu
sendiri. Sebagai sumber yang bermanfaat untuk merujuk anggota keluarga,
organisasi semacam ini menawarkan nasihat praktis dan anjutran emosi
tentang cara memperoleh perawatan dari sistem penyedia layanan kesehatan
yang terkadang kompleks. NAMI juga telah membiayai kampanye untuk
mendestigmatisasi penyakit jiwa serta meningkatkan kesadaran pemerintah
akan kebutuhan dan hak orang yang sakit jiwa dan keluarganya
F. Terapi Perilaku Kognitif (cognitive–behavioural therapy (CBT)6
Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas, serta mengoreksi
kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang
membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang
mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya adalah yang memiliki
tilikan terhadap penyakitnya

36
Pendekatan terapi kognitif terhadap gejala psikotik menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan pertama terinspirasi dari kerentanan seseorang
terhadap stress yang mengakibatkan skizofrenia. Hal ini diasumsikan bahwa
stressor memicu dan menyebabkan gejala eksaserbasi terhadap individu dan
melihat bagaimana individu tersebut melawan stressor tersebut. Salah satu
bentuk stressor berasal dari lingkungan sosial secara langsung
Pendekatan kedua CBT menggambarkan bentuk kekuatan terapi kognitif.
Disini terdapat penekanan terhadap persamaan antara keparcayaan normal dan
waham. Brett-Jones dan teman-teman, menunjukkan waham sebagai suatu
kepercayaan harian yang memimpin seorang individu untuk mendapatkan
bukti dalam mendukung mereka dan memberhentikan bukti yang
bertentangan.

3.1.8 Prognosis1
Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun
setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10 sampai
20 persen pasien yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih
dari 50 persen pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan
rawat inap yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood mayor, dan
percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak selalu memiliki perjalanan penyakit
yang memburuk dan sejumlah factor dikaitkan dengan prognosis yang baik. (Tabel
3.1)

Angka pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10 sampai 60 persen, dan taksiran
yang masuk akal adalah bahwa 20 sampai 30 persen dari semua pasien skizofrenik
mampu menjalani kehidupan yang kurang lebih normal. Sekitar 20 sampai 30 persen
pasien terus mengalami gejala sedang, dan 40 sampai 60 persen pasien tetap
mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama hidup mereka.
Pasien skizofrenia memang memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien

37
dengan gangguan mood, meski 20 sampai 25 persen pasien gangguan mood juga
mengalami gangguan yang parah pada tindak lanjut jangka panjang. (Kaplan)

Tabel 3.1 Ciri untuk mempertimbangkan prognosis Baik hingga Buruk pada
Skizofrenia

Prognosis Baik Prognosis Buruk


 Awitan lambat  Awitan muda
 Ada faktor presipitasi yang jelas  Tidak ada faktor presipitasi
 Awitan akut  Awitan insidious
 Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan  Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan
pramorbid baik pramorbid buruk
 Gejala gangguan mood (terutama  Perilaku autistik, menarik diri
gangguan depresif)  Lajang, cerai, atau menjanda/duda
 Menikah  Riwayat keluarga dengan skizofrenia
 Riwayat keluarga dengan gangguan  System pendukung buruk
mood  Gejala negative
 Sistem pendukung baik  Tanda dan gerjala neurologis
 Gejala positif  Riwayat trauma perinatal
 Tanpa remisi dalam 3 tahun
 Berulang kali relaps
 Riwayat melakukan tindakan
penyerangan

3.2 Skizofrenia Paranoid

F 20.1 Skizofrenia Paranoid dengan kriteria3:

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia


 Sebagai tambahan :

38
 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol :
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi
tawa (laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan ras, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of influence), atau ”passivity” (delusion
of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka
ragam, adalah yang paling khas;
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.

39
BAB IV
PENUTUP
4.1 Analisa Kasus
Os suka berbicara sendiri seperti ada lawan bicaranya kurang lebih dari
sepuluh hari yang lalu. Namun keluarga Os tidak bisa langsung membawa Os ke
RSJD Jambi dikarenakan keluarga Os mengurus surat rujukan dan persyaratan
lainnya, dan juga Os menolak untuk dibawa ke RSJD Jambi. Selain berbicara
sendiri, Os juga suka keluyuran pada siang hari dan Os bisa pulang sendiri
kerumahnya. Os mengalami keluhan seperti ini sejak satu tahun yang lalu, Os
membicarakan bahwa OS merasa dirinya seorang malaikat dan Os sering melihat
adanya seorang bapak-bapak membawa pedang dan mengajaknya pergi
menyendiri. Os juga mengatakan bahwa ia dapat memunculkan bayi di
tangannya, Os juga merasa bahwa tetangganya iri dan tidak suka padanya. Os
mengatakan bahwa ia sering diajak dan disuruh untuk mengikuti perang dan
menjadi sersan. Os juga mengatakan bahwa tangannya sering dikuliti orangtua
nya, dan tubuh teman-temannya merah serta bolong-bolong. Pada saat
wawancara, Os meracau, gelisah dan hiperaktif. Terdapat waham curiga dan
kejar, serta halusinasi auditorik dan visual. Tilikan 1 dan pengendalian impuls,
abstrak, dan daya nilai terganggu.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan tersebut pasien didiagnosa sebagai
skizofrenia paranoid karena didapatkan tanda dan gejala yang memenuhi kriteria
umum skizofrenia paranoid (halusinasi berupa suara yang memberi perintah,
terdapat waham kejar dan curiga serta waham dikendalikan)
Psikofarmaka yang diberikan adalah risperidon 2 mg dua kali sehari yang
merupakan antipsikosis golongan 2 (atipikal), tryhexylpenidyl 2 mg dua kali
sehari yang merupakan antikolinergik gunanya untuk pengobatan dari efek
samping dari obat yang sebelumnya, dan clozapine 25 mg satu kali sehari yang
merupakan antiposikosis golongan 2 (atipikal).

40
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Skizofrenia dalam synopsis psikiatri.
Tangerang: Binarupa Aksara Publisher; 2010. Hal. 737-743
2. Diagnostic and statistical manual of mental disorders edisi ke-V . APA. 2013
3. Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkasan PPDGJ-III
dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya;
2001
4. CCHCS/DHCS Care Guide : Schizophrenia, agust 2015
5. McIntyre JS, Charles SC, Anzia DJ, dkk.Treatment of Patient with
Schizophrenia. 2010. American Psychiatric Association.
6. Gelder MG, Lopez-Ibor JJ, Andreasen N. Cognitive-behaviour therapy for
schizophrenia on new oxford textbook of psychiatry

41

Anda mungkin juga menyukai