Anda di halaman 1dari 13

Clinical Science Session

*Kepaniteraan Klinik Senior


**Pembimbing : Dr. Umi Rahayu,Sp.THT-KL

Pendekatan Diagnosis Pasien Dengan Tinitus

Dr. Umi Rahayu, Sp.THT-KL

Sara Ashari, S.ked

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN THT-KL RSUD RADEN MATTAHER
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS JAMBI
2017
LEMBAR PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSIONE

Pendekatan Diagnosis Pasien Dengan Tinitus

oleh:
Sara Ashari

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN THT-KL RSUD RADEN MATTAHER
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS JAMBI
2017

Jambi, Juli 2017


Pembimbing

Dr. Umi Rahayu, Sp.THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-
Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Clinical Science Sessions yang berjudul Pendekatan
Diagnosis Pasien Dengan Tinitus. Penulisan CSS ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat
dalam menjalani kepanitraan klinik senior di bagian THT-KL di RSUD Raden Mattaher Jambi.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Umi Rahayu,Sp.THT-KL yang telah membantu dan
membimbing dalam penyelesaian CSS ini.
Sepenuhnya saya menyadari tugas ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
memiliki kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
diharapkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan CSS ini.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Aamiin

Jambi, Juli 2017

Penyusun
Volume Tonsil dan Rhinitis Alergi pada Anak-Anak

Franco Ameli, M.D.,1 Fabio Brocchetti, M.D.,1 Maria Angela Tosca, M.D.,2 Irene Schiavetti,
B.S.,3 and Giorgio Ciprandi, M.D.4

ABSTRAK
Hipertrofi tonsil (TH) sering terjadi pada anak-anak. Sebelumnya, telah dilaporkan bahwa
terdapat hubungan antara hipertrofi adenoid (AH) dan rhinitis alergi (AR). Penelitian ini
bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan antara Volume tonsil dan diagnosis rhinitis
alergi (AR) dalam kelompok anak-anak yang mengeluh obstruksi saluran napas atas. Secara
keseluruhan, 171 anak-anak (91 anak laki-laki; usia rata-rata, 6,6 tahun) diteliti. Gejala klinis,
endoskopi hidung, dan skin-prick test yang dilakukan pada semua pasien. TH dan obstruksi
hidung anterior yang dinilai dengan menggunakan klasifikasi Friedman. Volume adenoid itu
dinilai menggunakan klasifikasi Parikh. 58 anak (33,9%) memiliki TH yang relevan (nilai 3- 4);
77 anak (44,94%) memiliki AR. Terdapat hubungan yang kuat (gamma 0,564; p<0,001) antara
TH dan AH. Volume tonsil berbanding terbalik dikaitkan dengan diagnosis AR (odds ratio [OR],
0,314). Faktor risiko untuk TH adalah peradangan mukosa (selaput lendir pucat) dan AH (OR,
masing-masing 3,54 dan 2,856). Studi ini menunjukkan bahwa tonsil yang besar memiliki
hubungan yang negatif dengan alergi, sedangkan peradangan merupakan faktor risiko untuk
TH; AH mungkin sering dikaitkan dengan TH.

Tonsil palatina adalah bagian dari jaringan limfoid yang mengelilingi faring yang
didefinisikan sebagai bagian dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina fisiologis berfungsi sebagai
pertahanan terhadap antigen yang didapat secara inhalasi (mikroba, alergen, dll). Oleh karena itu,
tonsil palatina sangat terlibat dalam respon imun bawaan dan adaptif karena posisinya yang
berada di pintu masuk saluran aerodigestive atas. Sebagai konsekuensi dari stimulasi kronis
(Akibat pajanan antigen berkepanjangan terkait dengan peradangan kronis), tonsil palatina dapat
membesar sehingga dapat mengisi ruang di orofaring, mengakibatkan terhambatnya aliran udara.
Hipertrofi tonsil (TH) dapat terdeteksi di sekitar sepertiga dari populasi umum pediatrik dan
merupakan indikasi otorhinolaryngological paling sering untuk dialakukannya intervensi bedah.1
TH telah dikaitkan dengan infeksi pernafasan berulang, disfungsi pernapasan, dan gangguan
tidur. Namun, pengukuran volume tonsil belum terstandar, tapi cara yang baik untuk
mengevaluasi TH adalah ketika dilakukannya nasal endoskopi dengan menggunakan klasifikasi
Friedman.2 Di sisi lain, rhinitis alergi (AR) adalah gangguan kekebalan yang paling utama karena
dapat mempengaruhi hingga 40% dari populasi umum. AR ditandai dengan reaksi inflamasi
setelah terpapar alergen. AR juga sering dikaitkan dengan komorbiditas yang relevan, termasuk
alergi lainnya, rinosinusitis, infeksi saluran pernapasan berulang, otitis, dan hipertrofi adenoid
(AH). Dalam hal ini, terdapat keyakinan bahwa anak-anak dengan AR mungkin memiliki
hipertrofi limfoid dari saluran napas atas, terutama mengenai adenoid. Mungkin korelasi antara
AR dan AH telah diteliti oleh beberapa studi yang melaporkan hubungan positif antara dua
gangguan tersebut.3-6 Pada kenyataannya, sebuah penelitian baru-baru ini melaporkan bahwa AH,
divisualisasikan dan diukur selama endoskopi, tidak terkait dengan AR, sedangkan konkha
inferior mungkin terkait dengan kelenjar adenoid kecil.7 Karena volume tonsil sering sama
dengan volume adenoid, sebuah pertanyaan yang belum terpenuhi menyangkut kemungkinan
hubungan antara TH dan AR. Bahkan, hanya ada tiga studi yang menunjukkan perhatian pada
masalah ini.8 -10 Sayangnya, penelitian itu bertentangan dan dalam bidang metodologi kadang-
kadang tidak akurat. Oleh karena itu, hubungan antara volume tonsil dan diagnosis AR belum
cukup dijelaskan sampai sekarang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki
kemungkinan hubungan antara volume tonsil dan diagnosis AR pada kelompok anak yang
mengeluh obstruksi saluran pernapasan atas.

BAHAN DAN METODE

Pasien
Secara umum, 171 anak-anak (80 perempuan dan 91 anak laki-laki; rata usia, 6.61± 2.31
tahun), yang mengeluh terus-menerus adanya obstruksi aliran udara, pada bagian Telinga,
Hidung, dan Tenggorokan Villa Montallegro (Genoa, Italia) selama tahun 2012. Mereka secara
prospektif terdaftar ke dalam penelitian. Kriteria inklusi adalah (i) usia antara 4 hingga 12 tahun
dan (ii) memiliki keluhan hambatan saluran napas bagian atas (pernapasan mulut, dengan atau
tanpa mendengkur). Kriteria eksklusi adalah (i) sindrom kraniofasial, (ii) trauma wajah yang
baru terjadi, (iii) deviasi septum secara jelas, (iv) bersamaan dengan rinosinusitis akut, (v)
riwayat adenotonsilektomi sebelumnya, dan (vi) penggunaan kortikosteroid intranasal. Penelitian
ini telah disetujui oleh dewan review lokal dan inform consent yang diperoleh oleh orang tua.
Desain studi

Semua anak dievaluasi dengan kunjungan klinis, nasal endoskopi, dan skin-prick test.

Endoskopi
Ini dilakukan dengan endoskopi kaku pediatrik diameter 2,7 mm dengan sudut
penglihatan 30 ° (Karl Storzcod 7207 ba; R Storz, Milan, Italia) dengan sumber cahaya dingin
300-W (Storz Xenon Nova, cod 20134001;. R Storz) dan kabel lampu panjang 1,8 mm.
Endoskopi adalah video yang direkam oleh microcamera yang terhubung ke digital perekam set
(Karl Storz Tele Pack, cod 20043002- 020.; R Storz). Sebuah endoskopi fleksibel (diameter 3-
mm) digunakan pada anak-anak yang gelisah dan pada mereka dengan fossa hidung yang sempit
karena kelainan anatomi. Anak dalam posisi berbaring telentang dengan kepalanya
dibengkokkan ~ 45 °. Beberapa kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi (ossibuprocaine
1%) diletakkan ke dalam hidung selama 5 menit. Deskripsi lengkap dari prosedur telah
dijelaskan secara rinci sebelumnya.11

Obstruksi Hidung Dinilai dengan Endoskopi Konka inferior dan dievaluasi selama
endoskopi: Volume itu dinilai dari I hingga III sesuai dengan klasifikasi Friedman.12 Grade I
didefinisikan sebagai pembesaran ringan tanpa obstruksi yang jelas. Kelas III adalah oklusi
lengkap dari rongga hidung. Terdapat konka di antara itu dinilai sebagai II.

Penilaian Volume Tonsil

Volume tonsil diklasifikasikan menurut validasi 2 kriteria sebagai berikut: kelas 1, tonsil
di fossa tonsil hampir tidak terlihat di balik pilar anterior; kelas 2, tonsil terlihat di balik pilar
anterior; kelas 3, tonsil membesar hingga tiga perempat dari linea mediana; kelas 4, tonsil sudah
menghalangi jalan napas (juga dikenal sebagai kissing tonsil).

Penilaian Volume Adenoid

Para pasien dievaluasi dengan nasal endoskopi untuk AH. Adenoid yang dinilai sesuai
dengan klasifikasi Parikh yang dibuat berdasarkan hubungan anatomi antara jaringan adenoid
dan struktur berikut: vomer, palatum mole, dan torus tubarius.13 Klasifikasi didasarkan pada
hubungan antara kelenjar adenoid dengan struktur yang berdekatan ketika pasien sedang
beristirahat (yaitu, ketika palatum mole tidak terangkat). Secara khusus, kelas 1 adenoid yang
nonobstruktif dan tidak berhubungan dengan salah satu struktur anatomi yang telah disebutkan
sebelumnya; selanjutnya, nilai 2, 3, dan 4 adenoid masing-masing berhubungan dengan torus
tubarius, vomer, dan palatum mole (saat istirahat).

Skin-Prick Test

Alergi dinilai dengan adanya sensitisasi untuk kelas yang paling umum dari aeroallergen
dengan melakukan Skin-Prick Test. Hal itu dilakukan seperti yang dinyatakan oleh Eropa
Academy of Allergy and Clinical Immunology. 14 Panel alergen adalah sebagai berikut: Rumah-
tungau debu (Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus), kucing, anjing,
rumput campuran, Compositaemix, Parietaria Judaica, birch, cokelat pohon, pohon-pohon zaitun,
cemara, Alternaria tenuis, Cladosporium, dan Aspergillus campuran. Konsentrasi alergen
merangsang 100 reaktivitas imun per mililiter (Stallergenes Italia, Milan, Italia). Sebuah solusio
histamin yang di suling air (10 mg / mL) digunakan sebagai kontrol positif dan penyangga
pengencer gliserol digunakan sebagai kontrol negatif. Setiap pasien diuji pada permukaan volar
lengan bawah menggunakan tusukan lancets 1-mm. Reaksi kulit tercatat setelah 15 menit dengan
mengevaluasi respon kulit dibandingkan dengan papul yang diberikan oleh kontrol positif dan
negatif. Diameter papul minimal 3 mm dianggap sebagai reaksi positif. Diagnosis AR dibuat jika
riwayat gejala hidung sesuai dengan sensitisasi, seperti terjadinya gejala setelah paparan
sensitisasi alergen.

Analisis statistik

Normalitas variabel lanjutan diperiksa dengan histogram dan dikonfirmasi oleh uji
normalitas Shapiro-Wilk. Untuk semua pasien yang terdaftar, analisis deskriptif masing-masing
karakteristik diindikasikan sebagai mean (m) dengan SD (± SD) atau frekuensi (persentase).
Orang dan uji Kruskal digunakan untuk mengkorelasikan Volume adenoid dengan volume tonsil.

Sebuah kemajuan tahapan logistik dilakukan dalam dua tahap. Pertama, univariat yaitu regresi
logistik digunakan untuk membandingkan variabel kategoris, khususnya, untuk menentukan
apakah volume tonsil berhubungan dengan karakteristik klinis lainnya. Kemudian, secara
statistik pada analisis univariat yang dipasang dengan regresi logistik ordinal multivariat, dengan
penyesuaian untuk faktor potensial, seperti usia dan jenis kelamin. Data dinyatakan sebagai rasio
odds (OR) dan 95% confidence interval (CI). OR menunjukkan kenaikan atau penurunan
probabilitas volume tonsil yang lebih tinggi tergantung pada pertimbangan variabel prediktif.

Semua nilai P pada uji dua arah, dengan nilai signifikan 0,05. Dengan menggunakan SPSS 20
yang digunakan untuk perhitungan.

HASIL

Seratus tujuh puluh satu anak (91 anak laki-laki dan 80 anak perempuan) dengan rata-rata
usia 6.61 ± 2.31 tahun (rentang 2-13 tahun di ikutsertakan dalam penelitian. Karakteristik
demografis dan klinis ditampilkan pada tabel 1. Tujuh puluh enam anak didiagnosa dengan AR
(44.4%).

Volume Tonsil dan Adenoid

Secara global, 159 (93.0%) anak memiliki tonsil ekstravelik: 40 (25.2%) dengan volume 1,
61 (38.4%) dengan volume 2, 52 (32.7%) dengan volume 3, dan 6 (3.8%) dengan volume 4.

Secara global, 161 (94.2%) anak dengan AH: 44 (27.2%) dengan volume 1, 54
(33.5%)dengan volume 2, 51 (31.7%) dengan volume 3, dan 12 (7.5%) dengan volume 4.

Terdapat hubungan yang erat antara volume tonsil dan volume adenoid (koefisien γ oleh
Goodman dan Kruskal = 0.564; p<0.001) seperti yang ditampilkan pada Fig. 1.

Volume adenoid

Gambar 1. Hubungan antara volume tonsil dan voume adenoid

Data Nasal

Tujuh puluh empat (43.2%) pasien mengalami obstruksi nasal total (dikategorisasi oleh
Friedman), sedangkan 97 (56.8%) dengan obstruksi nasal parsial. Concha inferior mengalami
kontak dengan dinding lateral pada 139 pasien (81.3%), dan concha media kontak dengan
dinding lateral pada 133 pasien (77.8%). Tambahan, 88 (51.5%) anak memiliki membran
mukosa yang pucat; 115 (67.3%) anak dengan discharge nasal.

Lima puluh tujuh anak (75%) memiliki kepekaan terhadap Dermatophagoides, 9 (11.8%)
terhadap serbuk sari, dan 10 (13.2%) subjek menunjukkan polisensitisasi.

Data Statistik

Tabel 1 melaporkan perbandingan antara anak dengan diagnosa AR dan anak tanpa
diagnosa AR. Terdapat perbedaan yang signifikan antara anak dengan dan tanpa AR. Anak
perempuan lebih sering di diagnosa AR dibandingkan anak laki-laki (p = 0.006). Terdapat
perbedaan signifikan (p< 0.001) diantara dua grup mengenai volume tonsil maupun volume
adenoid (p< 0.001). Kontak dari concha inferior dan media dengan dinding lateral lebih sering
terjadi pada anak dengan AR (p< 0.001 dan p = 0.002, berturut-turut). Membran mukosa yang
pucat lebih sering terjadi pada anak yang tanpa di diagnosis dengan AR (p = 0.042), sedangkan
discharge nasal lebih sering terjadi pada anak dengan AR (p =0.015).

Tambahan, mempertimbangkan bahwa terdapat 159 anak dengan grade tonsil ≥1, analisis
univariat mengungkapkan hubungan antara volume tonsil (1-2 banding 3-4) dan factor yang
menyertai: nilai obstruksi nasal (p = 0.008), kontak concha inferior (p = 0.048), kontak concha
media (p = 0.095), membran mukosa yang pucat (p = 0.004), adanya discharge nasal (p = 0.136),
volume adenoid (p< 0.001), dan diagnosis AR (p< 0.001).

Hasil dari model regresi logistik multivariat (Tabel 2) menunjukkan ketidakadaan AR (p =


0.009), adanya membran mukosa yang pucat (p = 0.002) dan volume adenoid (p< 0.001) sebagai
penanda signifikan dari volume tonsil. Yang terutama sekali, adenoid terbesar memiliki
probabilitas terbesar untuk mengalami hipertrofi tonsil (OR, 2.86; CI 95%, 1.79-4.56). Anak
dengan membran mukosa yang pucat 3.5 kali lipat lebih rentan terkena TH dibandingkan yang
tidak memiliki karakteristik klinik tersebut (OR, 3.54; CI 95%, 1.57-7.97). Pasien yang tidak
memiliki alergi kurang lebih tiga kali lipat memiliki kemungkinan mengalami hipertrofi tonsil
dibandingkan subjek dengan AR (OR, 3.19; CI 95%, 1.34-7.62), seperti yang dilaporkan dalam
Fig. 2.

Volume tonsil

Gambar 2. Hubungan antara volume tonsil dan munculnya rhinitis alergi

DISKUSI

Gejala saluran pernapasan atas biasa muncul pada populasi pediatrik. Keterbatasan aliran
udara selama kanak-kanak seringkali berhubungan dengan pembesaran adenoid, namun
penyebab lainnya juga harus dipertimbangkan. AR sering terjadi pada anak-anak, mempengaruhi
lebih dari 40% dari populasi umum, dan dapat mengakibatkan postur open-mouth.15 Penyebab
obstruksi nasal yang jarang terjadi meliputi atresia koanal, polip dan tumor.16

Sebuah pendapat mengasumsikan bahwa anak dengan AH seringkali juga dapat mengalami
AR.17 Bagaimanapun, beberapa studi dengan teliti mengamati hubungan antara dua kelainan
tersebut, secara umum memperhatikan kemungkinan pengaruh AR terhadap pembesaran
adenoid.3-6 Studi terbaru, dengan mengadakan pemeriksaan endoskopi nasal, menghasilkan
temuan yang bertentangan sebagai hubungan terbalik antara volume adenoid dan adanya alergi
telah dilaporkan.7
Di sisi lainnya, volume tonsil seringkali berhubungan dengan volume adenoid jadi
penggunaan istilah hipertrofi adenotonsil biasa digunakan.18 Sayangnya hanya tiga studi yang
menunjukkan kemungkinan hubungan antara AR dan TH dengan hasil yang kontras. Yumoto
dkk meneliti hubungan TH pada gangguan nasal pada 7190 murid sekolah dasar di sembilan area
yang berbeda di Jepang.8 Peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara
TH dan AR.8 Sadeghi-Sabestari dkk membandingkan 117 anak dengan hipertrofi adenotonsilar,
dengan pemeriksaan radiografi coli lateral, terhadap 100 anak yang sehat. 9 Temuan menunjukkan
bahwa 70.3% anak dengan hipertrofi adenotonsilar tersensitisasi, sedangkan pada grup control
hanya 10%. Demikian, peneliti menyimpulkan bahwa alergi merupakan faktor risiko yang
penting terhadap hipertrofi adenotonsilar. Namun, volume adenoid dan tonsil tidak diukur dan
digolongkan dan tidak dilakukan endoskopi. Lebih terbaru, Olusesi merekrut 434 kasus
adenotosilektomi pada anak Nigeria.10 Mereka mengobservasi bahwa riwayat alergi familial dan
adanya alergi secara klinis berhubungan dengan onset yang awal gejala pada anak dengan
hipertrofi adenotonsilar. Namun, metodologinya lemah karena diagnosis AR dibuat hanya
berdasarkan riwayat gejala, AH dan TH tidak dibandingkan secara terpisah, dan tidak dilakukan
endoskopi.

Penelitian terbaru menghasilkan temuan yang menarik. Pertama, sekitar separuh anak
dengan AR, namun relevan TH, seperti grade 3 dan 4, hanya tampak pada sepertiga anak.
Selanjutnya, volume tonsil berhubungan erat dengan volume adenoid (γ =0.564). Kebalikannya,
volume tonsil berhubungan terbalik dengan diagnosa AR. Regresi ordinal multivariat
menggarisbawahi konsep ini: tidak adanya diagnosa AR dapat “melindungi” (OR, 0.314) dari
TH yang parah. Di sisi lainnya, AH memprediksi bahwa TH (OR 2.85) sebagaimana edema
mukosa (seperti membran mukosa yang pucat) merupakan faktor risiko utama (OR 3.54) untuk
TH. Temuan tersebut memperkuat observasi Yumoto8 dan, secara tidak langsung, pengalaman
sebelum kami terhadap AH.7

TH dapat bergantung pada stimulasi antigenik yang berlebihan karena cincin Waldeyer
menunjukkan rintangan awal terhadap antigen yang memasuki tubuh.19 Ketika terjadi paparan
antigen yang terus menerus, dapat terjadi TH. Tonsil juga dapat menampung organisme
patogenik, mempertahankan hiperstimulasi kronis dari respon imun. Demikian, infeksi
respiratori rekuren dapat terjadi akibat peningkatan fungsi dari jaringan limfe faringeal, yang
kemudian menginduksi TH.

Di sisi lainnya, alergen di udara dapat menstimulasi sistem imun secara berlebihan pada
tingkat tonsil. Faktanya, pasien alergi memiliki penyebaran sel mast yang berbeda, sel efektif
utama dalam inflamasi alergi, ke jaringan tonsil dibandingkan subjek normal sehingga sel mast
di area interfolikular dapat diaktivasi dengan cepat oleh kontak langsung dengan CD4 + Sel T.20
Anak dengan AH digolongkan dengan parameter kerusakan immunologis, yang juga menetap
lama setelah adenotonsilektomi.21

Penelitian terbaru, berdasarkan latar real-life, seperti pada studi kohort, terdiri dari anak
yang mengeluh mengenai obstruksi saluran napas bagian atas. Mereka mengunjungi bagian THT
dan menjalani endoskopi nasal dan evaluasi lebih lanjut pada bagian alergi. Hasilnya
menunjukkan bahwa TH yang parah tidak berhubungan dengan diagnosis AR, dimana inflamasi
mukosal yang hebat (terlihat adanya edema mukosa) berhubungan dengan TH. Interpretasi yang
mungkin adalah bahwa AR yang ditunjukkan dengan adanya pembesaran concha dapat
mempengaruhi perjalanan antigen yang dapat menstimulasi jaringan tonsil untuk membesar. Di
sisi lain, TH berhubungan dengan reaksi inflamasi terhadap stimulasi antigen. Tambahan, AH
dan TH sering ditemukan bersamaan.

Keterbatasan utama dari penelitian terbaru adalah (i) tidak adanya pemeriksaan imunologis
yang dapat mengklarifikasi mekanisme patogenik; (ii) kurangnya pemeriksaan keparahan gejala;
(iii) tidak ada informasi mengenai pengobatan. Oleh karena itu, studi imunologis lebih lanjut
harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah itu, secara umum terpusat pada pengaruh dari
keparahan gejala dalam hubungan antara TH dan AR.

KESIMPULAN

Studi menunjukkan bahwa tonsil yang besar dapat berhubungan terbalik dengan alergi,
dimana inflamasi hebat merupakan faktor risiko TH; dan AH seringkali berhubungan dengan
TH.

Anda mungkin juga menyukai